Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau
ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk
menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi.
Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi
dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di
ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan
terjadinya blok anestesi spinal.(1,2)

Gastrointestinal Stromal Tumor ( GIST ) merupakan tumor mesenkim yang


terdapat pada gastrointestinal, berasal dari interstitial sel cajal ( ICC) yang pada
keadaan normal merupakan bagian dari system saraf otonom pada usus.
Gastrointestinal stromal tumor dapat terjadi pada seluruh bagian dari saluran cerna,
tetapi yang paling sering dijumpai pada lambung (60 -70 %), usus halus (20-30%) ,
jarang terdapat pada colorectum dan oesophagus (< 10%). Secara klinis
Gastrointestinal Stromal Tumor ini mempunyai spectrum yang luas, yaitu mulai dari
benign sampai malignan.(3)

BAB 2
LAPORAN KASUS

1
2.1 IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 1 Februari 2019
Nama : Tn. S
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
TB/BB : 152 cm / 40 kg
Gol. Darah :O
No. RM : 907462
Ruangan : Bangsal Bedah
Diagnosa : Tumor Intra Abdomen Suspek GIST
Tindakan : Pro open biopsi perlaparatomi

2.2 HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


2.2.1 ANAMNESA
Masuk Rumah Sakit :
a. Keluhan Utama : tidak bisa merasakan BAK dan sulit BAB
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien masuk IGD datang dengan keluhan tidak bisa merasakan BAK
sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh kan demam. Demam terus
menerus dan pasien mengeluhkan nyeri didaerah perut bagian bawah.
Awalnya 2 bulan yang lalu, pasien merasakan nyeri saat BAK dan selalu
merasakan penuh di dalam perutnya. Pasien juga merasakan BAK disertai
darah. Pasien juga mengeluh terdapat benjolan disekitar perut bawahnya
yang semakin membesar. Sejak 4 bulan yang lalu pasien merasakan sulit
BAK dan BAB. BAB disertai dengan darah dan berbentuk kecil-kecil. Pasien
mengeluhkan berat badan menurun.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Rawat Inap : (-)
 Riwayat Operasi : (-)
 Riwayat Alergi : (+) udang
 Riwayat Asma : (+)
 Riwayat DM : (-)

2
 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat Kejang : (-)
 Riwayat Batuk lama : (-)
 Riwayat Kanker : (-)
 Riwayat penyakit jantung : (-)
 Riwayat Konsumsi obat jangka waktu lama : (-)
 Riwayat sering menggunakan penyedap : (+)
 Riwayat merokok : (+) 2 bulan yang lalu
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama
 Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit ginjal dan jantung,
kanker (-)
e. Riwayat sosial ekonomi : menengah ke bawah

2.2.2 PEMERIKSAAN FISIK UMUM


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 C
b. Kepala : normocephal, rambut putih, tidak mudah di cabut.
c. Mata : CA (-/-) SI(-/-), Pupil Isokor, RC (+/+),
d. THT : Rinore (-), otore (-)
e. Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Kel. Tiroid (-)
f. Thoraks
Inspeksi : Bentuk dbn, gerak dinding dada simetris, sikatrik (-)
Palpasi : Vokal fremitus +/+, krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-
g. Abdomen
Inspeksi : Kontur datar, bekas operasi (-)

3
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada supra pubic, hati & lien tidak
Teraba. Teraba massa di regio hipogastric, non mobile
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
h. Genital : darah (-) lendir (-)
i. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik

2.2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium(24/1/2019)
Darah Rutin
 WBC : 12,98 x103/mm3
 RBC : 4,12 x106/mm3
 HGB : 11,5 gr/dL
 HCT : 32,5 %
 PLT : 246 x103/mm3
 GDS : 74 mg/dl
 Masa Pendarahan : 3,5’ (1-3 menit )
 Masa Pembekuan : 4,5’ ( 2 – 6 menit )
Pemeriksaan elektrolit (14-10-2018)
 Natrium : 131,37 mmol/L ( 135-146)
 Kalium : 3,50 mmol/L (3,5-5,3)
 Clorida : 92,75 mmol/L ( 98-110)
 Calsium : 1,23 mmol/L (1,19-1,23)
Kimia Darah
 Albumin : 2,9 mg/dL
 SGOT/PT : 147/79 U/L
 Ur/Kr : 13/1,0 U/L

b. Lain-lain
EKG : Sinus Rhythm

4
CT SCAN Abdomen tanpa kontras : Meteorismus dengan tumor intra
abdomen ukuran 11,9x17,7 m2.

2.2.4 STATUS FISIK ASA


1/2/3/4/5/

5
2.2.5 RENCANA TINDAKAN ANESTESI
1. Diagnosa pra bedah : Tumor Intra Abdomen Susp. GIST
2. Tindakan bedah : Pro open biopsi perlaparatomi
3. Status fisik ASA :2
4. Jenis / tindakan anestesi : Anestesi Regional
Pramedikasi
 Dexametason 10 mg (IV)
 Ondansentron 8 mg(IV)
 Ranitidin 50 mg(IV)

