Anda di halaman 1dari 46

CASE BASED DISCUSSION (CBD)

KOLELITIASIS

Dokter Pendidik Klinis:

dr. Arief Setiaji, Sp. PD

Disusun Oleh:

Syifa Aulia Sanad

2013020019

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOESELO SLAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2023

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

BAB I ...................................................................................................................... 1

LAPORAN KASUS ................................................................................................ 1

A. IDENTITAS PASIEN .................................................................................. 1

B. ANAMNESIS .............................................................................................. 1

C. PEMERIKSAAN FISIK .............................................................................. 3

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG ................................................................. 5

E. DIAGNOSIS ................................................................................................ 6

F. PENATALAKSANAAN ............................................................................. 7

G. PROBLEM LIST ......................................................................................... 8

H. PROGNOSIS.............................................................................................. 11

BAB II ................................................................................................................... 12

TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 12

A. KOLELITIASIS ......................................................................................... 12

BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

i
BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Tanggal lahir : 07-07-1999
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pegawai Kantor
Alamat : Kalisapu, RT 05/ RW 5
No. CM : 552***
Ruang : Mawar 1
DPJP : dr. Arief Setiaji, Sp.PD
Tanggal masuk RS : Senin, 21 November 2022
Tanggal periksa : Rabu, 23 November 2022
B. Anamnesis

Di lakukan anamnesis pada hari Rabu, 23 November 2022 di ruang


Dahlia

a. Keluhan Utama : Nyeri ulu hati sejak 5 hari SMRS

b. RPS

Pasien datang ke IGD RSUD Seoselo pada hari Senin (21 November
2022) dengan keluhan nyeri pada ulu hati sejak 5 hari SMRS. Nyeri
dirasakan hilang timbul dan berlangsung sekitar sekitar 30 menit.
Nyeri dirasakan seperti terpelintir dan terlilit sehingga mengganggu
aktivitasnya. Nyeri dirasakan biasanya ketika sesudah makan dan
hilang dengan sendiri. Keluhan lain pasien merasakan mata kuning,
sesak nafas, mual, nafsu makan berkurang, BAK berwarna seperti
teh, BAB dalam batas normal, dan nafsu makan berkurang.

1
c. RPD

• Riwayat Hipertensi (-)

• Riwayat Penyakit Hati (-)

• Riwayat DM (-)

• Riwayat Jantung (-)

• Riwayat Asma (-)

• Riwayat Pengobatan TB paru (-)

d. RPK

• Riwayat Hipertensi (+) Ibu pasien

• Riwayat DM (-)

• Riwayat Jantung (-)

• Riwayat Asma (-)

• Riwayat Pengobatan TB paru (-)

e. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi

Pasien memiliki kebiasaan merokok 6 batang per harinya dan suka


makan-makanan siap saji dan pedas. Pasien merupakan peminum
alkohol. Pasien berobat menggunakan BPJS

2
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis (E4/V5/M6)
3. Tanda-Tanda Vital
a. Tekanan darah : 126/74 mmHg tidur, manset dilengan
kiri, large adult cuff
b. Nadi : 79 kali/menit irama regular, isi dan
tekanan cukup
c. Frekuensi Pernafasan : 20 kali/menit irama regular
d. Temperatur : 36,6° C
e. SpO2 : 98%

4. Status Gizi
a. Tinggi Badan : 160 cm
b. Berat Badan : 70 kg
c. IMT : 27,34 (Obesitas)
5. Status Generalisata

a. Kepala
1) Inspeksi
a) Rambut : Warna rambut hitam,distribusi rambut
merata, dan tidak mudah dicabut
b) Mata : Konjungtiva palpebrae tampak pucat (-/-),
sklera ikterik(+/+), edema palpebral (-/-)
c) Telinga : Normotia, serumen (-)
d) Hidung : Deformitas (-), sekret (-), darah (-)
e) Mulut : hipertrofi gingival (-), atrofi papil lidah (-),
perdarahan gusi (-), oedema pada bibir (-),
bibir sianosis (-)
b. Leher
Inspeksi : Pembesaran tiroid (-), limfenodi (-)

3
Palpasi : Pembesaran limfenodi (-), pembesaran tiroid (-)
JVP : Tidak meningkat
c. Thoraks
1) Pulmo
Pulmo Anterior:

• Inspeksi :Bentuk normal, Pengembangan dada


simetris pada saat statis dan dinamiskelainan
kulit (-), retraksi dinding dada (-/-)
• Palpasi : Vocal fremitus (+/+)
• Perkusi : Sonor pada lapang paru (+/+)
• Auskultasi: SDV (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-), Wheezing
(-/-)

Pulmo Posterior:

• Inspeksi : Bentuk normal, Pengembangan dada


simetris pada saat statis dan dinamis,
kelainan kulit (-), retraksi dinding dada (-/-)
• Palpasi : Vocal fremitus (+/+)
• Perkusi : Sonor pada lapang paru (+/+)
• Auskultasi : SDV (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-),
Wheezing (-/-)

4
2) Cor
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea
midclavikula sinistra
• Perkusi :
• Batas kanan jantung di SIC IV linea
parasternasternal dextra
• Batas atas jantung di SIC II linea parasternasternal
sinistra
• Batas kiri jantung di SIC V linea midclacicula
sinistra
• Auskultasi: S1=S2 reguler, Gallop (-) Murmur (-)

d. Abdomen
• Inspeksi : cembung, striae (-), venektasi (-)
• Auskultasi : Bising usus normal (15 x/menit)
• Perkusi : timpani, Pekak alih (-)
• Palpasi : Nyeri tekan (+), hepatomegali (-),
splenomegali (-)
e. Ginjal : Ballotement (-/-), Flank Test (-/-)
f. Ekstremitas :
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-

