Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

PERITONITIS EC PERFORASI GASTER

Disusun Oleh:
Ibrahim Rizal Latuconsina
1102013129

Pembimbing:
dr. Kalis Satya Wijaya, Sp.B, Sp.BA

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Periode 15 Maret – 25 April 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW,
dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya, penulis
dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul “Peritonitis ec Perforasi Gaster”. Penulisan
laporan kasus ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh kepanitraan klinik di
bagian departemen ilmu bedah di RSUD Kabupaten Bekasi.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan laporan kasus ini tidak terlepas dari
bantuan dan dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada dr. Kalis
Satya Wijaya, Sp.B, Sp.BA yang telah memberikan arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan
padatnya aktivitas beliau.
Penulis menyadari penulisan presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun demi perbaikan penulisan presentasi kasus ini. Akhir kata penulis berharap
penulisan presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bekasi, 4 April 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Peritonitis merupakan suatu kejadian mengancam nyawa yang umumnya disertai adanya
bacteremia dan sindrom sepsis.1 Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada
peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history,
dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya. Peritonitis akut umumnya bersifat infectious dan
berhubungan dengan perforasi holoviskus (disebut sebagai peritonitis sekunder).1,2 Etiologi umum
dari peritonitis sekunder, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau
duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan strangulasi.2

Tingkat mortalitas dari peritonitis yang terasosiasi dengan perforasi ulkus, appendiks, dan
diverticulum dibawah 10% pada pasien tanpa riwayat penyakit penyerta, namun tingkat mortalitas
sampai 40% dilaporkan pada pasien geriatrik, pasien dengan riwayat penyakit penyerta, dan
apabila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam.1 Oleh karena itu, sebagai calon dokter
umum yang akan berjaga di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit, harus dapat mendiagnosis
dan memberikan penanganan awal yang tepat pada peritonitis akut agar resiko terjadinya
mortalitas dapat dihindari.
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. H

Umur : 48 Tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Tanggal masuk RS : 20 Maret 2021

Tanggal Pemeriksaan : 21 Maret 2021

II. ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis dengan pasien

Tanggal : 21 Maret 2021

Tempat : Instalasi Bedah Sentral RSUD Kab.Bekasi

A. Keluhan Utama : Nyeri seluruh lapang perut

B. Keluhan Tambahan : Mual,perut terasa kembung, sesak nafas

C. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien laki-laki datang ke IGD RSUD Kab.Bekasi pada hari sabtu tangga 20
maret 2021 dengan keluhan utama nyeri pada daerah seluruh lapang perut sejak 1 minggu
SMRS dan memberat sejak 2 hari SMRS. Pada awalnya, nyeri dirasakan pada bagian ulu hati
dan hilang timbul lalu nyeri menyebar ke seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan terus menerus
dan rasanya seperti dililit. Pasien mengaku semakin nyeri bila batuk, berjalan atau menekuk
perutnya. Nyeri dikatakan berkurang bila pasien berbaring. Pasien juga merasakan sesak yang
cukup berat tapi tidak dipengaruhi oleh posisi (Berbaring/duduk), merasakan mual tapi tidak
disertai muntah, dan perut terasa kembung. Keluhan lain seperti demam disangkal oleh pasien.
Pasien jega mengaku kurang suka memakan makanan tinggi serat seperti sayur
dan buah-buahan. BAB dan BAK pasien masih lancar dan tidak ada keluhan, Pasien juga
masih dapat buang angin hingga saat ini. Pasien mengatakan memiliki kebiasaan
mengonsumsi jamu-jamuan herbal yang dibelinya di tukang jamu keliling.

D. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Tidak ada riwayat operasi
sebelumnya.

E. Riwayat Penyakit Keluarga :

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit keluarga yang ada hubungannya dengan
keluhan pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Tampak sakit berat


Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
- Nadi : 86 x/menit, regular
- Tekanan Darah : 138/78 mmHg
- RR : 26 x/menit
- Suhu : 36.6 oC (axilla)
- SpO2 : 96 %

B. Pemeriksaan Khusus

Status Generalis:
Kepala Bentuk : Normocephale
Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-),
Mulut : Sianosis (-)
Leher
Inspeksi : Bentuk normal, deviasi trakea (-)
Palpasi : Tidak ada pembesaram KGB
Thoraks Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Tidak tampak ictus kordis
Palpasi : Teraba ictus cordis di sekitar papilla mammae sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Bentuk cembung, tidak tampak darm contour atau


darm steifung

Auskultasi : Bising usus (+)


Tidak ada clicking sound maupun metallic sound
Perkusi : Timpani pada kesembilan regio abdomen, nyeri
saat perkusi (+) di seluruh lapang abdomen,
Palpasi : Nyeri tekan pada seluruh regio abdomen
Defans muscular (+), nyeri lepas seluruh lapang
abdomen (+), massa (-), hepar dan lien tidak
membesar.

Pemeriksaan Khusus: Rovsing’s sign (+), Psoas


sign (+), Obturator sign (+)

Ekstremitas Superior : deformitas (-), edema (-/-), CRT < 2 detik


Inferior : deformitas (-), edema (-/-), CRT < 2 detik

Kulit Inspeksi : Ikterik (-), sianosis (-)


Palpasi : Turgor kulit baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan H2TL 20/03/2021

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Hemoglobin 13,0 g/dL 15,2-23,6
Leukosit 13.600 /µL 3.400-34.000
Hematokrit 36 % 44-72
Trombosit 281.000 /µL 150.000-450.000

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Basofil 0 % 0,0 – 1,0
Eosinofil 1 % 1,0 – 6,0
Neutrofil 83 % 50 – 70
Limfosit 10 % 20 – 40
Monosit 6 % 2–9
Laju Endap Darah 10 mm/jam <10
(LED)

Pemeriksaan Kimia Klinik

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Gula Darah Sewaktu 99 mg/dL Normal : 80 - 170

