Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

REGIONAL ANASTESI PADA G4P3A0HAMIL 37-38 MINGGU BELUM


INPARTU DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT JANIN TUNGGAL
HIDUP PRESENTASI BOKONG

Oleh :
Alfin Try Putra
H1AP11031

Pembimbing
AKBP. DR. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU / RS BHAYANGKARA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2020-2021
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. REKAM MEDIS


A. Anamnesis
Alloanamnesis
1. Identitas
Nama : Ny. DY
Med.Rec : 1515xx
Umur : 37 tahun
Suku bangsa : Bengkulu
Agama :Islam
Pendidikan : D3
Pekerjaan : Honorer
Alamat : Kandang Mas Bengkulu
MRS : 1 Agustus 2020

2. Riwayat Perkawinan
Kawin 1 kali, lamanya 16 tahun sebagai istri sah

3. Riwayat Reproduksi
Menarche : 13 tahun
Siklus haid : 28 hari, teratur
Lama haid : 5-7 hari
Hari pertama haid terakhir : 23 oktober 2019
Taksiran persalinan : 1 agustus 2020
KB :Kondom

4. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
1. Perempuan, lahir normal, BBL 2500 gr, saaat ini berusia 14 tahun
2. Laki-laki, lahir normal, BBL 3200 gr, saat ini berusia 10 tahun.

2
3. Perempuan, lahir normal, BBL 3000 gr, saaat ini berusia 6 tahun
4. Hamil ini.

5. Riwayat Antenatal Care


Pasien memeriksakan kandungannya ke bidan dan dokter sebanyak >4 kali

6. Riwayat Gizi/Sosial Ekonomi


Sedang/sedang

7. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi : Tidak ada
Riwayat Penyakit Jantung : Tidak ada
Riwayat Asma : Tidak ada
Riwayat Diabetes Melitus : Tidak ada
Riwayat Penyakit Ginjal : Tidak ada
Riwayat Operasi : Tidak ada
Riwayat Alergi : Tidak ada

8. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Hamil cukup bulan dengan darah tinggi
Riwayat perjalanan penyakit :+ 2 hari SMRS Os kontrol hamil ke dokter
spesialis dan dikatakan darah tinggi, lalu disarankan ke RS Bhayangkara.
R/perut mules yang menjalar ke pinggang hilang timbul makin lama
makin sering dan kuat (-). R/ keluar air-air (-).R/ keluar darah lendir
(-).R/ darah tinggi sebelum hamil (-).R/ darah tinggi dalam keluarga
(+).R/ sakit kepala (-).R/pandangan mata kabur (-).R/ mual, muntah
(-).R/ nyeri ulu hati (-).Os mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak
masih dirasakan.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Tanda Vital

3
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tipe badan : piknikus
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 150 cm
IMT : 28,8 kg/m2
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 85x/menit
Pernafasan : 21 x/menit
Suhu : 36,5°C

5. Status Generalis
a. Kepala
Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas
Rambut : Hitam, tidak rontok, tersebar merata
b. Wajah
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak pucat
c. Mata
Konjungtiva : Tidak anemis
Sclera : Tidak ikterik
Pupil : Isokhor, reflek cahaya langsung +/+
Reflek cahaya tidak langsung +/+
Gerakan bola mata baik
d. Telinga
Bentuk : Simetris, sekret (-), NT tragus (-)
e. Hidung
Bagian luar : Normal, tidak terdapat deformitas
Septum : Terletak di tengah dan simetris
f. Mulut dan Tenggorok
Bibir : Normal, tidak pucat, tidak sianosis
Mukosa mulut : basah, tidak hiperemis
Tonsil : Tidak hiperemis, ukuran T1-T1

4
Faring : Tidak hiperemis, arcus faring simetris
g. Leher
Bendungan vena : Tidak terdapat bendungan vena
Kelenjar tiroid : Tidak membesar, massa (-)
Trakea : Di tengah, deviasi (-)
JVP : (5-2) cmH2O
KGB : tidak membesar, tidak ada massa
h. Kulit
Warna : Kocokelatan, tidak pucat
i. Thoraks
- Paru
Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris kiri dan kanan
Palpasi : stem fremitus dinding dada kiri sama
dengan dinding dada kanan
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing
-/-
- Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V LMC sinistra
Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan
jantung linea parasternalis dekstra, batas
kiri jantung ICS V LMC sinistra.
Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
gallop (-)
j. Abdomen
St. Obstetri: Tinggi fundus uteri 3 jbpx (32 cm), letak janin memanjang,
punggung di sebelah kiri, bagian terbawah janin bokong.
k. Ekstremitas
Tidak tampak deformitas
Akral hangat pada keempat ekstremitas, CRT <2”
Terdapat edema pada kedua ekstremitas inferior, pitting edema (-)

5
C. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium (13 Oktober 2018)
Hb : 12,4 g/dl (12 – 16 g/dl)
Hematokrit : 39% (40-54%)
Leukosit : 11.500/mm3 (4000 – 10.000 mm3)
Trombosit : 381.000/mm3 (150.000 – 400.000/mm3)
Clothing Time : 3‘15‘‘ (2-6menit)
Bleeding Time : 1‘40“ (1-6menit)
Urinalisis : Warna kuning keruh
Protein (+2)
Bilirubin (-)
Darah (-)
Epitel (+)
Bakteri (-)

E. KESAN ANASTESI
Wanita hamil 37-38 minggu menderita preeklampsia berat dengan status fisik
ASA II

F. PENATALAKSANAAN
 Puasa 6-8 jam pre op
 Cairan pre op Ringer Laktat 20 tpm
 Konsul obgyn rencana operatif SSTP
 Konsul ke bagian Anastesi
 Informed consent pembedahan dan pembiusan dengan status ASA II

G. PRE-OPERATIF
Premedikasi yang diberikan pada pasien yaitu ondansetron 4mg. Cairan
infus yang diberikan Ringer Laktat 500 cc. Sebelum operasi dimulai maka
yang dilakukan:
- Memasang sensor finger pada ibu jari tangan pasien untuk monitoring

6
SpO2.
- Memasang manset pada lengan pasien untuk monitoring tekanan darah.
- Memastikan cairan infus berjalan lancar.
- Persiapan induksi obat anastesi

H. INTRA-OPERATIF
A. INDUKSI ANESTESI
Anestesi regional dengan teknik spinal (subarachnoid)
menggunakan bupivacain konsentrasi 0,5% hyperbarik sebanyak 3 cc
(15mg).

