Anda di halaman 1dari 69

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Program Profesi Dokter/ GIA218067/ Desember 2021


**Pembimbing : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

General Anestesi pada Laparoskopi Appendektomi


atas indikasi Appendicitis Infiltrat
Ranti Rizki Armelia, S.Ked * dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An **

PROGRAM PROFESI DOKTER


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

General Anestesi pada Laparoskopi Appendektomi


atas indikasi Appendicitis Infiltrat

Disusun oleh:
Ranti Rizki Armelia, S.Ked
G1A218067

PROGRAM PROFESI DOKTER


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


pada Desember 2021

PEMBIMBING

dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada tuhan yang maha esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report
Session (CRS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul “General
Anestesi pada Laparoskopi Appendektomi atas indikasi Appendicitis Infiltrat”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program Profesi Dokter di Bagian
Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Panal Hendrik Dolok Saribu,
Sp.An yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Program Profesi Dokter di Bagian Anestesi di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah laporan
kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Desember 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................... i
Halaman Pengesahan.......................................................................................... ii
Kata Pengantar.................................................................................................... iii
Daftar Isi............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................ 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 14
3.1 Anestesi Umum............................................................................. 14
3.2 Appendicitis..................................................................................... 29
3.3 Pengaruh Posisi dengan Anestesi.................................................... 47
3.4 Anestesi pada Laparoskopi............................................................. 52
3.5 Anestesi pada Pasien DM................................................................ 55
BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................. 64
BAB V KESIMPULAN.................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 39

4
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang didapatkan


ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk
memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan
tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya
respon autonom pada stimulasi berbahaya dapat dicapai.1.2
Apendisitis infiltrat adalah inflamasi pada apendiks atau mikroperforasi
yang ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus atau
peritoneum sehingga terbentuk suatu massa. Periapendikular abses,
periapendikular infiltrat dan ruptur pada apendiks dapat terjadi akibat penundaan
penanganan apendektomi.3
Salah satu tatalaksana appendisitis infiltrat yaitu dengan melakukan
appendektomi. Apendektomi dapat dilakukan dengan open atau laparoskopi
Menurut Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons
(SAGES) 2010 keadaan yang sesuai untuk dilakukan laparoskopi diantaranya
pada pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi, anak-anak, dan wanita hamil.4,5
Laparoskopi adalah jenis operasi dengan membuat luka kecil pada abdomen
dan gas dialirkan ke panggul. Digunakan alat laparoskop (mikroskop kecil
berbentuk tabung dengan cahaya) yang dimasukkan ke dalam abdomen. Jenis
operasi laparoskopi lebih disukai karena menyebabkan nyeri pasca bedah yang
lebih sedikit dan memiliki waktu pemulihan yang lebih cepat. Kebanyakan orang
bisa pulang pada hari yang sama atau hari berikutnya.4,5

5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 150 cm/50 kg
Alamat : Keliling Danau, Kerinci
Ruangan : Bangsal Bedah
Diagnosis : Appendicitis Infiltrat
Tindakan : Laparoskopi

2.2 Hasil Kunjungan Pra Anestesi


1. Anamnesis
a. Keluhan Utama :
Nyeri Perut Kanan Bawah memberat sejak ± 2 hari yang lalu
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
memberat sejak ± 2 hari SMRS. Pada awalnya nyeri dirasakan di ulu
hati, kemudian berpindah diperut kanan bawah. Nyeri dirasakan
hilang timbul dan dirasakan makin lama makin memberat. Nyeri
berkurang jika pasien istirahat dan dirasakan memberat saat perut
ditekan dan pasien bergerak, sehingga pasien susah beraktivitas.
Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan sejak 2 hari yang lalu,
mual, muntah (1x,isi makanan, air dan lendir keputihan) dan perut
terasa kembung. Keluhan demam disangkal. BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Pola makan pasien tidak teratur dan jarang mengkonsumsi
serat.
Sejak ± 1 bulan SMRS, pasien mengaku sering merasa nyeri
perut kanan bawah. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan tidak
menyebar. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri berkurang jika pasien
istirahat dan dirasakan memberat saat perut ditekan dan pasien

6
bergerak, sehingga pasien susah beraktivitas. Demam (+) naik turun.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian pasien berobat ke RS
didaerahnya, keluhan berkurang jika pasien meminum obat (pasien
lupa nama obatnya) namun kemudian nyeri kembali muncul. Pasien
kemudian dirujuk ke RSUD Raden Mattaher Jambi karena keluhan
tidak juga membaik dengan pengobatan.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Operasi : (-)
 Riwayat DM : (+) diketahui sejak ± 1 bulan SMRS,
terkontrol dengan obat (Levemir 1x10 IU, Glimepiride 1x2mg)
 Riwayat Hepatitis : (-)
 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat Batuk lama : (-)
 Riwayat Konsumsi obat jangka waktu lama : (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama

e. Riwayat sosial ekonomi : cukup

2. Pemeriksaan Fisik Umum


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
HR : 84 x/menit, kuat angkat
RR : 20 x/menit
Suhu : 37,1 ̊C
SpO2 : 98%
b. Kepala : Normochepal, CA(-), SI(-), Pupil Isokor, RC
(+/+),
c. THT : Rinore (-), otore (-), T1-T1, mallampati 1

7
d. Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Kel. Tiroid (-)
e. Thorax
Inspeksi : Bentuk dbn, gerak dinding dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil (+/+), krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Pulmo: Vesikuler (+/+), Wheezing (-), Rhonki (-)
f. Abdomen
Inspeksi : Kontur datar, bekas operasi (-)
Palpasi : Teraba massa di regio iliaca dextra, Nyeri tekan (+)
regio mcburney, hepar dan lien dbn
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
g. Genital : dalam batas normal
h. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Darah Rutin
 WBC : 11,27 x103/mm3
 RBC : 3,91 x106/mm3
 HGB : 12,5 gr/dL
 HCT : 35,3 %
 PLT : 416 x103/mm3
 GDS : 176 mg/dl
 Masa Pendarahan : 3’ (1-3 menit )
 Masa Pembekuan : 4’ ( 2 – 6 menit )
Kimia Darah
 SGOT/PT : 13/18 U/L
 Ur/Kr : 26/1,1 U/L
 Swab PCR : negatif
b. Pencitraan

8
Rontgen Thorax : Cor dan pulmo dalam batas normal.
4. Status Fisik ASA
1/2/3/4/E

5. Rencana Tindakan Anestesi


1. Diagnosis Pra Bedah : Appendicitis Infiltrat
2. Tindakan bedah : Laparoskopi Appendektomi
3. Status fisik ASA :2
4. Jenis / tindakan anestesi: General Anestesi
5. Persiapan Pra Anestesi :
 Siapkan Informed Consent dan SIO
 Puasa (tidak makan dan minum) min. 6 jam sebelum operasi
 Cek GDS sebelum operasi acc bila GDS <200mg/dl

2.1 Laporan Tindakan Anestesi


- Metode : Anestesi umum
Premedikasi : Ondansetron 4 mg IV
Asam tranexamat 1000 mg IV
- Induksi : Sempurna
- Pengaturan nafas : Kontrol
Ventilator TV 500 ml, RR 18x/mnt, I : E ratio 1 : 2, PEEP 3
- Medikasi : - Fentanyl 100 mcg (iv)
- Propofol 200 mg (iv)
- Atracurium 40 mg (iv)
- Dexamethasone 10 mg (iv)
- Ketorolac 30 mg (iv)
- Tramadol 100 mg (iv)
- Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop
Tube : ETT Non Kinking no.7
Airway : Oropharyngeal Airway (OPA)

9
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Introducer : Stylet
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction
- Intubasi : Insersi ETT no 7
- Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2
Terapi cairan perioperatif
 Maintenance (M)
M = 2 cc/KgBB/jam  2 cc x 50 kg
= 100 cc /jam
 Pengganti Puasa (PP)
Puasa x maintenance = 6 jam x 100 cc/jam = 600 cc
 Stres operasi (SO)
O = 6 cc/kgBB (Operasi Sedang)
O = 6 cc/kgBB x 50 kg = 300 cc
 EBV (Estimated Blood Volume) : 65 x BB
EBV : 65 x 50  3.250 cc
 EBL : 20% EBV = 650 cc
Kebutuhan cairan selama operasi (2 jam):
- Jam I = ½ PP + SO + M
= 300 + 300 + 100
= 700 ml
- Jam II = ¼ PP + SO + M
= 150 + 300 + 100
= 550 ml
Jumlah Cairan yang dibutuhkan = 1.250 ml

Tabel 2.1 Monitoring Pasien


Jam TD HR RR SpO2 Keterangan
08 : 50 130/80 88 18 98%  Pasien masuk ke kamar operasi, dan
dipindahkan ke meja operasi  infus
dipastikan lancar

10
 Pemasangan alat monitoring, saturasi,
nadi, oksigen 2L
 Pasien dipersiapkan untuk induksi, mulai
preoksigenasi dengan O2 murni selama 5
menit
 Pasien diberikan induksi propofol 200 mg,
cek refleks bulu mata
09 : 00 120/80 88 18 97%  Pasang sungkup dengan gas anestesi
inhalasi sevoflurans 25%, N2O 50%
2L:2L
 Beri analgesik fentanyl 100 mcg 
bagging dan kuasai jalan nafas lalu
diberikan relaksan : atracurium 30 mg IV.
 Setelah di bagging selama 5 menit pasien
di intubasi dengan ETT no. 7
 ETT di hubungkan dengan sirkuit anestesi
09 : 10 100/70 84 20 97%  Bagging  Dilakukan auskultasi di kedua
lapang paru untuk mengetahui apakah
ETT terpasang dengan benar  (+)
 ETT difiksasi dengan plester
 Urine bag dikosongkan
 Pasien diposisikan supine
09 : 20 100/60 80 14 98%  Insisi pada daerah umbilikal  masukkan
gas CO hingga perut kembung 
laparoskop
 Pasien diposisikan head down lalu
disampingkan (posisi Tredelenburg)
09 : 30 140/80 92 14 96%
 Berlangsung 60 menit  tiap 30 menit
atracurium 10 mg
10 : 30 110/80 88 20 98%  Posisi pasien dikembalikan  Supine
 Laparoskop dan gas dikeluarkan 
menutup luka
 Gas perlahan dihentikan  sampai nafas
spontan
 Sadarkan pasien & pernafasan dada

11
adekuat
 Suction dan Pasien diekstubasi
 Diberikan oksigen O2 selama 5 menit 
10 : 40 110/80 88 20 100%
cek saturasi
 Pasien sadar penuh  dapat diperintah
10 : 45 120/80 88 20 98%  Pasien pindah ke ruang pemulihan

- Keadaan Intra Anestesi


- Letak penderita : Supine dan Tredelenburg
- Airway : Single lumen ETT ukuran 7
- Lama anestesi : + 1 jam 45 menit
- Lama operasi : + 60 menit
- Total asupan cairan :
- Kristaloid : 500 ml
- Koloid :-
- Darah :-
- Komponen darah : -
- Total keluaran cairan
- Perdarahan : + 50 ml
- Diuresis : + 100 ml
- Perubahan teknik anestesi selama operasi : tidak ada

2.2 Keadaan Pasca Anestesi di Ruang Pemulihan


Masuk jam : 10.50 WIB
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Vital sign : TD : 130/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
SpO2 : 98 %

12
Tabel 2.2 Monitoring Pasca Operasi (Ruangan Pemulihan)
Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan
 Pasien masuk ruang pemulihan
 Dilakukan pemasangan monitoring dan
10.50 130/70 84 20 98% dilakukan skoring dengan menggunakan
skor aldrete

99%  Pasien keluar ruang pemulihan


11.30 120/80 92 20

Skoring Aldrete
Aktivitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit : 2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10  pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat
Jam keluar ruang pemulihan : 11.50 WIB

2.3 Instruksi Pasca Anestesi


1. Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit selama 1 x 24 jam
2. Tidur tanpa bantal 1 x 24 jam
3. Boleh makan dan minum setelah pasien sadar penuh dan bising usus
(+)
4. Instruksi lain dan terapi megikuti dr. Moh. Rizal, Sp.B-KBD

13
5.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anestesi Umum
A. Definisi1,2
General anestesi/anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa
nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali
(reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia,
hipnotik, dan relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah
jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun
atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang
memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan
stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal.Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia.

