Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

PERITONITIS ec Suspek PERFORASI HOLLOW VISCUS

Disusun Oleh:
Fiona Salfadilla
1102016073

Pembimbing:
dr. Kalis Satya Wijaya., Sp.B(K), Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
22 NOVEMBER 2021 – 01 JANUARI 2022
1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW,
dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya,
penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul “Peritonitis ec Suspek Perforasi
Hollow Viscus”. Penulisan laporan kasus ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam
menempuh kepanitraan klinik di bagian departemen ilmu bedah di RSUD Kabupaten Bekasi.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan laporan kasus ini tidak terlepas dari
bantuan dan dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada dr.
Kalis Satya Wijaya., Sp.B(K), Sp.BA yang telah memberikan arahan serta bimbingan ditengah
kesibukan dan padatnya aktivitas beliau.
Penulis menyadari penulisan presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan presentasi kasus ini. Akhir kata penulis
berharap penulisan presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bekasi, 26 November 2021

Penulis

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Usia : 65 Tahun
Alamat : Karangjaya, Bekasi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : PBI (APBD)
Tanggal Masuk : 23 November 2021
Tanggal Pemeriksaan : 23 November 2021
Ruangan : Shasta II

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 23 November 2021 pukul 20.00
WIB di Ruang Rawat Inap Shasta II RSUD Kabupaten Bekasi
1. Keluhan Utama
Nyeri seluruh lapang perut sejak 6 hari SMRS
2. Keluhan Tambahan
Badan terasa lemas, perut terasa tegang dan kembung, mual, muntah, demam, BAB cair
sejak 6 hari SMRS, tidak bisa buang angin sejak 1 hari SMRS.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluarganya ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan
nyeri seluruh lapang perut sejak 6 hari SMRS. Awalnya, nyeri dirasakan pada ulu hati
kemudian menjalar ke bagian kiri bawah dan meluas ke seluruh perut, rasa nyeri terus-
menerus dengan intensitas nyeri kuat seperti ditusuk-tusuk, semakin lama semakin
hebat, memberat saat pasien beraktivitas, batuk, dan mengedan, menarik nafas dan
menguap, membaik ketika pasien berbaring. Nyeri perut dirasakan sempat membaik
setelah berobat ke klinik 3 hari SMRS, namun kembali muncul dan semakin memberat
sejak 1 hari SMRS. Selain itu pasien juga merasakan perutnya terasa kembung dan
tegang disertai dengan mual dan muntah setiap makan dan minum sejak 6 hari SMRS,
sehingga pasien merasa sulit untuk makan dan minum. Pasien mengalami demam naik
3
turun sejak 6 hari SMRS. Keluhan juga Pasien juga mengeluh BAB cair sejak 4
hari SMRS dan tidak bisa buang angin sejak 1 hari SMRS. Pasien merasa sangat
lemas dan tidak sanggup untuk berdiri ataupun duduk. Pasien mengaku kurang suka
memakan makanan tinggi serat seperti sayur dan buah-buahan. Keluhan lain seperti
sesak, batuk, pilek, gangguan saluran kemih disangkal oleh pasien.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku pernah beberapa kali merasakan nyeri perut hebat seperti ini
sebelumnya sejak 6 bulan yang lalu. Pasien memiliki riwayat penyakit maag.
Riwayat penyakit asma, alergi, TB, ginjal dan trauma perut disangkal oleh pasien.
Pasien juga belum pernah melakukan operasi.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Penyakit Jantung (-)
Riwayat Penyakit Ginjal (-)
Riwayat TB (-)
Riwayat Trauma (-)
6. Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan sebelum datang ke RSUD Kabupaten Bekasi, Pasien telah dibawa
klinik dan mengalami perbaikan setelah diberi obat, namun dua hari kemudian keluhan
muncul kembali.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis E4M6V5
Tanda-tanda Vital
● Tekanan Darah : 100/60 mmHg
● Nadi : 81 x / menit
● Respirasi : 24 x / menit
● Suhu : 37,5 0C

4
B. Status Generalis:
Kepala Bentuk : Normocephale
Mata : Konjungtiva anemis (+), Sklera ikterik (-),
Mulut : Sianosis (-)
Leher
Inspeksi : Bentuk normal, deviasi trakea (-)
Palpasi : Tidak ada pembesaram KGB

Thoraks Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Tidak tampak ictus kordis
Palpasi : Teraba ictus cordis di sekitar papilla mammae sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Bentuk cembung, distensi (+) tidak tampak darm


contour atau darm steifung

Auskultasi : Bising usus (+) menurun (2x/menit)


Tidak ada clicking sound maupun metallic sound
Perkusi : Timpani pada kesembilan regio abdomen, nyeri
saat perkusi (+) di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Nyeri tekan pada seluruh regio abdomen
Defans muscular (+), nyeri lepas seluruh lapang
abdomen (+), massa (-), hepar dan lien tidak
membesar.

