BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
MASALAH PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH
Pengertian Anak Usia Sekolah
Masa sekolah yaitu usia anak memasuki sekolah yang terbagi atas masa pra remaja (6-10 tahun),
masa remaja dini (pr: 8-13 tahun, lk: 10-15 th), masa remaja lanjut (pr: 13-18 th, lk: 15-20 th).
Pada masa ini anak memasuki masa belajar di dalam dan di luar sekolah. Anak belajar di
sekolah, tetapi membuat latihan pekerjaan rumah yang mendukung hasil belajar di sekolah.
Banyak aspek perilaku dibentuk melalui penguatan (reinforcement) verbal, keteladanan dan
identifikasi. Anak-anak pada masa ini harus menjalani tugas-tugas perkembangan yakni : belajar
keterampilan fisik untuk permainan biasa, membentuk sikap sehat mengenai dirinya sendiri,
belajar bergaul dengan teman-teman sebaya, belajar peranan jenis yang sesuai dengan jenisnya,
membentuk keterampilan dasar : membaca, menulis dan berhitung, membentuk konsep-konsep
yang perlu untuk hidup sehari-hari membentuk hati nurani, nilai moral dan nilai sosial,
memperoleh kebebasan pribadi, membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok sosial
dan lembaga.-lembaga.
Adapun berbagai gangguan perkembangan yang bisa ditemukan pada anak usia sekolah yaitu
berupa:
Definisi gangguan tingkah laku memfokuskan pada perilaku yang melanggar hak-hak dasar
orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku yang dianggap sebagai simptom
gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap orang lain atau hewan, merusak
kepemilikan, berbohong, dan mencuri. Gangguan tingkah laku merujuk pada berbagai tindakan
yang kasar dan sering dilakukan yang jauh melampaui kenakalan dan tipuan praktis yang umum
dilakukan anak-anak dan remaja usia sekolah.
Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan lain.
Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD. Hal ini terjadi
pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas gangguan
tingkah laku dan ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi
bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling memperparah satu
sama lain.
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan
komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan
kejahatan dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid dengan
penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa anak-anak perempuan
yang mengalami gangguan tingkah laku berisiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai
gangguan komorbid, termasuk kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding
dengan anak laki-laki yang memiliki gangguan tingkah laku.
Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut menjadi
perilaku anti sosial di masa dewasa, meskipun memang menjadi faktor yang mempredisposisi.
Beberapa individu tampaknya menunjukkan pola perilaku anti sosial dengan masalah tingkah
laku yang bermula di usia 3 tahun dan berlanjut menjadi kesalahan perilaku yang serius di masa
dewasa.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan tingkah laku pada remaja adalah
faktor kerentanan psikiatrik, neurologi, kognitif, dan keluarga. Remaja yang mempunyai
gangguan tingkah mungkin menderita cedera pada sistem saraf pusat. Walaupun sebagian besar
remaja yang mengalami gangguan tingkah laku tidak mengalami kerusakan saraf, perlu penilaian
medis dan neuropsikologis yang teliti untuk mengetahui disfungsi sitem saraf pusat yang terjadi.
Gangguan belajar sering terjadi pada remaja dengan gangguan tingkah laku. Remaja yang
mempunyai kesulitan dalam membaca dan bahasa, sering sulit untuk menumpahkan
kemarahannya melalui kata-kata, justru langsung bertindak dengan berperilaku anti sosial.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gangguan tingkah laku dan kenakalan anak:
a. Disregulasi neurologik
Tingginya angka kejadian gangguan tingkah laku yang terjadi bersamaan dengan dengan ADHD
yaitu sekitar 50% menguatkan anggapan bahwa yang mendasari terjadinya gangguan ini adalah
disregulasi neurologik.
b. Faktor biokemikal
Teori biokemikal mengatakan bahwa terdapat hubungan antara berkurangnya kadar serotonin
pada sistem saraf pusat dengan terjadinya perilaku agresif dan impulsive.
