PENDAHULUAN
Pada dasarnya, gangguan tingkah laku adalah pola tingkah laku
anak atau remaja yang berulang dan menetap dimana terjadi pelanggaran
norma-norma sosial dan peraturan utama setempat. Gangguan tingkah laku
tersebut mencakup perusakan benda, pencurian, berbohong berulang-
ulang, pelanggaran serius terhadap peraturan, dan kekerasan terhadap
hewan atau orang lain. Etiologi gangguan tingkah laku meliputi
psikodinamika, faktor sosial, dinamika keluarga, pengelolaan jasmaniah yang
tidak wajar dan biologis.
Sebelum mengklasifikasikan adanya gangguan perilaku pada usia
anak-anak atau remaja, hal pertama yang harus kita lakukan adalah
mengetahui apa yang dianggap normal pada usia tersebut. Untuk
menentukan apa yang normal dan apa yang terganggu, khusus pada anak
dan remaja yang perlu ditambahkan selain kriteria umum yang telah kita
ketahui adalah faktor usia anak dan latar belakang budaya. Banyak
masalah yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak masuk sekolah.
Masalah tersebut mungkin sudah muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi,
atau tidak dianggap sebagai masalah ketika di rumah. Kadang-kadang stres
karena pertama kali masuk sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya
(onset). Namun, perlu diingat bahwa apa yang secara sosial dapat diterima
pada usia tertentu, menjadi tidak dapat diterima di usia yang lebih besar.
Banyak pola perilaku yang mungkin dianggap abnormal pada masa
dewasa,dianggap normal pada usia tertentu.
Gangguan pada anak-anak ini sering kali dikelompokkan dalam dua
kelompok yaitu eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi
ditandai dengan perilaku yang diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas,
ketidakpatuhan, overaktivitas, dan impulsivitas. Gangguan internalisasi
ditandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri
seperti depresi, menarik diri dari pergaulan social, dan kecemasan, termasuk
juga anxietas dan mood dimasa anak-anak.
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
(PPDGJ) – III, gangguan tingkah laku (F.91) digolongkan dalam Gangguan
Perilaku dan Emosional dengan Onset biasanya pada masa kanak dan
remaja, yang merupakan salah satu gangguan yang dapat terjadi pada
masa kanak, remaja, dan perkembangan. Sedangkan berdasarkan DSM-IV,
gangguan tingkah laku tergolongkan gangguan eksternalisasi yang
termasuk dalam kategori DSM-IV-TR bersama dengan Attention Deficit and
Hyperactivity Disorder (ADHD) dan gangguan sikap menentang (GSM).
DEFINISI
Bagi kebanyakan orangtua sangat sulit dan tidak mudah mendeteksi dan mengenali
penyakit mental pada anak. Akibatnya, banyak anak yang bisa mendapatkan manfaat dari
pengobatan tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Memahami tanda-tanda
peringatan dari penyakit mental pada anak dapat membantu mengatasi permasalahan pada
anak.
Gangguan perilaku ditandai dengan pola tingkah laku yang berulang dimana hak dasar
orang lain terganggu. Meskipun beberapa anak lebih bertingkah laku baik dibandingkan
dengan yang lainnya, anak yang berulangkali dan terus-menerus melanggar peraturan dan hak
orang lain dimana dengan cara yang tidak sesuai dengan usia mereka memiliki gangguan
perilaku.
Masalah tersebut biasanya dimulai pada masa kanak-kanak akhir atau awal remaja dan
lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Penilaian pada perilaku
harus melibatkan lingkungan sosial anak tersebut ke dalam catatan. Penyimpangan perilaku
terjadi oleh anak sewaktu adaptasi dengan kehidupan di daerah peperangan, tempat
kerusuhan, atau lingkungan lain dengan stress tinggi bukan gangguan perilaku.
b. Faktor-faktor psikologis.
Teori pembelajaran yang melibatkan modelling dan pengondisian
operant memberikan penjelasan yang bermanfaat mengenai
perkembangan dan berlanjutnya masalah tingkah laku. Anak-anak dapat
mempelajari agresivitas orang tua yang berperilaku agresif. Anak juga dapat
meniriu tindakan agresif dari berbagai sumber lain seperti televisi. Karena
agresi merupakan cara mencapai tujuan yang efektif, meskipun tidak
menyenangkan, kemungkinan hal tersebut dikuatkan. Oleh karena itu
setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan dipertahankan. Berbagai
karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak konsisten dan
kurangnya pengawasan secara konsisten dihubungkan dengan perilaku
antisosial pada anak-anak.
c. Pengaruh lingkungan
1. Orangtua: sikap orangtua terhadap anak mereka merupakan faktor yang
sangat penting bagi kepribadian anak itu. Perkawinan yang tidak bahagia
atau perceraian dapat menimbulkan kebingungan pada anak. Bila
orangtua tidak rukun, maka sering mereka tidak konsekuen dalam mengatur
kedisiplinan dan sering mereka bertengkar di depan anak. Sebaliknya,
disiplin yang dipertahankan secara kaku dapat menimbulkan frustasi yang
hebat. Kepribadian orangtua sendiri juga sangat penting.
d. Faktor-faktor sosiologis.
1. Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar
orang lain atau norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam
bentuk tiga atau lebih perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan
minimal satu diantaranya dalam enam bulan terakhir :
• Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola tingkah
laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap.
