Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Demam rematik akut adalah suatu inflamasi akut akibat komplikasi dari

infeksi streptokokus tipe A di faring. Serangan demam rematik pada pasien yang
terinfeksi streptokokus bervariasi dari 0,3% hingga 3,0%.
Demam rematik biasanya menyerang anak-anak, sekitar 75% kasus terjadi
pada usia dibawah 20 tahun dan jarang pada usia dibawah 3 tahun. Kebanyakan kasus
terjadi pada anak usia 5-15 tahun. Demam rematik dan gejala sisanya berkisar 95%
dari seluruh kasus penyakit jantung pada anak-anak.
Di negara-negara berkembang seperti di Amerika Selatan, Afrika, Timur
Tengah dan Asia, demam rematik merupakan penyebab kematian utama pada lima
dekade pertama. Diperkirakan demam rematik menyebabkan kematian 25%-40% dari
seluruh penyakit kardiovaskular di berbagai usia.
Insidensi dan tingkat keparahan demam rematik menurun pada negara-negara
maju. Pada tahun 1950-1986 kematian akibat demam rematik telah menurun menjadi
87% pada berbagai usia. Angka mortalitas demam rematik saat ini berkisar 6500 per
tahun. Sedangkan insidensi karditis yang berhubungan dengan

serangan demam

rematik telah menurun dan bahkan saat ini sekitar kurang dari 20% kasus.
Penyakit Jantung Rematik merupakan kerusakan jantung akibat serangan akut
demam rematik, biasanya melibatkan katup mitral atau katup aorta. Penelitian Bland
dan Jones, mendapatkan bahwa gejala paling sering dari demam rematik adalah
karditis, diikuti dengan corea, arthritis, arthralgia, nodul subkutan, eritema
marginatum. Lalu, penyebab kematian yang paling sering adalah gagal jantung
kongestif dan endokarditis. Pasien yang mengalami pembesaran jantung atau gagal

jantung kongestif memiliki prognosis terburuk. Insiden penyakit jantung rematik


berkisar antara 69 - 81%.
Demam rematik dan penyakit jantung rematik ditemukan sebanyak 7 kasus
per 1000 orang pada berbagai usia. Sedangkan pada usia diatas 45 tahun ditemukan
12 kasus per 1000 orang. Demam rematik juga ditemukan sekitar 0,7 kasus per 1000
siswa dan 6-9 kasus per 1000 mahasiswa.
Walaupun saat ini relatif jarang di Amerika Serikat, demam rematik masih
tetap tinggi di Negara Amerika dengan ekonomi yang kurang seperti blacks, Puerto
Rico, Mexico-Amerika dan India-Amerika. Selama 1980, jumlah penderita demam
rematik ditemukan di angkatan militer, anak-anak sekolah dan kelompok menengah
kebawah di amerika serikat.
Sekitar 1%-6% penduduk Amerika Serikat memiliki kelainan katup jantung.
Banyak kasus demam rematik yang tidak diketahui namun menimbulkan kelainan
jantung. Berbagai studi telah menunjukkan sekitar 60% dari pasien yang mengalami
kelainan katup mitral memiliki riwayat demam rematik akut.
Tanpa adanya evaluasi medis, tidak mungkin bisa mengetahui apakah pasien
dengan riwayat demam rematik mengalami penyakit jantung rematik atau tidak.
Pasien yang memiliki riwayat demam rematik, memiliki gejala sisa seperti kerusakan
jantung dan penyakit jantung rematik. Pasien harus diberikan terapi antibiotik
profilaktik selama pengobatan gigi untuk mencegah infeksi endokarditis.
Oleh sebab itulah perlu diketahui bagaimana hubungan demam rematik dan
penyakit jantung rematik terhadap manajemen pelayanan dental.
1.2.

Rumusan Masalah
Bagaimanakah hubungan demam rematik dan penyakit jantung rematik

terhadap manajemen pelayanan dental?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Demam Rematik

2.1.1. Etiologi
Infeksi streptokokus tipe A di faring (bukan di tempat lain seperti kulit)
mendahului terjadinya demam rematik. Bakteri streptokokus tipe A yang paling
sering terlibat adalah bakteri dengan virulensi yang tinggi, memiliki protein spesifik
tipe M dan kapsul hyaluronat yang besar.

