Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Anestesi Spinal pada Pasien

dengan BPH dan Hipertensi

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Senior

(KKS) di Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSMH Palembang

Oleh:

Rintan 04084821921172

Pembimbing:

dr. Rizal Zainal, Sp.An, KMN, FIPM

BAGIAN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Anestesi Spinal pada Pasien dengan BPH dan Hipertensi

Oleh

Rintan 04084821921172

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 17 Desember 2020 – 1
Januari 2021.

Palembang, Desember 2020


Pembimbing

dr. Rizal Zainal, Sp.An, KMN, FIPM

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
berkah, rahmat, dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Penatalaksanaan Anestesi Spinal pada Pasien dengan BPH dan Hipertensi”. Laporan
kasus ini disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesi dan Terapi
Intensif RSMH Palembang. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Rizal Zainal, Sp.An, KMN, FIPM selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah
membantu hingga selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari seluruh
pihak agar laporan kasus ini menjadi lebih baik. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan
manfaat dan tambahan pengetahuan bagi penulis dan pembaca.

Palembang, Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN...................................................................................3
2.1 Identitas............................................................................................3
2.2 Survei Sekunder................................................................................3
2.2.1 Anamnesis...............................................................................3
2.2.2 Pemeriksaan Fisik...................................................................4
2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium.....................................................5
2.2.4 Pemeriksaan Penunjang..........................................................6
2.4 Diagnosis..........................................................................................6
2.5 Tindakan............................................................................................6
2.6 Persiapan Pre-operasi.......................................................................6
2.7 Teknik Anestesi.................................................................................6
BAB III ANALISIS KASUS...............................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi regional merupakan blok neuraksial dimana anestesi lokal diinjeksikan pada
jaringan lemak yang mengelilingi radiks saraf pada lokasi saraf keluar dari tulang belakang
(blok epidural dan kaudal) atau ke cerebrospinal fluid (CSF) yang mengelilingi medula spinalis
(blok spinal/subarakhnoid). Blok neuraksial yang dilakukan baik sebagai teknik anestesi
tunggal ataupun kombinasi anestesi umum, dapat mengurangi mordibiditas dan mortalitas
perioperatif.1 Anestesi spinal adalah metode anestesi pilihan untuk tindakan pembedahan pada
regio abdomen bagian bawah, inguinal, urogenital, rektal dan ekstremitas bawah karena onset
yang cepat, blok yang dapat diprediksi dan dapat diandalkan, dan analgesia pasca operasi yang
sangat baik tanpa risiko anestesi umum seperti kesulitan jalan napas dan aspirasi paru.2

Benign Prostat Hyperplasia atau lebih dikenal sebagai BPH sering terjadi pada pria usia
lanjut. Secara histopatologis, terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar
prostat. Sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun mengalami BPH. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria di atas usia 80 tahun. Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH
memberikan keluhan yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini terjadi akibat
dari obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction
(BLO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun
ginjal sehingga sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas pada saluran kemih
atas maupun bawah.3 TURP (Transurethral Resection Of The Prostate) adalah sebuah operasi
yang dimaksudkan menghilangkan bagian dari prostat yang menekan urethra. TURP
merupakan sebuah prosedur endoskopik dimana dapat dilihat secara langsung bagian yang akan
di-resected,dan akan dipotong menjadi bagian-bagian kecil jaringan postat yang dinamakan cip
prostat. Kemudian cip prostat akan dikeluarkan melalui buli-buli melalui evakuator Ellik.
Tindakan ini sering dilakukan pada BPH. 4

Anestesi regional dipertimbangkan sebagai teknik anestesi pilihan untuk TURP. Teknik
anestesi ini memungkinkan pasien untuk tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal
dari sindrom TURP atau ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi memperlihatkan
penurunan hilangnya darah ketika prosedur TURP dilakukan dengan menggunakan anestesi
regional dan anestesi umum.1 Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan
dengan anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP dihubungkan dengan kontrol nyeri
dan penurunan kebutuhan penyembuhan nyeri postoperatif. Bila anestesi regional digunakan
1
pada prosedur,tingkat dermatom anestesi T10 dibutuhkan untuk memblok nyeri dari saluran
kemih dengan irigasi cairan.Bagaimanapun tingkat S3 dilaporkan adekuat pada 25% pasien jika
saluran kemih tidak diijinkan untuk terisi penuh. Anestesi spinal merupakan pilihan utama jika
dibandingkan anestesi epidural karena tulang-tulang sakral tidak terblok sepenuhnya dengan
teknik epidural.5

2
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 Identitas
Nama : Tn.BJ
No RM : 000365730
Umur : 60 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : PNS
BB/TB : 68 kg / 165 cm
Alamat : Sukarami, Palembang
MRS tanggal : 17 Desember 2020

2.2 Survei Sekunder


2.2.1 Anamnesis
Autoanamnesis pada tanggal 18 Desember 2020

a. Keluhan Utama
BAK tidak lancar
b. Riwayat perjalanan penyakit
Sejak + 3 bulan yang lalu pasien merasakan susah buang air kecil. Pasien juga merasa
susah untuk untuk memulai memulai BAK dan terkadang harus disertai dengan mengedan untuk
buang air kecil, pancaran semakin lama dirasa melemah dan kadang pasien mengalami kencing
tiba-tiba berhenti dan lancar kembali. Pasien menceritakan bahwa dirinya sering berkali-kali ke
kamar kecil dikarenakan hasrat ingin buang air kecil akan tetapi saat di kamar kecil hanya
keluar beberapa tetes saja dan merasa BAK tidak lampias. Selain itu pasien mengaku sering
terganggu tidurnya dikarenakan kekamar mandi untuk buang air kecil Keluhan lain pasien
mengaku pernah 1 kali BAK berwana merah kecoklatan. Sejak 1 minggu terakhir kadang pasien
merasa nyeri di perut bagian bawah saat BAK. Kemudian pasien memeriksakan diri ke poli
urologi RSMH.
Riwayat tidak bisa menahan BAK (-), riwayat kencing terputus-putus (+), kencing merah
(-), kencing bernanah (-), kencing berbatu (+), riwayat demam (-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat darah tinggi (+)