5
D. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hasil satuan nilai normal


hematologi

leukosit 10.1 103/ul 4.5-13.0


eritrosit 4.8 106/ul 3.80-5.20
hemoglobin 15.1 g/dL 12.8-16.6
hematokrit 49 % 40-52
mcv 90 fL 80-100
mch 32 Pg 26-34

mchc 35 g/dL 32-36


trombosit 281 103/ul 150-400

diff count
eosinofil 2.90 % 2.00-4.00
basofil 0.40 % 0-1
netrofil 82.30 (H) % 50-70

limfosit 8.60 (L) % 26-40

monosit 5.90 % 2-8


netrofil limfosit 9.57 (H) % <3.13
ratio
mpv 811.0 fL 7.2-11.1

RDW-SD 39.7 fL 35.1-43.9


RDW-CV 12.1 % 11.5 – 14.5

6
Pemeriksaan hasil satuan nilai normal

kimia klinik
SGOT 206 (H) U/L 13-33

SGPT 488 (H) U/L 6.0-30

Ureum 10.0 (L) mg/dL 17.1 – 42.8

Kreatinin 0.82 mg/dL 0.40 – 1.00

Billirubin total 10,07 (H) Mg/dl <1.1

Billirubin Direk 8,97 (H) Mg/dl <0.3

Bilirubin indirek 1.10 (H) Mg/dl <0.75

Sero Imunologi
HBsAG Stik Non reaktif Non reaktif
Anti HCV Non reaktif Non reaktif
IgM Anti HAV Non reaktif Non reaktif

7
2. Pemeriksaan USG Abdomen

• Hepar :Ukuran normal, sudut tajam, tepi reguler, intensitas


echoparenkim menurun disertai periportal edema dengan
gambaran Starry Sky Appearance, IHBD/EHBD normal, tak
tampak nodul/kista/massa
• GB :Ukuran normal, dinding tidak menebal, tampak multiple batu
dengan ukuran terbesar 1,28 cm, tak tampak dilatasi CBD
• Lien :Ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, tak
tampak kista/massa
• Pankreas :Intensitas echoparenkim normal, tak tampak
nodul/kista/massa, tak tampak dilatasi ductus pankreatikus
• Ren Dextra: Ukuran Normal , intensitas echoparenkim normal, batas
sinus-korteks tegas, tak tampak ectasis PCS, tak tampak
batu/kista/massa
• Ren sinistra: Ukuran normak, intensitas echoparenkim normal, batas sinus

8
korteks tegas, tak tampak ectasis PCS, tak tampak batu/kista/massa
• Bladder : Terisi cukup urin, dinding tidak menebal, tak tampak massa/batu
• Prostat :Ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, tak tampak
massa/klasifikasi
• Tak tampak intensitas echa cairan di cavum pleura dextra sinistra dan cavum
abdomen

Kesimpulan:
1) Menyokong Gambaran Hepatitis Akut
2) Multiple Cholelithiasis (Ukuran terbesar 1,28 cm)
3) Lien/Pancreas/Ren/Bladder/ Prostat tak tampak kelainan

E. Diagnosis
1. Daftar abnormalitas
• Anamnesis:
a. Nyeri ulu hati sejak 5 hari SMRS
b. Nyeri dirasakan hilang timbul dan berlangsung sekitar sekitar 30
menit
c. Nyeri seperti terpelintir dan terlilit, mengganggu aktivitasnya
d. Nyeri dirasakan biasanya ketika sesudah makan dan hilang
dengan sendiri
e. Mata kuning, sesak nafas, mual, nafsu makan berkurang, BAK
berwarna seperti teh, BAB dalam batas normal, dan nafsu makan
berkurang
f. RPK: Riwayat Hipertensi (+) ibu pasien
g. RPSOSK: Pasien memiliki kebiasaan merokok 6 batang per
harinya dan suka makan-makanan siap saji dan pedas. Pasien
merupakan peminum alkohol.

9
• Pemeriksaan fisik:
a. Mata: Sklera Ikterik (+/+)
b. Abdomen: Nyeri tekan (+/+)

• Pemeriksaan Penunjang
a. Neutrofil: 82.30 (H)
b. Limfosit : 8.60 % (L)
c. Neutrofilm limfosit ratio: 9.57 (H)
d. Ureum : 10.0 mg/dL (H)
e. SGOT : 206 (H)
f. SGPT : 488 (H)
g. Bilirubin total : 10.07 (H)
h. Bilirubin Direk: 8.97 (H)
i. Bilirubin Indirek: 1.10 (H)

2. Diagnosis kerja

Kolelitiasis
F. PENATALAKSANAAN

1. Terapi IGD
a. Inf. RL 12 tpm
b. Inj. OMZ 2 x 40 mg
c. Inj. Ondansentron 3 x 4
d. PO. Sucralfat 3 x 1
e. PO. Curcuma 3 x1
2. Terapi bangsal
a. Inf. NaCl 0,9% 12 tpm
b. Inj. Livola 3 x 2 amp
c. Inj. OMZ 2 x 1
d. Inj. Ondansentron 3 x 4
e. PO. Curcuma 3 x1
f. PO. Sistenol 3 x 1