Ekstremitas Superior : deformitas (-), edema (-/-), CRT < 2 detik


Inferior : deformitas (-), edema (-/-), CRT < 2 detik

5
Kulit Inspeksi : Ikterik (-), sianosis (-)
Palpasi : Turgor kulit baik

C. Status Lokalis
Abdomen Inspeksi : Bentuk cembung, distensi (+), tidak tampak darm
contour atau darm steifung
Auskultasi : Bising usus (+) menurun (2x/menit)
Tidak ada clicking sound maupun metallic sound
Perkusi : Timpani pada kesembilan regio abdomen, nyeri
saat perkusi (+) di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Nyeri tekan pada seluruh regio abdomen
Defans muscular (+), nyeri lepas seluruh lapang
abdomen (+), massa (-), hepar dan lien tidak
membesar.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium Darah (Hasil Tanggal 23 November 2021)
PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 8,5 (L) g/dL 13,0 – 18,0
Hematokrit 25 (L) % 40 - 54
Eritrosit 2,45 (L) 106/ µL 4,60 – 6,20
Leukosit 9.400 /µL 5.000-10.000
Trombosit 321.000 /µL 150.000-450.000

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Basofil 0 % 0,0 – 1,0
Eosinofil 3 % 1,0 – 6,0
Neutrofil 76 (H) % 50 – 70

6
Limfosit 14 (L) % 20 – 40
Monosit 7 % 2–9
Laju Endap Darah 60 mm/jam <10
(LED)

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


SGOT 11 U/L <38
SGPT 10 U/L <41

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Ureum 27 mg/dL 13 – 43
Kreatinin 1,2 (H) mg/dL 0,67 – 1,17
eGFR 63,1 mL/min/1,73 m2 > 60 mL/min/1,73 m2

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Gula Darah
118 mg/dL Normal : 80 - 170
Sewaktu

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Natrium 140 mmol/L 135-145
Kalium 3,8 mmol/L 3.4-6.0
Klorida (Cl) 106 mmol/L 96-106

7
2. Radiologi
 Foto thorax AP

Finding:
Cor CTR < 50%. Aorta baik.
Pulmo: corakan bronchovascular baik
Diafragma, sinus dan tulang baik
Kesan:
Cor dan pulmo dalam batas normal

 Foto Abdomen 3 posisi

8
Finding:
Preperitoneal fat line kanan-kiri normal.
Psoas line simetris
Distribusi udara usus normal, tak tampak adanya discrepancy
Tidak tampak dilatasi usus besar maupun usus kecil
Tidak tampak gambaran udara diluar kontur usus dan udara bebas subdiafragma
Tidak tampak bayangan air fluid level patologis/step ladder/ herring bone
appearance
Tidak dijumpai kalsifikasi patologis intra abdominal
Kesan :
Tidak tampak tanda-tanda akut abdomen.
Tidak tampak tanda-tanda ileus maupun curiga perforasi

V. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan nyeri perut
sejak 6 hari SMRS. Nyeri dirasa menetap dan seperti ditusuk-tusuk. Pasien juga
merasakan perutnya tegang dan terasa kembung, mual (+) dan muntah (+),
demam (+), BAB cair, tidak bisa buang angin dan lemas (+).
Pada tanda vital didapatkan TD: 100/60 mmHg dan Suhu 37,5 C. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan distensi abdomen, defans muscular, nyeri
tekan diseluruh lapang abdomen, hipertimpani di seluruh lapang abdomen, dan
bising usus menurun.
Pemeriksaan darah menunjukkan anemia (8,3 mg/dL), neutrofilia (76%),
dan limfositopenia (14%).

9
VI. DIAGNOSIS KERJA
Peritonitis ec Suspek Perforasi Hollow Viscus

VII. DIAGNOSIS BANDING


 Peritonitis ec Suspek Perforasi Gaster
 Peritonitis ec Suspek Diverticulosis

VIII. PENATALAKSANAAN
Preoperatif
Medikamentosa Non Medikamentosa
 Puasa
 IVFD Asering 500 cc/12 jam
 Pasang NGT
 B Fluid 500 cc/12 jam
 Pasang Kateter
 Inj. Ranitidine 2x50 mg/hari
 Observasi TTV berkala
 Inj. Ondancentron 4 mg
 Konsultasi Spesialis Bedah
 Inj. Omeprazole 40 mg
 Persiapan Operasi
 Inj. Tramadol 3x1 amp
 Inj. Metronidazol 3x500 mg
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
 Inj. Ketorolac 30 mg
 Inj. Parasetamol 500 mg