B. PROSEDUR ANESTESI
1. Anestesi regional dengan teknik spinal anestesi,
2. Setelah dipasang IV line, monitor (tekanan darah, nadi, saturasi
oksigen) dan oksigen kanul 3 liter/menit
3. Pasien dengan posisi duduk, tandai dimana akan dilakukan
tusukan, dengan teknik aseptik-antiseptik, dilakukan tusukan pada
lokasi Lumbal 3-4.
4. Anestesi lokal bupivacain HCL konsentrasi 0,5% hyperbaric,
jumlah 3 cc (15 mg). Anestesi dimulai jam 15:05 WIB, operasi
dimulai jam 15:15 WIB. Operasi berlangsung selama ± 60 menit.
5. Waktu anestesi dan operasi
Jam anestesi mulai : 15:05 WIB
Jam anestesi selesai : 17:00 WIB
Jam operasi mulai : 15:15 WIB
Jam operasi selesai : 16:15 WIB

7
C. MONITORING PASIEN

Perhitungan Terapi Cairan:


• Kebutuhan cairan rumatan/jam (Berat badan 65 kg) :
- 10 kg pertama : 10 kg x 4 ml/KgBB/jam = 40 ml/jam
- 10 kg kedua : 10 kg x 2 ml/kgBB/jam = 20 ml/jam
- > 10 kg selanjutnya : 45 kg x 1 ml/kgBB/jam = 45 ml/jam
- Total : 105 ml/jam
• Cairan pengganti puasa: 6 jam x kebutuhan cairan rumatan (105
ml/jam)= 630 cc
• Maintenance : 2 ml x 65 kg = 130 cc
• Stress operasi : 6 x 65kg x 1 = 390 cc
• EBV : 65 x 65 kg = 4.225 cc
1. Kebutuhan cairan durante operasi (operasi selama 1 jam)
- jam pertama : 105 ml + ½ (630)ml + 390 ml = 810 ml

8
- total kebutuhan : 1830 ml
Perdarahan:
• Tabung suction : 300 cc
• Kassa kecil : 300 x 10 cc = 300 cc
• Kassa besar : 0 x 100 cc = 0 cc
• Perkiraan total perdarahan : 600 cc
• Volume urin : 500 cc
• IWL : 15 x 65 kg / 24 jam = 975/24 jam = 40,6/ jam = 41 cc/jam
Cara Pemberian:
• Jam I : (50% x pengganti puasa) + maintenance + stress operasi.
(50% x 630) + 130 + 390 = 835cc kristaloid
(+ pengganti jumlah pendarahan : 1800 cc )
Perhitungan balance cairan:
• Input : 2.635 cc
• Output: Urin + IWL + Perdarahan + Maintenance + Stress Operasi
500 cc + 41 cc + 600 cc + 130 + 390 = 1.661cc
• Balance cairan = + 974 cc

D. PENANGANAN POST-OPERATIF

- Ketoprofen 200mg supp.


- Novaldo (Metamizole) 2 ampul
- Aldarete Score: 8 (layak ditransport ke ruang perawatan)
- Makan minum biasa saat bising usus (+), mual (-), muntah (-).

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan


American College Of Obstetricians and Gynecologist membagi HDK
menjadi 4 kategori yaitu:
a. Preeklampsia-eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan
setelah usia 20 minggu kehamilan ditambah dengan adanya proteinuria
atau tanpa proteinuria dengan perburukan hasil laboratorium. Eklampsia
adalah suatu fase konvulsi dari preeklampsia, biasanya didahului oleh
beberapa tanda dan gejala seperti nyeri kepala hebat dan hiperrefleksia.
Gejala dan tanda tersebut biasanya menjadi suatu peringatan akan adanya
eklampsia.
b. Hipertensi gestasional
Hipertensi gestasional adalah peningkatan tekanan darah yang
timbul pada kehamilan tanpa adanya proteinuria dan tanpa adanya
gangguan sistemik.
c. Hipertensi kronik
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang terdeteksi sebelum 20
minggu kehamilan.
d. Superimposed preeklampsia
Superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik yang
berhubungan dengan preeklampsia.

Timbulnya tanda-tanda klinis berupa nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan
muntah pada penderita preeklampsia merupakan penanda awal akan
terjadinya eklampsia jika tidak segera ditatalaksana dengan tepat dapat
memberikan komplikasi pada ibu dan anak.

10
Serangan kejang pada eklampsia tidak selalu didahului gejala-gejala
prodromal, sehingga pengenalan klinik terhadap gejala-gejala impending
eklampsia seperti nyeri kepala hebat, pandangan kabur, nyeri ulu hati, dapat
dijadikan sebagai clinical warning even dalam mencegah kejang dan berbagai
komplikasi selanjutnya.

