Anda di halaman 1dari 46

CASE REPORT SESSION

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A22063


**Pembimbing/ dr. Ardiansyah Periadi Sitompul, Sp. U

Benign Prostate Hyperplasia

Rr Ajeng Widyastuti* dr. Ardiansyah Periadi Sitompul, Sp. U**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH

RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
HALAMAN PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A22063


**Pembimbing

Benign Prostate Hypeplasia

Rr Ajeng Widyastuti, S.Ked*

dr. Ardiansyah Periadi Sitompul, Sp. U **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH


RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

Jambi, Juli 2021


Pembimbing,

dr. Ardiansyah Periadi Sitompul, Sp. U

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas Case Report Session (CRS) pada Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Jambi yang berjudul “Benign Prostate
Hyperplasia”.
Tugas ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori yang
diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Bedah
di RSUD Raden Mattaher Jambi dan melihat penerapannya secara langsung di
lapangan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
dr. Ardiansyah Periadi Sitompul, Sp. U selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
Penulis menyadari bahwa tugas ini jauh dari sempurna, penulis juga dalam
tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih
baik kedepannya.
Akhir kata, penulis berharap bahwa tugas ini bermanfaat bagi kita semua dan
dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, Juli 2021

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Lanjut usia (Lansia), pada umumnya mengalami perubahan-perubahan pada


jaringan tubuh, yang disebabkan proses degenerasi, terjadi terutama pada organ-
organ tubuh, dimana tidak ada lagi perkembangan sel. Proses degenerasi
menyebabkan perubahan kemunduran fungsi organ tersebut, termasuk juga sistem
traktus urinarius, sehingga menyebabkan macam-macam kelainan atau penyakit
urologis tertentu. Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering
mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jinak atau
Benign Prostatic Hiperplasia yang selanjutnya disingkat BPH merupakan penyakit
tersering kedua penyakit kelenjar prostat di klinik urologi di Indonesia. 1,2
BPH merupakan salah satu tumor jinak yang sering ditemukan pada pria.
Penelitian pada autopsi ditemukan 29% BPH terdapat pada pria usia 41-50 tahun,
50% BPH pada usia 51-60 tahun, 65% BPH pada pria usia 61-70 tahun, 80 %
BPH pada usia 71-80 tahun, dan 90 % BPH pada pria usia 81-90 tahun .
Perubahan struktur prostat pada BPH meliputi perubahan volume dan histologi.
Perubahan volume prostat terjadi bervariasi pada setiap umur. 1,2
Di Indonesia, BPH merupakan penyakit tersering kedua setelah batu
saluran kemih. Diperkirakan sekitar 5 juta pria usia diatas 60 tahun menderita
LUTS oleh karena BPH. Di RSCM ditemukan 423 kasus BPH pada tahun 1994-
1997 dan RS Sumber Waras ditemukan sebanyak 617 kasus pada tahun yang
sama. BPH merupakan masalah serius yang harus diperhatikan karena dapat
mempengaruhi kualitas hidup pada pria usia lanjut. Berbagai gejala BPH seperti
LUTS dapat menyebabkan disfungsi ereksi dan masalah ejakulasi. Pria dengan
LUTS yang berat akan mengalami penurunan libido, kesulitan mempertahankan
ereksi dan tingkat kepuasan seksual akan menurun. Survei dari Multi-national
Aging Men (MSAM) yang dilakukan di Eropa dan Amerika, menunjukkan bahwa
lebih dari 14.000 pria usia 50-80 tahun mengalami masalah seksual akibat BPH.3

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. Abdul Razaq
Umur : 74 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : muara panko timur, Kab. Merangin
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Masuk RS : 6 Juli 2021

2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 2 bulan SMRS

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke poliklinik RSUD Raden Mattaher dengan keluhan sulit
BAK sejak 2 bulan SMRS. Pasien di rujuk dari Rumah Sakit di Bangko. Pasien
mengeluhkan nyeri saat BAK dan BAK yang terputus-putus. Pasien sering
terbangun pada malam hari untuk BAK. Pasien juga mengedan saat BAK. BAK
pasien berwarna kemerahan.
Saat pasien tidak bisa BAK dan pasien mengeluhkan kandung kemih nya
terasa penuh 2 bulan yang lalu, keluarga pasien membawanya ke puskesmas di
Bangko dan dipasang kateter. Pasien mengeluhkkan saat kateter di lepas pasien
tidak bisa BAK, BAK yang keluar hanya sedikit. Kurang lebih selama 2 bulan ini
pasien telah mengganti kateter sebanyak 5 kali. Pasien lalu di rujuk ke RSUD
Raden Mattaher untuk melakukakan operasi.
Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat Hipertensi : Disangkal
- Riwayat DM : Disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien

2.3 Pemeriksaan Fisik (7 Juli 2021)


TANDA VITAL
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/70mmHg
Nadi : 72 x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 35,9ºC
Spo2 : 98%

STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Suhu : 35,9ºC
Efloresensi : (-) Turgor : Baik
Pigmentasi : Dalam batas normal Ikterus : (-)
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Ekspresi muka : Tampak sakit sedang
Simetris muka : Simetris

6
Rambut : Tampak berwarna putih tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)

Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (+/+)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah

Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penyumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)

Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dalam batas normal
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn

Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Thorax
Bentuk : Simetris
 Paru-paru

7
 Inspeksi : Pernafasan simetris
 Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
 Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Datar, sikatrik (-),
 Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani (+)
 Auskultasi : Bising usus (+)
Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) dextra et sinistra:
Inspeksi : tidak ada pembesaran
Palpasi : Ballotement (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Nyeri ketok -/-
Regio Suprasimfisis
Inspeksi : Bulging (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Regio Genitalia Eksterna :
Inspeksi : terpasang kateter

Pemeriksaan Colok Dubur: Rata, teraba keras, nodul (-)


Total IPSS Score: 31 (Gejala Berat)

8
Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (07/07/21)
Leukosit : 4,86 109/L (4.0-10.0)
Eritrosit : 3,72 1012/L (4,5- 5,5)
Hemoglobin : 10,1 g/dl (13,4-17,1)
Hematokrit : 30,9 % (34.5-54)
trombosit : 3,729/L (150-450)
MCV : 83,1 fL (80-96)
MCH : 27,2 pg (27-31)
MCHC : 32,7 g/dl (32-36)
GDS : 108 mg/dl (<200)

Faal Hati (28/6/2021)


SGOT : 15 u/l (15-37)
SGPT : 28 u/l (14-63)
Faal Ginjal (28/6/2021)
Ureum : 21 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 0,78 mg/dl (0,55-1,3)
Penanda Tumor (28/6/2021)
PSA : >100 ng/mL (laki-laki >69 Tahun: 0,21-6,77)

9
Radiologi Thorax (28/6/2021)

Kesan:
Cor normal
Bronkopneumonia
USG (28/6/2021)

10
Kesan:
Hidronefrosis Grade 1 Dextra
Prostat volume 205,8 cc

2.5 Diagnosa Kerja


Post op TURP Benign Prostate Hyperplasia
2.6 Diagnosis Banding
 Adenokarsinoma Prostat

2.7 Penatalaksanaan

11
 TURP
 IVFD RL 20tpm
 IV Ceftriaxone
 IV Ketorolac 3x1
 IV Asam Tranexamat 2x500mg
 IV Omeprazole 1x1

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad santionam : dubia ad bonam

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PROSTAT


Selama bulan ketiga kehamilan, kelenjar prostat berkembang dari
invaginasi epitel dari sinus urogenital posterior di bawah pengaruh
mesenkim yang mendasari. Pembentukan normal kelenjar prostat
membutuhkan 5α- dihidrotestosteron, yang disintesis dari testosteron janin
dengan aksi 5 α- reduktase. Enzim ini terlokalisasi di sinus urogenital dan
genitalia eksterna manusia. Akibatnya, kekurangan 5 α-reduktase akan
menyebabkan prostat yang belum sempurna atau tidak terdeteksi selain
kelainan parah pada genitalia eksterna, meskipun epididimis, vasa
deferentia, dan vesikula seminalis tetap normal. 4
Selama periode prapubertas, konstitusi prostat manusia tetap
kurang lebih sama tetapi mulai mengalami perubahan morfologis menjadi
fenotipe dewasa dengan dimulainya masa pubertas. Kelenjar ini terus
membesar hingga mencapai berat dewasa sekitar 20 g pada usia 25 - 30
tahun.4
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak
di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat
berbentuk seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar
fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami
pembesaran organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar
aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm
dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram. 4
5

3.2 DEFINISI

Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya


hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Banyak faktor yang diduga
berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya

14
BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih
menghasilkan testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain (estrogen,
prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik diduga
berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-
faktor tersebut mampu memengaruhi sel prostat untuk menyintesis growth factor,
yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar
prostat.7
Sementara itu, istilah benign prostatic enlargement (BPE) merupakan
istilah klinis yang menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya
perubahan histopatologis yang jinak pada prostat (BPH). Diperkirakan hanya
sekitar 50% dari kasus BPH yang berkembang menjadi BPE. Pada kondisi yang
lebih lanjut, BPE dapat menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut
dengan istilah benign prostatic obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian
dari suatu entitas penyakit yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung
kemih dan uretra, dinamakan bladder outlet obstruction (BOO). Adanya obstruksi
pada BPO ataupun BOO harus dipastikan menggunakan pemeriksaan
urodinamik.7

