Anda di halaman 1dari 26

CASE REPORT

APPENDISITIS AKUT

DISUSUN OLEH:
HEVA NORMALITA PUTRI M
1102013127

PEMBIMBING:
Letkol (CKM) dr. Firmansyah, Sp.B, FINACS, MARS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RS TK.II MOH. RIDWAN MEURAKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : Tn. A
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 29 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : TNI
Alamat : Asrama Yonzikon 14, Sreangseng Sawah Jakarta Selatan
Tanggal masuk RS : 24 Mei 2018
Tanggal pulang RS : 29 Mei 2018

II. Anamnesis
Dilakukan secara : Autoanamnesis
Tanggal : 24 Mei 2018
Tempat : Ruang Rawat Inap Bedah (Asoka)
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Keluhan Tambahan : Mual (+), muntah (-), demam (-),BAB dan BAK normal.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dari Poli Bedah RS TK. II MOH RIDWAN MEURAKSA dengan
keluhan nyeri perut kanan bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul, Nyeri terasa menjalar
ke perut bagian tengah dan dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Makin terasa nyeri ketika
bergerak. Mual (+), muntah (-), BAB dan BAK normal, demam (-). Sebelumnya, pasien
merasakan nyeri pada ulu hati kemudian perut kanan bawah. Riwayat trauma disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Asma (-),
Kolesterol (-).
Riwayat Penyakit keluarga : Tidak ada di keluarga pasien yang memiliki keluhan
serupa
Riwayat pengobatan : Nyeri perut kanan bawah belum diobati sebelumnya.
Riwayat kebiasaan : Merokok (-), alkohol (-)

2
Alergi : Disangkal.

III. Pemeriksaan fisik


a. Kesadaran : Compos mentis
b. Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
c. Tanda vital :
 Tekanan Darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 84 x/ menit
 Respirasi : 24 x/ menit
 Suhu : 36 0C
d. Status gizi
 Berat badan : 70 kg
 Tinggi badan : 172 cm
 IMT : 23.66 kg/m² (Ideal)
e. Status generalis
 Kepala : Normocephal
 Mata : Pupil bulat isokor, sklera ikterik -/-, kongjugtiva anemis -/-
 Leher : Trakea letak normal, tidak ada pembesaran KGB
 Thoraks
a. Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
- Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
b. Paru
- Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan dan kiri, pernapasan simetris
dalam keadaan statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)
- Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Terdengar suara nafas bronkial di medial dan Suara nafas
vesikuler di lateral, ronki (-/-), wheezing (-/-).
 Abdomen :

3
- Inspeksi : Tidak tampak adanya massa, tidak terlihat distensi abdomen,
supel datar
- Palpasi : Pada palpasi umum nyeri tekan regio iliaca dextra (+)
o Palpasi hepar : Tidak ada pembesaran hepar
o Palpasi lien : Tidak ada pembesaran lien
o Palpasi ginjal : Ballottement (-)
o Palpasi VU dan aorta abdominalis : Kandung kemih teraba kosong dan
aorta teraba lemah
- Tes undulasi : (-)
- Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen, shifting dullness (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
 Ekstremitas : Akral hangat, tidak sianosis, CRT normal (<2 detik), udem (-)
f. Neurologi
Refleks Fisiologis
- Biseps : +/+
- Patella : +/+
- Achilles : +/+

Refleks Patologis
- Refleks babinski -/-
g. Status lokalis
 Inspeksi
Tidak terlihat adanya kelainan, massa (-), eritem (-)

 Palpasi
Nyeri tekan regio illiaca dextra (+), McBurney (+), Rovsing sign (+), Blumberg
sign (+), Psoas sign (+), Obturator sign (+).

