Anda di halaman 1dari 31

RESPONSI

CLOSED FRACTURE ANTEBRACHII 1/3 DISTAL SINISTRA

Pembimbing :

Dr. Bimo Sasono, dr., Sp.OT (K)

Penyusun :

Alriska Agni Nanggala Putri

201704200189

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
RSUD DR. MOHAMMAD
SOEWANDHIE SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI
CLOSED FRACTURE ANTEBRACHII 1/3 DISTAL SINISTRA

Responsi dengan judul “CLOSED FRACTURE ANTEBRACHII 1/3


DISTAL SINISTRA” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas
dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik Dokter Muda di
bagian Ilmu Bedah Orthopedi di RSUD Dr. Mohammad Soewandhie
Surabaya.

Surabaya, 05 Desember 2019


Pembimbing

Dr. Bimo Sasono, dr., Sp.OT (K)


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

DAFTAR ISI

BAB I
I. Identitas
II. Anamnesa
III. Pemeriksaan fisik
IV. Resume
V. Assesment
VI. Planning
VII. Prognosa

BAB II
2.1 Anatomi Antebrachii
2.2 Fraktur Antebrachii
2.3 Klasifikasi
2.4 Proses Penyembuhan Tulang
2.5 Waktu Penyembuhan Tulang
2.6 Penatalaksanaan Fraktur
2.7 Komplikasi
2.8 Prognosis

DAFTAR PUSTAKA
RESPONSI ILMU BEDAH

Pembimbing : Dr. Bimo, dr., Sp.OT (K)


Penyusun : Alriska Agni Nanggala Putri
NIM : 2017.04.200.189

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. N
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Penghela No. 8, Surabaya
Tanggal Masuk : 28 November 2019
Tanggal Pemeriksaan : 05 Desember 2019

II. ANAMNESA

1. Keluhan Utama
Nyeri pada tangan kiri.

2. Keluhan Tambahan : Bengkak.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien diantar oleh Tim Gerak Cepat (TGC) ke IGD RS Dr.
M. Soewandhie pada tanggal 27 November 2019 pukul 21.00 dengan
keluhan nyeri pada tangan kiri ketika digerakkan, nyeri dirasakan
setelah pasien terjatuh karena tersandung di Taman Mundu. Pasien
terjatuh ke kiri dengan posisi tangan menumpu badannya. Pasien
juga mengatakan tangannya bengkak. Tidak terjadi penurunan
kesadaran, mual, muntah dan sakit kepala disangkal. Tidak ada nyeri
pada perut, BAB dan BAK normal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi (+)
Penyakit Jantung (+)

5. Riwayat penyakit Keluarga :


Ayah : Hipertensi (+)

6. Riwayat Pengobatan :
Amlodipin

III.PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 4-5-6
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 58 kg
Vital Sign :
 Tekanan darah : 153/83 mmHg
 Nadi : 78 x/menit, reguler
 Respiratory Rate : 20 x/menit
 Suhu : 36,80 C axiller
Kepala dan Leher :
 Konjungtiva Palpebra : tidak tampak anemis
 Sklera : tidak tampak icterus
 Reflex Pupil : ( +/+ ), isokor
 Gerak Bola Mata : simetris
 Nafas Cuping Hidung : (-)
 Deviasi Trachea : (-)
 Pembesaran KGB : (-)
 Pembesaran kel. Thyroid : ( - )
 JVP : tidak meningkat
Thorax :
 Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung kanan & kiri dalam batas


normal

Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)


 Pulmo

Inspeksi : Normochest

Palpasi : Gerak nafas simetris

Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : Vesikuler pada seluruh lapang paru

Rhonki -/-, Wheezing -/-


Abdomen
 Inspeksi : Simetris, distensi (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-),

Hepar / Lien / Ginjal tidak teraba


 Perkusi : Tympani, meteorismus (-)
 Auskultasi : Bising usus dalam batas normal
Ekstremitas

 Ekstemitas atas : Akral hangat +/+, edema -/+, CRT < 2


detik

 Ekstemitas bawah : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2


detik

Status Lokalis
Regio Antebrachii sinistra
 Look
Angulasi (+), Rotasi (-), Bone expose (-), edema (+),
hematom (-), Deformitas (+) pada regio femur sinistra
anterior, vulnus excoriatum (-). Vulnus laceratum (-), pus
(-), darah (-).

