Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

RETENSI URIN ET CAUSA BENIGN PROSTATE


HYPERPLASIA(BPH)
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menjalankan Kepanitraan Klinik
Senior Bagian/SMF Ilmu Bedah
RSUD Meuraxa Banda Aceh

Disusun Oleh:
Aja
20

Pembimbing:
dr. Syariful Anwar , Sp.B

BAGIAN/ SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
BLUD RSUD MEURAXA BANDA ACEH
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................. i

DAFTAR TABEL ..........................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB II STATUS PASIEN.............................................................................. 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 10

3.1 Benign prostate hyperplasia (BPH)............................................................12


3.2 Etiologi.......................................................................................................12
3.3 Faktor risiko................................................................................................14
3.4 Patofisiologi................................................................................................16
3.5 Manifestasi klinis........................................................................................16
3.6 Diagnosis....................................................................................................17
3.7 Penatalaksanaan..........................................................................................18
3.8 Komplikasi..................................................................................................21
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 27
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Peubahan testosterone menjadi dihidrotestosterone oleh enzim 5α


-reduktase..........................................................................................................8
Tabel 2.2 Hasil Follow up pasien.....................................................................10
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hasil EKG...................................................................................11


Gambar 2.2 Open simple prostatectomy.........................................................20
Gambar 2.3 Transurethral resection of the prostate (TURP).........................21
BAB I

PENDAHULUAN

Prostat terletak antara tulang kemaluan dan dubur, mengelilingi saluran uretra
pada pintu saluran yang masuk ke kandung kemih. Ketika urin keluar dari kandung
kemih, akan melewati saluran di dalam kelenjar prostat, yang disebut uretra prostat.
Benign Prostatic hyperplasia (BPH) merupakan penyakit yang sangat sering
mengakibatkan masalah pada pria. Selain dapat meningkatkan morbiditas, juga
mengganggu kualitas hidup pria.1,2

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak sebelah
inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran,
organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya
aliranurine keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa 20 gram.3

Insidensi BPH akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia,


yaitu sekitar 20% pada pria usia 40 tahun, kemudian menjadi 70% pada pria usia 60
tahun dan akan mencapai 90% pada pria usia 80 tahun. Menurut data WHO (2013),
diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif, salah satunya ialah BPH,
dengan insidensi di negara maju sebanyak 19%, sedangkan di negara berkembang
sebanyak 5.35% kasus. Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, di
antaranya diderita oleh laki-laki berusia di atas 60 tahun.1

Salah satu panduan untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala


obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score
(IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom
score yang telah distandarisasi. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang
masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Selain itu, di
dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas
hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.

1
2

Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri
tiap-tiap pertanyaan. Kemudian dihitung total skor dengan interpretasi skor 0-7:
bergejala ringan, skor 8- 19: bergejala sedang, skor 20-35: bergejala berat.3,4

Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan


yang penting pada pasien BPH, di samping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik
untuk mencari kemungkinan adanya distensi bulibuli. Dari pemeriksaan colok dubur
ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya
nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.3,5

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah urinalisis,


pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA), dan
pencitraan (foto polos abdomen, pielografi intravena atau PIV, pemeriksaan
ultrasonografi transrektal atau TRUS, atau ultrasonografi transabdominal).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur
residual urine dan pancaran urine.3

Pada studi ini dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki berusia 69 tahun
dengan Benign Prostatic Hyperplasia dengan retensio urine.
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. MDA

Jenis Kelamin : Laki –laki

Umur : 69 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Tukang Bangunan

Status : Menikah

Alamat : Sabang

No. Rekam Medik : 03.64.xx

Tanggal Masuk RS : 11 Oktober 2021

I. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh secara alloanamnesis pada:

 Tanggal : 11 Oktober 2021


 DPJP : dr. Ahmad Fajrial, Sp.U
A. Keluhan Utama

Tidak bisa buang air kecil

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh sulit buang air kecil sejak 1 bulan SMRS, dan memberat
kurang lebih 2 minggu SMRS. Pasien mengaku sulit untuk memulai BAK, Pancaran
kencing lemah, kadang terhenti kemudian lancar kembali. Pasien juga mengeluh
sering berkali kali ke kamar mandi pada malam hari saat tidur malam karena ingin

