PENDAHULUAN
Masalah kesehatan jiwa anak sama pentingnya dengan masalah kesehatan
fisiknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tercapainya kesehatan fisik, bebas dari
penyakit menular akan menghasilkan manusia yang baik dan mengurangi
kematian anak. Besarnya permasalahan penyakit menular pada anak membuat
keadaan kesehatan jiwa anak kurang diprioritaskan. Namun dengan adanya
konsep bahwa kesehatan meliputi pula keadaan jiwa anak, maka perlu
diperhatikan perkembangan kesehatan jiwa anak. Meskipun angka gejala
gangguan jiwa anak tidak sebesar penyakit lainnya, namun diperlukan suatu
perhatian mengenai kesehatan jiwa anak mengingat akibat gangguan jiwa anak
yang tidak tertangani secara tepat dapat berakibat buruk.
Prevalensi gangguan mental pada populasi penduduk dunia menurut World
Health Organization (WHO) pada tahun 2000 memperoleh data gangguan mental
sebesar 12%, tahun 2001 meningkat menjadi 13% dan diprediksi pada tahun 2015
menjadi 15%. Sedangkan pada negara-negara berkembang prevalensinya lebih
tinggi. Gangguan mental dan perilaku yang tidak eksklusif untuk kelompok
tertentu, mereka ditemukan pada orang dari semua daerah, semua negara dan
semua masyarakat. Seperlima dari remaja di bawah usia 18 tahun mengalami
masalah perkembangan, emosional atau perilaku, satu dari delapannya memiliki
gangguan mental, sedangkan pada anak-anak yang kurang beruntung angka ini
adalah satu dari lima.
Gangguan pada anak-anak ini sering kali dikelompokkan dalam dua
kelompok yaitu eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai
dengan perilaku yang diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan,
overaktivitas, dan impulsivitas. Gangguan internalisasi ditandai dengan
pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti depresi,
menarik diri dari pergaulan sosial dan kecemasan, termasuk juga anxietas dan
mood dimasa anak-anak.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1 Definisi
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)III, gangguan perilaku pada masa anak dan remaja merupakan suatu golongan
yang disediakan untuk semua gangguan yang terjadi pada masa anak dan remaja
yang bersifat lebih menetap, mendalam, dan lebih sukar diatasi dibandingkan
dengan gangguan situasional sementara. Tetapi gangguan ini lebih ringan dari
psikosa, nerosa, dan gangguan kepribadian. Keadaan seperti ini disebabkan karena
perilaku pada usia tersebut masih berada dalam keadaan yang relatif mudah
berubah-ubah.
2.1.2 Epidemiologi
Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan
gangguan lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah
laku dan ADHD. Sekitar 40% anak-anak dengan ADHD juga mengalami
gangguan tingkah laku. Hal ini terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih
sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas gangguan tingkah laku dan ADHD
pada anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi bersamaan dengan
gangguan tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling memperparah satu
sama lain.
Gangguan tingkah laku didapatkan pada 6-16% anak laki-laki dan 2-9%
anak perempuan, di bawah usia 18 tahun. Insiden pada usia sekolah adalah 0,9%
dan 8,7% pada remaja. Berdasarkan penelitian longitudinal, kurang lebih 4-75%
diantaranya akan berkembang menjadi gangguan kepribadian antisosial pada masa
dewasanya. Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan
tingkah
laku
dan
komorbiditas
dengan
hambatan
behavioral
memiliki
merencanakan,
menggunakan
pengendalian
diri,
dan
2. Faktor psikologis
(pada anak yang lebih besar) pemerasan atau tindak kekerasan; sikap
membangkang secara berlebihan, perbuatan kasar, sikap tidak mau
bekerjasama, dan melawan otoritas; mengadat berlebihan dan amarah yang
tidak terkendali; merusak barang orang lain, sengaja membakar, perlakuan
kejam terhadap hewan dan terhadap sesama anak. Namun ada pula anak yang
terisolasi, juga terlibat dalam tindak kejahatan berkelompok. Maka jenis
kejahatan yang dilakukan tidaklah penting dalam menegakkan diagnosis,
yang lebih penting adalah soal kualitas hubungan personalnya.
