Anda di halaman 1dari 32

PRESENTASI KASUS

TB PARU MILIER TCM (+) LESI LUAS KASUS BARU

Diajukan kepada :
dr. Isep Supriana , Sp.P

Disusun oleh :
dr. Muhammad Faqih Risly Akmal

Pendamping :
dr. Rowin Von Bora
dr. Nindo Haholongan

SMF ILMU PENYAKIT PARU


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA TANJUNG PINANG
KEEPULAUAN RIAU
2020
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

TB PARU MILIER TCM (+) LESI LUAS KASUS BARU

Disusun oleh :
dr. Muhammad Faqih Risly Akmal

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, Februari 2020

Pembimbing,

dr. Isep Supriana, Sp. p

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “TB Paru Milier TCM(+) Kausu
Baru Lesi Luas” untuk memenuhi tugas Dokter Internsip RSUD Tanjung Pinang Kepuluan
Riau
Terima kasih juga kami ucapkan kepada dr. Isep Supriana Sp.P selaku konsulen ilmu
Paru yang telah membimbing dalam mengerjakan laporan kasus ini sehingga dapat
diselesaikan tepat waktu
Dengan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan
pembaca terutama mengenai masalah TB Paru Milier. Penulis menyadari bahwa laporan
kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis harapkan saran dan kritik yang
membangun untuk perbaikan yang akan datang.

Tanjung Pinang, Februari 2020

PENULIS

3
DAFTAR ISI

Lembar pengesahan..........................................................................................2

Kata Pengantar..................................................................................................3

Daftar Isi............................................................................................................4

BAB I Laporan Kasus..................................................................................6

BAB II Tinjauan Pustaka..............................................................................13

BAB III Pembahasan.......................................................................................26

Daftar Pustaka

4
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. RA
Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Jalan Bukit Cermin
Tanggal masuk : 17 JAnuari 20120
No. CM : 2117031

II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 2 minggu sebelum masuk RSUD
kota Tanjung Pinang. Demam dirasakan naik turun. Selama pasien demam pasien
juga merasakan mual dan muntah.
Selain keluhan demam, pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak lebih dari 2
minggu. Batuk muncul terutama saat pagi hari. Dahak berwarna putih, kental, dan
mudah dikeluarkan tidak ada darah. Selain itu, pasien juga mengeluhkan sesak
nafas kdang-kadang, keringat dimalam hari, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, dan badan terasa lemah.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Dua bulan sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan berat badan
menurun, kadang sesak, batuk kering dan gangguan lambung. Pasien mengatasi
sesaknya sendiri dengan minum air hangat. Selain itu, terkadang pasien merasakan
demam yang naik turun menyertai batuk dan sesak. Pasien sering mual dan muntah
setiap kali diberikan makanan.
5
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi dan asma, dulu pasien tidak
mempunyai kebiasaan merokok dan tidak pernah mengkonsumsi OAT.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat OAT : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal

6
III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : tampak sesak
b. Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5 (15)
c. BB : 40 kg
d. TB : 160 cm
e. IMT : 15.6 (underweight)
f. Vital sign
- Tekanan Darah : 120/90 mmHg
- Nadi : 95x/menit
- RR : 26x/menit
- Suhu : 37,4oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata, tidak
rontok
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor Ø 3 mm
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
- discharge (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
- rinorhea (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
7
- bibir kering (+ )
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak, tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-)
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (+)
- Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru kiri
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (+/+), ronki basah halus (-/-)
b) Jantung
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costovertebrae (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrik, undulasi (-)
- Hepar : tidak teraba
- Lien : tidak teraba
9) Ekstrimitas
- Superior : edema (-/-), sianosis (-/-)
- Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-)

8
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium darah 17 Januari 2015
Hb : 11,1gr/dl L Normal : 12 – 16 gr/dl
Leukosit : 15.100 /ul H Normal : 4.800 – 10.800/ul
Hematokrit : 32 % L Normal : 37 % - 47 %
Eritrosit : 4,7 juta/ul N Normal : 4,2 – 5,4 juta/ul
Trombosit : 330.000/ul N Normal: 150.000 - 450.000/ul
MCV : 69 fL L L Normal : 79 - 99 fL
MCH : 24 pg L L Normal : 27 - 31 pg
MCHC : 34 gr/dl N Normal : 33 – 37gr/dl

Kimia Klinik
SGOT : 34 N Normal : 15-37 u/L
SGPT : 19 L Normal : 30-65 u/L
GDS : 125 N Normal : < 200 mg/dl
Ureum : 12 L Normal : 15-39 mg/dl
Kreatinin : 0.4 L Normal : 0.51-0.95 md/dl
HBsAg : Non Reaktif
HIV : Non Reaktif