3.3 EPIDEMIOLOGI
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini
akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian
BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran
hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun
1994-2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61
tahun. Sedangkan data yang didapatkan dari Rumah Sakit Hasan Sadikin dari
tahun 2012-2016 ditemukan 718 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia
67.9 tahun.7

3.4 ETIOLOGI
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH diantaranya:
A. Teori Dihidrotestosteron 5

15
Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam
sel prostat oleh enzim 5α reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.
DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi
sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.
B. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron 5
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari
semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya selsel baru
akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah
ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih
besar.
C. Interaksi stroma-epitel 5
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor)
tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin,
serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi selsel epitel maupun sel stroma.
D. Berkurangnya kematian sel prostat 5

16
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel
yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat
terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan
jumlah selsel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
E. Teori sel stem5
Untuk mengganti sel-sel yang telah menglami apoptosis, selalu dibentuk
selsel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika
hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi,
menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada
BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang beerlebihan sel stroma maupun sel epitel.

3.5 PATOFISIOLOGI
Hiperplasia prostat menyebabkan resistensi uretra sehingga terjadi
kompensasi pada fungsi kandung kemih. Obstruksi tersebut mengganggu fungsi
otot detrusor, ditambah dengan pengaruh usia terhadap fungsi kandung kemih dan
sistem saraf menyebabkan gejala BPH yaitu sering berkemih, tidak dapat
menahan berkemih, dan berkemih pada malam hari. Hiperplasia prostat lebih dulu
muncul pada TZ periuretral di dalam atau disekitar sfingter prostat. Seiring
perjalanan BPH jumlah nodul kecil bertambah dan dapat ditemukan pada hampir
semua bagian TZ maupun zona periuretra Prostat manusia mempunyai kapsul
yang berpengaruh terhadap perkembangan LUTS. Diperkirakan kapsul tersebut

17
memindahkan tekanan akibat penambahan jumlah jaringan ke uretra sehingga
meningkatkan resistensi uretra. Bukti klinis menunjukkan bahwa insisi kapsul
prostat memberikan perbaikan signifikan pada obstruksi urin meskipun volume
prostat tetap sama. Ukuran prostat tidak berkorelasi dengan derajat obstruksi.
Faktor-faktor seperti resistensi uretra, kapsul prostat, dan pleomorfisme anatomi
lebih penting terhadap perkembangan gejala klinis. Retensi urine dapat
menyebabkan pembentukan batu kalkulus atau sistitis.5

Gambar: Patofisiologi BPH melibatkan interaksi antara obstruksi uretra, disfungsi


detrusor dan produksi urin.5
3.6 ANAMNESIS
A. Riwayat Penyakit7
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit
yang dideritanya. Anamnesis itu meliputi:
 Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah
mengganggu;
 Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia
(pernah mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria),
kencing batu, atau pembedahan pada saluran kemih);
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual;

18
 Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan
berkemih.
 Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
B. Skor Keluhan7
Pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala
obstruksi akibat pembesaran prostat adalah sistem skoring keluhan. Salah
satu sistem penskoran yang digunakan secara luas adalah International
Prostate Symptom Score (IPSS) yang telah dikembangkan American
Urological Association (AUA) dan distandarisasi oleh World Health
Organization (WHO). Skor ini berguna untuk menilai dan memantau
keadaan pasien BPH.
IPSS terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0
hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang
telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia). Kuesioner IPSS
dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri setiap
pertanyaan. Berat ringannya keluhan pasien BPH dapat digolongkan
berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: skor 0-7: ringan, skor 8-19:
sedang, dan skor 20-35: berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS
terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life
atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.4-5 Saat ini IPSS
telah divalidasi dalam bahasa Indonesia, dengan hasil validasi dan
realibilitas sangat baik, dan terbukti memiliki kualitas sama dengan versi
asli.

19
C. Catatan harian berkemih (voiding diaries)7
Pencatatan harian berkemih sangat berguna pada pasien yang
mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat

20
kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan
berapa jumlah urine yang dikemihkan, dapat diketahui seorang pasien
menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi
infravesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih.
Sebaiknya pencatatan dikerjakan 3 hari berturut-turut untuk mendapatkan
hasil yang baik.