 Feel
Oedem (-), Nyeri tekan (+), panas (-), krepitasi (+), CRT <
2 detik

 Movement
Nyeri gerak aktif dan pasif (+), ROM terbatas karena
nyeri (+), false movement sde karena pasien nyeri.

IV. RESUME
1. Anamnesa
Nyeri pada tangan kiri ketika digerakkan dan bengkak pasca
jatuh tersandung.
2. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Status generalis : Dalam batas normal
 Status lokalis :
Regio antebrachii sinistra : angulasi (+), edema (+), deformitas
(+), nyeri tekan (+), krepitasi (+). Nyeri gerak aktif dan pasif
(+), ROM terbatas karena nyeri (+).

V. ASSESMENT

Close Fracture Antebrachii 1/3 Distal Sinistra


VI. PLANNING
1. Planning Diagnosa :
a. Foto Rontgen :
Foto polos antebrachii sinistra AP/Lateral

Diagnosa Radiologis : Close Fracture Radius Ulna 1/3 Distal Sinistra

b. Laboratorium
(28 November 2019)
Darah Lengkap + Diff
Hb : 12,6 g/dl
Eritrosit : 5,77x10^6/uL (H)
Hct : 39,1 %
Lekosit : 8,16x10^3/uL
Hitung Jenis
Eosinofil : 0,2 % (L)
Basofil : 0,2 %
Neutrofil : 77,6 % (H)
Limfosit : 12,9 % (L)
Monosit : 9,1 % (H)
Trombosit : 307x10^3/uL
Koagulasi
PT : 10,3 detik
INR : 0,92
APTT : 27,5 detik (L)
Kimia Darah
SGOT : 24 U/L
SGPT : 19 U/L
GDA : 98 mg/dl
BUN : 11 mg/dl
Creatinin : 0,7 mg/dl
Natrium : 138 mmol/L
Kalium : 3,6 mmol/L

2. Planning Terapi :
 Konservatif :
o Bed Rest dengan menyarankan pasien untuk MRS
o Pasang Bidai
 Operatif :
Indikasi untuk pasien ini : Open Reduction Internal
Fixation (ORIF) dengan indikasi mobilisasi dini.

3. Planning Monitoring
 Untuk konservatif perlu dimonitoring :
o Alignment, untuk menilai deformitas seperti
discrepancy, angulasi dan rotasi
o Alergi terhadap bandage
o Komplikasi :
 Infeksi
 Kegagalan penyambungan (non-union)
 Parese saraf
o Konsul foto 1x24 jam setelah dilakukan tindakan
 Untuk operatif perlu dimonitoring :
o Komplikasi :
- Perdarahan dan shock
- Emboli lemak
- Infeksi
- Perlukaan pada struktur soft tissue (arteri, vena
dan nervus)
o Pasca operasi latihan mobilisasi dengan non weight
bearing
o Foto polos antebrachii sinistra AP/lateral setelah
dilakukan tindakan
o Kontrol poli post operasi 1 minggu kemudian

VII. PROGNOSA
Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Antebrachii


2.1.1 Anatomi Radius

Radius adalah tulang lengan bawah bagian lateral.


Tulang ini melebar pada ujung proksimal dan distal; dan
bagian distal ada bagian yang lebih lebar. Tulang radius
bagian tengah melebar dengan cepat saat menuju ujung
distal, berbentuk konveks pada bagian lateral dan konkav
pada bagian anterior (Ellis H., 2006).

Ujung proksimal meliputi kepala, leher dan tuberositas.


Kepala berbentuk diskoid, permukaan proksimal berbentuk
cekungan dangkal untuk kapitulum humeri. Bagian pinggiran
artikular yang halus terdalam secara vertikal pada bagian
medial dan vertikal, di mana yang berhubungan dengan
tonjolan ulnaris radial. Permukaan posterior teraba dalam
depresi kecil di sisi lateral bagian belakang siku. Bagian leher
merupakan penyempitan distal ke arah kepala. Tuberositas
adalah sebelah distal dari bagian medial leher; bagian
posteriornya kasar dan bagian anterior biasanya halus (Ellis
H., 2006).