Operatif

10
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Peritoneum
Peritoneum terletak pada sebelah dalam fasia ekstraperitoneal (Gambar 1). Struktur ini
terdiri atas membran serosa tipis yang melapisi dinding kavitas abdominalis dan pada beberapa
titik berefleksi ke visera abdomen untuk berperan sebagai penutup lengkap atau sebagian. Pada
laki-laki, rongga peritoneum tertutup sepenuhnya, sementara pada perempuan rongga ini
berhubungan dengan tuba uterina dan secara tidak langsung berhubungan juga dengan eksterior
tubuh. Ada 2 lapisan peritoneum; peritoneum yang melapisi dinding abdomen disebut
peritoneum parietal, sementara peritoneum yang melapisi visera disebut peritoneum
viseral.melalui kavitas peritoneal, di atas intesninum dan di permukaan visera. 1,2
Fungsi dari peritoneum adalah meminimalisir friksi, mencegah infeksi, dan menyimpan
lemak. Ia juga melindungi visera abdomen. Dalam merespons cedera atau infeksi, peritoneum
mengeksudasi cairan dan sell serta membatasi atau melokalisir infeksi

Gambar 1. Peritoneum dan fasia ekstraperitoneal


Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 1. Lapisan dinding abdomen

12
Gambar 2. Potongan sagittal abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal dan visceral.3

2.1.2 Ruang Peritoneum


Peritoneum memiliki rongga yang dibagi menjadi beberapa ruang. ruang subfrenik
sebenarnya mencakup daerah antara diafragma dan kolon transverse dan mesokolon. Maka,
abses subhepatik juga termasuk ke dalam kelompok ini. Rongga subfrenik ini dibagi menjadi
bagian suprahepatik dan infrahepatik. Tiap kompartemennya dibagi lagi menjadi tiga ruang yang
lebih kecil. Dari diafragma hingga hati, ligamentum falsiformis suspensorium membagi ruang
suprahepatik menjadi ruangan menjadi ruang kanan dan kiri dengan ukuran yang sama.(Gambar
2) Bagian suprahepatik kanan sibagi oleh ekstensi lateral dari ligamentum kardinal dari hati
menjadi ruang anterior superior dan ruang posterior superior yang lebih kecil. Bagian
infrahepatik dibagi juga menjadi setengah kanan dan setengah kiri oleh round ligament dan
ligamen dari duktus venosus. Di sana juga terdapat ruang inferior kanan, di ruang anterior
inferior kiri dan posterior inferior kiri.4,5

Gambar 3. Ruang Peritoneum

13
2.1.3 Persarafan peritoneum
Peritoneum viseral tidak memiliki sistem saraf, sementara peritoneum parietal disuplai
oleh saraf-saraf seperti saraf frenik dan torako-abdominal. Persarafan peritoneum parietal ini
berhubungan dengan dinding abdomen dan sebagian besar dari mereka sensitif terhadap nyeri.
Iritasi peritoneum dapat menstimulasi saraf aferen viseral, sehingga dapat menimbulkan gejala
mual dan muntah.2,6
Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen yang
mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen,7 sedangkan peritoneum visceral
dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga memberikan suplai saraf otonom pada
organ visceral tersebut.8 Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon
sensasi apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau parietal.
Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada reseptor nyeri
(nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu atau dua level
dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain
menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila
terjadi iritasi dari parietal peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized
hypercontractility (muscle guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal wall).7 Di sisi lain,
iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa
seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral terstimulasi
sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium
(struktur foregut), periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).7,8

2.1.4 Mekanisme pertahanan peritoneum


Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah membran
basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa, makrofag, fibroblast,
limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen. 9 Total luas permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2.
Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan
yang berisikan makrofag, sel mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat
difusi semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara terus-
menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti cairan dan zat-zat
terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat orifisum yang dibentuk oleh sel-sel
mesotelium terspesialisasi yang terletak di permukaan subdiafragma dalam rongga peritoneum
14
menuju sirkulasi limfatik.9 Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan diafragman dan tekanan
thorako-abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh untuk
menjaga peritoneum tetap steril.
Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada rongga
peritoneum.9 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya inflamasi, namun
adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-4 jam dan sel-sel PMN
(Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam 48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan
mengeluarkan sitokin, antara lain interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor),
leukotriene, platelet activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya inflamasi
lokal pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan fibrinogen pada
fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh yang secara temporer
menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga peritoneum serta menjerat bakteri
dalam sebuah “perangkap”.9 Mekanisme pertahanan inilah yang menyebabkan pembentukan
sebuah abses. Selain itu, omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk memfasilitasi
pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah daerah subphrenic.
Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan eksudat)
memiliki efek paradoks.9 Eliminasi mekanik pada mekanisme pertahanan yang pertama
sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila masif dapat mengakibatkan shok septik dan
berakhir dengan kematian. Pembentukan eksudat dan reaksi peradangan yang kaya akan sel
fagositik dan opsonin dapat menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin berpindah pada
rongga abdomen.

