Anda di halaman 1dari 41

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A219016 / Oktober 2020

**Pembimbing : dr. Isrun Masari, Sp.An

General Anestesi Pada Reseksi Spina Bifida


Aditiya Ronaldi, S.Ked * dr.Isrun Masari, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI
2020
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

General Anestesi Pada Reseksi Spina Bifida

Disusun oleh:

Aditiya Ronaldi, S.Ked

G1A219016

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan


dipresentasikan pada Oktober 2020

PEMBIMBING

dr. Isrun Masari, Sp.An


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session (CRS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul
“General Anestesi pada Reseksi Spina Bifida” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Isrun Masari, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah
laporan kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Oktober 2020


BAB I
PENDAHULUAN
Malformasi tabung saraf yang melibatkan sumsum tulang belakang dan
arkus vertebralis disebut sebagai spina bifida dan hadir sebagai spektrum
malformasi dengan penonjolan sumsum tulang belakang dan / atau meninges
melalui cacat pada lengkungan vertebral di ujung yang paling parah. Cacat tabung
saraf tampaknya tidak terkait dengan sindrom kongenital lainnya; Namun,
kelainan jantung dan ginjal yang mungkin tidak terlihat saat lahir mungkin ada
bersamaan, mendorong penilaian mendalam terhadap anak-anak ini. Selain itu,
anak-anak dengan spina bifida sering kali mengalami hidrosefalus dan kelainan
bentuk Chiari tipe II.1
Karena infeksi adalah risiko utama yang terkait dengan mielomeningokel,
sebagian besar ahli bedah saraf memperbaiki kerusakan dalam hari-hari pertama
kehidupan. Anak-anak dengan spina bifida akan terpapar anestesi pada minggu
pertama kehidupan dan / atau beberapa kali setelahnya. Pemahaman tentang
fisiologi bayi baru lahir, patofisiologi dan interaksi obat anestesi yang diberikan,
bersama dengan persiapan penuh untuk dan antisipasi masalah yang mungkin
timbul memastikan hasil terbaik dalam penatalaksanaan anak-anak ini. Transisi
fisiologis paling signifikan pada bayi baru lahir terjadi dalam 24-72 jam pertama
setelah lahir. Semua sistem tubuh terlibat dalam proses ini; Namun, yang paling
penting bagi ahli anestesi adalah sistem peredaran darah, paru, hati, dan ginjal.1
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). General anestesi
merupakan tehnik yang paling banyak dilakukan pada berbagai macam prosedur
pembedahan. Tehnik ini menghilangkan kesadaran yang bersifat pulih kembali
(reversible) dan meniadakan nyeri secara sentral. Trias anestesia terdiri dari
analgesia, hipnotik dan relaksasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : By. Ny. A
Umur : 11 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 2.9 kg
Diagnosis : Spina Bifida
Tindakan : Reseksi Spina Bifida

2.2 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Riwayat Penyakit
A. Keluhan Utama
Benjolan di pinggang bawah sejak lahir ± 11 hari SMRS
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Raden Mattaher dibawa oleh ibunya dengan
keluhan terdapat benjolan di pinggang bawah. Pasien tampak menangis
saat benjolan tersebut di manipulasi atau ditekan. Pasien lahir spontan,
cukup bulan, di tolong oleh bidan dan segera menangis, berat badan 2600
gram, panjang badan 45 cm, ketuban berwarna hijau (-), warna kulit
kemerahan. Pasien merupakan anak kedua, pada saat hamil ibu jarang
kontrol kehamilan (ANC). Ibu pasien juga jarang mengkonsumsi vitamin
untuk ibu hamil dan hanya sesekali minum susu hamil. Anak pertama lahir
normal. Riwayat ibu keguguran (-).
C. Riwayat Penyakit dahulu :
 Riwayat operasi : (-)
 Riwayat kelainan usus : (-)
 Riwayat alergi : (-)
 Riwayat kejang : (-)
D. Riwayat kebiasaan : (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik :


Keadaan Umum
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : tidak diukur
RR : 40 x/menit
Nadi : 140 x/menit
Berat Badan : 2.9 kg
1. Kepala
Bentuk : normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/- ), pupil : isokor, refleks
cahaya : +/+
Mulut
o Gigi palsu : tidak ditemukan
o Gigi tonggos : tidak ditemukan
o Trismus : tidak ditemukan
o Rahang bawah maju : tidak ditemukan
2. Leher
 KGB : tidak ada pembesaran
 Kelenjar thyroid : tidak ada pembesaran
 JVP : 5-2 cmH2O
 Deviasi trakea : (-)
 Mallampati : Grade I

3. Thoraks
 Pulmo
o Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
o Palpasi : nyeri (-), krepitasi (-)
o Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
o Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
 Jantung
o Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi : iktus kordis tidak teraba
o Perkusi : batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi : bunyi jantung I/II regular, murmur (-) gallop (-)
4. Abdomen
 Inspeksi : cembung (+)
 Auskultasi : bising usus (+) dbn
 Palpasi : massa (-), NT (-), nyeri lepas (-), supel, hepar dan lien
tidak teraba, turgor kulit kesan normal.
 Perkusi : timpani
5. Punggung
 Inspeksi : tampak massa (+) region lumbal, membulat di midline,
warna eritem
 Palpasi : nyeri tekan (+), saat dipegang anak tampak rewel
6. Ekstremitas
 Akral : hangat
 Sianosis : (-)
 Edema : (-)
7. Genitalia : Jenis kelamin perempuan, anomaly (-)
8. Anus : (+)

2.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Darah Rutin (15/10/2020)


WBC : 25.4 x 103/mm3 (3,5-10,0) RBC : 4.60 x 106/mm3(3,8-5,80)
HB : 15.9 g/dl (11,0-16,5) PLT : 180 x 103/mm3 (150-390)
Ht : 45.2% (35,0-50,0) PCT : 0.166 (0,100-0,500)
CT : 2” (2-6) menit BT: 1.5” (1-3) menit
Golongan darah: A+

b. Laboratorium Lainnya (11/10/2020)


GDS : 259 N :< 200 mg/dl
Protein total : 5.2 g/dl N:6,4-8,4
Albumin : 2.4 g/dl N:3,5-5,0
Albumin : 3.8 gr/dl N : 3.5-5.0 (15/10/2020)
Globulin : 2.8 g/dl N: 3,0-3,6
Natrium : 133 U/L N : 136-146 mmol/L
Kalium : 4.38 N : 3.34 – 5.10 mmol/L
Chloride : 103.6 N : 98 – 106 mmol/L
CRP kualitatif : positive

c. MRI Spine Lumbal : Meningomyelocele lumbal


d. Rapid Test : Non Reactive IgM/IgG SARS CoV-2
e. SADT : Leukositosis dan Trombositopenia

2.4 Kunjungan Pra Anestesi


 Penentuan Status Fisik ASA :1 / 2 / 3 / 4 / 5 non Emergency
 Malampati : Malampati 1
 Persiapan Pra Anestesi :
– Informed consent keluarga
– Persiapan operasi :
 Siapkan PRC 1 x 50 cc
 Siapkan NICU
 Puasa 4 jam sebelum operasi
 Siapkan surat izin operasi