c. Faktor biologi anak
Temperamen anak cenderung sebagai prediktor terjadinya gangguan tingkah laku. Apabila
orangtua menanggapi dengan tidak sabar, tidak konsisten dan banyak memberikan larangan pada
anaknya maka kelak anak ini akan mengalami gangguan tingkah laku. Perilaku kriminal dan
agresif dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan dimana faktor lingkungan pengaruhnya
sedikit lebih besar. Kelemahan neurologis, tercakup dalam profil masa kanak-kanak dari anak-
anak yang mengalami gangguan tingkah laku. Kelemahan tersebut termasuk keterampilan verbal
yang rendah, masalah dalam fungsi pelaksanaan (kemampuan mengantisipasi, merencanakan,
menggunakan pengendalian diri, dan menyelesaikan masalah) dan masalah memori.
d. Faktor sekolah
Anak yang mengalami gangguan tingkah laku sering mempunyai intelektual dan prestasi
akademik yang rendah.
e. Psikologi orang tua
Ibu yang depresi, ayah pecandu alkohol, penjahat dan mempunyai perilaku anti social
berhubungan erat denga terjadinya gangguan tingkah laku pada anaknya.
f. Peranan keluarga
Perceraian, konflik dalam perkawinan dan kekerasan, interaksi orang tua dengan anak,
kemelaratan dan genetik berpengaruh terhadap gangguan tingkah laku pada anak. Anak-anak
dapat mempelajari agresivitas orang tua yang berperilaku agresif. Anak juga dapat meniru
tindakan agresif dari berbagai sumber lain seperti televisi. Karena agresi merupakan cara
mencapai tujuan yang efektif, meskipun tidak menyenangkan, kemungkinan hal tersebut
dikuatkan. Oleh karena itu setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan dipertahankan.
Berbagai karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak konsisten dan kurangnya
pengawasan secara konsisiten dihubungkan dengan perilaku antisosial pada anak-anak.
g. Pengaruh teman sebaya
Penelitian mengenai pengaruh teman seusia terhadap agresi dan anti sosial anak-anak
memfokuskan pada dua bidang besar, yaitu:
1) Penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia. Penolakan menunjukkan hubungan yang
kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan tindakan pengendalian perilaku agresif yang
terdahulu
2) Afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang. Pergaulan dengan teman
seusia yang nakal juga dapat meningkatkan kemungkinan perilaku nakal pada anak.
h. Faktor-faktor sosiologis.
Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang rendah, kehidupan keluarga yang
terganggu, dan subkultur yang menganggap perilaku kriminal sebagai suatu hal yang dapat
diterima terungkap sebagai faktor-faktor yang berkontribusi. Kombinasi perilaku anti sosial anak
yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi keluarga memprediksikan terjadinya
penangkapan di usia muda karena tindakan kriminal. Faktor-faktor sosial berperan, korelasi
terkuat dengan kenakalan adalah hiperaktivitas dan kurangnya pengawasan orang tua.
Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya mempengaruhi banyak sistem
dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan tempat
tinggal).
Intervensi keluarga
Beberapa pendekatan untuk menangani gangguan tingkah laku mencakup intervensi bagi orang
tua atau keluarga dari si anak anti sosial. Para orang tua diajarkan untuk menggunakan teknik-
teknik seperti penguatan positif bila si anak menunjukkan perilaku positif dan pemberian jeda
serta hilangnya perilaku istimewa bila ia berperilaku agresif atau anti sosial.
Penanganan multisistemik
Intervensi ini memandang masalah tingkah laku sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh
berbagai konteks dalam keluarga dan antara keluarga dan berbagai sistem sosial lainnya. Teknik
yang dipergunakan variasai meliputi teknik perilaku kognitif, sistem keluarga, dan manajemen
kasus.
