Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior / April 2021


** Pembimbing dr. Widuri Astuti, Sp. An

GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN OPERASI VP SHUNT ATAS


INDIKASI HYDROCEPHALUS

Aldo Victoria * dr. Widuri Astuti, Sp. An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN OPERASI VP SHUNT ATAS


INDIKASI HYDROCEPHALUS

Oleh :

Aldo Victoria

G1A219082

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI / RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
2021
Jambi, April 2021

dr. Widuri Astuti, Sp. An


KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session yang
berjudul General Anestesi Pada Operasi vp shunt Atas Indikasi Hydrocephalus
Sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Widuri Astuti, Sp. An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Provinsi Jambi.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari pihak lain sangat diharapkan guna
kesempurnaan laporan Case Report Session ini, sehingga dapat bermanfaat bagi
penulis dan para pembaca.

Jambi, April 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
General anestesi atau anestesi umum yaitu meniadakan nyeri secara sentral
dan menghilangkan kesadaran secara reversible. Perhatian utama pada anestesi
umum adalah keamanan dan keselamatan pasien yang salah satunya ditentukan oleh
kestabilan pernapasan dan hemodinamik. Keuntungan teknik anestesi ini adalah
pasien tertidur selama pembedahan dan terbangun setelah di ruang pemulihan
sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan dengan optimal.

Hidrosefalus adalah pembesaran ventrikel yang abnormal karena akumulasi


CSF yang berlebihan akibat gangguan aliran, penyerapan atau, sekresi yang tidak
biasa. Volume normal CSF adalah 140 ml. CSF diproduksi oleh pleksus koroid di
ventrikel dengan kecepatan 0,4 ml per menit (atau sekitar 500 ml dalam 24 jam).
CSF mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen Monro ke ventrikel ke-3
melalui aqueduct Sylvius ke ventrikel ke-4 dan kemudian melalui foramina
Magendie dan Luschka ke ruang subarachnoid dan basal cisterna. CSF bersirkulasi
di seluruh ruang subarachnoid tulang belakang dan naik ke basal cisterna melalui
hiatus tentorial. Kemudian mengalir pada hemisfer serebri dan sebagian besar
diserap oleh vili arachnoid dari sinus dural.

Penyebab kongenital yang paling umum adalah stenosis aqueduct Sylvius.


Atresia kongenital dari foramen Luschka dan Magendie (kista Dandy-Walker)
adalah penyebab yang jarang.
Teknik operasi hidrosefalus dibagi menjadi ventriculoperitoneal shunt dan
endoscopicthird ventriculostomy. Pada operasi ventrikuloperitoneal shunt
diperlukan manajemen anestesi umum yang spesifik terkait dengan keadaan pada
pasien hidrosefalus yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial. Prinsip
shunting adalah untuk membangun komunikasi antara CSF (ventrikel atau lumbar)
dan rongga drainase (peritoneum, atrium kanan, pleura). Sebuah
ventriculoperitoneal (VP) shunt paling sering digunakan. Pada Ventriculoperitoneal
shunt (VP-shunt), dilakukan pemasangan shunt silikon untuk penyaluran cairan

4
otak yang berlebihan dari ventrikel otak ke rongga peritoneum (untuk diserap) ke
dalam perut.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Adkayra Salsabila
Tanggal Lahir : 10 September 2020
Umur : 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 74 cm/ 9 kg
Gol. Darah : O+
Alamat : Muara Jambi
No. RM : 966357
Ruangan : Bedah
Diagnosa : Hidrocephalus
Tindakan : Pro VP Shunt

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
Keluhan utama:

Kepala semakin lama semakin membesar

Riwayat perjalanan penyakit :

Keluhan kepala semakin lama semakin membesar. Awalnya orang tua os tidak
menyadari perubahan yang dialami os, namun, setelah itu orang tua os mengatakan
bahwa kepala os semakin lama semakin membesar dan mata os menjadi lebih
cekung. Dokter mendiagnosa os dengan hydrocephalus dan menganjurkan untuk
dilakukannya operasi vp shunt.

Untuk keluhan demam (-), kejang (-), sianosis (-), sesak nafas (-), muntah proyektil
(-), BAK dan BAB (+) normal.

6
Riwayat penyakit dahulu:

 Riwayat Operasi : (-)


 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat Penyakit lain : (-)
Riwayat penyakit keluarga:

Tidak ada yang menderita keluhan serupa

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

a. Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah :-
Nadi : 100 x/I, regular, adekuat
RR : 29 x/i
Suhu : 36,7o C
b. Kepala : Makrocephal, Lingkar kepala 54,5 cm (PR Normal 32-35
cm)
c. Mata : Nistagmus (+), SI -/-, CA -/-, RC +/+, isokor +/+
d. Telinga : Normal, serumen (-), otore (-)
e. Hidung : Simetris (+), nafas cuping hidung (-),deformitas septum(-),
Rinore (-), epistaksis (-)
f. Mulut : bibir kering (-), mukosa lembab (+), labioscisis (-),
palatoscisis (-), Mallampati (Sulit dinilai)
g. Leher : Simetris, pembesaran KGB (-).
h. Thoraks
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Fremitus vokal (+/+), krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi
- Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)

7
- Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-
i. Abdomen
- Inspeksi : Perut rata, tidak ada kelainan warna kulit, tidak tampak
pelebaran pembuluh darah, tidak terdapat jaringan sikatrik, tidak tampak
massa.
- Auskultasi : Bising usus (+) normal pada lapang abdomen
- Perkusi : Timpani pada lapang abdomen
- Palpasi : Teraba supel, nyeri tekan (-)
j. Genital : dalam batas normal
k. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin ( 07-04-2021)


WBC : 14,1 x 103/L
RBC : 4,68 x 1012/L
HGB : 12,0 gr/dL
HCT : 37,2 %
PLT : 443 x 109/L
Masa Pendarahan (BT) : 1 menit
Masa Pembekuan (CT) : 3,5 menit
GDS : 102 mg/dl
Faal Hati ( 07-04-2021)
SGOT : 45 u/l
SGPT :40 u/l
Albumin : 4.2 g/dl
Globulin : 4,1 g/dl

Faal Ginjal ( 07-04-2021)


Ureum : 19 mg/dl

Creatinin : 0,16 mg/dl

8
Hasil pemeriksaan post operasi

Darah Rutin ( 21-04-2021)


WBC : 14,9 x 103/L
RBC : 4,19 x 1012/L
HGB : 10,8 gr/dL
HCT : 32,5 %
PLT : 390 x 109/L

Faal Hati (21-04-2021)


Total Protein : 6,2 g/dl
Albumin : 3,5 g/dl
Globulin : 2,7 g/dl

Elektrolit (21-04-2021)
Natrium : 138,3 mg/dl

Kalium : 4,32 mmol/L

Chlorida : 109,2 mmol/L

Calcium : 2,53 mmol/L

9
Hasil CT – scan : CT-Scan Kepala Tanpa Kontras kesan Hidrocephalus

Diagnosa : Hidrocephalus dengan kalsifikasi periventrikel dan


cysterna basal etcausa suspect TORCH

4. STATUS ASA: 1/2/3/4/5/E

5. PERSIAPAN PRA ANESTESI

- Siapkan Informed Consent dan SIO


- Puasa minimal 6 jam sebelum operasi

C. LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 20 April 2021


Nama : Adkayra Salsabila
Umur : 07 bulan
Jenis Kelamin : perempuan
TB/BB : 74 cm/ 9 kg