3
4

BAK namun saat BAK hanya menetes dan merasa kurang puas. BAK tidak keluar
batu, tidak berdarah, demam tidak ada, nyeri pinggang tidak ada, buang air besar
biasa.
- Riwayat perawatan
Pasien telah dipasangkan katater di puskesmas sabang seejak 1 minggu sebelum
di rujuk ke RS
- Riwayat pembedahan ( disangkal)
- Riwayat pengobatan ( disangkal)
- Riwayat alergi

Menurut pasien, pasien tidak memiliki riwayat alergi.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat HT (+) tidak rutin berobat,
D. Riwayat Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit serupa
DM (-), hipertensi (+)
E. Riwayat Kebiasaan

Pasien sudah berhenti merokok sejak lama , konsumsi alkohol ataupun NAPZA
lainnya disangkal.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal Pemeriksaan : 11 Oktober 2021
Tempat Pemeriksaan : Arafah
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Sedang
Tinggi Badan : 159 cm
Berat Badan : 46 kg
BMI : 18,19 = Underweight
Tanda Vital
- Suhu Tubuh : 36.7 oC (per axilla)
5

- Tekanan Darah : 160/90/50


- Nadi : 99 x/menit, regular
- Laju Nafas : 20 x/menit, reguler
B. Status Internus
- Kepala/leher : Normosefali, deformitas (-), bengkak (-)
: Pembesaran KGB -/-
: Pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Mata : Reflek cahaya +/+
: Konjungtiva anemis +/+
: Sklera ikterik -/-
: Pupil isokor, 3mm/3mm
- Hidung : Deformitas (-), nyeri (-), sekret (-)
: Septum nasi ditengah, nafas cuping hidung (-)
- Telinga : Nyeri tekan tragus (-), Sekret (-)
: penurunan fungsi pendengaran (+/+)
- Mulut/faring : Mukosa tidak pucat, hiperemis (-)
: Tonsil T1/T1
: Uvula ditengah
- Thorax
 Paru

Inspeksi : Bentuk dada simetris, barrel chest (-)

: Gerak napas tertinggal (-)

Palpasi : Fremitus taktil menurun

Perkusi : Bunyi redup di apex dextra ,

Auskultasi : Ronkhi (+/-) (-/-)(-/-), wheezing (-/-)(-/-)(-/-),

 Jantung
6

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)

Perkusi : Pekak, batas jantung normal

Auskultasi : S1/S2 normal, (-) murmur, (-) gallop

 Abdomen

Inspeksi : Datar , bekas luka (-)

Auskultasi : Bising usus normal, bruits (-)

Perkusi : Timpani

Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (+)

: Hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri tekan suprapubik


(+), nyeri tekan iliaca dextra (+), nyeri tekan iliaca sinistra (+),
nyeri ketot CVA dex et sinistra (+)

 Punggung : Nyeri punggung bawah (-)

 Ekstremitas : Akral hangat

: Deformitas (-), edema (-)

: CRT <2 detik

C. Status Neurologis
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4 M6 V5

D. Status Lokalis
 Regio CVA dextra-sinistra

 Inspeksi : Simetris, massa (-), oedem(-), jejas (-)


7

 Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-/-), ballotemen(-/-)

 Perkusi : Nyeri ketok (-)

 Regio supra pubis

 Inspeksi : Tampak datar, massa (-), hematom (-), jejas (-)

 Palpasi : Vesica urinaria tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)

 Regio gentalia externa

 Penis

Inspeksi : Sirkumsisi (+), oedem (-), kemerahan dan tanda tanda radang
(-), sekret (-), OUE tidak hiperemis

Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-/-), ballotemen(-/-)

 Skrotum

Inspeksi : Simetris, massa (-), oedem(-), jejas (-), tidak ada tanda-tanda
radang dan oedem

 Regio anal

 Inspeksi : tidak ada tampak massa, fissure (-), fistula (-)

 Palpasi : Rectal toucher : tonus sphincter ani kuat, mukosa


rektum licin, tidak ada massa, ampulla recti intak, serta prostat teraba
membesar, batas atas teraba, konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul
tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada, tidak ada darah dan feses pada
handscoen.