Mikrobiologi 20 Januari 2020


TCM : MTB DETECTED MEDIUM

9
Foto thoraks

Foto Thorax tanggal 17 januari 2020

Hasil pemeriksaan Foto Thorax


 Foto Asimetris
 Cor tidak Membesar
 Trachea posisi dalam batas normal
 Sinus dan diagfragma dalam keaadaan normal
 Pulmo :
o Hili tidak melebar
o Corakan bronkovaskuler meningkat
o Tampak opasitas retikulo granuler halus difus dikedua lapangan paru

KESAN:
-Sugestive Miliary TB

IV. DIAGNOSIS
1. TB paru milier TCM (+) Lesi luas kasus baru

10
V. PLANNING
1. Diagosis
a. Tes TCM
2. Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i
2) Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
3) Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
4) Inj dexametason /8jam
5) Codein 10mg 3x1 tab PO
6) 4FDC 1x2 tab PO

b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenaipenyebab, penularan,
pengobatan, efek samping obatdan komplikasi dari penyakit TB.
2) Edukasi mengenai kebersihan lingkungan rumah, seperti buka ventilasi
setiap hari agar sinar matahari dan udara masuk juga edukasi untuk selalu
membersihkan rumahnya dan edukasi agar pasien menutup mulut apabila
batuk ataumenggunakan masker, tidak mambuang dahak sembarangan lagi.
3) Makan makanan yang bergizi
4) Screening pada anggota keluarga yang lain apabila ada yang mengalami
gejala yang sama terutama anak kecil dan untuk tindakan pencegahan juga
pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu sampai akhir bulan kedua pengobatan,
selanjutnya tiap 1 bulan mulai bulan ketiga.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
d. Evaluasi radiologi
- Sebelum pengobatan
11
- Pada akhir pengobatan
e. Evaluasi efek samping
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
- Periksa GDS, G2PP, asam urat
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran
f. Evaluasi keteraturan obat

4. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
c. Umur penderita
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TB MILIER
Tuberkolosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan 3 -
7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis milier
merupakan jenis tuberkulosis yang bervariasi mulai dari infeksi kronis, progresif lambat,
hingga penyakit fulminan akut, yang disebabkan penyebaran hematogen atau limfogen
dari bahan kaseosa terinfeksi ke dalam aliran darah dan mengenai banyak organ dengan
tuberkel-tuberkel mirip benih padi (Kartasasmita et al., 2008).
TB milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat penyebaran kuman
M. tuberkolosis dari komples primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2– 6 bulan
pertama setelah infeksi awal. Tuberkulosis Milier adalah suatu bentuk Tuberkulosa paru
dengan terbentuknya granuloma. Granuloma yang merupakan perkembangan penyakit
dengan ukuran kurang lebih sama kelihatan seperti biji ‘milet’ (sejenis gandum),
berdiameter 1-2 mm (WHO, 2006).
TB milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia dibawah 2
tahun, karena imunitas seluler spesifik, fungsi makrofag dan mekanisme lokal pertahanan
parunya belum berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan
menyebar keseluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier dapat juga terjadi pada anak besar dan
remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada
usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman. Berbeda dengan TB dewasa, gejala
TB pada anak seringkali tidak khas dan sulit didapatkan spesimen diagnostik yang
terpercaya. Sehingga diagnosis TB pada anak menggunakan scoring system yang
didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang (Kartasasmita et al, 2008; WHO,
2006).
Diagnosis TB Milier ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan radiologis. Mengacu kepada ketentuan WHO, pengobatan TBC Milier pada
prinsipnya sama dengan pengobatan TBC pada umumnya, yaitu perpaduan dari beberapa
jenis antituberkulosa baik yang bakteriostatik maupun bakterisid. TBC Milier bersama
dengan TBC dengan Meningitis, TBC Pleuritis Eksudatif, TBC Parikarditis Konstriktif,
direkomendasikan untuk mendapat pengobatan dengan OAT kategori I ditambah dengan
kortikosteroid (Starke JR, 2011).
1. Definisi
13
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen sistemik
akibat penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis dari kompleks primer, yang
biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama, setelah infeksi awal. TB milier dapat
mengenai 1 organ (sangat jarang, <5%), namun yang lazim terjadi pada beberapa
organ (seluruh tubuh, >90%), termasuk otak. TB milier klasik diartikan sebagai
kuman basil TB berbentuk millet (padi) ukuran rata-rata 2 mm, lebar 1-5 mm diparu,
terlihat pada Rontgen. Pola ini terlihat pada 1-3 % kasus TB (Kartasasmita et al,
2008; WHO, 2006).

2. Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit tuberkulosis
pada manusia, berupa basil tidak membentuk spora, tidak bergerak, panjang 2-4 nm.
Obligat aerob yang tumbuh dalam media kultur Loweinstein-Jensen, tumbuh baik
pada suhu 37-410C, dinding sel yang kaya lemak menyebabkan tahan terhadap efek
bakterisidal antibodi dan komplemen, tumbuh lambat dengan waktu generasi 12-24
jam (Maltezau et al, 2000).

3. Epidemiologi
Laporan mengenai TB anak jarang di dapatkan. Perkiraan jumlah kasus TB
anak pertahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Angka kejadian TB di Amerika
Serikat dan Kanada mengalami peningkatan pada anak berusia 0-4 tahun (19%),
sedangkan pada usia 5-15 tahun (40%). Angka kejadian TB di Asia Tenggara selama
10 tahun, di perkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta. Penanggulangan
TB Global yang di keluarkan WHO pada tahun 2004, angka kejadian TB pada tahun
2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk). Hasil survey prevalensi
TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif
secara nasional 110 per 100.000 penduduk (Starke, 2011; Rahajoe et al, 2007).
TB milier mirip dengan banyak penyakit, pada beberapa kasus, hampir 50%
kasus tidak dapat didiagnosis semasa hidup. Dari semua pasien TB, 1,5% di
perkirakan merupakan TB milier. Laporan dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) Amerika Serikat, dari tahun 1996 menunjukkan bahwa 257 pasien
(1,2%) dari 21.337 pasien TB adalah TB milier. Insiden TB milier lebih tinggi pada
orang Afrika Amerika di Amerika Serikat karena pengaruh faktor sosial ekonomi,
laki-laki lebih tinggi insidennya dari wanita. Pada beberapa kasus di temukan bahwa

14
kulit hitam lebih tinggi insidennya di bandingkan kulit putih karena pengaruh sosial
ekonomi (Kartasasmita et al, 2008).

Gambar 1. Insidens TB didunia (WHO, 2004)

Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia
< 2 tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal
pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga kuman TB mudah
berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier juga dapat terjadi pada
anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak
adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman (Kartasasmita et
al, 2008).
Terjadinya TB milier di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah dan virulensi
kuman Mycobacterium tuberculosis dan status imunologis pasien (non spesifik dan
spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat memudahkan
timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili, pertusis,
diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan penyakit adalah faktor
lingkungan, yaitu kurangnya sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara,
asap rokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosial ekonomi (Starke, 2011).

15
Jumlah penderita TB milier di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM pada
periode tahun Januari 2000 - Desember 2001 yang di diagnosis berdasarkan
gambaran klinis dan foto thorak adalah 19 pasien, laki-laki 11 pasien dan perempuan
8 pasien dengan rentang usia 2,5-11 bulan, terbanyak berusia 1-6 bulan. Sedangkan
di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.M.Djamil pada tahun 2006-2007 di
dapatkan dari 27 pasien TB yang di rawat, di temukan 2 pasien (7%) dengan TB
milier (Kartasasmita et al, 2008).

4. Patogenesis
Paru merupakan port d´entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran kuman
TB sangat kecil (<5µm), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik (droplet
nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar di hancurkan. Sebagian
kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam
makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB
membentuk lesi di tempat tersebut, yang di namakan fokus primer Ghon. Penyebaran
selanjutnya, kuman TB dari fokus primer Ghon menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara
fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis di namakan kompleks primer (primary
complex). Waktu yang di perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama
masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Penyebaran hematogen secara langsung bisa juga terjadi, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh (gambar 2)
((Kartasasmita et al, 2008; WHO, 2006).

16
Pada TB milier penyebaran hematogennya adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread) dengan kuman yang besar.
Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalanannya di dalam pembuluh
darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat tersebut.
Semua tuberkel yang di hasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai
butir padi-padian (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning
berukuran 1-3 mm , sedangkan secara histologik merupakan granuloma. Tuberkulosis
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
anak dibawah 5 tahun (balita) , terutama dibawah 2 tahun (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease, 2003; Grossman, 1997; Schlesinger, 2004).