Pendekatan kognitif
Penanganan dengan terapi kognitif individual bagi anak-anak yang mengalami gangguan tingkah
laku dapat mempaerbaiki tingkah laku mereka, meski tanpa melibatkan keluarga. Contoh:
mengajarkan keterampilan kognitif pada anak-anak untuk mengendalikan kemarahan mereka
menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu mereks mengurangi perilaku agresif. Strategi
lain dengan mengajarkan keterampilan moral kepada berbagai kelompok remaja yang mengalami
ganguan perilaku.
ADHD merupakan satu dari kelainan yang terbanyak pada anak usia sekolah. Ditemukan sekitar
3-5% usia anak sekolah. Penyebab pasti ADHD belum diketahui sampai sekarang. Diperkirakan
beberapa faktor seperti herediter, neurologik, faktor pre dan post natal dan toksin berpengaruh
terhadap kejadian ADHD. Penelitian oleh Linstrom dkk bahwa pada anak sekolah dengan
ADHD ternyata didapatkan sebagian besar dengan riwayat kelahiran prematur.
Anak dengan ADHD sulit untuk berkonsentrasi pada tugas yang dikerjakan dalam waktu
tertentu yang wajar sehingga mengalami penurunan dalam hal akademik. Anak dengan ADHD
mengalami kesulitan mengendalikan aktifitas dalam berbagai situasi yang menghendaki mereka
duduk tenang. Banyak anak ADHD mengalami kesulitan besar untuk bermain dengan anak
seusia mereka dan menjalin persahabatan, hal ini mungkin karena mereka cenderung agresif saat
bermain sehingga membuat teman-temannya merasa tidak nyaman. Anak ADHD bermain
agresif dengan tujuan mencari sensasi sedang anak normal melakukan hal tersebut dangan tujuan
untuk bermain sportif. Karena simptom-simptom ADHD bervariasai, DSM-IV-TR
mencantumkan tiga subkategori, yaitu:
1. Tipe predominan inatentif: anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya konsentrasi.
2. Tipe predominan Hiperaktif-Impulsif: anak-anak yang masalah utamanya diakibatkan oleh
perilaku hiperaktif-impulsif.
3. Tipe kombinasi: anak-anak yang mengalami kedua rangkaian masalah diatas.
Anak-anak yang mengalami masalah atensi, namun memiliki tingkat aktivitas yang sesuai
dengan tahap perkembangannya, tampak sulit memfokuskan perhatian atau lebih lambat dalam
memproses informasi mungkin berhubungan dengna masalah pada daerah frontal atau striatal
otak. Gangguan ADHD, lebih berhubungan dengan perilaku tidak mengerjakan tugas di sekolah,
kelemahan kognitif, rendahnya prestasi. Berbeda dengan anak yang mengalami gangguan
tingkah laku, mereka bertingkah di sekolah dan dimana pun, dan kemungkinan jauh lebih
agresif, serta mungkin memiliki orang tua yang antisosial. Berdasarkan laporan dari para guru,
anak ADHD lebih agresif, tidak patuh, dan suka mengganggu dan angka kehadiran di sekolah
yang rendah. Mereka berisiko drop out dari sekolah.
Penatalaksanaan ADHD
1). Pemberian Obat Stimulan. Metilfenidat, atau Ritalin, telah diresepkan bagi ADHD sejak awal
tahun 1960-an termasuk amfetamin, atau Adderall, dan Pemolin atau Cylert. Obat-obatan ini
digunakan untuk mengurangi perilaku menganggu dan meningkatkan konsentrasi. Namun,
penelitian lain mengindikasikan bahwa obat-obatan tersebut tidak dapat meningkatkan prestasi
akademik untuk waktu lama. Efek samping dari obat-obatan ini adalah hilangnya nafsu makan
untuk sementara dan masalah tidur.