Bagian shaft / tengah ini memiliki konveksitas lateral,


dan bentukan segitiga. Perbatasan interoseus merupakan
bagian yang tajam, kecuali pada dua bidang: proksimal (dekat
tuberositas), dan distal, di mana batas interoseus adalah
margin posterior suatu bagian kecil yang memanjang,
berbentuk segitiga, dan proksimal dari ulnar notch. Kedua
daerah membentuk permukaan medial. Membran interoseus
melekat ke ¾ bagian distal, dan menghubungkan radius ke
ulna. Batas anterior terlihat jelas di kedua ujungnya. Bagian
ini turun pada sisi lateral dari bagian anterolateral dari
tuberositas sebagai garis oblique anterior, yang pada bagian
distal menjadi tajam teraba sepanjang margin lateral dari
permukaan anterior. Batas posterior dapat dilihat dengan baik
hanya pada bagian 1/3 tengahnya: bagian proksimal naik
secara medial menuju bagian posteroinferior dari tuberositas,
dan pada bagian distal hanyalah berbentuk ujung bulat.
Permukaan anterior, antara batas anterior dan interoseus,
berbentuk cekung secara transversal dan menunjukkan
kelengkungan distal depan. Dekat titik tengahnya ada
foramen dan kanal nutrisi yang mengarah ke proksimal.
Permukaan posterior, antara interoseus dan perbatasan
posterior, sebagian besar datar tapi dapat sedikit berongga di
daerah proksimal. Permukaan lateral sedikit konveks. Pada
bagian proksimal, karena kemiringan dari batas anterior dan
posterior, bagian ini melampaui aspek anterior dan posterior
dan pada bagian ini menjadi sedikit lebih kasar. Area yang
iregular dan berbentuk oval terdapat di dekat bagian tengah
dan memiliki permukaan yang halus (Ellis H., 2006).

Ujung distal adalah bagian terluas. Bagian ini memiliki


empat-sisi. Permukaan lateral sedikit kasar, menonjol ke arah
distal sebagai prosesus styloid yang bisa diraba ketika tendon
di sekitarnya yang kendur. Permukaan artikular karpal dibagi
oleh tonjolan menjadi daerah medial dan lateral. Bagian
medial berbentuk segi empat, sedangkan lateral berbentuk
segitiga dan melengkung ke prosesus styloid. Permukaan
anterior adalah tonjolan tebal dan prominen dan teraba
bahkan melalui tendon atasnya, 2 cm proksimal ke eminensia
tenar. Permukaan medial adalah ulnar notch, dimana
berbentuk konkav halus anteroposterior untuk artikulasi
dengan kepala ulna. Permukaan posterior menampilkan
tuberkulum dorsal yang dapat teraba (tuberkulum Lister),
yang dibatasi pada bagian medial oleh cekungan oblik dan
sejalan dengan celah antara jari telunjuk dan jari tengah.
Lateral dari tuberkulum terdapat celah yang lebar dangkal,
yang dibagi oleh daerah vertikal yang tipis (Ellis H., 2006).