Gambar TB
2. Bagan Patogenesis Tuberkulosis (Rahajoe et al., 2007)
5. Imunopatogenesis
Setelah terinhalasi di paru, kuman TB mempunyai beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, respon imun awal pejamu secara efektif membunuh semua
kuman TB, sehingga TB tidak terjadi. Kedua, segera setelah infeksi terjadi
multiplikasi, pertumbuhan kuman TB dan muncul manifestasi klinis, yang dikenal
sebagai TB primer. Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi infeksi laten
dengan uji tuberkulin positif sebagai satu-satunya manifestasi. Keempat, kuman TB
laten tumbuh dan muncul manifestasi klinis, disebut sebagai reaktivasi TB (TB pasca-
primer) (Kartasasmita et al, 2008).

17
Pada infeksi TB terjadi respon imunologi berupa imunitas seluler dan
hipersensitivitas tipe lambat.Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limposit-T
CD4+ dan memproduksi sitokin lokal. Sebagai respon terhadap antigen yang

dikeluarkan M. TB limposit-T CD4+ mempengaruhi limposit-T Th1 untuk

mengaktifkan makrofag dan limposit-T Th2 untuk memproduksi sitokin lokal TNF α
dan INF γ. Sitokin ini akan menarik monosit darah ke lesi TB dan mengaktifkannya.
Monosit aktif atau makrofag dan limposit-T CD 4+ memproduksi enzim lisosom,
oksigen radikal, nitrogen intermediate khususnya nitrogen oksida dan Interleukin-12.
Nitrogen oksida ini selanjutnya diaktifkan oleh TNF α dan INF γ untuk menghambat
pertumbuhan dan membunuh M. TB yang virulen.Peran imunitas seluler
mengaktifkan makrofag dan menghancurkan basil terutama pada jumlah basil yang
sedikit. Kemampuan membunuh M. TB juga bergantung pada jumlah makrofag
setempat yang aktif (Ardiana et al., 2002; Kenyorini, 2010).

Gambar 3. Hipersensitifitas tipe IV (Kenyorini, 2010).

Hipersensitifitas tipe lambat merupakan bagian dari respon imun seluler, yaitu
terjadinya peningkatan aktifitas limposit-T CD 4+ dan limposit-T CD8+ sitotoksik
serta sel pembunuh yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan sekitar dan
perkijuan. Hipersensitifitas tipe lambat dapat mengisolasi lesi aktif, menyebabkan M.
TB menjadi dorman, kerusakan jaringan, fibrosis dan jaringan parut. Proses ini dapat
merugikan tubuh, dimana M. TB dapat keluar dari bagian pinggir daerah nekrosis dan
membentuk hipersensitifitas tipe lambat kemudian difagositosis oleh makrofag

18
setempat. Apabila makrofag belum diaktifkan oleh imunitas seluler, maka M. TB
dapat tumbuh dalam makrofag sampai hipersensitifitas tipe lambat merusak makrofag
dan menambah daerah nekrosis.Saat itu imunitas seluler menstimulasi makrofag
setempat untuk membunuh basil dan mencegah perkembangan
penyakit.Hipersensitifitas tipe lambat lebih berperan pada jumlah basil yang banyak
dan menyebabkan nekrosis jaringan..Apabila M. TB masuk ke dalam aliran limfe atau
darah biasanya akan dihancurkan di tempat yang baru dengan terbentuknya tuberkel.
Adanya reseptor spesifik terhadap antigen yang dihasilkan M. TB pada limposit-T di
darah dan jaringan limfe, menyebabkan pengumpulan dan aktivasi makrofag lebih
cepat dan destruksi M. TB. Tuberkel yang terjadi tetap kecil dengan perkijuan yang
minimal, cepat sembuh dan tidak diikuti oleh terjadinya penyebaran hematogen atau
limfogen ke jaringan lain (kenyorini et al., 2010; Rogelio Hernández et al., 2007).

Gambar 4.Respon imunologis pada infeksi Mycobacterium tuberculosis (Rogelio


Hernández et al., 2007).

6. Manifestasi klinis dan Penegakkan Diagnosis


Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada banyaknya
kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering di jumpai adalah keluhan
kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya anoreksia dan BB turun
atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa demam), demam lama dengan
penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak nafas. TB milier juga dapat di awali
dengan serangan akut berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent),