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Natrium 141 mmol/L 135-145

Kalium 3.5 mmol/L 3.4-6.0

Klorida (Cl) 101 mmol/L 96-106

Pemeriksaan Foto Thorax

Kesan : Kardiomegali
Pemeriksaan foto BNO 3 posisi

Kesan : Pneumoperitoneum
V. RESUME
Seorang pasien laki-laki berusia 48 datang ke IGD RSUD Kab.Bekasi pada hari
sabtu tangga 20 maret 2021 dengan keluhan utama nyeri pada daerah seluruh lapang perut
sejak 1 minggu SMRS dan memberat sejak 2 hari SMRS. Keluhan dirasakan pada bagian ulu
hati dan hilang timbul lalu nyeri menyebar ke seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan terus
menerus dan rasanya seperti dililit. Pasien mengaku semakin nyeri bila batuk, berjalan atau
menekuk perutnya. Nyeri dikatakan berkurang bila pasien berbaring. Pasien juga merasakan
sesak yang cukup berat tapi tidak dipengaruhi oleh posisi (Berbaring/duduk), merasakan mual
tapi tidak disertai muntah, dan perut terasa kembung.
Tanda vital pasien didapatkan peningkatan respiration rate lain-lain dalam batas
normal. Pada pemeriksaan status generalis pada regio abdomen didapatkan bentuk cembung,
bising usus(+), nyeri saat perkusi (+) di seluruh lapang abdomen, Nyeri tekan pada seluruh
regio abdomen, defans muscular (+), nyeri lepas seluruh lapang abdomen (+), dan Rovsing’s
sign (+), Psoas sign (+), Obturator sign (+).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatan leukositosis. Pada pemeriksaan foto
polos thorax AP didapatan kesankardiomegali dan BNO 3 posisi didapatkan kesan
pneumoperitoneum.
VI. DIAGNOSIS KERJA
Peritonitis ec perforasi gaster

VII. DIAGNOSIS BANDING


Peritonitis ec perforasi gaster
Peritonitis ec appendicitis

VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan Preoperatif
1. Puasa
2. IVFD Nacl 500cc
3. Inj Omeprazole 40 mg/12 jam
4. Inj Tramadol 1 amp/8 jam
5. Inj Ceftriaxone 1 x 2 gr
6. Inj Ondancentron 4 mg/8 jam
7. Rencana operasi laparotomi cito
Operatif
Laporan Pembedahan dengan Pendampingan Anastesi
Tanggal : 21 Maret 2021
Diagnosa Pra Bedah : Peritonotis Difuse ec Perforasi Gaster
Tindakan Pembedahan : Laparatomi + Repair Gaster
Diagnosa Pasca Bedah : Sesuai
Jenis Anastesi : General Anastesi
Tindakan Operasi : 1. Dilakukan tindakan asepsis dan antiseptik pada daerah operasi
2. Dilakukan insisi Median
3. Evakuasi pus + cairan gaster
4. Identifikasi gaster
5. Abdominal Suction
6. Perdarahan dirawat
7. Luka OP dirawat

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
3.1.1 Anatomi Peritoneum

Peritoneum terletak pada sebelah dalam fasia ekstraperitoneal (Gambar 1). Struktur ini
terdiri atas membran serosa tipis yang melapisi dinding kavitas abdominalis dan pada beberapa
titik berefleksi ke visera abdomen untuk berperan sebagai penutup lengkap atau sebagian. Pada
laki-laki, rongga peritoneum tertutup sepenuhnya, sementara pada perempuan rongga ini
berhubungan dengan tuba uterina dan secara tidak langsung berhubungan juga dengan eksterior
tubuh. Ada 2 lapisan peritoneum; peritoneum yang melapisi dinding abdomen disebut peritoneum
parietal, sementara peritoneum yang melapisi visera disebut peritoneum viseral.melalui kavitas
peritoneal, di atas intesninum dan di permukaan visera.1,22

Fungsi dari peritoneum adalah meminimalisir friksi, mencegah infeksi, dan menyimpan
lemak. Ia juga melindungi visera abdomen. Dalam merespons cedera atau infeksi, peritoneum
mengeksudasi cairan dan sell serta membatasi atau melokalisir infeksi.1

Gambar 1. Lapisan dinding abdomen


Gambar 2. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal dan visceral

Gambar dikutip dari: Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring
S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Edition. Churchill
Livingstone El Sevier. 2008.

3.1.2 Ruang Peritoneum

Peritoneum memiliki rongga yang dibagi menjadi beberapa ruang. ruang subfrenik
sebenarnya mencakup daerah antara diafragma dan kolon transverse dan mesokolon. Maka, abses
subhepatik juga termasuk ke dalam kelompok ini. Rongga subfrenik ini dibagi menjadi bagian
suprahepatik dan infrahepatik. Tiap kompartemennya dibagi lagi menjadi tiga ruang yang lebih
kecil. Dari diafragma hingga hati, ligamentum falsiformis suspensorium membagi ruang
suprahepatik menjadi ruangan menjadi ruang kanan dan kiri dengan ukuran yang sama.(Gambar
2) Bagian suprahepatik kanan sibagi oleh ekstensi lateral dari ligamentum kardinal dari hati
menjadi ruang anterior superior dan ruang posterior superior yang lebih kecil. Bagian infrahepatik
dibagi juga menjadi setengah kanan dan setengah kiri oleh round ligament dan ligamen dari duktus
venosus. Di sana juga terdapat ruang inferior kanan, di ruang anterior inferior kiri dan posterior
inferior kiri.24,25
Gambar 2.Potongan koronal dari rongga peritoneum.24

3.1.3 Persarafan peritoneum

Peritoneum viseral tidak memiliki sistem saraf, sementara peritoneum parietal disuplai
oleh saraf-saraf seperti saraf frenik dan torako-abdominal. Persarafan peritoneum parietal ini
berhubungan dengan dinding abdomen dan sebagian besar dari mereka sensitif terhadap nyeri.
Iritasi peritoneum dapat menstimulasi saraf aferen viseral, sehingga dapat menimbulkan gejala
mual dan muntah.22,26

Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen yang
mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen,6 sedangkan peritoneum visceral
dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga memberikan suplai saraf otonom pada organ
visceral tersebut.7 Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi
apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau parietal. Nyeri yang
terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor)
di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap
lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi
nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal
peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized hypercontractility (muscle guarding) dan
perut papan (rigidity of abdominal wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak
memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal.
Ketika saraf visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu
daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur
midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7
3.1.4 Mekanisme pertahanan peritoneum

Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah membran
basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa, makrofag, fibroblast,
limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen.4 Total luas permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2.
Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan
yang berisikan makrofag, sel mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat
difusi semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara terus-
menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti cairan dan zat-zat
terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat orifisum yang dibentuk oleh sel-sel
mesotelium terspesialisasi yang terletak di permukaan subdiafragma dalam rongga peritoneum
menuju sirkulasi limfatik.4 Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan diafragman dan tekanan
thorako-abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh untuk
menjaga peritoneum tetap steril.

Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada rongga


peritoneum.4 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya inflamasi, namun
adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-4 jam dan sel-sel PMN
(Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam 48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan
mengeluarkan sitokin, antara lain interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor),
leukotriene, platelet activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya
inflamasi lokal pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan
fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh yang secara
temporer menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga peritoneum serta menjerat
bakteri dalam sebuah “perangkap”.4 Mekanisme pertahanan inilah yang menyebabkan
pembentukan sebuah abses. Selain itu, omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk
memfasilitasi pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah daerah
subphrenic.
Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan eksudat)
memiliki efek paradoks.4 Eliminasi mekanik pada mekanisme pertahanan yang pertama
sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila masif dapat mengakibatkan shok septik dan
berakhir dengan kematian. Pembentukan eksudat dan reaksi peradangan yang kaya akan sel
fagositik dan opsonin dapat menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin berpindah pada
rongga abdomen.

3.2 Peritonitis

3.2.1 Definisi

Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh
selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen. Peritonitis merupakan
penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronis, biasanya disertai dengan
gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan
biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran
infeksi yang berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi
dari organ lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar dari
organ lain yang menjalar melalui darah.(3)

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecil), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, hal tersebut
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.7

3.2.2 Etiologi

Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga disebabkan oleh zat
kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi obat atau diinduksi oleh penyebab
lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat diklasifikasikan primer atau sekunder,
bergantung pada apakah integritas saluran gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP) merupakan infeksi
bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Hal ini
jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi
monomikroba. Streptococcus pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya.
Faktor risiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra
abdomen, imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan
asites.3,4,6,7
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang terjadi akibat
hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan anaerob sering terlibat, dan
kuman tersering adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1) invasi langsung
dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen, infeksi saat laparatomi); (2)
translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak (misalnya pada perforasi ulkus
duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya
anastomosis); (3) melalui aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis
primer dimana terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus
β-hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal hati dan
asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung dari
lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis akut, perforasi uterus akibat
alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis,
dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster. Peritonitis steril akan
berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa jam akibat transmigrasi
mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan dapat terjadi
berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat penyatuan duktus sistikus saat
kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis tuberkulosis, peritonitis klamidia,
dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4

Area sumber Penyebab


Esofagus Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Sindrom Boerhaave
Lambung Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma,
tumor stroma gastrointestinal)
Trauma
Iatrogenik
Duodenum Perforasi ulkus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenik
Traktus bilier Kolesistitis
Perforasi batu dari kandung empedu
Keganasan
Kista duktus koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu
empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon
Hernia inkarserata
Obstruksi loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma
Kolon desendens dan Iskemia kolon
apendiks Divertikulitis
Keganasan
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Apendisitis
Volvulus kolon
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma

3.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:17
1. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara
hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen
.Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococ
us. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik : misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien
dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupuseritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites

2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organism dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas
dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum
peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh
bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendicitis.
3. Peritonitis tersier
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine.
4. Peritonitis bentuk lain dari peritonitis, yaitu :
- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis

3.2.4 Patofisiologi

Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda dalam
patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya peritonitis tidak berasal dari traktus
gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi tidak berhubungan langsung dengan gangguan
organ gastrointestinal),3,8 sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas
traktus (perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi.3

Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap
mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8 Dalam keadaan fisiologis tidak ada
hubungan langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun apabila
terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti appendisitis
perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena
diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau
obturator).2 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan
Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk dalam rongga
peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial (gram negatif
aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut menyebabkan reaksi
peradangan seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan peritoneum (dari
eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik menjadi salah satu jalur
utama bagi bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah (bakteremia) yang pada akhirnya
dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS (Multiple Organ
Dysfunction Syndrome). Reaksi peradangan lokal menyebabkan peningkatan permeabilitas dari
pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan ke “rongga ketiga” yang dapat
berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat berlanjut menjadi SIRS
(Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana dapat ditemukan dua tanda berikut,
antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90 kali/menit, laju nafas >20 kali/menit, or PaCO2
<32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or <4000 sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang).
Proses inflamasi akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis
dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan
tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus
paralitik menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.

Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai patofisiologi
terjadinya peritonitis.11 Pada manifestasi lokal ditemukan adanya nyeri perut hebat, nyeri tekan
seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum), rebound tenderness, adanya muscle guarding
atau rigidity (perut papan), dan manifestasi klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen,
penurunan bising usus), sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan adanya demam,
takikardia, takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS).

3.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis pada peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat atau tersebar di
seluruh abdomen. Nyeri akan semakin berat apabila pasien bergerak.