2). Penanganan Psikologis. Selain pemberian obat, penanganan yang paling menjanjikan bagi
anak-anak ADHD mencakup pelatihan bagi orang tua dan perubahan menajemen kelas
berdasarkan prinsip-prinsip pengondisian operant. Program ini mampu untuk memperbaiki
perilaku sosial dan akademik. Pada penanganan ini perilaku anak dipantau dan di rumah dan di
sekolah, dan mereka diberi penguatan untuk berperilaku sesuai dengan harapan.
Fokus program operant ini adalah meningkatkan karya akademik, menyelesaikan tugas-
tugas rumah, atau belajar keterampilan sosial spesifik, dan bukan untuk mengurangi tanda-tanda
hiperaktivitas, seperti berlari ke sana kemari dan menggoyang-goyangkan kaki. Berbagai
intervensi di sekolah bagi anak ADHD, mencakup pelatihan bagi para guru untuk memahami
kebutuhan unik anak-anak tersebut dan menerapkan teknik-teknik operant tersebut di kelas,
pembimbingan oleh teman sebaya dalam keterampilan akademik, meminta guru-guru untuk
memberikan laporan harian kepada orang tua mengenai perilaku anak di sekolah, yang
ditindaklanjuti dengan hadiah dan konsekuensi di rumah.
C. DISABILITAS BELAJAR
Disabilitas belajar merujuk pada kondisi tidak memadainya perkembangan dalam suatu bidang
akademik tertentu, bahasa, berbicara, atau keterampilan motorik yang tidak disebabkan oleh
retardasi mental, autisme, gangguan fisik yang dapat terlihat, atau kurangnya kesempatan
pendidikan. Anak-anak yang mengalami gangguan ini umumnya memiliki intelegensi rata-rata
atau di atas rata-rata, namun mengalami kesulitan mempelajari beberapa keterampilan tertentu
(misal aritmatika atau membaca) sehingga kemajuan mereka di sekolah menjadi terhambat.
Disabilitas belajar untuk menggabungkan tiga gangguan yaitu : gangguan perkembangan belajar,
gangguan berkomunikasi, dan gangguan keterampilan motorik.
Etiologi Disleksia
Kelemahan inti yang membentuk disleksia mencakup berbagai masalah dalam proses-proses
visual/pendengaran dan bahasa. Penelitian menunjukkan adanya satu masalah atau lebih dalam
pemrosesan bahasa yang dapat mendasari disleksia, termasuk persepsi bicara dan analisis bunyi
bahasa ucapan dan hubungannya dengan kata-kata tertulis. Beberapa anak tertentu lebih mungkin
mengalami disleksia, yaitu : mereka yang mengalami kesulitan mengenali sajak atau puisi di usia
4 tahun, mengalami kesulitan menyebutkan nama objek familiar dengan cepat pada usia 5 tahun,
dan mereka yang terlambat menguasai berbagai aturan bentuk kalimat pada usia 2,5 tahun.
Etiologi Gangguan Berhitung
Terdapat tiga subtipe gangguan berhitung. Pertama, kelemahan pada memori verbal semantik
dan memicu timbulnya masalah dalam mengingat fakta-fakta aritmatik, bahkan setelah melalui
latihan ekstensif. Tipe ini tampaknya berhubungan dengan beberapa disfungsi pada belahan kiri
otak dan seringkali terjadi bersamaan dengan gangguan membaca. Kedua, menyangkut
penggunaan strategi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan dalam menyelesaikan soal-
soal aritmatik dan seringnya melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal sederhana.
Ketiga, jarang terjadi yaitu yang menyangkut hendaya keterampilan visuospasial, yang
mengakibatkan kesalahan dalam mengurutkan angka-angka dalam kolom atau melakukan
kesalahan menempatkan angka (meletakkan poin desimal di tempat yang salah).
Berbagai program penanganan harus memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengalami
rasa kemampuan dan self efficacy, mengurangi masalah behavioral yang diakibatkan oleh rasa
frustrasi, mencakup strategi untuk mengatasi masalah penyesuaian masalah sosial dan emosional
sekunder yang mereka alami.