19
pasien tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda respiratorik
belum ada. Lebih kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial, splenomegali, dan
hepatomegali akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah
tinggi dan berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai gejala respiratorik atau
disertai gejala minimal, dan foto toraks biasanya masih normal. Gejala klinis biasanya
timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak
nafas di sertai ronki atau mengi (Kartasasmita et al, 2008; WHO, 2006). Anemia bisa
terjadi baik akibat penyakit kronik ataupun defisiensi besi. Anemia penyakit kronis
sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran
penurunan besi serum, namun TIBC (Total Iron Binding Capacity) pada anemia
defisiensi besi meningkat.Rendahnya besi pada anemia penyakit kronis disebabkan
aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan
penurunan saturasi transferin pada anemia defisiensi besi diakibatkan oleh degradasi
transferin yang meningkat.16 Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO
adalah : (1) kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, (2) Konsentrasi
hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai normal:32%-35%), (3) Kadar fe serum
<50µg/dL (nilai normal:80-180µg/dL), dan (4) Saturasi transferin <15% (nilai
normal:20%-25%). Cara lain untuk menentukan anemia defisiensi besi dapat juga
dilakukan uji percobaan pemberian preparat besi dosis 3-6 mg/kgBB/hari dalam 2-3
dosis selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dL maka dapat
dipastikan bahwa penyebabnya adalah anemia defisiensi besi (Gunadi et al., 2009).
Gejala lain yang dapat di temukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid,
papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid di temukan pada 13-87%
pasien, dan jika di temukan dini dapat menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat
membantu diagnosis TB milier, sehingga pada TB milier perlu di lakukan funduskopi
untuk menemukan tuberkel koroid (Ardiana et al, 2002).
Lesi milier dapat terlihat pada foto thorak dalam waktu 2-3 minggu setelah
penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa
tuberkel halus (millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan bentuk
yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm). Lesi-lesi kecil dapat bergabung
membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat yang luas.
Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, pada foto thorak dapat di lihat lesi
yang tidak teratur seperti kepingan salju (WHO, 2006; Rogelio Hernández et al.,
2007).
20
Manifestasi klinis TB milier tidak spesifik. Kriteria diagnosis TB milier adalah
a. Presentasi klinis sesuai dengan diagnosis tuberkulosis seperti demam dengan
peningkatan suhu di malam hari, penurunan berat badan, anoreksia, takikardi,
keringat malam menetap setelah pemberian antituberkulosis selama 6 minggu.
b. Foto toraks menunjukkan gambaran klasik pola milier.
c. Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang bayangan
milier yang dapat dilihat pada foto toraks maupun HRCT.
d. Bukti mikrobiologi dan atau histopatologi menunjukkan adanya tuberkulosis
(Kementrian Kesehatan RI, 2013)

Untuk penegakkan diagnosis TB secara umum, diperlukan skema langkah


penegakkan diagnosis seperti di bawah ini

Gambar Skema Alur Penegakkan Diagnosis TB pada Orang Dewasa (Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia, 2006)

21
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah
Tidak ada perubahan hematologi yang spesifik pada TBC Milier. Laju
endap darah tidak informatif. Anemia biasanya ringan, namun pada kasus lama
dan berat mungkin dijumpai anemia berat. Sering ditemui lekopeni, kadang-
kadang lekositosis dan monositosis. Dalam pemeriksaan sumsum tulang
didapatkan tuberkel-tuberkel dan gambaran darah tepi dapat menyerupai leukemia
berupa leukositosis dan lekosit-lekosit muda, anemia leukoeritroblastik berupa
lekosit muda dan normoblas. Kadang-kadang terdapat gambaran hematologik
anemia aplastik berupa pansitopenia (Rahajoe et al, 2007).
b. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran patologik pada pemeriksaan radiologi tidak selalu dijumpai
pada kasus TBC Milier. Pada gambaran foto toraks tipikal kemungkinan juga
tidak ditemukan adanya manifestasi klinis spesifik sebelum mencapai stadium
lanjut.Oleh karenanya gambaran radiologi normal belum pasti menyingkirkan
diagnosa TBC Milier. Gambaran normal radiologi mungkin disebabkan oleh :
1. fokus di paru memecah ke cabang vena, yang menyebabkan tidak terjadinya
infiltrat di paru.
2. ukuran infiltrat yang sangat kecil.
3. atau karena pemeriksaan dilakukan pada fase dini dari penyakit.
Dalam hal demikian sebaiknya pemeriksaan diulang setelah 1-4 minggu.
Gambaran klasik Rongent foto dari TBC Milier adalah gambaran badai
salju (snow storm appearance). Infiltrat-infiltrat yang halus berukuran beberapa
milimeter, tersebar di kedua lapangan pandang paru. Lesi milier dapat terlihat
pada rontgen paru dalam waktu 2 - 3 minggu setelah penyebaran kuman secara
hematogen. Gambarannya sangat khas, berupa tuberkel halus (millii) yang
tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran
yang hamper seragam ( 1-3 mm ). Lesi kecil dapat bergabung membentuk lesi
yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1-2
minggu setelah timbulnya penyakit, lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju
dapat dilihat pada rontgen paru. Disamping itu dapat ditemukan pula efusi pleura,
penebalan pleura dan kavitasi (Rahajoe et al, 2007).

