Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

“CHRONIC WOUND (??)”

Pembimbing:

Disusun oleh:
Firyal Muhammad Haekal Shofi
(41191396100061)

KEPANITRAAN KLINIK BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PERIODE ????
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang berkat kemurahan-Nya makalah
presentasi kasus mengenai “Chronic Wound??” ini dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat
dalam rangka memenuhi persyaratan tugas yang telah diberikan pada stase Kepaniteraan
Klinik Bedah Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. ??? selaku pembimbing presentasi
kasus ini serta seluruh pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
kekurangan, oleh karena itu diharapkan segala kritik dan saran yang membangun untuk
penyempurnaan makalah ini

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua dan dapat membuka wawasan serta ilmu pengetahuan, khususnya bagi kami yang
sedang menempuh pendidikan profesi dokter.

Jakarta, Maret 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II

ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. SA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 69 tahun
Pekerjaan : Pensiunan
Agama : Islam
Status Pernikahan : Kawin
Alamat : JL. H. Jian 01/03, Cipete Utara. Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan
Suku : Jawa
Tanggal masuk : 15 Januari 2021

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis dan aloanamnesis dengan istri pasien pukul 16.00 di
GPS lantai 2, ruang 203 pada tanggal 18-01-2021 dan 20-01-2021)

2.2.1 Keluhan Utama


Tidak bisa BAB sejak ± 1 minggu SMRS

2.2.2 Riwayat Penyakit Seakarang


Pasien mengeluh tidak bisa BAB sejak ± 1 minggu SMRS. Keluhan
diawali dengan sakit lambung 1 bulan yll, setelah itu ± 2 minggu kemudian
pasien merasakan perut kembung, terasa begah, dan mual-muntah. Muntah
berupa makanan dan tidak proyektil. Pasien kemudian mengkonsumsi obat sakit
lambung (Sukralfat syrup dan obat maag). Keluhan sempat membaik, namun
kemudian pasien merasakan perutnya semakin membesar, terasa kencang, kadang
disertai nyeri yang hilang-timbul, BAB mulai kecil-kecil dan jarang buang angin
sampai akhirnya tidak bisa BAB sejak 1 minggu terakhir SMRS. Keluhan demam
disangkal, nafsu makan pasien dikatakan masih baik, riwayat BAB berdarah
disangkal. BAK tidak ada keluhan. Penurunan berat badan yang signifikan
disangkal.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
Riwayat hipertensi (+) sejak 1 tahun yll, konsumsi Amlodipin 1 x 1
Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat operasi BPH di RS Setia Mitra pada tahun 2018

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan serupa dikeluarga disangkal. Riwayat hipertensi pada ibu pasien.
Keluhan penyakit tumor atau keganasan di keluarga disangkal.