Gejala lainnya seperti demam dimana temperatur >38C namun pada kondisi sepsis yang
berat dapat terjadi hipotermia, mual dan muntah dapat timbul akibat adanya kelainan patologis
organ visera atau akibat iritasi peritoneum, adanya cairan dalam rongga abdomen dapat
mendorong diafragma yang mengakibatkan kesulitan bernafas. Apabila pendarahan terjadi terus
menerus, dapat terjadi kondisi hipovolemia yang mengakibatkan syok hipovolemik, distensi
abdomen dengan penurunan / tidak terdengarnya bising usus, perut papan (rigiditas abdomen)
yang terjadi akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon terhadap
penekanan pada dinding abdomen maupun involunter sebagai respon terhadap iritasi
peritoneum, nyeri tekan dan nyeri lepas, takikardia akibat pelepasan mediator inflamasi, serta
tidak dapat buang air besar atau flatus.

3.2.6 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik abdomen dapat ditemukan adanya distensi perut pada
inspeksi,suara bising usus yang menurun, nyeri tekan, nyeri lepas, dan defans muskular positif
pada palpasi, serta pada perkusi dapat ditemukan nyeri ketok, hipertimpani akibat perut
kembung, redup hepar yang menghilang akibat perforasi organ berisi udara sehingga udara akan
mengisi rongga peritoneal dan terjadi perubahan suara redup menjadi timpani.

Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan leukositosis dengan pergeseran ke kiri


pada Differential count leukosit. Pada pasien immunocompromised dapat terjadi leukopenia.
Pada pemeriksaan foto polos abdomen dapat ditemukan adanya bayangan peritoneal fat line dan
psoas line yang kabur karena inflitrasi sel radang, selain itu dapat tampak udara usus merata
berbeda dengan gambaran ileus obstruksi, dapat juga terlihat penebalan dinding usus akibat
edema, dan gambaran udara bebas. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
dengan USG abdomen. CT-scan, dan MRI.

Gambar 3. Hasil X ray abdomen pada pasien dengan peritonitis karena perforasi jejunum yang
menggambarkan udara bebas subdiafragma dextra pada panah A, air fluid level ekstralumen
pada panah B, bayangan psoas line hilang pada panah C, dan air fluid level normal di
lambung pada panah D.38

Gambar 5. Hasil USG yang menunjukkan apendisitis akut dengan abses periappendiceal.
39

Gambar 6. Hasil CT scan abdomen yang menunjukka apendiks yang inflamasi pada bagian ruptur
dengan abses disekeliling apendiks. Apendicolith terlihat di dalam lumen apendiks. Terbentuk gas

di dalam abses dan adanya fat stranding pada mesenterika sekeliling apendiks.39
3.2.7 Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad spectrum,
seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau ceftriaxone 1x2 gram),
penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang dewasa
dengan fungsi ginjal normal). 12 Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien
dengan primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya
mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah yang negatif).
Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya rekurensi pada SBP, sampai 70%
pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan
tingkat rekurensi menjadi <20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik,
antara lain ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.12

Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi etiologi (source
control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik sistemik, dan terapi suportif
(resusitasi).2 Tidak seperti penanganan peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-
pembedahan, sine qua non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan
bersifat life-saving.12 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and definitive source control”
dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat mengeliminasi bakteri dan
toksinnya dalam rongga abdomen.13 Keterlambatan dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan
dapat memperburuk prognosis.

Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi cairan


(resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk mencegah terjadinya syok
hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah disfungsi organ.2,13 Pemberian antibiotik
mencakup bakteri gram positif dan negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi
upper GI tract lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan colon lebih
mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).2,4 Beberapa pilihan regimen antibiotik yang
direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/ β-lactamase inhibitor
(ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750
mg intravena), atau sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan
metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan
imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena).12 Pemberian antibiotik
dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal dan hitung jenis batang < 3%.11
Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain
mean arterial pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central
venous pressure CVP antara 8-12mmHg).4 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric
tube (NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan.13 Pada pasien
penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari kontaminasi (koreksi
etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan mencegah sepsis.4,13 Pendekatan bedah
dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan
komplit tercapai.13 Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami
perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).4,11 Pada perforasi kolon lebih
aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus di
kemudian hari (beberapa minggu setelah keadaan umum pasien membaik).11 Pembilasan
(peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan
bilasan jernih dengan tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis
dan re-akumulasi dari pus).4,11,13 Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan
iodine atau agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara
ideal, fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup
dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat
dilakukan (delayed primary closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen,
pada laporan kasus ini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).

3.2.10 Komplikasi
Komplikasi lain yang dapat muncul pada kasus peritonitis adalah adesi dan shock sepsis.
Adesi dari organ - organ intra abdomen dapat menyebabkan obstruksi usus atau volvulus. Penilaian
suspek sepsis pada pasien dengan infeksi yang tidak dirawat dalam ICU dapat dilakukan dengan
Quick Sepsis-related Organ Failure Assesment (qSOFA). qSOFA terdiri dari variabel takipnea
lebih dari sama dengan 22, perubahan status kesadaran dengan GCS < 15, dan hipotensi dengan
tekanan darah sistolik 100 mmHg. Setiap variabelnya memiliki poin satu dan total poin 0 atau 1
memiliki risiko yang rendah dan pasien dapat ditangani dengan manajemen yang sesuai. Namun,
total poin 2 atau 3 diasosiasikan dengan tingkat mortalitas lebih dari 10% dan pasien harus
ditangani dengan evaluasi tanda - tanda adanya disfungsi organ. Untuk menilai disfungsi organ
secara lebih lanjut dan kemungkinan sepsis dapat dilakukan Sepsis-related Organ Failure
Assesment (SOFA).16, 18
Gambar 7. Penilaian SOFA.
3.2.9 Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah 10%-40% pada perforasi
kolon (Tabel 2).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias yang tinggi adalah etiologi
penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia
pasien, dan keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien dengan
perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri yang minim, dan
diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk (APACHE II atau Mannheim
Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat serum albumin preoperatif yang rendah
merupakan pasien resiko tinggi yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan
angka mortalitas yang tinggi.