Tekhnik anesthesia : spinal (Intrathecal)


lokasi tusukan : L 3-4
Obat anesthesia lokal : Bupivacaine : 0,5% (hiperbarik)
Jumlah : 4 cc
Adjuvan : Morphin 0,1 mg

BAB 3
LAPORAN ANESTESI

6
Tanggal : 1 Februari 2019
Nama : Tn. S
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
TB/BB : 152 cm / 40 kg
Gol. Darah :O
Alamat : Tanjung Jabung Timur
No. RM : 907462
Ruangan : Bangsal Bedah
Diagnosa : Tumor Intra Abdomen suspek GIST
Tindakan : Pro open biopasi perlaparatomi
Operator : dr. Rizal, Sp.B (KBD)
Ahli Anestesi : dr. Sulistyowati, Sp.An

3.1 Keterangan Pra Bedah


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Tanda vital : Tekanan Darah : 130/80mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
Berat Badan : 40 kg
b. Laboratorium
c. Laboratorium (24/1/2019)
Darah Rutin
 WBC : 12,98 x103/mm3
 RBC : 4,12 x106/mm3
 HGB : 11,5 gr/dL
 HCT : 32,5 %
 PLT : 246 x103/mm3
 GDS : 74 mg/dl
 Masa Pendarahan : 3,5’ (1-3 menit )

7
 Masa Pembekuan : 4,5’ ( 2 – 6 menit )
Pemeriksaan elektrolit (14-10-2018)
 Natrium : 131,37 mmol/L ( 135-146)
 Kalium : 3,50 mmol/L (3,5-5,3)
 Clorida : 92,75 mmol/L ( 98-110)
 Calsium : 1,23 mmol/L (1,19-1,23)
Kimia Darah
 Albumin : 2,9 mg/dL
 SGOT/PT : 147/79 U/L
 Ur/Kr : 13/1,0 U/L
c. Status Fisik : ASA II
d. Pasien puasa
e. Premedikasi di ruangan :
Dexamethasone 2 x 5mg IV
Ondansetron 4mg (IV)
Ranitidin 50mg (5 ribu)

3.2 Tindakan Anestesi


a. Metode : Anestesi Regional
b. Premedikasi : Dexametason 10 mg(IV); Ondansentron 4 mg (IV); Ranitidin
50 mg (IV)

3.3 Anestesi Regional


a. Teknik Anestesi : Spinal (Intrathecal)
b. Lokasi Tusukan : L3-4
c. Obat anesthesia Lokal : Bupivacaine 0,5% (hiperbarik)
d. Jumlah : 4 cc
e. Adjuvant : Morphin 0,1 mg
f. Pemeliharaan anestesi : O2
g. Induksi mulai : 11.00 wib
h. Operasi mulai : 11.15 wib
i. Operasi selesai : 13.40 wib.
j. Induksi selesai : 13.55 wib

8
k. Medikasi:
1. Oksigen 2 L
2. Asam Traneksamat 1gr (IV)
3. Fentanyl 50mg IV
4. Ketamin 50mg
l. Cairan/Transfusi :
1. RL 500 ml
2. RL 500 ml

3.4 Keadaan Selama Operasi


a. Letak Penderita : Terlentang
b. Penyulit Waktu Anestesi/Operasi : -
c. Lama Anestesi : 2 jam
d. Jumlah Cairan
Input : RL 1000 ml
Output : Perdarahan ± 100 mL
Urin ± 50 ml

Kebutuhan cairan pasien ini;


BB = 40 Kg
 Maintenance (M)
M = 2 cc/kgBB
M = 2 cc x 40
M = 80 cc
 Pengganti Puasa (P)
P = 2 cc x jam puasa x BB
P = 2 x 6 x 40
P = 480 cc

 Stress Operasi (O)


O = BB x 6 cc (operasi sedang)
O = 40 x 6 cc

9
O = 240 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I= ½ (P) + M + O
= ½ (480) + 80 + 240
= 560 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼(480) + 80 + 240
= 440 cc
 EBV = 75 x BB
= 75 x 40
= 3000 cc
 EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 3000 cc 600 cc

3.5 Pra Anestesi


 Penentuan status fisik ASA:1/ /3/4/5
2

 Mallampati : II
 Persiapan:
a. Pemberian Informed Consent
b. infus RL 20 tpm
c. ceftriaxone 2 x 1 gr IV pukul 06.00 WIB