Intervensi untuk Gangguan Belajar
1. Model Psikoedukasi. Menekankan pada kekuatan-kekuatan dan preferensi-preferensi anak dari
pada usaha untuk mengoreksi defisiensi yang mendasarinya. Misalnya anak yang menyimpan
informasi auditori lebih baik dibanding visual akan diajar secara verbal, misalnya mengguanakan
rekaman pita, dan bukan materi-materi visual.
2. Model Behavioral. Mengasumsikan bahwa belajar akademik dibangun diatas hierarki
ketermpilan-keterampilan dasar, atau perilaku yang memampukan (enabling behaviours).
Kompetensi belajar anak akan dinilai untuk menentukan letak defisiensi dalam hierarki
keterampilan. Program intruksi dan penguatan perilaku yang disusun secara individual akan
membantu anak.
3. Model Medis. Mengasumsikan bahwa gangguan belajar merefleksikan dalam pengolahan
informasi yang memiliki dasar biologis.
4. Model Linguistik. Terfokus pada defisiensi dasar pada bahasa anak. Menekankan intruksi
dalam keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dengan cara yang logis,
berurutan, dan multi indrawi, seperti membaca dengan keras seraya disupervisi dengan teliti.
Model ini mengajarkan keterampilan bahasa secara bertahap, membantu murid-murid
menangkap struktur dan meggunakan kata-kata .
5. Model Kognitif. Berfokus pada bagaimana anak mengatur pemikiran mereka ketika belajar
materi-materi akademik. Anak dibantu untuk belajar dengan mengenali sifat dari tugas belajar,
menerapkan strategi-strategi untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memonitor kesuksesan
strategi-strategi mereka.
Para peneliti mengembangkan permainan komputer khusus dan rekaman radio yang
memperlambat pengucapan bunyi. Latihan intensif dapat meningkatkan keterampilan bahasa
anak yang mengalami gangguan bahasa berat .
b. Gangguan Komunikasi
Kecemasan dianggap tidak normal apabila berlebihan dan menghambat fungsi akdemik dan
soaial atau menjadi menyusahkan atau persisten. Beberapa gangguan kecemasan yang dapat
dialami oleh anak dan remaja antara lain fobia spesifik, fobia sosial, gangguan kecemasan
menyeluruh, PTSD, dan gangguan mood, termasuk depresi mayor dan gangguan bipolar.
Diperkirakan 8%-9% anak-anak usia 10-13 tahun pernah mengalami depresi mayor selama
setahun. Perbedaan gender yang jelas yampak setelah usia 15 tahun, dimana jumlah remaja
perempuan yang mengalami depresi dua kali lebih banyak dari pada laki-laki.
Gangguan Kecemasan akan Perpisahan
Gangguan kecemasan akan perpisahan ditandai oleh ketakutan yang berlebihan akan
perpisahannya dari orang tua atau pengasuh lainnya. Anak-anak dengan gangguan ini cenderung
terikat pada orang tua dan mengikuti kemana pun mereka berada di lingkungan rumahnya. Anak
tersebut dapat mengemukakan kecemasan tentang kematian dan memaksa seseorang untuk
menemani saat mereka tidur. Mereka seringkali mengalami mimpi buruk, salit perut, mual, dan
muntah ketika mengantisipasi perpisahan. Gangguan ini terjadi sekitar 4% anak dan remaja awal,
dapat berlangsung sampai dewasa, menyebabkan perhatian yang berlebihan pada keselamatan
nak-anak dan pasangan serta kesulitan mentoleransi perpisahan apapun dari mereka.
Perkembangan gangguan ini sering muncul setelah adanya kejadian hidup yang menekan, seperti
kematian, kondisi sakit, perubahan sekolah atau rumah.