2.5 Laporan Anestesi Pasien


a. Diagnosis pra bedah : Spina Bifida Meningomyelocele
b. Jenis Pembedahan : Pro Reseksi os lumbar + repair defek
c. Jenis Anestesi : Anestesi Umum
d. Premedikasi :
– Sulfas Atropin 0,01-0,02 mg/kgBB x 2.9 kg = 0.029 – 0.058
mg
– Asam tranexamat 20 mg/kgBB x 2.9 kg = 58 mg
 Induksi : Fentanyl 2 µg /kg BB x 2.9 = 5.8 µg
 Relaksan otot : Atracurium besilat 0.5-0.6 mg/kgBB x 2.9 kg
= 1.45 – 1.74 mg
 Pemeliharaan anestesi : O2 + N2O + sevofluran 1.5 %
 Posisi anestesi : Supinasi
 Infus : Dextrose 5% 1/4 NS
 Status fisik : ASA II non-Emergency
 Induksi mulai : 10.30 wib
 Operasi mulai : 10.45 wib
 Operasi selesai : 15.00 wib
 Intubasi : ETT oral tube no 2.5 non-cuffed
 Berat badan pasien : 2.9 kg
 Durasi operasi : 4 jam 30 menit
 Pasien puasa : 6 jam
e. Terapi cairan
Kebutuhan Cairan Pasien ini:
 Maintenance (M)
M = 4 cc/kgBB/jam
M = 4 cc x 2.9 kg/jam
M = 11.6 cc/jam
 Stress Operasi (O)
O = 4 cc/kgBB/jam
O = 4 cc x 2.9 kg/jam
O = 11.6 cc/jam
 Penganti puasa = puasa x maintenance
PP = 6 jam x 11.6 cc/jam
PP = 69.9 cc
 Estimated Blood Volume
EBV = 85 x 2.9
EBV = 246.5 cc
 Kebutuhan cairan selama operasi:
 Jam I : ½ PP + SO + M = ½ 69 cc + 11.6 cc + 11.6 cc =
57.7
 Jam II : ¼ 69 cc + 22 cc + 22 cc = 40.45
 Jam III : ¼ 69 cc + 22 cc + 22 cc = 40.45
 Total cairan: 57.7 cc +40.45 cc + 40.45 cc = 138.6 cc

f. Monitoring Peri operatif


Pukul 10.30: (N : 120 x/mnt RR :40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
10.45: (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
11.00 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 97% T : 37 C)
11.15 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 98% T : 37 C)
11.30 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
11.30 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 100% T : 37 C)
11.45 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
12.00 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
12.15 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 97% T : 37 C)
12.30 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 98% T : 37 C)
12.45 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
13.00 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 96% T : 37 C)
13.15 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 97% T : 37 C)
13.30 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
13.45 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 96% T : 37 C)
14.00 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
14.15 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 98% T : 37 C)
14.30 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
14.45 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 99% T : 37 C)
15.00 : (N : 120 x/mnt RR : 40 x/mnt SpO2 : 100% T : 37 C)

 Lama anestesi ± 4 jam 30 menit


 Pukul 15.00, operasi selesai, N2O dihentikan, pasien hanya diberi O2
untuk mencegah hipoksia difusi.
 ETT dilepas, pasien diberi O2 pernasal.
 Ketika pasien sudah sadar guedel dilepas.
g. Keadaan Intra Anestesi
 Letak Penderita : Pronasi
 Airway : ETT Oral no. 2.5 non-cuffed
 Lama Anestesi : 4 jam 30 menit
 Lama operasi : 4 jam
 Total asupan cairan : 200 cc
– Kristaloid : 200 ml
– Koloid : -
– Darah : -
– Komponen darah : -
 Total Keluaran Cairan :
– Perdarahan : 30 ml
– Diuresis : 30 cc
 Perubahan teknik selama operasi : Tidak ada
h. Ruang pemulihan
1. Masuk jam : 15.15
2. Keadaan umum : tampak sakit sedang
3. Kesadaran : CM (E4V5M6)
4. Tanda Vital :
 Nadi : 130 xpm
 RR : 40 xpm
 SpO2 : 98%
5. Pernafasan : 40 xpm terpasang O2 via NC 1 lpm
6. Scoring Steward :
Pergerakan :2
Pernafasan :2
Kesadaran :2
2.6 Intruksi Post Operasi
 Observasi keadaan umum, Tanda-tanda vital dan perdarahan / 15
menit
 Tidur tanpa bantal 1 x 24 jam
 Terapi lainnya sesuai dr. Rhonaz, Sp.BS
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 General Anestesi
3.1.1 Definisi
General anestesi adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen
anestesi yang ideal terdiri dari: (1) hipnotik, (2) analgesia, dan (3) relaksasi
otot.2
Metode anestesi general dilihat dari cara pemberian obat:
1. Parenteral
Anestesi general yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk
induksi anestesi.
2. Perektal
Anestesi general yang diberikan perektal kebanyakan dipakai pada anak,
terutama untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
3. Perinhalasi
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika
melalui udara pernapasan.
Teknik pemberian anestesi general:2
1. Napas spontan dengan face mask
2. Napas spontan dengan pipa endotrakea
3. Dengan pipa endotrakea dan napas kendali

3.1.2 Klasifikasi ASA


Klasifikasi status fisik yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran
seseorang adalah berasal dari American Society of Anesthesiologist (ASA). ini
penting untuk menilai keadaan penderita sebelum operasi :2,3
 ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
 ASA II: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.contoh:
pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien
apendisitis akut dengan leukositosis dan febris
 ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat hingga aktifitas
rutin terbatas. Contoh: appendisitis perforasi dengan septikemia atau
pasien ileus obstruksi dengan iskemia myokardium.
 ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktifitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat. Contoh: pasien dengan syok atau dekomp kordis
 ASA V: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.contoh: pasien tua dengan
perdarahan bassis kranii dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan


tanda emergensy . misalnya ASA IE atauIIE”

3.1.3 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dilakukan,
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan, dan ketika pasien bangun dari
anestesi.1
Tujuan Premedikasi sangat beragam, diantaranya : 2,4
- Mengurangi kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan

3.1.4 Induksi Anestesi


Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan
pembedahan. Sebelum memulai induksi anestesia sebaiknya disiapkan peralatan
dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat
dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. 1 untuk persiapan induksi
sebaiknya kita ingat kata STATICS:
- Scope : Stetoscope, untuk mendengarkan suara paru dan jantung,
Laringoscope. Pilih bilah atau blade, lampu harus cukup terang.
- Tubes : Pipa trakea yang diplih sesuai usia, usia < 5 tahun tanpa balon dan
>5 tahun dengan balon
- Airway : Oro-pharingeal airway, untuk menahan lidah pasien saat pasien
tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan nafas.
- Tape : Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway supaya tidak
terdorong atau tercabut
- Introducer: Mandrain atau stilet dari kawat dibungkus plastikn untuk
memandu agar pipa trakea mudah untuk dimasukkan.
- Conector : Penyambung antara pipa dan alat anesthesia
- Suction : Penyedot lendir.2,3

Medikasi yang digunakan dalam induksi dan intubasi tdd :