Sumber : IDSA Guidelines, 2012


Gambar 2.1. Grup A Streptokokus Faringitis
2.1.2. Patofisiologi dan Komplikasi
Patofisiologi sebenarnya masih belum jelas, namun dikaitkan dengan adanya
reaksi kompleks antigen-antibodi. Infeksi streptococcus tipe A di saluran nafas
(faring), akan menghasilkan endotoksin atau eksotoksin yang menyerang jaringan
ikat (jaringan ikat jantung termasuk vulva cenderung paling sering, diikuti jaringan
ikat sendi besar, paru dan jaringan subkutan lainnnya juga bisa terkena). Endotoksin
atau eksotoksin yang menempel di jaringan ikat membentuk antigen sehingga
menstimulasi pembentukan antibodi spesifik. Kemudian terjadi reaksi Ag-ab

kompleks menyebabkan nekrosis dan reaksi inflamasi jaringan lokal. Ab yang


dihasilkan bersirkulasi dalam darah, menyerang antigen di lokasi jaringan yang
berbeda.
Komplikasi utama dihubungkan dengan efek ke paru atau jantungnya. Pasien
bisa mengalami gagal jantung kongestif bahkan kematian selama serangan akut, atau
jantung bisa mengalami kerusakan.
2.1.3. Gejala Klinis
Gejala Klinis pada demam rematik dibagi menjadi dua yakni gejala klinis
mayor dan gejala klinis minor.
Tabel 2.1. Gejala Klinis Demam Rematik
Gejala Klinis Mayor
Karditis
Poliartritis
Corea

Gejala Klinis Minor


Demam
Arthralgia
Peningkatan LED dan Protein
reaktif C
Perubahan EKG

Eritema Marginatum
Nodul Subkutan

Nodul Subkutan

Eritema Marginatum

Sumber : Braunwald, 2005


Gambar 2.2. Gejala Klinis Mayor Demam Rematik
Diagnosis: Adanya 2 gejala mayor + 1 gejala minor atau
Adanya 1 gejala mayor + 2 gejala minor dan riwayat infeksi tenggorokan
sebelumnya dengan peningkatan titer ASTO

2.1.4. Hasil Laboratorium


Urin biasanya normal pada demam rematik. Akan tetapi, saat fase demam bisa
dijumpai sedikit albumin. Jika serangan demam rematik akut memanjang, bisa
dijumpai anemia dan leukositosis. Laju endap darah biasanya meningkat pada fase
akut demam rematik dan akan kembali ke normal sejalan dengan perbaikan klinis. Creactive protein akan meningkat jika ada infeksi dari bakteri dan tidak spesifik
untuk demam rematik. C-reactive protein ini berguna untuk menilai derajat
aktivitas demam rematik.
Titer Anti Streptolisin O (ASO) yang menurun pada fase konvalesens
menandakan adanya infeksi streptokokus grup A sebelumnya. Anti deoxyribonuclease
B (Anti-DNase B) titer streptokokus bisa digunakan untuk mengetahui infeksi
streptokokus grup A sebelumnya jika didapatkan titer ASO borderline. Tes
antistreptoenzim bisa untuk pasien dengan poliartritis yang terisolasi untuk
menyingkirkan demam rematik sebagai penyebab. Kultur tenggorokan untuk
streptokokus grup A dapat membantu. Akan tetapi, jika hasil negatif tidak
menyingkirkan adanya demam rematik.
2.1.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis untuk demam rematik biasanya dimulai dengan injeksi
dosis besar dan tunggal benzathin penisilin untuk mengeradikasi bakteri streptokokus
grup A di tenggorokan. Pasien dengan gagal jantung kongestif berat akan ditirah
baring dan diberi terapi steroid. Pasien tanpa karditis diterapi dengan kodein dan
salisilat jika menunjukkan gejala artritis. Salisilat diberi sampai muncul efek klinis
dan dihentikan jika muncul tanda keracunan (tinitus dan sakit kepala). Aspirin
direkomendasikan karena murah dan efektif. Pasien dengan karditis diterapi dengan
dosis besar salisilat atau kortikosteroid. Diazepam atau chlorpromazine merupakan
terapi untuk corea.