 Perkusi
Nyeri ketok regio illiaca dextra
 Auskultasi
BU (+) Normal

4
IV. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium (24 Mei 2018)

Tabel 1. Hasil lab darah

Pemeriksaan Hasil Nilai Referensi Interpretasi


b.
Hematologi rutin
Hemoglobin 15,1 13.2-17,3 g/dl Normal
Hematokrit 43 40-52 % Normal
Leukosit 4.1 3.8 – 10,6 Normal
Trombosit 280 ribu/ul Normal
Laju Endap Darah 5 150-440 ribu/ul Normal
<10
Hitung Jenis
Basofil 0 Normal
Eosinofil 0 <1% Normal
Batang 0 <3% Normal
Segmen 57 <6% Normal
Limfosit 39 50 – 70 % Normal
Monosit 4 20 – 40 % Normal
<8%
Hemostatis
Waktu perdarahan 2’00” 1’00” – 3’00” Normal
Waktu pembekuan 6’00” 2’00” – 6’00” Normal

Kimia darah
Diabetes
Glukosa sewaktu 102 < 140 mg/dl Normal

Pemeriksaan Radiologi
 USG Abdomen (23 Mei 2018)

5
Kesan:
- Meteorism
- Reg. Fossa ill dextra : tampak minimal target sign dengan aperistaltic area, susp.
Awal appendicitis acute
- Tak tampak kelainan pada hepar, VF, lien, kedua ren VU, prostat.
 Appendicogram (25 Mei 2018)
Foto Abdomen Polos :
- Tidak tampak gambaran batu radioopak disepanjang traktus urinarius.
- Dilatasi udara usus dengan distribusi merata
- Fecal material prominen
- tidak tampak dilatasi usus ataupun dinding usus menebal
Appendicogram :
-Kontras lancar mengalir hingga colon
- Kontras tidak mengisi lumen Appendix
Kesan :
Non Filling Appendix, susp. appendiciti

6
V. Resume
A. Anamnesis
Pasien datang dari Poli Bedah RS TK. II MOH RIDWAN MEURAKSA dengan
keluhan nyeri perut kanan bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul, Nyeri terasa menjalar ke
perut bagian tengah dan dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Makin terasa nyeri ketika
bergerak. Mual (+), muntah (-), BAB dan BAK normal, demam (-). Sebelumnya, pasien
merasakan nyeri pada ulu hati kemudian perut kanan bawah. Riwayat trauma disangkal.

B. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital : dalam batas normal
Status Generalis : dalam batas normal
Status Lokalis :
 Inspeksi
Tidak terlihat adanya kelainan, massa (-), eritem (-)

 Palpasi
Nyeri tekan (+), rovsign sign (+) blumberg sign (+), psoas sign (+), MC burney
(+), Obturator sign (+)
C. Pemeriksaan Penunjang : Susp. Appendicitis acute

VI. Diagnosis kerja


Appendisitis akut

VII. Tata laksana


 Pre-op :
1. IVFD RL 30 tpm
2. Puasa pre-operasi (6 jam)
3. Inj. Cefim 2x1 amp (IV)
4. Flagyl supp 3x500 mg
5. Inj. Gentamisin 3x80 mg (IV)
6. Inj. Ranitidin 3x1 amp (IV)
7. Rencana Appendicogram

 Operatif : Appendektomi

7
 Terapi post-op :
1. IVFD RL 20 tpm
2. Cefim 2x1
3. Flagyl supp 3x1
4. Gentamisin 2x1
5. Ketorolac 3x1
6. Ranitidin 3x1

VIII. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanactionam : ad bonam

IX. Follow Up

Tanggal S O A P
Kamis, Nyeri perut TSS, CM Susp. RL 20 tpm
24/05/2018 sebelah kanan TD: 110/70; S: Appendisitis Inj. Cefim 2x1
bawah. Nyeri 36 C; RR: 20; akut (Pre-op) Flagyl Supp
hilang timbul. N: 84 3x500mg
Status lokalis : Gentamicin
Regio abdomen 2x80 mg
Ranitidine 3x1
Palpasi : Nyeri
Rencana
tekan pada regio
Appendicogram
illiaca dextra

McBurney sign
(+), Rovsing
sign(+),
Blumberg sign
(+), Psoas sign
(+), Obturator

8
sign (+)