B. Stadium Anestesi1,6
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum (menggunakan
zat anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter):
Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran.
Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau
muntah.
Stadium III : dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi.

14
Dibagi 4 plane:
Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata.
Plane 2 : dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya
paralisis interkostal.
Plane 3 : dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
interkostal.
Plane 4 : dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.
Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga cardiac
arrest.

C. Persiapan Pra Anestesi1,6,7


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi
adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

15
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri
dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

D. Premedikasi Anestesi1,8
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum
anestesi.Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat

16
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.

E. Induksi1,8,9
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi. Persiapan pada anestesi meliputi kata
STATICS yaitu :
 Scope : laryngoscope dan stethoscope
 Tube : pipa trakea disesuaikan dengan ukuran pasien sesuai umur
 Airway : orothracheal airway, untuk menahan lidah pasien disaat
pasien tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutupi jalan
napas
 Tape : plaster untuk memfiksasi orothrakeal airway
 Introducer: mandarin atau silet dari kawat untuk memandu agar pipa
trakea mudah untuk di masukkan
 Connector : penyambung antara pipa dan alat anesthesia
 Suction : penyedot lender

Induksi Intravena1,9
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi
sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi
intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60
detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada
pasien yang kooperatif. Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat
digunakan untuk rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau
untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan
profopol. Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan profopol.

17
a. Propofol1,9
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air
dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25%
glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi
bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol
sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan
kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus
propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik
inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan
venodilatasi.Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi
efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah
jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-
60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada
thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai
glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam

18
bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada aliran
darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik
selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi
pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-obat
anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal.
Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan
menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai
akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler
sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan
tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah.
Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan,
dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian
dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

Anestetik Inhalasi1,9
Obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul eter, kloroform, etil-
klorida, etilen, divinil-eter, siklosporin, triklor-etilen, iso-propenil-vinil-eter,
propenil-metil-eter, fluoroksan, etil-vinil-eter, halotan, metoksi-fluran,
enfluran, isofluran, desfluran dan sevofluran.Dalam dunia modern, anestetik
inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Obat-obat lain ditinggalkan
karena efek samping yang tidak dikehendaki. Ambilan alveolus gas atau uap
anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:
1. Ambilan oleh paru

19
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi
akan menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi
dalam darah adalahfaktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan
induksi dan pemulihannya.Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat
yang tidak larut dan lambat padayang larut.Kadar alveolus minimal ( KAM )
atau MAC  (minimum alveolar concentration) ialah kadar minimal zat tersebut
dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah
gerakan pada 50 % pasien yang dilakukan insisi standar.Pada umumnya
immobilisasi tercapai pada 95 % pasien, jika kadarnya dinaikkan diatas 30 %
nilai KAM. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial zat anestetik dalam
alveolisama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat.
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:
1. Konsentrasi inspirasi. Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan
sudah penuh, makaambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama
dengan alveoli. Halini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat
kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang
laring. Induksimakin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
2. Ventilasi alveolar. Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin
tinggi dan sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas. Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah,
makin rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru. Makin tinggi curah jantung makin
cepat uap diambil
5. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik.
Jumlah uapdalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang
sebenarnya, karenasebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit
anestesi atau ke atmosfir sekitar sebelum mencapai pernafasan.

20
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom
P450. Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.

a. N2O
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monooksida)
diperolehdengan memanaskan amonium nitrat sampai 240ºC. NH4NO3 --
240 ºC ---- 2H2O + N 2O. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna,
bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat
ini dikemas dalam bentuk cair dalamsilinder warna biru 9000 liter atau
1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm. Pemberian anestesi dengan
N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah,
tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk
menguranginyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan sendirian, tetapidikombinasi dengan salah satu cairan anestesi
lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari
terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.

b. Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan.
Baunya yang enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering
digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan harus
disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supayatidak dirusak oleh cahaya
dan diawetkan oleh timol 0,01%. Selain untuk induksi dapat juga untuk
laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan
sebelum tindakan dierikan analgesi semprot lidokain 4% atau10% sekitar
faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya laringoskop
intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup baik.
Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas
kendalisektar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis
pasien. Halotanmenyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran
darah otak yang sulitdikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi,

21
sehingga tidak disukai untuk bedah otak. Kelebihan dosis menyebabkan
depresi napas, menurunnya tonus simpatis, depresi miokard dan inhibisi
refleks baroreseptor. Kebalikan dari N2O, halotananalgesinya lemah,
anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjangtidak ada
indikasi kontra. Kombinasi dengan adrenalin sering menyebabkan
disritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin
dianjurkan dengan pengenceran1:200.000 (5 µg/kg). Pada bedah sesar,
halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterusakan
menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan insulin,
meninggikan kadar gula darah. Kira-kira 20% halotan dimetabolisir
terutama di hepar secara oksidatif menjadikomponen bromin, klorin, dan
asam trikloro asetat. Secara reduktif menjadi komponenfluorida dan
produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme reduktif
inimenyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan indikasi kontra
pada penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang
tiga bulan atau pasienkegemukan. Pasca pemberian halotan sering
menyebabkan pasien menggigil.

c. Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat
populer setelahada kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada
pengguanan berulang. PadaEEG menunjukkan tanda-tanda epileptik,
apalagi disertai hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada pasien
dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi
kontra untuk dpakai pada kasus dengan riwayat epilepsi.
Kombinasidengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan. Enfluran
yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-volatil
yang dikeluarkan lewat urin. Ssisanya dikeluarkan lewat paru dalam
bentuk asli. Induksi dan pulih dari anestesia lebih cepat dibanding halotan.
Vasodlatasi serebralantara halotan dan isofluran. Efek depresi napas lebih
kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan.
Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, depresilebih

22
jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibanding halotan

d. Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap
oksigen, tetapimeninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi
dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemariuntuk anestesi teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguankoroner. Isofluran dengan
konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkanrelaksasi dan kurang
responsif jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapatmenyebabkan
perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangisampai
1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.

e. Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun
dan efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap
dibandingkan dengananestetik volatil lainnya, sehingga perlu
menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu
ruangan (23.5ºC). potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia
bersifatsimpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek
depres napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan
napas atas, sehingga tidak digunakanuntuk induksi anestesia.

f. Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
dari anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi disampinghalotan. Efek terhadap kardiovaskuler
cukup stabil, jarang mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat
seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadaphepar. Setelah

23
pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun
dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi belum ada laporan
membahayakan terhadap tubuh manusia.

F. Rumatan anestesi
Rumatan anastesia dapat dikerjakan secara intravena atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anastesia
biasanya mengacu pada trias anastesia yaitu hipnosis, analgesia cukup, dan
selama dibedah pasien tidak menimbulkna nyeri, dan relaksasi otot lurik
yang cukup.Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan
O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran
2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).

G. Obat Pelumpuh Otot1,8,9


Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme
kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat
secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi
otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
 Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan
dengan obat terdahulu antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu
reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.

24
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi
adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-
35 menit.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah
lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih
untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal
yang berat.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50
mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv

H. Tatalaksana jalan nafas1,8,9


Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesia posisi
terlentang, tonus otot jalan nafas atas, otot genioglosus hilang, sehingga
lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan nafas
baik totoal maupun parsial. Keadaan ini sering terjadi dan dapat diatasi
dengan manuver tripel airway, pemasangan pharyngeal airway, laryngeal
mask airway, dan endotracheal tube.
a. Tripel manuver
b. Pharyngeal airway
Digunakan jika tripel manuver tidak berhasil membuka jalan nafas.

25
Gambar 1. pharyngeal airway. A. Oropharyngeal airway, B.
Nasopharyngeal airway

c. Sungkup muka
Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan
pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, 02, 01, 1 untuk anak
kecil, 2, 3 untuk anak besar, dan 4, 5 untuk orang dewasa.

Gambar 2. Sungkup muka

d. Laryngeal mask airway


Merupakan jalan nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok dengan tepi yang dapat
dikembang kempiskan.

Gambar 3. Pemasangan LMA

e. Endotracheal tube
Pipa trakea akan mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam
trakea. Pada bayi dan anak, penampang pipa trakea berbentuk bulat
sementara pada orang dewasa berbentuk D, dan pada bayi dibuat tanpa
kaf (cuff) dan untuk anak besar dengan kaf agar tidak bocor.

26
Gambar 4. Endotrakeal tube
Untuk menentukan ukuran ETT dapat digunakan rumus 4 + usia/ 4
untuk diameter pipa dan panjang pipa menggunakan rumus 14 + usia/2
pada anak anak. Sedangkan untuk orang dewasa wanita digunakan
diameter 7-7,5 mm dan panjang 24 cm. Untuk laki-laki digunakan
ukuran diameter 7,5-9 mm dan panjang 24 cm.

I. Terapi Cairan1,8,9
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-
lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml/kgBB/jam.

27
 Sedang= 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.

J. Pemulihan1,8,9
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk
anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward
mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat
luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk
regional anestesi digunakan skor Bromage.