Pada masa penyembuhan setelah fase akut dari demam rematik, pasien diberi
antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi ulang streptokokus, yang dapat memicu
demam rematik. Pasien tanpa gejala penyakit jantung rematik diberi profilaksis
sekunder setidaknya 5 tahun dan sampai usia 18 tahun. Pasien dengan gejala penyakit
jantung rematik diberi profilaksis lebih lama dan pada beberapa kasus bisa sampai
seumur hidup.
Regimen profilaksis :
1.

Benzathine penisilin, 1,2 juta unit IM, satu kali sebulan

2.

Oral penisilin V, 250 mg bid

3.

Jika alergi penisilin : oral sulfadiazine 1 g qd (1 kali sehari)

4.

Jika alergi penisilin dan sulfadiazine : oral eritromisin 250 mg bid (dua kali
sehari)
Akan tetapi, dosis tersebut tidak cukup untuk mencegah endokarditis pada

pasien yang mengalami kerusakan jantung karena serangan demam rematik. Oleh
karena itu, pasien tersebut perlu antibiotik tambahan saat dental manipulation, untuk
melindungi dari endokarditis.
2.2.

Penyakit Jantung Rematik


Penyakit jantung rematik adalah kerusakan jantung akibat serangan akut dari

demam rematik. Biasanya menyebabkan kerusakan pada katup mitral atau katup
aorta. Luka dan kalsifikasi yang terjadi di katup yang terkena dapat menyebabkan
terjadinya stenosis dan regurgitasi.
2.2.1. Etiologi
Penyakit jantung rematik muncul sebagai sekuele dari demam rematik akut.
Lesi primer pada penyakit jantung rematik adalah kerusakan katup diikuti dengan
perubahan dari ruangan jantung dan ketebalan dari dinding sebagai bentuk
kompensasi. Lesi primer pada miokard biasanya terjadi tanpa gejala klinis yang

signifikan. Riwayat serangan akut demam rematik tidak dijumpai pada semua pasien
yang mengalami penyakit jantung rematik. Hal ini mungkin disebabkan karena
serangan subklinis yang dialami beberapa pasien atau tidak terdiagnosis saat serangan
demam rematik.
2.2.2. Patofisiologi dan Komplikasi
Pada penyakit jantung rematik, ada beberapa gangguan yang terjadi yakni
gangguan pada katup, miokardium dan perikardium. Gangguan pada katup terjadi
karena adanya akumulasi jarigan parut dan terjadinya deformitas sehingga
menyebabkan stenosis pada katup mitral, trikuspidalis ataupun pada katup aorta. Jika
hal ini terjadi dalam waktu yang cukup lama, dapat memicu timbulnya penyakit
jantung kongestif.

Sumber : Burke, 2012


Gambar 2.3. Stenosis pada katup aorta ditandai adanya nodul
kalsifikasi fokal
Pada miokardium akan terbentuk badan aschoff (kumpulan dari degenerasi
jaringan ikat yang dikelilingi oleh mediator inflamasi). Gangguan yang terjadi pada
miokardium tergantung seberapa parah gangguan yang terjadi pada demam rematik
sebelumnya. Semakin parah demam rematiknya maka semakin besar pula gangguan

yang terjadi pada miokardium. Jika kerusakan yang terjadi masih minimal, maka
kerusakan tersebut masih bisa diperbaiki oleh jaringan ikat fibrosa.

Sumber : Braunwald, 2005


Gambar 2.4. Patofisiologi Penyakit Jantung Rematik
2.2.3. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada pasien biasanya berkaitan dengan gangguan
yang terjadi pada katup jantung dan efeknya terhadap jantung itu sendiri. Murmur
bisa terdengar jika katup jantung tidak adekuat dalam bekerja. Jantung akan
melakukan kompensasi untuk mengatasi hal ini, namun akan terjadi dilatasi dan
hipertropi pada ruang jantung sebagai efek dari kompensasi tersebut. Adanya dispnea,
angina pektoris, epistaksis, sputum yang berdarah, hingga terjadinya gagal jantung
kongestif adalah beberapa gejala yang akan muncul jika keadaan tersebut terus
berlanjut.