2.2.5 Riwayat Penyakit Sosial


Pasien merupakan seorang pensiunan dan saat ini tidak bekerja. Sehari-
hari pasien banyak menghabiskan waktu dengan beraktivitas di dalam rumah,
kadang mengerjakan pekerjaan rumah yang ringan. Pasien masih dapat mandiri
dalam melakukan aktivitas seperti makan, mandi, ibadah, dll. Pasien jarang
olahraga, pola makan sehari-hari pasien teratur dengan variasi lauk pauk dan
kebersihan rumah atau lingkungan sekitar cukup baik. Riwayat merokok dan
konsumsi alkohol disangkal.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik dilakukan pada Senin 18 Januari 2021 pukul 16.00 WIB
 Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : BB 46 kg , TB 160 cm, IMT 17,9 (Underweight)
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 82x/menit
Frekuensi Nafas : 18x/menit
Suhu : 36,7°C
 Kepala
Normochepal, bentuk simetris, oedem (-), hematom (-)
 Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), injeksi
konjungtiva (-/-), injeksi silier (-/-), kornea keruh (-/-), iris berwarna coklat
kehitaman, pupil bulat ukuran 0,5 mm, isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+).
 Telinga, Hidung, dan Tenggorokan
- Hidung
Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-/-), defiasi septum (-/-),
edema concha (-/-), concha hiperemis (-/-).
- Telinga
Preaurikuler hiperemis (-/-), abses (-/-), massa (-/-),
Aurikuler normotia, nyeri aurikuler (-/-)
Postaurikuler hiperemis (-/-), abses (-/-), massa (-/-),
Liang telinga lapang, serumen (-/-), otorhea (-/-)
- Tenggorokan dan rongga mulut
Bucal mukosa sianosis (-), pucat (-)
Tonsil T1/T1
Dinding posterior faring tidak hiperemis
 Leher
JVP : 5+2 cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Pengguanaan otot bantu nafas; otot sternocleidomastoideus (-)
Pembesaran tiroid (-)
Bruit arteri karotis (-)
 Toraks Anterior
- Paru
Inspeksi : pergerakan dada simetris statis dan dinamis, otot bantuan
nafas (-/-), retraksi sela iga (-/-), benjolan/tumor (-/-), empisema
subkutis (-/-), sianosis kulit (-/-), pelebaran iga (-/-), sifat pernafasan
(torakoabdominal), irama pernafasan reguler.
Palpasi : ekspansi dada simetris, fremitus vokal simetris (+/+),
pelebaran sela iga (-/-), nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas jantung kiri ICS 5
midclavicula sinistra, batas paru-hepar sonor-redup, batas paru-
lambung sonor-timpani
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : pulsasi iktus kordis teraba
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS 4 linea parasternalis
dextra, batas jantung kiri pada ICS 5 linea
midclavicula sinistra.
Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : perut tampak membesar, massa (-), striae (-), scar (-),
Auskultasi : Bu (+) menurun
Palpasi : nyeri tekan (-), pembesaran hepar (-), pembesaran
limpa (-)
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
 Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema (-)
 Status Lokalis (Abdomen)
Inspeksi : perut tampak membesar, massa (-), striae (-), scar (-),
Auskultasi : Bu (+) menurun
Palpasi : nyeri tekan (-), pembesaran hepar (-), pembesaran
limpa (-)
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

• Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan rontgen thorax
• Pemeriksaan CT-Scan whole abdomen dengan kontras
Hasil pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

Laboratorium

Tanggal 15 Januari 2021

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hemoglobin 14.0 12.8– 16.8 g/dl

Hematokrit 44 33-45 %
Pemeriksaan
Lekosit Hasil 16.7 Nilai rujukan
4.5-13.0 ribu/ul
Hitung Jenis
Trombosit 289 150-440 ribu/ul
Basofil
Eritrosit 0
5.11 0-1%
3.80-5.20 juta/ul
Eosinofil
LED 1
19.0 1-3% nm
0.0-10.0
Netrofil
VER 89
85.1 50-70%fl
80-100
Limfosit
HER 6
27.3 20-40% pg
26.0-34.0
Monosit
KHER 4
32.1 2-8%
32.0-36.0 g/dl
Luc
RDW 0
13.3 <5%
11.5-14.5%
Fungsi Ginjal
Hemostasis
Ureum Darah
APTT 49
27.8 20-40 mg/dl
28.0-37.9
KreatininAPTT
Kontrol Darah 0.8
30.7 0.6-1.5 mg/dl

Diabetes
PT 15.2 12.7-16.1
Glukosa PT
Kontrol Darah 169
14.2 70-149 mg/dl
Sewaktu
INR 1.08
Elektrolit Darah
Fungsi Hepar
Natrium (Darah) 133 135-147 mmol/l
SGOT 59 0-34 mg/dl
Kalium (Darah) 4.59 3.10-5.10 mmol/l
SGPT 47 0-40 mg/dl
Klorida (Darah) 98 95-108 mmol/l
Sero-Imunologi
Analisis Gas Darah
Golongan Darah B / Rhesus (+)
pH 7.328 7.370-7.440

PCO2 38.1 35.0-45.0 mmHg

PO2 70.0 83.0-108.0 mmHg

HCO3 19.5 21.0-28.0 mmol/L

OS Saturasi 93.0 95.0-99.0%

BE (Base Excess) -5.8 -2.5-2.5 mmol/L

Total CO2 20.7 19.0-24.0 mmol/L


Pemeriksaan Rontgen Thorax
Tanggal 15 Januari 2021
Kesan : Cor / pulmo dalam batas normal
Kalsifikasi arcus aorta
Pemeriksaan CT-Scan Whole Abdomen dengan Kontras
Tanggal 19 Januari 2021