III. DIAGNOSIS BANDING


 Benign Prostatic hyperplasia + Retensi Urin
 Karsinoma prostat
8

 Karsinoma buli-buli
 Prostatitis akut

IV. DIAGNOSIS KERJA


Benign Prostatic Hyperplasia + Retensi urin

V. TATALAKSANA

Non farmakologi

1. Istirahat
2. Minum air yang cukup
3. Menjaga higienitas sekitar
Farmakologi
 Candesartan 1x 8 mg
 Amlodipin 1x5 mg
 Alprazolam 1x0,5 mg
VI. PLANNING
 Darah rutin
 KGDS
 Ur/Cr
 Rapid Antigen SARS-Cov-2
 Urinalisa
 Konsul dokter spesialis penyakit dalam

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tes lab (11 Oktober 2021)

Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Penunjang Pasien

Darah rutin :
 Leukosit : 13 (N: 4,0 – 10,0)
 Eritrosit : 4,73 x106 (N: 4,4-5,9x106)
9

 Hemoglobin : 14,6 (N: 13-18)


 Hematokrit : 43,1 (N: 42-52)
 MCV : 91,1 (N: 79-99)
 MCH : 30,9 (N: 28-33)
 MCHC : 33,9 (N: 33-36)
 Trombosit : 327.000 (N: 150.000-450.000)
Kimia Klinik :
 Glukosa ad Random : 93 mg/dl (70-160)
 Ureum : 16 mg/dl (10-50)
 Creatinin : 0,8 mg/dl (0,6-1,1)
Elektrolit
 Natrium : 123 mmol/L (135-145)
 Kalium : 4,2 mmol/L ( 3,6-5,1)
 Chlorida : 95 mmol/L (95-108)
Immunoserologi
 Rapid antigen SARS-Cov-2 Negaif
Urinalisa
Makroskopis
 Warna : kuning
 Kekeruhan : Keruh
 Urobilinogen : 0,1 mg/dl (normal)
 Nitrit : Positif
 Leukosit esterase : +++ (500)
Sediment Mikroskopis
 Eritrosit : 2-3 /lpb
 Leukosit : 30 – 35 /lpb
 Sel Epitel : 0-1 /lpb
 Bakteri urin : positif
10

VIII. FOLLOW UP
Tabel 2.2 Hasil Follow up pasien

Tanggal Follow up Terapi


12-10- S : Nyeri perut suprapubik (+),
 IVFD RL 20 gtt
2021 pusing (-), Urin berdarah (-), mual
 Candesartan 1x 8 mg
(-), muntah (-)
 Amlodipin 1x5 mg
O : KU : sedang  Alprazolam 1x0,5 mg
TD : 147/81 mmHg Terapi post op
HR : 71x/menit
 Inj. Ceftroperazon 1 gr/12
RR : 22x/menit
jam
T : 36,80C
 Inj. Ketorolac 3 % 1A/8 jam
VAS Nyeri : 6
 Ranitidin 1 A/12 jam
A:
 Transamin 500 mg/8 jam
Post TURP a/i retensi urin ec BPH
Hipertensi stage II
13-10- S : Nyeri perut suprapubik (+),
 IVFD RL 20 gtt
2021 pusing (-), Urin berdarah (-), mual
 Candesartan 1x 8 mg
(-), muntah (-)
 Amlodipin 1x5 mg
O : KU : sedang  Alprazolam 1x0,5 mg
TD : 159/82 mmHg  Inj. Ceftroperazon 1 gr/12
HR : 85x/menit jam
RR : 22x/menit  Inj. Ketorolac 3 % 1A/8 jam
T : 36,80C  Ranitidin 1 A/12 jam
11

VAS Nyeri : 5
 Transamin 500 mg/8 jam
A:

Post TURP a/i retensi urin ec BPH


Hipertensi stage II
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Benign Prostate Hyperplasia (BPH)

BPH adalah tumor jinak yang sebagian besar terjadi pada pria, dan timbulnya
berkaitan dengan usia. Prevelensi histologi BPH pada studi bedah meningkat dari
20% pada pria usia 41-50 tahun, 50% pada pria usia 51-60 tahun dan lebih dari 90%
pada pria usia lebih dari 80 tahun.6 Meskipun upaya penelitian intensif di 5 dasawarsa
terakhir untuk menjelaskan etiologi yang mendasari pertumbuhan prostat pada pria,
sebab dan akibatnya belum dapat ditetapkan.7

3.2 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan proses penuaan. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat.3

a. Teori dihydrotestosterone (DHT)

Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron.


Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif
dihydrotestosterone (DHT) dengan bantuan enzim 5α – reduktase. DHT inilah
yang secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.3

12
13

Gambar 2.1 Perubahan testosterone menjadi dihidrotetosteron oleh enzim 5α


-reduktase

Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5α – reduktase dan jumlah


reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.3

b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada pria dengan usia yang semakin tua, kadar tetosteron makin menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen dan
testosterone relative meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Akibatnya, dengan testosteron yang menurun merangsang
terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah 9 ada memiliki usia
yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.3

c. Interaksi stroma-epitel

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel


prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
14

mempengaruhi sel stroma itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi


sel-sel epitel maupun stroma.3

d. Berkurangnya kematian sel prostat

Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi homeostatis


kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin
meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon
androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.3

e. Teori sel stem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk


sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel 10 ini
bergantung pada hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun (misalnya
pada kastrasi), menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi
sel-sel pada BPH diduga sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.3

3.3 Faktor Risiko

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah : Laki-laki yang


memiliki usia ≥ 50 tahun memiliki risiko sebesar 6,24 (95% CI : 1,71-22,99) kali
lebih besar disbanding dengan laki-laki yang berusia < 50 tahun. Perubahan karena
pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran
urine pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga
menimbulkan gejala10 . Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai
menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun
keatas.8
15

Risiko BPH pada laki-laki dengan riwayat keluarga yang pernah menderita
BPH sebesar 5,28 (95% CI : 1,78-15,69) kali lebih besar dibandingkan dengan yang
tidak mempunyai riwayat keluarga yang pernah menderita BPH. Hasil penelitian ini
sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya, hal ini menunjukkan adanya asosiasi
kausal dari aspek konsistensi. Seseorang akan memiliki risiko terkena BPH lebih
besar bila pada anggota keluarganya ada yang menderita BPH atau kanker Prostat.
Dimana dalam riwayat keluarga ini terdapat mutasi dalam gen yang menyebabkan
fungsi gen sebagai gen penekan tumor mengalami gangguan sehingga sel akan 11
berproliferasi secara terus menerus tanpa adanya batas kendali. Hal ini memenuhi
aspek biologic plausibility dari asosiasi kausal.9

Frekuensi yang rendah dalam mengkonsumsi makanan berserat memiliki risiko


yang lebih besar untuk terkena BPH. 5,35 (95% CI : 1,91-14,99) lebih besar
dibandingkan dengan yang mengkonsumsi makanan berserat dengan frekuensi tinggi.
Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat terjadi akibat dari waktu
transit makanan yang dicernakan cukup lama di usus besar sehingga akan mencegah
proses inisiasi atau mutasi materi genetik di dalam inti sel. Pada sayuran juga
didapatkan mekanisme yang multifaktor dimana di dalamnya dijumpai bahan atau
substansi anti karsinogen seperti karoteniod, selenium dan tocopherol. Dengan diet
makanan berserat atau karoten diharapkan mengurangi pengaruh bahan-bahan dari
luar dan akan memberikan lingkungan yang akan menekan berkembangnya sel-sel
abnormal.9

Kebiasaan merokok menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kebiasaan


merokok mempunyai risiko BPH 3,95 (95% CI : 1,34-11,56) lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Nikotin dan konitin
(produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan aktifitas enzim perusak
androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron.10
16

3.4 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra pars


prostatika dan menghambat aliran urine sehingga menyebabkan tingginya tekanan
intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
untuk melawan tekanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomi buli-buli, yakni:
hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel
bulibuli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS).3

Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak


terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke ureter atau terjadinya refluks vesikoureter.
Jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan jatuh
ke dalam gagal ginjal.3

3.5 Manifestasi Klinis

- Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Manifestasi klinis timbul akibat peningkatan intrauretra yang pada akhirnya


dapat menyebabkan sumbatan aliran urine secara bertahap. Meskipun manifestasi
dan beratnya penyakit bervariasi, tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan
penderita datang berobat, yakni adanya LUTS.11

Untuk menilai tingkat keparahan dari LUTS, bebeapa ahli/organisasi urologi


membuat skoring yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah International 13 Prostatic
Symptom Score (IPSS). Sistem skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan LUTS dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan
kualitas hidup pasien. Dari skor tersebut dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3
derajat, yaitu:3
17

Ringan : skor 0-7

Sedang : skor 8-19

Berat : skor 20-35 2.

- Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang, benjolan
di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis).3

- Gejala diluar saluran kemih

Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis
atau hemoroid, yang timbul karena sering mengejan pada saat berkemih sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.3

3.6 Diagnosis

 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang penuh dan teraba
massa kistik si daerah supra simpisis akibat retensio urine. 3 Pemeriksaan colok
dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan pemeriksaan fisik yang
penting pada BPH, karena dapat menilai tonus sfingter ani, pembesaran atau ukuran
prostat dan kecurigaan adanya keganasan seperti nodul atau perabaan yang keras.3

Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat, konsistensi, cekungan tengah,


simetri, indurasi, krepitasi dan ada tidaknya nodul.3 Colok dubur pada BPH
menunjukkan konsistensi prostat kenyal, seperti meraba ujung hidung, lobus kanan
dan kiri simetris, dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan teraba nodul, dan mungkin antara lobus prostat tidak
simetris.3
18

 Pemeriksaan Laboratorium

Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi


atau inflamasi pada saluran kemih9 . Obstruksi uretra menyebabkan bendungan
saluran kemih sehingga menganggu faal ginjal karena adanya penyulit seperti
hidronefrosis menyebabkan infeksi dan batu saluran kemih9 . Pemeriksaan kultur
urine berguna untuk mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Pemeriksaan sitologi urine digunakan untuk pemeriksaan sitopatologi sel-sel
urotelium yang terlepas dan terbawa oleh urine.3

 Pencitraan

Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin,
yang merupakan tanda retensio urine. Pemeriksaan IVP dapat menerangkan adanya;

 kelainan ginjal atau ureter (hidroureter atau hidronefrosis)

 memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan indentasi


prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter bagian distal
yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)

 penyulit yang terjadi pada buli-buli, yakni: trabekulasi, divertikel, atau sakulasi
buli-buli

3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada kasus ini yaitu dengan open prostatektomi suprapubik


dan ekstraksi batu buli dengan prognosis dubia ad bonam. Tidak semua pasien
hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka yang
mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau
hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun, di antara mereka akhirnya ada
19

yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah.3,12,13

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan
miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu
urin setelah miksi, dan (6) mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai
dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang
invasif.3

a. Watchfull waiting

Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai
suatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
konsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan
atau minuman yang mengiritasi buli-buli, (3) batasi penggunaan obatobat influenza
yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, serta (5)
jangan menahan kencing terlalu lama. Secara periodik pasien diminta untuk datang
kontrol dengan ditanya keluhannya apakah menjadi lebih baik, disamping itu
dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflowmetri.3

b. Medikamentosa

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi


resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan dengan penghambat adrenergik alfa dan (2)
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan
kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-
reduktase. Selain kedua cara tersebut, banyak terapi dengan menggunakan
fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.3,5,14
20

c. Operasi

- Pembedahan terbuka

Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari


Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik
infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau transperineal.
Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih banyak
dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesikal
atau retropubik infravesikal.3,5,13

Gambar 2.2 Open simple prostatectomy

- TURP

Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan


irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup
oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang
dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering
dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades). Pada hiperplasi
prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius, dan pada
pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau
TUIP (Transurethral incision of the prostate) atau insisi leher buli-buli atau BNI
21

(Bladder Neck Incision). Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan


kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan
pemeriksaan ultrasonografi transrektal, dan pengukuran kadar PSA.3,5,13

Gambar 2.3 Transurethral Resection of the prostate (TURP)

- Elektrovaporisasi prostat

Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya saja teknik
ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat,
sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak
banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa rawat di rumah sakit
lebih singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang tidak terlalu
besar ( < 50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.3

3.8 Komplikasi3,5

1. Retensio urine akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

2. Infeksi saluran kemih

3. Involusi kontraksi kandung kemih

4. Refluk kandung kemih


22

5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urine terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urine, sehingga dapat terbentuk batu
saluran kemih dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu
tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis5 .
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang laki-laki Tn. T berusia 69 tahun, tinggal di Sabang , seorang tukang