2.2.4. Hasil Laboratorium


Diagnosis dari penyakit jantung rematik ini dibagi menjadi dua kelompok.
Yang pertama adalah pasien yang asimtomatis namun memiliki murmur sebagai tanda
bahwa telah terjadinya kerusakan katup. Pasien tipe ini memperlihatkan adanya
pembesaran jantung pada radiografi dada, katup yang abnormal dan hipertrofi dinding
ventrikel pada ekokardiografi. Pada anamnesa riwayat penyakit, pasien bisa tidak
pernah menderita demam rematik sehingga lebih sulit untuk diidentifikasi. Pasien tipe
kedua adalah pasien yang memiliki gejala klinis dan lebih mudah untuk diidentifikasi.
Penegakan diagnosa terhadap ada atau tidaknya penyakit jantung rematik pada pasien
yang menderita demam rematik harus dilakukan dengan :
1.

Anamnesis gejala klinis

2.

Radiografi dada Anterior Posterior

3.

ECG

4.

Ekokardiografi

5.

Pemeriksaan klinis, termasuk auskultasi jantung

2.2.5. Penatalaksanaan
Pasien yang mengalami penyakit jantung rematik yang asimtomatis tidak
diberikan pengobatan khusus namun harus melakukan pencegahan agar tidak terjadi
serangan ulang dari demam rematik dan untuk mencegah terjadinya endokarditis.
Pasien dengan gagal jantung kongestif harus segera ditatalaksana dengan melakukan
pembedahan terhadap katup jantung yang rusak dan menggantinya dengan katup
buatan.
2.3.

Manajemen Dental

2.3.1. Deteksi Pasien dengan Penyakit Jantung Rematik

10

Riwayat medis pasien merupakan hal yang penting untuk ditanyakan sebelum
melakukan manipulasi dental. Pasien dianamnesis mengenai apakah saat ini sedang
dalam masa pengobatan, selain itu riwayat demam rematik, penyakit jantung rematik
ataupun bising jantung juga penting ditanyakan untuk menentukan tindakan
pengobatan yang tepat.
Identitas dokter yang sedang menangani pasien serta obat - obatan yang
sedang dikonsumsi juga dicatat dalam rekam medis pemeriksaan gigi. Biasanya
dokter gigi tidak memiliki kualifikasi untuk melakukan pemeriksaan pasien dengan
tanda - tanda penyakit jantung rematik, namun pemeriksaan fisik secara umum dapat
sedikit membantu untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit jantung rematik.
2.3.2. Pengelompokan Pasien Menurut Risiko Penyakit Jantung Rematik
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, pasien dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok. Pasien - pasien ini penting untuk mendapatkan perhatian khusus
sebelum melakukan tindakan pengobatan, yaitu:
Kelompok I adalah pasien yang memiliki riwayat demam rematik tapi belum
terdiagnosa oleh dokter. Pasien asimtomatik ini harus dirujuk untuk dilakukan
pemeriksaan terhadap penyakit jantung rematik. Jika positif maka perlu diberikan
antibiotik profilaksis sebelum dilakukan prosedur dental yang invasif.
Kelompok II adalah pasien yang telah terdiagnosa sebagai demam rematik.
Jika tidak dilakukan medical follow-up care, pasien sebaiknya dirujuk untuk
mengevaluasi apakah terdapat penyakit jantung rematik. Namun jika pasien sedang
dalam medical follow-up care maka dokter gigi perlu menghubungi dokter untuk
melakukan konfirmasi mengenai ada tidaknya penyakit jantung rematik. Seluruh
pasien yang telah terdiagnosa penyakit jantung rematik harus diberikan antibiotik
profilaksis sebelum melakukan tindakan pada gigi yang bersifat invasif.
Kelompok III adalah pasien yang telah diobati gejala penyakit jantung rematik
oleh dokter. Pasien ini perlu mendapatkan konsultasi dari dokter untuk menentukan