Jumat, Nyeri perut TSS, CM Susp. RL 20 tpm


25/05/2018 kanan bawah, TD: 120/80; S: Appendisitis Inj. Cefim 2x1
nyeri hilang 36 C; RR: 20; akut (Pre-op) Flagyl Supp
timbul. N: 80 3x500mg
Status lokalis : Gentamicin
Regio abdomen 2x80 mg
Ranitidine 3x1
Palpasi : Nyeri
Sedang
tekan pada regio
Appendicogram
illiaca dextra

McBurney sign
(+), Rovsing
sign(+),
Blumberg sign
(+), Psoas sign
(+), Obturator
sign (+)

Sabtu, TAK TSS, CM Susp. RL 20 tpm


26/05/2018 TD: 110/70; S: Appendisitis Inj. Cefim 2x1
36 C; RR: 20; akut (Pre-op) Flagyl Supp
N: 82 3x500mg
Status lokalis : Gentamicin
Regio abdomen 2x80 mg
Ranitidine 3x1
Palpasi : Nyeri
tekan pada regio
illiaca dextra

McBurney sign
(+), Rovsing

9
sign(+),
Blumberg sign
(+), Psoas sign
(+), Obturator
sign (+)

Minggu, TAK TSS, CM Susp. RL 20 tpm


27/05/2018 TD: 110/70; S: Appendisitis Inj. Cefim 2x1
36 C; RR: 20; akut (Pre-op) Flagyl Supp
N: 82 3x500mg
Status lokalis : Gentamicin
Regio abdomen 2x80 mg
Ranitidine 3x1
Palpasi : Nyeri
Rencana operasi
tekan pada regio
senin
illiaca dextra

McBurney sign
(+), Rovsing
sign(+),
Blumberg sign
(+), Psoas sign
(+), Obturator
sign (+)

Senin, BAB (-), BAK TSS, CM Susp. RL 20 tpm


28/05/2018 (+), Flatus (+), TD: 120/80; S: Appendisitis Inj. Cefim 2x1
nyeri pada 36,7 C; RR: 24; akut (Pre-op D- Flagyl Supp
daerah operasi N: 87; BU (+); 0) 3x1
Status lokalis : Inj. Ranitidin
Regio abdomen 3x1
Inj. Ketorolac
L : Terdapat
3x1
luka bekas

10
operasi di regio Inj. Gentamicin
illiaca dextra, 2x1
luka tertutup
verband,
rembesan darah
(-).
F: nyeri pada
daerah operasi
M: gerakan
tidak terbatas.

Selasa, BAB (-), BAK TSS, CM Susp. Inj. Cefim 2x1


29/05/2018 (+), Nyeri pada TD: 120/80; S: Appendisitis Flagyl Supp
daerah operasi 36,7 C; RR: 24; akut (Pre-op D- 3x1
N: 87; BU (N). 1) Inj. Ranitidin
Status lokalis : 3x1
Regio abdomen Inj. Ketorolac
3x1
L : Terdapat
Inj. Gentamicin
luka bekas
2x1
operasi di regio
illiaca dextra,
luka tertutup
verband,
rembesan darah
(-).
F: nyeri pada
daerah operasi
M: gerakan
tidak terbatas.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Appendiks


Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang
mempunyai otot dan banyak mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks
vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada
permukaan aspek posteromedial caecum, 2,5 cm di bawah junctura iliocaecal
dengan lainnya bebas. Apendiks adalah satu-satunya organ tubuh yang tidak
mempunyai posisi anatomi yang konstan. Lumennya melebar di bagian distal dan
menyempit di bagian proksimal.1,2
Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di regio
iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik
sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan
umbilicus yang di sebut titik McBurney.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di
sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi apendiks akan mengalami gangren.3 Aliran limfenya ke
satu atau dua nodi dalam mesoapendiks dan di alirkan ke nodi mesenterici
superiores.2,4

12
Gambar 1. Appendix

1.2 Fisiologi Appendiks Vermiformis


Apendiks vermiformis menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari yang
secara normal di curahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Adanya hambatan aliran pada lendir di muara apendiks vermiformis berperan
dalam patogenesis apendisitis.4
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GULT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan, termasuk
apendiks vermiformis menghasilkan IgA yaitu suatu imunoglobulin sekretoar.
IgA sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Tetapi karena jumlah
jaringan limfe pada apendiks vermiformis kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna menyebabkan pengangkatan apendiks vermiformis
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh.4