2.1.2 Anatomi Ulna

Ulna terletak medial dari radius pada lengan bawah


dalam posisi supinasi. Ujung proksimal adalah kait besar
yang cekung ke depan. Batas lateral dari batang radius
adalah krista interoseus tajam. Tulang berkurang secara
progresif dari massa proksimal di hampir seluruh panjang
tulang, tetapi pada ujung distal membesar menjadi kepala
bulat kecil dan prosessus styloid. Batang ulna adalah
berbentuk segitiga dan tidak memiliki kurva ganda. Panjang
keseluruhannya sedikit cembung kearah posterior. Pada
bagian mediolateral, permukaannya berliku-liku. Bagian
proksimal memiliki sedikit kelengkungan konkav lateral, dan
bagian distal kelengkungan konkav pada bagian medial (Ellis
H., 2006).
Ujung proksimal terdiri dari olekranon yang besar dan
prosesus koronoideus dan troklear dan radial notch yang
mengartikulasikan humerus dan radius. Olekranon terletak
lebih proksimal dan membengkok ke depan pada puncaknya
seperti paruh, yang memasuki fossa olekranon humerus pada
posisi ekstensi. Permukaan posteriornya halus, triangular dan
subkutan, dan perbatasan proksimal membentuk 'titik' siku.
Saat ekstensi, bagian ini dapat dirasakan di dekat sebuah
garis yang menghubungkan epikondilus humerus, tetapi pada
saat fleksi bagian ini turun, sehingga tiga tonjolan tulang
membentuk segitiga sama kaki. Permukaan artikular anterior
membentuk daerah proksimal troklearis notch. Dasarnya
sedikit menyempit di mana bagian ini bergabung dengan
batang ulna dan merupakan bagian tersempit dari proksimal
ulna. Prosesus koronoideus memanjang anterior ke distal
olekranon. Aspek proksimalnya membentuk bagian distal
troklearis notch. Pada permukaan lateral, distal dari troklearis
notch, terdapat radial notch yang dangkal, oval dan halus
yang berartikulasi dengan kepala radial. Sebelah distal dari
radial notch, permukaannya berongga untuk menampung
tuberositas radial selama pronasi dan supinasi. Permukaan
anterior koronoideus berbentuk segitiga. Bagian distalnya
merupakan tuberositas ulna. Batas medialnya tajam dan
pengenai tuberkulum minor pada bagian proksimal.
Troklearis notch berartikulasi dengan troklea humerus.
Bagian ini menyempit pada persimpangan prosesus
olecranon dan koronoideus, di mana permukaan artikular
mereka dapat dipisahkan oleh satu jalur sempit non-artikular
yang kasar. Sebuah tonjolan halus, sesuai dengan alur pada
troklea humerus, membagi notch menjadi bagian medial dan
lateral. Medial selaras dengan troklearis flange. Radial notch,
sebuah depresi proksimal oval atau lonjong pada aspek
lateral prosesus koronoideus, berartikulasi dengan kepala
radial perifer, dan dipisahkan dari troklearis notch oleh
tonjolan halus (Ellis H., 2006).
Shaft berbentuk segitiga pada bagian ¾ proksimal, tapi
pada bagian distal hampir silinder. Memiliki permukaan
anterior, posterior dan medial dan interoseus, perbatasan
posterior dan anterior. Perbatasan interoseus adalah puncak
lateral pada pertengahan 2/4 media. Pada bagian proksimal
menjadi supinator crest, yang terus-menerus dengan batas
posterior dari depresi distal ke radial notch. Batas anterior
yang bulat mulai medial tuberositas ulnaris, turun ke
belakang, dan biasanya dapat dilacak ke dasar prosesus
styloid. Batas posterior, juga bulat, turun dari puncak aspek
posterior olecranon, dan kurva lateral untuk mencapai proses
styloid. Ini bisa diraba seluruh panjangnya dalam alur
longitudinal yang paling jelas ketika siku sepenuhnya tertekuk
(Ellis H., 2006).
Permukaan anterior, di antara perbatasan interoseus
dan anterior, memiliki alur longitudinal. Proksimal dari titik
tengahnya ada foramen nutrient, yang mengarah proksimal
dan berisi cabang dari arteri interosea anterior. Di distal
disilangkan miring dari interoseus ke perbatasan anterior.
Permukaan medial, antara batas anterior dan posterior,
adalah secara melintang cembung dan halus. Permukaan
posterior, antara batas posterior dan interoseus, dibagi
menjadi tiga area. Yang paling proksimal dibatasi oleh garis
miring kadang-kadang samar naik lateral dari persimpangan
pertiga menengah dan atas dari batas posterior ke ujung
posterior dari radial notch. Bagian di distal dari garis ini dibagi
oleh tonjolan vertikal menjadi bagian yang lebih lebar pada
sisi medial dan bagian yang lebih sempit pada sisi lateral, dan
biasanya terpisah pada bagian ¾ proksimal (Ellis H., 2006).
Ujung distal sedikit diperluas dan memiliki caput dan
prosesus styloid. Caput terlihat dalam pronasi pada aspek
posteromedial karpal, dan dapat mencengkeram ketika
tangan supinasi difleksikan. Permukaan artikular lateral yang
cembung yang sesuai ulnaris radial notch. Permukaan distal
dipisahkan dari tulang pergelangan tangan oleh diskus
artikularis, apeks yang terpasang ke daerah kasar antara
permukaan artikular dan proses styloid. Yang terakhir,
pendek, bulat, proyeksi posterolateral dari ujung distal ulna,
bisa diraba (paling mudah dalam supinasi) 1 cm proksimal
terhadap bidang yang styloid radial. Sebuah alur vertikal
posterior terdapat antara caput dan prosesus styloid (Ellis H.,
2006).
Gambar 2.1 Radius dan Ulna beserta otot-otot penting dan perlekatan
ligamentum.