2.2 Etiologi Preeklampsia


Penyebab preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti.Banyak teori yang menjelaskan tentang penyebab preeklampsia tetapi
tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Berikut beberapa teori
yang menjelaskan etiologi dari preeclampsia antara lainteori kelainan
vaskularisasi plasenta yaitu pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi
invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks
sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga
lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi.Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan
terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis” sehingga aliran darah utero
plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
Plasenta yang mengalami iskemia akibat tidak terjadinya invasi trofoblas
secara benar akan menghasilkan radikal bebas (oksidan). Salah satu radikal
bebas penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil.
Radikal hidroksil akan mengubah asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida
lemak. Peroksida lemak akan merusak membran sel endotel pembuluh darah.
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.Keadaan ini disebut sebagai
disfungsi endotel.Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi gangguan
metabolisme prostaglandin karena salah satu fungsi sel endotel adalah
memproduksi prostaglandin. Dalam kondisi ini terjadi penurunan produksi
prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat.Kemudian, terjadi
agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan.Agregasi trombosit memproduksi tromboksan yang merupakan
suatu vasokonstriktor kuat. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor

11
(endotelin) dan penurunan kadar NO (vasodilatator), serta peningkatan faktor
koagulasi sehingga terjadilah kenaikan tekanan darah.

2.3 Faktor Resiko


Terdapat banyak factor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam factor risiko sebagai berikut:

Dikutip dari PNPK Preeklampsia, 2016

2.4 Penegakkan diagnosis Preeklampsia


Seperti telah disebutkan sebelumnya, preeklampsia didefinisikan sebagai
suatu kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi
plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan
aktivasi endotel dan sistem koagulasi.Kriteria tekanan darah pada preeklamsia
adalah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik dan
peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik untuk preeklamsia berat.Menurut kriteria terbaru yang
didapatkan dari ACOG 2013, beberapa wanita yang menderita preeklampsia
dan tanda multisistemik yang mengindikasikan beratnya derajat preeklampsia
justru tidak terdapat tanda proteinuria.Pada kondisi ketidakhadiran

12
proteinuria, preeklampsia didiagnosis jika terdapat suatu hipertensi yang
terjadi bersamaan dengan trombositopenia (trombosit <100.000/mL),
meningkatnyafungsi hepar (meningkatnya enzim transaminase hepar >2 kali
lipat dari nilai normal, adanya perburukan fungsi ginjal dan tidak ada
penyakit ginjal lainnya), edema pulmonal, kejadian baru gangguan pada otak
(new onset cerebral disturbances) dan gangguan pada penglihatan (new onset
visual disturbances).

Dikutip dari PNPK Preeklampsia 2016

2.5 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta
kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi dengan selamat.Pada

13
preeklamsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah.Karena
preeklamsia sendiri bisa membunuh janin.

1. Pengobatan Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk
rawat inap dan dianjurkan untuk tirah baring miring ke kiri. Pemeriksaan
sangat teliti diikuti dengan observasi harian tetang tanda-tanda klinik
berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan
cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan,
pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan USG.
Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan
cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia memiliki risiko tinggi
untuk mengalami edema paru dan oliguria.Harus dilakukan pengukuran
secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan oleh
urin.Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan
koreksi.Selain diberikan cairan, dipasang juga Foley Catheter untuk
mengukur pengeluaran urin. Dikatakan oliguria bila produksi urin < 30 cc/jam
dalam 2 – 3 jam atau < 500 cc dalam 24 jam.
Dapat diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila
mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang
sangat asam.Diet yang diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak,
dan garam.
a. Pemberian magnesium sulfat untuk mencegah kejang
Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk
eklampsia di Eropa danAmerika Serikat.Tujuan utama pemberian
magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untukmencegah dan
mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan
mortalitasmaternal serta perinatal.Cara kerja magnesium sulfat belum dapat
dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanyaadalah
menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk
pembuluh darahperifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,

14
magnesium sulfat juga berguna sebagaiantihipertensi dan tokolitik.
Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptorN-metil-D-
aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat
menyebabkanmasuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan
kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.Cara pemberian :
 Loading dose : initial dose
o 8 gram MgSO4intramuskularbokong kiri dan kanan.
 Maintenance dose :
o 4 gram MgSO4intramuskular tiap 4 – 6 jam.
 Syarat pemberian MgSO4 :
o Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu
kalsium glukonas 10 % = 1 g (10 % dalam 10 cc) diberikan IV 3
menit.
o Refleks patella (+) kuat.
o Frekuensi pernapasan > 16 kali / menit , tidak ada tanda-tanda distress
napas.
 Magnesium sulfat dihentikan bila :
o Ada tanda-tanda intoksikasi
o Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
 Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
o Dosis terapeutik 4 –7 mEq/l 4.8 – 8.4 mg/dl
o Hilangnya refleks tendon 10 mEq/ l 12 mg/dl
o Terhentinya pernapasan 15 mEq/l 18 mg/dl
o Terhentinya jantung > 30 mEq/l > 36 mg/dl
 Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4 maka diberikan salah
satu obat berikut: thiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam,
atau fenitoin.
b. Pemberian antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan
- sedang (tekanandarah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih
kontroversial. European Society of Cardiology (ESC)guidelines 2010