22
8. Penatalaksanaan
a. Rawat Inap
b. Pemberian oksigenasi
c. Pengobatan TB Milier dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) Kategori I dan kortikosteroid.
OAT Kategori I, terdiri dari :
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid
(H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Dosis obat :
a. Isoniasid (H)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pengobatan. Dosis harian : 5 mg/kg BB, dosis intermiten 3 x / minggu : 10 mg/kg
BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang tidak bisa dibunuh oleh
Isoniasid. Dosis harian dan dosis intermiten sama, yaitu : 10 mg/kg BB.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana
asam. Dosis harian : 25 mg/kg BB, dosis intermiten 35 mg/kg BB.
d. Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, dosis harian : 15 mg/kg BB, dosis intermiten : 30 mg/kg
BB.
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid (prednison) biasanya diberikan dengan dosis 2
mg/kgBB/hari selama 4 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (tappering off)
selama 2-6 minggu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006; Starke, 2011).

9. Prognosis
Prognosa kesembuhan TBC Milier, setelah ditemukannya obat anti TBC
mengalami perbaikan yang signifikan, kecuali bila ada komplikasi meningitis, serta
keterlambatan dan tidak teratur dalam berobat. Respon TBC Milier terhadap

23
antituberkulosis baik.Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi.
Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis,
yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal
pengobatan, misalnya penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya demam,
hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Evaluasi radiologis pada
pasien TB milier perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan.
Gambaran milier pada foto toraks biasanya menghilang dalam 1 bulan, kadang-
kadang berangsur menghilang dalam 5-10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada
perbaikan hingga beberapa bulan (Rahajoe et al., 2007; Kartasasmita, 2008)

24
BAB III
PEMBAHASAN

Dasar diagnosis pada pasien ini adalah:


1. Anamnesis
a. Hasil anamnesa pasien menunjukan adanya gejala lokal atau gejala respiratorik dan
gejala sistemik TB yaitu :
Gejala respiratorik :
1). Batuk ≥ 2 minggu
2). Sesak nafas
Gejala sistemik
1). Demam
2). Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun,mual, muntah

b. Kriteria diagnosis TB milier menurut pedoman nasional pelayanan kedokteran


tatalaksana tuberculosis (Kementerian Kesehatan RI, 2013) antara lain:
1). Presentasi klinis sesuai dengan diagnosis tuberkulosis seperti demam
dengan peningkatan suhu di malam hari, penurunan berat badan, anoreksia, takika
rdi, keringat malam menetap setelah pemberian antituberkulosis selama 6 minggu.
2). Foto toraks menunjukkan gambaran klasik pola milier 
3). Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang bayangan
milier yang dapat dilihat pada foto toraks maupun HRCT
4). Bukti mikrobiologi dan atau histopatologi menunjukkan tuberkulosis

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5 (15)
BB : 40 kg
TB : 160 cm
IMT : 13,78 (underweight)
Vital sign
- Tekanan Darah : 120/90 mmHg
- Nadi : 194x/menit
25
- RR : 26x/menit
- Suhu : 37,4oC
b. Mulut
- Bibir kering (+ )
c. Dada
Paru
- Inspeksi : Retraksi epigastrik (+)
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (+/+), ronki basah halus (-/-)

3. Pemeriksaan penunjang
b. Laboratorium darah 17 Januari 2020
Hb : 11,1gr/dl L Normal : 12 – 16 gr/dl
Leukosit : 15.100 /ul H Normal : 4.800 – 10.800/ul
Hematokrit : 32 % L Normal : 37 % - 47 %
Eritrosit : 4,7 juta/ul N Normal : 4,2 – 5,4 juta/ul
Trombosit : 330.000/ul N Normal: 150.000 - 450.000/ul
MCV : 69 fL L L Normal : 79 - 99 fL
MCH : 24 pg L L Normal : 27 - 31 pg
MCHC : 34 gr/dl N Normal : 33 – 37gr/dl

Kimia Klinik
SGOT : 34 N Normal : 15-37 u/L
SGPT : 19 L Normal : 30-65 u/L
GDS : 125 N Normal : < 200 mg/dl
Ureum : 12 L Normal : 15-39 mg/dl
Kreatinin : 0.4 L Normal : 0.51-0.95 md/dl