10
g. PO. Donperidone 3 x 1
h. PO. asam ursodeoksikolat 2 x 1

G. PROBLEM LIST

1. Kolelitiasis

a. Assesment:

1) Etiologi

2) Faktor risiko

3) Komplikasi

b. Initial Planning Diagnosis (IPDx)

1) Laboratorium (darah lengkap, kimia klinik, elektrolit)

2) USG Abdomen

3) Foto Polos Abdomen

4) Kolesitografi

c. Initial Planning Monitoring (IPMx)

1) Keadaan Umum

2) TTV

3) Evaluasi Ikterik

d. Initial Planning Therapy (IPTx)

1) Inf. RL 12 tpm

2) PO. asam ursodeoksikolat 2 x 1

3) Inj. OMZ 2 x 1

4) Inj, Ketorolac

5) Kolesistektomi

11
e. Edukasi

1) Edukasi tentang penyakit, pengobatan, perjalanan penyakit dan


komplikasi

2) Tidak konsumsi alkohol

3) Ketaatan pengobatan

4) Mengatur berat badan ideal

H. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia Ad Bonam

Ad Fungsionam : Dubia Ad Bonam

Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. KOLELITIASIS
A. Anatomi Kantung Empedu
Kandung empedu (vesikafelea) adalah kantung berbentuk seperti
buah pir yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Lapisan
peritoneum yang sama yang menutupi hati juga menutupi fundus dan
permukaan inferior kandung empedu. Panjang kanduKng empedu sekitar
7-10 cm dengan kapasitas rerata yaitu 30-50 ml . Fungsi utama kandung
empedu yaitu sebagai tempat mengonsentrasikan dan menyimpan
empedu yang diproduksi dari hati sampai dilepaskan ke dalam usus.
Fungsi empedu dikendalikan oleh enzim cholecystokinin pancreozymin
(CCK-PZ) yang dilepaskan dari mukosa usus halus karena adanya
rangsangan makanan yang masuk kedalam usus. CCK akan merangsang
kandung empedu untuk berkontraksi dan mengeluarkan cairan empedu
yang selanjutnya akan digunakan untuk membantu melarutkan lemak
didalam usus.

Gambar 2.1 Anatomi Kantung Empedu

13
Secara anatomis, kandung empedu terbagi menjadi corpus, fundus
dan leher yang terdiri atas tiga pembungkus yaitu serosa peritoneal di
bagian luar, jaringan otot tak bergaris di bagian tengah serta membran
mukosa di bagian dalam yang kemudian bersambung dengan lapisan
saluran empedu. Membran mukosa tersebut memuat sel epitel silindris
yang mengeluarkan secret musin dan cepat mengabsorbsi air dan elektrolit,
tetapi tidak dengan garam atau pigemen, hal inilah yang membuat empedu
menjadi pekat. Ketika terjadi obstruksi, kandung empedu dapat
mengembang dengan daya tampung hingga lebih dari 300 mL.

Gambar 2.2 Anatomi Kantung Empedu

Saluran empedu ekstrahepatik terdiri dari duktus hepatikus kanan dan kiri,
duktus hepatikus komunis, duktus cystikus, dan duktus koleodokus.
Adapun bagian-bagian dan saluran dari kandung empedu terdiri
atas5,6 :
1. Fundus Kandung Empedu
Berbentuk bulat, merupakan ujung dari kandung empedu yang
sedikit memanjang dan berada di atas tepi hati. Fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Sebagian besar tersusun atas otot polos
dan jaringan elastik. Merupakan tempat penampungan empedu.
2. Korpus Kandung Empedu

14
Bentuknya terbesar dari kandung empedu dan ujungnya
membentuk leher dari kandung empedu. Berisikan getah
empedu yang berasal dari sekeresi sel hati sebanyak 500-1000
cc setiap harinya.
3. Leher Kandung Empedu
Merupakan saluran tempat masuknya getah empedu pertama kali
yang nantinya akan dipekatkan kedalam kandung empedu. Saat
terjadi distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum
akan menonjol seperti kantung yang disebut sebagai kantong
Hartmann. Kantong Hartmann adalah bulbus divertikulum kecil
yang terletak pada permukaan inferior dari kandung kemih, yang
secara klinis bermakna karena proksimitasnya dari duodenum
dan karena batu dapat terimpaksi ke dalamnya.
4. Duktus Cystikus
Memiliki panjang sekitar tiga setengah sentimeter dengan
diameter 2-3 mm. Berjalan dari leher kandung empedu dan
bersambung dengan duktus hepatikus sambil membentuk
saluran empedu ke duodenum. Menghubungkan kandung
empedu ke duktus koledokus. Dinding lumennya mengandung
katup berbentuk spiral yang disebut katup Heister yang
memudahkan cairan empedu masuk kedalam kandung empedu,
tetapi menahan aliran keluarnya.
5. Duktus hepatikus
Merupakan sebuah saluran yang keluar dari leher empedu serta
juga bersama dengan duktus cystikus akan membentuk saluran
empedu (duktus koledokus). Duktus hepatikus kiri lebih panjang
dari kanan dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk
dilatasi sebagai akibat dari obstruksi distal. Panjang duktus
hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm dan
memiliki diameter sekitar 4 mm.