2.2 Fracture Antebrachii


2.2.1 Definisi
Fraktur antebrachii (radius-ulna) tertutup adalah
terputusnya hubungan tulang radius dan ulna yang
disebabkan oleh cedera pada lengan bawah, baik trauma
langsung maupun trauma tidak langsung (Helmi, 2013).

2.3 Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan etiologi
 Fraktur traumatik
Karena trauma yang yang terjadi secara tiba-tiba yang mengenai
tulang secara langsung maupun tidak langsung. Pada benturan
yang langsung, tulang patah pada tempat benturan, contoh:
fraktur ulna yang disebabkan benturan pada lengan bawah.
Pada benturan yang tidak langsung, tulang patah pada tempat
dengan jarak tertentu dari tempat benturan awal, contoh yang
umum adalah: fraktur spiral pada tibia dan fibula karena adanya
perputaran lengan, kompresi vertebra karena adanya fleksi hebat
vertebra secara tiba-tiba dan fraktur avulsi yang disebabkan
traksi kasar oleh otot, tendon, dan ligamen.
 Fraktur patologis
Karena kelemahan tulang akibat keadaan patologis tulang.
Contohnya : osteoporosis, tumor tulang (osteolitik), Paget’s
disease.
 Fraktur stress
Karena trauma yang terus menerus pada suatu tempat tertentu.
Hal ini paling sering terjadi pada tibia dan fibula atau metatarsal,
khususnya pada atlet , penari ataupun tentara yang berjalan kaki
jauh.
2. Klasifikasi klinis
 Fraktur tertutup
Fraktur yang tidak ada hubungan dengan dunia luar.
 Fraktur terbuka
Fraktur yang mempunyai hubungan dunia luar melalui luka pada
kulit dan jaringan lunak. Bisa dari dalam (from within) atau dari
luar (from without).
 Fraktur dengan komplikasi
Fraktur dengan komplikasi misal infeksi tulang, malunion,
delayed union dan nonunion.
3. Klasifikasi radiologis
 Lokasi
 Diafisis
 Metafisis
 Intra artikular
 Fraktur dengan dislokasi
 Konfigurasi
 Tranfersal : garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-
100o dari sumbu tulang)
 Oblik : garis patah tulang membentuk sudut pada sumbu
tulang (<80o atau >100o dari sumbu tulang)
 Longitudinal : garis patah mengikuti sumbu tulang
 Spiral : garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih.
 Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
 Komminutifa : fraktur lebih dari 2 fragmen fraktur dimana
garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
 Avulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot yang insersinya pada tulang.
 Depresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang kearah permukaan lain.
 Impaksi : satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
 Fraktur epifisis

Transverse Oblique Butterfly Spiral Communited Segmental


fracture fracture Fragment fracture fracture fracture

Gambar 2.2 Gambar fraktur menurut konfigurasi


Gambar 2.3 Berdasarkan konfigurasi

 Ekstensi
 Total/ komplit : tulang patah terbagi menjadi dua bagian
(fragmen) atau lebih
 Tidak total (crack)/ parsial : terdapat garis fraktur tetapi
periosteum tulang masih tampak menyatu. Fraktur parsial
terbagi menjadi :
a. Fissure/Crack/Hairline – tampak garis fraktur tulang tetapi
tulang masih tampak menyatu, biasa terjadi pada tulang
pipih
b. Greenstick Fracture – tampak tulang melengkung dan
terjadi fraktur inkomplit. Biasa terjadi pada anak-anak dan
pada os radius, ulna, clavicula, dan costae.
c. Buckle Fracture – merupakan fraktur incomplete pada
batang tulang panjang yang ditandai adanya penonjolan
korteks dan sering terjadi pada anak-anak. Biasa terjadi
karena adanya kompresi pada sumbu axial.
Hair-line fracture Greenstick fracture Buckle/Torus

 Hubungan antar fragmen


 Undisplaced (tidak bergeser) : fragmen tulang masih terdapat
pada tempat anatomisnya.
 Displaced (bergeser)
- Shifted Sideways – pergeseran tulang kea rah medial atau
lateral
- Angulated – membentuk sudut tertentu
- Rotated – memutar
- Distracted – saling menjauh karena ada interposisi
- Overriding – garis fraktur tumpang tindih
- Impacted – satu fragmen masuk ke fragmen yang lain

Gambar 2.4 fraktur menurut hubungan antar fragmen


2.4 Proses Penyembuhan Tulang
1. Penyembuhan dengan callus

A. Kerusakan jaringan dan pembentukan Haematome


 Pembuluh darah robek dan terjadi hematom pada daerah
fraktur.
 Tulang pada tempat fraktur tidak mendapatkan suplai darah
dan nantinya akan terjadi kematian sel tulang .