21
D. Visual Prostatic Symptom Score (VPSS) 7
Metode lain untuk menilai secara subyektif gangguan saluran
kemih bawah adalah dengan Visual Prostatic Symptom Score (VPSS).
Gambar pada VPSS mewakili frekuensi, nokturia, pancaran lemah dan
kualitas hidup. VPSS memiliki keunggulan dibandingkan IPSS, antara
lain, lebih mudah digunakan oleh lansia yang mengalami gangguan
penglihatan, yang sulit membaca tulisan pada IPSS. VPSS juga lebih baik
dibandingkan IPSS pada populasi dengan diversitas bahasa yang luas,
serta keterbatasan pendidikan. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Afriansyah dkk menunjukkan bahwa VPSS berkorelasi secara signifikan
dengan IPSS dan dapat dilakukan tanpa bantuan oleh populasi dengan
edukasi rendah.

22
3.7 PEMERIKSAAN FISIK7
A. Status Urologis
 Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi
adanya obstruksi atau tanda infeksi.7
 Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi
untuk menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.7
7Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk menilai kandung kemih
apabila dicurigai adanya obstruksi. Biasanya kandung kemih berisi
150 ml cairan untuk dapat diperkusi. Retensi urin yang melebihi

23
500 ml biasanya dapat terlihat. Penekanan daerah suprapubik yang
menyebabkan rasa ingin berkemih dapat mengkonfirmasi bahwa
massa yang teraba merupakan akibat retensi urin.5
 Genitalia Eksterna
Penilaian adanya meatal stenosis, fimosis, tumor penis serta
urethral discharge.7
B. Colok Dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok
dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi
prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan
prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung lebih kecil
daripada ukuran yang sebenarnya. 7
Pada pemeriksaan colok dubur juga perlu menilai tonus sfingter ani
dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan
pada lengkung refleks di daerah sakral. Kelebihan colok dubur adalah
dapat menilai konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah
satu tanda dari keganasan prostat.7
Pemeriksaan prostat dapat dilakukan dengan DRE untuk
memperoleh informasi mengenai ukuran prostat, konsistensi atau adanya
nodul pada prostat. Adanya kekakuan prostat dapat disebabkan oleh
infeksi dan adanya nodul dapat disebabkan oleh kanker prostat. Nodul
pada kanker prostat biasanya keras dan tegas dan adanya asimetri prostat
harus diperiksa lebih lanjut.5
3.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan
hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya.
Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan
kultur urine.7
B. Pemeriksaan fungsi ginjal

24
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada
saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-
30% dengan rata-rataPedoman Pelaksanaan Pembesaran Prostat di
Indonesia 2017 | 7 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai
petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran
kemih bagian atas.7
C. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami
peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi
prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan
prostat, dan usia yang makin tua. Serum PSA dapat dipakai untuk
meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA
tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/ laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadi retensi urine akut

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan


kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat laju
pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap
tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah 0,7 mL/tahun,sedangkan pada
kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9
ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.7
Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan
kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan
kateterisasi. Pemeriksaan PSA bersama dengan colok dubur lebih superior
daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya
karsinoma prostat. Oleh karena itu, pada usia di atas 50 tahun atau di atas
40 tahun (pada kelompok dengan risiko tinggi) pemeriksaan PSA menjadi
sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.

25
Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi prostat dipertimbangkan setelah
didiskusikan dengan pasien.7
D. Uroflowmetry (Pancaran Urine)
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses
berkemih. Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh
informasi mengenai volume berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax),
laju pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
laju pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini dipakai
untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun
setelah terapi. Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab
terjadinya kelainan pancaran urine. Pancaran urine yang lemah dapat
disebabkan obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan otot
detrusor. Terdapat hubungan antara nilai Qmax dengan kemungkinan
obstruksi saluran kemih bagian bawah (BOO). Pada batas nilai Qmax
sebesar 10 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 70%, positive predictive
value (PPV) sebesar 70 %, dan sensitivitas sebesar 47% untuk
mendiagnosis BOO. Sementara itu, dengan batas nilai Qmax sebesar 15
mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 38%, PPV sebesar 67%, dan
sensitivitas sebesar 82% untuk mendiagnosis BOO.1 Sebaiknya, penilaian
ada tidaknya obstruksi saluran kemih bagian bawah tidak hanya dinilai
dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain.
Kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup
akurat dalam menentukan adanya obstruksi saluran kemih bagian bawah.
Pemeriksaan uroflowmetry bermakna jika volume urine >150 mL.7

26
E. Residu urine
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di
kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal
rata-rata 12 mL.16 Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara
USG, bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter
ini lebih akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bakteremia.3,16
Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh obstruksi saluran
kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume
residu urine yang banyak pada pemeriksaan awal berkaitan dengan
peningkatan risiko perburukan gejala. Peningkatan volume residu urine
pada pemantauan berkala berkaitan dengan risiko terjadinya retensi urine.7
F. Pencitraan
1) Saluran Kemih Bagian Atas
Pencitraan saluran kemih bagian atas hanya dikerjakan apabila terdapat
hematuria, infeksi saluran kemih, insufisiensi renal, residu urine yang
banyak, riwayat urolitiasis, dan riwayat pernah menjalani pembedahan