F91.2 Gangguan Tingkah Laku Berkelompok
Pedoman diagnostik:
a. Kategori ini berlaku terhadap gangguan tingkah laku yang ditandai oleh
perilaku disosial atau agresif berkelanjutan (memenuhi kriteria untuk F91 dan
tidak hanya terbatas pada perilaku menentang, membangkang, merusak)
terjadi pada anak yang pada umumnya cukup terintegrasi di dalam kelompok
sebayanya.
b. Kunci perbedaan terpenting ialah terdapatnya ikatan persahabatan langgeng
dengan anak seusia. Sering kali, namun tidak selalu, kelompok sebaya itu
terdiri atas anak-anak yang juga terlibat dalam kegiatan kejahatan atau
disosial (tingkah laku anak yang tidak dibenarkan masyarakat justru
dibenarkan oleh kelompok sebayanya itu dan diatur oleh subkultur yang
menyambutnya dengan baik). Namun hal ini bukan merupakan syarat mutlak
untuk diagnosisnya; bisa saja anak ittu menjadi warga kelompok sebaya yang
tidak
terlibat
dalam
tindak
kejahatan
sementara
perilaku
disosial
dilakukannya di luar lingkungan kelompok itu. Bila perilaku disosial itu pada
khususnya, merupakan penggertakan terhadap anak lain, boleh jadi hubungan
dengan korbannya atau beberapa anak lain terganggu. Perlu ditegaskan lagi,
bahwa hal ini tidak membatalkan diagnosisnya, asal saja anak itu memang
termasuk dalam kelompok sebaya dan ia merupakan anggota yang setia dan
mengadakan ikatan persahabatan yang langgeng.
lebih menunjukkan defisit pada perhatian dan fungsi kognitif, dan memiliki
aktivitas motorik yang meningkat, dengan abnormalitas perkkembangan
neurologis yang lebih hebat. Sedangkan anak dengan gangguan tingkah laku
cenderung memiliki karakteristik sifat agresi yang tinggi dan disfungi keluarga
yang lebih hebat.
2. Gangguan campuran tingkah laku dan emosi lainnya.
3. Gangguan emosional dengan onset khas pada anak dan remaja.
2.1.6 Penatalaksanaan Gangguan Tingkah Laku
Hal penting bagi keberhasilan dalam penatalaksanaan adalah upaya
mempengaruhi banyak sistem dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, temanteman sebaya, sekolah, lingkungan tempat tinggal). Salah satu masalah yang
dihadapi masyarakat adalah bagaimana menghadapai orang-orang yang nurani
sosialnya tampak kurang berkembang. Adapun hal yang dapat dilakukan adalah:
Intervensi keluarga: beberapa pendekatan yang paling menjanjikan untuk
menangani gangguan tingkah laku mencakup intervensi bagi orang tua atau
keluarga
dari
si
anak
antisosial.
Gerald
Patterson
dan
kolegannya
2.1.7
Prognosis
Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya
12
dengan tingkat yang tinggi selama masa renaja, dan kembali ke gaya hidup tidak
bermasalah di masa dewasa.
Anak laki-laki dengan gangguan tingkah laku perilaku antisosialnya jauh
lebih mungkin untuk berlanjut jika memiliki salah satu orang tua yang mengalami
gangguan kepribadian antisosial atau jika mereka memilki kecerdasan verbal
rendah. Interaksi beberapa faktor individual, seperti temperamen, psikopatologi
yang dialami orang tua, dan interaksi orang tua-anak yang disfungsional, dan
faktor-faktor sosiokultural, seperti kemiskinan, dan dukungan sosial rendah,
berkontribusi terhadap lebih banyaknya kemungkinan timbulnya perilaku agresif
di usia dini dengan sifat tetap.