- Fentanyl
Fentanyl adalah golongan analgesik opioid dari kelompok
fenilpiperidin dan bekerja sebagai antagonis reseptor µ. Fentanyl lebih
sering digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak
analgesia lebih singkat dibandingkan morfin dan meperidin (sekitar 5
menit).4 efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan bolus, dan
relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular. Fentanil dapat menimbulkan
mual dan muntah, dan gatal. Kekakuan otot dapat dikurangi dengan
memberikan via bolus secara lambat. 4 Kekakuan otot dada atau perut
(wooden chest syndrome) biasa menyebabkan penurunan pulmonary
compliance dan functional residual capacity yang akan menyebabkan
hipoventilasi sehingga terjadi hiperkarbi, hipoksia, dan peningkatan tekanan
intracranial.2 Fentanyl yang lama kerjanya 30 menit segera terdistribusi,
tetapi pada pemberian dosis besar (50-100 mg/kgBB) dan berulang selama
pembedahan, sedasi dan depresi nafas dapat lebih lama dan lebih kuat dari
morfin, tetapi amnesianya tidak lengkap, instabillitas tekanan darah, dan
depresi nafas lebih singkat. Dosis 1-3 µg/kg BB digunakan untuk induksi
anastetik dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodiasepin.
Fentanil di klinik diberikan dengan variasi dosis yang lebar. Dosis 1-2
µg/kgBB iv biasanya digunakan untuk efek analgesia pada teknik balance
anestesi. Fentanil dosis 2-10 µg/kgBB IV digunakan untuk mencegah atau
mengurangi gejolak kardiovaskuler akibat laringoskopi dan intubasi
endotrakhea serta perubahan tiba-tiba dari stimulus bedah. Sedangkan pada
dosis besar 50-150 µg/kgBB IV digunakan sebagai obat tunggal untuk
menimbulkan surgical anesthesia.2
Fentanil menyebabkan ketergantungan fisik, euphoria, analgesia yang
kuat, perlambatan EKG, miosis, mual, dan muntah yang tergantung pada
dosis. Efek terhadap kardiovaskuler minimal meskipun laju jantung dapat
menurun yang merupakan reflek vagal. Fentanil mendepresi ventilasi dan
menyebabkan kaku otot rangka terutama pada pemberian intravena yang
cepat. Fentanil meningkatkan tekanan intrabilier dengan singkat dan
mempunyai aksi kolinergik kuat yang dapat diblok oleh atropine. Fentanil
tidak menyebabkan pelepasan histamine.2
Pada pemberian dosis tunggal intravena, mula kerja 30 detik mencapai
puncak dalam waktu 5 menit, kemudian menurun setelah 20 menit. Ini
mencerminkan kelarutan lemak yang tinggi sehingga mudah melewati sawar
darah otak. Durasinya yang singkat mencerminkan redistribusi ke jaringan
lemak dan otot rangka serta paru. Fentanil dimetabolisme di hepar dengan
cara dealkilasi, hidroksilasi, dan hidrolisa amida menjadi metabolit tidak
aktif meliputi norfentanil dan desproprionilnorfentanil. Fentanil diekskresi
melalui empedu dan urin, berada dalam feses dan urin dalam bentuk
metabolit lebih dari 72 jam setelah pemberian kurang dari 8% dalam bentuk
asli. Waktu paruh eliminasi 185-219 menit.2
- Propofol
Propofol merupakan suatu obat hipnotik intra vena diisopropilfenol
yang menimbulkan induksi anestesi secara cepat. Recofol digunakan
untuk obat induksi sadar, pemeliharaan dari anestesi, pengobatan mual
dan muntah pasca bedah. Obat ini disuntikkan dalam kecepatan 30-60
detik. Onset cepat, dan lama kerja pendek.efek kerja dicapai dalam 15-45
detik. Selama induksi anestesi harus diperhatikan pernafasan pasien, nadi,
tekanan darah, dan diberi oksigen.5
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan
juga tekanan darah Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi
simpatik. Efek negatif inotropik disebabkan oleh inhibisi uptake kalsium
interselluler. Tergantung dosis, propofol dapat menyebabkan depresi
nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah induksi
IV.9Pemberian pre-operatif dapat menyebabkan depresi nafas, dapat
menurunkan volume tidal dan frekuensi nafas disertai dilatasi bronkus.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kgBB secara intravena.5

3.1.5 Rumatan Anestesi (maintenance)


Rumatan anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi dan
campuran keduanya. Rumatan anestesia bertujuan menciptakan keadaan
hypnotis, anelgesia cukup dan relaksasi otot lurik yang baik.
– Nitrous Oksida / N2O2

Nitrous oksida merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis,


dan tidak iritasi. Mempunyai sifat analgetik kuat tapi sifat anestesinya
lemah, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas
ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai relaksasi otot,
oleh karena itu operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Gas ini memiliki efek analgesic yang baik, dengan
inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti 15 mg morfin. Kadar
optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum ±35%. N2O
diekskresi dalam bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil
melalui kulit. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini
terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dengan ruangan –
ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40 % ;
70% : 30% atau 50% : 50%.5

3.1.6 Stadium anestesi:


Tahapan dalam anestesi terdiri atas 4 stadium, yaitu:2,3
 Stadium I (stage analgesi ) dimulai saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan seperti pencabutan gigi dan biopsy kelenjar, dapat
dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan hilangnya
refleks bulu mata.
 Stadium II
stage eksitasi ; stadium delirium, mulai dari akhir stadium I dan
ditandai dengan pernapasan yang ireguler, pupil melebar dengan reflex
cahanyanya (+). Pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus
otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan
kelopak mata.
 Stadium III
Yaitu stadium sejak mulai lagi pernapasan hingga hilangnya pernapasan
spontan. Ini ditandai dengan hilangnya reflex kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan ke kanan dengan mudah.
 Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan bernapas (apnea) yang kemudian akan
segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu
berarti terjasi kedalaman anestesi yang berlebihan.

3.1.7 Intubasi Trakea


Indikasi Intubasi :
- Menjaga jalan nafas dari gangguan apapun.
- Mempermudah ventilasi dan oksigenisasi
- Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan Intubasi :
- Leher pendek berotot
- Mandibula Menonjol
- Maksila menonjol
- Uvula tidak terlihat (malampati 3 atau 4)
- Gerakan sendi temporo mandibula terbatas
- Gerakan vertebra cervical terbatas
Komplikasi Intubasi2
Selama Intubasi :
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi dan laring
- Merangsang simpatis
- Aspirasi
- Spasme bonchus
Selama Extubasi :2
- Spasme laring
- Aspirasi Gangguan fonasii
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea.
Tabel 1. Kriteria Malampati :3
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Mole
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

3.1.8 Ekstubasi 2
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- Intubasi kembali akan menemukan kesulitan
- Adanya resiko Aspirasi
Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesi sudah ringan, dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring. Sebelum tindakan hendaknya rongga
mulut, laring, faring dibersihkan dari sekret dan cairan.