3.6 Monitoring
TD awal = 140/80 mmHg, Nadi =76 x/menit, RR = 20 x/menit
Jam Tindakan Nadi Saturasi TD RR

10
(x/menit O2 (%) (mmHg (x/menit)
) )
10.30  Pasien masuk ke kamar
operasi, dan dipindahkan ke
meja operasi
10.35  Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi, saturasi
O2.
10.40  Diberikan cairan RL 1 kolf
dan obat premedikasi
11.00 Obat spinal dimasukkan setinggi
L3-L4 (Bupivacaine 4 cc)
 Pasien diposisikan
telentang
11.10  Pemasangan kateter
11.15  Operasi dimulai
11.30  Kondisi terkontrol
11.45
12.00
12.15
12.30
12.45
13.00
13.15
 Operasi selesai
13.30  Pelepasan alat monitoring
 Pasien dipindahkan ke RR

3.7 Ruang Pemulihan


3. Masuk Jam : 13.30 WIB

11
4. Keadaan Umum : Kesadaran: CM, GCS: 15
5. Tanda vital : TD : 165/106 mmHg
Nadi : 74 x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5 C
6. Pernafasan : Baik

7. Scoring Aldrete:
Aktivitas :1
Pernafasan : 2
Warna Kulit : 2
Sirkulasi :2
Kesadaran : 2
Jumlah : 9

Instruksi Post Operasi:


 Monitoring tanda vita ldan perdarahan tiap 15 menit selama 1 x 24 jam
 Tirah baring pakai bantal 24 jam
 Boleh makan dan minum bertahap
 Miring kanan-kiri
 02 canul 2-4 L
 Instruksi lain dan terapi megikuti dr. Rizal, Sp.B (KBD)

BAB 4

12
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Pembagian Anestesi Regional(2)


Anesthesia regional terbagi atas:
a) Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural dan kaudal
b) Blok perifer misalnya blok pleksus brakhialis, aksiler, analgesia regional
intravena dan lain-lain.
4.1.1 Anatomi Medula Spinalis(2)

Gambar 4.1 Anatomi Tulang Punggung


Columna vertebralis terbagi atas 7 vertebra servikal, 12 vertebra thorakal, 5
vertebra lumbal, 5 vertebra sacral menyatu pasa dewasa dan 4-5 vertebrae koksigeal
menyatu pada dewasa. Prosesus spinosus C2 teraba langsung di bawah oksipital.
Prosesus spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens. Garis lurus
yang menghungkan kedua Krista iliaka setinggi akan memotong prosesus spinosus
vertebra L4 atau antara L4-L5.

13
Gambar 4.2 Vertebra Lumbal Tampak Superior
Peredaran darah untuk medulla spinalis di perdarahi oleh a.spinalis anterior
dan a. spinalis posterior. Untuk mencapai cairan serebrospinal maka jarum suntik
akan menembus kulit ke subkutis kemudian ligamentum supraspinosum ke
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan
ruang subarachnoid.

Gambar 4.3 Anatomi Lapisan Punggung Lumbal


Medulla spinalis berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus meningens ( duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada
dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3 dan sakus duralis
berakhir setinggi S2.
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari
pleksus arteria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Cairan ini jernih

14
tak berwarna mengisi ruang subaracnoid dengan jumlah total 100-150 ml,
sedangkan yang ada di punggung sekitar 25-45 ml.

4.1.2 Analgesia Spinal(2,4)


Analgesia spinal (intratekal, intradural,subdural, subarachnoid) ialah
pemberian abat anestetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesia spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang subarachnoid.
Tekhnik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.

4.1.3 Fisiologi Anestesi Spinal(2,5)


Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan otonom. Stimulasi saraf motorik
menyebabkan otot berkontraksi ketika terjadi blok saraf, otot mengalami
kelumpuhan. Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan dan nyeri dari
sumsum tulang belakang ke otak, sedangkan sarf otonom mengontrol caliber
pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus dan fungsi lainnya yang tidak
berhubungan dengan kendali kesadaran. Umumnya saraf otonom dan sensorik
terblok sebelum saraf motorik. Vasodilatasi dan penurunan tekanan darah pun dapat
terjadi ketika saraf otonom di blok.

4.1.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia(2,6)


Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat aesthesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khususs, misalnya alergi, mual, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak
napas asca bedah sehingga kita dapat merencanakan anesthesia berikutnya dengan
lebih baik.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewakan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang azim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA)
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik dan biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang

15
KelasIII : Pasien dengan penyakit sistemik berrat, sehingga aktivitas rutin terbatas
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukanaktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidakakan lebih dari 24 jam
Masukan oral
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minum
bening, air putih, the menis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi.
Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia. Obat peredam
kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi. Jika
disertai nyeri dapat diberikan petidin 50 mg intramuscular.
Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Induksi anesthesia dapat
dikerjakan dengan intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur
akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anesthesia
sampai tindakan pembedahan selesai.