27
pada saluran urogenitalia. Pemeriksaan USG direkomendasikan
sebagai pemeriksaan awal pada keadaan.7
2) Saluran Kemih Bagian bawah
Pemeriksaan uretrosistografi retrograd dilakukan jika dicurigai adanya
striktur uretra.7
3) Prostat Pemeriksaan pencitraan prostat merupakan pemeriksaan rutin
yang bertujuan untuk menilai bentuk dan besar prostat, dengan
menggunakan ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau
ultrasonografi transrektal (TRUS). Pengukuran besar prostat penting
dalam menentukan pilihan terapi invasif, seperti operasi terbuka,
teknik enukleasi, TURP, TUIP, atau terapi minimal invasif lainnya.
Selain itu, hal ini juga penting dilakukan sebelum pengobatan dengan
5-ARI.7
4) Sistouretroskopi
Inspeksi visual uretra dan kandung kemih penting pada pasien dengan
disuria atau hematuria untuk melihat adanya abnormalitas mukosa
seperti tumor kandung kemih. Pemeriksaan sistouretroskopi ini juga
diperlukan untuk membedakan striktur uretra dari kanker prostat.
Penilaian yang dilakukan pada sistoutetroskopi antara lain adanya
jaringan obstruktif, konfigurasi dan lokasi obstruksi. Selanjutnya dapat
menilai retensi urin, trabekulasi, divertikula dan batu saluran kemih.
Ukuran prostat juga dapat diperkirakan berdasarkan panjang uretra
pars prostat5
G. Biopsi prostat
Biopsi prostat diindikasikan apabila dicurigai adanya kanker prostat atau
metastasis kanker prostat. Pertimbangan untuk melakukan biopsi prostat
adalah berdasarkan hasil pemeriksaan DRE yang abnormal dan
peningkatan kadar PSA. Biopsi dengan menggunakan TRUS merupakan
teknik pilihan apabila telah diputuskan akan melakukan biopsi prostat.
Hiperplasia pada prostat ditandai dengan proliferasi jinak stroma dan
glandula prostat. Hiperplasia noduler biasanya terdapat pada zona

28
periuretra prostat bagian dalam dan menekan uretra pars prostat. Secara
mikroskopis nodul prostat memiliki proporsi stroma dan glandula yang
bervariasi. Glandula hiperplastik dibatasi oleh dua lapis sel yaitu sel
kolumnar dalam dan sel kolumner luar yang terdiri atas sel basal yang
memendek5

3.9 TATALAKSANA

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup


pasien.Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat
keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya

29
adalah: (1) konservatif (watchful waiting), (2) medikamentosa, (3)
pembedahan, dan (4) lain-lain (kondisi khusus).7

A. Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien
tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap
diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH
dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari.1 Pada watchful waiting ini, pasien
diberi penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya:
(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah
makan malam,
(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi
pada kandung kemih (kopi atau cokelat),
(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, (4) jangan menahan kencing terlalu lama.
(5) penanganan konstipasi
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume

30
residu urine. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan
untuk memilih terapi yang lain. Rekomendasi untuk terapi konservatif7
B. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis
obat yang digunakan adalah:
1) α1-‐blocker
Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot
polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung
kemih dan uretra. Beberapa obat α1-blocker yang tersedia, yaitu
terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan
sekali sehari 1 serta silodosin dengan dosis 2 kali sehari.
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan
voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih
hingga 30-45% atau penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-
30%. Tetapi obat α1-blocker tidak mengurangi volume prostat maupun
risiko retensi urine dalam jangka panjang. α1-blocker memiliki
selektivitas terhadap a1-adrenoceptor yang terdapat selain di prostat
(buli-buli dan medulla spinalis). Subtype adrenoceptor ini berperan
dalam mediasi mekanisme kerja terhadap reseptor tersebut. Selain itu
a1-adrenoceptor yang terdapat pada pembuluh darah, sel otot polos
selain prostat dan susunan saraf pusat akan terkena juga sehingga akan
memberikan efek samping. Masing-masing α1-blocker mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda
(hipotensi postural, dizzines, dan asthenia) yang seringkali
menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Penyulit lain yang
dapat terjadi adalah ejakulasi retrograde dimana semakin selektif obat
tersebut terhadap a1-adrenoceptor maka makin tinggi kejadian
ejakulasi retrograde. Selain itu komplikasi yang harus diperhatikan
adalah intraoperativefloppy iris syndrome (IFIS) pada operasi katarak
dan hal ini harus diinformasikan kepadapasien dan Ophthalmologist
bila akan menjalani operasi katarak