15
6. Duktus koledokus
Saluran empedu umumnya sekitar 7–11 cm dan diameter 5-10
mm. Merupakan saluran yang akan membawa cairan empedu ke
duodenum. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum
menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum
membentuk papilla Vater yang terletak di sebelah medial
dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter
Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum.
7. Duktus pankreatikus
Umumnya bermuara ditempat yang sama dengan duktus
koledokus di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah.
Duktus pankreatikus memiliki dua saluran yang mengalirkan
hasil sekresi pankreas ke dalam duodenum yaitu Ductus
Wirsung, yang bersatu dengan duktus choledukus, kemudian
masuk ke dalam duodenum melalui sphincter oddi dan Ductus
Sartorini, berbentuk lebih kecil dan langsung masuk ke dalam
duodenum di sebelah atas sphincter oddi. Saluran ini memberi
petunjuk dari pankreas dan mengosongkan duodenum sekitar 2,5
cm di atas ampulla hepatopankreatik.

Gambar 2.2 Anatomi Kantung Empedu

16
B. Fisiologi Kantung Empedu
Sel-sel hati secara terus menerus mensekresikan empedu, namun
sebagian besar normalnya disimpan dalam kandung empedu sampai
diperlukan di duodenum7 . Cairan empedu yang berada dalam kandung
empedu berbeda komposisinya dengan empedu hepar. Anion inorganik
(klorida dan bikarbonat) dan air banyak direabsorpsi melalui epitel
kandung empedu, sehingga konsenterasi cairan empedu meningkat dari
3-4 g/dL menjadi 10-15 g/dL di kandung empedu8 . Normalnya, empedu
dipekatkan sebanyak 5 kali lipat, tetapi dapat dipekatkan sampai
maksimal 20 kali lipat. Penyimpanan empedu yang terkonsenterasi
menjadikan kandung empedu sebagai lokasi utama bagi presipitasi
konstituen empedu terkonsenterasi menjadi batu empedu.
Empedu disekresikan oleh hati normalnya antara 600 – 1000
mL/hari. Empedu memainkan peran penting dalam pencernaan dan
absorbsi lemak karena 6 asam empedu dalam empedu membantu
mengemulsi partikel-partikel lemak yang besar dalam makanan menjadi
banyak partikel kecil sehingga dapat dipecah oleh enzim lipase. Absorpsi
produk akhir lemak yang telah dicerna melalui membran mukosa
intestinal juga dibantu oleh asam empedu. Beberapa produk buangan
yang penting dari darah, terutama bilirubin dan kolesterol diekskresikan
oleh empedu. Garam empedu adalah zat yang paling banyak disekresikan
dalam empedu, yang banyaknya kira-kira setengah dari total zat-zat yang
juga terlarut dalam empedu. Zat lain yang juga disekresikan atau
diekskresikan dalam konsentrasi besar adalah bilirubin, kolesterol,
lesitin, dan elektrolit yang biasa terdapat dalam plasma.
Sel-sel hepatik membentuk garam empedu menggunakan kolesterol
yang ada di plasma darah. Setiap harinya, sekitar 1 sampai 2 gram
kolesterol dipindahkan dari plasma darah dan disekresikan ke dalam
empedu pada proses sekresi garam empedu7 .Garam empedu dapat
melarutkan substansi-substansi yang pada dasarnya tidak dapat larut
dalam air karena molekulnya menyerupai deterjen8.

17
Sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk
metabolisme lemak dalam tubuh akibatnya jumlah kolesterol dalam
empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang di konsumsi.
Pembentukan batu empedu dianggap akan mudah dialami oleh orang
yang melakukan diet tinggi lemak dalam waktu bertahun-tahun7.
Konsenterasi kolesterol dan perbandingan antara asam empedu dan
lesitin memengaruhi kelarutan kolesterol dalam cairan empedu.
Kolesterol akan larut pada perbandingan yang normal, sedangkan
presipitasi kristal-kristal kolesterol dalam cairan empedu dapat terbentuk
pada perbandingan yang tidak normal. Hal ini salah satu faktor awal
terbentuknya batu kolesterol8.
Mekanisme pengosongan kandung empedu adalah dari kontraksi
ritmis dindingnya, tetapi pengosongan yang efektif juga membutuhkan
relaksasi sphincter Oddi secara bersamaan, yang menjaga pintu keluar
ductus biliaris comumnis ke dalam duodenum. Rangsang yang paling
poten menyebabkan kontraksi dinding kandung empedu adalah hormon
cholecystokinin (CCK). CCK dilepaskan dalam darah terutama akibat
kehadiran makanan berlemak dalam duodenum. Saat lemak tidak
terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung
buruk. Kandung empedu juga dirangsang secara kurang kuat oleh
serabut-serabut saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus
dan enterik usus. Keduanya adalah saraf yang sama yang meningkatkan
motilitas dan sekresi traktus gastrointestinal bagian atas7.

18
Gambar 2.3 Fisiologi Kantung Empedu

C. Definisi
Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk
dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran
empedu sehingga dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam
jiwa1.
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus/batu empedu/gallstone) merupakan
suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung
empedu (vesica fellea), di dalam saluran empedu, atau pada kedua-
duanya yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi1.
D. Epidemiologi
Kolelitiasis sangat banyak ditemukan pada populasi umum. Di
Negara barat penderita kolelitiasis banyak ditemukan pada usia 30 tahun,
tetapi rata- rata usia tersering adalah 40–50 tahun dan meningkat saat usia
60 tahun seiring bertambahnya usia. Dari 20 juta orang di negara barat
20% perempuan dan 8% laki-laki menderita kolelitiasis dengan usia lebih