2.2 Peritonitis
2.2.1 Definisi
Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput
peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen. Peritonitis merupakan penyulit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronis, biasanya disertai dengan gejala nyeri
abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan biasanya
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang
berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ
lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain yang
15
menjalar melalui darah.10
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecil), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, hal tersebut
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.8

2.2.2 Epidemiologi
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun yang pasti diketahui
adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan peritonitis yang paling
sering ditemukan dalam praktik klinik. Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis
dari traktus gastrointestinal. Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain appendicitis
perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi kolon karena diverticulitis,
volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus halus. Terdapat perbedaan etiologi peritonitis
sekunder pada negara berkembang (berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara
berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain appendisitis
perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid. Sedangkan, di negara-negara barat
appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan
perforasi kolon akibat diverticulitis. Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara
1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit
Hamburg-Altona Jerman, ditemukan 73% penyebab tersering peritonitis adalah perforasi dan
27% terjadi pasca operasi. Terdapat 897 pasien peritonitis dari 11.000 pasien yang ada. Angka
kejadian peritonitis di Inggris selama tahun 2002-2003 sebesar 0,0036% (4562 orang). 11

2.2.3 Etiologi
Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga disebabkan oleh zat
kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi obat atau diinduksi oleh penyebab
lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat diklasifikasikan primer atau sekunder,
bergantung pada apakah integritas saluran gastrointestinal telah terganggu atau tidak.9
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP) merupakan infeksi
bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Hal ini
jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi
monomikroba. Streptococcus pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor
16
risiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik,
gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. 7,8,9,10
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang terjadi akibat
hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan anaerob sering terlibat, dan
kuman tersering adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.9
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1) invasi langsung dari
lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen, infeksi saat laparatomi); (2)
translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak (misalnya pada perforasi ulkus
duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya
anastomosis); (3) melalui aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer
dimana terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus β-
hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal hati dan asites);
dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung dari lingkungan
eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis akut, perforasi uterus akibat alat intra
uterus).9
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis,
dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster. Peritonitis steril akan berlanjut
menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme
(misalnya dari usus).9
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan dapat terjadi
berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat penyatuan duktus sistikus saat
kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan idiopatik. 9
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis tuberkulosis, peritonitis klamidia,
dan peritonitis akibat obat dan benda asing.9

Area sumber Penyebab


Esofagus Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Sindrom Boerhaave

17
Lambung Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma,
tumor stroma gastrointestinal)
Trauma
Iatrogenik
Duodenum Perforasi ulkus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenik
Traktus bilier Kolesistitis
Perforasi batu dari kandung empedu
Keganasan
Kista duktus koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu
empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon
Hernia inkarserata
Obstruksi loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma
Kolon desendens dan Iskemia kolon
apendiks Divertikulitis
Keganasan
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Apendisitis
Volvulus kolon

18
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma

2.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:12
1. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara
hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus
. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik : misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien
dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupuseritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites

2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organism dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas
dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum
peritoneal.

19
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh
bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendicitis.
3. Peritonitis tersier
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine.
4. Peritonitis bentuk lain dari peritonitis, yaitu :
- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis

2.2.4 Patofisiologi
Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda dalam
patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya peritonitis tidak berasal dari traktus
gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi tidak berhubungan langsung dengan gangguan
organ gastrointestinal),10,13 sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas
traktus (perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi. 10,13
Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap
mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal. 13 Dalam keadaan fisiologis tidak ada
hubungan langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun apabila
terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti appendisitis
perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena
diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau
obturator).14 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan
Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk dalam rongga
peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial (gram negatif

20
aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut menyebabkan reaksi peradangan
seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan peritoneum (dari eliminasi mekanik
sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik menjadi salah satu jalur utama bagi bakteri-
bakteri masuk dalam pembuluh darah (bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut menjadi
sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome). Reaksi
peradangan lokal menyebabkan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah kapiler sehingga
terjadi perpindahan cairan ke “rongga ketiga” yang dapat berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi
peradangan tersebut dapat berlanjut menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome),
dimana dapat ditemukan dua tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90
kali/menit, laju nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or <4000
sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi akut dalam rongga abdomen
mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi
cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum,
tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak terkontrol.
Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai patofisiologi
terjadinya peritonitis.15 Pada manifestasi lokal ditemukan adanya nyeri perut hebat, nyeri tekan
seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum), rebound tenderness, adanya muscle guarding
atau rigidity (perut papan), dan manifestasi klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen,
penurunan bising usus), sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan adanya demam,
takikardia, takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS).

2.2.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinis pada peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan
terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat atau tersebar di seluruh
abdomen. Nyeri akan semakin berat apabila pasien bergerak.
Gejala lainnya seperti demam dimana temperatur >38C namun pada kondisi sepsis yang
berat dapat terjadi hipotermia, mual dan muntah dapat timbul akibat adanya kelainan patologis
organ visera atau akibat iritasi peritoneum, adanya cairan dalam rongga abdomen dapat
mendorong diafragma yang mengakibatkan kesulitan bernafas. Apabila pendarahan terjadi terus
menerus, dapat terjadi kondisi hipovolemia yang mengakibatkan syok hipovolemik, distensi
abdomen dengan penurunan / tidak terdengarnya bising usus, perut papan (rigiditas abdomen)
21
yang terjadi akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon terhadap
penekanan pada dinding abdomen maupun involunter sebagai respon terhadap iritasi
peritoneum, nyeri tekan dan nyeri lepas, takikardia akibat pelepasan mediator inflamasi, serta
tidak dapat buang air besar atau flatus.