1.3 Definisi Appendisitis

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja.3,5

13
1.4 Epidemiologi Appendisitis
Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara
berkembang.Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada
umur 20-30 tahun, ketika insidens pada lelaki lebih tinggi.4
Di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat 250.000 kasus apendisitis.
Insiden apendisitis paling tinggi pada usia 10-30 tahun, dan jarang ditemukan
pada anak usia kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun insiden apendisitis
menurun, tapi apendisitis bisa terjadi pada setiap umur individu. Pada remaja dan
dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2.
Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia pertengahan 30 tahun
menjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan.6,7
Sekitar 20-30% kasus apendisitis perforasi terjadi di Afrika, sedangkan di
Amerika sebanyak 38,7% insidensi apendisitis perforasi terjadi pada laki-laki dan
23,5% pada wanita.

1.5 Etiologi
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix
sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang
paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan
appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel
lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang
parasit. Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendicitis yaitu: Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli, Viridans streptococci, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus,
Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus micros, Bilophila species, Lactobacillus
species.3
Faktor predisposisi utama terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen
apendiks vermiformis. Fekolit adalah penyebab utama terjadinya obstruksi
apendiks vermiformis. Di samping hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks
vermiformis, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Erosi

14
mukosa apendiks vermiformis akibat parasit E.histolytica merupakan penyebab
lain yang dapat menimbulkan apendisitis.
Pada tahun 1970, Burkitt mengatakan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan kandungan lemak serta gula yang tinggi pada orang Barat, serta
pengaruh konstipasi, berhubungan dengan timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks vermiformis dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon. Semua
ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.4,8

1.6 Klasifikasi
1. Apendisitis akut
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium. Keluhan ini
sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindak ke kanan bawah ke titik
Mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Bila terdapat perangsangan
peritoneum, pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.4

2. Apendisitis kronis
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang
setelah apendiktomi. Kriteria mikroskopik apendisitis kronis adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.4

3. Apendisitis rekurens
Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya

15
apendiktomi, dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini
terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun,
apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan
jaringan parut. Risiko untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%. Insidens
apendisitis rekuren adalah sebesar 10% dari specimen apendiktomi yang
diperiksa secara patologik. Pada apendisitis rekuren biasanya dilakukan
apendiktomi karena sering penderita datang dalam serangan akut. 4

1.7 Patofisiologi

Patologi apendisitis berawal dari mukosa dan kemudian melibatkan


seluruh lapisan dinding apendiks vermiformis dalam waktu 24-48 jam
pertama. Jaringan mukosa pada apendiks vermiformis menghasilkan mukus
(lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi lumen menyebabkan sekresi
mukus dan cairan, akibatnya terjadi peningkatan tekanan luminal sebesar 60
cmH2O, yang seharusnya hanya berkapasitas 0,1-0,2 mL.4,8,10
Bakteri dalam lumen apendiks vermiformis berkembang dan menginvasi
dinding apendiks vermiformis sejalan dengan terjadinya pembesaran vena dan
kemudian terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Ketika
tekanan kapiler melampaui batas, terjadi iskemi mukosa, inflamasi dan
ulserasi. Pada akhirnya, pertumbuhan bakteri yang berlebihan di dalam lumen
dan invasi bakteri ke dalam mukosa dan submukosa menyebabkan peradangan
transmural, edema, stasis pembuluh darah, dan nekrosis muskularis yang
dinamakan apendisitis kataralis. Jika proses ini terus berlangsung,
menyebabkan edema dan kongesti pembuluh darah yang semakin parah dan
membentuk abses di dinding apendiks vermiformis serta cairan purulen, proses
ini dinamakan apendisitis flegmonosa. Kemudian terjadi gangren atau
kematian jaringan yang disebut apendisitis gangrenosa. Jika dinding apendiks
vermiformis yang terjadi gangren pecah, tandanya apendisitis berada dalam
keadaan perforasi.4,8,10
Untuk membatasi proses radang ini tubuh juga melakukan upaya
pertahanan dengan menutup apendiks vermiformis dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara
salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Pada anak-anak dengan