- Riwayat kencing manis (-)
- Riwayat asma/alergi (-/-)

d. Riwayat Pengobatan
Amlodipin 1x10 mg dan Candesartan 1x16 mg

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat asma, alergi, hipertensi, kencing manis serta kejang pada keluarga disangkal.

f. Riwayat Kebiasaan
- Makan : 3x sehari
- Minum air putih : ±6 gelas/hari
- Rokok :+
- Alkohol :-
- Obat tanpa resep dokter :-
- Jamu :-
- Olahraga :-

2.2.2 Pemeriksaan Fisik


a. Status Generalisata
- Sens : Compos mentis
- TD : 160/80 mmHg
- HR : 90 kali per menit
- RR : 20 kali per menit
- Suhu : 36,9oC
- Spo2 : 99%

b. Keadaan Spesifik
- Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-/-),sklera ikterik(-/-), pupil bulat
isokor 3 mm.
- Leher : Massa (-), JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-)
- Thoraks : Gerakan dada statis dan dinamis simetris kiri dan kanan, retraksi
dinding dada (-)
Cor : BJ I-II (+), reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
- Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
- Extremitas : Akral hangat, edema pretibial (-), CRT <3”
- Genital :
RT : Tonus Sfingter Ani (+), Mukosa rektal licin. Ampulla tidak kolaps.
Teraba benjolan pada arah jam 12 pada posisi litotomi dengan
pembesaran pada arah jam 11 sampai jam 1. Konsistensi kenyal padat,
lobus kanan dan kiri simetris, nodul (-), nyeri tekan (-). Feses ada
berwarna kuning kecoklatan. Darah tidak ada.

2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hematologi (12 Desember 2020)
Hemoglobin 12,7 13,48 - 17,4 g/dL
RBC 4,26 4,40 – 6,30 x 106/mm3
WBC 7,43 4,73 – 10,89 x 103/mm3
Hematokrit 38 41 – 51 %
Trombosit 335 170 – 396 103/µL
MCV 88,5 85 – 95 fL
MCH 30 28 – 32 pg
MCHC 34 33 – 35 g/dL
RDW-CV 12,7 11 – 15 %
LED 74 < 15 mm/jam
Basofil 0 0-1
Eosinofil 4 1-6
Netrofil 58 50-70
Limfosit 29 20-40
Monosit 9 2-8
Kimia Klinik Metabolisme
Karbohidrat 89 <200 mg/dL
Glukosa Sewaktu
Ginjal
Ureum 41 16,6-48,5 mg/dL
Kreatinin 1,59 0,5 – 0,9 mg/dL
Imunoserologi Hepatitis
HBsAg Non reaktif Non reaktif
Kimia Klinik Elektrolit
Natrium 148 135 – 155 mEq/L
Kalium 4,1 3,5 - 5,5 mEq/L

2.2.4 Pemeriksaan Penunjang


EKG (12 Desember 2020)
- Normal sinus
Rontgen Thoraks (12 Desember 2020)
- Dilatasi Aorta
USG ( 10 Desember 2020)
- Pembesaran kelenjar prostat estimasi 50 cc

2.3 Diagnosis
BPH dengan Hipertensi

2.4 Tindakan
TURP

2.5 Pre-operasi
- Allergic : Tidak ada
- Medication : Amlodipin 1x10 mg dan Candesartan 1x16 mg
- Past illness : Tidak ada
- Last meal : Cukup
- Event : BAK os tidak lampias dan tersendat

2.6 Teknik Anestesi


a. Pre Anestesi
Tanggal tindakan : 18 Desember 2020
TB : 165 cm
BB : 68 kg
Riwayat operasi : Tidak ada
Riwayat obat-obatan : Amlodipin 1x10 mg dan Candesartan 1x16 mg
Alergi : Tidak ada

Sistem Organ
Penyakit Kardiovaskuler : Ada
Penyakit Respirasi : Tidak ada
Penyakit Neurologis : Tidak ada
Diabetes : Tidak ada
Masalah Tiroid : Tidak ada
Masalah Ginjal/Buli/Prostat : Ada
Masalah Gastro-intestinal : Tidak ada
Kelainan Darah : Tidak ada
Penyakit Mata : Tidak ada
Penyakit Telinga : Tidak ada
Kanker/Kemoterapi : Tidak ada
Kelainan Psikiatri : Tidak ada
Penyakit atau kelainan lain : Hipertensi
Riwayat Anestesi : Tidak ada
Interaksi obat-obatan : Tidak ada

Psikologis dan Kultural


Psikologis : Tenang
Kultural : Tidak ada

Tanda Vital
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 160/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 36,9oC
Respiratory Rate : 20 x/menit
SpO2 : 99%

Evaluasi Jalan Nafas


Gigi : Lengkap
Buka Mulut : 3 jari
Jarak Thyro-Mental : 3 jari
Mallampati :I
ROM Leher : Baik
Kelainan Jalan Nafas Lain : Tidak Ada
Paru : Normal
Jantung : Irama regular, Normal

b. Anestesi
Evaluasi Pre Induksi (18 Desember 2020)
Kesadaran : Compos Mentis
Respirasi : Spontan, RR 20 x/menit,udara bebas
SpO2 : 99 %
Tekanan darah : 145/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, regular
Status fisik : ASA II
Induksi : Bupivacaine 0,5 % 2,2 ml
Jenis anestesi : Anestesi spinal
Lokasi tusukan : L3-L4
Monitoring : EKG, SpO2, NIBP

c. Monitoring Anestesi Intraoperatif


Tabel 2. Tabel monitoring intraoperatif
JAM TD NADI RR SpO2 Udara
O2 Air Volatil Keterangan
(WIB) (MmHg) (x/mnt) (x/mnt) (%) N2O
(L/m) (L/m) (Vol%)

