Pembimbing:
Disusun oleh:
Firyal Muhammad Haekal Shofi
(41191396100061)
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang berkat kemurahan-Nya makalah
presentasi kasus mengenai “Chronic Wound??” ini dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat
dalam rangka memenuhi persyaratan tugas yang telah diberikan pada stase Kepaniteraan
Klinik Bedah Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. ??? selaku pembimbing presentasi
kasus ini serta seluruh pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
kekurangan, oleh karena itu diharapkan segala kritik dan saran yang membangun untuk
penyempurnaan makalah ini
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua dan dapat membuka wawasan serta ilmu pengetahuan, khususnya bagi kami yang
sedang menempuh pendidikan profesi dokter.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.2 Anamnesis (Autoanamnesis dan aloanamnesis dengan istri pasien pukul 16.00 di
GPS lantai 2, ruang 203 pada tanggal 18-01-2021 dan 20-01-2021)
• Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan rontgen thorax
• Pemeriksaan CT-Scan whole abdomen dengan kontras
Hasil pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
Laboratorium
Hematokrit 44 33-45 %
Pemeriksaan
Lekosit Hasil 16.7 Nilai rujukan
4.5-13.0 ribu/ul
Hitung Jenis
Trombosit 289 150-440 ribu/ul
Basofil
Eritrosit 0
5.11 0-1%
3.80-5.20 juta/ul
Eosinofil
LED 1
19.0 1-3% nm
0.0-10.0
Netrofil
VER 89
85.1 50-70%fl
80-100
Limfosit
HER 6
27.3 20-40% pg
26.0-34.0
Monosit
KHER 4
32.1 2-8%
32.0-36.0 g/dl
Luc
RDW 0
13.3 <5%
11.5-14.5%
Fungsi Ginjal
Hemostasis
Ureum Darah
APTT 49
27.8 20-40 mg/dl
28.0-37.9
KreatininAPTT
Kontrol Darah 0.8
30.7 0.6-1.5 mg/dl
Diabetes
PT 15.2 12.7-16.1
Glukosa PT
Kontrol Darah 169
14.2 70-149 mg/dl
Sewaktu
INR 1.08
Elektrolit Darah
Fungsi Hepar
Natrium (Darah) 133 135-147 mmol/l
SGOT 59 0-34 mg/dl
Kalium (Darah) 4.59 3.10-5.10 mmol/l
SGPT 47 0-40 mg/dl
Klorida (Darah) 98 95-108 mmol/l
Sero-Imunologi
Analisis Gas Darah
Golongan Darah B / Rhesus (+)
pH 7.328 7.370-7.440
Kesan :
- Massa belobulasi dengan sentral nekrotik, penyangatan terutama
marginal di rongga pelvis yang meluas ke sisi posterior ke dinding
colon descendens, sisi anterior ke dinding vesika urinaria
- Gambaran asites di seluruh rongga abdomen
- Gambaran sludge di intralumen kantung empedu
- Kista pada ginjal kiri pole-superior
- Pembesaran prostat, DD/ BPH
- Atelektasis di segmen 8, 9, dan 10 paru kanan dan segmen 10 paru kiri
- Efusi pleura bilateral
2.5 Resume
Pesien Tn. SA 69 tahun datang ke RS dengan keluhan tidak bisa BAB
sejak ± 1 minggu SMRS. Keluhan diawali dengan sakit lambung 1 bulan yll,
setelah itu ± 2 minggu kemudian pasien merasakan perut kembung, terasa begah,
dan mual-muntah. Muntah berupa makanan dan tidak proyektil. Pasien sempat
mengkonsumsi obat lambung dari dokter dan keluhan dirasakan sempat membaik,
namun kemudian pasien merasakan perutnya semakin membesar, terasa kencang,
kadang disertai nyeri yang hilang-timbul, BAB mulai kecil-kecil sampai akhirnya
tidak bisa BAB, dan jarang buang angin sejak 1 minggu terakhir SMRS. Pasien
memiliki Riwayat hipertensi (+) sejak 1 tahun yll, konsumsi Amlodipin 1 x 1.
Pasien juga memiliki riwayat operasi BPH di RS Setia Mitra pada tahaun 2018.