Tabel 1. Aldrete Scoring System


No Kriteria Skor
.
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
motorik perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1

28
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula 1
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna  Kemerahan atau seperti semula 2
kulit  Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

3.2 Appendicitis Infiltrat


A. Definisi
Apendisitis adalah adanya peradangan pada apendiks vermiformis.
Apendisitis infiltrat adalah inflamasi pada apendiks atau mikroperforasi
yang ditutupi atau dbungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus atau
peritoneum sehingga terbentuk suatu massa.3

B. Epidemiologi
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan karena apendiks pada bayi
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini menyebabkan rendahnya insidens kasus
apendisitis pada usia tersebut. Setiap tahun rata-rata 300.000 orang
menjalani apendektomi di Amerika Serikat, dengan perkiraan lifetime
incidence berkisar dari 7-14% berdasarkan jenis kelamin, harapan hidup

29
dan ketepatan konfirmasi diagnosis. Perforasi lebih sering pada bayi dan
pasien lanjut usia, yaitu dengan periode angka kematian paling tinggi.
Insidens pada perempuan dan lak-laki umumnya sebanding, kecuali pada
umur 20-30 tahun, ketika insidens pada laki-laki lebih tinggi.10,11
Penelitian yang dilakukan di Manado, mendapatkan hasil jumlah
pasien terbanyak ialah apendisitis akut yaitu 412 pasien (63%) sedangkan
apendisitis kronik sebanyak 38 pasien (6%). Dari 650 pasien, yang
mengalami komplikasi sebanyak 200 pasien yang terdiri dari 193 pasien
(30%) dengan komplikasi apendisitis perforasi dan 7 pasien (1%) dengan
periapendikuler infiltrat.10
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi dari pada
negara berkembang. Namun, dalam tiga – empat dasawarsa terakhir
kejadian menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari – hari.3

C. Etiologi
1. Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada apendisitis akut.
Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi apendiks, yaitu sekitar
20% pada anak dengan apendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan
perforasi apendiks. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan
limfoid di sub mukosa apendiks, barium yang mengering pada
pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris
vermicularis.3,12
Obstruksi apendiks juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan
dalam terjadinya apendisitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
apendisitis adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.3,12
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses
inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana,

30
sekitar 65% pada kasus apendisitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90%
pada kasus apendisitis akut gangrenosa dengan perforasi.3,12

Gambar 5. Apendisitis (dengan fecalith)

2. Bakteriologi
Apendisitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa
kasus didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada
pasien yang mengalami perforasi. Flora normal pada apendiks sama
dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada apendiks akan tetap
konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya
terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di apendiks,
Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi adalah Eschericia coli dan
Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan
anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.3,12

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob


Batang Gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (+)
Streptococcus anginosus Clostridium sp. Coccus
Streptococcus sp. Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

31
3. Peranan lingkungan: diet dan higiene
Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang
Barat dengan kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula
buatan berhubungan dengan kondisi tertentu pada pencernaan.
Apendisitis, penyakit Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering pada
orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara orang yang
memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt
mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan
motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai
kecenderungan untuk timbul fecalith.12

D. Patofisiologi3,12,13
Patofisiologi dasar apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks
yang diikuti oleh infeksi. Setelah terjadi obstruksi, peningkatan produksi
lendir terjadi, yang menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal.
Dengan meningkatnya tekanan dan stasis dari obstruksi, pertumbuhan
bakteri yang berlebihan kemudian terjadi. Lendir kemudian berubah
menjadi nanah yang menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam tekanan
luminal. Hal ini menyebabkan distensi apendiks dan kemudian
merangsang ujung saraf dari serabut aferen viseral, menghasilkan nyeri
yang samar-samar, tumpul, dan menyebar di midabdomen atau
epigastrium. Peristalsis juga dirangsang oleh distensi yang tiba-tiba,
sehingga kram dapat menyamarkan nyeri viseral pada awal perjalanan
apendisitis. Distensi ini biasanya menyebabkan refleks mual dan muntah,
dan nyeri viseral difus menjadi lebih parah. Tekanan luminal yang terus
meningkat mengakibatkan obstruksi limfatik terjadi yang kemudian
menyebabkan edema pada dinding apendiks. Tahap ini dikenal sebagai
apendisitis akut atau fokal. Meningkatnya tekanan dalam lumen
apendiks melebihi tekanan dari vena, sehingga kapiler dan vena tersumbat.
Aliran darah arteriol yang terus berlanjut menyebabkan terjadinya
obstruksi dan kongesti vaskular6 dan mengakibatkan edema dan iskemia.
Invasi bakteri pada dinding apendiks dikenal sebagai apendisitis

32
supuratif akut. Patologi apendisitis dimulai di mukosa, kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama. Proses inflamasi ini segera melibatkan serosa apendiks kemudian
peritoneum parietal, yang menyebabkan pergeseran karakteristik nyeri ke
kuadran kanan bawah. Akibat tekanan yang terus meningkat, terjadi
trombosis vena dan arteri, menyebabkan gangren (apendisitis
gangerenosa) dan perforasi (apendisitis perforasi).
Upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa
(Walling off) sehingga terbentuk masa periapendikuler yang secara salah
dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya, dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan
menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna
tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut
kanan bawah. Suatu saat organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
sebagai eksaserbasi akut.
Pada anak-anak dimana memiliki omentum yang pendek, dan pada
orang tua yang memiliki daya tahan tubuh yang sudah menurun sulit untuk
terbentuk infiltrat sehingga kemungkinan terjadi perforasi menjadi lebih
besar.

33
Gambar 6. Patofisiologi Appendicitis

E. Manifestasi Klinis3,13
Appensisitis infiltrat didahului oleh keluhan apendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis

34
akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus
yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri akan berpindah
ke kanan bawah (titik McBurney). Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Nyeri pada
awalnya di daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah disebut juga dengan Kocher’s sign. Terdapat juga
keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya
terdapat konstipasi tetapi dapat juga terjadi diare, mual dan muntah. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif.
Appendiks yang terletak retrosekal retroperitoneal (antara sekum
dan otot psoas mayor), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada rangsangan peritoneal karena appendiks terlindung oleh
sekum. Rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat
berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Nyeri atipikal biasanya timbul jika appendiks terletak di dekat
otot obturator internus, rotasi dari pinggang meningkatkan nyeri pada
pasien ditemui ketika ujung appendiks terletak di panggul. Radang pada
appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan gejala dan
tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga peristaltis meningkat dan
pengosongan rectum menjadi lebih cepat serta berulang. Appendiks yang
menempel ke kandung kemih dapat menimbulkan dysuria dan
peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan appendiks terhadap
dinding kandung kemih. Apendiks yang terletak di depan ileum terminal
dekat dengan dinding abdominal, maka nyeri sangat jelas. Sedangkan jika
apendiks terletak di belakang ileum akan menyebabkan nyeri testis,
mungkin disebabkan iritasi arteri spermatika dan ureter.
Hanya 55% dari pasien dengan apendisitis mengeluhkan gejala
dan temuan fisik yang klasik. Hal ini dikarenakan tanda-tanda dan gejala
awal terutama tergantung pada lokasi ujung apendiks yang sangat
bervariasi. Ketika ujung apendiksretrocecal, nyeri dapat dimanifestasikan

35
dengan ekstensi pasif pinggul (psoas sign). Ketika apendiks terletak di
pelvis, nyeri dapat terdeteksi selama pemeriksaan rektal toucher atau
pemeriksaan panggul. Dengan demikian, pada pasien dengan sakit perut
terus-menerus dan gejala rektum (diare atau tenesmus), penting untuk
melakukan pemeriksaan dubur.

F. Penegakan Diagnosis3,12,14
Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama apendisitis biasanya mula-mula
dirasakan di epigastrium atau region umbilical yang kemudian dapat
menyebar dan dirasakan di seluruh perut. Nyeri kemudian dirasakan
berpindah ke perut kanan bawah, tepatnya di titik Mc Burney. Selain itu
terdapat pula keluhan anoreksia, mual, muntah, obstipasi, dan febris.
Namun, keluhan yang dirasakan pasien apendisitis dapat berbeda oleh
karena gejala ditentukan dari posisi ujung apendiks.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam biasanya ringan,
dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah
terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai
1C.
Apendisitis infiltrat terlihat dengan adanya penonjolan di perut
kanan bawah. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio
iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas (Blumberg’s sign). Defence
muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri
tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan
perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut
Rovsing’s sign. Pada Appendicitis retrosekal atau retroileal diperlukan
palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Jika sudah terbentuk abscess yaitu bila ada omentum atau usus lain
yang dengan cepat membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri
pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk

36
pembentukan abscess) juga pada palpasi akan teraba massa yang fixed
dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks
intrapelvinal maka massa dapat diraba pada RT (Rectal Toucher) sebagai
massa yang hangat.
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa
dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada Apendisitis pelvika. Pada
Apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada
anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak appendix.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
• Rovsing’s sign
Jika LLQ (Left Lower Quadrant) ditekan, maka terasa nyeri di
RLQ (Right Lower Quadrant). Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum.
Sering positif pada apendisitis namun tidak spesifik.

Gambar 7. Rovsing Sign

• Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang
lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai
kanan pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver
inimenggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau

37
iritasi langsung yang berasal dari peradangan apendiks. Manuver ini tidak
bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Gambar 8. Psoas Sign


• Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada
telapak kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya.
Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi
dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri
pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Apendiks, abscess lokal,
iritasi M. Obturatorius oleh apendisitis letak retrocaecal, atau adanya
hernia obturatoria.

Gambar 9. Obturator Sign

• Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ (Left Lower Quadrant) kemudian
melepaskannya. Manuver ini dikatakan positif bila pada saat dilepaskan,
pasien merasakan nyeri di RLQ (Right Lower Quadrant).
• Wahl’s sign

38
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada
saat dilakukan perkusi di RLQ (Right Lower Quadrant), dan terdapat
penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada auskultasi.

• Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat
tungkai kanannya ditekuk.
• Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak apendiks.
• Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di
cavum Douglasi atau Apendisitis letak pelvis.
• Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya
didapatkan pada keadaan akut, apendisitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis
apendisitis akut harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih
lebih dari 18.000/ mm3 pada apendisitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel
darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi apendiks dengan atau tanpa abscess.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan. Kombinasi 3
tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥ 11000,
dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas
90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi
dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau

39
eritrosit dari iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan
oleh inflamasi Appendix, pada Apendisitis akut dalam sample urine
catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
apendisitis. apendiks diidentifikasi atau dikenal sebagai suatu akhiran yang
kabur, bagian usus yang nonperistaltik yang berasal dari caecum. Dengan
penekanan yang maksimal, apendiks diukur dalam diameter anterior-
posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-
posterior apendiks 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan
mendukung diagnosis. Gambaran USG dari apendiks normal, yang dengan
tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5
mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis apendisitis akut. Penilaian
dikatakan negatif bila apendiks tidak terlihat dan tidak tampak adanya
cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis apendisitis akut tersingkir
dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen
harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia
reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan
transabdominal maupun endovagina agar dapat menyingkirkan penyakit
ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis
apendisitis akut dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-
96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-
anak dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan
lanjut.