Kesan :
- Massa belobulasi dengan sentral nekrotik, penyangatan terutama
marginal di rongga pelvis yang meluas ke sisi posterior ke dinding
colon descendens, sisi anterior ke dinding vesika urinaria
- Gambaran asites di seluruh rongga abdomen
- Gambaran sludge di intralumen kantung empedu
- Kista pada ginjal kiri pole-superior
- Pembesaran prostat, DD/ BPH
- Atelektasis di segmen 8, 9, dan 10 paru kanan dan segmen 10 paru kiri
- Efusi pleura bilateral

2.5 Resume
Pesien Tn. SA 69 tahun datang ke RS dengan keluhan tidak bisa BAB
sejak ± 1 minggu SMRS. Keluhan diawali dengan sakit lambung 1 bulan yll,
setelah itu ± 2 minggu kemudian pasien merasakan perut kembung, terasa begah,
dan mual-muntah. Muntah berupa makanan dan tidak proyektil. Pasien sempat
mengkonsumsi obat lambung dari dokter dan keluhan dirasakan sempat membaik,
namun kemudian pasien merasakan perutnya semakin membesar, terasa kencang,
kadang disertai nyeri yang hilang-timbul, BAB mulai kecil-kecil sampai akhirnya
tidak bisa BAB, dan jarang buang angin sejak 1 minggu terakhir SMRS. Pasien
memiliki Riwayat hipertensi (+) sejak 1 tahun yll, konsumsi Amlodipin 1 x 1.
Pasien juga memiliki riwayat operasi BPH di RS Setia Mitra pada tahaun 2018.
Pada pemeriksaan status generalis didapatkan tanda vital dalam batas normal dan
IMT pasien 17,9 (underweight). Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan:
- Inspeksi : perut tampak membuncit (kembung), massa (-), striae (-), scar
(-)
- Auskultasi : Bu (+) menurun
- Palpasi : dinding abdomen teraba lemas, nyeri tekan di lapang abdomen
(-), pembesaran hepar (-), pembesaran limpa (-)
- Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut

2.6 Diagnosis

Ileus Obstruktif ec Suspect Ca Colon

2.7 Tatalaksana
Pro laparatomi eksplorasi

2.8 Prognosis
Ad vitam : Bonam

Ad Functionam : Dubia ad Bonam

Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi dan Klasifikasi Luka
Luka adalah bentuk kerusakan integritas jaringan biologis seperti kulit,
membran mukosa, dan organ yang bisa disebabkan oleh trauma internal atau
eksternal tubuh. Central for Disease Control telah mengklasifikasikan luka
menjadi empat kelas berdasarkan tingkat kebersihan dan kontaminasinya.1
1. Luka bersih (Clean wound), yakni luka yang tidak terinfeksi, tidak ada
peradangan, dan tertutup.
2. Luka bersih terkontaminasi (Clean-contaminated wound), yakni luka
yang masuk ke saluran respirasi, pencernaan, genital atau saluran kemih
dalam kondisi yang terkendali.
3. Luka terkontaminasi (Contaminated wound), yakni luka terbuka yang
masih baru akibat kecelakaan atau operasi dengan teknik aseptik atau
terkontaminasi dari saluran cerna.
4. Luka kotor atau infeksi (Dirty wound), yakni jenis luka yang dihasilkan
dari perawatan yang kurang baik terhadap sebuah luka traumatik atau
bisa juga diakibatkan oleh pelaksanaan operasi di tempat yang tidak
steril.

1.2 Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan respon fisiologis tubuh yang kompleks dan


saling berhubungan yang bertujuan mengembalikan fungsi jaringan agar kembali
normal atau mendekati keadaan normal. Proses penyembuhan luka akan
menghasilkan jaringan parut. Perawatan luka diperlukan untuk meningkatkan
proses penyembuhan dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Proses penyembuhan
luka terbagi menjadi empat fase yang saling tumpang tindih, yakni koagulasi,
inflamasi, proliferatif dan remodelling.2