• Penilaian tentang adanya gangguan tingkah laku perlu memperhitungkan
tingkat perkembangan anak. Temper tantrums, merupakan gejala normal
pada perkembangan anak berusia 3 tahun, dan adanya gejala ini bukan
merupakan dasar diagnosis ini. Begitu pula, pelanggaran terhadap hak
orang lain (seperti tindak pidana dengan kekerasan) tidak termasuk
kemampuan anak berusia 7 tahun dan dengan demikian bukan merupakan
kriteria diagnostik bagi anak kelompok usia tersebut. Contoh-contoh perilaku
yang dapat menjadi dasar diagnosis mencakup hal-hal berikut: perkelahian
atau menggertak pada tingkat berlebihan; kejam terhadap hewan atau
sesama manusia; perusakan yang hebat atas barang milik orang; membolos
dari sekolah dan lari dari rumah; sangat sering meluapkan temper tantrum
yang hebat dan tidak biasa; perilaku provokatif yang menyimpang; dan
sikap menentang yang berat serta menetap. Masing-masing dari kategori ini,
apabila ditemukan, adalah cukup untuk menjadi alasan bagi diagnosis ini,
namun demikian perbuatan dissosial yang terisolasi bukan merupakan
alasan yang kuat.
• Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah laku seperti yang
diuraikan
di atas berlanjut selama 6 bulan atau lebih.
• Ciri khas dari gangguan tingkah laku tak berkelompok ialah adanya
kombinasi mengenai perilaku dissosial dan agresif berkelanjutan (yang
memenuhi seluruh kriteria F91 dan tidak terbatas hanya pada perilaku
membangkang, menentang, dan merusak), dengan sifat kelainan yang
pervasif dan bermakna dalam hubungan anak yang bersangkutan dengan
anak-anak lainnya.
• Tiadanya keterpaduan yang efektif dengan kelompok sebaya merupakan
perbedaan penting dengan gangguan tingkah laku yang “berkelompok”
(socialized) dan ini diutamakan di atas segala perbedaan lainnya.
• Rusaknya hubungan dengan kelompok sebaya terutama dibuktikan oleh
keterkucilan dari dan/atau penolakan ooleh, atau kurang disenanginya oleh
anak-anak ebayanya, dan karena ia tidak mempunyai sahabat karib atau
hubungan empatik, hubungan timbal balik yang langgeng dengan anak
kelompok usianya. Hubungan dengan orang dewasa pun ditandai dengan
oleh perseisihan, rasa bermusuhan, dan dendam. Hubungan baik dengan
orang dewasa dapat terjalin (sekalipun biasanya kurang bersifat akrab dan
percaya); dan seandainya ada, tidak menyisihkan kemungkinan diagnosis
ini.
• Tindak kejahatan lazim (namun tidak mutlak) dilakukan sendirian. Perilaku
yang khas terdiri dari: tingkah lku menggertak, sangat sering berkelahi, dan
(pada anak yang lebih besar) pemerasan atau tidank kekerasan; sikap
membangkang secara berlebihan, perbuatan kasar, sikap tidak mau kerja
sama, dan melawan otoritas; mengadat berlebihan dan amarah yang tidak
terkendali; merusak barang orang lain, sengaja membakar, perlakuan kejam
terhadap hewan dan terhadap sesama anak. Namun ada pula anak yang
terisolasi, juga terlibat dalam tindak kejahatan berkelompok. Maka jenis
kejahatan yang dilakukan tidaklah penting dalam menegakkan diagnosis,
yang lebih penting adalah soal kualitas hubungan personal-nya.
F91.2 Gangguan Tingkah Laku Berkelompok Pedoman Diagnostik :
• Kategori ini berlaku terhadap gangguan tingkah laku yang ditandai oleh
perilaku dissosial atau agresif berkelanjutan (memenuhi kriteria untuk F91 dan
tidak hanya terbatas pada perilaku menentang, membangkang, merusak)
terjadi pada anak yang pada umumnya cukup terintegrasi dalam kelompok
sebayanya.
• Kunci perbedaan terpenting adalah adanya ikatan persahabatan
langgeng dengan anak yang seusia. Sering kali, namun tidak selalu,
kelompok sebaya itu terdiri atas anak-anak yang juga terlibat dalam
kegiatan kejahatan atau dissosial (tingkah laku yang tidak dibenarkan
masyarakat justru dibenarkan oleh kelompok sebayanya itu dan diatur oleh
subkultur yang menymbutnya dengan baik). Namun hal ini bukan
merupakan syarat mutlak untuk diagnosisnya; bisa saja anak itu menjadi
warga kelompok sebaya yang tidak terlibat dalam tindak kejahatan
sementara perilaku dissosial dilakukannya di luar lingkungan kelompok itu.
Bila perilaku dissosial itu pada khususnya, merupakan penggertakan
terhadap anak lain, boleh jadi hubungan dengan korbannya atau
beberapa anak lain terganggu. Perlu ditegaskan lagi, hal itu tidak
membatalkan diagnosisnya, asal saja anak itu memang termasuk dalam
kelompok sebaya dan ia merupakan anggota yang setia dan mengadakan
ikatan persahabatan yang langgeng.8
DIAGNOSA BANDING
1. Gangguan aktivitas dan perhatian (ADHD)
ADHD dapat dikonsepkan sebagai gangguan kognitif/perkembangan,
dengan onset usia lebih muda dari gangguan tingkah laku. Anak dengan
ADHD lebih menunjukkan defisit pada perhatian dan fungsi kognitif, dan
memiliki aktivitas motorik yang meningkat, dengan abnormalitas
perkkembangan neurologis yang lebih hebat. Sedangkan anak dengan
gangguan tingkah laku cenderung memiliki karakteristik sifat agresi yang
tinggi dan disfungi keluarga yang lebih hebat.
2. Gangguan campuran tingkah laku dan emosi lainnya
3. Gangguan emosional dengan onset khas pada anak dan remaja
FARMAKOTERAPI
PROGNOSIS