15
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik
≥160mmHg atau diastolik ≥90mmHg pada wanita dengan hipertensi
gestasional (dengan atau tanpaproteinuria), hipertensi kronik
superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala
ataukerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapapun.
Metaanalisis RCT yang dilakukan oleh Magee, dkk menunjukkan
pemberian antihipertensi padahipertensi ringan menunjukkan penurunan
insiden hipertensi berat dan kebutuhan terapiantihipertensi tambahan. Dari
penelitian yang ada, tidak terbukti bahwa pengobatan antihipertensi dapat
mengurangi insidenpertumbuhan janin terhambat, solusio plasenta,
superimposed preeklampsia atau memperbaikiluaran perinatal. Dari hasil
metaanalisis menunjukkan pemberian anti hipertensi
meningkatkankemungkinan terjadinya pertumbuhan janin terhambat
sebanding dengan penurunan tekanan arterirata-rata. Hal ini menunjukkan
pemberian antihipertensi untuk menurunkan tekanan darahmemberikan
efek negatif pada perfusi uteroplasenta. Oleh karena itu, indikasi utama
pemberianobat antihipertensi pada kehamilan adalah untuk keselamatan
ibu dalam mencegah penyakitserebrovaskular. Meskipun demikian,
penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap tidaklebih dari 25%
penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya
penurunan alirandarah uteroplasenter.
Antihipertensi yang aman dan sering digunakan untuk terapi hipertensi
masa kehamilan adalah golongan obat cacium channel blocker yaitu
nifedipin tablet dengan dosis 3x10 mg per oral dapat diulangi setiap 30
menit apabila target penurunan tekanan darah belum tercapai dengan dosis
maksimal 120mg dalam 24 jam.

2. Sikap terhadap Kehamilan


Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka
sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
a. Aktif (aggressive management): berarti kehamilan segera diakhiri/
diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa

16
b. Konservatif(expectative management): berarti kehamilan tetap
dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan
medikamentosa.
 Manajemen aktif, Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih
dari keadaan berikut ini:

 Manajemen ekspetatif Preeklamsia Berat


Manajemen ekspetatif direkomendasikan pada kasus preeklamsia berat
dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu
dan janin stabil. Direkomendasikan untuk melakukan perawatan di fasilitas
kesehatan yang adekuat dengan tersedianya perawatan intensif bagi
maternal dan neonatal. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspetatif,
pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan
paru janin.

17
2.6 Prognosis
Prognosis preeklampsia berat dan eklampsia dikatakan buruk apabila
tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat. Angka kematian ibu dengan
preeklamsia-eklamsia sebesar 9,8-20,5%, sedangkan kematian bayi lebih
tinggi lagi, yaitu 42,2–48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang
sempurnanya pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia
biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya
karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal,
dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan
hipoksia intrauterin.
2.7 Anatomi Dalam Spinal anestesi
Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebre, yaitu 7 vertebra servikalis,
12 vertebra thorakalis, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacral dan 4 vertebra
coccygeus. Disatukan oleh ligamentum vertebralis membentuk kanalis
spinalis dimana medulla spinalis terdapat didalamnya. Kanalis spinalis terisi
oleh medulla spinalis dan meningen, jaringan lemak, dan pleksus venosus.
Sebagian besar vertebra memiliki corpus vertebra, 2 pedikel dan 2 lamina.2

18
Gambar 1. Anatomi vertebrae3

Untuk menjaga dan mempertahankan medulla spinalis seluruh vertebra


dilapisi oleh beberapa ligamentum. Tiga ligamentum yang akan dilalui pada
prosedur spinal anestesi teknik midline adalah ligamentuim supraspinosum,
ligamentum interspinosum dan ligamentum flavum.2,3 Ligamentum
interspinosum bersifat elastis, pada L3-4, panjangnya sekitar 6 mm dan pada
posisi fleksi maksimal menjadi 12 mm. Ligamentum flavum merupakan
ligamentum terkuat dan tebal, diservikal tebalnya sekitar 1,5-3 mm, thorakal
3-6 mm, sedangkan daerah lumbal sekitar 5-6 mm. Medulla spinalis
dibungkus oleh tiga jaringan ikat yaitu durameter, arakhnoid, dan piameter
yang membentuk tiga ruangan yaitu; ruang epidural, sudural dan
subarachnoid. Ruang subarakhnoid adalah ruang yang terletak antara
arakhnoid dan piameter. Ruang subarakhnoid terdiri dari trabekel, saraf
spinalis, dan cairan serebrospinal. Ruang subdural merupakan suatu ruangan
yang batasnya tidak jelas, yaitu ruangan potensial yang terletak antara dura
dan membrane arakhnoid. Ruang epidural didefinisikan sebagai ruangan
potensial yang dibatasi oleh durameter dan ligamentum flavum. Medulla
spinalis secara normal hanya sampai level vertebra L1 atau L2 pada orang
dewasa. Pada anak-anak medulla spinalis berakhir pada lvel L3. Dibawah
level ini elemen saraf berupa akar-akar saraf yang keluar dari conus
medularis yang sering disebut dengan cauda equine terendam dalam cairan
serebrospinal.2

19
Gambar 2. Anatomi vertebra lumbal 43
2.8 Anestesi Spinal
Analgesia atau anestesia regional adalah tindakan analgesia yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestetika local pada lokasi serat
saraf yang menginervasi regio tertentu, yang menyebabkan hambatan
konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.4 Jenis – jenis analgesia
regional adalah blok saraf, blok pleksus brakhialis, blok spinal
subarachnoid, blok spinal epidural dan blok regional intravena4
Analgesia spinal ialah pemberian obat anestetik local ke dalam ruang
subaraknoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
local ke dalam ruang subaraknoid.5
1. Indikasi5
a) Bedah ekstremitas bawah
b) Bedah panggul
c) Tindakan sekitar rectum – perineum
d) Bedah obstetric – ginekologi
e) Bedah urologi
f) Bedah abdomen bawah
2. Kontraindikasi Absolut5
a) Pasien menolak
b) Infeksi pada tempat suntikan
c) Hipovolemia berat, syok
d) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e) Tekanan intracranial meninggi
f) Fasilitasi resusitasi minim
g) Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anesthesia

20
3. Kontraindikasi Relatif5
a) Infeksi sistemik
b) Infeksi sekitar tempat suntikan
c) Kelainan neurologis
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama
f) Penyakit jantung
g) Hipovolemia ringan
h) Nyeri punggung kronis

2.9 Persiapan Analgesia Spinal5


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anesthesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau
pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain
itu perlu diperhatikan hal – hal dibawah ini:
a) Informed consent; kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui
anesthesia spinal.
b) Pemeriksaan fisik; tidak dijumpai kelainan fisik seperti kelainan tulang
punggung.
c) Pemeriksaan laboratorium anjuran; Hemoglobin, hematokrit, protombin
time, thrombin time.