10
Gol. Darah : O+
Alamat : Muara Jambi
No. RM : 966357
Ruangan : Bedah
Diagnosa : Hidrochepalus
Tindakan : Pro VP Shunt
Operator : dr. Rhonaz, Sp.BS
Ahli Anestesi : dr. Sulistyowati, Sp. An

1. Keterangan Pra Bedah


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 ( E=4, V=5, M=6 )
Tanda vital : Tekanan Darah :-
Nadi : 130 x/I, regular, adekuat
RR : 29 x/i
Suhu : 36,70C
Kepala : Makrocephal, LK = 54,5 cm (Normal = 32-35 cm)

Gigi :-

Mallampati : Sulit dinilai

Thyromental : > 3 jari (> 6 cm, Memungkinkan untuk dilakukan


intubasi)

Berat Badan : 9 kg

b. Laboratorium
Darah Rutin ( 07-04-2021)
WBC : 14,1 x 103/L
RBC : 4,68 x 1012/L
HGB : 12,0 gr/dL
HCT : 37,2 %

11
PLT : 443 x 109/L
Masa Pendarahan (BT) : 1 menit
Masa Pembekuan (CT) : 3,5 menit
GDS : 102 mg/dl
Faal Hati ( 07-04-2021)
SGOT : 45 u/l
SGPT :40 u/l
Albumin : 4.2 g/dl
Globulin : 4,1 g/dl

Faal Ginjal ( 07-04-2021)


Ureum : 19 mg/dl
Creatinin : 0,16 mg/dl

2. Tindakan Anestesi
1. Diagnosa pra bedah : Hidrochepalus
2. Tindakan bedah : Pro VP Shunt
3. Status fisik ASA : ASA II
4. Malampati : Sulit Dinilai
5. Jenis anestesi : Anestesi umum ( General Anestesi)
Pramedikasi :
Jam : 09.15 WIB
Midazolam 0,05 mg/kgbb (IV)
Ondansetron 4 mg (IV)
Asam Tranexamat 20 mg/kgbb = 180 mg (IV)

6. Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop
Tube : ETT Single Lumen no 5
Airway : Goodle

12
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrin
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction
Anestesi umum :
 Induksi intravena dengan Fentanil 5 µg dan induksi inhalasi
dengan Sevofluran 2%
 Intubasi dengan ETT no.5 dengan laringoskop blade
lengkung
 Maintenance dengan Sevofluran + O2

Pemeliharaan anestesi : O2, N2O, dan Sevofluran


Posisi : Supine
Infus : Ringer Laktat
Status fisik : ASA II
Induksi mulai : 09.20 WIB
Operasi mulai : 09.30 WIB
Operasi selesai : 10.50 WIB
Berat badan pasien : 9 Kg
Durasi operasi : 1 jam 30 menit
Pasien puasa : 6 jam
Medikasi :
 Fentanyl 20 µg (IV)
 Propofol 30 mg (IV)
 Atracurium 0,25 mg/kg (IV)

13
3. Keadaan Selama Operasi
a. Letak Penderita : Supine
b. Intubasi : Oral, No. Tube : 5,0
c. Penyulit Intubasi : Tidak ada
d. Lama Anestesi : ± 1 jam 30 menit
e. Jumlah Cairan
Input :
 RL 500 ml : 500 cc
Output :
 Urine : ± 50 cc
 Perdarahan : ± 50 cc
 Cairan pus :-

g. Kebutuhan cairan pasien ini :


BB = 9 Kg
Terapi cairan
 Kebutuhan Cairan Pre operatif
a) Sepuluh kilogram pertama : 4 ml/kg/jam ( 9 kg x 4 = 36 ml/jam)

b) Sepuluh kilogram kedua : 2 ml/kg/jam

c) Sisa berat badan : 1 ml/kg/jam

Total kebutuhan cairan rumatan untuk pasien ini adalah 36 ml/jam

 Kebutuhan Cairan Intra operatif


Maintenance: (M)
= 4 cc/KgBB/jam
= 4cc x 9 kg/jam
= 36 cc/jam
Kebutuhan cairan selama operasi (1 jam) : 36 cc
 Pengganti puasa: (PP)
= Puasa x Maintenance

14
= 6 jam x 36 cc/jam
= 216 cc

 SO
= 4 cc/KgBB/jam (operasi sedang)
= 4 cc x 9 kg/jam
= 36 cc/jam

EBV = body wt (kg) x average blood volume (ml/kg)

EBV = 9 kg x 85ml/kgbb

EBV = 765 ml

ABL : EBV x (Ht – 30 ) / Ht = 765 x (32,5 – 30) / 32,5

= 58,84 cc

Kebutuhan cairan selama Operasi

 Jam I: ½ PP + M + SO = cc
½ ( 216 cc) + 36 cc + 36 cc = 108 + 36 + 36 =180 cc
 Jam II : ¼ PP + M + SO = cc
¼ (216 cc) + 36 cc + 36 cc = 54 + 36 + 36 = 126 cc
TOTAL : 306 cc

4. Monitoring
TD awal = - , Nadi =130 x/menit, RR = 29 x/menit
Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan
 Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan ke meja
operasi
09 : 00 - 130 26 100% Pemasangan alat monitoring, saturasi, nadi, oksigen 2L
 Diberikan cairan RL dan obat premedikasi (Midazolam 10 mg,
ondansentron 4 mg, Asam tranexamat)
 Pasien dipersiapkan untuk induksi
09 : 20 - 120 26 100%

15
 Pasien di berikan analgesik fentanil 20 mcg, induksi dengan
Profofol 30 mg, cek refleks bulu mata. Kemudian pasien
dipasangkan sungkup dan mulai di bagging, lalu diberikan
relaksan yaitu atracurium 0,25 mg/kgbb IV.
 Setelah di bagging selama 5 menit pasien di intubasi dengan
ETT no. 5
 Dilakukan auskultasi di kedua lapang paru untuk mengetahui
09 : 30 - 120 26 100% apakah ETT terpasang dengan benar.
 ETT di hubungkan dengan ventilator.
 ETT difiksasi dengan plester.
 Diberikan maintenance yaitu sevoflurans 2% dan N 2O 2L
 Kondisi terkontrol
09 : 45 - 125 26 100%

 Kondisi terkontrol
10 : 00 - 120 26 100%

 Kondisi terkontrol
10 : 15 - 115 26 100%

 Kondisi terkontrol
10 : 30 - 120 26 100%

 Kondisi terkontrol
10 : 45 - 120 26 100%

 Pasien napas spontan


 Dilakukan suction
10 : 45 - 125 26 100% Refleks batuk ada
 Pasien di ekstubasi
 Diberikan oksigen kemudian cek saturasi.