11

status pasien dan kebutuhan terhadap profilaksis. Pasien dengan penyakit jantung
rematik disertai riwayat gagal jantung kongestif harus diberikan regimen standar
amoksisilin sebelum tindakan invasif pada gigi dilakukan. Pasien dengan katup
jantung buatan dan riwayat endokarditis infektif perlu diberikan regimen standar
amoksisilin atau regimen parenteral khusus sebagai profilaksis.
2.3.3. Penanganan Dental Khusus
Pasien - pasien yang diduga memiliki penyakit jantung rematik tidak akan
mendapatkan prosedur pemeriksaan maupun pengobatan dental tanpa pemberian
antibiotik atau dinyatakan telah bebas dari penyakit. Prosedur dental tidak diberikan
pada pasien dengan penyakit jantung rematik yang menunjukkan adanya tanda gagal
jantung kongestif. Pasien dengan katup jantung buatan ataupun dengan riwayat
endokarditis infektif dapat diberikan regimen standar amoksisilin atau regimen
parenteral khusus.
2.3.4. Modifikasi Rencana Pengobatan
Pasien dengan penyakit jantung rematik tanpa adanya bukti gagal jantung
kongestif dapat menerima pelayanan dental selama mendapatkan proteksi antibiotik
terhadap endokarditis infektif.
Pasien harus mendapatkan profilaksis antibiotik untuk seluruh prosedur
dental. Misalnya pada pasien ortodonti yang akan melakukan pelepasan maupun
pemasangan band, maka harus diberikan profilaksis antibiotik.
Anak - anak dengan penyakit jantung rematik yang akan dilakukan ekstraksi
gigi juga harus diberikan antibiotik. Pasien edentulisme yang memiliki penyakit
jantung rematik juga diberikan antibiotik profilaksis selama prosedur pembedahan
sebelum pemasangan gigi tiruan.
2.4.

Bising Jantung

12

Salah satu masalah yang membingungkan bagi seorang dokter gigi adalah
mengevaluasi pasien yang memiliki riwayat bising jantung dan memutuskan waktu
pemberian antibiotik profilaksis yang tepat.
Bising jantung merupakan suara yang dihasilkan oleh turbulensi pada
sirkulasi yang melalui katup dan ruang jantung. Turbulensi ini disebabkan oleh
peningkatan kecepatan aliran darah, perubahan viskositas, katup atau pembuluh darah
yang mengalami stenosis atau penyempitan, dilatasi pada katup atau pembuluh darah,
atau getaran dari struktur yang memiliki membran seperti daun katup. Bising jantung
normal adalah suara yang dihasilkan oleh karena turbulensi tanpa adanya kelainan
jantung dan tidak diperlukan antibiotik profilaksis. Bising organik adalah suara yang
disebabkan karena adanya kelainan patologis di jantung dan

diperlukan antibiotik

profilaksis.
Bising merupakan kejadian dari siklus jantung (sistol, diastol, atau lanjutan),
suaranya atau intensitasnya pada skala I-VI, lokasinya berada di dinding dada dimana
suara bising dapat didengar dan bising tersebut terpancar atau terlokalisasi. Oleh
karena itu, deskripsi umum untuk bising jantung yang normal adalah grade II/VI
ejeksi sistolik yang terletak di area pulmonari yang tidak memancar.
Interpretasi dari bising jantung tidak selalu mudah. Oleh karena itu diperlukan
anamnesis riwayat pasien, pemeriksaan fisik, foto dada AP, EKG, Ekokardiogram,
dan hasil laboratorium. Bising diastol hampir selalu organik dan karena itu
merupakan bising jantung patologis. Dua contoh bising jantung yang fungsional yang
tidak memerlukan antibiotik profilaksis adalah bising jantung yang terjadi saat masa
perkembangan anak dan saat masa kehamilan.
Bising jantung yang ditemukan pada anak - anak sangat normal, dan bahkan
hampir semua anak kecil mengalaminya pada satu waktu. Biasanya terdeteksi pada
usia 3 hingga 7 tahun dan menghilang ketika dewasa. Hal ini mungkin disebabkan
karena peningkatan dari aliran darah dan tipisnya dinding dada sehingga
memperbesar aliran suara jantung yang normal.