2.10 Peralatan Analgesia Spinal5


a) Peralatan monitor; tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG
b) Peralatan resusitasi/anesthesia umum
c) Jarum spinal; jarum spinal dengan ujung tajam (quincke-Babcock) atau
jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point, whitecare)

21
Gambar 3. Jarum spinal (jarum tajam dan jarum pinsil)3

2.11 Teknik Analgesia Spinal5


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
a) Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain ialah duduk.

Gambar 4. Posisi pasien pada anastesi spinal (posisi duduk dan lateral
dekubitus)3

22
b) Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya
L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
c) Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
d) Beri anastetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
e) Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23
G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G
atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira
2cm agak sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/ detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau
anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90° biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukkan kateter.

Gambar 5. Tusukan jarum pada anestesi spinal6

23
f) Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.

2.12 Anastetik lokal untuk Analgesia Spinal5


Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37°C ialah 1.003-1.008.
Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik.
Anestetik local dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik local dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anestetik local dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Tabel 2. Anestesi Lokal Pada Anestesi Spinal5


Anestetik Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Lidokain
2% plain 1.006 Isobaric 20 -100 mg (2-5 ml)
5% dalam dekstrosa 1.033 Hiperbarik 20 – 50 mg (1-2 ml)
7,5%
Bupivakain
0,5% dalam air 1.005 Isobaric 5 - 20 mg (1-4 ml)
0,5 % dalam dekstrosa 1.027 Hiperbarik 5 – 15 mg (1-3 ml)
8,25%

Penyebaran anestetik local tergantung:5


a) Faktor utama
1) Berat jenis anestetika local (barisitas)
2) Posisi pasien (kecuali isobarik)
3) Dosis dan volum anestetik local (kecuali isobarik)
b) Faktor tambahan
1) Ketinggian suntikan
2) Kecepatan suntikan/barbotase

24
3) Ukuran jarum
4) Keadaan fisik pasien
5) Tekanan intraabdominal
Lama kerja anestetik lokal tergantung:5
a) Jenis anestetik lokal
b) Besarnya dosis
c) Ada tidaknya vasokonstriktor
d) Besarnya penyebaran anestetika lokal

2.13 Komplikasi tindakan5


a) Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infuse cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
b) Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2.
c) Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas.
d) Trauma pembuluh darah
e) Trauma saraf
f) Mual-muntah
g) Gangguan pendengaran
h) Blok spinal tinggi, atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan5
a) Nyeri tempat suntikan
b) Nyeri punggung
c) Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d) Retensio urin
e) Meningitis

25
BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosis G4P3A0hamil aterm belum inpartu dengan


preeklampsia berat janin tunggal hidup presentasi bokong dengan status fisik ASA
II dan akan dilakukan tindakan pembedahan berupa sectio caeseria. Pada
pembedahan tersebut akan dilakukan anestesi spinal karena memenuhi indikasi
untuk dilakukannya anestesi spinal, yaitu bedah obstetri – ginekologi dan
merupakan tindakan pembedahan yang berlokasi di abdomen bawah. Pada
tindakan pembedahan tersebut juga tidak terdapat kontraindikasi dari anestesi
spinal. Atas dasar tersebut maka, anestesi spinal menjadi pilihan.Pada kasus ini
menggunakan obat Bunascan yang mengandung Bupivacaine HCL 15 mg yang di
disuntikkan memakai jarum spinal no.26 pada regio L3 – L4. Bunascan berisi
bupivacain, merupakan anestesi lokal yang digunakan untuk mencegah rasa nyeri
dengan memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara reversible. Obat
menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik), tetapi saat di dalam
akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan molekul-molekul ini memblok
kanal Na+, serta mencegah pembentukan potensial aksi. Bupivacaine memiliki
onset 5 – 8 menit dengan durasi sampai 150 menit. Dosis bupivacaine untuk
blokade hingga T10 adalah 8-12 mg, sedangkan hingga blockade T4 adalah 14-20
mg Bupivacaine memiliki periode analgesia yang tetap setelah kembalinya
sensasi.Pada pasien ini diberikan medikasi preoperative ondansetron Hcl 4 mg
untuk mencegah emesis selama durante operasi. Ondansetron adalah antagonis
reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang ditemukan secara perifer pada terminal
saraf vagal dan sentral dalam zona pemicu kemoreseptor dari area postrema.
Ondansetron dapat mengantagonis efek emetik serotonin pada salah satu atau
kedua reseptor. Onset ondansetron < 30 menit dengan durasi 12 – 24 jam.
Diagnosa pasien Ny. DY 37 tahun adalah G4P3A0hamil aterm belum
inpartu dengan preeklampsia berat janin tunggal hidup presentasi bokong.
Diagnosis kerja sudah tepat, berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien.
a.G4P3A0,menunjukkan pasien datang dengan keadaan sedang hamil anak
keempat, riwayat melahirkan 3 kali dan abortus tidak ada.