16
omentum yang lebih pendek, apendiks vermiformis yang lebih panjang, dan
dinding apendiks vermiformis yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang
masih kurang, dapat memudahkan terjadinya apendisitis perforasi. Sedangkan
pada orang tua, apendisitis perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan
pembuluh darah.11
Apendiks vermiformis yang pernah meradang tidak akan sembuh
sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut
kanan bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat mengalami peradangan akut
lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.4
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis
appendicitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan
perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah
periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di
dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan
mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul
lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain. 3
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,
infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;
diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan
mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari
dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf
somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran
kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.3
Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda
karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat
terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal
dapat muncul di punggung atau pinggang.3

17
Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis
dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau
keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat
menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah
perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda
perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis
> 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak
bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam
tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan
peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau
remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abses yang dapat diketahui dari
adanya massa pada pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai tetapi
tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam
jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare
dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.3

1.8 Diagnosis

Diagnosis apendisitis dapat dilakukan dengan melakukan:


a. Anamnesis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut.
Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena
penderita takut untuk mengejan. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu
tinggi, antara 37,5 -38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi
perforasi.
b. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi

18
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit,
kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah
terlihat pada apendikuler abses.
2. Palpasi
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis
abdomen kuadran kanan bawah:
 Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis.
 Nyeri lepas (+) Blumberg sign. Rasa nyeri yang terjadi akibat rangsangan
peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang
hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan
setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc.
Burney.
 Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
 Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal
ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
 Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
 Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar
secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada
daerah hipogastrium.9
 Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun.
 Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk.
 Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix.

19
 Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen
atau Appendix letak pelvis.
 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.
 Dunphy sign: nyeri ketika batuk.3

3. Perkusi
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok
4. Auskultasi
Auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus
paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis,
tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik
usus.
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado,
yaitu:
Tabel 2. Skor Alvarado

Interpretasi:
Skor 7-10 = apendisitis akut,
Skor 5-6 = curiga apendisitis akut
Skor l-4 = bukan apendisitis akut.

c. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara

20
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada
CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
- Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan apendikogram.
Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan apendikogram
merupakan pemeriksaan berupa foto barium apendiks yang dapat membantu
melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen
apendiks. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%.

Gambar 2. Pemeriksaan Penunjang Appendisitis

- Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan


infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
- Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
- Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk
memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.

21
- Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis
dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.9

1.9 Diagnosis Banding

Pada keadaan tertentu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai


diagnosis banding, antara lain:

1. Gastroenteritis : adalah suatu jenis peradangan yang terjadi pada saluran


pencernaan, terutama pada lambung dan usus kecil, dan mengakibatkan diare
akut.Peradangan dapat disebabkan oleh paparan makanan dan air yang
terkontaminasi, atau oleh infeksi beberapa jenis virus atau bakteri, parasit dan
efek samping dari diet berlebih dan pengobatan. pada gastroenteritis
didapatkan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih
ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistalsis sering ditemukan. Panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.
2. Infeksi Panggul : salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis
akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian
bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai
keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina akan timbul nyeri hebat di
panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika
perlu untuk diagnosis banding
3. Kehamilan Di Luar Kandungan : hampir selalu ada riwayat terlambat haid
dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus
kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak
difus didaerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada
pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan
pada kuldosentesis didapatkan darah.
4. Endometriosis Eksterna : endometrium diluar rahim akan memberikan keluhan
nyeri di tempat endometriosis berada. Darah menstruasi terkumpul di tempat
itu karena tidak ada jalan keluar.