4.1.5 Indikasi dan kontraindikasi(2,4)


Indikasi:
a. Bedah ekstremitas bawahBedah panggul
b. Tindakan sekitar rectum-perineum
c. Bedah obsetri-genekologi
d. Bedah urologi
e. Bedah abdomen bawah
f. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya dikombinasi dengan
anesthesia umum ringan

16
Kontraindikasi Absolut
a. Pasien menolak
b. Hipovolemia berat, syok
c. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
d. Tekanan intracranial meninggi
e. Fasilitas resusitasi minim
f. Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anesthesia

Kontraindikasi relatif:
a. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
b. Anak-anak
c. Infeksi sekitar tempat suntikan
d. Kelainan neurologis
e. Kelainan psikis
f. Bedah lama
g. Penyakit jantung
h. Hipovolemia ringan
i. Nyeri pinggang kronis
j. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

4.1.6 Komplikasi Anestesi Spinal(2,4,5)


Akut
1. Hipotensi dikarenakan dilatasi pembuluh darah max
2. Bradikardi dikarenakan blok terlalu tinggi, berikan SA
3. Hipoventilasi berikan O2
4. Mual muntah dikarenakan hipotensi terlalu tajam, berikan epedril
5. Total spinal obat anestesi naik ke atas, berikan GA

Pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala
4. Retensi urin dikarenakan sakral terblok pasang
kateter

17
4.1.7 Keuntungan Anestesi Spinal(2)
1. Biaya
Biaya minimal
2. Kepuasan pasien
Pasien sangat senang dengan teknik ini karena pemulihannya yang cepat dan
tidak ada efek samping.
3. Pernapasan
Efek samping sedikit pada system pernapasan selama blockade yang terlalu
tinggi dihindari.
4. Jalan napas
Control jalan napas tidak terganggu, sehingga menurunkan resiko penyumbatan
saluran napas atau aspirasi isi lambung.keuntungan ini bias hilang jika obat
penenang terlalu banyak diberikan.
5. Relaksasi otot
Anesthesia spinal memberikan relaksasi otot yang sangat baik pada ekstremitas
bawah dan perut bawah.
6. Perdarahan
Kehilangan darah selama operasi minimal bila dibandingkan dengan anestesi
umum. Hal ini karena penurunan tekanan darah dan denyut jantung dan
peningkatan draenase vena menyebabkan aliran.
7. Koagulasi
Pada umumnya pasca operasi jarang terjadi thrombosis vena dan emboli
paru.

4.1.8 Kekurangan Anestesi Spinal(2)


Kekurangan anestesi spinal diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Terkadang akan sulit untuk menemukan ruang dural dan mendapatkan CSF.
b. Hipotensi dapat terjadi pada saat blockade.
c. Beberapa pasien tidak cocok secara psikologis untuk tetap sadar, bahkan jika
dibius, selama operasi.
d. Ada risiko teoritis bahwa infeksi ke dalam ruang subarachnoid dan
menyebabkan meningitis. Ini seharusnya tidak pernah terjadi jika peralatan
disterilkan dengan benar dan teknik aseptic digunakan.

18
e. Sakit kepala postural dapat terjadi pasca operasi.

Implikasi praktis dari perubahan fisiologis


Pasien harus terhidrasi dengan baik sebelum anesthesia local di suntikkan danharus
memiliki infuse intravena ditempat sehingga cairan lebih lanjut atau vasokonstriktor
dapat diberikan jika terjadi hipotensi.

Persiapan Analgesia Spinal(2,6)


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
analgesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal berikut
1. Informed Consent (izin dari pasien)
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak ada kelainan spesifik seperti tulang punggung dan lain-lain.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (protrombin time) dan PTT (partial tromboplastine
time)

4.1.10 Peralatan Analgesia Spinal(2)


1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri, denyut (pulse oksimeter) dan EKG
2. Peralatan anetesia/resusitasi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quincke bobcock) atau
jarum spinal denga ujung pensil (pensil poit whitecare).
4. Anastetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik. Anastetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik lokal yang

19
sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik
local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan:(2,4)


a. Lidokaine (xylobain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis
20-100mg (2-5ml).
b. Lidokaine (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml).
c. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis
5-20mg (1-4ml).
d. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml).

Durasi Anestetik Lokal untuk Analgesia Spinal(4)

4.1.11 Tekhik analgesia spinal(2,5)


Pasien duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan pada meja
operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakan stabil. Buat
pasien membungkuk maksima agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain
ialah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4 atau L4-5.