1. Fase koagulasi
Segera setelah cedera, platelet akan melekat ke pembuluh darah yang
mengalami kerusakan kemudian menginisiasi kaskade pembekuan darah.
Proses ini mencegah perdarahan lebih lanjut dan membantu melindungi
sementara area luka yang terpapar lingkungan luar.
2. Fase inflamasi
Platelet akan melepas sitokin proinflamasi, berupa platelet-derived growth
factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Fibroblast
Growth Factor 2 (FGF-2), Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-alpha),
interleukin dan transforming growth factor A1 dan 2 (TGF-A1 dan TGF-2)
yang akan memanggil sel-sel inflamasi seperti leukosit, neutrophil, dan
makrofag. Sel-sel fagositik ini akan melepaskan Reactive Oxygen Species
(ROS) yang bersifat antimikroba dan protease sehingga membersihkan luka
dari benda asing dan bakteri. Fase inflamasi akan mengalami resolusi dalam
beberapa hari dan sel-sel fagositik mengalami apoptosis secara gradual.
3. Fase proliferatif
Pada fase ini, growth factor yang diproduksi oleh platelet juga memicu
terjadi migrasi dan proliferasi sel dermal dan epidermal serta fibroblast
sehingga terbentuk jaringan granulasi yang menyokong terjadinya
epitelisasi. VEGF, PDGF, dan FGF-2 akan memicu angiogenesis yang
bertujuan menyediakan suplai darah adekuat untuk proses tersebut.
4. Fase remodeling
Fase ini terjadi secara simultan dengan proses re-epitelisasi dan restorasi
integritas epidermal. Jaringan matrix sementara yang di sintesis oleh
fibroblast pada jaringan granulasi mengandung kolagen tipe III, fibrin,
fibronectin, dan asam hyaluronic. Jaringan ini akan berubah dan berganti
menjadi kolagen tipe I dibantu enzim remodeling matrix, yakni matrix
metalloproteinase (MMP). Bersamaan dengan remodeling, sel fibroblast
akan mengalami kontraksi dan menutup luka. Remodeling matrix akan
dihentikan oleh suatu enzim yang disebut tissue inhibitor of matrix
metalloproteinase (TIMP) yang secara spesifik menonaktifkan MMP.
Kemudian mengalami apoptosis yang dipicu oleh sitokin TGF-A, tumor
necrosis factor, dan FGF-2. Fibroblast yang tidak mengalami apoptosis lama
kelamaan akan membentuk bekas luka yang hipertrofi dan keloid.2

1.3 Luka Kronik


Luka kronik merupakan luka yang gagal melanjutkan proses
penyembuhan secara teratur dan tepat waktu (4 minggu) untuk menghasilkan
integritas secara anatomis dan fungsional, atau telah melanjutkan proses
perbaikan tanpa mendapatkan hasil integritas anatomis dan fungsional yang baik
sehingga memerlukan perawatan khusus. Secara umum, luka kronik
dikategorikan menjadi 3 kelompok, yakni luka tekan, ulkus tungkai, dan cedera
akibat radiasi.3,4
1.3.1 Luka tekan
Luka tekan biasa terjadi pada pasien yang tirah baring dalam jangka
waktu lama. Lokasi luka tekan umumnya terletak pada tonjolan-
tonjolan tulang, seperti sacrum, ischium, dan trochanter major.
Nekrosis yang terjadi pada luka tekan terjadi akibat besarnya tekanan
pada jaringan yang lebih besar dari 20 sampai 30 mmHg sehingga
menghalangi tekanan perfusi kapiler dan mikrosirkulasi menjadi
terganggu. Nekrosis terjadi apabila tekanan berkelanjutan dan
mikrosirkulasi tetap terganggu hingga 2 jam.
Kulit lebih tahan terhadap tekanan dibandingkan jaringan lemak dan
otot dibawahnya, sehingga sering ditemukan area ulserasi yang kecil
pada kulit yang menutupi area nekrosis jaringan lemak subkutan dan
otot yang luas.5
1.3.2 Ulkus tungkai
Ulkus tungkai umumnya terjadi akibat salah satu dari dua penyakit
vaskuler yang berbeda, yakni insufisiensi arteri atau vena. Sebanyak
80-90% terjadi akibat insufisiensi vena (penyakit katup vena).
Peningkatan tekanan vena tungkai akan menyebabkan edema lokal dan
nekrosis jaringan. Edema jaringan adalah penghambat utama perbaikan
di lokasi ulkus. Obstruksi pascapiler akibat edema jaringan akan
menyebabkan peningkatan tekanan perfusi. Ekstravasasi protein dan sel
darah merah juga terjadi akibat peningkatan tekanan perfusi tersebut
yang selanjutnya membatasi difusi dan suplai oksigen sehingga
jaringan mengalami hipoksia. Adanya trauma kecil yang seharusnya
cepat sembuh pada pasien normal, pada pasien ini dapat berkembang
menjadi luka besar dan menyebabkan nekrosis hingga mengancam
nyawa.5
1.3.3 Cedera akibat radiasi
Sinar radiasi yang sering digunakan sebagai penatalaksanaan penyakit
tertentu memiliki efek akut dan kronik terhadap kulit. Secara akut, akan
muncul eritema yang dapat mengalami resolusi spontan. Sedangkan
dalam jangka waktu lama, radiasi tersebut dapat merusak DNA pada
sel-sel fibroblast, keratinosit, dan sel endothelial. Kerusakan DNA pada
sel-sel tersebut akan menyebar seiring waktu dan mengganggu
kemampuan sel untuk membelah diri. 5

