Anda di halaman 1dari 27

Bagian Ilmu Bedah Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Desember 2019


Universitas Hasanuddin

HIRSCHSPRUNG DISEASE

Oleh:
Anastazia Adeela
C014181052

Supervisor
Prof. dr. Farid Nur Mantu Sp.B (K) BA. FICS
`

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS HASANUDDIN
2019

1
DAFTAR ISI
Content

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 LAPORAN KASUS....................................................................................1
1.1. IDENTITAS PASIEN................................................................................1
1.2. ANAMNESIS............................................................................................1
1.3. STATUS GENERALIS..............................................................................1
1.4. PEMERIKSAAN TAMBAHAN...............................................................3
1.5. DIAGNOSIS..............................................................................................5
1.6. PLANNING...............................................................................................5
1.7. PROGNOSIS.............................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
2.1. DEFENISI.....................................................................................................6
2.2. EPIDEMIOLOGI..........................................................................................6
2.3. EMBRIOLOGI.............................................................................................6
2.4. ANATOMI....................................................................................................7
2.5. FAKTOR RISIKO.........................................................................................7
2.6. KLASIFIKASI..............................................................................................9
2.7. PATOFISIOLOGI.......................................................................................10
2.8. DIAGNOSIS...............................................................................................11
2.10. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS.........................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................24

2
BAB 1
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


 Nama : An. RB
 Nomor registrasi rekam medis : 870330
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Tanggal lahir : 02/10/2013
 Umur : 6 tahun 2 Bulan
 Tanggal masuk rumah sakit : 27/12/2019
 Ruang perawatan : Lontara 2 Atas Depan

1.2. ANAMNESIS
• Buang air besar sedikit-sedikit yang dialami kurang lebih 3 tahun yang
lalu sebelum datang ke poliklinik bedah anak. Keluhan memberat 1 bulan
terakhir dan pasien mengeluh sering kembung dan nyeri pada perutnya.
Nyeri pada perut dirasakan seperti tertusuk-tusuk pada seluruh perut dan
bersifat hilang-timbul. Demam tidak ada. Mual-muntah tidak ada. Buang
air kecil kesan normal. Riwayat kehamilan

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALIS
Keadaan umum pasien aktif, kesadaran compos mentis, tonus otot baik. Tinggi
badan 95 cm dan berat badan 14 kg.
Nadi 97 kali/menit, pernapasan 20 kali/menit, suhu 37,1°C
Kepala: normocephal, wajah dismorfik tidak ada, jejas pada wajah tidak
ada, konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada, telinga normotia,
otorea tidak ada, pembesaran kelenjar getah bening preaurikuler tidak ada,
rhinorea tidak ada, epistaksis tidak ada, palatolabioschisis tidak ada, bibir sianosis
tidak ada, makroglosi tidak ada, stomatitis tidak ada, faring tidak hiperemis, tonsil
tidak hiperemis (T1-T1), pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

1
Jantung: Inspeksi jantung ictus cordis tidak tampak, thrill tidak teraba,
tidak ada lifting. Perkusi batas atas intercostal III kiri, batas kanan linea
parasternalis kanan, batas kiri linea midclavicularis kiri. Auskultasi bunyi jantung
I/II murni irama regular
Paru: Inspeksi pengembangan dada simetris kiri sama dengan kanan,
retraksi subcostal tidak ada. Palpasi sela iga kiri sama dengan kanan, krepitasi
tidak ada. Perkusi batas paru hepar intercostal IV kanan, batas paru belakang
kanan vertebra thorakal X, batas paru belakang kiri vertebra thorakal XI.
Auskultasi bunyi napas bronkovesikuler, Ronki dan wheezing tidak ada
Regio ekstremitas: Inspeksi kedua ekstremitas superior dan kedua
ekstremitas inferior kesan normal, massa tidak ada, deformitas tidak ada.
Pemeriksaan palpasi ekstremitas tidak ditemukan massa, nyeri tekan tidak
ada,akral hangat, CRT < 2 detik
Genitalia: tidak ada kelainan
Kelenjar limfa: Limfadenopati tidak ada
STATUS LOKALIS
Abdomen: Inspeksi distended abdomen ada, darm contour ada, darm
steifung tidak ada, auskultasi didapatkan bunyi peristaltik ada kesan menurun,
palpasi nyeri tekan tidak ada, massa tidak teraba, perkusi hipertimpani.
Pemeriksaan rectal toucher didapatkan sphincter ani mencekik, mukosa licin.
Tidak terdapat massa. Feses ada, berwarna kuning, lendir tidak ada, darah tidak
ada. Feses menyemprot ada.
Riwayat kehamilan, ibu tidak ada riwayat sakit selama hamil. Tidak ada
riwayat minum obat-obatan. Kontrol rutin teratur. Riwayat persalinan pasien
normal dan lahir cukup bulan.