20
Tusukan pada L1 dan L-2 atau diatasnya beresiko trauma terhadap medulla
spinalis.
Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan-kiri akan
memotong garis tengah punggung setinggi L4 atau L4-L5.
Palpasi : untuk mengenal ruang antara dua vetebra lumbalis

Pungsi lumbal hanya antara : L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1 Duduk atau berbaring
lateral dengan punggung fleksi maksimal

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol

4. Beri anestesi local pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml
5. Cara tusukan median atau para median
Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, atau 25 G dapat langsung digunakan.
Sedangkan untuk yang kecil 27G aytau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum biasanya 10cc. Tusukan intoducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah
sefal kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya kelubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam irisan jarum harus sejajar dengan
duramateryaitu pada posisi tidur miring “bevel” mengarah keatas atau kebawah
untuk menghindari kebocoran liquor yang dapat berakibat timbulnya nyeri pasca
spinal. Setelah resistensi menghilang mandarin jarum spinal juga harus dicabut dan
dikeluarkan likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dikeluarkan pelan-
pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit hanya untuk menyakinkan posisi
jarum tetap baik. Kalau anda yakin posisi jarum spinal pada posisi yang benar dan
likuor tidak keluar putar arah jarum 90% biasanya likuor keluar. Untuk analgetik
spinal kontinu dapat dimasukkan kateter

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
dengan anestik hiperbarik. Jarak kulit ligamentum flavum dewasa lebih kurang 6
cm.

21
Obat-obat yang dipakai
Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain,
bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat
anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade otonom, sensoris dan motoris.
Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang
hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-
50mg untuk persalinan, 75- 100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen
bagian bawah, 100- 150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1
jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.


Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat
jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035,
sedangkan hipobarik 1,001- 1,002. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air
injeksi.

4.1.12 Pengaturan Level Analgesia (2,4)


Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut :
level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia
kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris.
Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi atas :
1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal bawah
dan sakral.
2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk
segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.
3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi termasuk
segmen torakal, lumbal, dan sacral.

22
4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi termasuk
segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan
hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.
Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase,
kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen,
tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar
penyebarannya, dan level anestesi juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah
pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml
likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat
anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan
subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga
akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan
menyebabkan turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih
tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.
Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat
jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan
hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik :
1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001- 1,002.
Perawatan Selama pembedahan
1. Posisi yang enak untuk pasien.
2. Kalau perlu berikan obat penenang.
3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.
4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.
5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing.
6. Berikan oksigen per nasal.
Perawatan Pascabedah
1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.
2. Minum banyak, 3 lt/hari.
3. Cegah trauma pada daerah analgesi.
4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.
5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.
6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.
7.Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan

23
tekanan darah dan frekuensi nadi.

4.1.13 Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal(2,4)


Beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal.
1. Sistim Kardiovaskuler
a) Penurunan resistensi perifer
1. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan
tonus vasokonstriksi simfatis.
2. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return.
3. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni
terjadinya vasokonstriksi.
b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata
Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila
tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila
terjadi iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah
jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan
dengan pemberian cairan dan atau obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum
dilakukan spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.
Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-50 mg i.m.
atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-
20menit pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.

c) Penurunan denyut jantung.


Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan
mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesi pada
serabut saraf cardiac accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat
meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.

2. Sistem Respirasi
Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat
sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan
vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix

24
n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan
bicara.

3. Sistem Gastrointestinal
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi,
hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan
traction reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)


Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya
kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin
besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala
pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan
serebrospinal sampai 1- 2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat
menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90%
pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4
hari.
Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :
1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum
tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan
menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan:
1. Memakai abdominal binder.
2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang
epidural tempat kebocoran.
3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari. Kejadian post spinal
headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar
(no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih
banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.
5. Backache
Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk

25
spinal anestesi.

6. Retensio Urinae
Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi
di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang
subarachnoid, setelah anestesi fungsi vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen


Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang
menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas,
memakai syringedan jarum yang disposible, spinal anestesi dihindari pada pasien
dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arachnoiditis


Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi
serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang
masuk ke ruang subarachnoid.