Tabel 2. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi

3.1.1 Anatomi

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di bawah

diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh,

berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2 liter. Secara
anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrumpilorikum atau pilorus. Sebelah kanan

atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat

kurvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang

terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam

lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat

pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal

berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan

mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung.

Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami stenosis

(penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus peptikum. Abnormalitas

sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis pilorus atau piloro spasme terjadi bila serabut

otot di sekelilingnya mengalami hipertrofi atau spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk

mengalirkan makanan dari lambung ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan

tersebut dan tidak mencerna serta menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat diperbaiki melalui

operasi atau pemberian obat adrenergik yang menyebabkan relaksasi serabut otot.

Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar merupakan bagian

dari peritonium viseralis. Dua lapisan peritonium viseralis menyatu pada kurvatura minor lambung

dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan

peritonium yang keluar dari satu organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi

omentum minus (disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong

lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritonium terus ke

bawah membentuk omentum majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron
besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista

pankreatikum) akibat penyulit pankreatitis akut.

Gambar 3.1 Anatomi Lambung

Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga lapis dan

bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular di tengah, dan

lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam

kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel-partikel yang

kecil, mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya

ke arah duodenum.

Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa

dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan peristaltik.

Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe.

Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal disebut rugae,

yang memungkinkan terjadinya disternsi lambung sewaktu diisi makanan. Terdapat beberapa tipe

kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya.

Kelenjar kardia berada di dekat orifisium kardia dan menyekresikan mukus. Kelenjar fundus atau
gastrik terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga

tipe sel utama. Sel-sel zimogenik (chief cell) menyekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah

menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel-sel parietal menyekresikan asam hidroklorida (HCL) dan

faktor intrinsik. Faktor intrisik diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 di dalam usus halus.

Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa. Sel-sel mukus

(leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan menyekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi

oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk

menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung

adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium dan klorida.

Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf

parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus.

Trunkus vagus mencabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan seliaka. Persarafan simpatis

melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan

impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di

daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut aferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi

lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner) membentuk persarafan

intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.

Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa) terutama

berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang

menyuplai kurvatura minor dan major. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria

gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang

bulbus posterior duodenum. Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi arteri ini

dan menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta yang
berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke hati melalui vena

porta.

Gambar 3.2 Suplai darah Lambung dan Duodenum

3.2 Perforasi Gaster

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebab perforasi

gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, kerusakan akibat

trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem

gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung dan

duodenum.Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan

(perforatio tecta).

Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul perut sangat

jarang dengan insidensinya 1-7 %.Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada ulkus peptikum

merupakan penyebab yang tersering.Perforasi ulkus duodenum insidensinya 2-3 kali lebih banyak

daripada perforasi ulkus gaster.Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan
pada lambung.Sekitar 10-15% penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi

perforasi bebas.Pada pasien yang lebih tua appendicitis acut mempunyai angka kematian sebanyak

35 % dan angka kesakitan 50 %.Faktor-faktor utama yang berperan terhadap angka kesakitan dan

kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi medis yang berat yang menyertai

appedndicitis tersebut.

3.2.1 Etiologi

• Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh: trauma tertusuk

pisau)

• Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering ditemukan pada anak-anak

dibandingkan orang dewasa.

• Obat aspirin, NSAID (misalnya fenilbutazon, antalgin,dan natrium diclofenac) serta

golongan obat anti inflamasi steroid diantaranya deksametason dan prednisone. Sering

ditemukan pada orang dewasa.

• Kondisi yang mempredisposisi : ulkus peptikum, appendicitis akut, divertikulosis akut, dan

divertikulum Meckel yang terinflamasi.

• Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab umum perforasi usus

pada pasien yang lebih tua dan berhubungan dengan hasil akhir yang buruk.

• Luka usus yang berhubungan dengan endoscopic : luka dapat terjadi oleh ERCP dan

colonoscopy.

• Fungsi usus sebagai suatu komplikasi laparoscopic: faktor yang mungkin

mempredisposisikan pasien ini adalah obesitas, kehamilan, inflamasi usus akut dan kronik

dan obstruksi usus.


• Infeksi bakteri: infeksi bakteri ( demam typoid) mempunyai komplikasi menjadi perforasi

usus pada sekitar 5 % pasien. Komplikasi perforasi pada pasien ini sering tidak terduga

terjadi pada saat kondisi pasien mulai membaik.

• Penyakit inflamasi usus : perforasi usus dapat muncul pada paien dengan colitis ulceratif

akut, dan perforasi ileum terminal dapat muncul pada pasien dengan Crohn’s disease.

• Perforasi sekunder dari iskemik usus (colitis iskemik) dapat timbul.

• Perforasi usus dapat terjadi karena keganasan didalam perut atau limphoma

• Radiotherapi dari keganasan cervik dan keganasan intra abdominal lainnya dapat

berhubungan dengan komplikasi lanjut, termasuk obstruksi usus dan perforasi usus.

• Benda asing ( misalnyatusuk gigi atau jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi

oesophagus, gaster, atau usus kecil dengan infeksi intra abdomen, peritonitis, dan sepsis.

3.2.2 Patofisologi

Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme lainnya karena kadar

asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal

memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak berada pada resiko kontaminasi bakteri yang

mengikuti perforasi gaster.Bagaimana pun juga mereka yang memiliki maslah gaster sebelumnya

berada pada resiko kontaminasi peritoneal pada perforasi gaster.Kebocoran asam lambung

kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak ditutup

dan partikel makanan mengenai rongga peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh

perkembangan yang bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa

jam antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut.

Mikrobiologi dari usus kecil berubah dari proksimal samapi ke distalnya. Beberapa bakteri

menempati bagian proksimal dari usus kecil dimana, pada bagian distal dari usus kecil (jejunum
dan ileum) ditempati oleh bakteri aerob (E.Coli) dan anaerob ( Bacteriodes fragilis (lebih banyak)).

Kecenderungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus bagian distal.

Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel inflamasi akut.