FOTO KLINIS

2
Gambar 1.1 Foto klinis pasien (Gambar pasien di Lontara 2 Atas Depan diambil tanggal 31
Desember 2019)

1.4. PEMERIKSAAN TAMBAHAN

Laboratorium (02/12/2019)
Leukosit 11,0x103/ul, Hb 12,2 gr/dl, Trombosit 368 x103/ul, Hematokrit 36%.,
MCV 84 fl, MCH 28 pg, MCHC 34 gr/dl Ureum 20 mg/dl, kreatinin 0.54 mg/dl,
PT 15.2 detik, aPTT 32.6 detik, INR 1.52. SGOT 25 U/L, SGPT 14 U/L, Natrium
137 mmol/l, Kalium 3,8 mmol/l, Klorida 111 mmol/l

Radiologi

3
Colon in Loop (18/12/2019)

Foto Colon in Loop :

4
 Kontras iodine sebanyak +/- 300 cc dimasukkan melalui kateter yang
terpasang pada anus
 Dengan fluoroscope tampak kontras mengisi dengan lancar rectum, colon
sigmoid, colon descendens, colon transversum, colon ascendens
 Tampak dilatasi colon rectosigmoid
 Tidak tampak filling defect, additional shadow dan ekstravasasi kontras
Foto 24 jam :
 Tampak rest kontras pada foto 24 jam

Kesan :
 Gambaran hirscprung pada distal rectosigmoid

1.5. DIAGNOSIS
Suspek Hirschsprung Disease

1.6. PLANNING
Rencana Biopsi Rectum

1.7. PROGNOSIS

Dubia

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFENISI
Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan kongenital yang paling sering,
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion (aganglionosis) di pleksus myenteric
dan pleksus submukosal dari usus bagian distal. Diperkirakan timbul akibat
kegagalan kolonisasi usus bagian distal oleh prekursor sisten saraf enterik selama
perkembangan embrionik.1

2.2. EPIDEMIOLOGI
Insidens HD diperkirakan 1 dalam 5000 kelahiran hidup dengan
perbandingan pada laki-laki 4 kali lebih banyak dari perempuan. Sekitar 25% HD
disebabkan karena faktor genetik dan 75% penyebabnya tidak diketahui.2

2.3. EMBRIOLOGI
Terdapat 2 tahap utama dalam perkembangan saluran gastrointestinal : (1)
pembentukan saluran usus, dan (2) pembentukan organ. Gastrulasi merupakan
tahap paling awal dalam perkembangan suatu organisme, yang terjadi pada usia
gestasi minggu ke 3. Selama gastrulasi terjadi perkembangan saluran
gastrointestinal. Gastrulasi terdiri dari 3 lapisan : endoderm, mesoderm, dan
ektoderm. Epitel dari saluran gastrointestinal dan sel parenkim hati dan pankreas
dibentuk oleh endoderm. Otot polos dan sel stroma dibentuk oleh mesoderm.
Neuron sistem saraf enterik yang meregulasi motilitas dari saluran gastrointestinal
berasal dari ektoderm. Ektoderm terbagi menjadi 3 jenis sel yaitu ektoderm luar,
neural tube, dan neural crest. Ketika perkembangan fetus, terdapat sel yang
disebut dengan neural crest sel. Neural crest sel pertama kali muncul di esofagus
pada minggu ke 5 kehamilan, dan migrasi ke anus secara craniocaudal. Pada
minggu ke 8, neural crest sel berada di proximal colon dan melewati distal colon,
dan sekitar minggu ke 12 kehamilan neural crest sel mencapai rektum. Neural