31
2) 5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis
sel epitelprostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20
– 30%. 5a-reductase inhibitor juga inhibitor yang dipakai untuk
mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis
finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride
digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada
pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat
terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul
bercak-bercak kemerahan di kulit.
3) Antagonis Reseptor Muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor
muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi
reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos
kandung kemih. Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang
terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL,
solifenacin succinate, dan tolterodine l-tartrate. Penggunaan
antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage LUTS.
Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA.
4) Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan
konsentrasi dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus
otot polos detrusor, prostat, dan uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3
jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan
tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari
yang direkomendasikan untuk pengobatan LUTS.5 Tadalafil 5 mg per
hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22-37%. Penurunan yang
bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu. Pada penelitian
uji klinis acak tanpa meta-analisis, peningkatan Qmax dibandingkan

32
plasebo adalah 2,4 ml/s dan tidak didapatkan perbedaan yang
bermakna pada residu urine. Data meta-analisis menunjukkan PDE 5
inhibitor memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih muda dengan
indeks massa tubuh yang rendah dengan keluhan LUTS berat.
5) Terapi Kombinasi
 α1-blocker + 5α-reductase inhibitor
Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin)
dan 5α-reductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan
untuk mendapatkan efek sinergis denganmenggabungkan manfaat
yang berbeda dari kedua golongan obat tersebut, sehingga
meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan mencegah
perkembangan penyakit. Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker
untuk memberikan efek klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α-
reductase inhibitor membutuhkan beberapa bulan untuk
menunjukkan perubahan klinis yang signifikan.Data saat ini
menunjukkan terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan monoterapi dalam risiko terjadinya retensi urine akut
dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi
kombinasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya efek
samping.
Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan
LUTS sedang-berat dan mempunyai risiko progresi (volume
prostat besar, PSA yang tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia lanjut).
Kombinasi ini hanya direkomendasikan apabila direncanakan
pengobatan jangka panjang (>1 tahun).
 α1-blocker + antagonis reseptor muskarinik
Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik
bertujuan untuk memblok α1-adrenoceptor dan cholinoreceptors
muskarinik (M2 dan M3) pada saluran kemih bawah. Terapi
kombinasi ini dapat mengurangi frekuensi berkemih, nokturia,
urgensi, episode inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki

33
kualitas hidup dibandingkan dengan α1-blocker atau plasebo saja.
Pada pasien yang tetap mengalami LUTS setelah
pemberianmonoterapi α1-blocker akan mengalami penurunan
keluhan LUTS secara bermakna dengan pemberian anti
muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas detrusor (detrusor
overactivity). Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi,
yaitu α1-blocker dan antagonis reseptor muskarinik telah
dilaporkan lebih tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan
residu urine harus dilakukan selama pemberian terapi ini.
6) Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti. Di antara fitoterapi yang banyak
dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radixurtica, dan masih banyak lainnya. Rekomendasi IAUI
2017 terhadap fitofarmaka adalah: Seperti panduan penatalaksanaan
klinis dari berbagai asosiasi urologi internasional, tidak
merekomendasikan fitofarmaka pada penatalaksanaan pembesaran
prostat jinak.7
C. Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, seperti:
(1) retensi urine akut;
(2) gagal Trial Without Catheter (TWOC);
(3) infeksi saluran kemih berulang;
(4) hematuria makroskopik berulang;
(5) batu kandung kemih;
(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih
bagian atas.

34
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang
hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non
bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH
dengan volume prostat 30-80 ml. Akan tetapi, tidak ada batas
maksimal volume prostat untuk tindakan ini di kepustakaan, hal ini
tergantung dari pengalaman spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan
alat yang digunakan. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala
BPH hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa
perdarahan yang memerlukan transfusi ( 0-9%), sindrom TUR (0-5%),
AUR (0-13,3%), retensi bekuan darah (0-39%), dan infeksi saluran
kemih (0-22%). Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari
pertama) adalah 0,1. Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat
terjadi meliputi inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung
kemih (4,7%), striktur urethra (3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%),
disfungsi ereksi (6,5-14%), dan retensi urin dan UTI.