19
dari 40 tahun.2
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu
di Indonesia diduga tidak jauh berbeda dengan angka di negara lain di
Asia Tenggara dan sejak 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara
diagnosis dengan ultrasonografi, namun lebih rendah bila dibandingkan
dengan di negara Barat, tetapi dengan adanya kecenderungan pola hidup
sedentary kemungkinan di Indonesia pada masa mendatang kasus batu
empedu akan menjadi masalah kesehatan yang patut mendapatkan
perhatian.2
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka
kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia
Tenggara. Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam
kelompok risiko tinggi yang disebut ”4 Fs” : forty (usia diatas 40 tahun
lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty
(obesitas). Pembentukan batu empedu adalah multifaktorial. Studi
sebelumnya telah mengindentifikasi jenis kelamin perempuan,
bertambahnya usia, kegemukan, riwayat keluarga dengan batu empedu,
etnis, jumlah kehamilan merupakan faktor risiko batu empedu1.

E. Etiologi
• Supersaturasi kolesterol secara umum komposisi
Komposisi cairan empedu yang berpengaruh terhadap
terbentuknya batu tergantung keseimbangan kadar garam empedu,
kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin
rendah kandungan garam empedu akan membuat keadaan didalam
kandung empedu menjadi jenuh akan kolesterol (Supersaturasi
kolesterol). 16
• Pembentukan inti kolesterol
Kolesterol diangkut oleh misel (gumpalan yang berisi
fosfolipid, garam empedu dan kolesterol). Apabila saturasi, Kolesterol
lebih tinggi maka ia akan diangkut oleh vesikel yang mana vesikel

20
dapat digambarkan sebagai sebuah lingkaran dua lapis. Apabila
konsentrasi kolesterol banyak dan dapat diangkut, vesikel
memperbanyak lapisan lingkarannya, pada akhirnya dalam kandung
empedu, pengangkut kolesterol, baik misel maupun vesikel bergabung
menjadi satu dan dengan adanya protein musin akan membentuk
kristal kolesterol, kristal kolesterol terfragmentasi pada akhirnya akan
dilem atau disatukan. 7
• Penurunan fungsi kandung empedu
Menurunnya kemampuan menyemprot dan kerusakan dinding
kandung empedu memudahkan seseorang menderita batu empedu,
kontraksi yang melemah akan menyebabkan statis empedu dan akan
membuat musin yang diproduksi dikandung empedu terakumulasi
seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung
empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat
sehingga semakin menyukitkan proses pengosongan cairan empedu.
Beberapa keadaan yang dapat mengganggu daya kontraksnteril
kandung empedu, yaitu : hipomotilitas empedu, parenteral total
(menyebabkan cairan asam empedu menjadi lambat), kehamilan,
cedera medula spinalis, penyakit kencing manis15.

F. Faktor Risiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko, faktor
resiko kejadian kolelitiasis sering dikaitan dengan 4F (Fat, Female,
Forty,Fertile). Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.
Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung
untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia yang
lebih muda. Hal ini disebabkan:

21
a) Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
b) Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan
bertambahnya usia.
c) Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah
2. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi
dan terapi hormone (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam
kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan
juga. Mengurangi garam empedu serta mengurangi kontraksi atau
pengosongan kandung empedu.
4. Makanan
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak
hewani berisiko untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol
merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol yang
terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan
empedu dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake
rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan
gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko

22
terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung
empedu lebih sedikit berkontraksi.
6. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko
lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.3

G. Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan
bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui
dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting
tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada
pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam
kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan
pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan
deskuamasi sel dan pembentukan mukus4.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan
batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap,
menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat
menyebabkan pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air
dari empedu, terlalu 21 banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin
dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah
kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang
dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah
mengalami perkembangan batu empedu3.

23
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus,
batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial
atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu
terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau
tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus
sistikus1.

H. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu
empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan4.

1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari
70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu
yang mengandung > 50% kolesterol). Batu kolestrol murni merupakan
hal yang jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya
merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Empedu yang
disupersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini
merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit
75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah
fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain.
Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam
empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang
koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam
empedu, lesitin dan kolesterol. Proses fisik pembentukan batu
kolesterol terjadi dalam empat tahap :
• Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
• Pembentukan nidus.
• Kristalisasi/presipitasi.

24
• Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan
senyawa lain yang membentuk matriks batu10.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang
mengandung < 20% kolesterol9.
Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila
terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim
Bglukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi
menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat
bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat
antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen
cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran
empedu dalam empedu yang terinfeksi9.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu
pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada
penderita dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen
hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.
Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu
yang steril9.

25
3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-
50% kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang
mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 %
pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat
tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar
metabolisme yang sama dengan batu kolesterol. 9

I. Penegakan Diagnosis
Gejala Klinis
a. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak
memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri
akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang
ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari
semua penderita dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 %
dari penderita yang benar-benar mempunyai batu empedu
asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi
setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua penderita
dengan batu empedu asimtomatik4.
b. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pasca prandial kuadran
kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-
60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris.
Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.

26
c. Pemeriksaan penunjang4
1. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran
yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu
yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan
kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
17
fleksura hepatica.