09.3 150/80 100 20 99 4 - - -  Induksi: Bupivacaine 0,5%


5 2,2 ml.
 Jenis anestesi: anestesi
spinal
 Posisi penderita: litotomi
 Sudah terpasang RL 500 cc
 Operasi dimulai
09.5
140/70 60 20 90 4 - - -
0
10.0
135/70 70 18 99 4 - - -
5
10.2
140/80 80 18 99 4 - - -
0
 Operasi selesai
10.3
140/70 80 20 99 4 - - -  Pasien pindah ke ruang
5
pemulihan

Keadaan Selama Operasi


Posisi : Litotomi
Ventilasi : Nasal kanul
Cairan
Total Asupan Cairan
1. Kristaloid : RL 500 cc
2. Koloid :-
3. Darah :-
4. Komponen darah :-
Total keluar cairan :
1. Perdarahan : 100 cc
2. Urine :-

d. Post Anestesi
Monitoring Pasca bedah
Sebelum transfer ke Ruang Pemulihan (10.35):
Kesadaran : E4M6V5
Tekanan Darah : 140/70 mmHg
HR : 80 x/menit, reguler, adekuat
RR : 20 x / menit
SpO2 : 99%
Setelah transfer ke Ruang Pemulihan (pukul 10.40):
Kesadaran : E4M6V5
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
HR : 84 x/menit, reguler, adekuat
RR : 20 x / menit
SpO2 : 99%
Cairan : Ringer Laktat

JAM TD NADI RR SKOR PEMULIHAN SKALA NYERI


SpO2 (%)
(WIB) (MmHg) (x/mnt) (x/mnt) (BROMAGE SCORE) (NRS)

10.40 143/82 88 18 99 3 0
10.50 152/85 85 18 99 2 0
11.00 148/80 90 19 99 1 0
Manajemen Postoperatif
 Monitoring tanda vital (TD,N,RR, Temp, SpO2) di RR selama 2 jam, dan di bangsal
selama 24 jam
 Evaluasi nyeri target NRS = 0
 IVFD RL
 Kateter menetap 24 jam
 Mobilisasi secara bertahap

2.7 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
BAB III
ANALISIS KASUS

Sejak + 3 bulan yang lalu pasien merasakan susah buang air kecil. Pasien juga merasa
susah untuk untuk memulai memulai BAK dan terkadang harus disertai dengan mengedan untuk
buang air kecil, pancaran semakin lama dirasa melemah dan kadang pasien mengalami kencing
tiba-tiba berhenti dan lancar kembali. Pasien menceritakan bahwa dirinya sering berkali-kali ke
kamar kecil dikarenakan hasrat ingin buang air kecil akan tetapi saat di kamar kecil hanya
keluar beberapa tetes saja dan merasa BAK tidak lampias. Selain itu pasien mengaku sering
terganggu tidurnya dikarenakan ke kamar mandi untuk buang air kecil. Keluhan lain pasien
mengaku pernah 1 kali BAK berwana merah kecoklatan. Sejak 1 minggu terakhir kadang pasien
merasa nyeri di perut bagian bawah saat BAK. Kemudian pasien memeriksakan diri ke poli
urologi RSMH. Riwayat tidak bisa menahan BAK (-), riwayat kencing terputus-putus (+),
kencing merah (-), kencing bernanah (-), kencing berbatu (+), riwayat demam (-). Pasien
memiliki riwayat hipertensi dan mengkonsumsi obat amlodipine 10 mg dan candesartan 16 mg.
Pada pemeriksaan Rectal Toucher didapatkan tonus Sfingter Ani (+), Mukosa rektal licin.
Ampulla tidak kolaps. Teraba benjolan pada arah jam 12 pada posisi litotomi dengan
pembesaran pada arah jam 11 sampai jam 1. Konsistensi kenyal padat, lobus kanan dan kiri
simetris, nodul (-), nyeri tekan (-). Feses ada berwarna kuning kecoklatan. Darah tidak ada. Pada
pemeriksaan penunjang laboratorium dalam batas normal, pada EKG didapatkan normal sinus,
rontgen thoraks menunjukkan dilatasi aorta dan USG terdapat pembesaran kelenjar prostat.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis
dengan BPH disertai hipertensi dengan status fisik ASA II yang didefinisikan pasien dengan
penyakit sistemik ringan tanpa keterbatasan fungsional karena pasien memiliki riwayat
hipertensi yang terkontrol dengan obat. ASA Physical Status Classification System digunakan
untuk melakukan assessment pada pasien preanestesi. Klasifikasi ini tidak dapat memprediksi
risiko operasi, namun dapat digunakan untuk menentukan faktor-faktor lainnya untuk membantu
memprediksi risiko perioperatif. Klasifikasi ASA terbagi menjadi beberapa grade seperti yang
dijelaskan pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. Klasifikasi status fisik pasien berdasarkan ASA1


ASA Status Kesehatan Preoperatif Contoh
ASA I Pasien sehat dan normal Tidak ada gangguan organik,
fisiologik maupun psikiatri