6
crest sel bermigrasi ke colon dan membentuk 3 pleksus, yaitu pleksus submukosal
(Meissner), pleksus mnyeteric (Auerbach) dan small mucosal pleksus. Ketiga
pleksus ini berperan dalam mengontrol fungsi kerja usus, yaitu absorbsi, sekresi,
motilitas, sensasi, barrier integrity dan imunitas. Neural crest sel pertama kali
membentuk plexus myenteric pada lapisan luar muskulus sirkular. Setelah terjadi
migrasi craniocaudal, pleksus submucosal dibentuk oleh neuroblas, dimana
bermigrasi dari pleksus myenteric melewati musculus sirkular ke submukosa.
Beberapa hari setelah neural crest sel berkolonisasi di usus, sel-sel ini temenyebar
secara merata kecuali di caecum. Pada saat usus telah bertambah panjang dan
diameter lumen usus lebih besar, sel-sel tersebut akan membentuk ganglion. HD
terjadi akibat kegagalan sel untuk bermigrasi dari ujung distal usus sehingga
fungsinya terhambat. Penyebab yang mendasari dari HD yaitu kelainan dalam
proliferasi, migrasi, dan diferensiasi sel-sel yang berasal dari neural crest. 3,4

2.4. ANATOMI DAN FISIOOLOGI


Anatomi Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior.

Gambar 1. Rektum dan saluran anal (Gambar disadur dari Netter Atlas of Anatomy 6th Edition)

7
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh
spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan.
Persarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensarafi spinkter ani
eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Kontinensia
sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (saraf
parasimpatis).
Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada
ketiga-tiga pleksus tersebut.

8
Gambar 2. Pleksus autonomik intrinsik pada usus (Gambar disadur dari Netter Atlas of Anatomy
6th Edition)
Fungsi Saluran Anal
Pubo-rektal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas
penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan
menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan
peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan kontraksi spinkter
eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and sling dapat membedakan
antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat mengeluarkan
salah satu tanpa mengeluarkan yang lain.
Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.
Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada waktu
dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks,
namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:
 Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih
proksimal ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan
sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik.

 Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory
reflex, yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi
spinkter ani interna secara involunter.

9
 Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara
involunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan
relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.

 Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal
secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut,
hingga defekasi dapat terjadi

2.5. ETIOLOGI
Penyakit Hirschsprung terjadi karena tidak ada pleksus mienterikus
Auerbach dan submukosa Meissener pada rektum dan atau kolon. Neuron enterik
berasal dari neural crest dan bermigrasi secara kaudal bersama dengan serat saraf
vagus di sepanjang usus. Sel-sel ganglion tiba di kolon proksimal pada 8 minggu
usia kehamilan dan pada rektum pada 12 minggu usia kehamilan. Kegagalan
migrasi neuron enterik pada kolon dan atau rektum ini akan membentuk segmen
aganglionik. Hal ini mengakibatkan penyakit Hirschsprung klinis.

2.6. KLASIFIKASI
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang
terkena. Tipe Hirschsprung disease meliputi: 5
 Short segment (75%) : Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian
kecil dari sigmoid (rectosigmoid aganglionosis)

 Ultra short segment (3-5%) : Ganglion tidak ada pada bagian yang
sangat kecil dari rectum dan disekeliling sphincter anal

 Long segment (15%) : Ganglion tidak ada pada rectum sampai ke colon
transversum

 Total Colonic Aganglionosis (Zuelzer-Wilson disease) (7,5%) :


Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan kadang pada
sebangian usus kecil.