3.1.9 Komplikasi General Anestesi 2,3


Komplikasi yang langsung berhubungan dengan tindakan anestesi dapat
mengenai semua organ. Secara garis besar, komplikasi dapat berbentuk trauma
primer (akibat tindakan anestesi), traume sekunder sebagai akibat perubahan
fisiologik karena tindakan anestesia, gangguan faal organ, (kesalahan manajemen
cairan), penggunaan obat-obat yang bersifat toksik bagi organ tertentu atau
kegagalan manajemen pernafasan.3
1. Komplikasi Jalan nafas

Hampir semua komplikasi jalan nafas berupa trauma. Ketika


melakukan ventilasi dengan sungkup dan bag, jika tidak cermat lidah pasien
dapat tergigit. Oleh karena itu, sekarang dianjurkan sungkup muka yang
berwarna transparan karena selain dapat melihat lidah yang tergigit juga dapat
melihat jika pasien muntah.2,3
Trauma jalan nafas dapat terjadi ketika memasukkan alat bantu,
misalnya pipa orofaringal (Guedel) atau pipa nasofaringeal. trauma jalan nafas
yang paling sering terjadi berhubungan dengan tindakan laringoskop dan
intubasi. Mulai yang paling ringan (gigi tanggal, lserasi sudut mulut) hingga
cedera glotis dan jaringan lunak sekitarnya. Bahkan dapat terjadi dislokasi
dan subluksasi aritenoid. dapat mencederai pita suara atau menyebabkan
laringospasme. penggunaan balon (cuff) ETT juga dapat menimbulkan trauma,
terutama jika ukuran ETT sangat ketat di trakea atau balon dikembangkan
terlalu besar. pada kasus berat dapat terjadi kelumpuhan pita suara akibat
penekanan pada n.Laringeus rekurens. Tekanan balon yang diperkenankan
tidak melebihi 25 cmH2O. Pasca bedah, setelah eksubasi kadang baru disadari
pembengkakakn jalan nafas. Edema laring atau laringospasme pasca-eksubasi
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Edema laring dapat diatasi dengan
pemberian O2 yang dilembabkan, epinefrin, posisi kepala diangkat, bila perlu
lakukan intubasi ulang dengan pipa enditrakela yang berukuran kecil.
Meskipun kontroversial, seringkali diberikan kortikosteorid parenteral guna
mengurangi edema. Laringospasme dapat diatasi dengan pemeberian O2
tinggi melalui tekanan positif. Pada kasus yang berat dapat digunakan
pelumpuh otot. 3
Selain truma jalan nafas, keberadaan ETT dapat menjadi iritan bagi
pasien yang sensitif. Pasien dengan hiperakitivitas bronkus mudah terpicu
serangan oleh karena ETT ini. Jika ETT terlalu dalam atau masuk ke salah satu
bronkus, serangan asma dapat terjadi. Pada kasus berat dapat menyebabkan
atelektasis paru. 3
2. Komplikasi Sistem Kardiovaskuler

Komplikasi kardiovaskuler mudah terjadi selama anestesia umum.


Selain peningkatan aktivitas simpatik, aktivitas parasimpatis pun dapat terjadi.
Umumnya peningkatan tonus parasimpatis ini berbentuk vagal refleks.
Bradikardia adalah efek dari tonus vagal yang meningkat, biasanya dipicu oleh
stimulus nyeri pada anestesia yang kurang dalam. 3
Perubahan irama jantung dapat berbentuk aritmia. Aritmia intra-
operatif juga disebabkan oleh penigkatan aktivitas simpatis. Kemungkinan lain
adalah ketidakseimbangan elektrolit. Semua abnormalitas elektrolit berpotensi
menyebabkan aritmia. 3
Sebagian besar obat anetetik bersifat vasodilator dengan gradasi yang
berbeda-beda, yang dapat menyebabkan hipotensi.Semakan dalam anestesia,
semakin rendah pula tekanan darah. Jika pasien dalam kondisi hipovolemia
tentu hipotensi lebih mudah terjadi dan dapat berat. Pada operasi emergency,
dan pasien dalam syok hipovolemia, selain harus dilakukan resusitasi cairan
secepatnya juga harus dipilih obat yang tidak terlalu mendepresi
kardiovaskuler. Pada pasien ini, komplikasi terhadap sistem kardiovaskuler
berupa hipotensi tidak ada selama pemantauan pos operasi di Recovery Room
dan pemantauan selama di ruangan.3
3. Komplikasi Sistem Pernapasan

Komplikasi akibat anestesia dapat terjadi intra maupun pascabedah.


Komplikasi yang fatal dan terjadi dalam waktu singkat adalah hipoksemia
berat. 3
Hipoksemia berat dapat diakibatkan oleh kegagalan manajemen jalan
nafas, baik karena anatomi yang sulit, false Route, obstruksi atau kesalahan
pengaturan ventilasi/oksigenasi. Hipoksemia juga dapat terjadi akibat
diskoneksi ETT dengan sumber gas, bocornya sirkuit nafas, fraksi O2 yang
rendah atau pengaturan ventilasi semenit yang kurang dari seharusnya. Mesin
anestesi sekarang telah dilangkapi alarm sistem yang akan aktif jika ada
kesalahan tersebut. Oleh kernan itu seorang pelaku anestesi harus responsif
terhdapa bunyinya alarm.3
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi kapan pun, khusunya saat operasi
lama atau pasien dengan kelainan anatomi. Obstruksi jalan nafas terjadi karena
beberapa faktor, diantaranya adalah tertekuknya pipa endotrakeal atau
tersumbatnya pipa endotrakeal oleh mukus, darah, benda asing, dan pelumas.
Pipa endotrakela non-kinking dapat mencegah terjadinya pipa yang tertekuk.
Oleh karena itu penggunaannya dianjurkan pada operasi yang lama, opersi
mulut, atau operasi yang memerlukan posisi khusus. N 2O dapat menyebabkan
semakin besarnya gelembung yang terdapat pada pipa endotrakeal, yang
menyebabkan obstruksi.3
Obstruksi jalan nafas mungkin saja tidak menyebabkan hipoksemia
tapi hiperkarbia. Ini sering terjadi pada bronkokonstriksi, pasien PPOK atau
pasien dengan hipersekresi jalan nafas bawah. Tanpa kapnograf, akan sulit
mendeteksi hiperkarbia secara dini, kecuali jika dilakukan analisis gas darah. 3
4. Komplikasi Neurologik

Trauma terhadap medulla spinalis atau saraf-saraf yang keluar dari


medulla spinalis, meskipun jarang namun dapat terjadi. Cedera vertebre
servikalis akibat laringoskopi dan intubasi yang sulit merupakan penyebab
tersering. Oleh karena itu pada pasien yang dicurigai adanya proses patologis
pada servikalis seperti trauma, tumor, laringoskopi dan intubasi harus
dilakukan dengan asisten yang menjaga kepala dan leher untuk tidak
mengalami torsi atau pergerakan yang terlalu besar.3
Komplikasi lain adalah cerebrovascular accident akibat hipertensi
yang tidak terkendali yang dipicu oleh stimulus nyeri. Karena ini adalah akibat
naiknya tonus simpatis, maka secara teoritis semua hal yang akan
meningkatkan tonus simpatis juga dapat memicu komplikasi ini. Oleh karena
itu menjaga oksigenasi dan ventilasi tetap di rentang normal serta menjaga
kecukupan cairan intravaskuler tak kalah penting dengan menjamin anlgesia
yang adekuat.3
Cerebral insult juga dapat berupa peningkatan tekanan intra kranial.
Rangsangan nosiseptif akibat berbagai tindakan anestesia (terutama
laringoskopi dan intubasi) yang meningkatkan tekanan darah dapat berefek
buruk. Hal lain adalah pelebaran volume pembuluh darah otak yang juga
meningkatkan volum interserebral dan pada akhirnya meningkatkan tekanan
intra kranial. Beberapa hal yang menyebabkan vasodilatasi otak antara lain
adalah hiperkapnia dan hipoksia. Pneumoensefal dapat bertambah berat
dengan penggunaan N2O karena sifatnya yang mudah masuk dan memasuki
rongga.3
5. Komplikasi Sistem organ lain