2.2.6 Diagnosis
I. Anamnesis
Anamnesa yang terarah sangat membantu penegakan diagnosis. Uraian lebih lanjut
tentang keluhan utama, misalnya bagaimana sifat keluhan, letaknya dan kemana
penjalarannya, bagaimana awal serangan dan urutan kejadiannya, adanya factor
yang memperberat dan yang memperingan keluhan, adanya keluhan lain yang
berhubungan perlu ditanyakan pada anamnesis.16
Pada perforasi tukak peptic khas ditandai dengan perangsangan peritoneum yang
mulai di epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum akibat peritonitis
generalisata. Pasien yang mengalami perforasi lambung dan duodenum bagian
depan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak,
terutama dirasakan didaerah epigastrium akibat rangsangan peritonemun oleh asam
lambung, empedu, dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung dan dudeodenum
akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah,
kemudian menyebar ke seluruh perut.16

Gambar. Nyeri alih dan nyeri berpindah pada akut abdomen. Tanda bulat
22
utuh menunjukan lokasi nyeri maksimal. Tanda bulat bergaris putus-putus
menunjukan lokasi dengan nyeri intensitas lebih rendah. 17

Gambar. Lokasi dan karakteristik nyeri membantu mendiagnosis akut


abdomen. 17

Bila tatalaksana kondisi ini terlambat maka akan terjadi infeksi


sekunder, ditandai dengan adanya rangsangan peritoneum serta keluhan pada
pasein sebagai berikut:
1. Pasien dengan peritonitis umumnya mengeluh nyeri abdomen yang difus.
Nyeri pada peritonitis bersifat konstan dan akan bertambah berat setiap
gerakan yang menyebabkan pergeseran antar peritoneum seperti saat
menarik nafas dalam, batuk, maupun bergerak, sehingga pasien lebih
memilih dalam posisi berbaring. Pasien juga mengeluh anoreksia, mual dan
muntah. 18,19
2. Hampir selalu ditemukan gejala anoreksia. Gejala mual sering ditemukan
dan jarang disertai dengan muntah. Pasien juga mungkin mengeluh demam,
kadang-kadang dengan menggigil, haus, buang air kecil yang sedikit,
ketidakmampuan untuk buang air besar atau flatus, dan perut yang makin
distensi. 18,20
3. Pada pasien dengan asites, tanda dan gejala peritonitis mungkin tidakbegitu
23
jelas, dengan demam sebagai satu-satunya manifestasi infeksi. Pasien
dengan ascites, gejala yang ditemukan seperti nyeri abdomen, mual,
muntah, dan perubahan status mental mungkin tidak spesifik. Oleh karena
itu, pasien asites dengan demam harus dilakukan parasintesis, kecuali ada
penjelasan lain terhadap demam yang terjadi. Inokulasi dari cairan asites ke
dalam botol kultur darah harus dilakukan di tempat tidur pasien.
Pasien dengan peritonitis menunjukkan gejala dan tanda lokal dan sistemik.
Gejala dan tanda lokal dari abdomen meliputi nyeri perut, nyeri tekan,
kekakuan, distensi, udara bebas peritoneum, dan menurunnya bising usus,
tanda yang merupakan reflex dari iritasi peritoneum parietal dan
menyebabkan ileus. Sedangkan gejala dan tanda sistemik, meliputi demam,
mengigigil, takikardi, berkeringat, takipnea, oliguria, disorientasi, dan syok.
Syok disebabkan oleh karena efek kombinasi hipovolemia dan septicemia
dengan disfungsi organ.17

Riwayat penyakit dahulu


1. Riwayat masuk rumah sakit, pengobatan, penyakit kronik, dan operasi
sebelumnya merupakan informasi yang penting.19 Riwayat konsumsi
NSAID, salisilat, kortikosteroid, alkohol dan nikotin perlu diketahui karena
dapat berperan dalam kerusakan mukosa akibat ketidakseimbagan faktor
pertahanan mukosa dan faktor perusak asam lambung.16
2. Riwayat penyakit penting untuk diketahui seperti sirosis hepatis dan
sindroma nefrotik pada anak-anak yang berpotensi menjadi peritonitis
primer.
3. Riwayat operasi sebelumnya harus menimbulkan kecurigaan terhadap
komplikasi oleh karena prosedur itu sendiri (misalnya kebocoran dari
anastomosis usus). Mekanisme injury yang tidak diketahui pada pasien
trauma juga dapat menimbulkan infeksi intra-abdominal. Adanya tanda
hipotensi menunjukkan kemungkinan terjadinya iskemia atau infark
usus.21