40
Gambar 8. Ultrasonogram pada potongan longitudinal Apendisitis

Pemeriksaan radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis apendisitis akut, tetapi
dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada
pasien apendisitis akut, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara
dalam usus, hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith
jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung
diagnosis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
Tanda – tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran
perselubungan, mungkin terlihat ”ileal atau caecal ileus” (gambaran garis
permukaan caian – udara di sekum atau ileum).
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan
radioisotop leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih
akurat daripada USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan
efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abscess
apendiks untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada
penemuan yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada caecum dan
apendiks yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar
antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek appendisitis
harus dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak

41
boleh ditunda atau diganti, memerlukan operasi segera saat ada indikasi
klinis.

Gambar 9. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Apendiks (panah)


dengan appendicolith
Appendicogram
Apendikografi atau appendicogram merupakan salah satu jenis
pemeriksaan radiografi yang umum digunakan di Indonesia sebagai
pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis apendisitis.
Pemeriksaan ini menggunakan BaSO4 (barium sulfat) yang diencerkan
dengan air menjadi suspensi barium dan dimasukkan secara oral. Selain
secara oral, barium juga dapat dimasukkan melalui anus (barium
enema).Hasil dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan anatomi
fisiologis dari apendiks dan kelainan pada apendiks berupa sumbatan pada
pangkal apendiks. Hasil pemeriksaan apendikografi dibagi menjadi tiga,
yakni:
• filling atau positive appendicogram: keseluruhan lumen apendiks terisi
penuh oleh barium sulfat. Gambaran ini menandakan bahwa tidak
ada obstruksi pada pangkal apendiks sehingga suspensi barium sulfat
yang diminum oleh pasien dapat mengisi lumen apendiks hingga
penuh.
• partial filling: suspensi barium sulfat hanya mengisi sebagian lumen
apendiks dan tidak merata.
• non filling atau negative appendicogram: barium sulfat tidak dapat
mengisi lumen apendiks. Ada beberapa kemungkinan penyebab dari

42
gambaran negatif appendicogram yakni adanya obstruksi pada pangkal
apendiks (dapat berupa inflamasi) yang mengindikasikan apendisitis
atau suspensi barium
sulfat belum mencapai apendiks karena perhitungan waktu yang
tidak tepat (false negative appendicogram).

Laparoscopy
Laparoscopy adalah Suatu tindakan dengan menggunakan kamera
fiberoptic yang dimasukan dalam abdomen, apendiks dapat
divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh
anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan
peradangan pada apendiks maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan apendiks.

Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk
diagnosis apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai
gambaran histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi apendisitis
akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut
pada orang yang tidak dilakukan operasi.

Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek apendisitis akut dibuat skor Alvarado
dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6.
Selanjutnya ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah
Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan apendiks dan
hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan
radang akut.

Gejala Klinik Value


Gejala Adanya migrasi nyeri 1

43
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10

Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6
maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

G. Tatalaksana3,4,12
Terapi Appendikular infiltrat, kebanyakan adalah konservatif yaitu
dengan observasi ketat dan antibiotik, dengan cairan intravena, dan
pemasangan NGT (Naso Gastric Tube) bila diperlukan. Konservatif
berlangsung selama ± 6 hari di rumah sakit, lalu direncanakan untuk
dilakukan appendectomy elektif setelah 4-6 minggu kemudian untuk
mencegah kemungkinan risiko rekurensi dan perforasi yang lebih luas
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi
antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat
dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat
ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya
angka leukosit.

44
Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila
gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan
appendectomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap
hari. Biasanya pada hari ke 5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila
massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus
segera dibuka dan didrainase.

Apendiktomi
Apendektomi dapat dilakukan dengan open atau laparoskopi Menurut
Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES)
2010 keadaan yang sesuai untuk dilakukan laparoskopi diantaranya pada
pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi, anak-anak, dan wanita hamil.
Prosedur apendektomi laparoskopi sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca
bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian
infeksi luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat peningkatan kejadian
abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi
dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen,
terutama pada wanita.
Sebelum dilakukan operasi, maka perlu dilakukan persiapan seperti
hidrasi yang adekuat harus dipastikan, kelainan elektrolit harus diperbaiki,
dan kondisi jantung, paru, dan ginjal harus ditangani terlebih dahulu.
Sebuah penelitian meta-analisis telah menunjukkan efikasi antibiotik pra
operasi dalam menurunkan komplikasi infeksi di apendisitis. Pada
apendisitis akut tanpa komplikasi, tidak ada manfaat dalam memperluas
cakupan antibiotik melampaui 24 jam. Pada apendisitis perforasi atau
dengan gangren, antibiotik dilanjutkan sampai pasien.

H. Komplikasi3,10
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Perforasi dapat menyebabkan

45
timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Akibat lebih
jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya Pelvic Abscess,
Subphrenic absess, Intra peritoneal abses lokal. Peritonitis merupakan
infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat
menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

I. Prognosis3,10
Angka kematian akibat apendisitis yaitu 0,2-0,8% yang lebih banyak
disebabkan komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Angka
kematian pada anak-anak berkisar antara 0,1% sampai 1%; pada pasien
yang lebih tua dari 70 tahun, angka kematian naik di atas 20%, terutama
karena keterlambatan diagnosis dan terapi. Perforasi apendiks dikaitkan
dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
apendisitis nonperforasi. Risiko kematian apendisitis akut tanpa gangren
kurang dari 0,1%, namun risiko meningkat menjadi 0,6% pada apendisitis
gangren. Tingkat perforasi bervariasi dari 16% hingga 40%, dengan
frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada kelompok usia muda (40-57%)
dan pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun (55-70%), dimana sering
terjadi misdiagnosis dan diagnosis yang tertunda. Komplikasi terjadi pada
1-5% pasien dengan apendisitis, dan infeksi luka pasca operasi
menyebabkan kematian untuk hampir sepertiga dari morbiditas terkait.

3.3 Pengaruh Posisi dengan Anestesi


Posisi pasien di ruang operasi sangat penting dan membutuhkan kerja
sama dari seluruh tim pembedahan. Posisi yang dianggap optimal untuk operasi
sering mengakibatkan perubahan fisiologis yang tidak diinginkan seperti hipotensi
dari gangguan aliran balik vena ke jantung atau desaturasi oksigen sebagai hasil
ketidakcocokan ventilasi-perfusi. Selain itu, cedera saraf perifer selama operasi
tetap menjadi sumber signifikan dari morbiditas perioperative. Ahli bedah
awalnya yang menentukan posisi yang diinginkan; Namun, untuk
memaksimalkan kesejahteraan dan keselamatan pasien, ahli anestesi, ahli bedah,

46
dan perawat intraoperative harus bekerja sama untuk mencapai posisi pasien yang
optimal.1,15

Sistem Kardiovaskular
Respons fisiologis kompleks arteri, vena, dan jantung telah berevolusi
untuk menumpulkan efek dari perubahan posisi pada tekanan darah arteri dan
untuk mempertahankan perfusi ke organ vital. Mekanisme sentral, regional, dan
lokal terlibat. Mekanisme-mekanisme ini khususnya penting bagi hewan seperti
manusia yang memelihara postur tegak, karena jarak vertikal dari jantung ke otak
dan kebutuhannya akan perfusi yang konstan.1,15
Biasanya, ketika seseorang berbaring dari tegak ke terlentang, aliran balik
vena ke jantung meningkat saat darah yang terkumpul di ekstremitas bawah
didistribusikan kembali ke jantung. Preload, stroke volume, dan curah jantung
meningkat. Hasilnya adalah peningkatan tekanan darah arteri mengaktifkan
baroreseptor aferen dari aorta (melalui saraf vagus) dan di dalam dinding sinus
karotis (Melalui saraf glossofaringeal) untuk mengurangi aliran keluar simpatis
dan untuk meningkatkan impuls parasimpatis ke sinoatrial node dan miokardium.
Hasilnya adalah kompensasi penurunan denyut jantung dan, pada akhirnya, curah
jantung. Mekanoreseptor dari atrium dan ventrikel juga diaktifkan untuk
mengurangi aliran simpatis ke otot dan vena splanknik. Terakhir, refleks atrium
diaktifkan untuk mengatur aktivitas saraf simpatis ginjal, renin plasma, atrium
natriuretik peptida, dan kadar arginine vasopresin. Akibatnya, selama perubahan
postural tanpa anestesi, tekanan darah arteri sistemik biasanya dipertahankan
dalam kisaran yang sempit.1,15
Anestesi umum, relaksasi otot (kelumpuhan), ventilasi tekanan positif, dan
blokade neuraxial akan mengganggu aliran balik vena ke jantung, tonus arteri,
dan mekanisme autoregulasi. Karena itu pasien yang menerima anestesi umum
dan regional mayor rentan terhadap kompnesasi peredaran darah yang buruk
terkait efek perubahan posisi. Anestesi volatil untuk induksi dan pemeliharaan
anestesi menurunkan aliran balik vena dan resistensi vaskular sistemik, sering
menurunkan tekanan darah arteri. Ventilasi tekanan positif meningkatkan tekanan
intratoraks rata-rata, mengurangi gradien tekanan vena dari kapiler perifer ke

47
atrium kanan. Karena gradien tekanan yang relatif kecil pada sirkulasi vena,
pengisian jantung, dan, akibatnya, curah jantung mungkin memburuk. Tekanan
akhir ekspirasi positif (PEEP) lebih lanjut meningkatkan rata-rata tekanan
intratoraks, seperti halnya kondisi terkait dengan compliance paru-paru yang
rendah seperti obesitas, asites, dan anestesi ringan. Pengembalian vena dan curah
jantung mungkin lebih lanjut dikompensasi. Penggunaan anestesi spinal atau
epidural menyebabkan simpatektomi yang signifikan pada kasus semua dermatom
teranestesi, terlepas dari adanya anestesi umum, mengurangi preload dan
berpotensi menumpulkan respons jantung. Keluaran simpatik untuk Jantung
sering terpengaruh bahkan ketika blokade sensorik tidak mencapai level toraks
yang tinggi.1,8,15
Karena alasan ini, tekanan darah arteri sering kali labil segera setelah
dimulainya anestesi dan selama memposisikan pasien. Petugas anestesi perlu
mengantisipasi, memantau, dan mengobati efek ini, serta menilai keamanan
perubahan posisi untuk masing-masing pasien. Pengukuran tekanan darah harus
dilakukan setelah induksi anestesi atau ketika blokade neuraxial dimulai. Selama
transisi hemodinamik ini, penyesuaian ke tingkat anestesi dan pemberian cairan
intravena tambahan atau vasopresor mungkin diperlukan. Penggunaan sementara
dari Posisi head-down Trendelenburg dapat membantu.9,15