bangunan, datang ke Poli RSUD Meuraxa pada 11 Oktober 2021 dengan keluhan
utama tidak dapat buang air kecil. Kurang lebih 1 bulan sebelum masuk rumah sakit,
pasien mengeluh sulit buang air kecil (BAK). Pasien mengaku sulit untuk memulai
BAK, dan terkadang harus disertai dengan mengedan untuk BAK, pancaran kencing
lemah, kadang terhenti kemudian lancar kembali. Pasien juga mengeluh sering
berkali-kali ke kamar mandi pada malam hari saat tidur malam karena ingin BAK
namun saat BAK hanya menetes dan merasa kurang puas. BAK keluar batu tidak ada,
BAK berdarah tidak ada, demam tidak ada, nyeri pinggang tidak ada, buang air besar
biasa. Kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh tidak
bisa BAK semkain memberat. Pasien mengejan bila ingin BAK, namun air kencing
tidak dapat keluar. Demam tidak ada, nyeri pinggang tidak ada, mual tidak ada,
muntah tidak ada. Buang air besar biasa. Pasien lalu berobat ke puskesmas sekitar
dan dirujuk ke RSUD Meuraxa Yani dengan diagnosis retensi urine et causa BPH.
Pada 11 Oktober 2021 pasien datang ke poli bedah RSUD Jendral Ahmad Yani
dalam keadaan terpasang kateter. Kemudian pasien dirawat inap pada 11 Oktober
2021. Saat itu pun pada pasien terpasang kateter, air kencing dapat keluar, darah tidak
ada. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis, tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 99x/menit, frekuensi
pernafasan 20x/menit, dan suhu 36,7°C. Status lokalis didapatkan bahwa pada regio
genitalia eksterna terpasang kateter ukuran 16F, urin keluar, warna kuning, tidak ada
darah. Dari rectal toucher didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin,
tidak ada massa, ampulla recti intak, serta prostat teraba membesar, batas atas teraba,
konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada, tidak
ada darah dan feses pada handscoen. Skor hasil pengisian kuesioner IPSS pasien
adalah 22, hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami gejala berat. Perinciannya
adalah sebagai berikut: incomplete emptying (4), frequency (2), intermittency (2),

23
24

urgency (2), weak stream (2), straining (2), nocturia (2), dan kualitas hidup (6). Dari
pemeriksaan penunjang, darah lengkap didapatkan leukosit meningkat (13rb/uL).
Dari USG urologi didapatkan kesan adanya symple cyst ren dextra, vesicolithiasis,
pembesaran prostat (volume 42,3 ml) dengan kalsifikasi dan protusi ke VU, serta tak
tampak kelainan pada ren sinistra. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang di atas pasien diagnosa Benign Prostatic Hyperplasia dengan
retensio urine dan vesicolithiasis. Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai
BPH (benign prostatic hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.1 BPH merupakan salah
satu keadaan yang menyebabkan gangguan miksi yaitu retensio urin yang
mengakibatkan supersaturasi urin, sehingga rentan untuk terbentuknya batu buli.

Diagnosis banding dari kasus ini adalah karsinoma prostat, karsinoma buli-buli
dan prostatitis akut. Karsinoma prostat dijadikan diagnosis banding berdasarkan pada
anamnesa bahwa pasien mengalami susah buang air kecil. Pasien juga merasakan
kesulitan untuk memulai BAK dan terkadang harus mengedan untuk buang air kecil,
pancaran semakin melemah dan kadang pasien mengalami kencing tiba-tiba berhenti
dan lancar kembali. Diagnosis karsinoma prostat disingkirkan karena pada
pemeriksaan rectal toucher konsistensi prostat kenyal, berbeda dengan karsinoma
prostat yang konsistensi prostatnya keras serta dapat teraba nodul. Prostatitis akut
dijadikan diagnosis banding karena berdasarkan anamnesa pasien mengeluh dirinya
sering berkali-kali ke kamar mandi dikarenakan hasrat ingin BAK tetapi saat BAK
hanya menetes dan BAK tidak lampias. Prostatitis akut disingkirkan karena pada
pasien ini tidak mengalami demam, sakit di punggung bawah dan bagian kelamin. 3,5,15
Batu buli-buli atau vesicolithiasis sering terjadi pada pasien yang menderita gangguan
miksi. Gangguan miksi salah satunya dapat terjadi pada pasien hiperplasia prostat.
Kateter yang terpasang pada buli-buli dalam waktu yang lama juga seringkali menjadi
inti untuk terbentuknya batu buli-buli. Hal lain yang dapat menyebabkan
terbentuknya batu buli ialah adanya benda asing yang tidak sengaja dimasukkan ke
dalam buli-buli atau batu ureter yang turun ke buli-buli. 3 Penatalaksanaan pada kasus
25