Manajemen jalan nafas juga dapat mencedari mata. Penggunaan


sungkup muka yang yang tidak tepat ukuran atau melakukan penekanan
berlebihan sungkup muka selama ventilasi bag-mask merupakan
penyebabnya. selama anestesia, tak jarang palpebra pasien tidak tertutup rapat,
dalam ruangan berpendingin dan berudara kering, kondisi ini menambah
terjadinya laserasi kornea. Sangat dianjurkan menutup palpebra pasien
dengan plester atraumatik selama anestesia umum.3
Usaha ventilai melalui sungkup muka dapat menyebabkan subluksasi
sendi temporomandibular.3
Jika anestesia menggunakan obat-obat yang bersifat hepatotoksik atau
terjadi gangguan perfusi selama anestesia. Salah satu obatnya adalah gas
volatil halotan.3
Manajemen cairan intra-operatif yang tidak tepat juga dapat
menimbulkan masalah. Selain hipovolemia, hipervolemia dapat membawa
komplikasi edema interstisial, terutama jika terlalu banyak digunakan
kristalloid. Pada pasien dengan keterbatasan fungsi pompa jantung,
hipervolemia mudah mengakibatkan gagal jantung kongestif. Edema pulmonal
intra-operatif hanya salah satu gejalanya. komplikasi pasca anestesia, terutama
jika menggunakan anestetik inhalasi adalah mual-muntah pasca bedah (Post
Operative Nausea and Vomitus (PONV)). Setiap anestesia umum perlu
mempertimbangkan hal ini dan melakukan antisipasi yang sesuai.3

3.2 SPINA BIFIDA (SPINAL DYSRAPHISME)


3.2.1 Definisi

Spina bifida merupakan suatu anomali perkembangan yang ditandai


dengan defek penutupan selubung tulang pada medulla spinalis sehingga medulla
spinalis dan selaput meningen dapat menonjol keluar (spina bifida cystica), atau
tidak menonjol (spina bifida occulta).6
Beberapa hipotesis terjadinya spina bifida antara lain adalah : 7
1. Terhentinya proses pembentukan tuba neural karena penyebab tertentu
2. Adanya tekanan yang berlebih di kanalis sentralis yang baru terbentuk
sehingga menyebabkan ruptur permukaan tuba neural
3. Adanya kerusakan pada dinding tuba neural yang baru terbentuk karena
suatu penyebab.

Gambar 1. Spina Bifida

3.2.2 Etiologi

Meskipun peneliti percaya bahwa faktor genetik dan lingkungan mungkin


terlibat dalam penyakit ini begitu juga pada penyakit defek pipa neural lain, 95%
bayi dengan spina bifida dan penyakit defek neural lain lahir dari orang tua yang
tidak memiliki riwayat keluarga spina bifida. Jika dari kehamilan lahir seorang
anak yang menderita spina bifida, resiko berulang pada kehamilan berikutnya
meningkat lebih besar. Wanita dengan masalah kronis tertentu, termasuk diabetes
dan epilepsi (dengan obat antikonvulsan tertentu) memiliki resiko tinggi (rata-rata
1:100) untuk memiliki bayi dengan spina bifida. Defisiensi asam folat pada wanita
hamil juga dihubungkan dengan spina bifida.7,8

3.2.3 Klasifikasi

Gambar 2. Klasifikasi Spina Bifida


Spina bifida dapat digolongkan sebagai berikut:
A. Spina Bifida Okulta
Bentuk ini merupakan spina bifida yang paling ringan. Kelainan seperti ini
biasanya terdapat didaerah sacrolumbal, sebagian besar ditutupi oleh kulit dan
tidak tampak dari luar kecuali adanya segumpal kecil rambut diatas daerah yang
dihinggapi. Pada keadaan seperti ini medula spinalis dan saraf-saraf biasanya
normal dan gejala-gejala neurologik tidak ditemukan.Spina Bifida Okulta sering
didiagnosis secara tidak sengaja saat seseorang mengalami pemeriksaan X-ray
atau MRI untuk alasan yang lain.Pada neural tube defek (NTD) jenis ini, tidak
terjadi herniasi dari menings melalui defek pada vertebra.Lesi yang terbentuk
terselubung atau tersembunyi di bawah kulit.Pada tipe ini juga tidak disertai
dengan hidrosefalus dan malformasi Chiari II.8,9
Seringkali lesi pada kulit berupa hairy patch, sinus dermal, dimple,
hemangioma atau lipoma dan kadang-kadang timbul gangguan neurologik pada
regio torakal, lumbal, dan sakral. Pada masa pertumbuhan anak-anak dapat pula
ditemukan paralisis spastik yang ringan.10

Gambar 3. Spina Bifida Occulta

Kelompok ini mencakup kelainan-kelainan : lipoma spinal, sinus


dermal, lipomielomeningokel, diastematomielia, hipertrofi filum terminale
dan meningokel sakral anterior. 9
 Lipoma spinal

Lipoma spinal adalah keadaan di mana terdapat jaringan lemak


yang masuk di dalam jaringan saraf, sehingga terjadi kerusakan dan
mengakibatkan disfungsi neurologis. 9 Pada umumnya tidak ada kelainan
neurologis, tetapi kadang terjadi, karena dengan bertambahnya usia,
lipoma akan membesar dan menekan sistem saraf. Lipoma seperti ini
dapat berupa lipomeningomielokel atau melekat pada
meningomielokel.Pemeriksaan radiologik dilakukan seperti pada
meningokel.7

Gambar 4. Lipoma Spinal

 Sinus dermal
Sinus dermal merupakan lubang terowongan (traktus) di bawah
kulit mulai dari epidermis menuju lapisan dalam, menembus duramater
dan sampai ke rongga subarakhnoid. Tampilan luarnya berupa lesung atau
dimpel kulit yang kadang mengandung sejumput rambut di permukaannya
dan kebanyakan di daerah lumbal. Biasanya kelainan ini asimptomatik,
namun bila menembus duramater, sering menimbulkan meningitis
rekuren.9

Gambar 5. Sinus Dermal

 Lipomielomeningokel
Lipomielomeningokel sering kali terdeteksi sebagai suatu
gumpalan lemak pada bagian belakang tubuh terutama di daerah lumbo-
sakral. Kelainan ini kerap dikaitkan sebagai deformitas kosmetik, namun
sebenarnya ia merupakan suatu kompleks anomali kongenital yang bukan
hanya terdiri dari infiltrasi perlemakan jaringan saraf saja, tetapi juga
mengandung meningokel atau meningomielokel yang besar.9

Gambar 6. Lipomielomeningokel
Gambar 7. Lipomielomeningokel

 Diastematomielia

Diastematomielia merupakan salah satu manifestasi disrafisme


spinal yang jarang terjadi dan terdiri atas komponen-komponen :
 Terbelahnya medula spinalis menjadi dua hemikord. Duramater dapat
tetap satu atau membentuk septa.

 Ada tulang rawan yang menonjol dari korpus vertebra dan membelah
kedua hemikord diatas.