Mikrobiologi
HBsAg : Non Reaktif
HIV : Non Reaktif

Mikrobiologi 20 Januari 2020


TCM : MTB DETECTED MEDIUM
26
Leukositosis 15.100 menunjukan adanya infeksi bakteri akut. Pasien
mendapatkan infeksi pneumonia diluar lingkungan rumah sakit, sehingga disebut
Community Acquired Pneumonia (CAP).

a. Foto thoraks

KESAN : Sugestive TB Milier

3. Penatalaksanaan
Pada pasien ini terapi yang dapat diberikan adalah terapi farmakologi dan non
farmakologi.
Panduan penatalaksaan TB milier yang direkomendasikan oleh PDPI adalah :
a. Rawat Inap
b. Pemberian oksigenasi
c. Pengobatan TB Milier dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
Kategori I dan kortikosteroid.
OAT Kategori I, terdiri dari :
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid
(H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).

Dosis obat :
a. Isoniasid (H)

27
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pengobatan. Dosis harian : 5 mg/kg BB, dosis intermiten 3 x / minggu : 10 mg/kg
BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang tidak bisa dibunuh oleh
Isoniasid. Dosis harian dan dosis intermiten sama, yaitu : 10 mg/kg BB.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana
asam. Dosis harian : 25 mg/kg BB, dosis intermiten 35 mg/kg BB.
d. Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, dosis harian : 15 mg/kg BB, dosis intermiten : 30 mg/kg
BB.
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dilakukan dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan
dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
d. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi, dan evaluas
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai dengan 7bulan
2RHZE/ 7 RH

a. Terapi utama penumonia adalah pemberian antibiotik. Pemberian tersebut bertujuan


sebagai terapi kausal untuk membunuh kuman penyebab pneumonia tersebut. Terapi
yang diberikan pada pasien ini adalah antibiotik spektrum luas yaitu injeksi ceftriaxon
bertujuan untuk membunuh kuman yang mengakibatkan infeksi saluran nafas dan
minim efek samping. Cefriaxon diganti dengan cefixime pada hari kelima sebagai
bakterisidal terhadap pneumonia.
b. Inj. Omeprazole 40mg/12 jam diberikan untuk mengatasi mual yang kemungkinan
dapat disebabkan oleh salah satu OAT

28
c. Codein 10mg 3x1 PO diberikan karena pasien ada batuk berdahak.codein mempunyai
mekanisme analgesic opioid yang dapat meringankan gejala batuk.
d. 4-FDC PO pada pasien ini karena baru memasuki fase intensive dari pengobatan TB
maka untuk OAT yang diberikan berupa FDC (fix Drug Combination) yang berisi
Rifampisin 150 mg, INH 75 mg, pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275 mg
e. Disamping digunakan untuk diagnosis pemeriksaan dahak bermanfaat untuk
monitoring pengobatan TB. Untuk monitoring pengobatan, WHO merekomendasikan
pemeriksaan pada akhir Intensif fase (bulan ke-2) pada pasien kasus baru baik pada
inisial pengobatan mempunyai hasil BTA +, atau (-) bahkan yang tidak dilakukan
pemeriksaan awal sama sekali serta dilakukan ulangan lagi pada bulan ke-5 dan ke-6
(akhir pengobatan). Khusus pada pasien TB paru yang diawal pengobatan tidak
dilakukan pemeriksaan sputum maka jika hasil pemeriksaan pada bulan ke-2
menunjukan hasil negative maka pengobatan tetap dilanjutkan tetapi tidak dilakukan
pengulangan pemeriksaan sputum pada bulan ke-5 atau akhir pengobatan dan
monitoringnya dilakukan secara klinis serta dapat menggunakan peningkatan berat
badan sebagai salah satu prediktor (WHO, 2008)
f. Non Farmakologi
1). Edukasi tentang penyakit, faktor risiko, pengobatan dan komplikasi penyakit.
Diberikan edukasi terutama mengenai TB dan komplikasinya. Selain itu diberikan
edukasi mengenai faktor resiko seperti ventilasi udara yang kurang, kebersihan
lingkungan rumah yang kurang serta pola hidup sehat.Selain itu, edukasi
mengenai pentingnya minum obat secara teratur

2). Mengindari pajanan asap rokok dan berhenti merokok.