Perpektif tentang Gangguan Kecemasan di Masa Kanak-Kanak
Anak-anak dan remaja yang mengalami depresi dapat memiliki perasaan tidak berdaya, pola
berpikir yang lebih terdistorsi, kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri sehubungan
dengan kejadian-kejadian negatif, serta self-esteem. Self-confidence, dan depresi akan
kompetensi yang lebih rendah dibandingkan dengan teman dsebaya yang tidak depresi. Mereka
sering melaporkan adanya episode kesdiahn danm menangis, merasa apatis, sulit tidur, lelah, dan
kurang nafsu makan. Mereka memiliki keinginan untuk bunuh diri bahkan mencoba untuk bunuh
diri.
Anak-anak dan remaja yang depresi mungkin gagal melabelkan perasaan mereka sebagai
depresi. Sebagian dari masalahnya adalah perkembangan kognitif. Anak biasanya tidak mampu
mengenali perasaan internal sampai usia 7 tahun. Bahkan kadang sampai remaja, mereka tidak
menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah depresi.
Lamanya episode depresi mayor pada anak-anak dan remaja kira-kira 11 bulan, tetapi
episode individual bisa mencapai 18 bulan pada beberapa kasus dengan tingkat sedang dapat
bertahan sampai beberapa tahun dan amat mempengaruhi prestasi sekolah dan fungsi sosial.
Anak-anak yang depresi juga kurang memiliki berbagai keterampilan, termasuk
keterampilan akademik, atletik dan sosial. Mereka sulit berkonsentrasi di sekolah dan mengalami
hendaya memori sehingga sulit meningkatkan nilai mereka. Depresi pada anak jarang terjadi
dengan sendirinya.
Selain itu terdapat jenis kelainan pada usia sekolah berupa kelainan bipolar (bipolar
disorders). Early onset bipolar disorders ini sering sukar dikenal karena sukar membedakan
perilaku antara normal dan abnormal dan sering terjadi bersamaan dengan kelainan mental pada
anak. Sehingga sering misdiagnosis dan misunderstood. Gejala hampir sama dengan ADHD,
gangguan kecemasan dan skizofrenia.
Depresi merupakan gejala awal early onset bipolar disorders dimana anak sering nangis,
tidak tertarik dengan berbagai kegiatan sekolah, perubahan penampilan, irritabilitas, pola tidur
yang berubah, meningkatnya social withdrawal. Kadang-kadang gejala menyerupai ADHD
dimana anak tampak hiperaktif dan terlalu banyak bicara. Terdapat tingkah laku yang aneh
dimana anak sering menggaruk lengannya dengan peniti, pisau cukur dan benda-benda lain yang
menyakiti dirinya.
Anak-anak dan remaja depresi cenderung mengadopsi gaya kognitif yang ditandai oleh sikap
negatif terhadap diri sendiri dan masa depan. Secara keseluruhan, perubahan kognisi pada anak-
anak yang depresi meliputi hal-hal berikut :
Mengharapkan yang terburuk (pesimis)
Membesar-besarkan konsekuaensi dari kejadian-kejadian yang negatif
Mengasumsikan tanggung jawab pribadi untuk hasil yang negatif, walaupun tidak beralasan
Secara selektif hanya memperhatikan aspek-aspek dari berbagai kejadian
Terapi kognitif behavioral yang digunakan untuk menangani anak dan remaja depresi
biasanya melibatkan model keterampilan coping dimana anak-anak dan remaja memperoleh
keterampilan sosial (misalnya belajar bagaimana memulai percakapan, atau berteman) untuk
meningkatkan kemungkinan memperoleh reinforcement sosial. Terapi ini biasanya uga
mencakup pelatihan dalam keterampilan pemecahan masalah dan cara-cara untuk meningkatkan
frekuensi dari aktivitas yang menyenangkan serta mengubah gaya berpikir depresi.
Terapi keluarga dapat bermanfaat dalam membantu keluarga memecahkan konflik-
konflik dan mengatur kembali hubungan mereka sehingga anggota keluarga dapat menjadi lebih
suportif satu sama lain.