Sistem Pulmonal
Orang yang dibius dengan pernafasan spontan memiliki volume tidal dan
kapasitas residual fungsional yang berkurang dan peningkatan volume penutupan
bila dibandingkan dengan keadaan nonanestesi. Ventilasi tekanan positif dengan
relaksasi otot dapat memperbaiki ketidakcocokan ventilasi-perfusi di bawah
anestesi umum dengan mempertahankan minute ventilation yang adekuat dan
mencegah atelektasis. Namun, diafragma mengasumsikan bentuk yang tidak
normal karena kehilangan tonus. Perubahan fisiologis ini mengurangi kecocokan
ventilasi-perfusi dan, akibatnya, PaO2 Pasien yang menjalani anestesi neuraxial
kehilangan fungsi otot abdomen dan thorax pada dermatom yang terkena. Namun,
fungsi diafragma dapat dipertahankan jika anestesi umum dan relaksasi otot tidak
diberikan secara bersamaan dan jika anestesi neuraxial terbatas pada yang lebih

48
dermatom yang lebih rendah. Selain efek anestesi ini, posisi pasien memiliki efek
berbeda pada fungsi paru. Secara khusus, posisi apa pun yang membatasi gerakan
diafragma, dinding thorax atau abdomen dapat meningkat atelektasis dan pintasan
intrapulmoner.9,15
Ventilasi spontan dihasilkan dari tekanan intratoraks negatif yang relatif
kecil bergeser selama inspirasi karena perpindahan diafragma dan ekspansi
dinding dada. Penurunan tekanan ini juga meningkatkan aliran balik vena ke
thorax dengan mengurangi tekanan pada vena cava dan atrium kanan,
dibandingkan dengan perifer. Saat orang bergeser dari berdiri ke posisi terlentang,
kapasitas residu fungsional berkurang karena perpindahan ke cephalad dari
diafragma. Kontribusi relatif ventilasi pada dinding dada, dibandingkan dengan
diafragma, berkurang dari 30% menjadi hanya 10%.9,15
Ketika pasien dalam posisi tengkurap, berat badan harus didistribusikan ke
cavum thoraks dan tulang pelvis, memungkinkan abdomen bergerak untuk
respirasi. Posisi tengkurap telah digunakan untuk meningkatkan fungsi
pernapasan pada pasien dewasa dengan ARDS. Di bawah anestesi, posisi
tengkurap memiliki keunggulan dibanding terlentang berkaitan dengan volume
paru dan oksigenasi tanpa efek buruk pada mekanika paru-paru, termasuk pasien
yang mengalami obesitas dan pasien anak.9,15

Posisi Supine/Terlentang
Posisi paling umum untuk operasi adalah telentang atau posisi dekubitus
dorsal. Karena keseluruhan tubuh dekat dengan jantung, hemodinamik
dipertahankan dengan sebaiknya. Namun, karena mekanisme kompensasi tumpul
oleh anestesi, bahkan beberapa derajat head-down (Posisi Trendelenburg) atau
head-up (Posisi reverse Trendelenburg) sudah cukup menyebabkan perubahan
kardiovaskular yang signifikan dan sering digunakan untuk mempengaruhi
perubahan sementara pada aliran balik vena dan curah jantung. Trendelenburg
dan
reverse Trendelenburg (hingga 45 derajat) digunakan untuk beberapa operasi,
termasuk laparoskopi yang lama dan prosedur robotik dengan
pneumoperitoneum.15

49
Gambar 3.1 Posisi Supine15

Variasi Posisi Supine/Terlentang1,9,15


Memiringkan pasien telentang yaitu posisi Trendelenburg sering
digunakan untuk meningkatkan aliran balik vena selama hipotensi, untuk
meningkatkan paparan selama operasi abdomen dan laparoskopi, dan selama
pemasangan kateter vena sentral untuk mencegah emboli udara dan distensi dari
vena sentral. Nama posisi ini diambil dari nama seorang ahli bedah Jerman pada
abad kesembilan belas, Friedrich Trendelenburg, yang menggambarkan
penggunaan posisi ini untuk operasi abdomen.
Posisi Trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral, tekanan
intrakranial, dan intraokular dan dapat mengakibatkan konsekuensi
kardiovaskular dan pernapasan yang signifikan. Posisi head-down curam (30
hingga 45 derajat) sekarang sering digunakan untuk bedah prostat dan ginekologi
robotik.
Karena efek gravitasi yang bertambah, perawatan harus dilakukan diambil
untuk mencegah pasien pada posisi head-down curam terjatuh dari meja bedah
dan untuk menghindari kompresi pleksus brakialis oleh torso pada sendi bagu.
Teknik untuk menahan pasien termasuk selimut anti slip, fleksi lutut dan padded
cross-torso straps. Posisi head-down yang lama juga dapat menyebabkan
pembengkakan pada wajah, konjungtiva, laring, dan lidah dengan peningkatan
potensi obstruksi jalan nafas atas pasca operasi. Gerakan arah kepala dari viscera
abdomen ke diafragma juga menurun kapasitas residu fungsional dan compliance

50
paru. Pada pasien yang berventilasi spontan, usaha bernafas meningkat. Pada
pasien yang memiliki ventilasi mekanis, tekanan jalan nafas harus lebih tinggi
untuk memastikan ventilasi yang memadai. Lambung juga terletak di atas glotis.
Karena itu intubasi endotrakeal sering lebih disukai untuk melindungi jalan nafas
dari aspirasi isi lambung yang berhubungan dengan refluks dan untuk mengurangi
atelektasis. Karena risiko edema dari trakea dan mukosa yang mengelilingi jalan
nafas selama operasi dengan pasien dalam posisi Trendelenburg untuk periode
yang lama, memastikan kebocoran udara di sekitar endotrakeal tube atau
memvisualisasikan laring sebelum ekstubasi mungkin bijaksana.
Posisi Trendelenburg terbalik (miring head-up) sering digunakan untuk
memfasilitasi operasi abdomen bagian superior dengan menggeser isi abdomen ke
caudal. Posisi ini semakin populer semakin banyak operasi laparoskopi. Sekali
lagi, disarankan untuk hati-hati dalam mencegah pasien terjatuh dari meja, dan
lebih sering memantau tekanan darah arteri mungkin bijaksana karena hipotensi
disebabkan dari penurunan aliran balik vena. Selain itu, posisi kepala di atas
jantung mengurangi tekanan perfusi ke otak dan harus dipertimbangkan saat
menentukan tekanan darah optimal dan posisi nol dari transduser tekanan arteri,
saat ini.
Di semua posisi di mana kepala berada pada tingkat yang berbeda dari
pada jantung, efek gradien hidrostatik pada tekanan arteri dan vena serebral harus
dipertimbangkan ketika memperkirakan tekanan perfusi otak.

51
Gambar 3.2 Posisi head down (Tredelenburg) dan head up (Reverse
Tredelenburg)15

3.4 Anestesi pada Laparoskopi


Pengenalan laparoskopi di bidang pembedahan pada pertengahan 1950-an
merevolusi teknik bedah karena pengurangan biaya medis secara keseluruhan,
mengurangi perdarahan, komplikasi bedah dan paru lebih sedikit pasca operasi,
dan pemulihan dini. Pergeseran laparoskopi secara bertahap untuk memasukkan
prosedur bedah yang lebih rumit menghasilkan modifikasi teknik anestesi yang
ada. Berbagai efek induksi pneumoperitoneum, bagian integral dari laparoskopi,
dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan perubahan kardiovaskular yang
paling baik dikelola dengan menggunakan anestesi umum (GA).1,8,16

Efek Sistemik Pneumoperitoneum pada Laparoskopi


Penggunaan pneumoperitoneum adalah bagian integral dari prosedur
laparoskopi dan biasanya dilakukan dengan insuflasi karbon dioksida untuk
visualisasi yang baik dari visera abdomen. Efek utama adalah karena peningkatan
tekanan intraabdomen yang menyebabkan berbagai perubahan pernapasan,
kardiovaskular dan neurologis.16
 Kardiovaskular
Efek kardiovaskular terutama tergantung pada tekanan intraabdomen dan
penyerapan karbon dioksida ke dalam sirkulasi sistemik. Pada tekanan
intraabdomen yang lebih rendah yaitu kurang dari 15 mmHg, aliran balik vena
bertambah karena pengosongan pembuluh splanknik, dan dengan demikian curah
jantung dan tekanan darah meningkat. Pada tekanan intraabdomen yang lebih
tinggi lebih dari 15 mmHg, karena kompresi vena cava inferior dan kolateral
lainnya, aliran balik vena menurun, sehingga mengurangi curah jantung dan
tekanan darah. Berbagai bradyarrythmias yang mengarah ke atrioventrikular blok
dan cardiac arrest telah didokumentasikan karena stimulasi vagal pada
pemasangan trocar, peritoneal stretch atau embolisasi karbon dioksida.16
 Pernafasan

52
Hal ini termasuk penurunan volume paru-paru, atelektasis basal,
peningkatan pirau intrapulmoner, peningkatan puncak dan tekanan jalan nafas
rata-rata yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intra-abdominal dan
perpindahan ke arah cephal dari diafragma dengan berkurangnya ekskursi.
Mungkin juga ada kemungkinan migrasi endobronkial dari tabung endotrakeal,
menghasilkan hiperkarbia dan hipoksia.16
 Neurologis
Peningkatan tekanan intrakranial mengakibatkan penurunan tekanan
perfusi otak dapat terjadi akibat hiperkapnia, peningkatan tekanan intra-
abdominal, dan posisi head-down. Perubahan ini dapat merugikan pada pasien
dengan penurunan compliance intrakranial.16
 Posisi
Prosedur laparoskopi yang paling umum menggunakan posisi
Trendelenburg (head-up) atau reverse Trendelenburg (head-down), sehingga
semakin mempotensiasi efek buruk pneumoperitoneum. Aliran balik vena, curah
jantung dan tekanan arteri rata-rata berkurang lebih lanjut dalam posisi head-up,
dengan peningkatan resistensi pembuluh darah dan paru. Kerusakan sistem
pernapasan dianggap secara maksimal terpengaruh pada posisi reverse
Trendelenburg tetapi juga tergantung pada durasi pneumoperitoneum.16

Anestesi Umum pada Laparoskopi


Penggunaan GA dengan ventilasi terkontrol telah dianggap sebagai teknik
yang paling dapat diterima untuk prosedur laparoskopi karena berbagai efek
pneumoperitoneum. Penggunaan agen intravena yang bekerja cepat dan berdurasi
lebih pendek seperti propofol dan etomidat serta agen inhalasi seperti sevoflurane
dan desflurane telah menjadikan GA teknik yang disukai untuk prosedur
laparoskopi. Penggunaan analgesic opioid ultra short acting seperti remifentanil
juga mendukung GA dalam prosedur laparoskopi jalur cepat. Penggunaan nitro
oksida dalam prosedur laparoskopi telah menjadi kontroversi, tetapi literatur
terbaru tidak memberikan keuntungan klinis untuk menghindarinya terhadap
risiko kesadaran intraoperatif yang lebih besar. Satu-satunya keuntungan
menghindari nitro oksida adalah insiden PONV yang lebih rendah. Penggunaan