11
ASA II Pasien dengan penyakit sistemik  Pasien merokok tanpa PPOK
ringan tanpa keterbatasan  Wanita hamil
fungsional  Obesitas ringan (BMI 30-40 kg/m2)
 Penyakit yang terkontrol dengan baik
pada satu sistem organ (hipertensi
atau diabetes tanpa efek sistemik)
ASA III Pasien dengan penyakit sistemik  Penyakit yang tidak terkontrol pada
berat dengan keterbatasan beberapa sistem organ namun tidak
fungsional dalam bahaya kematian (hipertensi
atau diabetes tidak terkontrol)
 Pasien jantung dengan pacemaker
 Obesitas (BMI >40 kg/m2)
 Gagal ginjal kronis dengan
 Riwayat stroke atau infark miokard
dalam 3 bulan terakhir
ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik Memiliki paling tidak 1 penyakit berat
berat yang mengancam jiwa atau yang tidak terkontrol atau pada stadium
membutuhkan terapi akhir, memiliki resiko kematian
intensif  Angina tidak stabil
 Penyakit jantung kongestif
simptomatik
 Gagal hepatorenal
ASA V Pasien sakit berat yang Kemungkinan tidak bertahan hidup >24
kemungkinan tidak selamat jam tanpa indakan operasi,kemungkinan
dengan/tanpa operasi meninggal dalam waktu dekat
 Kegagalan multiorgan
 Sepsis dengan keadaan hemodinamik
yang tidak stabil
 Koagulopati tidak terkontrol
 Ruptur aneurisma aorta
 Perdarahan intrakranial dengan efek
massa
ASA VI Pasien dengan kematian batang otak, tetapi organ masih dapat didonorkan

E Jika prosedur yang diperlukan bersifat emergensi maka pada klasifikasi ASA
disertai dengan huruf E

Pada pasien ini dilakukan TURP. Prosedur TURP pada umumnya akan dilaksanakan pada
pasien laki yang berumur 60 dan lebih. TURP juga merupakan tatalaksana primary untuk BPH
simptomatis pada pasien dengan kelenjar prostat yang berukur 40-50g. Prosedur ini pada