Pada pemeriksaan status generalis didapatkan tanda vital dalam batas normal dan
IMT pasien 17,9 (underweight). Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan:
- Inspeksi : perut tampak membuncit (kembung), massa (-), striae (-), scar
(-)
- Auskultasi : Bu (+) menurun
- Palpasi : dinding abdomen teraba lemas, nyeri tekan di lapang abdomen
(-), pembesaran hepar (-), pembesaran limpa (-)
- Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut
2.6 Diagnosis
2.7 Tatalaksana
Pro laparatomi eksplorasi
2.8 Prognosis
Ad vitam : Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi dan Klasifikasi Luka
Luka adalah bentuk kerusakan integritas jaringan biologis seperti kulit,
membran mukosa, dan organ yang bisa disebabkan oleh trauma internal atau
eksternal tubuh. Central for Disease Control telah mengklasifikasikan luka
menjadi empat kelas berdasarkan tingkat kebersihan dan kontaminasinya.1
1. Luka bersih (Clean wound), yakni luka yang tidak terinfeksi, tidak ada
peradangan, dan tertutup.
2. Luka bersih terkontaminasi (Clean-contaminated wound), yakni luka
yang masuk ke saluran respirasi, pencernaan, genital atau saluran kemih
dalam kondisi yang terkendali.
3. Luka terkontaminasi (Contaminated wound), yakni luka terbuka yang
masih baru akibat kecelakaan atau operasi dengan teknik aseptik atau
terkontaminasi dari saluran cerna.
4. Luka kotor atau infeksi (Dirty wound), yakni jenis luka yang dihasilkan
dari perawatan yang kurang baik terhadap sebuah luka traumatik atau
bisa juga diakibatkan oleh pelaksanaan operasi di tempat yang tidak
steril.
1. Fase koagulasi
Segera setelah cedera, platelet akan melekat ke pembuluh darah yang
mengalami kerusakan kemudian menginisiasi kaskade pembekuan darah.
Proses ini mencegah perdarahan lebih lanjut dan membantu melindungi
sementara area luka yang terpapar lingkungan luar.
2. Fase inflamasi
Platelet akan melepas sitokin proinflamasi, berupa platelet-derived growth
factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Fibroblast
Growth Factor 2 (FGF-2), Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-alpha),
interleukin dan transforming growth factor A1 dan 2 (TGF-A1 dan TGF-2)
yang akan memanggil sel-sel inflamasi seperti leukosit, neutrophil, dan
makrofag. Sel-sel fagositik ini akan melepaskan Reactive Oxygen Species
(ROS) yang bersifat antimikroba dan protease sehingga membersihkan luka
dari benda asing dan bakteri. Fase inflamasi akan mengalami resolusi dalam
beberapa hari dan sel-sel fagositik mengalami apoptosis secara gradual.
3. Fase proliferatif
Pada fase ini, growth factor yang diproduksi oleh platelet juga memicu
terjadi migrasi dan proliferasi sel dermal dan epidermal serta fibroblast
sehingga terbentuk jaringan granulasi yang menyokong terjadinya
epitelisasi. VEGF, PDGF, dan FGF-2 akan memicu angiogenesis yang
bertujuan menyediakan suplai darah adekuat untuk proses tersebut.
4. Fase remodeling
Fase ini terjadi secara simultan dengan proses re-epitelisasi dan restorasi
integritas epidermal. Jaringan matrix sementara yang di sintesis oleh
fibroblast pada jaringan granulasi mengandung kolagen tipe III, fibrin,
fibronectin, dan asam hyaluronic. Jaringan ini akan berubah dan berganti
menjadi kolagen tipe I dibantu enzim remodeling matrix, yakni matrix
metalloproteinase (MMP). Bersamaan dengan remodeling, sel fibroblast
akan mengalami kontraksi dan menutup luka. Remodeling matrix akan
dihentikan oleh suatu enzim yang disebut tissue inhibitor of matrix
metalloproteinase (TIMP) yang secara spesifik menonaktifkan MMP.
Kemudian mengalami apoptosis yang dipicu oleh sitokin TGF-A, tumor
necrosis factor, dan FGF-2. Fibroblast yang tidak mengalami apoptosis lama
kelamaan akan membentuk bekas luka yang hipertrofi dan keloid.2
1.7 Diagnosis
1.8 Tatalaksana
1.9 Komplikasi
BAB IV
PEMBAHASAN
Penegakan diagnosis pada ileus obstruktif dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis obstruksi usus level usus besar dapat ditemukan
penyebab misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia.
Gejala umum berupa syok, oliguria dan gangguan elektrolit pasien juga tampak gelisah, tidak
dapat BAB.