10
2.7. PATOFISIOLOGI
Pada pasien dengan HD, tidak terdapat pleksus myenteric dan pleksus
submukosal di lumen usus. Segmen usus yang tidak mempunyai ganglion disebut
segmen aganglionik dimana gerakan peristaltik usus akan berkurang dan terbatas.
Perkembangan sistem saraf enterik yang normal tergantung pada migrasi,
proliferasi, diferensiasi dan kemampuan bertahan hidup dari neural crest sel.
Beberapa gen dan molekul telah diidentifikasi dapat mengontrol morfogenesis dan
diferensiasi dari sistem saraf enterik. Gen-gen ini ketika mengalami mutasi, akan
mengganggu perkembangan dari sistem saraf enterik. Terdapat 2 gen spesifik
yang penting dalam migrasi dan perkembangan pleksus ini yaitu RET dan
EDNRB. Reseptor RET merupakan komponen persinyalan yang terdiri atas 4
ligan, Glial Derived Neurotropic Factor (GDNF), Neurturin (NTN), Artemin
(ATM), Persephin (PSP). Secara in vivo, tidak terdapat GDNF menyebabkan
terjadi kegagalan perkembangan sistem saraf enterik. Mutasi RET pada kasus HD
50% terjadi secara familial dan 15-20% sporadik. Endotelin (EDN1, EDN2, dan
EDN3) merupakan pembawa pesan lokal yang berperan pada permukaan reseptor
yaitu EDNRA dan EDNRB. EDN3 dan EDNRB berperan dalam migrasi dan
perkembangan sel saraf enterik. Mutasi pada gen RET dan EDNRB akan
menyebabkan tidak terdapatnya pleksus. Ketika tidak terdapat pleksus, maka
peristaltik usus akan terganggu karena otot di usus kehilangan kemampuan untuk
melakukan relaksasi, sehingga otot di usus terus dalam keadaan kontraksi yang
dimana akan menghambat pergerakan dari feses. Bayi yang lahir dengan penyakit
Hirschsprung akan mengalami keterlambatan dalam mengeluarkan mekonium.
Rektum dan distal colon sigmoid yang merupakan area terdekat dengan anus akan
mengalami gangguan, sehingga terjadi obstruksi feses dimana akan menyebabkan
konstipasi kronis.3

2.8. DIAGNOSIS
2.8.1 Gambaran klinis

11
Penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis
mulai terlihat :
Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran meconium yang
terlambat (lebih dari 48 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.
Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan
ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang
dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare,
distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat
hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis,
bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.

2. Periode anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan
biasanya sulit untuk defekasi.

2.8.2. Pemeriksaan Radiologi


1. Foto polos abdomen (BNO)
Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus
kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena itu, harus dilakukan
pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan
dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi
yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini.

12
2. Pemeriksaan barium enema
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daereah rectum dan
sigmoid.

Gambar 3. Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi. Zona ini merupakan transisi
dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi normal

13
Gambar 4. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon yang terisi massa feses
dibagian atas dan rektum yang relatif menyempit di bagian bawah

Gambar 5. Rektum pada bayi baru lahir ini kelihatan lebih kecil dari sigmoid dan kolon
descendens, tetapi tidak terdapat zona transisi yang jelas

14
Gambar 6. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi lainnya menunjukkan segmen
aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme

Gambar 7. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid pada foto barium enema sisi lateral

Semakin lanjut usia pasien saat terdeteksi penyakit ini, maka semakin jelas
perbedaan yang tampak antara usus yang normal dan abnormal.

15
Gambar 8. Pemeriksaan barium enema pada bayi baru lahir dengan penyakit Hirschsprung.
Biasanya perubahan klasik dari penyakit ini tidak begitu jelas pada periode neonatal

Gambar 9. Pemeriksaan barium enema yang dilakukan selanjutnya memperlihatkan gambaran


megakolon yang tipikal, zona transisi serta bagian aganglionik yang tidak melebar

Gambar 10. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan penyakit Hirschsprung
tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi kronis yang berlangsung sepanjang hidupnya.
Perhatikan adanya dilatasi usus besar dan residu feses.