 Lokasi diastematomielia biasanya di daerah toraks atau torako-lumbar,


dan juga biasanya ada abnormalitas vertebra (hemivertebra). Ciri khas
dari kelainan ini adalah adanya sejumput rambut dari daerah yang ada
diastematomielia.9

Gambar 8. Diastematomielia

B. Spina Bifida Aperta (cystica)


Tipe ini merupakan salah satu bentuk dari spina bifida yang kehilangan
lamina vertebranya dan seluruh isi dari kanalis vertebralis mengalami prolaps
membentuk sebuah defek dan defek tersebut membentuk kantung pada
menings yang berisi CSF, defek yang terbentuk inilah yang disebut dengan
meningocele. Sedangkan bila berisi korda spinalis dan akar saraf disebut
mielomeningocele. Korda spinalis tersebut biasanya berasal dari bentuk
primitif, yakni lempeng neural yang belum mangalami lipatan, hal ini disebut
open myelomeningocele atau rachischisis. Dan pada closed
myelomeningocele, yakni apabila lempeng neural telah terbentuk sempurna
dan tertutup oleh membran dan kulit, meskipun tetap terlihat arkus posterior
dari vertebra.6

Gambar 9. Spina Bifida Cystica


 Meningokel

Spina bifida jenis ini mengalami simpel herniasi dari meningen


melalui defek pada vertebra. Korda spinalis dan akar saraf tidak ikut
mengalami herniasi melalui bagian dorsal dari dural sac. Lesi yang timbul
pada meningokel sangat penting untuk dibedakan dengan
mielomeningokel karena penanganan dan prognosisnya sangat berbeda.
Bayi yang lahir dengan meningokel biasanya pada pemeriksaan fisis
memberikan gambaran yang normal. Bayi yang lahir dengan meningokel
tidak memiliki malformasi neurologik seperti hidrosefalus dan Chiari II.
Jenis ini merupakan bentuk yang jarang terjadi.
Gambar 10. Meningokel

b. Mielomeningokel
Mielomeningokel adalah keadaan di mana terjadi herniasi korda
spinalis dan akar saraf membentuk kantung yang juga berisi menings.
Kantung ini berprotrusi melalui vertebra dan defek muskulokutaneus.
Korda spinalis sering berakhir pada kantung ini dan terbuka keluar disertai
ekspose dari kanalis sentralis. Pembukaan dari struktur saraf tersebut
disebut neural placode. NTD tipe ini adalah bentuk yang paling sering
terjadi. Gangguan neurologis seperti hidrosefalus dan malformasi Chiari II
seringkali menyertai mielomeningokel. Sebagai tambahan,
mielomeningokel memiliki insidens yang tinggi sehubungan dengan
malformasi intestinal, jantung, dan esofagus, dan juga anomali ginjal dan
urogenital. Bayi yang lahir dengan mielomeningokel memiliki orthopedic
anomalies pada extremitas bawah dan anomali pada urogenital melalui
keterlibatan akar saraf pada regio sakral.
Tampak benjolan digaris tengah sepanjang tulang belakang.
Kebanyakan mielomenigokel berbentuk oval dengan sumbu panjangnya
berorientasi vertikal. Lokasi terbanyak adalah di daerah torakolumbal dan
frekuensi makin berkurang kearah distal. Kadang mielomeningokel
disertai defek kulit atau permukaan yang hanya dilapisi oleh selaput tipis.
Kelainan neorologik bergantung pada tingkat, letak, luas dan isi kelainan
tersebut, karena itu dapat berupa paraplegia, paraparesis, monoparesis,
inkotinensia urin dan alvi, gangguan sensorik serta gangguan refleks. 7,9

Gambar 11. Mielomeningokel

3.2.4 DIAGNOSIS
A. Anamnesis

Diagnosis spina bifida dapat diketahui melalui analisa riwayat kesehatan


dari individu tersebut (jika bukan bayi), riwayat kesehatan keluarga dan
penjelasan yang detail tentang kehamilan dan kelahiran. Gejalanya bervariasi,
tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf yang
terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala, sedangkan yang
lain mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis.
a. Spina bifida okulta 8
 Sering kali asimtomatik
 Tidak ada gangguan pada neural tissue
 Regio lumbal dan sakral
 Defek berbentuk dimpel, seberkas rambut, nevus
 Gangguan traktus urinarius (mild)
b. Spina bifida aperta 9,10
 Meningokel
 Tertutupi oleh kulit
 Tidak terjadi paralisis
 Mielomeningokel
 Tidak tertutup oleh kulit, tetapi mungkin ditutupi oleh
membran yang transparan
 Terjadi paralisis
Pada Meningomyeloce, Gejala klinis yang timbul menyebabkan disfungsi
banyak organ dan struktur, termasuk tulang, kulit, dan saluran genitourinaria, di
samping sistem saraf perifer dan sentral. Pada 75% kasus, meningomielokel
terjadi pada daerah lumbosakral. Luas dan gangguan neurologis tergantung pada
lokasi mielomeningokel.Lesi pada daerah sakrum bawah menyebabkan
inkontinensia usus besar dan kandung kencing dan disertai dengan anastesi pada
daerah perineum namun tanpa gangguan fungsi motorik. Bayi baru lahir dengan
defek pada daerah lumbal tengah secara khas memiliki struktur kistik seperti
kantong yang ditutup oleh lapisan tipis jaringan yang sebagian terepitelisasi. Sisa
jaringan saraf dapat terlihat di bawah membrane yang kadang-kadang robek dan
CSS bocor.Pemeriksaan bayi menampakkan paralisis flaksid pada tungkai bawah,
tidak adanya reflex tendon dalam, tidak ada respons terhadap sentuhan dan nyeri,
dan tingginya insiden kelainan postur tungkai bawah (termasuk kaki dan
subluksasi pinggul).Inkontinensia urin dan relaksasi sfingter ani mungkin nyata.
Dengan demikian, mielomeningokel pada daerah lumbal tengah cenderung
menghasilkan tanda neuron motor bawah karena kelainan dan kerusakan konus
medularis. Bayi dengan mielomeningokel secara khas memiliki peningkatan
defisit neurologis setelah mielomeningokel bergerak naik ke daerah thoraks.
Namun, penderita dengan mielomeningokel di daerah thoraks atas atau daerah
servikal biasanya memiliki defisit neurologis yang sangat minim dan pada
kebanyakan kasus tidak mengalami hidrosefalus.10
B. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan neurologis pada bayi cukup sulit; terutama untuk
membedakan gerakan volunter tungkai terhadap gerakan reflektoris. Diasumsikan
bahwa semua respons gerakan tungkai terhadap rangsang nyeri adalah refleksif;
sedangkan adanya kontraktur dan deformitas kaki merupakan ciri paralisis
segmental level tersebut. Cara pemeriksaannya : bayi ditelungkupkan di lengan
pemeriksa, anggota gerak bawah bayi disisi lengan bawah pemeriksa. Yang dinilai
adalah letak scapula, ukuran leher, bentuk tulang belakang dan gerakan. 10
C. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Diagnosa dini spina bifida bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
prenatal. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang
disebut triple screen.Tes ini merupakan tes penyaringan untuk spina bifida,
sindrom dan kelainan bawaan lainnya. Triple screen merupakan tes yang terdiri
atas pemeriksaan alfa fetoprotein (AFP), USG tulang belakang janin, dan
amniosentesis.
Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut :
 X- Ray tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan

Gambar 12. X-Ray Spina Bifida

 CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan


luas dan lokasi kelainan

Gambar 13. MRI tulang belakang


3.2.5 PENATALAKSANAAN

Penanganan pasien dengan spina bifida dengan operasi penutupan pada


defek yang terbentuk, saat ini masih kontroversial. Banyak bidang keilmuan
menghindari pelaksanaan urgent operasion bila level neurological lesinya tinggi
(diatas L1), jika terjadi deformitas spinal yang jarang, atau jika terjadi
hidrosefalus, selebihnya jika terjadi lesi pada kulit dilakukan penutupan defek
secara dini. 6