4.3.Gastrointestinal Stromal Tumor ( GIST )(3)


4.3.1 Definisi Gastrointestinal Stromal Tumor ( GIST )
Gastrointestinal Stromal Tumor ( GIST ) merupakan tumor mesenkim yang
terdapat pada gastrointestinal, pada waktu yang lalu digolongkan sebagai
Gastrointestinal leiomyoma, cellular leiomyoma,leiomyoblastoma dan
leiomyosarcoma. Sampai tahun 1990 – an semua tumor pada saluran gastrointestinal
yang berasal dari non epithelial digolongkan sebagai Gastrointestinal Stromal Tumor
yang berasal dari otot polos pada lamina muscularis propria dinding usus. Tetapi pada
saat ini GIST merupakan terminologi yang baru , yang didiagnosa berdasarkan
pemeriksaan imunohistokimia.
GIST ini diduga berasal dari interstitial sel cajal ( ICC) yang pada keadaan
normal merupakan bagian dari system saraf otonom pada usus. ICC ini merupakan
pacemaker pada usus yang berfungsi untuk mengatur motilitas dan peristaltik. Pada

26
ICC ini terdapat gen c-kit yang meng-encode reseptor transmembran pada growth
factor (stem cell factor) . C-kit terdiri dari extracelluler domain , transeluler segmen ,
dan bagian intraseluler.
Gastrointestinal stromal tumor dapat terjadi pada seluruh bagian dari saluran
cerna, tetapi yang paling sering dijumpai pada lambung (60 -70 %), usus halus (20-
30%) , jarang terdapat pada colorectum dan oesophagus (< 10%). Secara klinis
Gastrointestinal Stromal Tumor ini mempunyai spectrum yang luas, yaitu mulai dari
benign sampai malignan. Pada tumor yang sangat kecil biasanya asimtomatis dan
terdeteksi secara kebetulan dengan endoskopi.

4.3.2 Etiologi Gastrointestinal Stromal Tumor ( GIST )


Penyebab yang pasti dari tumor ini belum dapat dipastikan, tetapi diduga
berhubungannya dengan inflammatory bowel disease, terapi immunosuppressive,
infeksi Human Herpes virus 8 dan AIDS.

4.3.3 Diagnosa GIST


Untuk mendiagnosa GIST dapat dilakukan dengan :
1. Gejala klinis
Secara klinis tidak tampak gejala yang khas dari tumor ini, biasanya
penderita mengeluh rasa tidak enak pada bagian perut. Kadang-kadang dapat
disertai dengan perdarahan pada saluran cerna berupa hematemesis maupun melena.
Gejala ini biasanya timbul sebagai manifestasi dari ulserasi dan perdarahan. Pada
sebagian kasus dapat dijumpai massa yang palpable pada abdomen.

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dapat digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosa GIST. Secara radiologi pemeriksaan yang mempunyai sensitifitas cukup
tinggi untuk mendeteksi adanya GIST adalah pemeriksaan dengan menggunakan
CT Scan. Pada pemeriksaan ini bisa dibedakan tumor yang letaknya didalam lumen,
perluasan yang eksofitik ataupun yang intramural.

3. Pemeriksaan Patologi
•Pemeriksaan Makroskopis

27
Pada GIST yang kecil, tampak sebagai nodul pada serosa, subserosa atau
intramural yang biasanya dijumpai secara kebetulan pada pemeriksaan endoskopi
ataupun operasi abdomen. Pada tumor yang besar dapat menonjol kedalam lumen
usus atau kedalam lapisan serosa. Pada pemotongan, GIST dapat berupa massa yang
kenyal sampai rapuh , sering disertai dengan focus perdarahan. Pada tumor yang besar
tampak nekrosis dan perdarahan yang massif dan kadang kadang disertai dengan
pembentukan kista.

•Gambaran Mikroskopis
Secara mikroskopis , GIST terdiri dari 3 type , yaitu :
1. Type spindel sel
Type ini mempunyai gambaran yang mirip dengan leiomyoma, adanya gambaran sel-
sel bentuk spindel yang relative monoton dengan perinuklear vakuol, inti berbentuk
ovoid (seperti cerutu),adanya nuclear palisading, sitoplasma eosinofilik pucat ,
moderate selulariti.
2. Type epitheloid
Pada type ini sel-sel berbentuk bulat , sitoplasma jernih, tampak sebagai gambaran
yang solid ataupun miksoid. Pada waktu yang lalu tumor ini leiomyoblastoma ataupun
epitheloid leiomyosarcoma
3. Type campuran
Pada type ini mempunyai gambaran yang merupakan campuran dari dua type
sebelumnya.
4. Pemeriksaan Imunohistokimia
Meskipun GIST sudah dapat diduga melalui pemeriksaan radiologi dan
histopatologi, tetapi diagnosis pasti harus berdasarkan pada pemeriksaan
imunohistokimia. Pemeriksaan dengan antigen CD34, yang merupakan antigen
terhadap sel progenitor hematopoetik yang banyak dijumpai pada tumor mesenkim ,
menghasilkan ekspresi positif (70 – 78 %). Pemeriksaan dengan antigen CD 117,
sebagai c kit protein yang merupakan membrane reseptor dengan komponen tirosin
kinase, menghasilkan ekspresi positif (72 – 94 % ). Pemeriksaan dengan α smooth
muscle actin memperlihatkan ekspresi yang tidak begitu kuat (30 – 40 %).
Pemeriksaan dengan desmin memperlihatkan ekspresi yang lemah ( < 5 % ).