24
II. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien dengan peritonitis biasanya tampak berbaring
diam tak bergerak di tempat tidur, dengan lutut tertekuk dan sering dengan
pernapasan interkostal yang terbatas karena gerakan apapun akanmemperberat
nyeri abdomen. Keadaan umum pasien tampak lemah.
Pemeriksaan tanda vital perlu diperhatikan status gizi, kemungkinan
adanya gangguan kesadaran, dehidrasi, syok, anemia dan gangguan napas.
Penderita perdarahan, perforasi atau obstruksi lambung-duo-denum sering
datang dalam keadaan gawat darurat.16 Pemeriksaan observasi berkala dapat
menunjukan progresitivitas penyakit berupa tanda-tanda Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS) sampai syok septic, syok hipovolemi
atau multiple-organ failure.22
Pemeriksaan Fisik Status Lokalis Regio Abdomen
1. Inspeksi
Kemungkinan peritonitis akibat perforasi bila tampak pernapasan
torakal pada penderita yang abdomennya terlihat tegang. Distensi perut
bagian atas disertai peristalsis lambung menunjukan adanya obstruksi
pylorus. Tonjolan di epigastrium yang tampak jelas sering disebabkan
oleh tumor ganas lambung yang sudah lanjut dan tidak layak dioperasi
lagi
2. Palpasi
Pada palpasi juga ditemukan nyeri objektif berupa nyeri ketika
peritoneum digerakkan, seperti pada palpasi, nyeri lepas, colok dubur,
tes psoas dan tes obturator. Palpasi untuk menentukan kelainan lambung
dan duodenum henadaknya dipandu dengan anamnesis tentang nyeri.
Defans muscular menunjukan adanya iritasi peritoneum, misalnya
karena perforasi. Bila perut tidak tegang, palpasi yang cermat bisa teraba
adanya tumor.
3. Perkusi
Lambung banyak berisi gas. Bila terjadi perforasi, pada perkusi pekak
hati menghilang, menunjukan adanya udara bebas dibawah diafragma.
Proses berkelanjutan bisa menyebabkan perkusi hipertimpani pada
25
perut yang kembung.
4. Auskultasi
Pada peritonitis akibat perforasi, peristaltis sering lemah atau hilang
sama sekali karena terjadi ileus paralitik.16
Pada pemeriksaan rectal toucher dan vagina dapat memberikan informasiluasnya
daerah nyeri, maupun kemungkinan adanya massa abses di pelvis.23

III. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboraturium
Pemeriksaan darah lengkap pada tahap awal menunjukan leukositosis
ringan range 12,000/µL, dan bertambah setelah 12-24 jam menjadi
20,000/ µL atau lebih. Pemeriksaan urea dan elektrolit bertujuan untuk
mengonfirmasi status dehidrasi serta gagal ginjal akut serta sebagai
pedoman terapi pengganti cairan dan elektrolit. Pemeriksaan fungsi hati
dan serum amilase dapat membantu untuk membedakan perforasi
dengan akut pankreatitis. Peningkatan ringan serum amilase pada
perforated duodenal ulcer dikarenan absorbsi enzim dari sekresi
duodenum pada rongga peritoneum, sedangkan peningkatan besar kadar
serum amilase menunjukan akut pankreatitis. Pemeriksaan Analisa gas
darah menunjukan asidosis metabolik, umumnya ditandai dengan
rendahnya kadar karbon dioksida arteri karena hiperventilasi.17,22
2. Pemeriksaan imaging
Foto polos abdomen posisi tegak dengan arah sinar horizontal membantu
untuk menegakkan diagnosis lebih lanjut, dimana ditemukannya udara
bebas dibawah diafragma pada lebih dari 50% kasus perforasi.16 Pada foto
polos abdomen posisi left lateral decubitus pada pasien yang tidak dapat
mempertahankan posisitegak cukup lama ditemukan udara bebas antara
aspek lateral hepar dan diafragma. Pemeriksaan foto polos abdomen
menunjukan peritonitis bila ditemukan tanda-tanda ileus paralitik,
hilangnya bayangan preperitoneal fat serta pelebaran rongga diantara
usus.23

26
Gambar Foto polos abdomen posisi erect. Tampak udara bebas pada
subdiafragma kanan (tanda bintang putih)24

Gambar foto polos posisi LLD menandakan free air24

Gambar foto polos posisi supine menandakan free air.