Diagnosis banding apendisitis akut pada dasarnya adalah diagnosis dari


nyeri abdomen akut yang disebabkan karena manifestasi klinis yang tidak

22
spesifik untuk fungsi fisiologis tertentu. Diagnosis banding tergantung dari
beberapa faktor yaitu: lokasi anatomi dari inflamasi apendiks vermiformis,
proses stage ( misalnya simpel atau ruptur), umur pasien, dan jenis kelamin
pasien.12
Beberapa pustaka menyebutkan bahwa diagnosis banding dapat
dipertimbangkan berdasarkan beberapa kondisi sebagai berikut : (1) penyebab
nyeri akut intra-abdominal lainnya, (2) nyeri akut yang berasal dari ginekologi,
(3) penyakit saluran kemih, (4) penyakit thoraks, (5) penyakit sistem saraf
pusat dan, (6) kondisi medis lainnya.1

1.10 Tatalaksana

Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis :


 Puasakan
 Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik. Pertimbangkan DD/ KET
terutama pada wanita usia reproduksi.
 Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomy Perawatan appendicitis tanpa operasi. Penelitian
menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki
resiko tinggi untuk dilakukan operasi Rujuk ke dokter spesialis bedah.
 Antibiotika preoperative
- Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post operasi.
- Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan
anaerob
- Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
- Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin,
atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena

23
frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas
aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan
Bacteroides.3

a. Pre Operatif
Observasi ketat, tirah baring, dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal
serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen dan
toraks dapat dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotic intrevena
spectrum luas dan analgesic dapat diberikan. Pada perforasi apendiks perlu
diberikan resusitasi cairan sebelum operasi.

b. Operatif
Apendektomi terbuka: dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan
bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada
diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan insisi sub umbilikal pada garis
tengah.

Gambar 3. Tindakan Operatif pada Appendisitis

Laparoskopi apendektomi: teknik operasi dengan luka dan kemungkinan


infeksi lebih kecil.

c. Pasca-operatif

24
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan
dalam syok, hipertermia atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam
posisi dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan
perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali
normal.Secara bertahap pasien diberi minum, makan saring, makan lunak, dan
makanan biasa.5

1.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan letak usus halus.4 Peritonitis umum, abses apendiks, tromboflebitis
supuratif system portal, abses subfrenikus, sepsis, dan obstruksi usus.5
1.12 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-
0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada
anak, angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien di atas 70 tahun
angka ini meningkat diatas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan
terapi.5

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Zinner MJ, Seymour I Scwhartz, Harold Ellis. Maingot’s abdominal operations, 10th
edition vol 2. Toronto : McGraw-Hill Professional ; 1997
2. Snell RS. Anatomi klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Ed.6. Jakarta : EGC ; 2006
3. Warsinggih. 2014. Appendisitis Akut. Available from:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/APPEDISITIS-
AKUT.pdf [Accessed April 2018].
4. Sjamsuhidayat R, W De Jong. Buku ajar ilmu bedah, edisi 3. Jakarta : EGC ; 2010
5. Kapita Selekta Kedokteran. 2014. Ed:4. Jakarta : Media Aesculapius
6. Wykes SRM. Peritonitis et kausa appendisitis [Lecture Notes]. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Indonesia Yogyakarta ; 2011.
7. Zuidema GD, Charles JY. Surgery of the alimentary tract 5th edition. Philadelphia :
W.B Saunders ; 2002.
8. Norton J, Philip S Barie, Ralph R Bollinge, Alfred EC, Stephen E Lowry, Sean J
Mulvihiel, et al. sugery basic science and clinical evidence 2nd edition. New York :
Springer ; 2008
9. Selvia B. 2010 Karakteristik Penderita Appendicitis Rawat Inap Di Rumah Sakit
Tembakau Deli PTP Nusantara II. Medan: Sumatra Utara
10. Asdie Ahmad H. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. edisi 13 volume 4.
Jakarta: EGC ; 2000
11. Mansjoer A, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita
selekta kedokteran. edisi 3 jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; 2001
12. Brunicardi F , Dana Andersen , Timothy Billiar , David Dunn, John Hunter , Jeffrey
Matthews, et al. Scwartz’s principles of surgery, 9th ed. USA : McGraw-Hill
Professional ; 2009

26

Anda mungkin juga menyukai