53
relaksan otot short-acting non-depolarisasi telah menggantikan relaksan otot
depolarisasi seperti suksinilkolin dari teknik GA seimbang untuk operasi
laparoskopi, yang memungkinkan untuk mengurangi nyeri otot pasca operasi.
Selain itu, meningkatnya penggunaan obat baru seperti agonis alpha-2 selain
opioid yang digunakan secara tradisional cukup efektif dalam pelemahan respon
stresor selama intubasi.16
Penggunaan laryngeal mask airway (LMA) dengan ventilasi terkontrol
dapat menghindari intubasi endotrakeal pada pasien non-obesitas tertentu yang
menjalani prosedur laparoskopi, sehingga mengurangi kejadian sakit tenggorokan
pasca operasi, tetapi harus dibatasi pada prosedur dengan penggunaan tekanan
intra-abdomen rendah dan kemiringan ringan. Teknik anestesi teraman tetap GA
dengan intubasi endotrakeal pada mereka yang tidak memiliki kontraindikasi,
dengan maintenance intraoperatif end-tidal karbon dioksida (EtCO2) sekitar 35
mmHg dengan penyesuaian volume tidal atau respiratory rate. Agen yang secara
langsung menekan jantung harus dihindari, dengan pemberian obat antikolinergik
jika terjadi peningkatan tiba-tiba pada tonus vagal selama laparoskopi.16

3.5 Anestesi pada Pasien dengan Diabetes Mellitus


Diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia dan glikosuria yang
timbul akibat gangguan metabolisme karbohidrat. Penyebabnya adalah defisiensi
insulin absolut atau relatif atau responsivitas insulin. Diagnosis didasarkan pada
peningkatan glukosa darah puasa > 126 mg/dL atau HbA1c sebesar > 6,5%.
Komplikasi jangka panjang diabetes termasuk retinopati, penyakit ginjal,
hipertensi, penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah perifer dan serebral,
dan neuropati perifer dan otonom. Diabetes diklasifikasikan menjadi 2 yaitu
Diabetes Mellitus tipe 1 (memerlukan insulin karena defisiensi insulin endogen)
dan diabetes mellitus tipe 2 (resistensi insulin) adalah yang paling umum dan
terkenal serta Diabetes Gestasional yaitu kenaikan gula darah hanya saat hamil.1,8
Ada tiga komplikasi akut diabetes yang mengancam nyawa dan
pengobatannya (ketoasidosis diabetikum (KAD), koma hiperosmolar nonketotik
(HONK), dan hipoglikemia) di samping masalah medis akut lainnya (seperti
sepsis) dimana adanya diabetes membuat pengobatan menjadi lebih sulit.

54
Penurunan aktivitas insulin memungkinkan katabolisme asam lemak bebas
menjadi badan keton (asetoasetat dan -hidroksibutirat), beberapa di antaranya
merupakan asam lemah. Akumulasi asam organik ini menyebabkan KAD,
asidosis metabolik anion-gap. KAD dapat dengan mudah dibedakan dari asidosis
laktat; asidosis laktat diidentifikasi dengan peningkatan laktat plasma (>6
mmol/L) dan tidak adanya urin dan keton plasma. Namun, baik KAD dan ketosis
dapat terjadi bersamaan dengan asidosis laktat, maka dari itu penting untuk
melakukan pemeriksaan kadar laktat. KAD dikaitkan dengan diabetes mellitus
tipe 1, tetapi pasien dengan KAD mungkin tampak secara fenotip memiliki
diabetes mellitus tipe 2. Ketoasidosis alkoholik dapat mengikuti konsumsi alkohol
berat (peminum berlebihan) pada pasien nondiabetes dan mungkin termasuk
kadar glukosa darah yang normal atau sedikit meningkat. Pasien tersebut mungkin
juga memiliki peningkatan -hidroksibutirat yang tidak proporsional dibandingkan
dengan asetoasetat, berbeda dengan pasien dengan KAD.1,8
Infeksi adalah penyebab umum KAD pada pasien diabetes terkontrol.
KAD mungkin merupakan manifestasi awal dari orang yang sebelumnya tidak
terdiagnosis dengan diabetes mellitus tipe 1. Manifestasi klinis KAD termasuk
takipnea (kompensasi pernapasan untuk asidosis metabolik), sakit perut, mual dan
muntah, dan perubahan sensorium. Penatalaksanaan KAD harus mencakup
koreksi hipovolemia yang sering terjadi, hiperglikemia, dan defisit total kalium
tubuh. Hal ini biasanya dicapai dengan infus cairan isotonik terus menerus dengan
kalium dan infus insulin. Target penurunan glukosa darah pada ketoasidosis harus
mencapai 75 sampai 100 mg/dL/jam atau 10%/jam. Terapi umumnya dimulai
dengan infus insulin intravena pada 0,1 iu/kg/jam.
Beberapa liter saline 0,9% (1-2 L pada jam pertama, diikuti dengan 200-
500 mL/jam) mungkin diperlukan untuk mengoreksi dehidrasi pada pasien
dewasa. Ketika glukosa plasma turun hingga 250 mg/dL, infus D5W harus
ditambahkan ke infus insulin untuk mengurangi kemungkinan hipoglikemia dan
untuk menyediakan sumber glukosa yang berkelanjutan (dengan insulin yang
diinfuskan) untuk normalisasi metabolisme intraseluler.
Ketoasidosis bukan merupakan gejala HONK, mungkin karena tersedia
cukup insulin untuk mencegah pembentukan badan keton. Sebaliknya, diuresis

55
yang diinduksi hiperglikemia menyebabkan dehidrasi dan hiperosmolalitas.
Dehidrasi berat pada akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal, asidosis laktat,
dan kecenderungan untuk membentuk trombosis intravaskular. Hiperosmolalitas
(sering melebihi 360 mOsm/L) menginduksi dehidrasi neuron, menyebabkan
perubahan status mental dan kejang. Hiperglikemia berat menyebabkan
hiponatremia buatan: setiap peningkatan 100 mg/dL glukosa plasma menurunkan
konsentrasi natrium plasma sebesar 1,6 mEq/L. Tatalaksana termasuk resusitasi
cairan dengan normal saline, dosis insulin yang relatif kecil, dan suplementasi
kalium.
Hipoglikemia pada pasien diabetes adalah hasil dari kelebihan insulin
absolut atau relatif terhadap asupan karbohidrat dan olahraga. Selanjutnya, pasien
diabetes tidak sepenuhnya mampu mencegah hipoglikemia meskipun mensekresi
glukagon atau epinefrin (kegagalan kontraregulasi). Ketergantungan otak pada
glukosa sebagai sumber energi membuatnya menjadi organ yang paling rentan
terhadap episode hipoglikemia. Jika hipoglikemia tidak diobati, perubahan status
mental dapat berkembang dari kecemasan, sakit kepala ringan, atau kebingungan
menjadi kejang dan koma. Manifestasi sistemik hipoglikemia akibat pelepasan
katekolamin dan termasuk diaforesis, takikardia. Sebagian besar tanda dan gejala
hipoglikemia akan ditutupi oleh anestesi umum. Meskipun batas bawah kadar
glukosa plasma normal tidak jelas, hipoglikemia terjadi ketika glukosa plasma
kurang dari 50 mg/dL. Pengobatan hipoglikemia pada pasien yang dibius atau
sakit kritis terdiri dari pemberian glukosa 50% secara intravena (setiap 1ml
glukosa 50% akan meningkatkan glukosa darah pasien dengan berat badan 70 kg
sekitar 2 mg/dL). Pasien yang sadar dapat diobati secara oral dengan cairan yang
mengandung glukosa atau sukrosa.

Pertimbangan Anestesi
A. Pre-operatif1,17
Peningkatan konsentrasi HbA1c yang tidak normal menunjukkan gula
darah pasien tidak terkontrol. Pasien-pasien ini berada pada risiko yang lebih
besar untuk hiperglikemia perioperatif, komplikasi perioperatif, hasil yang
merugikan, dan peningkatan biaya. Morbiditas perioperatif pasien diabetes terkait

56
dengan kerusakan organ akhir yang sudah ada sebelumnya. Sayangnya, banyak
pasien tidak mengetahui bahwa dirinya menderita diabetes mellitus tipe 2.
Sebuah radiografi thorax pra operasi tidak secara rutin ditunjukkan pada
pasien diabetes. Pasien diabetes memiliki peningkatan insiden segmen ST dan
abnormalitas gelombang T kelainan pada elektrokardiogram (EKG) pra operasi.
Iskemia miokard atau infark lama dapat terlihat pada EKG meskipun riwayatnya
negatif. Pasien diabetes dengan hipertensi memiliki kemungkinan 50%
mengalami neuropati otonom diabetik (diabetic autonomic neuropathy) (Tabel 35-
3). Disfungsi refleks sistem saraf otonom dapat meningkat pada usia tua, diabetes
lebih dari 10 tahun, penyakit arteri koroner, atau blokade -adrenergik. Diabetic
autonomic neuropathy dapat membatasi kemampuan pasien untuk
mengkompensasi (dengan takikardia dan peningkatan resistensi perifer) untuk
perubahan volume intravaskular dan dapat mempengaruhi pasien terhadap
ketidakstabilan kardiovaskular (misalnya, hipotensi pascainduksi) dan bahkan
kematian jantung mendadak. Disfungsi otonom berkontribusi pada pengosongan
lambung yang tertunda (gastroparesis diabetik). Premedikasi dengan antasida
nonpartikulat dan metoklopramid sering digunakan pada pasien diabetes obesitas
dengan tanda-tanda disfungsi otonom jantung. Namun, disfungsi otonom saluran
cerna dapat terjadi tanpa tanda-tanda keterlibatan jantung. Neuropati diabetik juga
dapat menyebabkan iskemia miokard yang tidak diketahui (tanpa rasa sakit).