12
awalnya akan dilakukan untuk mengeliminasikan faktor patologi seperti tumor buli dan juga
batu. Status presen pasien prabedah dapat dinilai melalui anamnesis dengan pasien sendiri atau
dengan keluarga pasien bersangkutan meliputi riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita
atau sedang menderita seperti hipertensi, diabetes melitus, asma, penyakit kardiovaskuler yang
lain yang bisa mempengaruhi anestesi atau dipengaruhi oleh anestesi. Riwayat pemakaian obat
yang telah atau sedang digunakan yang mungkin berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya ;
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotika golongan aminoglikosida,
digitalis, diuretika, transquilizer, obat penghambat enzim mono-amin oksidase dan
bronkodilator. Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya : apakah pasien mengalami
komplikasi anestesia. Kebiasaan buruk, antara lain ; perokok, peminum minuman keras
(alkohol), pemakai obat-obatan terlarang (sedatif dan narkotik) serta riwayat alergi terhadap
obat atau yang lain.5
Pada pasien didapatkan riwayat hipertensi, hipertensi pada pasien merupakan hipertensi
esensial yang berhubungan dengan nilai dasar curah jantung, resistensi vaskuler sistemik atau
keduanya. Pada manajemen anestesi, alasan penundaan pembedaan dikarenakan tekanan darah
tidak terkontrol dimana tekanan sistolik ≥ 180 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg karena
memiliki peningkatan risiko intrabedah berupa iskemia miokardia, aritmia atau ketidakstabilan
hemodinamik.10 Pada pasien termasuk dalam hipertensi terkontrol dengan obat. Pemeriksaan
fisik tekanan darah berdiri dan duduk, adanya perbedaan tekanan darah bisa disebabkan oleh
penurunan volume, vasodilatasi berlebihan atau terapi obat simptomatik. Bising karotis kerena
arterosklerosis dan perubahan vaskularisasi retina karena arteriosclerosis yay dikaitkan dengan
hipertensi organ. Pada pemeriksaan jantung dapat didapatkan gallop S4 pada LVH. Pada gagal
jantung kongestif dapat dijumpai gallop disertai ronkhi basah paru.10 Pada pasien hanya
ditemukan tekanan darah 160/80 yaitu hipertensi grade II.
Pada pemeriksaan laboratorium, fungsi ginjal dievaluasi dengan mengukur kadar kreatinin
serum. Pada pasien yang mengkonsumsi diuretik dan digoxin serta pasien dengan gangguan
ginjal, pemeriksaan kalium harus dilakukan karena dapat terjadi hipokalemia sedangkan pasien
yang mengkonsumsi ACE inhibitor dapat terjadi hiperkalemia. 10 Pada pasien ini kreatinin dan
kalium dalam batas normal. Dalam pemeriksaan laboratorium rutin lain bila terdapat perubahan
pada elektrolit yang akan menyebabkan berlakunya hiponatremia dan hipotermia. 5 Pemeriksaan
rutin seperti pemeriksaan darah dan urin harus diperiksa. Komponen darah yang diperiksa
seperti hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit dan hitung jenis trombosit, masa pendarahan
dan masa pembekuan. Setelah diketahui kadar hemoglobin dan elektrolit, koreksi haruslah
dilakukan segera jika diperlukan. Koreksi hemoglobin mulai dilakukan jika kadarnya dibawah
13
10 gr%. Kadar natrium serum dibawah 120mEq/L haruslah dikoreksi dengan natrium 3%IV,120
hingga 130mEq/L haruslah lakukan koreksi lambat intravena dengan NaCl 0.9%. Selain itu,
PSA (prostat specific antigen) test juga harus diperiksa. PSA adalah sebuah protein yang
dihasilkan oleh cell prostat. PSA diketahui meningkat pada usia tua sehingga kecenderungan
pula pada usia tua untuk munculnya kelainan lain.5
Selain itu, pasien juga harus disiapkan secara fisik sebelum operasi TURP seperti ; Pasien
harus menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok minimal dua minggu sebelum
anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di poliklinik, melakukan puasa
paling tidak 8 jam sebelum operasi dilakukan, dan Sekiranya pasien menggunakan obat seperti
aspirin atau ibuprofen , maka harus berhenti paling tidak dua minggu sebelum operasi kerena
hal berhubungan dengan pengaruh pembekuan darah.6
Premedikasi tidak selalu diberikan namun hanya diberikan kepada pasien yang sensitif.
Contoh premedikasi adalah obat sedasi seperti diazepam 5-10 mg iv/im atau midazolam 2.5 mg
iv. Selain itu obat pethidin juga boleh diberikan dengan dosis 0.5-1 mg/kg bb iv 30 menit
sebelum pemeriksaan. Ada juga yang diberikan sprai xilocain 10% merata keseluruh faring,
uvula dan hipofaring 5-10 menit sebelum pemeriksaan. 7 Pada pasien ini diberikan obat
antihipertensi pada premedikasinya berupa amlodipine 10 mg dan candesartan 16 mg.
Anestesi regional dipertimbangkan sebagai teknik anestesi pilihan untuk TURP. Teknik
anestesi ini memungkinkan pasien untuk tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal
dari sindrom TURP atau ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi memperlihatkan
penurunan hilangnya darah ketika prosedur TURP dilakukan dengan menggunakan anestesi
regional dan anestesi umum.1 Anestesi lokal juga digunakan sebagai prosedural TURP pada
pasien dengan kelenjar prostat stadium ringan hingga sedang. Teknik anestesi ini melibatkan
infiltrasi dari 1-3 ml enceran anestesi lokal (0.25% bupivacaine,1% lidocaine) ke dalam
kandung kemih dan lobus lateral dari prostat untuk memblok pleksus saraf hipogastrik inferior
kemudian dengan injeksi anestesi lokal transuretral ke dalam glandula di sekitar uretra
prostatikus. Anestesi spinal merupakan pilihan utama jika dibandingkan anestesi epidural karena
tulang-tulang sakral tidak terblok sepenuhnya dengan teknik epidural.6 Anestesi spinal
merupakan salah satu anestesi neuraksial dengan cara memasukkan obat anestesi lokal ataupun
ajuvan ke rongga subaraknoid (subarachnoid block). Indikasi dilakukannya anestesi spinal adalah
pembedahan pada abdomen bagian bawah, inguinal, urogenital, rektal dan ekstremitas bawah.1
Terdapat beberapa kontraindikasi untuk dilakukannya anestesi spinal, antara lain:1
- Kontraindikasi Absolut : Pasien menolak, adanya gangguan pembekuan darah
(koagulopati), infeksi kulit di tempat penyuntikan, penyakit neurologis, peningkatan TIK,
14
hipovolemia berat
- Kontraindikasi Relatif : Sepsis, pasien tidak kooperatif, defisit neurologi yang sudah ada
sebelumnya, deformitas spinal berat, stenotic valvular heart lesions, hypertrophic obstructive
cardiomyopathy.
- Kontraindikasi Kontroversial : Prior back surgery at the site of injection, komplikasi operasi,
operasi yang lama, kehilangan darah yang banyak, maneuvers that compromise respiration.
Terdapat beberapa komplikasi yang mungkin dapat muncul setelah dilakukannya tindakan
anestesi spinal baik akibat respon fisiologis tubuh yang berlebihan atau akibat dari tindakan insersi
jarum dan kateter. Komplikasi tersebut antara lain hipotensi, bradikardi, mual dan muntah, pada saat
post operasi bisa terjadi sakit kepala (spinal headache) karena kebocoran CSF (20ml), retensi urin,
neural injury, high or total spinal, perdarahan, nyeri punggung, postdural puncture headache
dengan paska anestesi spinal.1
Pada umumnya, pasien dengan anestesi spinal relatif merasa tidak nyaman karena menjalani
operasi dalam keadaan sadar sehingga pasien dapat menjadi lebih cemas dan anestesi spinal ini juga
terbatas waktu dimana efek anestesi akan tercapai hanya selama durasi kerja obat anestesi yang
diberikan. Apabila efek melebihi durasi kerja obat maka diperlukan anestesi umum atau general
anesthesia.1
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi spinal :1
1. Persiapan alat
Persiapan alat dalam melakukan blok neuraksial ialah mencakup persediaan alat untuk
resusitasi, intubasi, dan anestesi umum. Alat pemantauan minimal seperti monitor
tekanan darah non invasif atau NIBP, EKG, dan oksimeter denyut juga harus tersedia.
Selain itu jarum yang digunakan untuk injeksi juga perlu diperhatikan. Pada anestesi
spinal digunakan beebrapa jarum dengan diameter dan bentuk yang berbeda dengan
ukuran beragam dari 20 G - 29G dan panjang standarnya adalah 90mm dan 100mm,
jarum yang saat ini digunakan ialah yang memiliki stilet yang pas dan dapat dilepas, yang
mencegah kulit dan jaringan adiposa menyumbat jarum dan kemungkinan memasuki
ruang subarachnoid. Jarum ujung pensil (Sprotte dan Whitacre) memiliki kemiringan
bulat, tidak memotong dan terletak di sisi jarum 2-4 mm proksimal ujung jarum. Jarum
dengan pemotongan miring termasuk jarum Quincke dan Pitkin memiliki ujung yang
tajam dengan jarum potong berukuran sedang, dan Pitkin memiliki ujung yang tajam dan
bevel pendek dengan ujung yang tajam. Terakhir, jarum spinal Greene memiliki ujung
bulat dan kemiringan bulat tidak memotong. Jika kateter tulang belakang kontinu akan
dipasang, jarum Tuohy dapat digunakan untuk mencari ruang subarachnoid sebelum
15
pemasangan kateter. Jarum berujung pensil (Sprotte dan Whitacre) memberikan sensasi
sentuhan yang lebih baik pada lapisan ligamen yang ditemukan, tetapi membutuhkan
lebih banyak tenaga untuk dimasukkan daripada jarum berujung miring.1,8
2. Jenis obat dan dosis obat
Terdapat beberapa agen anestesi lokal yang dapat digunakan untuk anestesi spinal dan
terdapat beberapa ajuvan sebagai agen tambahan dengan tujuan meningkatkan kualitas
dan durasi dari anestesi spinal. Penambahan vasokonstriktor (agonis α-adrenergik,
epinefrin (0,1-0,2 mg)) dan opioid juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan
memperpanjang durasi anestesi spinal. Namun, pada pasien ini dilakukan pembiusan
menggunakan teknik anestesi spinal dengan pemberian Bupivakain 0,5% hiperbarik
sebanyak 2,2ml tanpa ajuvan lain. Pada umumnya, dosis obat anestesi diberikan
tergantung dari dermatom yang diinginkan yang disesuaikan dengan prosedur operasi.1
Usia tidak memiliki efek terhadap durasi blok motoric pada anestesi spinal dengan
bupivakain. Walaupun begitu, awitannya lebih cepat dan penyebarannya lebih luas pada
lansia bila menggunakan bupivakain hiperbarik.10