13
individu dengan gangguan emosi dan perilaku telah dirasuki setan atau hanya
malas. Orang juga percaya bahwa penyakit ini menular. Oleh karena itu,
pengobatan untuk orang-orang ini adalah penahanan di poorhouses (semacam
panti untuk menampung orang-orang miskin), pemukulan, penelantaran, dan
tindakan-tindakan kejam yang dianggap tidak manusiawi oleh standar masa kini.
Lembaga pertama bagi orang-orang dengan gangguan seperti itu, St Mary
dari Betlehem, didirikan di London pada 1547. Warga di institusi ini dipukuli,
dirantai, dan kelaparan. Pada tahun 1792, Philippe Pinel, seorang psikiater
Perancis, memerintahkan reformasi kemanusiaan. Pada 1800-an, usaha-usaha
para pembaharu dimulai di Amerika Serikat. Banyak negara telah mendirikan
institusi untuk orang-orang dengan gangguan emosi dan perilaku pada 1844.
Kelas-kelas di sekolah umum untuk anak-anak dengan gangguan perilaku mulai
muncul pada akhir 1800-an. Pada 1909, William Healy mendirikan Juvenile
Psychopatic Institute di Chicago untuk melakukan studi terhadap para remaja
yang melakukan pelanggaran. Sementara itu teori psikoanalisis Sigmund Freud
mulai mempengaruhi pendidikan dan perawatan anak-anak dengan gangguan
emosi dan perilaku baik di Eropa dan di Amerika Serikat. Pada abad kedua puluh,
kaum profesional menyadari bahwa anak-anak dengan gangguan emosi dan
perilaku memerlukan guru-guru, program-program, dan teknik-teknik mengajar
khusus. Tahun 1940-an dan 1950-an, pusat-pusat perawatan rumahan bagi pemuda
bermasalah mulai bermunculan. Tahun 1960-an dan 1970-an
berlangsung
14
Atau diusia 5-6 tahun anak semestinya sudah berani tidur sendiri dikamarnya,
namun ia menolak dengan alasan takut.
2. Gangguan Emosi Sedang
Ditingkat sedang, gejala gangguan emosi lebih kentara. Anak bisa marah,
takut, atau sedih terhadap hal-hal yang sebenarnya normal-normal saja pada anakanak lain. Umpamanya, ketika mainannya dipinjam, ia akan marah dan menyakiti
anak yang mengambil mainannya. Contoh lainnya adalah ketika ia diminta tidur
sendirian, ia akan menolak keras dengan alasan takut. Penolakannya sangat kuat,
dengan menangis, wajah pucat, atau mungkin marah kepada orang tuanya.
15
a. Tidak realistik, kekhawatiran yang mendalam kalau ada bencana yang akan
menimpa tokoh yang lekat atau kekhawatiran orang itu akan pergi dan tidak
kembali lagi.
b. Tidak realistik, kekhawatiran mendalam akan terjadi peristiwa buruk, seperti
misalnya anak akan kesasar, diculik atau dimasukkan dalam rumah sakit, atau
terbunuh yang akan memisahkannya dari tokohh yang lekat dengan dirinya.
c. Terus menerus enggan atau menolak masuk sekolah, semata-mata karena
takut akan perpisahan (bukan karena alasan lain seperti kekhawatiran tentang
peristiwa di sekolah).
d. Terus menerus enggan atau menolak untuk tidur tanpa ditemani atau
didampingi oleh tokoh kesayangannya.
e. Terus menerus takut yang tidak wajar untuk ditinggalkan seorang diri, atau
tanpa ditemani orang yang akrab di rumah pada siang hari.
f. Berulang mimpi buruk tentang perpisahan.
g. Sering timbulnya gejala fisik (rasa mual, sakit perut, sakit kepala, muntahmuntah, dan sebagainya) pada peristiwa perpisahan dari tokoh yang akrab
dengan dirinya seperti keluar rumah untuk pergi ke sekolah.
h. Mengalami rasa susah berlebihan (yang tampak dari anxietas, menangis,
mengadat, merana, apatis, atau pengunduran sosial), pada saat sebelum,
selama atau sehabis berlangsungnya perpisahan dengan tokoh yang akrab
dengannya.