4.3.4 Differensial Diagnosa

28
1. True gastric leiomyoma dan leiomyosarcoma
Pada tumor ini tampak sel-sel bentuk spindel dengan selularitas yang rendah sampai
sedang dan memperlihatkan differensiasi otot polos. Pada leiomyoma ini biasanya
massa tumor berbentuk polipoid kecil pada intraluminal. Pada leiomyosarcoma
tampak mitosis yang sangat aktif , bentuk inti pleomorfik dan sering dijumpai
nekrosis koagulatif. Pada pemeriksaan imunohistokimia , memperlihatkan ekspresi
positif untuk desmin dan smooth muscle actin dan ekspresi negative untuk CD34 dan
CD117.
2. Schwannoma
Secara klinis dan makroskopis schwannoma mempunyai gambaran yang mirip dengan
GIST. Tumor ini ditutupi oleh muosa yang intak dan terutama melibatkan lapisan
muskularis propria dinding usus. Secara histologi sel tumor dapat berbentuk spindel ,
epitheloid dan plexiform, dengan nuclear palisading yang tidak jelas. Pada bentuk sel
yang spindel ,dikelilingi oleh kelompokan limfoid yang hyperplasia dan sebaran
limfosit. Pada pemeriksaan imunohistokimia, ekspresi positif untuk S100-protein dan
negative untuk desmin.

4.3.5 Grading GIST


Secara histology , grading yang digunakan untuk GIST menggunakan system yang
banyak digunakan pada soft tissue tumor. Dalam hal ini yang menjadi pedoman
adalah adanya jumlah aktifitas mitosis. Bila aktifitas mitosis 1 – 5 / 10 HPF
digolongkan sebagai low grade. Bila aktifitas mitosis > 10 / 10 HPF maka
digolongkan sebagai high grade.

29
4.3.6 Prognosis GIST
Pada GIST dapat terjadi perubahan menjadi malignan pada 10 – 30 % kasus.
Manifestasi malignan dapat berupa selularitas yang tinggi, invasi local maupun
metastase jauh, yang biasanya pada hati dan peritoneum. Metastase jarang terjadi
pada lymph node regional , paru maupun tulang. Prognosis biasanya buruk bila
dijumpai rupture pada tumor, lokasi pada bagian distal , selularitas yang tinggi,
nekrosis pada tumor adanya invasi atau metastase pada organ lain dan mutasi pada c-
kit gen.

30
BAB V
ANALISA KASUS

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan biopsi. Pada kasus ini, Tn. S usia 52 tahun datang dengan keluhan tidak bisa
merasakan BAK sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit Pasien juga mengeluh
kan demam. Demam terus menerus dan pasien mengeluhkan nyeri didaerah perut
bagian bawah. Awalnya 2 bulan yang lalu, pasien merasakan nyeri saat BAK dan
selalu merasakan penuh di dalam perutnya. Pasien juga merasakan BAK disertai
darah. Pasien juga mengeluh terdapat benjolan disekitar perut bawahnya yang
semakin membesar. Sejak 4 bulan yang lalu pasien merasakan sulit BAK dan BAB.
BAB disertai dengan darah dan berbentuk kecil-kecil. Pasien mengeluhkan berat
badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik abdomen, pada palpasi diperoleh nyeri tekan (+) pada
supra pubic dan teraba massa di regio hipogastric, irreguler, konsistensi padat,
immobile. Pada pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan abdomen tanpa kontras
diperoleh Meteorismus dengan tumor intra abdomen ukuran 11,9x17,7 m 2. Kemudian
pasien dilakukan pro open biopsi perlaparatomi untuk menegakkan diagnosis kerja
pasti pemeriksaan mikroskop jaringan.