27
Pada keadaan abses intraabdominal pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan CT- scan
sangat penting karena akurasi pemeriksaanfisik yang sangat rendah. Pemeriksaan ini diambil
setelah keadaan hemodinamik stabil. CT-scan adalah yang terbaik untuk menentukan lokasi dan
luasnya abses. Kelemahan ultrasonografi adalah bayangan yang tidak jelas pada distensi usus,
ketidaknyamanan pasien, obesitas, dan gangguan gas dalam usus. Dengan berkembangnya
radiology intervensional, kedua pemeriksaan tersebut dapat pula digunakan sebagai sarana
drainase perkutaneum.23

Diagnosis banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding. Seperti:
1. Apendisitis
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di appendiks. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran
appendiks yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh
peritonitis dan syok ketika appendiks yang terinfeksi hancur.
2. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih
ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan
leukositosiskurang menonjol dibandingkan apendisitis akut
3. Pankreatitis
Pankreatitis adalah kondisi inflamasi yang menimbulkan nyeri dimana enzim pankreas
diaktifasi secara prematur mengakibatkan autodigestif dari pankreas yang ditandai
dengan nyeri yang hebat diperut atas bagian tengah,dibawah tulang dada (sternum).
Nyeri sering menjalar ke punggung, mual dan muntah, berkeringat, suhu tubuh bisa
normal, namun meningkat dalam beberapa jam sampai 37,8 oC – 38,8oC
4. Kolesistitis
Gejala paling umum dari kolesistitis akut adalah nyeri prutbagian atas. Tanda-tanda
iritasi peritoneal mungkin dapat ditemukan, dan ada beberapa pasien, nyeri dapat
menyebar ke bahu kanan atau tulang belikat. Seringkali rasa sakit dimulai dari daerah
epigastrium dan kemudian terlokalisasi di kuadran kanan atas. Mual dan muntah
umumnya ditemukan.
28
5. Demam dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Disini didapatkan hasil tes positif
untuk rumple leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.
6. Kehamilan diluar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada
ruptur tuba atau abortus kehamilan diluar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri
yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syokhipovolemik.

2.2.7 Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad spectrum,
seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau ceftriaxone 1x2 gram),
penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang dewasa
dengan fungsi ginjal normal). 25 Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada
pasien dengan primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya
mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah yang negatif).
Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya rekurensi pada SBP, sampai 70%
pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan
tingkat rekurensi menjadi <20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik,
antara lain ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.25
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi etiologi (source
control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik sistemik, dan terapi
suportif (resusitasi).14 Tidak seperti penanganan peritonitis primer yang secara prinsip adalah
tindakan non-pembedahan, sine qua non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan
pembedahan dan bersifat life-saving.25 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and
definitive source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat
mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen. 26 Keterlambatan dan tidak
adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.
Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi cairan
(resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk mencegah terjadinya syok
hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah disfungsi organ. 14,26 Pemberian antibiotik
29
mencakup bakteri gram positif dan negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara umum
perforasi upper GI tract lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan
colon lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob). 9,14 Beberapa pilihan regimen
antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/ β-lactamase
inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau golongan fluorokuinolon
(levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram
intravena), dengan metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care
Unit dapat diberikan imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena). 25
Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal dan hitung jenis
batang < 3%.27 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu untuk dilakukan, target
resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila
dipasang central venous pressure CVP antara 8-12mmHg).9 Tindakan lainnya, meliputi
pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah
yang dominan.26 Pada pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu
dipertimbangkan pemasangan intubasi.
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari kontaminasi
(koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan mencegah sepsis. 9,26
Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan agar eksplorasi rongga
abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.26 Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi
tercapai bila bagian yang mengalami perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair
(perforasi ulkus).9,15 Pada perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara
sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah
keadaan umum pasien membaik).15 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan cairan normal
saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi bacterial
load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-akumulasi dari pus).9,15,26 Tidak
direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen kimia lainnya. Setelah
selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-
absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila
tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure technique).
Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada laporan kasus ini tidak akan dibahas secara
mendalam mengenai teknik open-abdomen).

30
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi lain yang dapat muncul pada kasus peritonitis adalah adesi dan shock sepsis.
Adesi dari organ - organ intra abdomen dapat menyebabkan obstruksi usus atau volvulus.
Penilaian suspek sepsis pada pasien dengan infeksi yang tidak dirawat dalam ICU dapat
dilakukan dengan Quick Sepsis-related Organ Failure Assesment (qSOFA). qSOFA terdiri dari
variabel takipnea lebih dari sama dengan 22, perubahan status kesadaran dengan GCS < 15, dan
hipotensi dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg. Setiap variabelnya memiliki poin satu dan
total poin 0 atau 1 memiliki risiko yang rendah dan pasien dapat ditangani dengan manajemen
yang sesuai. Namun, total poin 2 atau 3 diasosiasikan dengan tingkat mortalitas lebih dari 10%
dan pasien harus ditangani dengan evaluasi tanda - tanda adanya disfungsi organ. Untuk menilai
disfungsi organ secara lebih lanjut dan kemungkinan sepsis dapat dilakukan Sepsis-related
Organ Failure Assesment (SOFA).28, 29.