Tabel 4. Agen anestesi spinal1

16
Tabel 4. Agen anestesi spinal1

3. Posisi pasien saat pemberian obat


Langkah selanjutnya setelah persiapan alat dan obat adalah memposisikan pasien.
Sebelum menentukan landmark/identifikasi level spina, pasien diposisikan terlebih
dahulu. Terdapat beberapa jenis posisi pasien saat dilakukannya pemberian obat.1
- Posisi duduk
Pada saat pasien diposisikan duduk, lumbar vertebra lebih mudah diidentifikasi
daripada saat pasien dalam posisi lateral dekubitus, namun sulit dilakukan pada pasien
dengan obesitas atau adanya kelainan tulang belakang. Beritahu pasien untuk
metakkan kaki di atas bangku, minta pasien duduk tegak dengan siku bertumpu pada
paha atau meja samping tempat tidur, atau pasien dapat memeluk bantal, posisi kepala
menekuk/menunduk ke bawah, dan pastikan pasien tidak hanya bersandar ke depan.
Hal ini membuat posisi tulang belakang lebih dekat dengan kulit dan memperluas
foramen intralaminar sehingga area tempat penusukan menjadi lebih luas. Selain itu
celah interspase akan semakin mudah teraba bila posisi pasien semakin fleksi.1

Gambar 1. Sitting position1 Gambar 2. Posisi saat


ekstensi-fleksi vertebra.2 A: Posterior view B:Lateral view
- Posisi lateral dekubitus
Posisi lateral dekubitus umumnya sering digunakan pada saat dilakukannya blok
neuroaksial. Pasien berbaring miring dengan dengan punggung sejajar dengan sisi
meja operasi dan lutut ditekuk ditarik tinggi ke atas perut atau dada.1
Gambar 3. Posisi lateral dekubitus1
- Buies’s (Jackknife) position
Posisi ini dapat digunakan untuk prosedur anorektal menggunakan isobarik atau
larutan anestesi hipobarik. Pada posisi ini blok dilakukan dalam posisi yang sama
dengan prosedur operasi, sehingga pasien tidak harus dipindahkan mengikuti blok,
tetapi CSF tidak akan mengalir bebas melalui jarum, sehingga ujung jarum
subarachnoid harus benar penempatannya.1
Selanjutnya, setelah pasien diposisikan yang harus dilakukan adalah mencari celah
interspase dengan meraba processus spinosus. Untuk menentukan level vertebra dapat
menggunakan krista iliaka dimana jika ditarik garis lurus dari kedua krista iliaka tersebut ke
arah median tubuh akan didapatkan vertebra setinggi L4-L5. Processus spinosus umumnya
dapat teraba dan menjadi tanda garis tengah tubuh. Pada pasien ini dilakukan penusukan
pada L3-L4 dengan analgesi setinggi segmen T10 hingga L1 dengan pendekatan midline.

Gambar 4. Level Dermatom8

4. Teknik anestesi spinal


- Midline approach
Pada pendekatan midline introducer diinsersikan pada garis tengah dengan arah
sedikit cephalad. Saat menembus subkutis, akan terasa sedikit resistensi dan
penusukan lebih lanjut akan membuat ujung jarum memasuki ligamentum
supraspinosus dan interspinosus dimana resistensi akan lebih meningkat. Jika ujung
jarum terkena tulang pada daerah yang masih superfisial menandakan jarum
mengenai prosesus spinosus bawah, sedangkan jika terkena pada insersi yang lebih
dalam, bila di daerah midline menunjukkan jarum mengenai proses spinosus atas atau
bila insersi di lateral dari midline menunjukkan jarum mengenai lamina.
Pada keadaan tersebut maka jarum harus diarahkan kembali dengan menariknya ke
subkutis. Setelah jarum memasuki ligament intraspinosus, jarum kemudian
memasuki ligamentum flavum  durameter  rongga subdural  arakhnoid mater
hingga mencapai rongga subarachnoid. Berbeda pada anestesi epidural yang dimana
obat anestesi diinjeksikan di rongga epidural, pada anestesi spinal injeksi obat
anestesi lebih dalam yaitu di rongga subaraknoid. Untuk mengetahui jika spinal
injeksi tepat masuk ke rongga subaraknoid adalah dengan mengalirnya CSF pada
jarum spinal.1,8