Pada kasus ini pasien Tn.SA usia 69 tahun datang ke RS Fatmawati dengan keluhan
Pesien Tn. SA 69 tahun datang ke RS dengan keluhan tidak bisa BAB sejak ± 1 minggu
SMRS. Keluhan diawali dengan sakit lambung 1 bulan yll, setelah itu ± 2 minggu kemudian
pasien merasakan perut kembung, terasa begah, dan mual-muntah. Muntah berupa makanan
dan tidak proyektil. Pasien sempat mengkonsumsi obat lambung dari dokter dan keluhan
dirasakan sempat membaik, namun kemudian pasien merasakan perutnya semakin membesar,
terasa kencang, kadang disertai nyeri yang hilang-timbul, BAB mulai kecil-kecil sampai
akhirnya tidak bisa BAB, dan jarang buang angin sejak 1 minggu terakhir SMRS.
Pada pemeriksaan fisik kasus didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, TD 110/70 mmHg, HR 82x/menit, RR 18x/menit, Suhu 36,7’C.
Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan:
- Inspeksi : perut tampak membuncit (kembung), massa (-), striae (-), scar
(-)
- Auskultasi : Bu (+) menurun
- Palpasi : dinding abdomen teraba lemas, nyeri tekan di lapang abdomen
(-), pembesaran hepar (-), pembesaran limpa (-)
- Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut
TATALAKSANA
Penatalaksanaan obstruksi usus bertujuan untuk memperbaiki gangguan fisiologis
yang disebabkan oleh obstruksi yaitu tindakan mengistirahatkan usus, dan menghilangkan
sumber obstruksi. Yang pertama diatasi dengan resusitasi cairan intravena dengan cairan
isotonik. Penggunaan kateter kandung kemih untuk memonitor output urin adalah
persyaratan minimum untuk mengukur kecukupan resusitasi tindakan invasif lainnya,
seperti kanulasi arteri atau pemantauan tekanan vena sentral. Antibiotik digunakan untuk
mengobati pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan translokasi di dinding usus. Keluhan
demam dan peningkatan leukosit harus segera diberikan antibiotik dalam pengobatan
awal. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap organisme gram negatif dan
anaerob, dan pilihan agen tertentu harus ditentukan oleh kerentanan lokal dan kemampuan
yang tersedia. Penggantian elektrolit yang agresif direkomendasikan setelah fungsi ginjal
yang adekuat dikonfirmasi.
Keputusan untuk melakukan operasi untuk obstruksi usus bisa sulit. Peritonitis,
ketidak stabilan klinis, atau leukositosis atau asidosis yang tidak diketahui berkaitan
dengan sepsis abdomen, iskemia usus, atau perforasi; Temuan ini harus dilakukan bedah
segera. Pasien dengan obstruksi yang sembuh setelah pengurangan hernia harus
dijadwalkan untuk perbaikan hernia, sedangkan operasi segera diperlukan pada pasien
dengan hernia yang tidak dapat direduksi. Pasien yang stabil dengan riwayat keganasan
perut atau kecurigaan tinggi untuk keganasan harus dievaluasi secara menyeluruh untuk
perencanaan operasi bedah yang optimal. Keganasan perut dapat diobati dengan reseksi
primer dan rekonstruksi atau pengalihan paliatif, atau penempatan pipa ventilasi dan
selang makanan.
Perawatan pasien yang stabil dengan obstruksi intestinal dan riwayat pembedahan
perut merupakan tantangan. Penatalaksanaan konservatif obstruksi derajat tinggi harus
dilakukan pada awalnya, dengan menggunakan intubasi dan dekompresi intestinal,
rehidrasi intravena agresif, dan antibiotik. Perhatian khusus harus digunakan ketika bukti
klinis dan radiologis menunjukkan obstruksi total, karena penggunaan stimulasi usus dapat
memperburuk obstruksi dan memicu iskemia usus.
Pada kasus ini yang merupakan obtruksi usus level usus besar penatalaksaan yang
diberikan yaitu pada pasien tidak ada tanda tanda perforasi iskemia setelah itu pasien
bisa dilakukan penangana awal yaitu:
- Pasien dipuasakan
- Pasang infus dan dipasang juga selang kateter untuk menilai jumlah pengeluaran
cairan
- Selang ngt untuk menilai produksi lambung setelah itu
- Berikan antibiotik yaitu Ceftriakson
- Lakukan foto abdomen 3 posisi untuk menilai level obstruksi
- Rencana operasi laparatomi eksplorasi
DAFTAR PUSTAKA
2. Demidova-Rice TN, Hamblin MR, Herman IM. Acute and impaired wound healing:
Pathophysiology and current methods for drug delivery, part 1: Normal and chronic
wounds: Biology, causes, and approaches to care. Adv Ski Wound Care 2012; 25: 304–
314.
5. Lorenz HP, Longaker MT. Wounds : Biology , Pathology , and Management. Epub
ahead of print 2003. DOI: 10.1007/0-387-22744-X.