16
Gambar 11. Penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan barium enema tampak pengurangan kaliber
rektum dan dilatasi loop usus besar dengan permukaan mukosa yang ireguler (diskinesia)

Gambar 12. Penyakit Hirschsprung pada bayi yang berusia 6 bulan dengan riwayat konstipasi
kronis. Foto barium enema sisi lateral ini menunjukkan dilatasi pada sigmoid kolon proksimal dan
kolon asendens
Pada orang dewasa yang menderita penyakit ini, biasanya lesi hanya
terbatas pada bagian sigmoid kolon atau rektum. Pemeriksaan yang dilakukan
pada penderita dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan yang
dilakukan ke atas bayi, iaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam suatu
studi, didapatkan pemeriksaan dengan CT scan juga bermanfaat untuk
menentukan letak zona transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT scan yang
didapatkan juga sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsi
rektum.

17
Gambar 13. Gambaran penyakit Hirschsprung dengan segmen aganglionik di bagian atas rektum
pada seorang pria muda berusia 19 tahun. AC = ascending colon, DC = descending colon. Segmen
kolon yang lain dalam batas normal

Gambar 14. Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi bagian atas dari rektum
dan rectosigmoid junction yang terisi massa feses (pada anak panah)

18
Gambar 15. Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi bagian proksimal
rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses

Gambar 16. Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi dan penyempitan di
bagian distal rektum

2.8.3. Pemeriksaan lainnya


1. Laboratorium Studi
CBC count: Tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya komplikasi
seperti enterokolitis yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung. Peningkatan
WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya enterokolitis.

2. Anorektal manometri
Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan riwayat
atipikal baik untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional, manometri
anorektal dapat membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak dengan penyakit
Hirschsprung gagal untuk menunjukkan reflex relaksasi pada spinkter ani interna
dalam menanggapi inflasi balon dubur.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks anorektal pada pasien
yang dicurigai dengan penyakit Hischsprung. Orang yang menderita penyakit ini
biasanya akan kehilangan atau berkurang refleks anorektalnya. Penurunan refleks
anorektal yang dimaksudkan adalah kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah
dilakukan inflasi balon di bagian rektum. Bagaimanapun, terdapat banyak
perbedaan pendapat tentang penilaian pada tes diagnostik ini.

19
3. Biopsi rektum
Biopsi rektum merupakan tes yang paling akurat untuk mendeteksi
penyakit Hirschsprung. Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk
dilihat di bawah mikroskop. Anak-anak dengan penyakit Hirschsprung tidak
memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada biopsi hisap, jaringan
dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat penghisap. Karena tidak
melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak diperlukan anestesi.
Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit Hirschsprung tidak
terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh, biopsi full-
thickness biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung. Pada
biopsi full-thickness lebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam
dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Tidak
adanya sel-sel ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.

2.9. DIAGNOSIS BANDING


Kegagalan bayi cukup bulan yang sihat mengeluarkan mekonium pada
waktu 24 jam pertama setelah lahir dapat dicurigai adanya obstruksi pada usus
bayi tersebut. Diagnosis banding untuk obtsruksi usus besar adalah seperti
penyakit Hirschprung sendiri dan beberapa penyakit lain seperti malformasi
anorektal dan Meconium Plug syndrome. Untuk membedakan ketiga jenis
penyakit ini, maka harus dilakukan pemeriksaan radiologi yang tepat. Pada foto
polos penderita dengan kelainan Meconium Plug syndrome, tampak distensi
daripada bagian usus kecil dan usus besar yang mengisi seluruh bagian abdomen,
namun tidak terlihat air fluid level. Sementara pada pemeriksaan barium enema,
akan tampak gambaran meconium plug. Pemeriksaan ini dikatakan memiliki efek
terapeutik apabila mekonium keluar dengan sendirinya setelah beberapa waktu
kemudian. Pada sebagian bayi, stimulasi pada bagian rektum dengan
menggunakan termometer rektal, pemeriksaan rectal touché, dan pemberian saline
enema biasanya akan menginduksi keluarnya mekonium terebut. Bagaimanapun,
bayi dengan kelainan organik seperti penyakit Hirschsprung ini juga terkadang
akan mengeluarkan meconium plug dan selanjutnya akan menjadi normal untuk

20
sementara. Oleh karena ini, harus dilakukan observasi secara terus menerus untuk
bayi yang meskipun telah mengeluarkan meconium plug mereka. Apabila gejala
obstruksi menetap, maka pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan.