5. Ruang Pemulihan
 Masuk Jam : 10.55 WIB
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
 Tanda vital
TD :-
Nadi : 120 x/menit

16
RR : 25 x/menit
SpO2 : 99%
 Pernafasan : Baik
 Scoring steward:
pergerakan :2
Pernafasan :2
Kesadaran :2
Jumlah :6

Instruksi Post Operasi:

 Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit


 Puasa sampai sadar penuh
 Tirah baring tanpa menggunakan bantal
 Instruksi lain sesuai dr. Rhonaz Sp.BS

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 HYDROCEPHALUS
A. Definisi
Kata hidrosefalus diambil dari bahasa Yunani yaitu Hydro yang berarti air,
dan cephalus yang berarti kepala.5 Secara umum hidrosefalus dapat didefiniskan
sebagai suatu gangguan pembentukan, aliran, maupun penyerapan dari cairan
serebrospinal sehingga terjadi kelebihan cairan serebrospinal pada susunan saraf
pusat, kondisi ini juga dapat diartikan sebagai gangguan hidrodinamik cairan
serebrospinal.1

B. Epidemiologi
Kasus hidrocephalus merupakan salah satu masalah dalam bedah saraf yang
paling sering ditemui. Data menyebutkan bahwa hidrosefalus kongenital terjadi
pada 3 dari 1000 kelahiran di Amerika Serikat dan ditemukan lebih banyak di
negara berkembang seperti Brazil yaitu sebanyak 3,16 dari 1000 kelahiran.3,8
Sedangkan di Indonesia ditemukan sebanyak 40% hingga 50% dari kunjungan
berobat atau tindakan operasi bedah saraf.2

C. Etiologi
Penyebab hidrosefalus pada anak secara garis besar dapat dibagi menjadi
dua, yaitu penyebab prenatal dan postnatal. Penyebab prenatal Sebagian besar anak
dengan hidrosefalus telah mengalami hal ini sejak lahir atau segera setelah lahir.
Beberapa penyebabnya terutama adalah stenosis akuaduktus sylvii, malfromasi
Dandy Walker, Holopresencephaly, Myelomeningokel, dan Malformasi Arnold
Chiari. Selain itu, terdapat juga jenis malformasi lain yang jarang terjadi. Penyebab
lain dapat berupa infeksi in-utero, lesi destruktif dan factor genetik.1,2,10-12 Stenosis
Akuaduktus Sylvius terjadi pada 10% kasus pada bayi baru lahir. Insidensinya
berkisar antara 0,5-1 kasus/1000 kelahiran. Malformasi Dandy Walker terjadi pada
2-4% bayi yang baru lahir dengan hidrosefalus. Malformasi ini mengakibatkan

18
hubungan antara ruang subarakhnoid dan dilatasi ventrikel 4 menjadi tidak adekuat,
sehingga terjadilah hidrosefalus. Penyebab yang sering terjadi lainnya adalah
Malformasi Arnold Chiari (tipe II), kondisi ini menyebabkan herniasi vermis
serebelum, batang otak, dan ventrikel 4 disertai dengan anomaly inrtakranial
lainnya. Hampir dijumpai di semua kasus myelomeningokel meskipun tidak
semuanya berkembang menjadi hidrosefalus (80% kasus).1,11,12 Penyebab postnatal
Lesi massa menyebabkan sekitar 20% kasus hidrosefalus, kista arakhnoid dan kista
neuroepitelial merupakan kedua terbanyak yang mengganggu aliran likuor.
Perdarahan, meningitis, dan gangguan aliran vena juga merupakan penyabab yang
cukup sering terjadi.1,10 Dari penjelasan di atas, hidrosefalus dapat diklasifikasikan
menjadi hidrosefalus obstruktif dan hidrosefalus komunikans seperti yang dapat
dilihat pada tabel 1.1,2,7
Tabel 1. Klasifikasi Hydrocephalus
Hidrosefalus obstruktif Hidrosefalus komunikans
Kongenital Kongenital
Stenosis akuaduktus Malformasi Arnold Chiari (tipe II, jarang
Kista Dandy Walker pada type I)
Benign intracranial cysts (seperti kista Ensefalokel
arachnoid) Deformitas basis kranii
Malformasi vaskular (seperti aneurisma
vena Galen) Didapat
Infeksi (intrauterin misalnya CMV,
Didapat toxoplasma, postbacterial meningitis)
Tumor (seperti ventrikel 3, regio pineal, Perdarahan (IVH pada infan, sub-
fossa arachnoid
posterior) haemorrhage)
Lessi massa lainnya (seperti giant Hipertensi vena (seperti trombosis sinus
aneurysms, venosa,
abses) arterio±venous shunts)
Ventricular scarring Meningeal carcinomatosis
Sekresi berlebihan CSF (papiloma pleksus
koroidalis)

19
D. Gejala Klinis
Hidrosefalus pada bayi
Kejadian hidrosefalus pada bayi adalah sekitar 3-4 per 1000 kelahiran dan
sebagian besar kasus disebabkan oleh kelainan kongenital. Insiden hidrosefalus
terjadi akibat kelainan kongenital adalah 1-1,5 per 1000 kelahiran.
Penyebab kongenital yang paling umum adalah stenosis aqueduct Sylvius.
Atresia kongenital dari foramen Luschka dan Magendie (kista Dandy-Walker)
adalah penyebab yang jarang. Bentuk hidrosefalus yang didapat paling sering
terjadi setelah perdarahan intrakranial, terutama pada bayi prematur, meningitis dan
karena tumor. Peningkatan kelangsungan hidup bayi prematur dengan berat lahir
sangat rendah mengakibatkan peningkatan pada bayi dengan hidrosefalus yang
dihasilkan dari perdarahan intrakranial perinatal.
Hidrosefalus dapat timbul sebagai tekanan intrakranial akut yang meningkat
tetapi karena ketidakteraturan tengkorak bayi presentasi dapat lebih halus.
Gambaran klinis utama pada bayi adalah:
• gagal untuk berkembang
• peningkatan lingkar kepala (dibandingkan dengan kurva pertumbuhan normal)
• fontanel anterior tegang
• suara `cracked pot 'pada perkusi tengkorak
• transiluminasi rongga tengkorak dengan cahaya yang kuat
• pada keadaan yang berat, terjadi gangguan kesadaran dan muntah
• tampak 'setting sun' karena retraksi kelopak mata dan gangguan pandangan ke
atas akibat tekanan ventrikel ke-3 pada tektum otak tengah
• scalp tipis dengan dilatasi vena

3.2 Syndroma Dendy Walker


3.2.1 Definisi
Malformasi Dandy-Walker (DWM), atau juga disebut sindrom, adalah
sebuah anomali dari fossa posterior yang dicirikan dengan agenesis atau
hipoplasia dari vermis dan pembesaran kistik dari ventrikel ke empat

20
menyebabkan perpindahan kea rah atas dari tentorium dan torcula.
Kebanyakan pasien akan mengalami hidrosefalus saat didiagnosis dengan
DWM. DWM adalah malformasi fossa posterior tersering, dan secara
tipikal terjadi sporadic.17
Banyak pasien tidak memiliki gejala selama beberapa tahun,
sedangkan yang lainnya dapat muncul dengan beberapa komorbid.
Tatalaksana secara umum berfokus pada penurunan gejala hidrosefalus dan
cystoperitoneal shunting. DWM didiagnosis ketika ada 3 tanda utama
muncul pada pasien yaitu agenesis atau hipoplasia dari serebelar vermis,
dilatasi kistik dari ventrikel ke empat dan pembesaran fossa posterior.
Sebuah bagian dari DWM beberapa kali dilaporkan dan disebut dengan
terminology DW varian. DW varian secara umum merupakan bagian lebih
ringan dari DWM, tetapi pada DW varian pembesaran fossa posterior tidak
terlihat. DWM juga dapat diklasifikasikan ke dalam spectrum yang disebut
sebagai DW kompleks, yang meliputi DW varian dan Mega Cisterna
Magna. 17