26
b. Hamil aterm, berdasarkan hasil anamnesis HPHT pasien 11 Januari 2018,
c. Belum inpartu, dikarenakan pada pasien ini belum terdapat tanda-tanda inpartu
seperti penipisan dan bukaan dari servix, belum terdapat HIS yang teratur dan
belum terdapat keluarnya cairan lendir bercampur darah (bloody show) yang
keluar melalui vagina.
d. Preeklamsia berat, dikarenakan pasien datang dengan keluhan utama hamil
cukup bulan dan darah tinggi. Riwayat penyakit dahulu pasien mengaku tidak
memiliki riwayat hipertensi sebelum hamil. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan tekanan darah pasien 160/90 mmHg dan pemeriksaan laboratorium
urinalisa didapatkan proteinuria +2, disertai dengan keluhan kedua kaki
bengkak.
e. Janin tunggal hidup, berdasarkan hasil anamnesis pasien masih merasakan
gerakan janin.
f. Presentasi bokong, ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan leopold bagian
terbawah janin adalah bulat dan lunak yang merupakan bokong.
Dasar pengelolaan preeklampsia bila kehamilan dengan penyulit apapun
pada ibunya, dilakukan pengelolaan sebagai berikut:
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya yaitu terapi medikamentosa
dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya.
Pada kasus ini diberikan terapi medikamentosa berupa Inj MgSO4 40% sesuai
protokol, nifedipin tab 3x10mg, dan Inj dexamethasone 2x6mg selama 2 hari.
1. Inj MgSO4 40% diberikan sudah tepat. Pemberian obat ini bertujuan untuk
mencegah dan mengurangi angka kejadian eklamsia, serta mengurangi
morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Mekanisme kerja obat ini
adalah dengan menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos,
termasuk pembuluh darah perifer dan uterus,sehingga selain sebagai
antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan
tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-
metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia
dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron dan mengakibatkan
kerusakan sel dan serta kejang.

27
2. Nifedipin tab 3x10mg diberikan sudah tepat. Pemberian obat ini bertujuan
sebagai antihipertensi. Antihipertensi direkomendasikan pada preeklamsia
dengan hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥160mmHg atau
diastolik ≥110mmHg.Pada kasus didapatkan tekanan darah pasien
160/110mmHg, sehingga memenuhi kriteria PNPK POGI 2016 untuk
diberikan antihipertensi.Nifedipin adalah obat golongan ca-chanell blocker
yangbekerja pada otot polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi
dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel.Berkurangnya
resistensi perifer akibat pemberian obat ini dapat mengurangi afterload,
sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal..Nifedipin selain
berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif juga bersifat
natriuretik dan dapat meningkatkan produksi urin.
3. Inj. Dexamethasone 2x6mg selama 2 hari diberikan bertujuan untuk terapi
pematangan paru. Pemberian injeksi kortikosteroid pada usia kehamilan 34
minggu untuk tujuan kematangan paru janin sehingga mengurangi risiko
terjadinya RDS (Respiratory Distress Syndrome), mortalitas bayi prematur
dengan usia 24-34 minggu.
b. Kedua menentukkan rencana sikap terhadap kehamilannya yang tergantung
pada umur kehamilan.
Sikap terhadap kehamilannya dibagi 2, yaitu;
1. Ekspetatif: Bila umur kehamilan < 37 minggu pada ibu hamil dengan
preeklamsia dan umur kehamilan < 34 minggu pada ibu hamil dengan
preeklamsia berat, artinya: kehamilan dipertahankan selama mungkin
sambil memberikan terapi medikamentosa.
2. Aktif: bila umur kehamilan ≥ 37 minggu pada ibu hamil dengan preeklamsia
dan umur kehamilan ≥34 minggu pada ibu hamil dengan preeklamsia berat,
artinya: kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk
stabilisasi ibu.
Pada kasus ini sikap terhadap kehamilan awalnya di pilih terapi
ekspetatifdimulai dari terapi stabilisasi 1-3 jam, Inj. MgSO440% sesuai
protokol,nifedipin tab 3 x 10mg. Namun setelah di pantau pasca terapi
stabilisasi indeks gestosis pasien tidak mengalami kemajuan disertai dengan

28
gejala yang persisten sehingga direncanakan manajemen aktif yaitu
terminasi kehamilan setelah 2 hari pasien diberikan terapi kortikosteroid
untuk pematangan paru.Pada kasus inikondisi kehamilan pasien sesuai
dengan kriteria terminasi kehamilan pada preeklamsia berat PNPK POGI
2016 yaitu umur kehamilan pasien≥34 minggu, disertai dengan kondisi
maternal berupa primigravida dengan preeklamsia berat disertai dengan
gejala dan tanda hipertensi berat yang tidak berkurang dan belum ada tanda-
tanda inpartu, sehingga disarankan dilakukan pemilihan terapi berupa
terminasi perabdominan
• Preoperatif
Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dioperasi harus dilakukan,
sehingga dapat mengetahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan di
operasi, dapat menentukan jenis operasi yang akan digunakan, dapat
mengetahui kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya
riwayat hipertensi, asma, alergi obat, penggunaan gigi palsu. Selain itu,
dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa
menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan
preoperasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan
salah operasi. Evaluasi harus dilengkapi dengan klasifikasi status fisik pasien
berdasarkan skala The American Society of Anaesteshesiologist (ASA) yaitu:
a. Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau
psikiatri.
b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,
tanpa keterbatasan aktivitas sehari-hari.
c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi
aktivitas normal.
d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan
memerlukan terapi intensif, dengan keterbatasan serius
pada aktivitas sehari-hari.
e. Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan
atau tanpa pembedahan.10