Omentum dan organ-organ visceral cenderung melokalisir proses peradangan, mengahasilkan

phlegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi kolon). Hypoksia yang diakibatkannya didaerah itu

memfasilisasi tumbuhnya bakteri anaerob dan menggangu aktifitas bakterisidal dari granulosit,

yang mana mengarah pada peningkatan aktifitas fagosit daripada granulosit, degradasi sel-sel, dan

pengentalan cairan sehingga membentuk abscess, efek osmotik, dan pergeseran cairan yang lebih

banyak ke lokasi abscess, dan diikuti pembesaran absces pada perut. Jika tidak ditangani terjadi

bakteriemia, sepsis, multiple organ failure dan shock.

3.2.3 Gejala klinik

Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan disertai nausea,

vomitus, pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil.

3.2.4 Pemeriksaan fisik

• Pemeriksaan pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal seperti luka, abrasi,

dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas,

periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit abdomen. Pada perforasi ulkus

peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen

seperti papan.

• Palpasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan

tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan suatu peritonitis. rasa

kembung dan konsistensi sperti adonan roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal.

• Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum


• Pada auskultasi : bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu peritonitis difusa.

• Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis : pemeriksaan ini dapat membantu

menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba ovarian yang ruptur dan

divertikulitis acuta yang perforasi.

3.2.5 Pemeriksaan Penunjang

Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah : foto

polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika urinaria penuh, CT-scan murni

dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya

jangan ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi

cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode yang

disebutkan sebelumnya.

1. Radiologi

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Isi yang keluar dari

perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung dan duodenum, empedu, makanan, dan

bakteri. Udara bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem

gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus

besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak mengandung

udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara bebas terjadi di rongga

peritoneum 20 menit setelah perforasi.

Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting, karena keadaan

ini biasanya memerlukan intervensi bedah.Radiologis memiliki peran nyata dalam

menolong ahli bedah dalam memilih prosedur diagnostik dan untuk memutuskan apakah

pasien perlu dioperasi.Deteksi pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut
abdomen karena perforasi gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam status

kegawatdaruratan abdomen. Seorang dokter yang berpengalaman, dengan menggunakan

teknik radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia

menggunakan teknik foto abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral decubitus

kiri.

Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi dapat dipercaya,

kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat penting. Setiap pasien harus mengambil

posisi adekuat 10 menit sebelum pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara

bebas dapat mencapai titik tertinggi di abdomen.Banyak peneliti menunjukkan kehadiran

udara bebas dapat terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas tampak pada posisi berdiri atau

posisi decubitus lateral kiri.

Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan tertutup oleh kondisi

bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan pneumoperitoneum pada hanya 56%

kasus.Sekitar 50% pasien menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya

adalah subhepatika atau di ruang hepatorenal.Di sini dapat terlihat gambaran oval kecil

atau linear.Gambaran udara bentuk segitiga kecil juga dapat tampak di antara lekukan

usus.Meskipun, paling sering terlihat dalam bentuk seperti kubah atau bentuk bulan

setengah di bawah diafragma pada posisi berdiri. Football sign menggambarkan adanya

udara bebas di atas kumpulan cairan di bagian tengah abdomen.

2. Ultrasonografi

Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen. Pemeriksaan

ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas, yang pada kasus ini

adalah sangat tidak homogen karena terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini
khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik

kandung kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas.

3. CTscan

CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udarasetelah

perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni

dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi diniperforasi

gaster. Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agardapat

membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya tampak sebagai area hipodens

dengan densitas negatif. Jendela untuk parenkim paru adalah yang terbaik untuk mengatasi

masalah ini. Saat CT scan dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan

terutama berlokasi di depan bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara

bergerak jika pasien setelah itu mengambil posisi decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih

baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa omentalis dan retroperitoneal. Walaupun

sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan berkaitan dengan biaya yang tinggi

dan efek radiasinya.

Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak terlihat pada scan

murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras nonionik untuk membuktikan

keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan udara melalui pipa

nasogastrik 10 menit sebelum scanning. Cara kedua adalah dengan memberikan kontras

yang dapat larut secara oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning, yang membantu

untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen barium tidak dapat diberikan

pada keadaan ini karena mereka dapat menyebabkan pembentukkan granuloma dan adesi
peritoneum. Beberapa penulis menyatakan bahwa CT scan dapat memberi ketepatan

sampai 95%.

3.2.6 Penatalaksanaan

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umumnya

sebelum operasi.Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan

pemberian antibiotik mutlak diberikan.Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada,

kebijakan nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri

gram-negatif dan anaerob.

Tujuan dari terapi bedah adalah :

1) Koreksi masalah anatomi yang mendasari

2) Koreksi penyebab peritonitis

3) Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapatmenghambat fungsi

leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti darah, makanan, sekresi lambung).

Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan saja setelah eksisi tukak

yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan

umum kurang baik, penderita usia lanjut dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan

memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah

kekambuhan.

Cedera paling umum adalah akibat pemasangan pipa orogastrik atau nasogastrik yang terlalu

bertenaga.Perforasi biasanya di sepanjang kurvatura mayor dan tampak sebagai luka tusuk atau

laserasi pendek.Perforasi gaster traumatik dapat muncul sebagai akibat distensi gaster yang hebat

selama ventilasi tekanan positif selama resusitasi bag-mask atau ventilasi mekanik untuk gagal

napas.
Satu hipotesis adalah bahwa perforasi spontan berkaitan dengan defek kongenital dinding

muskuler gaster. Namun penemuan patologis yang sama belum pernah dilaporkan.Perforasi

gastroduodenal telah dihubungkan dengan terapi steroid postnatal untuk mencegah atau terapi

BPD.Kebanyakan bayi diberi makan secara normal sampai saat terjadi perforasi.Gambaran

patologis dan klinis konsisten denganoverdistensi mekanik daripada iskemia sebagai penyebab

perforasi.Tanda dan gejala perforasi gaster biasanya mereka dengan gejala akut abdomen disertai

sepsis dan gagal napas.Pemeriksaan abdominal adanya distensi abdominal yang

signifikan.Vomitus adalah gejala yang tidak konsisten. Konfirmasi radiografi akan

pneumoperitoneum masif adalah sugestif dan studi kontras untuk mengkonfirmasi diagnosis tidak

diindikasikan. Tanda-tanda syok hipovolemik dan sepsis melengkapi gambaran klinik.Perforasi

pada bayi baru lahir merupakan kegawatdaruratan bedah.Karena ukuran yang besar dan tempat

perforasi yang proksimal, bayi-bayi ini dapat mendapat pneumoperitoneum dengan progresifitas

cepatyang dihubungkan dengan bahaya kardiopulmoner.