3.2.2 Epidemiologi

Ada total 734 kasus dengan 562 kasus (76.6%) didiagnosis dengan
DWM dan 172 (23.4%) sebagai DW varian. Prevalensi dari DWM adalah
6.79 per 100.000 kelahiran. Dalam dua periode waktu dari tahun 2002-
2008 dan 2009-2015, prevalensi meningkat, dengan prevalensi DW varian
adalah 2.08 per 100.000 kelahiran.17

DWM dan varian nya memiliki prevalensi 1 dari 35.000 kelahiran


bayi di Amerika Serikat, dengan malformasi ini menyebabkan setidaknya
1%-4% kasus hidrosefalus dalam keseluruhan. Angka mortalitas pada
DWM mencapai 12%50% dengan tata;aksana menggunakan shunt secara
perlahan mengurangi mortalitas pasien. Mortalitas pada pasien secara
langsung berkorelasi dengan adanya abnormalitas diluar system saraf
pusat. 17

21
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh McClelland S et al
pada tahun 2015, dari 14,559 pasien dengan DWS memiliki insidensi 1.36
per 1,000 kelahiran dengan mortalitas 3.77%. hingga saat ini, belum
banyak studi yang meneliti tentang epidemiologi dari DWM pada pasien
di Amerika Serikat maupun di seluruh dunia.

3.2.3 Klasifikasi18

Fitur patologis pada DWM sangat beragam dan memberikan kesulitan


dalam membedakan antara kista fossa posterior, seperti persistent Blake’s
pouch, retrocerebellar cyst, mega-cisterna magna dan kista arachnoid.18

Tabel 2. Klasifikasi kista fossa posterior (Barkovich et al 2009)

Pada Dandy Walker complex, merujuk kepada malformasi dimana


penumpukan CSF pada fossa posterior menunjukkan hubungan dengan
ventrikel ke empat. Dengan ada atau tidaknya vermis serebelum pada MRI
pada level setingkat ventrikel ke empat, Dandy Walker tipe A atau tipe B dapat
di kenali.

Pada Dandy Walker tipe A, dimana vermis tidak terlihat oleh karena
hypoplasia dan atau rotasi yang terdiri atas DWM, dan DW varian dimana
ventrikel ke empat terbentuk lebih baik, dilatasi yang tidak terlalu besar dan
biasanya berhubungan dengan spasi arachnoid perivermis, dengan vermis lebih
sedikit mengalami disgenetik dan fossa posterior tidak terlalu mengalami

22
pembesaran. Tetapi sebenarnya, tidak ada diferensiasi yang jelas antara DWM
dengan DW varian.

Pada tipe B, sebuah interposisi dari sebagian vermis serebelum muncul


diantara ventrikel ke empat dan cisterna magna yang membesar. Malformasi
ini secara tradisional disebut sebagai “mega cisterna magna”, dimana terdapat
sebuah hubungan yang jelas diantara ventrikel ke empat melalui vallecular
untuk membedakan bentuk ini dengan fossa posterior arachnoid “extra axial”.
Pada persistent Blake’s pouch, yang kemungkinan di produks oleh evaginasi
dari tela choroidea rudimental, tidak terdapat hubungan yang cukup dengan
spasi arachnoid perimedulla, menyebabkan obstruksi yang berat pada sirkulasi
CSF. Sementara itu pada mega cisterna magna, yang sekunder disebabkan oleh
keterlambatan pembentukan foramen Magendie, terdapat hubungan diantara
spasi subarachnoid dan tidak menyebabkan hidrosefalus, bahkan ketika fossa
posterior lebih lebar dari normal, torcular Herophilli berpindah kearah kranial,
dan tabula interna dari tulang oksipitalis meninggi.

3.2.4 Etiologi

Gambar 2. Mekanisme etiologi pada DWM.

23
3.2.5 Manifestasi Klinis17,18

Presentasi klinis pada DWM tidak spesifik, terdiri atas factor multiple
termasuk hidrosefalus, peningkatan TIK dan komorbid yang lainnya.
Kebanyakan pasien akan bergejala dalam tahun pertama kehidupan, dengan
tanda dan gejala peningkatan TIK. Manifestasi tersering adalah makrosefali,
mengenai 90%-100% pasien pada bulan pertama kehidupan. Bentuk sindromik
DWM juga dapat menyebabkan malformasi pada jantung, wajah, anggota
gerak, dan anomaly system gastrointestinal dan genitourinaria.

Dolicocephaly, protrusi oksipital, kejang, control motoric buruk,


spastisitas, opistothonus, abnormalitas pernafasan, palsy nervus kranialis,
nystagmus, ataxia, dan autisme juga dapat muncul pada DWM. Keparahan
klinis memburuk pada kasus dengan malformasi supratentorial. Setengah dari
total pasien DWM memiliki gangguan intelektual yang signifikan atau
gangguan motoric, seperti cerebral palsy, dan sekitar 25% kasus memiliki
malformasi somatic, seperti polidaktili atau defek jantung. Sebagian kecil dari
kasus DWM secara klinis tidak bergejala dan ditemukan secara tidak sengaja.
Seperti DWM, kista Blake’s pouch secara tipikal muncul dengan gejala
hidrosefalus, dan pada mega cisterna magna tidak bergejala. DWM, kista
Blake’s pouch dan mega cisterna magna meningkat diagnosis nya saat fetus.
Tetapi signifikansi diagnosis MR pada fetus sat ini masih belum jelas.

Secara umum, presentasi klinis pada DWM spesifik pada umur. Anak
usia dibawah 1 tahun lebih sering tidak memiliki gejala spesifik dan tanda
hidrosefalus dan peningkatan TIK. Makrokrania sampai saat ini masih menjadi
gejala tersering yang muncul. Ini merupakan konsekuensi dari hidrosefalus
tetapi dapat juga merupakan adanya fossa posterior yang membesar. Pada
beberapa kasus, sutura lambdoid dapat melebar, dicirikan sebagai bentuk
kepala anak-anak dengan DWM.

24
Pada anak diatas 1 tahun, DWM biasanya memiliki keluhan
keterlambatan perkembangan motoric, secara spesifik seperti berjalan dan
koordinasi. Paraparesis spastik adalah deficit motoric tersering. Sebenarnya,
retardasi psikomotorik juga merupakan keluhan yang frekuen pada berbagai
usia. Insidensi deficit neurologis fokal, seperti nystagmus, palsy nervus
kranialis, ataxia trunkalis, dan dismetria, mengindikasikan adanya disfungsi
serebelum atau batang otak, relative jarang terjadi.