E. RETARTASI MENTAL
Retardasi mental ialah keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam perkembangan
fungsi kognitif dan social. Kriteria Retardasi Mental :
a. Fungsi intelektual yang secara signifikan di bawah rata-rata, IQ kurang dari 70
b. Kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal dua bidang berikut : komunikasi, mengurus diri
sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, pengguanaan sumber daya komunitas,
kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, keterampilan akademik fungsional, rekreasi,
pekerjaan, kesehatan dan kemanan
c. Onset sebelum usia 18 tahun
Retardasi Mental Ringan (IQ 50 hingga 70). Di usia remaja akhir dapat mempelajari
ketrampilan akademik setara dengan kelas enam. Ketika dewasa, mampu melakukan pekerjaan
yang tidak memerlukan keterampilan, meski masih membutuhkan bantuan dalam masalah sosial
dan keuangan. Mereka bisa menikah dan mempunyai anak.
Retardasi Mental Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55). Mereka dapat mengalami kelemahan fisik
dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik normal. Dengan banyak
bimbingan dan latihan, mereka dapat bepergian sendiri di tempat yang tidak asing bagi mereka.
Retardasi Mental Berat (IQ 20-25 hingga 35-40). Memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan
keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Mereka hanya dapat melakukan sedikit aktivitas
karena kerusakan otak yang parah. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana
dengan supervisi terus menerus.
Retardasi Mental Sangat Berat (IQ di bawah 20-25). Mereka membutuhkan supervisi total dan
seringkali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sebagian besar memiliki abnormalitas fisik
berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri ke manapun.
1. Penanganan Residensial
Sejak tahun 1975, individu yang mengalami retardasi mental berhak mendapatkan penanganan
yang sesuai dalam lingkungan dengan batasan yang sangat minimal. Orang dewasa dengan
retardasi mental sedang, tinggal di tempat sederhana dan disediakan perawatan medis. Mereka
didorong untuk berpartisipasi dalam tugas rutin rumah tangga semampu mereka. Mereka yang
mengalami retardasi mental berat, tinggal di rumah perawatan yang dilengkapi dengan layanan
pendidikan dan psikologis.
2. Intervensi Behavioral Berbasis Pengondisian Operant
Dalam metode operant, anak-anak diajari berbagai keterampilan selangkah demi selangkah dan
berurutan. Prinsip-prinsip pengondisian operant kemudian diterapkan untuk mengajarkan
berbagai komponen aktivitas pada anak, juga digunakan untuk mengurangi perilaku yang tidak
pada tempatnya dan perilaku mencederai diri sendiri.
3. Latihan Intruksional Diri mengajari mereka yang mengalami retardasi mental untuk
memandu upaya penyelesaian masalah mereka melalui kata-kata yang diucapkan.
4. Intruksi dengan Bantuan Komputer
Komponen visual dan auditori dalam komputer dapat mempertahankan konsentrasi para siswa
yang sulit berkonsentrasi. Komputer dapat memenuhi kebutuhan akan banyaknya pengulangan
materi tanpa menjadi bosan atau tidak sabar seperti yang dapat terjadi pada guru.
F. GANGGUAN AUTISTIK (Gangguan Perkembangan Pervasif)
Kekurangan Komunikasi
Mengoceh (babbing), istilah yang menggambarkan ucapan bayi sebelum mereka mulai
mengucapkan kata-kata sebenarnya, jarang dilakukan oleh bayi autis. Pada usia 2 tahun, sekitar
50 % anak autis tidak pernah belajar berbicara sama sekali. Mereka yang jarang belajar
berbicara, bicaranya mencakup berbagai keanehan. Salah satu cirinya adalah ekolalia, dimana
anak mengulangi, biasanya dengan ketepatan luar biasa, perkataan orang lain yang didengarnya.