29
Pada kasus ini pasien dikategorikan dengan status fisik ASA II dengan
kelainan sistemik yang dimilikinya saat ini berupa hipertensi yang
merupakan penyakit sistemik yang tidak mengakibatkan keterbatasan fisik
sehari-hari. Riwayat penyakit yang dimiliki pasien sekarang memerlukan
tindakan pembedahan segera untuk mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas.
Kunjungan pada pasien dengan rencana operasi harus dimulai dari
tindakan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap
makanan dan obat-obatan, riwayat DM, riwayat asma, riwayat hipertensi,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, juga riwayat operasi
dan anestesi sebelumnya yang bisa menunjukkan bila ada komplikasi
anestesi. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan anamnesis melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik
setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respirasi,
suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, neurologis, dan sistem
muskuloskeletal.Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh
diremehkan.Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif
besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Pemeriksaan penunjang laboratorium rutin seperti pemeriksaan kadar
hematokrit, hemoglobin, leukosit, trombosit, urinalisis, ureum, kreatinin,
EKG, dan foto polos thoraks pada pasien.
Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah informed
concent informed concent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan
dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses inform consent
perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang
prosedur yang akan dilakukan dan resikonya. Tujuan kunjungan pre operasi
bukan hanya untuk mengumpulkan informasi yang penting dan informed
concent, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan

30
pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan
penting serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan
hal tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kecemasan yang
dirasakan pasien.7pada pasien ini persetujuan tindakan kedokteran yang
akan dilakukan sudah dilengkapi yang terdiri dari SIO tindakan pembedahan
maupun SIO tindakan dilakukan pembiusan atau anastesi. Pasien dan
keluarga juga telah mendapat penjelasan secara rincin tentang rencana
penatalaksanaan yang akan dilakukan dengan segala risiko yang ada.
Mallampati score adalah suatu klasifikasi untuk menilai tampakan faring
pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal, terdiri
dari 4 gradasi8yaitu :
Gradasi Pilar faring Uvula Palatum molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Mallapati score penting untuk diketahui sebagai pertimbangan jika akan


dilakukan tindakan intubasi dengan segala pertimbangan.
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya yaitu:
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan

31
b. Memperlancar induksi anesthesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anestetik
e. Mengurangi mual muntah pasca bedah
f. Mengurangi efek yang membahayakan
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah ondancetron 4
mg, dengan tujuan mengurangi salah satu risiko dari teknik anastesi regional
yang dipilih yaitu mual maupun muntah.

• Durante Operatif
• Induksi Anestesi (Anestesi Regional)
a. Indikasi anestesi regional:
 Jika nyawa penderita dalam bahaya karena kehilangan kesadarannya,
seperti pada pasien yang mengalami sumbatan pernapasan atau
infeksi paru
 Kedaruratan karena tidak ada waktu untuk mengurangi bahaya
anestesi umum, seperti partus obstetrik operatif, kasus diabetes,
lambung penuh dan pasien yang mengalami perdarahan yang lama
 Menghindari bahaya pemberian obat anestesi umum seperti pada
pasien gagal ginjal dan hepar
 Prosedur yang membutuhkan kerjasama dengan penderita seperti
perbaikan tendo serta pemeriksaan gerakan faring
 Lesi superfisialis permukaan tubuh
b. Kontraindikasi anestesi regional:
 Hipersensitivitas terhadap obat analgesi
 Kurangnya tenaga terampil
 Kurangnya prasarana resusitasi
 Infeksi lokal dan iskemia pada tempat suntikan
 Pembentukan sikatriks
d. Obat anestesi:
1. Bupivacain (buvanes)

32
 Dosis 2 mg/Kg berat badan
 Indikasi : blok hantaran pada durasi lama atau anestesi
subarachnoid
 Kontraindikasi: pasien dengan hipotensi, pasien syok
 Efek samping: kelelahan,pandangan kabur, hipotensi, gangguan
saluran pencernaan, bradikardia
 Onset kerja: 5–10 menit
 Durasi kerja: 75–150 menit.1
 M
ekanisme kerja: semakin kecil ukuran partikel dan tinggi
kelarutan lemaknya, semakin cepat kerja suatu obat. Bupivakain
adalah obat anestesi lokal golongan amida. Obat ini bekerja
menempel pada kanal natrium serabut saraf dan memblokade
kanal tersebut. Hal ini berakibat meningkatkan nilai ambang
eksitasi dan menghambat potensial aksi terjadi. Hambatan
potensial aksi dari serabut saraf inilah yang mampu menyekat
saraf dan membuat hilangnya semua sensasi pada daerah yang
dipersarafi saraf tersebut.8.10
 Monitoring Anastesi
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode
preoperatif.9,11 Selama operasi diberikan 3 colf infuse yang terdiri dari 2 kolf
cairan RL dan 1 kolf cairan gelofusal yang masing - masing adalah 500 cc dan
dilanjutkan dengan pemberian cairan RL di ruangan perawatan, dikarenakan
untuk mengganti kebutuhan cairan karena puasa selama 6 jam dan stress
operasi. Dengan perhitungan kebutuhan cairannya adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan cairan rumatan/jam (Berat badan 65 kg) :
- 10 kg pertama : 10 kg x 4 ml/KgBB/jam = 40 ml/jam
- 10 kg kedua : 10 kg x 2 ml/kgBB/jam = 20 ml/jam
- > 10 kg selanjutnya : 45 kg x 1 ml/kgBB/jam = 45 ml/jam
- Total : 105 ml/jam
2. Pengganti cairan puasa (puasa 6 jam)
1