2) Laser Prostatektomi

35
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu:
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser,
Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan
mengalami koagulasi pada suhu 60-650C dan mengalami vaporisasi
pada suhu yang lebih dari 1000C. Penggunaan laser pada terapi
pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya pada pasien yang
terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.
3) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung
kemih (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang
ukurannya kecil (kurang dari 30 ml) dantidak terdapat pembesaran
lobus medius prostat. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH
dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.
4) Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga
menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas
dihasilkan dari berbagai cara, antara lain adalah Transurethral
Microwave Thermotherapy (TUMT), Transurethral Needle Ablation
(TUNA), dan High Intensity Focused Ultrasound (HIFU). Semakin
tinggi suhu di dalam jaringan prostat, semakin baik hasil klinik yang
didapatkan, tetapi semakin banyak juga efek samping yang
ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini seringkali tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit, tetapi masih harus memakai kateter dalam
jangka waktu lama. Angka terapi ulang TUMT (84,4% dalam 5 tahun)
dan TUNA (20-50% dalam 20 bulan).
5) Stent
Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di
proksimal verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen uretra
prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen serta
pada pasien yang tidak dapat untuk dilakukan tindakan operatif.
Namun secara umum stent mempunyai risiko untuk terjadinya
kesalahan posisi, migrasi, dan enkrustrasi. Efek samping utama
diantaranya nyeri perineal dan gejala pengisian buli-buli.

36
6) Prostatektomi
Operasi Terbuka Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui
transvesikal (Hryntschack atau Freyer) dan retropubik (Millin).
Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat yang volumenya lebih
dari 80 ml. Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling
invasif dengan morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi
pada saat operasi dilaporkan sebanyak 7-14% berupa perdarahan yang
memerlukan transfusi. Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30
hari pertama) adalah di bawah 0,25%. Komplikasi jangka panjang
dapat berupa kontraktur leher kandung kemih dan striktur uretra (6%)
dan inkontinensia urine (10%).

7) Trial Without Catheterization (TWOC)


TWOC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih
secara spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan,
pasien kemudian diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan
sisa urin. TWOC baru dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian
α1-blocker selama minimal 3-7 hari. TWOC umumnya dilakukan pada

37
pasien yang mengalami retensi urine akut yang pertama kali dan belum
ditegakkan diagnosis pasti.
8) Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara
intermiten baik mandirimaupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum
kateter menetap dipasang pada pasien-pasien yang mengalami retensi
urine kronik dan mengalami gangguan fungsi ginjal ataupun
hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan bersih ketika kandung
kemih pasien sudah terasa penuh atau secara periodik.
9) Sistostomi Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak
dapat dilakukan, sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi
dilakukan dengan cara pemasangan kateter khusus melalui dinding
abdomen (supravesika) untuk mengalirkan urine.
10) Kateter menetap Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling
mudah dan sering digunakan untuk menangani retensi urine kronik
dengan keadaan medis yang tidak dapat menjalani tidakan operasi.7

38
39
40
3.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien BPH antara lain pembentukan
batu kandung kemih. Prevalensi batu kandung kemih pada pasien BPH adalah
delapan kali lebih besar dibandingkan dengan kontrol, tetapi tidak ditemukan
peningkatan insiden batu ginjal atau batu uretra. Inkontinensia urin dapat
disebabkan intervensi bedah BPH walaupun dapat pula disebabkan peregangan

41
kandung kemih berlebihan akibat BPH. Inkontinensia urin juga dihubungkan
dengan usia pasien lebih dari 50 tahun.7
Gangguan saluran kemih bagian atas merupakan komplikasi BPH yang
disebabkan hidronefrosis. Azotemia terjadi pada sekitar 15%-30% pasien BPH.
Pada pasien BPH dapat juga terjadi hematuria dan pembentukan bekuan darah,
penelitian menunjukkan densitas pembuluh darah mikro pada pasien BPH lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Komplikasi lain yaitu Infeksi saluran kemih
dan dekompensasi kandung kemih7

3.11 PROGNOSIS
Secara klinis BPH adalah penyakit kronik dan progresif, tetapi
prognosis penyakit ini berbeda antara pasien yang satu dengan yang lain. Tidak
semua pasien mengalami gejala yang memburuk. Gejala BPH sering berfluktuasi
seiring perjalanan penyakit, terkadang gejala tersebut memperlihatkan perbaikan
spontan.
Pengobatan farmakologi pada pasien BPH dengan α-blocker dan atau 5-
ARI dapat mengontrol gejala dengan baik. Pada kasus yang membutuhkan
pembedahan 5-ARI kurang efektif dalam mengontrol gejala. Skor IPSS setelah
TURP umumnya menurun, walaupun penurunan tersebut bervariasi. Penurunan
skor IPSS rata-rata berdasarkan data AUA mencapai 70.6%, dari 18.8 sebelum
pembedahan menjadi 7.2 setelah 12 bulan. 7