Diabetic renal dysfunction dimanifestasikan pertama oleh proteinuria dan


kemudian oleh peningkatan kreatinin serum. Dengan kriteria ini, kebanyakan
pasien dengan diabetes tipe 1 memiliki kejadian penyakit ginjal pada usia 30
tahun. Hiperglikemia kronis menyebabkan glikosilasi protein jaringan dan

57
penurunan mobilitas sendi. Sendi temporomandibular dan mobilitas tulang
belakang leher harus dinilai sebelum operasi pada pasien diabetes untuk
mengurangi kemungkinan intubasi sulit yang tidak terduga. Kesulitan intubasi
telah dilaporkan pada sebanyak 30% orang dengan diabetes tipe 1.
Society of Ambulatory Anesthesia telah membuat konsensus untuk
manajemen glikemik perioperatif pada pasien diabetes yang menjalani operasi
rawat jalan. Rekomendasi menyatakan bahwa sebelum operasi, kadar glukosa
darah puasa pasien saat ini dan HbA1c terbaru harus diperiksa. Society of
Ambulatory Anesthesia menyatakan bahwa untuk pasien dengan diabetes yang
terkontrol dengan baik, kadar glukosa darah perioperatif harus dipertahankan
kurang dari 180 mg/dL (10,0 mmol/L). Pasien dengan diabetes yang tidak
terkontrol dengan baik, seperti yang dinyatakan sebelumnya, harus dipertahankan
di sekitar kadar glukosa darah normal.
Kadar glukosa darah harus diperiksa sebelum dan sesudah operasi. Jika
prosedur pembedahan direncanakan kurang dari 2 jam, pemeriksaan glukosa
darah intraoperatif mungkin tidak diperlukan. Namun, untuk prosedur yang lama,
pemantauan kadar glukosa darah mungkin perlu dilakukan setiap 1 hingga 2 jam.

B. Perioperatif1,18
Tujuan dari manajemen glukosa darah intraoperatif adalah untuk
menghindari hipoglikemia sambil mempertahankan glukosa darah di bawah 180
mg/dL. Mencoba untuk mempertahankan euglikemia yang ketat adalah tidak
terbaik; Kontrol glukosa darah "loose" (>180 mg/dL) juga membawa risiko.
Kisaran yang tepat dimana glukosa darah harus dipertahankan pada penyakit kritis
telah menjadi subyek dari beberapa uji klinis yang banyak dibahas. Hiperglikemia
telah dikaitkan dengan hiperosmolaritas, infeksi, penyembuhan luka yang buruk,
dan peningkatan mortalitas. Hiperglikemia berat dapat memperburuk hasil
neurologis setelah episode iskemia serebral dan dapat membahayakan hasil
setelah operasi jantung atau setelah infark miokard akut. Mempertahankan kontrol
glukosa darah (<180 mg/dL) pada pasien yang menjalani bypass kardiopulmoner
menurunkan komplikasi infeksi. Manfaat kontrol "tight" yang sebenarnya (<150
mg/dL) selama pembedahan atau penyakit kritis belum dibuktikan secara

58
meyakinkan dan dalam beberapa penelitian telah dikaitkan dengan hasil yang
lebih buruk daripada kontrol "longgar" pada orang dewasa dan anak-anak yang
sakit kritis.
Meskipun kurangnya konsensus mengenai target glukosa darah yang tepat,
manajemen glukosa perioperatif telah digunakan sebagai pengukuran "kualitas"
perawatan anestesi. Kontrol glukosa darah pada pasien diabetes hamil
meningkatkan hasil janin. Meskipun demikian, seperti disebutkan sebelumnya,
ketergantungan otak pada glukosa sebagai suplai energi membuat hipoglikemia
harus dihindari. Karena peningkatan insiden dan risiko infeksi, perhatian yang
ketat terhadap teknik aseptik dan perawatan luka yang cermat sangat penting pada
pasien diabetes.
Ada beberapa rejimen manajemen perioperatif umum untuk pasien
diabetes tergantung insulin. Dalam pendekatan yang paling tepat waktu (yang
tidak kami rekomendasikan karena tidak terlalu efektif), pasien menerima
setengah dari dosis insulin kerja menengah yang biasa (Tabel 35-4). Untuk
mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena telah
ditetapkan dan kadar glukosa darah pagi diperiksa. Sebagai contoh, seorang
pasien yang biasanya menggunakan 30 unit insulin NPH (neutral protamine
Hagedorn; kerja menengah) dan 10 unit insulin reguler atau Lispro (kerja singkat)
atau analog insulin setiap pagi dan yang glukosa darahnya setidaknya 150 mg/ dL
akan menerima 15 unit (setengah dari dosis pagi 30 unit normal) subkutan
sebelum operasi bersama dengan infus larutan dekstrosa 5% (1,5 mL/kg/jam).
Penyerapan insulin subkutan atau intramuskular tergantung pada aliran darah
jaringan, bagaimanapun, dan tidak dapat diprediksi selama operasi. Hiperglikemia
intraoperatif (>180 mg/dL) dapat diobati dengan bolus insulin reguler intravena.
Satu unit insulin reguler yang diberikan kepada orang dewasa biasanya
menurunkan glukosa plasma sebesar 25 hingga 30 mg/dL.

Pemberian secara bolus Infus kontinyu

Preoperatif D5W (1,5 ml/kg/jam) D5W (1 ml/kg/jam)


NPH insulin (1/2 dosis biasa Regular insulin Unit/jam =
pagi hari) (NPH=neutral Glukosa plasma : 150
protamine Hagedorn)

Intraoperattf Regular   insulin   Sama dengan preoperatif


(berdasarkan   sliding59scale)

Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif Sama dengan preoperatif


Sebuah metode yang lebih baik, layak dalam semua kecuali prosedur singkat,
adalah untuk mengelola insulin reguler sebagai infus terus menerus. Keuntungan
dari teknik ini adalah kontrol masukan insulin yang lebih tepat daripada yang
dapat dicapai dengan injeksi insulin NPH subkutan atau intramuskular, terutama
pada kondisi yang berhubungan dengan perfusi kulit dan otot yang buruk. Insulin
reguler dapat ditambahkan ke normal salin dalam konsentrasi 1 unit/mL dan infus
dimulai pada 0,1 unit/kg/jam kurang. Saat glukosa darah berfluktuasi, infus
insulin dapat disesuaikan naik atau turun sesuai kebutuhan. Pemberian jalur
intravena ukuran kecil untuk infus dekstrosa mencegah interferensi dengan cairan
dan obat intraoperatif lainnya. Dekstrosa tambahan dapat diberikan jika pasien
menjadi hipoglikemik (<100 mg/dL). Harus ditekankan bahwa dosis ini adalah
perkiraan dan tidak berlaku untuk pasien dalam keadaan katabolik (misalnya,
sepsis, hipertermia)

Target yang masuk akal untuk pemeliharaan glukosa darah intraoperatif


adalah kurang dari 180 mg/dL dan lebih besar dari 85 mg/dL.
Saat memberikan infus insulin intravena untuk pasien bedah,
menambahkan beberapa (misalnya, 20 mEq) KCl ke setiap liter cairan
pemeliharaan mungkin berguna, karena insulin menyebabkan pergeseran kalium
intraseluler. Karena kebutuhan insulin individu dapat bervariasi secara dramatis,
formula apa pun harus dianggap hanya sebagai pedoman mentah. Pengukuran
glukosa berkala diperlukan.
Jika pasien menggunakan agen hipoglikemik oral sebelum operasi
daripada insulin, obat dapat dilanjutkan sampai hari operasi. Namun, sulfonilurea
dan metformin memiliki waktu paruh yang panjang dan banyak klinisi akan
menghentikannya 24 hingga 48 jam sebelum operasi. Mereka dapat dimulai pasca
operasi ketika pasien melanjutkan asupan oral. Metformin dimulai kembali jika
fungsi ginjal dan hati tetap memadai. Efek obat hipoglikemik oral dengan durasi
kerja yang singkat dapat diperpanjang dengan adanya gagal ginjal. Banyak pasien
yang dipertahankan pada agen antidiabetik oral akan memerlukan pengobatan

60
insulin selama periode intraoperatif dan pascaoperasi. Stres pembedahan
menyebabkan peningkatan hormon kontra regulasi (misalnya, katekolamin,
glukokortikoid, hormon pertumbuhan) dan mediator inflamasi seperti faktor
nekrosis tumor dan interleukin. Masing-masing berkontribusi terhadap stres
hiperglikemia, meningkatkan kebutuhan insulin. Secara umum, pasien diabetes
tipe 2 mentoleransi prosedur bedah kecil dan singkat tanpa memerlukan insulin
eksogen. Namun, banyak pasien yang seolah-olah “nondiabetik” menunjukkan
hiperglikemia yang nyata selama penyakit kritis dan memerlukan periode terapi
insulin.
Kunci untuk setiap rejimen manajemen diabetes adalah untuk sering
memantau kadar glukosa plasma. Pasien yang menerima infus insulin
intraoperatif mungkin perlu diukur glukosanya setiap jam. Mereka dengan
diabetes tipe 2 bervariasi dalam kemampuan mereka untuk memproduksi dan
merespon insulin. Demikian juga, kebutuhan insulin bervariasi dengan luasnya
prosedur pembedahan. Bedside glucose meters mampu menentukan konsentrasi
glukosa dalam setetes darah dalam satu menit. Perangkat ini mengukur konversi
warna strip glukosa oksidase-diresapi. Keakuratannya bergantung, sebagian besar,
pada kepatuhan terhadap protokol pengujian spesifik perangkat tetapi sama sekali
tidak mereproduksi keakuratan pengujian laboratorium standar, terutama pada
konsentrasi glukosa yang ekstrem. Pemantauan glukosa urin hanya berguna untuk
mendeteksi glikosuria.
Pasien yang menggunakan NPH atau preparat insulin yang mengandung
protamin memiliki peningkatan risiko reaksi merugikan terhadap protamin sulfat,
termasuk reaksi anafilaktoid dan kematian. Sayangnya, operasi yang memerlukan
penggunaan heparin dan pembalikan selanjutnya dengan protamine (misalnya,
pencangkokan bypass arteri koroner) lebih sering terjadi pada pasien diabetes.
Berdasarkan prinsip imunologi dan pengalaman klinis kami, kami tidak
menganjurkan pemberian dosis uji protamin sebelum dosis pembalikan penuh,
meskipun ini direkomendasikan oleh beberapa dokter.
Pasien yang menggunakan infus insulin pump subkutan untuk pengelolaan
diabetes tipe 1 dapat membiarkan pompa diprogram untuk memberikan jumlah
"basal" insulin reguler (atau insulin glargine) saat berpuasa. Menurut definisi,

61
tingkat basal adalah jumlah insulin yang dibutuhkan selama puasa. Pasien dapat
dengan aman menjalani operasi rawat jalan singkat dengan pompa pada
pengaturan basal. Jika prosedur rawat inap yang lebih ekstensif diperlukan, pasien
ini biasanya akan menghentikan pompa mereka dan dikelola dengan infus insulin
intravena dan pengukuran glukosa darah berkala, seperti yang dijelaskan
sebelumnya.

C. Post operasi1,18
Pemantauan ketat glukosa darah harus dilanjutkan pasca operasi. Ada
variasi yang cukup besar dari pasien ke pasien dalam onset dan durasi kerja
persiapan insulin. Misalnya, onset kerja insulin reguler subkutan kurang dari 1
jam, tetapi pada pasien yang jarang durasi kerjanya dapat berlanjut selama 6 jam.
Insulin NPH biasanya memiliki onset kerja dalam waktu 2 jam, tetapi kerja
tersebut dapat bertahan lebih lama dari 24 jam.