Gejala ini bersamaan dengan kompresi pada quadrigeminal plate dan


insufisiensi hypothalamus, dapat muncul pada kasus peningkatan TIK yang
menetap, secara spesifik pada kegagalan shunt dan kasus dengan kompartemen
yang tidak di shunting (ventrikel lateral atau kista) dengan adanya gradient
tekanan pada tentorium. Deficit serbeelum, yang biasanya mengenai
pergerakan aksial daripada pergerakan ekstremitas, cenderung meningkat
setelah control adekuasi dari hidrosefalus. Kejang relative sering dijumpai
pada DWM, dimanas erring dihubungkan dengan malformasi supratentorial
dan bersama dengan masalah visual/pendengaran, berkolerasi dengan
perkembangan intelektual yang buruk.

Pada anak yang lebih tua dan dewasa, gambaran klasik sulit dinilai dari
umor fossa posterior, dengan nyeri kepala pada posterior, ataksia, muntah,
palsy nervus kranialis, tanda-tanda traktus piramidalis, perubahan mental
status dan peningkatan TIK. Keluhan berlangsung dalam waktu mingguan
hingga tahunan.

3.3 ANESTESI UMUM


Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum memiliki karakteristik
menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterogard yaitu hilang ingatan
kedepan dimana pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi saat dia
dianestesi/operasi, Karakteristik selanjutnya adalah reversible yang berarti anestesi
umum akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping.

25
Komponen dalam Anestesi Umum

General anestesi adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai


hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi
yang ideal terdiri dari
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya nyeri)
3. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal

Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum

Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestisia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu dikonversikan
menjadi anestesia umum.

Keuntungan anestesia umum

a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis


berlangsung.
b. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.

Kerugian anestesia umum

a. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi


tumpul dibawah anestesia umum.
b. Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
c. Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
d. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
e. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

26
Jenis Jenis Anestesi Umum
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa
nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi
dan secara intravena.
1. Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan berupa
gas. Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N 2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap
secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru
(alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas
dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat anestetik
dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar, koefisien gas
darah, curah jantung, dan perfusi.4

1. Dinitrogenoksida (N2O)
N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak,
dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat
merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu
tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi
yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi
karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi
umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% :
40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.

27
2. Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis
pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran
darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi,
sehingga tidak disukai untuk bedah otak. Kebalikan dari N2O, halotan
analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal
sepanjang tidak ada kontraindikasi.

3. Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek
depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih
iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.

4. Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat
dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

5. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi
di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian

28
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.

2. Anestesi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia,
pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
1. Barbiturate: Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat
anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting). Bekerja
menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi (perangsangan)
di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat pernafasan di medula
oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat
oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen
badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak
menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.
2. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air
dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi. Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan
barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien
dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai
induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan
untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis)

29
dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus
propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik
inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.
Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan
dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol
tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak
dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai
akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler
sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan
tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan
muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat
pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

30
3. Ketamin
Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan
tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat,
kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula kerja
30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit,
tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu
paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit.
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik
0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).

4. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia
opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan
dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

5. Benzodiazepin
yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan
midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik
(sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan
oleh anestetik lokal dalam anestetik regional. Digunakan untuk induksi
anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi, cemas, dan
menimbulkan amnesia anterograd (setelah pemberian midazolam IM, IV),
tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP ini dapat diatasi dengan
antagonisnya, flumazenil.

31
a) Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan
anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat
dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan
induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30
detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM
15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma
maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam menyebabkan
tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam, penurunan
sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi
0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4
mg/kgbb IV.
b) Diazepam
obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung
fungsi liver. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi
diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan
masa pemulihannya lama. Diazepam digunakan untuk berbagai
macam intervensi (menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan
pengobatan utama), meringankan kecemasan, anxietas atau stress
akut, dan prosedur seperti berkurangnya ingatan, juga untuk induksi
anestesia terutama pada penderita dengan penyakit kardiovaskular.
Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik dan untuk
mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran
yang disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek
analgesik. Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6
mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi.
Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi dan
beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan secara

32
lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat
menimbulkan apnoe.

3.3.1 Anestesi Umum Pada Bayi (General Anestesi Pada Bayi)


3.3.1 Anatomi dan Fisiologi Pasien Pediatrik
3.3.1.1 Anatomi Jalan Napas
Terdapat beberapa perbedaan anatomi pada saluran napas anak-anak bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Perbedaan pertama adalah ukuran lidah anak-
anak yang lebih besar dibandingkan orofaring sehingga meningkatkan resiko
terjadinya obstruksi jalan napas dan kesulitan teknis lainnya pada saat melakukan
laringoskopi. Perbedaan kedua adalah lokasi larynx anak yang terletak lebih tinggi
pada C4 bila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada pada C6 dan letak
Glottis pada anak-anak berada pada C2 dan lebih tinggi dibandingkan dengan orang
dewasa pada C4 dan letak kartilago krikoid pada C4 dibandingkan dengan orang
dewasa pada C6 sehingga pemasangan dengan blade yang lurus lebih
direkomendasikan dibandingkan dengan blade yang bengkok.
Bentuk Epiglottis anak lebih pendek dan tebal dan terletak lebih dekat
kepada laryngeal inlet sehingga visualisasi pita suara akan lebih sulit dan
membutuhkan keterampilan penggunaan blade laringoskop yang lebih mahir.
Bentuk pita suara lebih bersudut sehingga pada saat memasukkan ETT
(Endotracheal Tube) dapat tersangkut pada commisure anterior pita suara. Larynx
anak kecil mengalami penyempitan pada cincin krikoid sedangkan pada orang
dewasa penempitan jalan napas berada di pita suara sehingga penggunaan ETT
tanpa cuff disarankan untuk pasien pediatrik.

33
Gambar 1. Anatomi jalan napas pada pasien anak

Gambar; Bagian sagital dari orang dewasa (A) dan bayi (B) saluran
napas. (Direproduksi dengan izin dari Snell RS, Katz J. Anatomi Klinik
untuk Anesthesiologists. New York, NY: Appleton & Lange; 1988.)

Selain pada jalan napas terdapat beberapa perbedaan lain pada anak-anak
yakni bagian kepala oksiput yang lebih besar akan menyulitkan untuk
menempatkan pasien pada posisi sniffing untuk mengatasi hal tersebut dapat
dibetikan ganjalan bahu.3

34
3.3.1.2 Sistem Respirasi
Perbedaan utama yang paling mendasar pada sistem pernapasan anak-anak
adalah kebutuhan metabolik dan konsumsi oksigen yang lebih tinggi yaitu 6 ml/kg
, 3 kali lipat lebih banyak dari orang dewasa, namun karena volume tidal pada anak-
anak relatif sama dengan orang dewasa (6-8 ml/kg). bila dibandingkan dengan berat
badan maka hal tersebut dikompensasi melalui laju ventilasi yang lebih cepat (anak
<1 tahun : 30-60x per menit, 1-3 tahun: 24-40x per menit , 3-6 tahun : 22-34x per
menit , 6-12 tahun : 18-30x per menit , 12-18 tahun : 12-16x per menit).
Perbedaan lainnya adalah closing volume yang didefinisikan seabagi
volume udara yang terdapat pada paru-paru pada saat bronkioles respiratorius
kolaps bila ditemukan pada anak-anak nilainya lebih tinggi daripada kapasitas
residu fungsional sehingga rentan terjadi penutupan jalan napas pada akhir respirasi
dimana kapasitas residu fungsional akan berkurang bila terjadi apnea dan pada
anestesi, hal ini menuntut adanya pemberian ventilasi tekanan positif pada saat
anestesi pasien anak-anak.
Resistensi jalan napas dapat dihitung berdasarkan hukum poiseuille dimana
resistensi = 8 Ln/r4 . Radius memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan
resistensi, dimana pada anak-anak diameter saluran napas masih kecil mulai dari
lubang hidung sampai bronkioles respiratorius sehingga resistensi pada anak-anak
cenderung lebih tinggi daripada orang dewasa, hal ini dapat diatasi dalam
pemberian beberapa obat anestesi yang memiliki efek untuk mendilatasi bronkus
dan mengurangi resisten, namun bila terjadi edema sebanyak 1 ml saja dapat
mengurangi jalan napas sebanyak 60% , hal ini menimbulkan pendapat bahwa
sebaiknya terdapat sebuah bocoran disekitar ETT untuk mencegah trauma yang
dapat menyebabkan edema subglottis.
Dinding dada anak kecil banyak mengandung jaringan tulang rawan
sehingga lebih elastis dan menyebabkan compliance paru lebih tinggi, hal tersebut
memudahkan paru kolaps ketika ada peningkatan kerja ventilasi yang menuntut