Gambar 7. Penilaian SOFA

2.2.9 Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah 10%-40% pada
perforasi kolon (Tabel 2).27 Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias yang tinggi adalah
etiologi penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum
penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan
pada pasien dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri
yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk (APACHE II

31
atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat serum albumin
preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi yang membutuhkan penanganan intensif
(ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.

Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake R L, Vogl A W, Mitchell A W M et al. Dasar-Dasar Anatomi Gray. 1st ed.


Singapore: Elsevier; 2014
2. Muller O, Carpenter, Swenson. Basic Human Anatomy: The abdominal viscera and
peritoneum. In 2008. Available from:
https://www.dartmouth.edu/~humananatomy/part_5/chapter_26.html
3. Standring S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Edition.
Churchill Livingstone El Sevier. 2008.
4. Ransom HK. Complications Associated with Appendicitis. Assoc Profr Surg.
2014;(0):1–5.
5. Barlow A, Muhleman M, Gielecki J, Matusz P, Tubbs RS, Loukas M. The vermiform
appendix: A review. Clin Anat. 2013;26(7):833–42.
6. Ceresoli M, Zucchi A, Allievi N, Harbi A, Pisano M, Montori G, et al. Acute appendicitis:
Epidemiology, treatment and outcomes- analysis of 16544 consecutive cases. World J
Gastrointest Surg 8(10):693–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27830041
7. de Castro S, Ünlü Ç, Steller E, van Wagensveld B, Vrouenraets B. Evaluation of the
Appendicitis Inflammatory Response Score for Patients with Acute Appendicitis. World
Journal of Surgery. 2012;36(7):1540-1545.
8. Saucier A, Huang E, Emeremni C, Pershad J. Prospective Evaluation of a Clinical
Pathway for Suspected Appendicitis. Pediatrics. 2013;133(1):e88-e95.
9. Buja L, Krueger G, Netter F. Netter's illustrated human pathology. London: Elsevier
Health Sciences; 2014.
10. Schwartz S, Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, Dunn D, Hunter J et al. Schwartz's
principles of surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2015.
11. Daley BJ (2015). Peritonitis and abses abdomen. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview [
12. Marik P, Taeb A. SIRS, qSOFA and new sepsis definition. Journal of Thoracic Disease.
2017;9(4):943-945.
13. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston textbook of surgery. 20th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2017.
33
14. Thomas, G., Lahunduitan, I. and Tangkilisan, A. (2016). Angka kejadian apendisitis di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal
e-Clinic, 4(1).
15. McGory ML, Zingmond DS, Tillou A, et al: Negative appendectomy in pregnant women
is associated with a substantial risk of fetal loss. J Am Coll Surg 205:534–540, 2007.
16. Samsuhidajat, R., de Jong. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah Sistem Organ dan Tindak
Bedahnya
(2) Ed. 4 Vol. 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
17. Doherty GM, Way LW. Ileus. In: Doherty GM, Way LW, editors. Current Surgical
Diagnosis and Treatment. 1th ed. New York: Mc Graw Hill; 2003.
18. Hau, T., 2003. Peritoneal defense mechanisms. Turk J Med Sci, Volume 33, pp. 131-
134
19. Awori, nelson et al, 2002; Bedah Primer; Trauma, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
20. Wittmann, D. H., 2010. Intra-abdominal infections. Alvailable from URL
http://antibioticsfor.com/pdf/Intra-Abdominal-Infection.pdf diakses pada tanggal : 8
februari 2021
21. Marshall, J. C & Innes, M., 2003. Intensive care unit management of intraabdominal
infection. Crit Care Med, 31(8), pp. 2228-2237
22. Skipworth RKE, Fearon KCH. 2007. Acute Abdomen: Peritonitis. Emergency
Surgery.
23. Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IABI). Bedah Digestif. 2002
24. Herring, William. Learning radiology : recognizing the basics. Philadephia,
PA: Elsevier,
2020. Print.
25. Parks NA, Schroeppel TJ: Update on imaging for acute appendicitis. Surg Clin North
Am 91:141–154, 2011
26. Prystowsky JB, Pugh CM, Nagle AP: Current problems in surgery. Appendicitis. Curr
Probl Surg 42:688–742, 2005.
27. McGory ML, Zingmond DS, Tillou A, et al: Negative appendectomy in pregnant women
is associated with a substantial risk of fetal loss. J Am Coll Surg 205:534–540, 2007

34
28. Knaus WA, Draper EA, Wagner DP, Zimmerman JE. APACHE II: a severity of disease
classification system. Crit Care Med. 1985 Oct;13(10):818-29.
29. Meljnikov I, Radojcić B, Grebeldinger S, Radojcić N. [History of surgical treatment of
appendicitis]. Med Pregl [Internet]. [cited 2018 May 19];62(9–10):489–92. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20391748
30. Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM, Berger DH. Chapter 30. The appendix. In:
Brunikardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al.,
editors. Schwartz’s Principles of Surgery. 10th ed. United States: McGraw-Hill
Education; 2015. p.1241-62.

35

Anda mungkin juga menyukai