Diagnosis ini mensyaratkan tidak adanya gangguan umum pada
perkembangan fungsi kepribadian.
F93.1 Gangguan Anxietas Fobik Masa Kanak
Kategori ini hanya berlaku terhadap rasa takut yang khas timbul pada suatu
fase perkembangan yang spesifik pada anak
Memenuhi kriteria:
a. Onset pada masa usia perkembangan yang sesuai.
b. Taraf anxietas itu secara klinis tidak normal, dan
c. Anxietas itu tidak merupakan bagian dari suatu gangguan yang menyeluruh.
16
b. Rasa persaingan/iri hati antar saudara mungkin ditandai oleh upaya bersaing
yang nyata antar saudara untuk merebut perhatian atau cinta orang tuanya;
untuk menjadi abnormal persaingan itu harus ditandai oleh perasaan negatif
berlebihan. Dalam kasus yang berat persaingan ini mungkin disertai oleh rasa
permusuhan yang terbuka, trauma fisik dan/atau sikap jahat, dan upaya
menjegal saudaranya. Dalam kasus yang rungan rasa persaingan/iri hati itu
17
18
Anxietas
perpisahan
yang normal
adalah paling
umum mencapai
puncaknya pada umur 10-18 bulan dan secara bertahap berkurang, biasanya
selama 3 tahun. Anxietas perpisahan yang normal dapat menyebabkan orang
tua mengalami kesulitan dengan bayi mereka pada waktu tidur atau waktu
pemisahan lainnya, karena anak menjadi gelisah, menangis, atau menempel pada
pengasuh.
Etiologi
Gangguan anxietas
perpisahan
(seperti
mengganggu
untuk
pergi
ke tempat
kerja
atau
kegiatan sehari-hari lainnya. Semua orang pernah merasa cemas atau malu pada
satu waktu atau yang lain. Misalnya, saat bertemu orang baru atau memberikan
pidato publik dapat membuat orang mejadi gugup. Tetapi penderita dengan
gangguan anxietas sosial akan khawatir tentang hal yang dicemaskan tersebut
selama berminggu-minggu sebelum hal yang ditakutkan terjadi.
Penderita dengan gangguan anxietas sosial takut akan melakukan halhal umum di depan orang lain. Kebanyakan penderita yang memiliki gangguan
anxietas sosial tahu bahwa mereka tidak harus menjadi takut, tetapi mereka tidak
19
yang
mempermalukan
mereka.
Fobia
sosial biasanya
20
menentukan siapa
mereka sebagai
seorang
21
8. Anak-anak sering berkelahi lebih dalam keluarga di mana orang tua berpikir
agresi dan perkelahian antara saudara kandung adalah normal dan merupakan
cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik.
9. Tidak memiliki waktu untuk berbagi waktu keluarga yang menyenangkan
bersama-sama (seperti makan keluarga) dapat meningkatkan kemungkinan
anak-anak terlibat dalam konflik.
10. Stres dalam kehidupan orang tua dapat mengurangi waktu dan perhatian
orang tua terhadap anak. Hal ini akan meningkatkan persaingan antar saudara.
11. Stres dalam kehidupan anak-anak.
12. Bagaimana orang
tua
memperlakukan anak-anak
mereka dan
bereaksi
terhadap konflik.
2.2.4 Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Obat-obatan berikut dapat diberikan hanya pada kasus-kasus parah:
1. Benzodiazepine
a. Diazepam
b. Chlordiazepoxide, dll
2. SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor)
a. Fluoxetine
b. Sertraline, dll
3. TCA
a. Imipramine
b. Clomipramine, dll
2. Non-farmakologi
Pertama perlu ditentukan dulu faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan.
Faktor-faktor yang perlu ditentukan dan penatalaksanaannya:
a) Masalah Eksternal, seperti bullying di sekolah atau kesulitan akademis harus
dikurangi dulu.