1.4 Faktor Penyebab


1.4.1 Infeksi
Luka terbuka selalu menjadi tempat kolonisasi bakteri. Infeksi pada luka
dapat terjadi apabila pertahanan host tidak seimbang dengan
pertumbuhan bakteri. Infeksi bakteri dapat menghambat proliferasi
fibroblast serta sintesis dan deposisi matriks ekstraseluler pada proses
penyembuhan luka. Jumlah kontaminasi bakteri yang dapat
menyebabkan infeksi klinis dan memperlambat penyembuhan adalah 105
organisme per gram jaringan yang terdapat pada luka.5
1.4.2 Nutrisi
Proses penyembuhan luka adalah proses anabolik yang memerlukan
kalori tambahan. Vitamin A, B1 (thiamine), B2 (riboflavin), C, serta
zink sangat penting untuk proses proliferasi fibroblast, sintesis kolagen,
epitelisasi dan remodeling luka. Kekurangan zat-zat ini akan
menyebabkan kecepatan penyembuhan luka menjadi terhambat.5
1.4.3 Oksigen dan perfusi
Luka memerlukan oksigenasi yang adekuat untuk melakukan proses
penyembuhan. Jaringan luka yang iskemik akan mengalami proses
penyembuhan lebih lama dan berisiko tinggi terhadap infeksi. Luka
iskemik terjadi secara sekunder terhadap beberapa faktor, diantaranya
yaitu penyakit oklusi vascular, vasokonstriksi, dan hypovolemia.
Tingginya tegangan jahitan saat proses penutupan luka akan
menyebabkan iskemia jaringan lokal pada luka.5
1.4.4 Diabetes mellitus dan obesitas
Penelitian terbaru menunjukkan adanya kekurangan fungsi Keratinocyte
Growth Factor (KGF) dan Platelet Derived Growth Factor (PDGF)
pada pasien diabetes mellitus dan obesitas. Selain itu, banyak pasien
dengan penyakit ini juga memiliki penyakit oklusi mikrovaskuler yang
dapat menyebabkan iskemia dan gangguan perbaikan.5
1.4.5 Kortikosteroid
Steroid dapat menurunkan proses reaksi inflamasi, sintesis kolagen, dan
kontraksi pada luka. Akibat menurunnya reaksi inflamasi, resistensi host
terhadap bakteri menurun sehingga dapat meningkatkan komplikasi
infeksi bakteri.5
1.4.6 Terapi radiasi dan kemoterapi
Pembelahan sel endotel, fibroblast, dan keratinosit akan terganggu pada
jaringan yang mendapat terapi radiasi atau kemoterapi, sehingga
memperlambat penyembuhan luka.5