31
Bedasarkan teori untuk menegakkan diagnosis GIST secara klinis tidak
tampak gejala yang khas dari tumor ini, biasanya penderita mengeluh rasa tidak enak
pada bagian perut. Kadang-kadang dapat disertai dengan perdarahan pada saluran
cerna berupa hematemesis maupun melena. Gejala ini biasanya timbul sebagai
manifestasi dari ulserasi dan perdarahan. Pada sebagian kasus dapat dijumpai massa
yang palpable pada abdomen. Gastrointestinal Stromal Tumor ini mempunyai
spectrum yang luas, yaitu mulai dari benign sampai malignan. Pada tumor yang
sangat kecil biasanya asimtomatis dan terdeteksi secara kebetulan dengan endoskopi.
Pada GIST yang kecil, tampak sebagai nodul pada serosa, subserosa atau intramural
yang biasanya dijumpai secara kebetulan pada pemeriksaan endoskopi ataupun
operasi abdomen. Pada tumor yang besar dapat menonjol kedalam lumen usus atau
kedalam lapisan serosa. Pada pemotongan, GIST dapat berupa massa yang kenyal
sampai rapuh , sering disertai dengan focus perdarahan. Pada tumor yang besar
tampak nekrosis dan perdarahan yang massif dan kadang kadang disertai dengan
pembentukan kista. Sedangkan gambaran mikroskopis GIST terdiri dari 3 type , yaitu:
Type spindel sel, type epitheloid dan type campuran yang merupakan campuran dari
dua type sebelumnya. Untuk mengetahui type dan grading maka diperlukan
pembedahan untuk dilakukan biopsi dan dilakukan pemeriksaan anatomi pada labor
patologi anatomi. Terapi akan dilakukan sesuai dengan grade dari hasil biopsi
jaringan.(3)

Kunjungan Pra Anestesi


Kunjungan pra anestesia dilakukan sebelum operasi, untuk memberi penjelasan
mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang dilakukan. Pada kunjungan
tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum, keadaan fisik
dan mental penderita. Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists
(ASA), keadaan pasien Tn. S tergolong ke ASA II, yaitu Pasien dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang dan emergensi.(2)

Pemilihan Jenis Anestesi


Pasien ini direncanakan untuk dilakukan open biopsi perlaparotomi. Anestesi lokal
yang digunakan pada open biopsi per laparatomi kasus ini adalah anestesi spinal
berdasarkan indikasi dan efek samping obat anestesi.

32
Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan, dengan
tujuan melancarkan anastesia. Tujuan premedikasi sangat beragam, diantaranya:(2)
- Mengurangi kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu dexametasone 10 mg (IV)
Ondansentron 4 mg (IV), dan Ranitidine 50 mg (IV) yang seharusnya diberikan 1-2
jam sebelum dilakukan anestesi.

Anestesi Spinal
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala
menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra
lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27 ditusukkan
dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian
dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.Spinal
anestesi menggunakan Bupivacaine HCL hiperbarik. Bupivacain merupakan anestesi
lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa
sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok
proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel.(2,4)

Monitoring Intraoperatif
Pada pasien dengan anestesi spinal, maka perlu dilakukan monitoring tekanan
darah serta nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah
yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-
30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi dan bradikardi merupakan salah
satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja dari syaraf

33
simpatis. Namun bila dengan cairan infus masih terjadi hipotensi, maka dapat
diberikan vasopresor berupa efedrin dengan dosis 10 mg intravena yang dapat diulang
tiap 3-4 menit sampai tekanan darah yang dikehendaki.

Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid secara
intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang pindah
ke ruang ketiga. Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak
1000 ml (2 kolf) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang karena pasien sudah tidak makan dan minum ± 6 jam.

Kebutuhan cairan pasien ini


Diketahui :
 Berat badan : 40 kg
 Lama puasa : 6 jam
 Lama anestesi : 2 jam
 Stress operasi : Sedang
 Maintenance (M)
M = 2 cc/kgBB
M = 2 cc x 40
M = 80 cc
 Pengganti Puasa (P)
P = 2cc x jam puasa x BB
P = 2 x 6 x 40
P = 480 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (operasi sedang)
O = 40 x 6 cc
O = 240 cc

34
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I= ½ (P) + M + O
= ½ (480) + 80 + 240
= 560 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼(480) + 80 + 240
= 440 cc
 EBV = 75 x BB
= 75 x 40
= 3000 cc
 EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 3000 cc 600 cc

Total kebutuhan pada pasien ini yaitu:


- 560 cc pada jam pertama dan 440 cc pada jam kedua
- 100 cc untuk mengganti kehilangan cairan pada perdarahan intraoperatif
Jumlah seluruh cairan yaitu 1100 cc, maka pemberian 1000 ml kristaloid selama
operasi kurang mencukupi kebutuhan cairan pasien.

35
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan
yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum
pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi pada kasus ini berlangsung dengan baik.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Skripsi
2. Latief SA, Suryadi KA, dan Dachlan MR, Eds. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi Ke-2. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.
3. gist
4. Urmand D. Richard, Ehrenfeld Jesse M. Pocket Anesthesia. USA. Lippinc tt
WiIliams &Wilkins; 2009
5. Medscape. Subarachnoid Spinal Block. 2015
http://emedicine.medscape.com/article/284801-overview#showall
6. Medscape. Perioperative Medication Management. 2015.
http://emedicine.medscape.com/article/284801-overview#showall

37

Anda mungkin juga menyukai