Gambar 6. Midline approach1


- Paramedian approach
Pada umumnya pendekatan paramedian dilakukan jika epidural atau blok
subarachnoid sulit dilakukan, terutama pada pasien yang tidak dapat diposisikan
mudah misalnya, pada pasien dengan artritis berat, kifoscoliosis, atau ada riwayat
operasi tulang belakang sebelumnya. Saat menembus subkutis, pada pendekatan ini
jarum dinaikkan 2 cm ke lateral inferior dari proses spinosus superior, karena
pendekatan ini terletak di lateral sebagian besar ligamen interspinous dan menembus
paraspinous otot, awalnya agak sulit karena tidak berada di jaringan yang kokoh.
Jika tulang ditemukan pada kedalaman yang dangkal, jarum kemungkinan
bersentuhan dengan bagian medial lamina yang lebih rendah sehingga harus
diarahkan sebagian besar keatas dan sedikit kearah lateral. Jika jarum berhasil masuk
ke ligamentum flavum  durameter  rongga subdural  arakhnoid meter 
maka sampailah ke rongga subarakhnoid.1,8
Gambar 7. Paramedian approach1
Anestesi spinal bekerja dengan menginhibisi konduksi impuls saraf, baik saraf
motorik, sensorik, dan otonom. Saraf motorik berfungsi untuk kontraksi otot, sensorik
untuk transmisi impuls sensorik seperti raba dan nyeri ke medula spinalis dan otak, dan
saraf otonom untuk mengatur heart rate, kontraksi saluran cerna, pembuluh darah, dan
fungsi otonom lainnya. Umumnya saat diberikan anestesi lokal serat saraf otonom dan
sensorik akan terhambat terlebih dahulu kemudian diikuti dengan saraf motorik. Pada
serat dengan diameter yang lebih kecil dan termielinisasi akan semakin mudah diblok
jika dibandingkan dengan serat dengan diameter yang lebih besar dan tanpa mielinisasi.
Sebagai contoh, obat anestesi lokal Bupivakain (amino amida) menghambat konduksi
impuls saraf dengan menurunkan permeabilitas sodium dan meningkatkan ambang
potensial aksi/action potential thersold. Bupivakain 0,5% hiperbarik menjadi agen yang
direkomendasikan bila tersedia dan durasi aksi yang cukup lama dibandingkan dengan
agen anestesi lainnya.1,8 Setelah melakukan injeksi obat ke dalam ruang subarachnoid,
maka dilakukan penilaian kepada pasien untuk mengetahui apakah subarachnoid block
sudah terjadi. Penilaian tersebut dibedakan berdasarkan pembagian kerja blok anestesi
spinal, antara lain:
• Saraf otonom
• Saraf sensorik, dilakukan menggunakan ujung jarum untuk mestimulasi rangsang nyeri
dan menggunakan kapas yang diberi allkohol untuk menstimulasi rangsang taktil
• Saraf motorik, dengan cara melakukan pergerakan motorik yang dinilai menggunakan
bromage score.
Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca anastesi dengan
neuroaksial. Adapaun penilaiannya didapatkan dari:8,9
1 : Gerakan penuh dari tungkai atau tidak ada blok motorik
2 : Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi dapat menekuk lutut dan dapat
menggerakan kaki
3 : Tidak dapat mengangkat tungkai bawah dan menekuk lutut tetapi dapat menggerakan
kaki
4 : Tidak dapat menggerakan kaki
Gambar 8. Bromage score8

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi level blok dari anestesi spinal yang
diberikan pada pasien, antara lain agen anestesi yang digunakan, posisi pasien saat
dilakukan anestesi dan sesaat setelahnya, dosis yang diberikan, dan level injeksi. Secara
umum, semakin besar dosis dan semakin tinggi lokasi injeksi (level vertebra) dari
anestesi yang diberikan maka level blok yang didapatkan akan semakin tinggi.1
5. Pemantauan Anestesi
Pemantauan selama anestesia penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas
penatalaksanaan pasien. Selama pemberian anestesia/analgesia, tenaga anestesia yang
berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah yang bertujuan agar dapat memantau
pasien dan memberikan antisipasi segera terhadap perubahan abnormal yang terjadi.
Pemantauan pasien selama anestesia berdasarkan standar ASA dijelaskan sebagai berikut:
a) Jalan nafas
Jalan nafas selama anestesia dipantau secara kontinu baik dengan teknik sungkup
maupun intubasi trakea. Apabila pasien bernafas spontan, pemantauan dilakukan
melalui gejala/tanda seperti : terdengar suara nafas tambahan, gerakan kantong
reservoir terhenti atau menurun, tampak gerakan dada paradoksal. Sedangkan pada
nafas kendali yang dipantau adalah tekanan inflasi terasa berat, tekanan inspiratif
meningkat dan lain-lainnya. Hal lain yang juga perlu dievaluasi adalah memeriksa
kadar oksigen gas inspirasi melalui pulse oxymeter, memeriksa oksigenasi darah
dengan melihat warna darah luka operasi dan permukaan mukosa, secara kualitatif
dengan alat oksimeter denyut dan pemeriksaan analisis gas darah untuk menilai tekanan
parsial O2 dan CO2.7
b) Ventilasi
Ventilasi pernapasan pasien dipantau dengan cara : mengamati gerak naik turunnya
dada, gerak kembang kempisnya kantong reservoir atau auskultasi suara nafas,
memantau “end tidal CO2” terutama pada pasien dengan risiko tinggi (kraniotomi) dan
mengaktifkan sistem alarm jika ventilasi dilakukan dengan alat bantu nafas mekanik
sehingga dapat terdengar sinyal jika nilai ambang tekanan dilampaui.
c) Sirkulasi
Fungsi sirkulasi pasien dipastikan dalam kondisi terpantau dengan baik yang dilakukan
dengan cara menghitung denyut nadi secara manual pada orang dewasa dan dengan
stetoskop prekordial pada bayi dan anak. Selanjutnya dilakukan pengukuran tekanan
darah secara non invasif menggunakan tensimeter air raksa dan secara invasif
menggunakan kateter vena sentral pada pasien dengan risiko tinggi dan bedah ekstensif
untuk menilai status volume intravaskuler dan tekanan vena sentral. Pemantauan fungsi
sirkulasi pasien juga dilakukan dengan memantau EKG dari monitor, pulse oksimeter
dan produksi urin secara kontinu.
d) Suhu Tubuh
Mempertahankan suhu tubuh dengan mengukur secara kontinu pada daerah sentral
tubuh melalui esofagus atau rektum dengan termometer khusus yang dihubungkan
dengan alat pantau yang mampu menayangkan secara kontinu.
6. Terapi cairan
Dalam TURP didapati penggunaan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipakai berupa larutan
non-ionik. Ini adalah agar tidak adanya hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang
sering dipakai adalah H2O steril (aquades). Namun penggunaan aquades ada kerugiannya
yaitu sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui
pembuluh darah vena. Namun apabila H20 bertambah ia akan menyebabkan terjadinya
sindroma TURP.4
Penyerapan cepat irigasi kandung kemih hipotonik dengan volume besar selama TURP
dapat menyebabkan sindrom TURP. TURP sindrom ini ditandai dengan pergeseran
volume intravaskular dan efek plasma-solute (osmolarity). Sindrom TURP dapat terjadi
paling cepat 15 menit saat operasi telah dimulai dan paling lambat 24 jam setelah operasi.
Keluhan pusing, sakit kepala, mual, dada atau tenggorokan sesak, dan sesak napas
seringkali merupakan tanda klinis awal. Kemudian pasien menjadi gelisah, bingung, dan
mual. Beberapa pasien mengeluhkan sakit perut. Tekanan darahnya sering meningkat (baik
sistolik maupun diastolik), dan detak jantung menurun. Jika tidak segera ditangani, pasien
menjadi sianotik dan hipotensi dan akhirnya bertahan gagal jantung. Kadang-kadang,
sindrom TURP bermanifestasi sebagai tanda neurologis. Pasien menjadi lesu dan
kemudian tidak sadar, dan pupil membesar, bereaksi lamban terhadap cahaya. Tanda-tanda
ini bisa diikuti dengan episode pendek kejang tonik-klonik dan kemudian koma dari menit
ke jam. Jika pasien berada di bawah pengaruh bius total, tanda-tanda yang muncul sindrom
TURP biasanya naik dan turun darah tekanan, penurunan saturasi oksigen, dan refraktori
parah bradikardia. EKG mungkin menunjukkan ritme nodal, segmen ST perubahan,
gelombang U, dan pelebaran kompleks QRS. Pemulihan dari anestesi umum tertunda.11
Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP, caranya adalah dengan membatasi
operasi untuk tidak dilakukan reseksi lebih dari 1 jam. Pemasangan sistostomi suprabik
sebelum reseksi dapat juga mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik Jika secara
klinis diketahui adanya penurunan kadar hemoglobin yang berat, misalnya saat operasi
terjadi pendarahan yang hebat atau saat di ruang resusitasi kateter merah pekat terus maka
dapat dilakukan transfusi dengan PRC (Packed Red Cell).6