Sebelum intervensi bedah, selama evaluasi dan resusitasi bayi, dekompresi jarum abdomen dengan

kateter intravena besar mungkin diperlukan.Pipa nasogastrik sebaiknya dipasang ketika resusitasi

cepat dikerjakan.Pada bayi dengan berat lahir yang sangat rendah yang mengalami perforasi

terisolasi, drainse peritoneal saja dapat tercukupi.

Udara bebas persisten atau asidosis berkelanjutan dan bukti peritonitis mengamanatkan

eksplorasi bedah.Perbaikan bedah kebanyakan perforasi terdiri dari debrideman dan penutupan

dua lapis gaster.Suatu gastrostomi mungkin menjamin.Reseksi lambung signifikan sebaiknya

dihindari.kerusakan sering melibatkan dinding posterior lambung sepanjang kurvatura mayor


membuat pembagian omentum gastrokolik dan eksplorasi dinding lambung posterior diperlukan

bahkan jika gangguan ditemukan juga di dinding anterior. Area multipel dari cedera harus

dikecualikan. Terapi suportif yang baik post operatif bersama dengan penggunaan antibiotik

spektrum luas secara intravena diperlukan.

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi angka ketahanan hidup tampaknya adalah

interval antara onset gejala dan dimulainya terapi definitif, luas kontaminasi peritonel, derajat

prematuritas dan keparahan konsekuensi asfiksia.Berkaitan dengan masalah-masalah yang

berhubungan dengan sepsis dan gagal napas sering ditemukan pada bayi prematur, angka

mortalitas perforasi gaster menjadi tinggi, berkisar antara 45% sampai 58%.

3.2.7 Komplikasi

Komplikasi pada perforasi gaster, sebagai berikut:

1) Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada gaster

2) Kegagalan luka operasi

Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka operasi) dapat

terjadi segera atau lambat.

3) Abses abdominal terlokalisasi

4) Kegagalan multiorgan dan syok septic :

a)Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan manifestasi

sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia gram negatif dengan

endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada septikemia berat), takikardi, dan kolaps

sirkuler.

b)Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut :

Hilangnya tonus vasomotor


 Peningkatan permeabilitas kapiler

 Depresi myokardial

 Pemakaian leukosit dan trombosit

 Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin danprostaglandin,

menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler

 Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler

c) Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk dari gram-positif,

mungkin karena hubungan dengan endotoksemia.

5) Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan pH

6) Perdarahan mukosa gaster. 7) Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi

postoperatif

8) Delirium post-operatif.

3.2.8 Prognosis

Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat dilakukan maka

prognosisnya dubia ad bonam.Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotik

terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi dubia ad malam.


BAB IV
KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah
perforasi appendicitis, perforasi gaster, divertikulitis dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi
kolon. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia,
takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut akan
teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi postoperatif sering terjadi
dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan
organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake R L, Vogl A W, Mitchell A W M et al. Dasar-Dasar Anatomi Gray. 1st ed.


Singapore: Elsevier; 2014.
2. Thomas, G., Lahunduitan, I. and Tangkilisan, A. (2016). Angka kejadian apendisitis di

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal
e-Clinic, 4(1).

3. Schwartz S, Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, Dunn D, Hunter J et al. Schwartz's


principles of surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2015.
4. Buja L, Krueger G, Netter F. Netter's illustrated human pathology. London: Elsevier
Health Sciences; 2014.
5. Hardin M. Acute Appendicitis: Review and Update. Am Fam Physician.
1999;60(7):2027-2034.
6. de Castro S, Ünlü Ç, Steller E, van Wagensveld B, Vrouenraets B. Evaluation of the
Appendicitis Inflammatory Response Score for Patients with Acute Appendicitis. World
Journal of Surgery. 2012;36(7):1540-1545.

7. Saucier A, Huang E, Emeremni C, Pershad J. Prospective Evaluation of a Clinical


Pathway for Suspected Appendicitis. Pediatrics. 2013;133(1):e88-e95.
8. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston textbook of surgery. 20th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2017.
9. Hlibczuk V et al. Diagnostic accuracy of noncontrast computed tomography for
appendicitis in adults: A systematic review. Ann Emerg Med 2010 Jan; 55:51.
10. Solomkin J, Mazuski J, Bradley J, Rodvold K, Goldstein E, Baron E et al. Diagnosis
and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children
Guidelines by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of
America. Clinical Infectious Diseases. 2010;50(2):133-164.

10. Fleming FJ, Kim MJ, Messing S, et al: Balancing the risk of postoperative surgical
infections: A multivariate analysis of factors associated with laparoscopic
appendectomy from the NSQIP database. Ann Surg 252:895–900, 2010.

11. McGory ML, Zingmond DS, Tillou A, et al: Negative appendectomy in pregnant women
is associated with a substantial risk of fetal loss. J Am Coll Surg 205:534–540, 2007.