35
tekanan intra-thoracic yang lebih negatif. Otot pernapasan bayi yang dominan
adalah diafragma, dimana otot diafragma bayi pada usia di bawah 2 tahun
didominasi oleh serat otot type 2 yang memiliki ketahanan terhadap beban berulang
yang rendah dibandingkan serat otot type 1, hal ini menyebabkan diafragma bayi
lebih mudah letih bila terdapat peningkatan laju ventilasi sedangkan laju ventilasi
anak-anak sendiri sudah lebih tinggi dari dewasa sehingga kemampuan untuk
meningkatkan usaha ventilasi secara efektif akan terbatasi.
Kadar volume dead space pada anak kecil dan dewasa cenderung sama yaitu
sekitar 33% bila dibandingkan dengan volume tidal namun penggunaan alat-alat
anestesi dapat meningkatkan volume dead space dan menggangu ventilasi secara
efektif sehingga penggunaan alat-alat anestesi harus diperhatikan dengan benar.
Semua faktor tersebut akan memudahkan terjadinya gangguan pernapasan dan
desaturasi pada anak kecil sehingga pengawasan kadar oksigen harus dilakukan
secara ketat.
3. Indikasi Pemasangan Endotracheal Tube

1. Proteksi jalan nafas

a. Hilangnya reflek pernapasan

b. Obstruksi jalan napas besar

c. Perdarahan faring

d. Tindakan profilaksis

2. Optimalisasi jalan napas

a. Saluran untuk pelaksanaan pulmonary toilet darurat

b. Tindakan untuk memberikan tekanan positif dan kontinu yang

tinggi pada jalan napas

3. Ventilasi Mekanik

a. Pulmonar : penyakit asma, penyakit paru obstruktif kronik,

emboli paru, pneumonia

36
b. Penyakit jantung atau edema pulmoner

c. Neurologi : berkurangnya dorongan respirasi

d. Mekanik : disfungsi paru-paru pada flail chest atau pada

penyakti neuro muskuler

e. Hiperventilasi therapeutic untuk pasien – pasien peningkatan

dengan tekanan intrakranial

3.4 Anestesi Pediatrik

3.4.1 Obat anestesi Inhalasi

Bayi dan anak-anak memiliki tingkat ventilasi alveolar yang lebih tinggi

serta koefisien distribusi gas-darah yang lebih rendah dari orang dewasa sehingga

menyebabkan penyerapan obat inhalasi lebih cepat. Nilai MAC (Mean Alveolar

Concentration) untuk pasien anak sedikit lebih tinggi dari dewasa namun neonatus

membutuhkan MAC yang lebih rendah dari pasien dewasa, hal ini disebabkan

karena immaturitas otak, level progesterone residual dari ibu, dan kadar endorphin

yang tinggi sehingga ambang nyeri meningkat. Ketika NO (Nitrous Oxide)

ditambahkan kepada gas anestesi lain, maka kadar MAC yang dibutuhkan akan

berkurang karena efek second gas exchange dengan nilai sebagai berikut ; MAC

sevoflurane berkurang 20-25% , halothane berkurang 60%, isoflurane 40% , dan

desflurane 25%.

Selain pengambilan, eliminasi obat anestesi pada pasien pediatrik juga lebih

cepat dibandingkan dengan orang dewasa , hal ini disebabkan karena tingginya laju

napas dan cardiac output serta distribusi yang besar kepada organ dengan

37
vaskularisasi banyak, di sisi lain hal ini menyebabkan mudahnya terjadi overdosis

obat anestesi pada pasien pediatrik. Fungsi hati bayi belum sepenuhnya terbentuk

sehingga hanya sedikit obat yang dimetabolisme di sana sehingga hepatitis yang

disebabkan oleh halotan jarang pada anak (1:200.000 anestesi).

Gambar 2. Nilai MAC untuk anestesi sesuai golongan umur

3.4.2 Obat anestesi Intravena

Neonatus memiliki proporsi cardiac output yang mencapai otak yang lebih
besar dibandingkan pasien anak sehingga dosis untuk induksi lebih kecil. Salah satu
obat yang paling sering digunakan untuk anestesi intravena adalah propofol walau
penggunaan dibawah umur 3 tahun belum direkomendasikan. Dalam pemberian
obat anestesi intravena perlu diketahui karena fungsi ginjal dan hati belum
sempurna maka interval dosis pemberian obat perlu diperpanjang agar tidak terjadi
toksisitas.
Dosis untuk anestesi intravena pada anak-anak harus disesuaikan karena
massa otot dan lemaknya berbeda dari orang dewasa. Efek samping dari propofol
yang dapat muncul adalah bradikardi dan hipotensi dimana insidensi bradikardia
pada anak-anak 10-20% lebih tinggi daripada orang dewasa, hal ini penting
dipertimbangkan karena pada pasien anak fungsi baroreceptor belum sempurna
sehingga pengaturan cardiac output didominasi oleh peningkatan laju nadi. Selain
propofol terdapat beberapa kombinasi obat yang dapat digunakan untuk anestesi
intravena.

38
Tabel 4. Dosis Obat Anestesi Intravena untuk Pasien Anak

Gambar 3. Kombinasi TIVA(Total Intravenous Anesthesia) pada anak

3.4.3 Obat pelumpuh otot

Anak-anak memiliki distribusi volume yang besar sehingga dosis yang


diperlukan lebih tinggi untuk menimbulkan efek, namun di sisi lain karena fungsi
hati dan ginjal belum sempurna maka eliminasi dan durasi efek obat akan lebih
panjang. Suksinilkolin digunakan untuk intubati endotrakeal, dosis yang diperlukan
untuk balita lebih tinggi daripada anak dewasa yakni infusi 2 mg/kg diberikan untuk
anak-anak sedangkan pasien anak dewasa diberikan infusi 1.5 mg/kg. Efek samping
suksinilkolin bila tidak diperhatikan dapat berakibat fatal, seperti bradycardia,
asystole, otot kaku, myoglobinemia dan hipertermia malignant. Relaxan non
depolarizing seperti pankuronium digunakan pada pasien pediatrik sebagai relaxan
untuk intra operasi, dan pada beberapa kasus dipakai juga pada saat akan
mengintubasi pasien namun anakanak sangat sensitif terhadap obat-obat golongan
ini sehingga mudah overdosis.