Manajemen pengawasan anak serta keluarga dengan mielomeningokel


memerlukan pendekatan multidisiplin (ahli bedah, dokter dan ahli terapi). Di masa
lalu, dianjurkan bahwa mielomeningokel harus diperbaiki sesegera mungkin
setelah lahir untuk memelihara fungsi neurologis dan untuk mencegah perburukan
lebih lanjut. Namun beberapa penelitian baru-baru ini menunjukkan hasil jangka
lama yang sama pada penundaan pembedahan selama beberapa hari (dengan
pengecualian kebocoran CSS). Setelah perbaikan pada mielomeningokel, sebagian
besar bayi memerlukan tindakan shunting untuk hidrosefalus. Jika gejala atau
tanda disfungsi otak belakang muncul, menunjukkan adanya indikasi untuk
melakukan kompresi bedah medulla spinalis dan medulla servikalis awal.10

Penanganan berikutnya, adalah dengan kerja tim. Tim yang idel


merupakan kombinasi dari neurosurgery, ortopedi, urologi, pediatrik, fisioterapi.
Seiring pertumbuhan anak, ia membutuhkan pemasangan splint dan fisioterapis.
Tapi diatas semua itu, anak-anak tersebut membutuhkan pengertian dari kedua
orang tuanya dan perhatian mereka.6

Penanganan Awal

 Penutupan defek pada kulit


Dilakukan jika pasien memiliki prognosis yang baik, dilaksanakan dalam 48
jam setelah kelahiran. Neural plate ditutup dengan hati-hati dan kulit diinsisi
luas. Hanya dengan cara ini ulkus dapat dicegah.

 Hidrosefalus
Merupakan prioritas selanjutnya. Dilakukan setelah beberapa hari.
Dilaksanakan ventriculo caval shunt.
 Deformitas
Harus tetap dikontrol. Operasi ortopedi biasanya tidak dilakukan sampai
minggu ke-3, selanjutnya pada masa pertumbuhan anak.6

3.2.6 PROGNOSIS

Prognosis tergantung dari tipe spina bifida, jumlah dan beratnya


abnormalitas, dan semakin jelek apabila disertai dengan paralisis, hidrosefalus,
malformasi Chiari II dan defek kongenital lain. Dengan perawatan yang sesuai,
banyak anak dengan spina bifida dapat hidup sampai dewasa.16Mielomeningokel
merupakan spina bifida dengan prognosis yang jelek. Setelah dioperasi
mielomeningokel memiliki harapan hidup 92 % ( 86 % dapat bertahan hidup
selama 5 tahun). 9
BAB IV
ANALISA KASUS
Telah diperiksa seorang anak perempuan usia 11 hari dengan benjolan di
daerah pinggang bagian tengah berwarna kemerahan sejak baru lahir. Anak
tampak rewel jika benjolan tersebut di manipulasi. Pasien merupakan anak ke dua,
ibu pasien tidak rutin untuk kontrol ANC. Pasien lahir cukup bulan. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan benjolan di region lumbar curiga suatu spina bifida.
Maka, dilakukan pemeriksaan MRI spine dan didapatkan hasil adanya
meningomyelocele pada daerah lumbal. Berdasarkan hal tersebut maka pasien
direncanakan untuk dilakukan operasi reseksi dan repair defek spina bifida.
Sebelum operasi, pasien diberikan dual antibiotic spectrum luas berupa injeksi
Cefotaxim 2 x 150 mg dan inj. Amikasin 2 x 20 mg.
Bedah saraf pada periode neonatal biasanya dilakukan untuk memperbaiki
myelomeningocele atau encephalocele. Pembedahan dini diindikasikan untuk
menutup defek di mana terdapat kantung dural tipis, yang mudah rusak atau
terinfeksi, yang menyebabkan meningitis. Oleh karena itu, dalam praktik rutin,
antibiotik spektrum luas harus dimulai dalam 24 jam pertama kehidupan dan
dilanjutkan hingga pembedahan. Anak-anak spina bifida sering dikaitkan dengan
defisit neurologis, hidrosefalus, dan malformasi Chiari, dan penyebab ini serta
penyebab lain dari peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan
kelumpuhan bilateral. Untuk ahli anestesi, perhatian utama pada anak dengan
mielomeningokel adalah posisi intubasi trakea, masalah volume dan elektrolit, dan
kehilangan darah. Selain itu, ahli anestesi yang merawat pasien neonatal harus
siap menghadapi hal yang tidak terduga. Neonatus memiliki persyaratan unik
untuk peralatan, akses intravena, terapi cairan dan obat, dosis anestesi, kehilangan
panas, dan pengendalian lingkungan.1
Pada kunjungan anestesi diketahui bahwa pasien memiliki kadar leukosit
yang tinggi (25.400) serta hasil pemeriksaan sediaan hapusan darah tepi
menunjukkan leukositosis dan trombositopenia, maka pasien ditentukan memiliki
status fisik II non-Emergency berdasarkan ASA, ASA II mengelompokkan pasien
dengan Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.contoh: pasien batu
ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan
leukositosis dan febris. Dimana pada pasien ini didapatkan gangguan sistemik
berupa leukositosis berat diluar kelainan operatif nya.
Operasi dilakukan dengan posisi pronasi dan perhatian besar harus
dilakukan dengan penentuan posisi; tidak hanya untuk menghasilkan abdomen
yang bebas untuk ventilasi yang mudah, tetapi juga untuk mengurangi kehilangan
darah dengan menghindari kompresi vena cava inferior dan peningkatan tekanan
vena paraspinal. Penempatan posisi yang hati-hati sangat penting untuk
menghindari komplikasi yang timbul dari posisi yang buruk, termasuk mencabut
atau menekuknya tabung endotrakeal, abrasi kornea atau neuropati perioperatif.1

Gambar 13. Posisi Operasi Spina Bifida


Mengingat posisi operasi yang akan dilakukan nanti, maka pasien
direncanakan operasi dengan general anestesi. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut:
 Posisi operasi yang sulit dan harus dipertahankan dalam waktu lama
 Membuat pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama
prosedur operasi berlangsung
 Efek amnesia meniadakan memori buruk bagi pasien yang didapat
akibat ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mengkin
memberikan trauma psikologis
 Memudahkan kontrol ventilasi pasien.
Premedikasi
Sesaat sebelum induksi dimulai, pasien diberikan premedikasi berupa
asam traneksamat untuk mencegah perdarahan dan sulfas atropine.
Obat antikolinergik dapat digunakan untuk mengurangi kemungkinan
bradikardia selama induksi. Atropin (0,02 mg / kg oral atau intramuskular)
mengurangi kejadian hipotensi akibat anestesi pada anak-anak kurang dari enam
bulan. Atropin juga dapat mencegah penumpukan sekresi. Neonatus dan bayi di
bawah usia enam bulan sebaiknya tidak memerlukan obat penenang sebelum
operasi.