33
- Puasa x kebutuhan cairan rumatan = 6 jam x 105 ml/jam = 630 ml
3. Stress operasi: 6 x 65kg x 1 = 390 cc
4. Kebutuhan cairan durante operasi (operasi selama 1 jam)
- jam pertama : 105 ml + ½ (630)ml + 390 ml = 810 ml
- total kebutuhan : 1830 ml
Selama operasi cairan urin yang keluar berjumlah 500 ml (produksi urin
normal minimal 0,5 – 1 ml/KgBB/jam). Pada kasus, selama operasi terjadi
perdarahan sebesar 600 ml, perdarahan penting dinilai karena jika perdarahan >
20% Estimated Blood Volume merupakan salah satu indikasi transfuse darah.
EBV pasien 65 ml/KgBB x 65 kg = 4225 ml dengan persentase 600ml/4225 ml
x 100% = 14,20% (< 20%).
± 600 ml perdarahan dapat digantikan dengan 3 x kristaloid.Jadi
perdarahan tersebut dapat digantikan dengan 3 colf RL. Pada pasien selama
operasi diberikan 2 kolf larutan RL dan 1 kolf larutan koloid gelofusal. Selama
operasi pasien juga diberikan drip oxitocin 2 ampul dan injeksi metergin 1
ampul untuk memperbaiki kontraksi uterus.
• Post Operatif
Pulih dari anestesi umum atau regional secara rutin dikelola di kamar pulih
atau unit perawatan pasca anestesi. Idealnya dapat bangun dari anesthesia
secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal –
hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca operasi atau pasca anesthesia
yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan,
mual –muntah, menggigil dan kadang – kadang perdarahan.5
Selama di unit perawatan pasca anestesi pasien dinilai tingkat pilih –
sadarnya untuk kriteria pemindahan ke ruang perawatan biasa. Obat
Postoperasi yang diberikan yaitu Novaldo (Metamizole) 2 ampul drip dalam
RL 500 cc dengan alderete score adalah 8 dan pasien layak untuk dipindahkan
ke ruangan biasa.

34
Aldrete scoring
KESADARAN 2. sadar, orientasi baik
1. dapat dibangunkan
0. tidak dapat dibangunkan
WARNA KULIT 2. Merah muda, tanpa oksigen
saturasi 92%
1. pucat atau kehitaman, perlu
oksigen agar saturasi 90%
0. sianosis
AKTIFITAS 2. 4 ekstremitas bergerak
1. 2 ekstremitas bergerak
0. tidak ada ekstremitas bergerak
RESPIRASI 2. dapat nafas dalam, batuk
1. Nafas dangkal, sesak nafas
0. apnoe atau obstruksi
KARDIOVASKULER 2. tekanan darah berubah ≤ 20%
1. berubah 20 – 30%
0. berubah ≥ 50%

Keterangan :
- 9-10 pindah dari unit perawatan pasca anestesi
- 7-8 Pindah ke ruangan
- 5-6 Pindah ke ICU

35
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Simpulan
1. Tatalaksana anestesi pasien dengan ASA II pada kasus ini yang
meliputi tatalaksana jalan napas, pemilihan dan dosis obat anestesi,
terapi cairan dan terapi nyeri sudah tepat.
2. Pasien bedah dengan aldrete score8 setelah 2 jam dirawat
ditransportasikan ke ruang perawatan biasa di ruang khusus kebidanan
untuk pemulihan
4.2 Saran
Perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pemilihan terapi analgetik
pada pasien setelah menjalankan operasi.

36
DAFTAR PUSTAKA

1 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. 2016. Diagnosis dan Tata


Laksana Pre-Eklamsia. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia. Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
2 ACOG, 2013. Hypertensi in pregnancy.
3 Cunningham, FG. Leveno, KJ. Bloom, SL. Spong, CY. Dashe, JS. Hoffman,
BL. Casey, BM. Sheffield, JS. Williams Obstetrics Edition 24, 2014
4 Norwitz ER,Dong Shu C, Repke JP, Acute complications of preeclampsia
in Clinical Obstetric and Gynecology : Lippincott Williams & Wilkins. Inc;
vol 45;number 2.308-329:2002
5 Wiknjosastro H, Sumpraja S, Saifuddin AB. Ilmu kebidanan. Edisi kedua.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1986: 7, 480-487, 476-477.
Jakarta
6 Arias F. Partical guide to high-risk pregnancy and delivery. 2nd ed.
Missouri : Mosby Year Book inc., 1993; 433-440
7 Cavanagh D, Knuppel RA, O’Connor TCF. Preeclampsia and eclampsia
In: Cavanagh D, Woods RE, O’Connor TCF, Knuppel RA. Obstetric
emergencies. Philadelphia: Harper and Row publisher, 1982; 107-132
8 Walker JJ, Dekker GA. The etiology and pathophysiology of hypertension
in pregnancy. In: Walker JJ, Gant NF. Hypertension in pregnancy. London:
Chapman & Hall Medical, 1997: 47-48
9 Sibai BM. Magnesium sulfate is the ideal anticonvulsant in preeclampsia-
eclampsia. Am J Obstet Gynecol, 1990; 162:1141-5
10 Sheehan JL, Lynch JB. Pathology of preeclampsia in pregnancy. Baltimore
(MD): Williams and Wilkins; 1973.
11 Spinal Anesthesia: Subarachnoid Block.Editor Lee A. Fleisher. 2008.
Diunduh 15 Oktober 2018. Available from:
http://www.proceduresconsult.com/medical-procedures/spinal-anesthesia-
subarachnoid-block-AN-procedure.aspx
12 Mangku Gde, Senapathi Agung Gde Tjokorda. Buku Ajar Ilmu Anestesia
dan Reanimasi, Indeks Jakarta: Jakarta. 2010

37
13 Latief, Said. A. Suryadi, Kartini. A. Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran UI: Jakarta.2010

38

Anda mungkin juga menyukai