39
Gambar 4. Dosis penggunaan muscle relaxan pada anak

3.4.4 Evaluasi Preoperatif


A. Anamnesis
1) Usia Gestasi dan Berat Lahir
2) Masalah selama kehamilan dan persalinan serta skor APGAR
3) Riwayat Penyakit Sekarang
4) Riwayat Penyakit Dahulu
5) Kelainan kongenital atau metabolik
6) Riwayat pembedahan
7) Riwayat kesulitan anestesi pada keluarga dan pasien
8) Riwayat Allergi
9) Batuk , Episode Asma, ISPA yang sedang dialami
10) Waktu terakhir makan dan minum

B. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Tanda-Tanda Vital : Tekanan darah, Laju nadi dan napas, Suhu

40
3) Data antropometrik : Tinggi dan berat badan
4) Adanya gigi yang lepas atau goyang
5) Sistem respirasi
6) Sistem Kardiovaskuler
7) Sistem Neurologi

C. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan penunjang disarankan bagi beberapa pasien anak dengan
kondisi khusus. Pemeriksaan kadar Hb dilakukan apabila diperkirakan akan ada
banyak pendarahan pada saat operasi, bayi prematur, penyakit sistemik dan
penyakit jantung kongenital. Pemeriksaan kadar elektrolit dapat dilakukan bila
terdapat penyakit ginjal ataupun metabolik lainnya dan pada kondisi dehidrasi.
Pemeriksaan x-ray dapat dilakukan bila terdapat penyakit paru-paru, skoliosis
ataupun penyakit jantung. Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan sesuai
penyakit

Klasifikasi Status Fisik

Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of


Anesthesiologists (ASA) yaitu:4

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa


pembatasan aktivitas.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan


aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan


hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

41
3.4.5 Puasa Pre-operatif

3.4.6 Premedikasi

Tujuan pemberian premedikasi pada pasien anak sama dengan orang


dewasa yakni untuk mengurangi ansietas pasien, mengurangi rasa nyeri yang
dialami, menurunkan dosis obat untuk induksi, serta mengurangi sekresi jalan
napas, namun pemberian pre-medikasi pada anak dapat memfasilitasi perpisahan
dengan orang tua dan memudahkan proses intubasi bila dibutuhkan. Beberapa obat
pre-medikasi yang paling sering diberikan adalah midazolam dan ketamine.
Pemberian obat sedasi harus diberikan hati-hati bila pasien memiliki gangguan
saluran napas dan pemberian harus dihindari bila pasien memiliki gangguan
neurologis atau peningkatan tekanan intrakranial serta bila ada resiko besar
terjadinya aspirasi atau regurgitasi di lambung.

42
3.4.7 Persiapan anestesia
A. STATICS :
 Scope : Laringoskop apakah lampunya cukup terang atau tidak, serta
Stethoscope.
 Tubes : ETT dipersiapkan dengan ukuran sesuai dan satu ukuran dibawah
dan diatasnya.
 Airway : alat untuk menahan lidah agar tidak jatuh yakni pipa orofaringeal
Guedel atau pipa nasofaringeal.
 Tapes : Plester untuk fiksasi ETT
 Introducer : kawat untuk dimasukan ke dalam ETT]
 Connector : penghubung antara ETT dengan sirkuit nafas
 Suction : mesin pengisap untk membersihkan jalan napas.

B. Peralatan Elektronik :
 Lampu ruangan
 Mesin anestesia
 Mesin penghangat tempat tidur
 Infusion pump
 Syringe pump
 Defibrilator

C. Summber Gas : O2,N2O , Halothane, Isoflurane dan gas sejenis serta


D. Dipantau dengan penggunaan flowmeter

3.4.8 Induksi
Induksi dapat dilakukan baik dengan metode inhalasi maupun metode
intravena. Metode inhalasi dapat digunakan apabila pasien takut terhadap jarum,
tidak kooperatif atau sulit mencari akses vena, namun metode inhalasi merupakan
teknik yang memerlukan 2 orang, orang pertama harus mempertahankan jalan
napas dan orang kedua mencari akses vena dan memasukan obat-obatan intravena
sesuai indikasi. Obat-obatan inhalasi anestesi yang paling sering diberikan adalah

43
halothane dan sevoflurane. Halothane memiliki bau yang manis sehingga mudah
dihirup dan bila ditambah dengan N2O dapat mempercepat induksi serta durasi obat
yang lebih lama namun dapat menimbulkan arritmia sehingga penggunaanya sudah
mulai ditinggalkan. Sevoflurane tidak bersifat irritatif dan memiliki onset yang
lebih cepat dan durasi yang lebih pendek namun dapat menyebabkan delirium pada
saat pasien sadar. Pilihan obat untuk induksi intravena adalah propofol, thiopental
dan ketamine.

3.4.9 Intubasi
Sesuai anatomi jalan napas pasien anak, pada intubasi disarankan
menggunakan blade lurus, namun blade bengkok dapat digunakan bila pasien
memiliki berat 6-10 kg. Penggunaan ETT lebih disarankan jenis tanpa cuff pada
pasien berusia dibawah 8 tahun, serta usahakan terdapat sedikit bocoran pada ETT.
Ukuran ETT pada anak-anak dapat menggunakan rumus Modified Cole formula
dan Khine Formula: [(Usia/4) + (4, bila tanpa cuff jadinya ditambah 3)]. Kedalaman
ETT dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus : [(Usia/2) + (12) bila pada
anak berusia >2 tahun, bila usia anak <2 menggunakan rumus: (Ukuran ETT X 3).
Kedalaman ETT dapat diperhitungkan dengan rumus namun tetap harus
disesuaikan secara klinis dengan mendengarkan suara napas kedua paru pasien.
Penggunaan LMA disesuaikan dengan berat badan pasien.

3.4.10 Tatalaksana Jalan Napas Pediatrik


Pada saat induksi pasien sebaiknya ditempatkan dalam posisi bernafas yang
pasien paling nyaman, namun pada saat sudah dipasang intubasi sebaiknya pasien
ditempatkan dalam posisi sniffing untuk membuka jalan udara. Selain itu pasien
diberikan ganjalan agar dapat membuka LA (Laryngeal Angle), OA (Oral Angle),
dan PA (Pharyngeal Angle) agar memudahkan proses ventilasi. Pasien juga
dilakukan jaw thrust agar mandibula dapat terangkat dan membuka glotis sehingga
mulut laring dan faring akan lebih besar dan lebih mempermudah proses ventilasi.

44
45
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pasien datang dengan keluhan kepala yang membesar dan mata yang
semakin cekung. Kepala membesar pada pasien dirasakan orang tua pasien sejak
pasien lahir

Pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan berupa cairan. Pada


pemeriksaan CT Scan didapatkan kesan hidrocephalus.

Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang), tidak didapatkan keluhan atau riwayat sakit lain selain
sakit yang diderita saat ini. Keadaan umum pasien baik, ada keterbatasan aktivitas
fisik, namun dari pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan kepala
hidrochepalus (+). Sehingga status fisik pada pasien ini adalah ASA 2. Hal ini
sesuai teori bahwa ASA 2 adalah dimana pasien dengan penyakit sistemik ringan
atau sedang. Dan malampati sulit dinilai. Sebelum jadwal operasi dilaksanakan,
dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan mempersiapkan SIO.