Gambar 2.4 Foto polos abdomen


2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan
sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung
empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Pada USG gambaran batu dapat terlihat gambaran
acoustic shadow USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau edem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang
terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara di dalam usus. Pada USG punktum

27
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. 16

Acoustic
shadow

Gambar 2.5 USG Abdomen


3. Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras


cukup baik karena relatif murah,sederhana, dan cukup akurat
untuk melihat batu berupa adanya filling defect sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun
serum diatas 2 mg/dl, obstruksi pilorus, dan hepatitis karena
pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai
hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu. 16

28
Gambar 2.6 Kolesistografi

4. Kolangiografi transhepatik perkutan


Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya
obstruksi dibagian atas kalau salurannya melebar, meskipun
saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum baru
yang "kecil sekali". Gangguan pembekuan, asites dan
kolangitis merupakan kontraindikasi. 13

5. Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP =


Endoscopic Retrograde Colangio Pancreatography)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus
melalui ampula Vater dapat diselesaikan secara endoskopis.
Lesi obstruksi bagian bawah dapat diperagakan. Pada
beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan
yang berharga, misalnya tumor ampula, erosi batu melalui
ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan
sebagainya). Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal
dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan
pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.

29
Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai
kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi
transhepatik. ERCP semakin menarik karena adanya potensi
yang 'baik untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut
(misalnya: sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus
yang tertinggal). 19

Gambar 2.7 ERCP


6. MRCP ( Magnetic Resonance Cholangiopancreatography )
MRCP adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa
menggunakan zat kontras, instrument, dan radiasi ion. MRCP
adalah pemeriksaan MRI yang digunakan untuk mengevaluasi
duktus billiaris, pankreas dan kandung empedu dengan
salurannya karena kemungkinan adanya batu, tumor dan
penyakit lainnya. MRCP merupakan pemeriksaan dengan
gambaran multiplanar yang diperoleh dengan mensejajarkan
biliary tree menggunakan Magnetic Resonance sekuens yang
sensitif untuk menampakkan aliran tanpa menggunakan kontras
agent. Aliran dalam duktus akan tampak terang dan sebaliknya
jaringan lunak terlihat menjadi gelap. MRCP direkomendasikan
untuk diagnosis koledokolitiasis. 12

30
Gambar 2.8 MRCP
7. CT scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang
melebar, massa hepatik dan massa retroperitoneal (misalnya,
massa pankreatik). Bila hasil ultrasound masih meragukan,
maka biasanya dilakukan CT scan. 8

Gambar 2.9 CT Scan

31
J. Diagnosa Banding

Diagnosis banding dari kolelitiasis meliputi penyakit dengan gejala


nyeri abdomen akut regio hipokondrium kanan atau epigastrium, seperti
koledokolitiasis, kolesistitis akut, ulkus peptikum, atau kolangitis akut. 6
1. Koledokolitiasis
Pada koledokolitiasis, selain adanya kolik bilier di regio
hipokondrium kanan akan ditemukan ikterus obstruktif.
Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan penunjang pencitraan. 6
2. Kolesistitis Akut
Pada kolesistitis akut, bisa ditemukan nyeri tekan abdomen
regio hipokondrium kanan dan demam. Terkadang akan ditemui
nyeri kolik bilier atau ikterus. Selain itu akan ditemukan Murphy
sign positif, yaitu tahanan pernafasan inspirasi pada penekanan
abdomen regio hipokondrium kanan. Pada pemeriksaan USG akan
ditemukan gambaran penebalan dinding kantung empedu.
Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
leukositosis. 19
3. Ulkus Peptikum
Pada ulkus peptikum, nyeri akan dirasakan di area epigastrik
yang muncul berkaitan dengan asupan makanan, yaitu saat perut
kosong atau beberapa jam setelah makan. Penegakan diagnosis
melalui pemeriksaan endoskopi dengan ditemukannya ulkus pada
mukosa lambung atau usus halus.17
4. Kolangitis Akut
Gejala kolangitis akut ditunjukkan dengan gejala dan tanda
yang khas (trias Charcot), yaitu demam tinggi, ikterus, dan nyeri
abdomen kanan atas. Pada kolangitis akut supurativa, bisa
ditemukan Penta Reynold sign, yaitu trias Charcot ditambah
hipotensi dan perubahan status mental. Penegakan diagnosis
dengan MRCP dan USG abdomen untuk mendeteksi
koledokolitiasis sebagai penyebab kolangitis. 3

32
K. Tatalaksana
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan
non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya
gejala yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis
simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik. 8
a. Penatalaksanaan Nonbedah
• Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung
empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan
nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda
sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk1.
Manajemen terapi :
o Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
o Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
o Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign.
o Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
o Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati).
8

• Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu
dengan pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih
dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek
samping yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic
seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang4.
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada
60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka
kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun
setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria

33
terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm,
batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus
sistik paten. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada
anakanak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi4.
• Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan
batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam
kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau
alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai
adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu
alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu
menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan
teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang
kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat
menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan
terbentuknya kembali batu kandung empedu5.

Gambar 2.10 Disolusi Kontak

• Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)


Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam

34
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah
batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen5.

Gambar 2.11 ESWL


• Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak
lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil
dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita
yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga
prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja
biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang
lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat5.
b. Penatalaksanaan Bedah
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna
yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada
0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini

35
kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut11.

Gambar 2.12 Kolesistektomi terbuka

2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada
tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan
secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan
cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi
normal (0,1- 0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi
komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat
melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding
perut. Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik
tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali

36
bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan
dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparoskopi11.