12. Parks NA, Schroeppel TJ: Update on imaging for acute appendicitis. Surg Clin North
Am 91:141–154, 2011.
13. Prystowsky JB, Pugh CM, Nagle AP: Current problems in surgery. Appendicitis. Curr
Probl Surg 42:688–742, 2005.
14. Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson J, Loscalzo J et al. Harrison's
principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.
15. Skipworth RJE, Fearon KCH. Acute abdomen: peritonitis. Emergency Surgery.
2007;26(3):98 - 101.
16. Knaus WA, Draper EA, Wagner DP, Zimmerman JE. APACHE II: a severity of disease
classification system. Crit Care Med. 1985 Oct;13(10):818-29.
17. Marik P, Taeb A. SIRS, qSOFA and new sepsis definition. Journal of Thoracic Disease.
2017;9(4):943-945.
18. Meljnikov I, Radojcić B, Grebeldinger S, Radojcić N. [History of surgical treatment of
appendicitis]. Med Pregl [Internet]. [cited 2018 May 19];62(9–10):489–92. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20391748

19. Sadler T, Langman J. Langman's medical embriology. Philadelphia: Lippincott Williams


& Wilkins;

20. Hodge BD, Bhimji SS. Anatomy, Abdomen, Appendix [Internet]. StatPearls. StatPearls

Publishing; 2018 [http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29083761

21. Craig S, Brenner BE. Appendicitis: Practice Essentials, Background, Anatomy. 2017
22. Muller O, Carpenter, Swenson. Basic Human Anatomy: The abdominal viscera and
peritoneum. In 2008. Available from:
https://www.dartmouth.edu/~humananatomy/part_5/chapter_26.html

23. Bier D. Peritoneal Cavity and Gastrointestinal Tract | Radiology Key [Internet]. 2016
24. Ransom HK. Complications Associated with Appendicitis. Assoc Profr Surg.
2014;(0):1–5.
25. Barlow A, Muhleman M, Gielecki J, Matusz P, Tubbs RS, Loukas M. The vermiform
appendix: A review. Clin Anat. 2013;26(7):833–42.
26. Ceresoli M, Zucchi A, Allievi N, Harbi A, Pisano M, Montori G, et al. Acute appendicitis:
Epidemiology, treatment and outcomes- analysis of 16544 consecutive cases. World J
Gastrointest Surg 8(10):693–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27830041

27. Naderan M, Babaki AES, Shoar S, Mahmoodzadeh H, Nasiri S, Khorgami Z. Risk factors
for the development of complicated appendicitis in adults. Ulus cerrahi Derg [Internet].
2016. 32(1):37–42. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26985166

28. Nouri S, Kheirkhah D, Soleimani Z, Sci JRM. The risk factors for infected and perforated
appendicitis Chemical Injuries Research Center , Baqiyatallah University of Medical
Sciences , Tehran , Iran. 2017;5(1):23–6.

29. Ishikawa H. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis. Jmaj. 2003;127(5):217–21.

30. Kothadia JP, Katz S, Ginzburg L. Chronic appendicitis: uncommon cause of chronic
abdominal pain. Therap Adv Gastroenterol [Internet];8(3):160–2. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

31. Schein M. Management of intra-abdominal abscesses. 2001 [cited 2018 May 18];
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK6937/
32. Frimann-Dahl J. The Administration of Barium Orally in Acute Obstruction; Advantages
and Risk. Acta radiol [Internet]. 2010 [cited 2018 May 19];42. Available from:
http://www.tandfonline.com/action/journalInformation?journalCode=iaro20

33. Sartelli M, Chichom-mefire A, Labricciosa FM, Hardcastle T, Abu-zidan FM,


Adesunkanmi AK, et al. The management of intra-abdominal infections from a global
perspective : 2017 WSES guidelines for management of intra- abdominal infections.
2017;1–34.

34. Paryani JJ, Patel V, Rathod G. Etiology of Peritonitis and Factors Predicting. 2013;4(1).

35. Filippone A, Cianci R, Pizzi A, Esposito G, Pulsone P, Tavoletta A et al. CT findings in


acute peritonitis: a pattern-based approach. Diagnostic and Interventional Radiology.
2015;21(6):435-440.

36. Bhatti KM, Ali MZ, Khalid A, Mushtaq U, Anwar MI. Extra-luminal Air Fluid Level on
Abdominal X-ray of a Patient with Isolated Jejunal Blow Out. Sultan Qaboos Univ Med
J.2012;12(2): 221–224.

37. Puylaert, Julien. (2003). Ultrasonography of the acute abdomen: gastrointestinal


conditions. Radiologic clinics of North America. 41. 1227-42, vii.
38. Almy TP, Howell DA. Medical Progress. Diverticular disease of the colon. N Engl J
Med 1980;302:324–331.
39. Sugihara K, Muto T, Morioka Y, Asano A, Yamamoto T. Diverticular disease of the
colon in Japan. A review of 615 cases. Dis Colon Rectum 1984;27:531–537.
40. Kim JS, Cha SG, Kim YT, Yoon YB, Song IS, Choi KW, et al. The prevalence and clinical
features of Diverticular disease of the colon. Korean J Gastroenterol 1993;25:305–314.

41. Holly, Lillie D. Diverticulitis Disease: Diagnosis and Treatment [Internet]. Vol. 72,
American Family Physician. American Academy of Family Physicians; 19701229-1234
p. Available from:
https://www.aafp.org/afp/2005/1001/p1229.html
44. Schiessel R. The research progress of acute small bowel perforation. Journal of Acute
Disease. 2015;4(3):173-177.
45. Kruis W, Morgenstern J, Schanz S. Appendicitis/diverticulitis: Diagnostics and
conservative treatment. Dig Dis. 2013;31(1):69–75.
46. Wim De Jong, Sjamsuhidajat R. Perforasi. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke – 2. 2003.
Jakarta. 245.

47. Wim De Jong, Sjamsuhidajat R. Lambung dan Duodenum, Anatomi. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi ke – 2. 2003. Jakarta. 643 – 644.

48. Wim De Jong, Sjamsuhidajat R. Lambung dan Duodenum, Fisiologi. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi ke – 2. 2003. Jakarta. 644 – 645.

49. Wim De Jong, Sjamsuhidajat R. Lambung dan Duodenum. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
ke – 2. 2003. Jakarta. 642 - 705.

Anda mungkin juga menyukai