62
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien Ny. M, 41 tahun datang kontrol ke Poli Bedah RSUD Raden


Mattaher Jambi dengan keluhan nyeri perut kanan bawah memberat sejak 2 hari
yang lalu. Os mengatakan nyeri dirasakan di ulu hati, kemudian berpindah diperut
kanan bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri berkurang jika pasien istirahat
dan dirasakan memberat saat perut ditekan dan pasien bergerak, sehingga pasien
susah beraktivitas. Keluhan lain yaitu pasien mengeluh tidak nafsu makan sejak 2
hari yang lalu, mual, muntah (1x,isi makanan, air dan lendir keputihan) dan perut
terasa kembung. Keluhan demam disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pola makan pasien tidak teratur dan jarang mengkonsumsi serat. Sejak ± 1 bulan
SMRS, pasien mengaku sering mengalami keluhan serupa yaitu nyeri perut
kanan bawah. Kemudian pasien berobat ke RS didaerahnya, keluhan berkurang
jika pasien meminum obat (pasien lupa nama obatnya) namun kemudian nyeri
kembali muncul. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD Raden Mattaher Jambi
karena keluhan tidak juga membaik dengan pengobatan. Pasien memiliki riwayat
DM diketahui sejak ± 1 bulan SMRS, terkontrol dengan obat (Levemir 1x10 IU,
Glimepiride 1x2mg), RPK (-). Pemeriksaan Fisik didapatkan tanda vital dalam
batas normal, abdomen teraba massa di regio iliaca dextra, Nyeri tekan (+) regio
mcburney. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan leukositosis yatu 11,27
x103/mm3 dan GDS 176 mg/dl, pemeriksaan lain dalam batas normal
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium pasien
didiagnosis dengan appendicitis infiltrat dan direncanakan dilakukan tindakan
laparoskopi appendektomi. Berdasarkan teori, apendisitis infiltrat adalah
inflamasi pada apendiks atau mikroperforasi yang ditutupi atau dibungkus oleh
omentum dan atau lekuk usus halus atau peritoneum sehingga terbentuk suatu
massa. Salah satu tatalaksana appendisitis infiltrat yaitu dengan melakukan
appendektomi. Apendektomi dapat dilakukan dengan open atau laparoskopi.

63
Pada pasien ini dipilih teknik operasi laparoskopi kistektomi karena laparoskopi
merupakan tindakan minimal invasive dengan lebih sedikit kehilangan darah
selama operasi, lebih sedikit nyeri pasca operasi, hasil kosmetik yang lebih baik,
dan kembali beraktivitas lebih awal.
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang), disimpulkan status fisik pada pasien ini adalah ASA II.
Hal ini sesuai teori bahwa ASA II adalah apabila pasien memiliki gangguan
sistemik ringan sampai sedang, sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis namun tidak sampai mengganggu aktivitas harian pasien. Dari
pemerisaan penunjang didapatkan GDS <176 mg/dl sehingga pasien
diperbolehkan untuk operasi.
Sebelum dibawa ke kamar operasi, pasien diminta untuk puasa (tidak
makan dan minum). Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat
efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring
mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung
dengan durasi puasa selama 6 jam dikalikan cairan maintenance 100 ml/jam
menjadi 600 ml.
Premedikasi anestesi diberikan berupa Ondansentron 4 mg dan Asam
Tranexamat 1 g, 15 menit sebelum dilakukan operasi. Tujuan premedikasi
sebelum tindakan anestesi adalah meredakan kecemasan, memperlancar induksi
anestesi, mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus, mengurangi mual-
muntah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung dan refleks yang
berlebihan. Ondansentron ialah suatu antagonis 5-HT3 selektif yang dapat
menekan mual dan muntah. Mekanisme kerja dengan cara mengantagonisasi
reseptor 5-HT3 yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area
postrema otak dan aferen vagal saluran cerna. Obat ini juga mempercepat
pengosongan lambung, tetapi waktu transit saluran cerna memanjang. Waktu
paruh 3 jam dan dieliminasi dalam hati. Pemberian ondansentron sebagai
premedikasi pada pasien ini sudah tepat. Asam tranexamat merupakan
antifibrinolitik untuk membantu menghentikan perdarahan intraoperatif.

64
Pemberian asam tranexamat sebagai premedikasi kurang tepat, seharusnya
diberikan intraoperatif.
Anestesi umum dipilih karena adanya aplikasi pneumoperitoneum pada
operasi laparoskopi dapat menyebabkan terjadinya gangguan atau perubahan pada
respirasi, kardiovaskular dan neurologis sehingga dibutuhkan teknik anestesi
dengan ventilasi terkontrol. Pada saat laparoskopi, pasien diposisikan pada posisi
Trendelenburg (head-down position), posisi ini menyebabkan organ-organ di rongga
abdomen dan diafragma berpindah ke arah cephalad yang akan menyebabkan pasien
sesak napas jika pasien sadar pada anestesi regional.
Pada kasus ini dilakukan induksi intravena dan rumatan inhalasi. Induksi
pada pasien ini dengan injeksi Propofol 200 mg, Fentanil 100 mcg dan atrakurium
40 mg, serta pemasangan ETT no 7.0 dengan dosis pemeliharaan menggunakan
anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O: O2.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang didistribusikan
dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk
induksi 2-2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/Kg/jam
dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping propofol pada
sistem pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu, bronkospasme, dan
laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah. Pada daerah
penyuntikan dapat terjadi nyeri. Pada pasien ini dosis propofol kurang tepat,
seharusnya diberikan 100-150 mg.
Pada pasien ini diberikan fentanil 100 mcg, dimana berdasarkan teori
golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestsia opioid
digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb. Dosis pada pasien ini sudah
tepat.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atrakurium 40 mg IV, yang
merupakan non depolaritation intermediete acting. stracurim dipilih sebagai agen

65
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme
terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang
disebut eliminasi Hofman. Tindakan laparoskopi juga memerlukan relaksasi otot
agar visualisasi menjadi lebih baik dan tekanan insuflasi yang diperlukan lebih
rendah. Dosis intubasi dan relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis
pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (iv). Pemberian atrakurium pada pasien ini
kurang tepat, seharusnya dosis yang diberikan 25 – 30 mg.
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevoflurans. Oksigen
diberikan untuk mencukupi oksigenasi jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O
harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi
analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup
stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane
cepat dikeluarkan oleh tubuh.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 1.250 cc selama operasi,
terdiri dari jumlah cairan pengganti puasa 600 cc, maintenance 100 cc, stress
operasi 300 cc. pada jam I dibutuhkan 700 cc dan jam II 550 cc. Cairan yang telah
diberikan adalah RL 500 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini belum terpenuhi,
karena selama operasi hanya diberikan 500 ml Seharusnya diberikan 1.250 ml
atau sekitar 2,5 kolf. Namun pada kasus didapatkan pasien stabil dan tidak ada
menunjukkan tanda-tanda hipovolemia.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang
ini pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak
berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang
memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR,
dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah,
saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil, kemudian dilakukan
skoring aldrete pada pasien didapatkan 10 sehingga pasien diperbolehkan pindah
ruangan.

66
BAB V
KESIMPULAN

Pada laporan kasus ini disajikan kasus appendicitis infiltrat yang dilakukan
tindakan laparoskopi appendektomi dengan anestesi umum pada pasien
perempuan, umur 41 tahun, status fisik ASA II. Laparoskopi telah banyak
dilakukan baik sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Banyaknya keuntungan
yang menjanjikan dari tindakan ini menjadikan laparoskopi sebagai pilihan
tindakan dewasa ini. Akan tetapi perlu diketahui hal-hal yang perlu diperhatikan
dari laparoskopi baik dari segi tindakannya maupun anestesi umum yang
digunakan.

67
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 6th edition. New York: Lange


Medical Book. 2018.
2. Crowder, MS et al. Mechanism of Anesthesia and Consciousness. Dalam
Barash PG et al. Clinical Anesthesia 7th ed. USA : Lipincott Williams and
Wilkins; 2014
3. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah (4th ed). Jakarta: EGC.
2017: 776-83
4. Hori T, Machimoto T, Kadokawa Y, et al. Laparoscopic appendectomy for
acute appendicitis: How to discourage surgeons using inadequate
therapy. World J Gastroenterol. 2017;23(32):5849-5859.
doi:10.3748/wjg.v23.i32.5849
5. Biondi, A., Di Stefano, C., Ferrara, F. et al. Laparoscopic versus open
appendectomy: a retrospective cohort study assessing outcomes and cost-
effectiveness. World J Emerg Surg 11, 44 (2016).
https://doi.org/10.1186/s13017-016-0102-5
6. Siddiqui BA, Kim PY. Anesthesia Stages In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557596/
7. Doyle DJ, Goyal A, Bansal P, et al. American Society of Anesthesiologists
Classification. [Updated 2021 Oct 9]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441940/
8. Warren M. Zapol, David E. Longnecker, Warren Sandberg, Sean Mackey,
Mark F. Newman Anesthesiology. 3rd Edition. New York: McGraw
Hill .2018
9. Mendonca C, Vaidyanath C. Handbook of anaesthesia & peri-operative
medicine. First edition. Shrewsbury: Tfm Publishing Ltd; 2017.
10. Jones MW, Lopez RA, Deppen JG. Appendicitis. [Updated 2021 Sep 9]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/
11. Thomas GA, Lahunduitan I, Tangkilisan A. Angka Kejadian Apendisitis di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Oktober 2012 - September
2015. Jurnal e-Clinic (eCl). 2016. 4(1): 231-6
12. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. The Appendix. Shwartz’s
Principles of Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010.

13. Morris AM. Appendiceal diseases. Dimick JB, Upchurch GR Jr, Alam H,
Pawlik TM, Hawn MT, Sosa JA, eds. Mulholland and Greenfield's Surgery:
Scientific Principles and Practice. 7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer;
2021. 1113-20.

68
14. Soybel D. Appendix. In: Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, et al. Surgery
Basic Science and Clinical Evidence. 2nd Ed. New York: Springer. 2008.
15. Cassorla L, Lee J. Patient Positioning and Associated Risk. Dalam : Miller D.
Miller’s Anesthesia 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019
16. Bajwa S, Kulshrestha A. Anaesthesia for laparoscopic surgery: General vs
regional anaesthesia. Journal of Minimal Access Surgery. 2016; 12(1): Hal.
4-9
17. Cornelius BW. Patients With Type 2 Diabetes: Anesthetic Management in
the Ambulatory Setting. Part 1: Pathophysiology and Associated Disease
States. Anesth Prog. 2016;63(4):208-215. doi:10.2344/0003-3006-63.4.208
18. Cornelius BW. Patients With Type 2 Diabetes: Anesthetic Management in
the Ambulatory Setting: Part 2: Pharmacology and Guidelines for
Perioperative Management. Anesth Prog. 2017;64(1):39-44.
doi:10.2344/anpr-64-01-02

69

Anda mungkin juga menyukai