B. Inflamasi dan proliferasi sel


 Selama 8 jam terjadi proses inflamasi akut dengan proliferasi
sel pada periosteum dan endosteum (canalis medullary).
 Hematoma yang membeku secara perlahan akan
direabsorbsi dan akan membentuk kapiler baru.

C. Pembentukan callus
 Proliferasi sel akan membetuk osteogenik dan kondrogenik
yang akan membentuk tulang dan kartilago.
 Massa sel yang tebal membentuk callus dan membentang
pada periosteal (externa) sampai endosteal (interna).
 Osteoblas yang berasal dari sel osteogenik akan membentuk
tulang imatur/ Woven bone.
 Keseluruhan proses ini dipengaruhi protein, fibroblast growth
factor (FGF), transforming growth factor (TGF) , dan bone
morphogenic protein (BMP).
D. Konsolidasi
 Aktivitas osteolytic dan osteoblastic merubah woven bone
menjadi lamellar bone.
 Permukaannya menjadi lebih padat sehingga osteoclast
dapat melewati luka pada garis fraktur.
 Selain osteoclast terdapat osteoblast yang mengisi ruang
antar fragmen dengan tulang yang baru.
 Membutuhkan waktu beberapa bulan untuk membentuk
tulang yang kuat.
E. Remodelling
 Fraktur telah menjadi tulang yang kuat.
 Setelah beberapa bulan atau tahun, tulang akan dibentuk
ulang melalui proses resorbsi dan formasi yang berulang.

Gambar 2.5 Penyembuhan Tulang

2. Penyembuhan tanpa callus


Callus merupakan respon terhadap gerakan pada sisi
fraktur. Callus akan menstabilkan fragmen secepat mungkin
membentuk suatu kondisi untuk menghubungkan tulang.
Jika sisi fraktur diimmobilisasi, contoh pada fraktur yang
difiksasi secara internal, tidak membutuhkan proses callus.
Adanya ruang antara permukaan fraktur akan diisi oleh
pembentukan pembuluh darah baru dan sel pembentukan tulang
yang tumbuh mulai bagian dari tepi. Ketika jarak antara dua
fragmen sangat sedikit sekali (kurang dari 200 µm), osteogenesis
membentuk tulang lamellar. Jarak yang lebih lebar diisi terlebih
dahulu oleh woven bone, yang kemudian berubah menjadi tulang
lamellar.
2.5 Waktu Penyembuhan Tulang
Proses penyembuhan tulang merupakan proses yang
berkelanjutan dan tidak ada tanda spesifik untuk menentukan saat
penyatuan (union) ataupun konsolidasi. Tes yang tepat adalah tes
kekuatan tulang untuk menahan beban. Fraktur (union) adalah
penyembuhan inkomplet dan tidak aman bagi tulang penderita yang
tidak terlindungi untuk menahan beban. Callus yang meliputinya
akan mengalami kalsifikasi. Secara klinik tempat fraktur masih
sedikit nyeri, dan meskipun dapat bergerak sebagai satu potong
tulang (dalam arti ini sudah menyatu), usaha menekuknya akan
menimbulkan nyeri.
Konsolidasi juga merupakan penyembuhan yang kurang
sempurna, tetapi dapat digerakan sesuai fungsinya hanya jika
proses proses remodelling dan restorasi penyembuhan tulang
selesai. Kalus akan mengalami osifikasi. Secara klinik tempat fraktur
tidak nyeri. Fragmen-fragmen tidak dapat bergerak dan percobaan
angulasi tidak terasa nyeri.
Tingkatan perbaikan tulang bergantung pada jenis tulang
yang terlibat, tipe fraktur (fraktur transversus lebih lama daripada
fraktur spiral), suplai darah (sirkulasi yang jelek membutuhkan waktu
lebih lama), dan usia pasien (semakin usianya muda semakin cepat
penyembuhan tulangnya).