1.5 Patogenesis dan Patofisiologi


Luka kronik umumnya terjadi ketika terdapat satu atau lebih rangsangan
inflamasi yang persisten, misalnya trauma berulang, iskemia atau kontaminasi
bakteri. Kondisi ini mengarah pada stimulus proinflamasi yang sedang
berlangsung, bukan stimulus proinflamasi yang terbatas pada luka akut. Reaksi
inflamasi yang berkepanjangan akan menyebabkan aktivasi neutrophil dan
monosit terus menerus dan sekresi sitokin proinflamasi yang berlebihan. Secara
sinergis kedua hal tersebut akan meningkatkan produksi MMP dan manurunkan
kadar TIMP. Peningkatan kadar MMP dengan cepat dapat menurunkan protein
yang diperlukan untuk proses penyembuhan luka sehingga kemajuan skema
penyembuhan luka terganggu dan luka gagal sembuh. Kemudian, bila proses
tersebut terus berlanjut maka luka akan mengalami nekrosis.3
Jaringan yang mengalami nekrosis akan digunakan sebagai sumber nutrisi bagi
bakteri sehingga meningkatkan kemungkinan infeksi luka menjadi lebih invasif.
Metabolit dari membrane eicosanoid sel yang sudah mati juga menjadi racun bagi
sel normal yang berdekatan. Debris nekrotik juga menjadi penghalang mekanis
terhadap masuknya sel-sel penyembuhan luka atau mediator-mediator humoral ke
jaringan luka. Selain itu sel nekrotik juga menghasilkan protease jaringan yang
memicu degradasi growth factor (GF), sehingga proses inflamasi menjadi
terhambat.3
Seluruh proses penyembuhan luka membutuhkan oksigen. Proses fagositik
bakteri oleh sel-sel fagosit juga termasuk proses yang membutuhkan oksigen.
Proses yang bergantung pada oksigen akan terganggu apabila tekanan perfusi
oksigen jaringan kurang dari 40 mmHg. Iskemia atau hipoksia berat dengan
tekanan oksigen jaringan kurang dari 10 mmHg akan menghambat seluruh proses
penyembuhan luka.3

1.6 Gambaran klinis


1.6.1 Luka tekan
1.6.2 Ulkus vena
1.6.3 Ulkus arterial/campuran
1.6.4 Ullkus diabetic
1.6.5 Non-healing suegical wound

1.7 Diagnosis
1.8 Tatalaksana
1.9 Komplikasi
BAB IV
PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis pada ileus obstruktif dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis obstruksi usus level usus besar dapat ditemukan
penyebab misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia.
Gejala umum berupa syok, oliguria dan gangguan elektrolit pasien juga tampak gelisah, tidak
dapat BAB.
Pada kasus ini pasien Tn.SA usia 69 tahun datang ke RS Fatmawati dengan keluhan
Pesien Tn. SA 69 tahun datang ke RS dengan keluhan tidak bisa BAB sejak ± 1 minggu
SMRS. Keluhan diawali dengan sakit lambung 1 bulan yll, setelah itu ± 2 minggu kemudian
pasien merasakan perut kembung, terasa begah, dan mual-muntah. Muntah berupa makanan
dan tidak proyektil. Pasien sempat mengkonsumsi obat lambung dari dokter dan keluhan
dirasakan sempat membaik, namun kemudian pasien merasakan perutnya semakin membesar,
terasa kencang, kadang disertai nyeri yang hilang-timbul, BAB mulai kecil-kecil sampai
akhirnya tidak bisa BAB, dan jarang buang angin sejak 1 minggu terakhir SMRS.
Pada pemeriksaan fisik kasus didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, TD 110/70 mmHg, HR 82x/menit, RR 18x/menit, Suhu 36,7’C.
Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan:
- Inspeksi : perut tampak membuncit (kembung), massa (-), striae (-), scar
(-)
- Auskultasi : Bu (+) menurun
- Palpasi : dinding abdomen teraba lemas, nyeri tekan di lapang abdomen
(-), pembesaran hepar (-), pembesaran limpa (-)
- Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:


- Pemeriksaan laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien dengan obstruksi yang dicurigai harus mencakup hitung
darah lengkap dan metabolisme. Alkalosis metabolik hipokalemik, hipokloremik dapat
dicatat pada pasien dengan emesis berat. Kadar nitrogen urea darah yang meningkat
konsisten dengan dehidrasi, dan kadar hemoglobin serta hematokrit dapat meningkat.
Jumlah sel darah putih dapat meningkat jika bakteri usus mentranslokasi ke dalam aliran
darah, menyebabkan sindrom respons inflamasi sistemik atau sepsis. Perkembangan
asidosis metabolik, terutama pada pasien dengan peningkatan kadar laktat serum, dapat
menandakan iskemia usus.
- Radiografi
Evaluasi awal pasien dengan tanda-tanda klinis dan gejala obstruksi usus harus
meliputi radiografi abdominal tegak lurus. Radiografi dapat dengan cepat menentukan
apakah perforasi usus telah tebentuk udara bebas dapat terlihat di atas organ hepar dalam
foto tegak atau foto dekubium lateral kiri. Radiografi secara akurat mendiagnosis obstruksi
usus pada sekitar 60% kasus, dan nilai prediktif positif mendekati 80% pada pasien
dengan obstruksi usus letak tinggi. Namun, foto polos abdomen dapat tampak normal pada
obstruksi dini dan pada obstruksi duodenum. Oleh karena itu, ketika kecurigaan klinis
untuk obstruksi letak tinggi atau tetap ada meskipun radiografi awal negatif, tomography
(CT) tanpa kontras dapat dilakukan.
Untuk menegakkan diagnosis secara radiologis pada ileus obstruksif dilakukan foto
abdomen 3 posisi. Yang dapat ditemukan pada pemeriksaan foto abdomen ini antara lain:
1. Ileus obstruksi letak tinggi:
- Dilatasi di proksimal sumbatan (sumbatan paling distal di ileocecal jungtion)
dan kolaps usus di bagian distal sumbatan.
- Coil spring appearance
- Herring bone appearance
- Air fluid level yang pendek-pendek dan banyak (step ladder sign)
2. Ileus obstruksi letak rendah:
- Gambaran sama seperti ileus obstruksi letak tinggi
- Gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi abdomen
- Air fluid level yang panjang-panjang di kolon. Sedangkan pada ileus paralitik
gambaran ditemukan dilatasi usus yang menyeluruh dari gaster sampai rectum.
- Tomografi komputer
Pada pemeriksaan ini sesuai untuk mengevaluasi lebih lanjut pasien dengan dugaan
obstruksi usus yang pemeriksaan klinis dan radiografinya tidak menghasilkan diagnosis
pasti. CT sensitif untuk mendeteksi obstruksi tingkat tinggi (hingga 90% dalam beberapa
kasus), dan memiliki manfaat tambahan dalam menentukan penyebab dan tingkat
obstruksi pada sebagian besar pasien. Selain itu, CT dapat mengidentifikasi penyebab
timbulnya obstruksi usus, seperti volvulus atau pencekikan usus.
Temuan CT pada pasien dengan obstruksi usus termasuk dilatasi loop usus proksimal
ke lokasi obstruksi, dengan usus yang terdekompresi akhir. Kehadiran titik transisi diskrit
membantu memandu perencanaan operasi. Tidak adanya bahan kontras dalam rektum juga
merupakan tanda penting dari obstruksi total. Untuk alasan ini, pemberian bahan kontras
dari dubur harus dihindari. Close-loop dari usus yang cenderung dengan pembuluh
mesenterika radial dengan konversi medial sangat mencurigakan untuk volvulus usus.
Dinding intestal yang menebal dan aliran bahan kontras yang buruk ke bagian usus
menunjukkan iskemia, sedangkan pneumatosis intestinalis, udara intra-peritoneum yang
bebas, dan pengamplasan lemak mesenterika menunjukkan nekrosis dan perforasi.
Meskipun CT sangat sensitif dan spesifik untuk obstruksi tingkat tinggi, nilainya
berkurang pada pasien dengan obstruksi parsial. Pada pasien ini, pasangan kontras oral
dapat terlihat melintasi panjang usus ke rektum, tanpa daerah transisi yang terpisah.
Fluoroskopi mungkin memiliki nilai lebih besar dalam mengkonfirmasikan diagnosis.