Sebagai edukasi ke pasien mengenai faktor yang dapat memperburuk masalah
yang terdapat di paru-paru pasien.
3). Keseimbangan nutrisi antara karbohidrat, protein, lemak yang diberikan dalam
porsi kecil tapi sering.
Karena pasien mengalami penurunan berat badan yang drastic dalam waktu dua
bulan sebanyak 10 kilogram, maka keseimbangan nutrisi maupun intake nutrisi
yang masuk harus disesuaikan.
4). Edukasi keluarga dengan menyarankan anggota keluarga untuk tes dahak

29
BAB IV
KESIMPULAN

1. Penegakkan diagnosis tuberkulosis paru mencakup dari anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tidak cukup hanya menggunakan
foto thorax saja, akan tetapi membutuhkan pemeriksaaan sputum sewaktu-pagi-sewaktu.
2. Pada kasus TB paru milier BTA (+) lesi luas kasusbaru, diberikan OAT kategori 1 yaitu
dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Kategori I dan
kortikosteroid.
OAT Kategori I, terdiri dari :
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid
(H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Pemberian kortikosteroid dilakukan dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan
dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
3. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang sputum dilakukan pada akhir tahap intensif,
sebulan sebelum pengobatan terakhir, dan akhir pengobatan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja ES. Skrofuloderma pada Dada. Disampaikan pada


Pertemuan Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin XIV. Surabaya. 1 April, 2002.
2. Bartlett JG, Breiman RF, Mandell LA, File TM Jr: Community Acquired Pneumonia in
adults: Guidelines for management. Clin Infect Dis 26:811-838, 1998
3. Centers for Disease Control and Prevention : Premature deaths, monthly mortality and
monthly physician contacs-United States. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 46:556, 1997.
4. Crofton J, Douglas A. Pneumonia. In: Respiratory disease. Singapore: PG Publ Pte Ltd,
165, 1983.
5. Cunha BA, Gingrich D, Rosenbaum GS. Pneumonia syndromes: a clinical approach in
the olderly. Geriatrics, 45-49, 1990.
6. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume two, United States,
119:2097-2114, 2008.
7. Gleckman RA, Bergman MH. Bacterial pneumonia: specific diagnosis and treatment of
the elderly. Geriatrics 1987; 42: 29.
8. Grossman M. Tuberculosis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD,
penyunting. Buku ajar Pediatri Rudolph. Edisi ke-20. EGC;1997.h.687-97.
9. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan suplementasi besi pada anak. Sari Pediatri
2009;11(3):207-11.
10. Harris GD, Johanson WG. Pathogenesis of bacterial pneumonia. In: Guenter CA, Welch
MG. ed. Pulmonary medicine. Second ed. Philadelphia: lB Lippincott Co. 347, 1982.
11. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Diagnostic ATLAS of
intrathoracic tuberculosis in children. Paris;2003.
12. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta. IDAI;2008.h.162-
261.
13. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia
2010;3(2):1-5.Maltezau HO, Spyridis P, Kafetzis DA. Extra-pulmonary tuberculosis in
children. Arch Dis Child. 2000;83:342-46.
14. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
15. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia
2010;3(2):1-5.
31
16. Kiss TG. Infections of the lung parenchyma. In: Diagnosis and management of
pulmonary disease in primary practice. Sydney: Addison-Wesley Pubi Co. 122, 1982.
17. Niederman MS, Sarosi GA. Respiratory infection. In: George RB, Light RW, Matthay
MA, 2nd eds. Chest medicine essentials of pulmonary and critical care medicine.
Baltimore: Williams & Wilkins, 307, 1990.
18. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
19. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis
anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI;2007.
20. Rogelio Hernández-Pando, Rommel Chacón-Salinas, Jeanet Serafín-López, and Iris
Estrada. Immunology, pathogenesis, virulence. In: tuberculosis 2007 from basic science
to patient care. 2007:157-205. Diunduh dari www.tuberculosistextbook.com.
21. Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB, penyunting.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia; Saunders;2011.h.960-71.
22. Stein D. Managing pneumonia acquired in nursing homes: special concerns. Geriatrics
42: 81-90, 1987.
23. Schlesinger LS. Phagositosis and toll-like receptors in tuberculosis. Dalam: Rom W,
Garay SM, Levitzky, penyunting. Pulmonary pathophysiology. Edisi ke-5. Volume
I;2004.
24. Ven Katesen Pet al. A hospital study of community acquired pneumonia in the elderly.
Thorax, 5: 254, 1990.
25. WHO. Anti tuberculosis treatment in children. Dalam: Guidance for national tuberculosis
programmes on the management of tuberculosis in children. Geneva: World Health
Organization;2006;1205-11.

32

Anda mungkin juga menyukai