Pedoman Waktu Penyembuhan Tulang


Waktu rerata penyembuhan tulang
Ekstrmitas atas Ekstremitas bawah
Callus (+) 2-3 minggu 2-3 minggu
Union 4-6 minggu 8-12 minggu
Konsolidasi 6-8 minggu 12-16 minggu
2.6 Penatalaksanaan Fraktur
1. Recognition : diagnosis dan penilaian fraktur :
 Lokalisasi fraktur
 Bentuk fraktur
 Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
 Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengobatan.

2. Reduction : reduksi fraktur apabila perlu


Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan
posisi yang dapat diterima.Pada fraktur intra-artikuler diperlukan
reduksi anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi
normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas
serta perubahan osteoarthritis.
Posisi yang baik adalah :
 Alignment yang sempurna
 Aposisi yang sempurna

Fraktur yang tidak memerlukan reduksi :


 Fraktur pada klavikula
 Fraktur costae
 Fraktur impaksi dari humerus
 Angulasi < 50 pada tulang panjang anggota gerak
bawah dengan lengan atas dan angulasi sampai 10 0

pada humerus dapat diterima.


 Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50 %
 Over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur

Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokasi frakturnya.


Ada 2 cara reduksi yaitu :
 Reduksi tertutup : Anestesi dan muscle relaxan.
Menggunakan 3 manuver yaitu:
(1) Bagian distal ditarik ke garis tulang
(2) Sementara fragmen-fragmen terlepas, fragmen direposisi
dengan mengembalikan arah kekuatan, asalkan kalau ini
dapat diperkirakan
(3) Penjajaran disesuaikan ke setiap bidang.
Cara ini paling efektif bila periosteum dan otot pada satu sisi
fraktur tetap utuh. Pengikatan jaringan lunak mencegah over
reduksi dan menstabilkan fraktur setelah direduksi.
Umumnya reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur
dengan pergeseran minimal, sebagian besar pada fraktur
anak-anak dan pada fraktur yang stabil setelah direduksi.
 Reduksi terbuka
Indikasinya :
(1) Bila reduksi tertutup gagal karena sulit kontrol fragmen
dan ada jaringan lunak diantara fragmen-fragmen fraktur
(2) Bila ada fragmen artikular yang butuh posisi yang akurat
(3) Fraktur avulsi
(4) Bila terjadi cedera ikutan misal cedera arteri
(5) Sebagai langkah pertama untuk pemasangan internal
fiksasi.

3. Retention : imobilisasi fraktur untuk mencegah pergeseran,


menurunkan nyeri dan memperantarai penyembuhan. Caranya
berupa :
a. Traksi : dipakaikan pada bagian distal fraktur dan
untuk menarik terus-menerus sepanjang aksis tulang.
Efektif pada fraktur tulang panjang. (1) traksi grafitasi
(2) balance traksi (skin dan skeletal traksi) diberi
beban 4-5 kg (3) fixed traksi.
b. Cast splintage : banyak digunakkan. Terutama pada
distal fraktur dan fraktur pada anak. Cukup aman dan
dapat imobilisasi fraktur dengan baik. Kompliksi
pemakaian terlalu ketat dapat menyebabkan
hambatan vascular, decubitus, perlukaan kulit dan bila
telalu longgar karena bengkak menghilang maka
harus diganti.
c. Fungsional bracing : banyak digunakkan pada fraktur
femur dan tibia. Karena tidak terlalu rigid maka
digunakkan bila fraktur mulai union, misal setelah 3-6
minggu setelah traksi atau splintage.
d. Internal fiksasi : fragmen tulang difiksasi
menggunakkan sekrup, pin, plate, intramedullary nail,
pita yang melingkar dan kombinasi teknik tersebut.
Keuntungannya mempu menahan fragmen dengan
baik dan tidak menimbulkan kekakuan sendi dan
edema. Kerugian dapat menimbulkan infeksi.
Indiksasi fiksasi interna : (1) fraktur yang tidak bisa di
reduksi tanpa operasi (2) fraktur yang tidak sabil dan
kemungkinan akan bergeser setelah reduksi (3)
fraktur collum femoris (4) fraktur patologis (5) fracture
multiple.
e. Eksternal fiksasi : prinsipnya tulang difiksasi diatas
dan dibawah fraktur dengan pin, sekrup atau kawat
yang kuat dan dihubungkan diluar dengan balok yang
kuat. Indikasinya dalah (1) fraktur dengan kerusakan
jaringan yang parah (2) fraktur comminutifa dan
unstable (3) fraktur pelvis yang tidak dapat dikontrol
dengan berbagai metode (4) fraktur dengan
kerusakan saraf dan pembuluh darah (5) infeksi pada
fraktur (6) fraktur non union dimana terdapat fragmen
yang mati dan sklerotik. Kompliksai eksternal fiksasi
adalah kerusakan jaringan lunak dan infeksi disekitar
jalur pin.
4. Rehabilitation :
Lebih tepatnya memulihkan fungsi, bukan saja pada
bagian yang mengalami cedera tetapi juga pada pasien secara
keseluruhan. Tujuannya adalah mengurangi edema,
mempertahankan gerakan sendi, memulihkan kekuatan otot,
dan memandu pasien kembali ke aktifitas normal.