42
BAB IV
ANALISA KASUS

Tn. Abdul Razaq umur 74 Tahun di diagnosis Benign Prostate


Hyperplasia. Dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan nyeri saat BAK,
BAK yang terputus-putus, pasien sering terbangun pada malam hari untuk
BAK, dan pasien juga mengedan saat BAK. BAK pasien berwarna
kemerahan. Dari hasil anamnesis ditemukan dysuria, nocturia,
intermitensi, hesitansi yang merupakan gejala LUTS. Ditemukan juga
gejala hematuria. Pasien berusia 74 tahun dimana BPH terjadi pada sekitar
70% pria di atas usia 60 tahun.7 Dari hasil IPSS didapatkan score IPSS 31.
Berat ringannya keluhan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor
yang diperoleh, yaitu: skor 0-7: ringan, skor 8-19: sedang, dan skor 20-35:
berat.7
Dari hasil pemeiksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda
pembesaran ginjal ataupun tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan vesika
urinari tidak ada nyeri tekan, masa, dan vesika urinary tidak
menonjol/penuh. Pada pemeriksaan genitalia eksterna terpasang kateter 3
way 24f. Pada pemeriksaan colok dubur dittemukan prostat rata, keras,
nodul (-). Pemeriksaan prostat dapat dilakukan dengan DRE untuk
memperoleh informasi mengenai ukuran prostat, konsistensi atau adanya
nodul pada prostat. Adanya kekakuan prostat dapat disebabkan oleh
infeksi dan adanya nodul dapat disebabkan oleh kanker prostat. Nodul
pada kanker prostat biasanya keras dan tegas dan adanya asimetri prostat
harus diperiksa lebih lanjut.5
Dari hasil pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium
penanda tumor PSA: >100 ng/mL. Sejumlah penelitian menunjukkan
kadar PSA berhubungan dengan volume prostat. Kadar PSA meningkat
pada kanker prostat, infeksi prostat dan BPH. Kadar PSA juga dapat
meningkat setelah biopsi prostat dan ejakulasi. Karena itu kadar PSA tidak
dianggap sebagai penanda spesifik untuk keganasan tetapi spesifik untuk
organ. 5
Nilai rujukan PSA adalah 8.0 ng/ml menunjukkan kemungkinan
adanya kanker prostat, kadar PSA >20 ng/ml memastikan adanya kanker
prostat. Tumor jinak pada saluran kemih atau prostat dapat meningkatkan
kadar PSA ≥12 ng/ml.5
Dari USG didapat kesan hidronefrosis Grade 1 Dextra dan Prostat
volume 205,8 cc. Menurut algoritma tatalaksana pilihan terapi intervensi
IAUI, volume prostat >80ml dianjurkan untuk Prostatektomi terbuka,
Laser vaporation, dan TURP. TURP merupakan tindakan baku emas
pembedahan pada pasien BPH dengan volume prostat 30-80 ml. Akan
tetapi, tidak ada batas maksimal volume prostat untuk tindakan ini di
kepustakaan.7 Pada pasien ini pasien telah melakukakan operasi TURP
pada tanggal 6 juli 2021.

44
BAB V
KESIMPULAN

Di Indonesia, BPH merupakan penyakit tersering kedua setelah batu


saluran kemih. Diperkirakan sekitar 5 juta pria usia diatas 60 tahun menderita
LUTS oleh karena BPH. Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis,
yaitu adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Banyak faktor
yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada
dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang
masih menghasilkan testosteron. Untuk penegakan diagnosanya diperlukan
anamnesis yang tajam, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan
diperlukan tatalaksana yang tepat dari diagnosa BPH.
DAFTAR PUSTAKA

1. Susilo W, Dahlia, Latief F. Hubungan Antara Kejadian Hematuria


Mikroskopis Dengan Volume Prostat Pada Penderita Benign Prostate
Hyperplasia. FKUMI
2. Amadea RA, Langitan A, Wahyuni RD. Benign Prostatic Hyperplasia.
Jurnal Medical Profession.2019;1(2);172-176.
3. Sampekalo G, Monoarfa RA, Salem B. Angka Kejadian LUTS yang
Disebabkan oleh BPH Di RSUP Prof DR RD Kandou Manado Periode
2009-2013. Jurnal e-Clinic.2015;3(1):568-572.
4. Kai H, Hammerich, Gustavo E, Thomas. Anatomi of the prostate gland
and surgical pathology of prostate cancer.. Cambridge university pree.
978-0-521-88704-5
5. Harun H. Aspek Laboratorium Benign Prostatic Hyperplasia . Medika
Tadulako, Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2019:6( 3)
6. Bimandama MA, Kurniawaty E. Benign Prostatic Hyperplasia dengan
Retensi Urin dan Vesicolithiasis. J Agromedicine Unila. 2018;5(2): 655-
670.
7. IAUI. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak.2017.

Anda mungkin juga menyukai