Sebagai obat premedikasi pada pasien ini yaitu: Ondansetron 4 mg;


Ondansetron diberikan sebagai profilaksis anti mual dan muntah, Midazolam 0,05
mg/kgbb; Midazolam diberikan untuk memberikan suasana nyaman bagi pasien
prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli
dengan lingkungannya. Pada pasien ini diberikan obat premedikasi sekitar 15 menit
sebelum dilakukan operasi. Berdasarkan teori, tindakan premedikasi yaitu
pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi bertujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk meredakan kecemasan dan
ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan
bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca

46
bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks
yang membahayakan.
Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan
inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Fentanil 20 mcg dan propofol 30
mg, serta pemasangan ETT no 5 dengan dosis pemeliharaan menggunakan anestesi
inhalasi: sevoflurans + N2O: O2.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Pada pasien ini diberikan fentanil 20 mcg, dimana berdasarkan teori
golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestsia opioid
digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb. Dosis pada pasien ini sudah tepat.
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevoflurans. Oksigen
diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O
harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi
analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup
stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane
cepat dikeluarkan oleh tubuh.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 306 cc selama operasi, terdiri
dari jumlah cairan pengganti puasa 108 cc, maintenance 36 cc, stress operasi 36 cc.
pada jam I dibutuhkan 180 cc, pada jam II dibutuhkan 126 cc dengan jumlah cairan
pengganti 54 cc, maintenance 36 cc, stress operasi 36 cc. Cairan yang telah masuk
RL sebanyak 500 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini belum terpenuhi.
Dalam kasus ini pasien termasuk dalam kategori sulit ventilasi dan sulit
intubasi, dimana sulit ventilasi dikarenakan pasien adalah pediatrik dan kurangnya
kooperatif pasien terhadap tenaga medis, mallampati yang sulit dinilai dan ukuran
kepala yang cukup besar, dan termasuk sulit intubasi dikarenakan besarnya bagian
oksipital pasien (yang umumnya sudah besar pada anak-anak) karena adanya

47
hidrosefalus dan besar lidah pasien yang cukup besar dibandingkan dengan mulut
pasien menjadikan jalur intubasi cukup sulit.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Pada saat di
RR, dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah,
saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus
diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat,
misalnya karena hipovolemik). Bila kesakitan harus diberikan analgetik, namun
jika gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan menambah
cairan elektrolit (RL), koloid, darah.
Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien hendaknya
jangan dikirim keruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah aktif,
tekanan darah, nadi dalam batas normal.

48
BAB V
KESIMPULAN

Anestesia pada bayi dan anak kecil berbeda dengan anestesia pada orang
dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada
anestesia untuk orang yang dewasa anestesia anak kecil dan bayi khususnya harus
diketahui betul sebelum dapat melahirkan anestesia karena itu anestesia pediatri
seharusnya ditangani oleh dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang sudah
berpengalaman.
Secara anatomis lokasi larynx, glotis dan kartilago krikoid pada pasien anak
terletak lebih tinggi sehingga akan lebih mudah untuk melakukan intubasi dengan
blade lurus, serta karena jalan napas yang sempit maka keterampilan dan kehati-
hatian dokter anestesi sangat diutamakan.
Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi vp shunt dengan indikasi hydrochepalus pada pasien anak perempuan, umur
5 tahun 10 bulan, status fisik ASA II dengan menggunakan teknik anestesi umum
dengan ET no.3,5. Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya
permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan
timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada kasus ini tatalaksana airway dilakukan External Laryngeal Maneuver
dalam mempermudah ventilasi maupun intubasinya, dan diletakkan juga bantal
yang kecil dibelakang bahu pasien agar meminimalisir kesulitan intubasi yang
disebabkan oleh oksipital pasien yang besar.

49
DAFTAR PUSTAKA

1) American Academy of Pediatrics, Council on Child Health. Age limits of


pediatrics. Pediatrics 1972 ; 49:463
2) Abdelmalak B, Abel M, Ali HH, Aronson S, Avery G, et al. Anesthesiology
. 2nd Edition. McGrawHill 2012 : USA
3) Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar anestesiologi . Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia / RS Cipto Mangankusumo 2012 : Jakarta
4) Bansal T, Hooda S. Anesthetic Considerations In Pediatric Patients .
JIMSA 2013 ;26:2
5) Hines RL, Marschall KE. Stoelting’s Anaesthesia and co-existing disease.
4th Ed. 2004; 688
6) Macfarlane F. Pediatric Anatomy and Physiology and the Basis of Pediatric
Anesthesia . Mater Children’s Hospital.
https://www.aagbi.org/sites/default/files/7-Paediatric-anatomy-
physiologyand- the-basics-of-paediatric-anaesthesia.pdf . Access : 20
February 2016
7) Rupp K, Holzki J, Fischer T, Keller C. Pediatric Anesthesia . 1st Edition.
Drager 1999 : Germany
8) Longnecker DE, Tinker JH, Morgan GE, et al, eds. Principles and Practice
of Anesthesiology. Vol I, 2nd Edition. St. Louis, MO: Mosby; 1998.
9) Alcorn J, Mc Namara PJ. Ontogeny of hepatic and renal systemic clearance
pathways in infants: part 1. Clin pharmacokinet 2002; 41: 959-98.
10) Besunder JB, Reed MD, Blumer JL. Principles of drug biodisposition in the
neonate. A critical evaluation of the pharmacokinetic-pharmacodynamic
interface (part II). Clin pharmacokinet 1988;14: 261-86.
11) Ehrnebo M, Agurell S, Jalling B, et al. Age differences in drug binding by
plasma proteins: Studies in human foetuses, neonates and adults. Eur J Clin
pharmacol 1971; 3: 189-93
12) Wood M. Plasma drug binding: Implications for anesthesiologists. Anesth
Analg 1986; 65: 786-804
50
13) Lerman J, Schmitt Bantel BI, Gregory GA, et al. Effect of age on the
solubility of volatile anesthetics in human tissues. Anesthesiology 1986; 65;
307-11
14) Lerman J, Gregory GA, Willis MM, et al. Age and solubility of volatile
anesthetics in blood. Anesthesiology 1984; 61: 139-43.
15) Matsumoto T, Carvalho WB. Tracheal Intubation. J Pediatr 2007 ; 83: S83-
90.
16) Esther Weathers. Neonatal And Pediatric Cuffed Endotracheal Tubes:
Safety And Proper Use. KC Educational Counseling Services.
17) Jurcă MC, Kozma K, Petcheşi CD, Bembea M, Pop OL, MuŢiu G, Coroi
MC, Jurcă AD, Dobjanschi L. Anatomic variants in Dandy-Walker
complex. Rom J Morphol Embryol. 2017;58(3):1051-1055.
18) Spennato, P., del Basso de Caro, M. L., Buonocore, M. C., Cascone, D., &
Cinalli, G. (2019). Hydrocephalus and the Dandy-Walker Malformation.
Pediatric Hydrocephalus, 685–721. doi:10.1007/978-3-319-27250-4_18

51

Anda mungkin juga menyukai