2.7 Komplikasi
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan
tidak adanya nadi, CRT (capillary refil time) menurun, sianosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi,
dan pembedahan.
2) Kompartment Sindrom
Kompartment sindrom merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh
oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti
gips dan pembebatan yang terlalu kuat. Tanda-tanda sindrom
kompartemen (5P) sebagai berikut:
(1) Pain (nyeri lokal)
(2) Pallor (pucat bagian distal)
(3) Pulsessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi,
perfusi yang tidak baik dan CRT>3 detik pada bagian
distal kaki)
(4) Paraestesia (tidak ada sensasi)
(5) Paralysis (kelumpuhan tungkai).
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrome (FES) adalah komplikasi serius
yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hipertensi, tachypnea, demam.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma osthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superfisial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan
lain dalam pembedahan sperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang dan diawali dengan adanya Volkman Ischemia (Helmi,
2013).

b. Komplikasi Dalam Waktu Lama


1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
(bergabung) sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang
untuk menyambung.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang di tandai dengan
perubahan bentuk (deformitas).
2.8 Prognosis
Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang
menakjubkan. Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami
fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian tentang
reaksi tulang yang hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur
mulai terjadi segera setelah tulang mengalami kerusakan apabila
lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi
konsolidasi. Faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen
tulang secara fisik sangat penting dalam penyembuhan, selain faktor
biologis yang juga merupakan suatu faktor yang sangat esensial
dalam penyembuhan fraktur (Apley GA, 1995).
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee of Trauma


(ACSCOT). 2008. Advanced Trauma Life Support
for Doctor. Chicago: ATLS Student Course Manual.

Apley GA, Solomon L. Buku ajar ortopedi dan fraktur


sistem Apley. Edisi ke-7. Jakarta, 1995. Widya
Medika

Ellis Harold. 2006. Clinical Anatomy A Revision and Applied Anatomy


for Clinical Students Eleven Edition. Blackwell Publishing :
USA

Holmes, Erskin J., Misra, Rakesh R. A-Z of Emergency


Radiology. Cambridge University, 2004. Page 140-
143

Miller MD, Thompson SR, Hart JA. Review of Orthopaedics 6th


Edition. Philadelphia; Saunder Elsevier. 2012. p. 315-6.

Mostofi SB. Fracture Classification in Clinical Practice. London:


Springer. 2006. 59-60.

Nalyagam S. Principles of Fractures. In: Solomon L. Apley’s System


of Orthopaedics and Fractures. Ninth edition. UK: 2010. p.
687-693

Rasjad, C. 2015. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi ke-


8. Jakarta: Yarsif Watampone.
Salter B, Textbook of Disorders and injuries of the Muskuloskeletal
System, 3rd edition, 1999, USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Solomom L., Apley’s Concise System of Orthopaedics and Fractures,


3rd edition, 2005, Hodder Arnold.Standring.

Thompson, J. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy, 2nd


Ed. Elsevier Saunders, 2010. Hal: 251, 266 - 268.

Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Chen,


John W. Musculoskeletal Imaging in Primer of Diagnostic
Imaging, 4th Edition. Mosby Elsevier. United States. 2007.
Page 408-410

Wiesel Sam W, Delahay Jhon N. 2006. Essential Of Orthopedic


Surgery 3rd Edition. Springer Science + Bussines Media :
USA, p 40-83

Anda mungkin juga menyukai