Setelah prosedur operasi selesai dilakukan pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery
room) untuk pemantauan lebih pasca operasi. Hal yang perlu dipantau selama berada di
recovery room antara lain keadaan umum seperti kesadaran pasien, tanda vital, status respirasi
dan sirkulasi pasien, serta aktivitas motorik dan nyeri post operatif. Pada kasus ini selama di
ruang pemulihan pasien dengan kesadaran compos mentis, tanda vital stabil, jalan nafas dalam
keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat, dan status sirkulasi baik. Penilaian nyeri dapat
menggunakan beberapa skala pengukuran derajat nyeri seperti visual analog scale, numeric
rating scale, dan wong baker pain rating scale. Pada pasien ini dilakukan menggunakan
numeric rating scal dan didapatkan skala 0, yaitu pasien tidak ada keluhan dan tidak terasa
nyeri. Namun, apabila post operatif pasien mengeluh nyeri maka dapat melakukan manajemen
nyeri multimodal analgesia yaitu dengan menggunakan berbagai agen atau teknik analgetik
yang memiliki target kerja yang berbeda mulai dari saraf perifer hingga sistem saraf pusat.
Dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar dapat menggunakan strategi farmakologi
berdasarkan WHO Three Step Analgesic Ladder, yaitu:1
1. Tahap pertama menggunakan obat analgetik non-opioid seperti golongan NSAID atau
COX2 spesific inhibitors.
2. Tahap kedua dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri maka diberikan obat-obat seperti
pada tahap pertama ditambahkan dengan opioid secara intermiten.
3. Tahap ketiga dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opioid yang lebih kuat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, Mackey DC, dan Wasnick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Ed 6. USA: Mc Graw Hill Education. 2018.
2. Rahimzadeh P, Faiz SHR, Imani F, Derakhshan P, Amniati S. BMC Anesthesiol.
2018;18(1):62
3. Purnomo. Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua, Jakarta: CV Sagung Seto. 2007. 69-85
4. Anugrah Dianfitriani, (2016) Peran Tadalafil Dalam Manajemen Lower Urinary Tract
Symptoms Akibat Benign Prostatic Hyperplasia. Thesis Thesis, Universitas Airlangga.
5. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. PT Indeks; 2017.
6. Charles Lee, Adult Perioperative Anesthesia:The Requisites in Anesthesiology
7. John E. Hall, Arthur C. Guyton, Guyton & Hall Textbook of Medical Physiology , 12th
ed., Elsevier, 2011 : Ch. 30
8. Adrian Chin and André van Zundert. The history of spinal anesthesia. Tersedia dari
https://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-techniques/spinal
anesthesia/#:~:text=When%20performing%20a%20spinal%20anesthetic,and
9. Norris MC. Neuroaxial Anesthesia. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan
MK, Stock MC, Ortega R, dkk. Clinical Anesthesia. Ed 8. Philadephia: Wolters Kluwer.
2017.
10. Rehatta Margarita, Hanindito Elizeus,dkk. Anestesiologi dan Terapi Intensif. Buku Teks
KATI-PERDATIN. Edisi Pertama. 2014
11. Fun Sun Yao,dkk. Yao & Artusios Anesthesiology Edisi 9. Wolters Kluwers. 2021

Anda mungkin juga menyukai