Pemeriksaan penunjang pada kasus yaitu dilakukan pemeriksaan laboratorium,


rontgen thoraks, CT-Scan whole abdomen (Abd atas bawah) + kontras. Pada foto rontgen
didapatkan kesankalsifikasi arcus aorta, cor dan pulmo dalam batas normal. Pada hasil CT
Scan Abdomen (Abd atas bawah) kontras didapatkan kesan massa belobulasi dengan
sentral nekrotik, penyangatan terutama marginal di rongga pelvis yang meluas ke sisi
posterior ke dinding colon descendens, sisi anterior ke dinding vesika urinaria, gambaran
asites di seluruh rongga abdomen, dan gambaran sludge di intralumen kantung empedu

TATALAKSANA
Penatalaksanaan obstruksi usus bertujuan untuk memperbaiki gangguan fisiologis
yang disebabkan oleh obstruksi yaitu tindakan mengistirahatkan usus, dan menghilangkan
sumber obstruksi. Yang pertama diatasi dengan resusitasi cairan intravena dengan cairan
isotonik. Penggunaan kateter kandung kemih untuk memonitor output urin adalah
persyaratan minimum untuk mengukur kecukupan resusitasi tindakan invasif lainnya,
seperti kanulasi arteri atau pemantauan tekanan vena sentral. Antibiotik digunakan untuk
mengobati pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan translokasi di dinding usus. Keluhan
demam dan peningkatan leukosit harus segera diberikan antibiotik dalam pengobatan
awal. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap organisme gram negatif dan
anaerob, dan pilihan agen tertentu harus ditentukan oleh kerentanan lokal dan kemampuan
yang tersedia. Penggantian elektrolit yang agresif direkomendasikan setelah fungsi ginjal
yang adekuat dikonfirmasi.
Keputusan untuk melakukan operasi untuk obstruksi usus bisa sulit. Peritonitis,
ketidak stabilan klinis, atau leukositosis atau asidosis yang tidak diketahui berkaitan
dengan sepsis abdomen, iskemia usus, atau perforasi; Temuan ini harus dilakukan bedah
segera. Pasien dengan obstruksi yang sembuh setelah pengurangan hernia harus
dijadwalkan untuk perbaikan hernia, sedangkan operasi segera diperlukan pada pasien
dengan hernia yang tidak dapat direduksi. Pasien yang stabil dengan riwayat keganasan
perut atau kecurigaan tinggi untuk keganasan harus dievaluasi secara menyeluruh untuk
perencanaan operasi bedah yang optimal. Keganasan perut dapat diobati dengan reseksi
primer dan rekonstruksi atau pengalihan paliatif, atau penempatan pipa ventilasi dan
selang makanan.
Perawatan pasien yang stabil dengan obstruksi intestinal dan riwayat pembedahan
perut merupakan tantangan. Penatalaksanaan konservatif obstruksi derajat tinggi harus
dilakukan pada awalnya, dengan menggunakan intubasi dan dekompresi intestinal,
rehidrasi intravena agresif, dan antibiotik. Perhatian khusus harus digunakan ketika bukti
klinis dan radiologis menunjukkan obstruksi total, karena penggunaan stimulasi usus dapat
memperburuk obstruksi dan memicu iskemia usus.
Pada kasus ini yang merupakan obtruksi usus level usus besar penatalaksaan yang
diberikan yaitu pada pasien tidak ada tanda tanda perforasi iskemia setelah itu pasien
bisa dilakukan penangana awal yaitu:
- Pasien dipuasakan
- Pasang infus dan dipasang juga selang kateter untuk menilai jumlah pengeluaran
cairan
- Selang ngt untuk menilai produksi lambung setelah itu
- Berikan antibiotik yaitu Ceftriakson
- Lakukan foto abdomen 3 posisi untuk menilai level obstruksi
- Rencana operasi laparatomi eksplorasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Herman TF, Bordoni B. Wound Classification. StatPearls,


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554456/ (2020, diakses 7 Maret 1SM).

2. Demidova-Rice TN, Hamblin MR, Herman IM. Acute and impaired wound healing:
Pathophysiology and current methods for drug delivery, part 1: Normal and chronic
wounds: Biology, causes, and approaches to care. Adv Ski Wound Care 2012; 25: 304–
314.

3. Robson MC. Pathophysiology of Chronic Wounds. Surg Wounds 2004; 29–40.

4. Criteria D, Options T. CCHCS Care Guide : Chronic Wound Management CCHCS


Care Guide : Chronic Wound Management Patient Presents with Chronic Wound.

5. Lorenz HP, Longaker MT. Wounds : Biology , Pathology , and Management. Epub
ahead of print 2003. DOI: 10.1007/0-387-22744-X.

Anda mungkin juga menyukai