Intubasi
Intubasi pasien berjalan lancar dengan menggunakan ETT non-cuffed
ukuran 2.5. Selama anak di intubasi, anak dibaringkan pada posisi supine dengan
bantalan di punggungnya.
Pasien harus diposisikan dengan kantung meningokel atau ensefalokel
oksipital dalam cincin kepala 'donat', di mana sisa bayi ditopang di atas handuk
terlipat memberikan posisi terlentang netral untuk intubasi tanpa merusak kantung
dural yang tipis.1

Gambar 14. Posisi induksi anesthesia pada anak dengan spina bifida
Jalan napas bayi dan neonatus berbeda dengan remaja atau orang dewasa.
Kepala neonatal secara proporsional lebih besar dari kepala orang dewasa, dengan
leher lebih pendek dan rahang bawah yang lebih kecil. Lidah pada neonatus relatif
lebih besar ukurannya dibandingkan dengan orofaring. Ini dapat menyebabkan
kesulitan teknis selama laringoskopi. Laring terletak di anterior dan lebih tinggi di
leher (C3 pada neonatus, C3-4 pada bayi, C5-6 pada dewasa). Ketika bilah lurus
digunakan, saluran masuk laring mungkin lebih mudah dilihat dengan menaikkan
epiglotis. Berlawanan dengan orang dewasa, pipa endotrakeal pada neonatus
biasanya melewati pita suara dengan mudah, tetapi salurannya mungkin tersumbat
di tulang rawan krikoid di mana jalan napas adalah yang tersempit.1
Intubasi trakea pada neonatus terlentang dengan mielomeningokel
memerlukan penggunaan bantalan, yang akan mencegah kontak mielomeningokel
dengan meja operasi. Tabung endotrakeal pediatrik harus un-cuffed sampai
setidaknya berusia enam tahun. Penempatan tabung trakea harus menghindari
intubasi endobronkial yang mengakibatkan overinflasi paru, ruptur alveolar dan
emfisema interstisial dan / atau hipoventilasi dengan atelektasis. Panjang trakea
pada neonatus dan bayi pendek, meninggalkan sedikit kesalahan. Oleh karena itu,
penting untuk diingat bahwa selama ekstensi kepala-leher dan / atau pra-
pemosisian, selang trakea mungkin berada di daerah subglotis atau pasien
mungkin secara tidak sengaja diekstubasi.1

Induksi Anestesi
Induksi pasien berjalan lancar dengan menggunaan fentanyl dan pelemas
otot berupa artracurium.
Induksi anestesi biasanya dilakukan dengan sungkup muka. Fase induksi
adalah periode paling berbahaya karena sangat mudah untuk salah menilai
kedalaman anestesi dan menyebabkan depresi jantung. Neonatus dan bayi
prematur memiliki kebutuhan anestesi yang lebih rendah daripada bayi yang lebih
tua dan anak-anak. Konsentrasi alveolar minimal (MAC) dari agen volatil lebih
rendah pada neonatus dan lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan dengan nilai
dewasa. Neonatus memiliki sistem saraf pusat yang belum matang dengan respons
yang lemah terhadap rangsangan kulit nosiseptif.1
Pilihan relaksan otot non-depolarisasi tergantung pada efek samping dan
durasi relaksasi otot yang diperlukan. Secara klinis, neonatus dan bayi tampaknya
lebih sensitif terhadap relaksan otot non depolarisasi dan respon mereka bervariasi
pada tingkat yang lebih tinggi.1

Anestesi Inhalasi
Selama operasi berlangsung, anestesi dipertahankan dengan menggunakan
agen volatile berupa campuran O2 + NO2 + Sevoflurane 1.5%.
Sevoflurane memiliki banyak fitur agen inhalasi yang ideal; kelarutan gas
darahnya yang rendah dan baunya yang tidak menyengat menunjukkan induksi
yang halus, tidak rumit dan cepat dan munculnya anestesi. Sevoflurane dikaitkan
dengan munculnya delirium pada periode pemulihan awal. Sevoflurane lebih
stabil secara hemodinamik daripada halotan, tetapi bradikardia dan apnea
keduanya telah dilaporkan pada konsentrasi tinggi. Desflurane dan isoflurane
lebih tajam daripada halotan atau sevoflorane dan berhubungan dengan lebih
banyak batuk, menahan napas, dan spasme laring selama induksi inhalasi.
Mengingat fakta bahwa anestesi inhalasi menyebabkan penurunan denyut jantung
dan tekanan darah sistolik, atropin 0,02 mg / kg IV harus disertakan saat induksi.1

Bangun
Ekstubasi pasien berjalan lancar tidak ada kendala, selanjutnya pasien
dibawa ke ruang pemulihan 15 menit setelah anestesi berakhir. Pasien kemudian
dihantarkan ke NICU untuk perawatan lebih lanjut.
Di akhir pembedahan, neonatus harus hangat, jenuh baik, normokarbik,
dan bebas nyeri. Seorang neonatus asidosis dingin tidak akan bernapas setelah
operasi. Kriteria ekstubasi antara lain batuk utuh dan muntah, gaya inspirasi
negatif 15-30 cmH2O, daya nafas kapasitas vital melebihi 10 mL / kg, kebocoran
udara di sekitar tabung dengan tekanan inflasi kurang dari 25 cmH2O serta
pemeliharaan oksigenasi dan ventilasi yang dapat diterima dengan dukungan
ventilasi minimal. Pembalikan blokade neuromuskuler yang adekuat ditunjukkan
dengan mengangkat lengan atau mengangkat kaki secara berkelanjutan. Ekstubasi
dilakukan hanya saat anak terjaga dan bernapas dengan baik.1
Apnea adalah masalah pasca operasi yang umum pada neonatus premature.
Ini penting jika episode melebihi 15 detik atau jika terjadi sianosis atau
bradikardia. Neonatus anemia (hemoglobin <10 g / dL) sangat berisiko yang
diberikan secara intravena (10 mg / kg) telah direkomendasikan.Semua bayi di
bawah 46 minggu harus dipantau dengan alarm apnea.
BAB V
KESIMPULAN
Malformasi tabung saraf yang melibatkan sumsum tulang belakang dan
arkus vertebralis disebut sebagai spina bifida dan hadir sebagai spektrum
malformasi dengan penonjolan sumsum tulang belakang dan / atau meninges
melalui cacat pada lengkungan vertebral di ujung yang paling parah. Telah
dilaporkan sebuah kasus anak dengan spina bifida yang direncanakan operasi
reseksi dan repair spine bifida setinggi lumbal dengan general anestesi. Operasi
berjalan lancar dan anestesi dapat dilakukan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Baykan Nigar. Anesthesiology of the Newborn with Spina Bifida.


ResearchGate. 2008; 14(47)
2. Said A Latif, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 2002. Hal.30-44
3. Soenarta RF, Chandra S. buku ajar anestesiologi dalam Anestesi Umum.
Jakarta: Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FK UI. 2012.P.291-311
4. Gunawan SG, Nafrialdi RS. Farmakologi dan terapi. edisi 5.2009. hal. 297,
5. Omoigui S. Obat-obatan anestesia. Edisi II. Jakarta: EGC. 1997. Hal.20-3
6. Solomon, Louis. Neuromuscular disorder in: Apley’s System of Orthopaedic
and Fractures. 8th ed. London: Arnold; 2001.
7. De Jong,Wim. Sistem Saraf dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.
8. Sadler, T.W. Central Nervous System in : Langman’s Medical Embriology, 8 th
ed. Montana: Twin Bridges
9. Satyanegara. Disgrafisme Spinal dalam : Ilmu Bedah Saraf. Edisi Ketiga,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 1998
10. Rasjad, Chairuddin. Penyakit Akibat Lesi Medula Spinalis dalam: Pengantar
Ilmu Bedah Orthopedi. Edisi Ketiga. Jakarta: Yarsif Watampone; 2009

Anda mungkin juga menyukai