Gambar 2.13 Kolesistektomi laparaskopi

3. Kolesistostomi
Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami
empiema dan sepsis, yang dapat dilakukan ialah kolesistostomi.
Kolesistostomi adalah penaruhan pipa drainase di dalam kandung
empedu. Setelah pasien stabil,maka kolesistektomi dapat
dilakukan11.
4. Endoscopic Sphincterotomy
Dilakukan apabila batu pada duktus koledokus yang tidak
dapat dikeluarkan. Pada prosedur ini kanula diletakan pada duktus
melalui papila vateri. Dengan menggunakan spinterectome
elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui sfingter oddi dan bagian

37
duktus koledokus yang mengarah ke intraduodenal terbuka dan batu
keluar dan diekstraksi. Prosedur ini terutama digunakan pada batu
yang impaksi di ampula vateri11.

L. Komplikasi
- Kolesistitis Akut
- Kolesistitis Kronik
- Kolangitis Akut
- Pankreatitis bilier akut 4

M. Prognosis
Prognosis tergantung dari besar atau kecilnya ukuran batu empedu,
karena akan menentukan penatalaksanaannya, serta ada atau tidak dan
berat atau ringannya komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan
disebabkan oleh batu yang berada di dalam saluran biliaris sehingga
dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian, dengan diagnosis dan
pengobatan yang cepat dan tepat memberikan hasil yang baik16.

N. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin terbentuk akibat penguraian hemoglobin oleh sistem
retikuloendotelial dan dibawa di dalam plasma menuju hati untuk
melakukan proses konjugasi (secara langsung), untuk membentuk
bilirubin diglukuronida dan dieksresikan ke dalam empedu. Bilirubin
terbagi menjadi dua jenis di dalam tubuh yaitu bilirubin terkonjugasi atau
yang dapat larut, dan bilirubin tidak terkonjugasi atau memiliki ikatan
protein. Bilirubin total yang berada dalam kisaran normal tidak perlu
dianalisis bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi. Salah satu nilai
bilirubin yang dilaporkan mewakili nilai bilirubin total8.
Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat pada retikulum
endoplasmik melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil
transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin
yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Bilirubin

38
diekskresikan ke dalam empedu dan masuk ke dalam usus, bilirubin
direduksi dan menjadi tetrapirol yang tidak berwarna oleh mikroba di
usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal
melalui kerja β-glucuronidase. Bilirubin tidak terkonjugasi ini dapat
diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan
bilirubin plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi,
dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung
sangat panjang pada neonatus, karena asupan gizi yang terbatas pada hari
- hari pertama kehidupan8.
Metabolisme bilirubin dimulai oleh penghancuran eritrosit setelah
usia 120 hari oleh sistem retikuloendotel menjadi heme dan globin.
Globin akan mengalami degradasi menjadi asam amino dan digunakan
sebagai pembentukan protein lain. Heme akan mengalami oksidasi
dengan melepaskan karbonmonoksida dan besi menjadi biliverdin.
Biliverdin reduktase akan mereduksi biliverdin menjadi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonjugasi yang
dilepaskan ke dalam plasma berikatan dengan albumin, kemudian
berdifusi ke dalam sel hati. Bilirubin tidak terkonjugasi dalam sel hati
akan dikonjugasi oleh asam glukuromat membentuk bilirubin
terkonjugasi (bilirubin direk), kemudian dilepaskan ke saluran empedu
dan saluran cerna. Bilirubin terkonjugasi di dalam saluran cerna
dihidrolisis oleh bakteri usus β- glucuronidase, sebagian menjadi
urobilinogen yang keluar dalam tinja (sterkobilin) atau diserap kembali
oleh darah kemudian dibawa ke dalam hati (siklus enterohepatik).
Urobilinogen dapat larut dalam air, sehingga sebagian dikeluarkan
melalui ginjal

39
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD Seoselo pada hari Senin (21 November 2022)
dengan keluhan nyeri pada ulu hati sejak 5 hari SMRS. Nyeri dirasakan hilang
timbul dan berlangsung sekitar sekitar 30 menit. Nyeri dirasakan seperti
terpelintir dan terlilit sehingga mengganggu aktivitasnya. Nyeri dirasakan
biasanya ketika sesudah makan dan hilang dengan sendiri. Keluhan lain pasien
merasakan mata kuning, sesak nafas, mual, nafsu makan berkurang, BAK
berwarna seperti teh, BAB dalam batas normal, dan nafsu makan berkurang.
Pasien juga memiliki kebiasaan merokok 6 batang per harinya dan suka makan-
makanan siap saji dan pedas. Pasien merupakan peminum alcohol.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dan
TTV dalam batas normal. Pada pemeriksaan status generalis pasien
didapatkan sklera ikterik, nyeri tekan pada abdomen, dan terdapat murphy
sign positif. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium
meningkat pada neutrophil, neutrophil limfosit ratio, ureum SGOT, SGPT,
bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek dan menurun pada limfosit.
Selain itu didapatkan kesimpulan dari pemeriksaan USG Abdomen yaitu
Menyokong Gambaran Hepatitis Akut dan Multiple Cholelithiasis (Ukuran
terbesar 1,28 cm).
Berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, kasus ini mengarah ke Kolelitiasis. Hal tersebut di
dukung oleh anamensis pasien yang mengeluhkan nyeri pada ulu hati, nyeri
dirasakan hilang timbul dan berlangsung sekitar sekitar 30 menit, nyeri
seperti terpelintir dan terlilit, mengganggu aktivitasnya, Nyeri dirasakan
biasanya ketika sesudah makan dan hilang dengan sendiri, mata kuning,
sesak nafas, mual, nafsu makan berkurang, BAK berwarna seperti teh,

40
Pasien memiliki kebiasaan merokok 6 batang per harinya dan suka makan-
makanan siap saji dan pedas. Pasien merupakan peminum alkohol. , hal
tersebut merupakan gejala dari kolelitiasis. Dan juga pada pemeriksaan fisik
di dapatkan sklera ikterin dan nyeri tekan abdomen. Dan pada pemeriksaan
fisik didapatkan hasil multiple kolelitiasis. Sehingga terapi yang bisa kita
berikan adalah pemberian asam ursodeoksikolat yang merupakan obat
untuk mengatasi batu empedu yang tidak dioperasi dan mencegah
pembentukan batu empedu pada pasien obesitas dan di rujuk k RSUD
Kariadi semarang Poli Bedah Digest untuk penanganan lebih lanjut.