ini yaitu dengan TURP (transuretrhral resection of the prostate) dengan prognosis
dubia ad bonam. Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan
medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri
tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja.
Namun, di antara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa
atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.3,13 Tujuan terapi
pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu
urin setelah miksi, dan (6) mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai
dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang
invasif.3 a. Watchfull waiting Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH
dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai suatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1)
jangan konsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli, (3) batasi penggunaan obatobat
influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin,
serta (5) jangan menahan kencing terlalu lama. Secara periodik pasien diminta untuk
datang kontrol dengan ditanya keluhannya apakah menjadi lebih baik, disamping itu
dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflowmetri. 3 b.
Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan dengan penghambat adrenergik alfa dan (2)
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar
hormon testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase.
Selain kedua cara tersebut, banyak terapi dengan menggunakan fitofarmaka yang
mekanisme kerjanya masih belum jelas.5,14
26

Terapi pembedahan yang dilakukan pada pasien adalah TURP, yaitu Reseksi
kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan irigan
(pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah.
Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar
tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan
harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades). Pada hiperplasi prostat yang tidak
begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius, dan pada pasien yang umurnya
masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau TUIP (Transurethral
incision of the prostate) atau insisi leher buli-buli atau BNI (Bladder Neck Incision).
Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma
prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi
transrektal, dan pengukuran kadar PSA.3,5

Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu


kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol
tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalani. Pasien yang hanya mendapatkan
pengawasan dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk
mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan
skor IPSS, uroflowmetri, dan residu urin pasca miksi. Setelah pembedahan, pasien
harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk
mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapat terapi invasfi minimal harus
menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3
bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif
minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan
kultur urin.3
DAFTAR PUSTAKA

1. D. W. Kemalasari, R. Nilapsari, dan Rusmartini, “Korelasi Disfungsi Seksual


dengan Usia dan Terapi Pada Benign Prostatic Hyperplasia,” vol. 3 No. 2, Sep
2015.

2. F. Adelia, A. Monoarfa, dan A. Wagiu, “Gambaran Benigna Prostat


Hiperplasia di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2014 –
Juli 2017,” hlm. 3.

3. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi Edisi kedua. CV. Sagung Seto. Jakarta :
2007.

4. Brunicardi CF. Schwartz’s principles of surgery. Ninth edition. USA:


McGrawHills. 2010.

5. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam:


Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi keempat. Jakarta: EGC. 2017; hlm. 899-903.

6. Joseph C. Presti, Jr, MD, Christopher J. Kane, MD, Katsuto Shinohara, MD, &
Peter R. Carroll M. Smith’s General Urology. Neoplasms of the Prostate
Gland. 17th ed.; 2008.

7. Louis R. Kavoussi, MD M, Andrew C. Novick M, Alan W. Partin, MD P,


Craig A. Peters, MD, FACS F, eds. Campbell-Walsh Urology. Benign
Prostatic Hyperplasia. 10th ed.; 2012.

8. Zucchetto A, Dkk. History of weight and obesity through life and risk of
benign prostatic hyperplasia. Int J Obes. 2005;29:798-803.

9. Neuhouser D. Steroid hormones and hormone-related genetic and lifestyle


characteristics as risk factors for benign prostatic hyperplasia. Rev Epidemiol
Lit Urol. 64(2):201-211.

10. Platz E, Dkk. Alcohol Consumption, Cigarette Smoking, and Risk of Benign

27
28

Prostatic Hyperplasia. Am J Epidemiol. 149(2):106-115.

11. Fadlol, Mochtar. Prediksi Volume Prostat pada Penderita Pembesaran Prostat
Jinak. Indones J Surg. 2005;XXXIII-4:139-145.

12. Reksoprodjo S. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Staf Pengajar Bagian
Ilmu Bedah FK UI. 2010.

13. Chung ASJ, Woo HH. Update on minimally invasive surgery and benign
prostatic hyperplasia. J AsUro. 2018;5:22-27.

14. Katzung BG, Trevor AJ, Masters SB. Benign prostatic hyperplasia. In:
Katzung and Trevor’s Pharmacology. Sixth edition. USA: McGraw-Hill. 2012.
p.483-86.

15. Strope SA. Evidence-based guidelines in lower urinary tract symptoms


secondary to benign prostatic hyperplasia and variation in care. Wolters
Kluwer Health. 2018;28(00):1-5.

Anda mungkin juga menyukai