Gambar 19. Tampak multiple meconium plug yang terdapat pada seorang bayi baru lahir dengan
Meconium Plug syndrome

Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat penyakit
fibrokistik, atresia ileum, atresia rekti, malrotasi, duplikasi intestinal dan sindrom
pseudo obstruksi intestinal. Puri (1997) menyatakan banyak kelainan-kelainan
yang menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi
anatomi ternyata didapatkan sel-sel ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara
lain Intestinal neuronal dysplasia, hypoganglionosis, Immature ganglia, Absence
of argyrophyl plexus, Internal sphincter achalasia dan kelainan-kelainan otot
polos.

2.10. TATALAKSANA
2.10.1. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah
enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari

21
kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan
bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita penyakit
Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomosis.

2.10.2. Tindakan Bedah Definitif

1. Prosedur Swenson
Operasi yang dilakukan adalah tarik terobos (pull-through)
rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm
rektum distal dari linea dentata. Swenson memperbaiki kembali metode
operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, dengan
hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior.
2. Prosedur Duhamel
Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang
ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior
kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side.
3. Prosedur Soave
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum
yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik
masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.

22
2.11. KOMPLIKASI
Komplikasi awal setelah operasi berupa perdarahan, infeksi, dehiscence
anastomosis, ekskoriasi perianal. Sedangkan komplikasi jangka panjag berupa
inkontinensia feses, enterokolitis, ileus obstruksi. 1,4

2.12. PROGNOSIS
Pada sebagian besar kasus, penyakit Hirschsprung dapat diperbaiki dengan
tindakan pembedahan sehingga memberikan prognosis cukup bagus. Kebanyakan
anak dapat mengeluarkan buang air besar seperti biasa. 9

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Chhabra S, Kenny SE. Pediatric Surgery : Hirschsprung’s Disease.


Elsevier. 2016: 628-632

2. Majdawati A. Peran Pemeriksaan Barium Enema pada Penderita


Megacolon Congenital (Hirschsprung Diseases). Mutiara Medika. 2016;
Vol 9: 64-72

3. Holschneider AM, Puri P. Hirschsprung’s Disease and Allied Disorders.


Third Edition. Springer. 2008. 13-17

4. Westfal M, Goldstein AM. Diagnosing and Managing Hirschsprung


Disease in the Newborn. NeoReviews. 2018;19 : e577-588

5. Bhatnagar SN. Hirschsprung’s Disease in Newborns. Journal of Neonatal


Surgery. 2013; 2(4) : 51

6. Irawan B. Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit


hischprung pasca operasi full-through. Bagian ilmu bedah FK USU. 2003

7. Trisnawan IP, Darmajaya IM. Metode Diagnosis Penyakit Hirschsprung.


UNUD.

8. William E, Brant MD. Pediatric Radiology , Chapter 52 , Pediatric


Abdomen and Pelvis Fundamentals of Diagnostic Radiology 3rd Edition.

9. Neville HL. Pediatric Hirschsprung Disease. 2016

10. Darmawan K. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. 2004

11. Fanaroff AA. Colonic Lesions : Care of the high risk neonate 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders. 2001

12. Diament MJ. Meconium plug syndrome imaging. 2018

13. Kemenkes. Penyakit Hirschsprung. 2017

24
14. Choudhury SR. Pediatric Surgery. Springer Nature Singapore. 2018: 233-
239

25

Anda mungkin juga menyukai