22
b) Orang tua yang pencemas, anak dapat mempelajari kecemasan dari orang
tuanya, sehingga orang tua harus meminimalisir penampilan ketakutan atau
kekhawatirannya bila di depan anak-anak.
c) Orang tua yang membolehkan anakknya menghindari aktivitas-aktivitas
yang ditakuti, sehingga anak tidak dapat beradaptasi dengan ketakutannya.
Seharusnya orang tua menjelaskan pada anak bahwa harus beradaptasi
dengan ketakutannya dan tidak boleh menghindari aktivitas yang dianggap
menakutkan.
d) Penghargaan keluarga terhadap perilaku berani anak, sehingga anak menjadi
terpacu untuk mengatasi rasa takutnya.
e) Keterampilan mendidik anak, keterampilan mendidik anak yang buruk
menghasilkan anak yang pencemas. Hal ini dapat diatasi dengan mengikuti
kelas-kelas pelatihan mendidik anak.
f) Gaya hidup yang sehat, pembatasan asupan caffeine dan memastikan anak
makan secara teratur dengan gizi yang cukup, tidur cukup.
Edukasi pada orang tua berupa:
a) Memberi reassurance bahwa kecemasan sering menghilang dengan
sendirinya bila mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah diberikan dokter
b) Menegaskan bahwa meskipun gejala-gejala kecemasan terlihat
mengkhwatirkan namun gejala-gejala tersebut tidak membahayakan bagi
anak.
23
BAB 3
KESIMPULAN
Gangguan tingkah laku merupakan suatu pola perilaku yang berulang dan
menetap dimana hak dasar orang lain, peraturan atau norma sosial yang sesuai
dengan usianya dilanggar, seperti perkelahian atau pelecehan yang berlebihan,
pencurian, perusakan, kebohongan berulang, yang berlanjut selama 6 bulan atau
lebih, yang sering ditemukan selama masa anak-anak hingga remaja. Gangguan
tingkah laku dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor resiko, antara lain
faktor biologis, faktor psikologis, pengaruh lingkungan yang mencakup orang tua,
saudara-saudara, dan teman-teman seusia, serta faktor sosiologis seperti tingkat
pendidikan dan keadaan sosio-ekonomi keluarga.
Gangguan tingkah laku didiagnosis berdasarkan PPDGJ III dengan gejala
khas suatu pola tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan
menetap. Contoh-contoh perilaku yang dapat menjadi dasar diagnosis mencakup
hal-hal berikut: perkelahian atau menggertak pada tingkat berlebihan; kejam
terhadap hewan atau sesama manusia; perusakan yang hebat atas barang milik
orang; membolos dari sekolah dan lari dari rumah; sangat sering meluapkan
temper tantrum yang hebat dan tidak biasa; perilaku provokatif yang
24
menyimpang; dan sikap menentang yang berat serta menetap. Perilaku seperti di
atas harus sudah berlangsung selama minimal 6 bulan.
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ)-III, gangguan tingkah laku pada anak termasuk ke dalam gangguan
perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa kanak dan remaja.
Gangguan tingkah laku termasuk F91 yang terdiri dari F91.0 gangguan tingkah
laku yang terbatas pada lingkungan keluarga, F91.1 gangguan tingkah laku tak
berkelompok, F91.2 gangguan tingkah laku berkelompok, F91.3 gangguan sikap
menentang (membangkang), F91.8 gangguan tingkah laku lainnya, dan F91.9
gangguan tingkah laku yang tidak tergolongkan. Sedangkan gangguan emosional
dengan onset khas pada masa kanak (F93) terdiri dari F93.0 gangguan anxietas
perpisahan masa kanak, F93.1 gangguan anxietas fobik masa kanak, F93.2
gangguan anxietas sosial masa kanak, dan F93.3 gangguan persaingan antar
saudara (Sibling Rivalry).
Penanganan
gangguan
tingkah
laku
meliputi
intervensi
keluarga,
25