Abnormalitas lain yang umum terjadi adalah pembalikan kata ganti. Anak merujuk dirinya
sendiri dengan kata ia, atau kamu atau dengan menyebut nama mereka sendiri. Anak-anak
dengan autisme sangat kaku dalam menggunakan kata-kata. Kelemahan komunikasi tersebut
dapat menjadi penyebab kelemahan sosial pada mereka. Meskipun mereka telah belajar
berbicara, mereka seringkali kurang memiliki spontanitas verbal dan jarang berekspresi secara
verbal serta penggunaan bahasa mereka tidak selalu tepat.
Penanganan untuk anak autis biasanya mencoba mengurangi perilaku mereka yang tidak wajar
dan meningkatkan keterampilan komunikasi dan sosial. Meski teori biologis labih banyak
mendapat dukungan empiris, intervensi psikologislah yang paling menjanjikan.
Masalah Khusus dalam Menangani Anak dengan Autis
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki anak autis yang membuat mereka sulit untuk ditangani,
antara lain :
Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan rutinitas dan karakteristik
serta tujuan utama penanganan mencakup perubahan.
Pengisolasian diri dan gerakan stimulasi diri yang mereka lakukan dapat menghambat pengajaran
yang efektif.
Sangat sulit menemukan cara untuk memotivasi anak dengan autis. Penguat harus eksplisit,
konkret dan sangat menonjol.
Selektivitas yang berlebihan dalam mengarahkan perhatian. Jika mereka sudah terfokus pada satu
hal atau benda, yang lain akan terabaikan sama sekali.
Suatu keadaan dimana perkembangan koordinasi motorik lebih rendah dibandingkan dengan
teman sebaya. Penyebab tidak diketahui tapi diperkirakan tidak berhubungan dengan gangguan
intelektual atau adanya lesi otak. Anak sering mengalami kesulitan dalam sekolah dan aktivitas
sehari-hari. Pada usia sekolah terjadi, terjadi beberapa hal mencakup:
a. Aspek fisik
- Sering mudah terjatuh saat berjalan atau berlari
- Sukar ikut dalam permainan fisik dengan teman sebaya seperti memanjat, sepakbola
- Adanya keluhan dari guru maupun teman sekelas tentang gerakan kaku si anak
- Sukar dalam belajar aktivitas fisik lainnya seperti berenang atau permainan bola.
b. Aspek belajar
- Lambat dalam menulis
- Sering mengubah posisi duduk selama menulis disebabkan karena kesulitan dalam memegang
pensil
- Tulisan tangan yang sangat jelek dan kotor
- Gagal untuk memotong, melipat dan menempel objek dalam pelajaran ketrampilan tangan
- Sering tidak bisa menyelesaikan tugas di sekolah
c. Aspek perawatan diri
- Anak mengalami kesukaran dalam memasang kancing baju, dasi dan tali sepatu. Sering Nampak
berpakaian kotor
- Mudah menjatuhkan benda atau menumpahkan minuman.
3.1 Kesimpulan
Berbagai gangguan perkembangan yang ditemukan selama masa sekolah akan lebih mudah
diintervensi bila ditemukan sejak dini. Deteksi dini kelainan perkembangan sangat berguna agar
diagnosis maupun pemulihannya dapat dilakukan lebih awal sehingga tumbuh kembang anak
dapat berlangsung seoptimal mungkin. Di usia sekolah, dalam perkembangannya anak
memerlukan penambahan pengetahuan melalui belajar. Belajar secara sistematis di sekolah dan
mengembangkan sikap, kebiasaan dalam keluarga. Anak perlu memperoleh perhatian dan pujian
perilaku bila prestasi-prestasinya yang baik, baik di rumah maupun di sekolah.
Anak tetap memerlukan pengarahan dan pengawasan dari guru dan orang tua untuk
memunculkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan keterampilan-keterampilan baru. Pengawasan
yang terlalu ketat atau persyaratan yang terlalu luas bisa berakibat kurangnya inisiatif untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuannya. Hubungan timbal balik dan saling memuaskan
dengan orang tua dan teman sebaya perlu dalam pembentukan harga diri dan sosialisasinya.