13

Bising yang terjadi selama masa kehamilan biasanya disebabkan peningkatan


volume darah dan hasil curah jantung. Bising teresebut akan menghilang segera
setelah melahirkan. dimana sistem kardiovaskular kembali ke kondisi normal.
Bising yang bertahan hingga dewasa atau setelah masa kehamilan kemungkinan
merupakan bising organik dan membutuhkan antibiotik profilaksis.
Semua pasien yang memiliki riwayat bising jantung, disarankan untuk
konsultasi ke dokter, khususnya dokter jantung untuk diperiksa walaupun pada kasus
yang kemungkinan bising jantung normal.
Jika bising dianggap normal dan tidak patologis, tidak diperlukan antibiotik
profilaksis. Jika merupakan patologis, harus diberikan antibiotik profilaksis sesuai
dengan standar regimen American Heart Association. Pada pasien yang
memerlukan tindakan segera pada gigi dan dokter gigi tidak dapat melaporkan
mengenai bising jantung, antibiotik profilaksis dianjurkan.

14

DAFTAR PUSTAKA
1. Barret MJ: Valvular heart disease. In Rose LF, Kaye D, editors: Internal
medicine for dentistry,St Louis, 1983, CV Mosby.
2. Bland EF, Jones TD: Rheumatic fever and rheumatic heart disease, Circulation
4:836843, 1951.
3. Braunwald E: Valvular heart disease. In Petersdorf RG, et al, editors:
Harrisons Principles of internal medicine, ed 10, New York, 1983, McGraw
Hill.
4. Cardiovascular disease in dental practice, Publ. no. 71-0009, Dallas, 1991,
American Heart Association, pp 2-5.
5. Dajani AS, Bisno AL, Chung KJ, et al: Prevention of bacterial endocarditis:
recommendations of the American Heart Association, JAMA 264: 2919-2992,
1990.
6. Delp MH, Manning RT: Majors Physical diagnosis: an introduction to the
clinical process, ed 9, Philadelphia, 1981, WB Saunders.
7. International Rheumatic Fever Study Group: Allergic reactions to long-term
benzhatine penicillin prophylaxis for rheumatic fever, Lancet 337: 1308- 1310,
1991.
8. Kannel WB, Thom JJ: Incidence, prevalence, and mortality of cardiovascular
disease. In Hurst JW, editor: The heart, arteries, and veins, ed 7, New York,
1990, McGraw-Hill, pp 627-639.
9. Kaplan EL: Acute rheumatic fever. In Hurst JW, editor: The heart, arteries, and
veins, ed 7, New York, 1990, McGraw-Hill, pp 1523-1529.
10. Kulangara RJ, Strong WB, Miller MD: Differential diagnosis of heart
murmurs in children, Postgrad Med 72: 219-228, 1982.
11. Levy RI: Prevalence and epidemiology of cardiovascular disease. In
Wyngaarden JB, Smith LH, editor: Cecil textbook of medicine, ed 17,
Phildelphia,1985, WB Saunders.

15

12. Rackley CE: Valvular disease. In Hurst JW, editor: The heart, arteries, and
veins, ed 7, New York, 1990, McGraw-Hill, pp 795-871.
13. Rose LF, Godfrey P, Steinberg BJ: Dental correlations. In Rose LF, Kaye D,
editors: Internal medicine for dentistry, St Louis, 1983, CV Mosby.
14. Santoro J, Ingerman MJ: Streptococcal infections and rheumatic fever. In
Rose LF, Kaye D, editors: Internal medicine for dentistry, ed 2, St Louis,
1990, Mosby-Year Book, pp 194-200
15. Stollerman GH: Rheumatic fever. In Wilson JD, et al, editors: Harrisons
Principles of internal medicine, ed 12, New York, 1991, McGraw-Hill, pp 933
938.
16. Weinstein L: Chemoterapy of microbial disease. In Goodman LS, Gilman A,
editors: The pharmacological basis of therapeutics, ed 5, New York, 1975,
Macmillan Publishing.
17. Burke AP. Pathology of Rheumatic Heart Disease. Medscape [Article on the
internet] 2012. [cited on 29 October 2012]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1962779-overview#showall.
18. Stollerman GH: Rheumatic fever. In Braunwald E, et al, editors: Harrisons
Principles of internal medicine, ed 16, Hamburg, 2005, McGraw-Hill, pp
1977-1979.

Anda mungkin juga menyukai