41
BAB IV
KESIMPULAN

Kolelitiasis atau batu empedu adalah endapan cairan pencernaan yang


mengeras yang dapat terbentuk di kantong empedu. Batu kandung empedu
asimtomatik yang ditemukan di kandung empedu normal dan pohon bilier normal
tidak memerlukan pengobatan kecuali jika mereka mengalami gejala. Namun,
sekitar 20% dari batu empedu asimtomatik ini akan mengalami gejala selama 15
tahun masa tindak lanjut. Ada tiga jalur utama dalam pembentukan batu empedu
yaitu supersaturasi kolesterol, kelebihan bilirubin, dan hipomotilitas kandung
empedu atau gangguan kontraktilitas. Pada penderita batu kandung empedu yang
asimtomatik, keluhan yang mungkin bisa timbul berupa gejala dispepsia yang
kadang disertai intoleransi pada makanan berlemak. Gejala batu empedu yang khas
adalah kolik bilier yang merupakan nyeri di perut atas yang berlangsung lebih dari
30 menit dan kurang dari 12 jam dan nyeri biasanya berlokasi di epigastrium atau
sekitarnya. USG abdomen menjadi modalitas pertama untuk mendiagnosis
kolelitiasis simtomatik karena bersifat non-invasif, harga terjangkau dan senstivitas
hingga 95%. Kolesistektomi laparoskopi adalah prosedur bedah invasif minimal
yang digunakan untuk mengangkat kantong empedu yang sakit. Kolesistektomi
laparoskopi saat ini diindikasikan untuk pengobatan kolesistitis akut ataupun
kronis.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Abraham S, Rivero HG, Erlikh I V., Griffith LF, Kondamudi VK.


Surgical and nonsurgical management of gallstones. Am Fam Physician
2014;89:795–802.

2. Brunicardi, F.C., et al.,. Schwartzs Principles of Surgery, 10th ed. USA

3. Cahyono, B. S. 2014. Tatalaksana Klinis di Bidang Gastro dan


Hepatologi. Jakarta : Sugeng Seto. Djumhana,A. 2018. Jurnal
Kedokteran Batu Empedu pada Wanita Lebih Besar. Bandung :
Fakultas kedokteran Unpad-Rumah Sakit Hasan Sadikin.

4. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment


Surgery 13th edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.

5. Erlinger S. Gallstones in obesity and weight loss. Eur J Gastroen-terol


Hepatol 2016;12:1347-1352.

6. Garden. O. J. Etal. The Liver and Biliary Tract. Principles Practice


Surgery. Churchill Livingstone Elsevier. 2017

7. Ginting, S. 2012. A Description Characteristic Risk Factor of the


Kolelitiasis disease in the Colombia Asia Medan Hospital. Jurnal
penelitian Dharma Agung (J-DA). Medan.http://repository.maran
atha.edu/ 12708/10/1110127 Journal.pdfdiakses pada tanggal 20 juli
2019.

8. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2018. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 11. Jakarta: EGC

9. Heuman DM. Gallstones (Cholelithiasis): Practice Essentials,


Background, Pathophysiology n.d. 2019.
https://emedicine.medscape.com/article/175667overview

10. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary
Surgery. In :Washington Manual of Surgery 5thedition. 2018.
Washington :

11. Ko CW, Beresford SA, Schulte SJ, Lee SP. Insulin resistance and
incident gallbladder disease in pregnancy. Clin Gastroenterol
Hepatol. Lippincott Williams& Wilkins. McGraw-Hill Education.
2015.

12. Reshetnyak VI. Concept of the pathogenesis and treatment of choleli-


thiasis. World J Hepatol. 2018; 4(2): 18 – 34.

43
13. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. 2020. In : Color Atlas of
Pathophysiology. New York : Thieme,p:164-7.

14. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Bedah. Edisi ke 3. Jakarta: EGC; 2016.

15. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2016

16. Tanaja, Jasmin; Lopez, Richard A.; Meer JM. Cholelithiasis. 2019 -
StatPearls - NCBI Bookshelf n.d.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470440/

17. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract.
In : SabistonTextbook of Surgery 17thedition. 2014. Pennsylvania :
Elsevier.

18. Van Erpecum KJ. Pathogenesis of cholesterol and pigment gallstones:


An update. Clin Res Hepatol Gastroenterol. 2016

19. Völzke H, Baumeister SE, Alte D, et al. Independent risk factors


for gallstone formation in a region with high cholelithiasis preva-lence.
Digestion. 2015.

20. Widiastuty AS. Patogenesis batu empedu. Fakultas Kedokteran


Universitas Muhammadiyah, Palembang. 2017.

44

Anda mungkin juga menyukai