Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

“PREMEDIKASI DAN INDUKSI”

Pembimbing:

dr. Unggul, Sp. An.

Disusun oleh:

Ibrahim Rizal Latuconsina

(1102013129)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 9 AGUSTUS – 28 AGUSTUS 2021
TINJAUAN PUSTAKA

1
1. Premedikasi Anestesi 8
Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan operasi yang
pada umumnya dilakukan pada satu atau lebih obat-obatan. Premedikasi dilakukan
4
dengan maksud :
a. Meniadakan kegelisahan : Sering digunakan morfin atau petidin, juga
sedatif seperti klorpromazin, diazepam, atau thiopental.
b. Menghentikan sekresi ludah dan dahak yang dapat mengakibatkan kejang-
kejang berbahaya di tenggorok. Yang banyak digunakan adalah skopolamin
bersama morfin
c. Memperkuat efek anastetik, sehingga anestetikum bekerja lebih dalam dan
atau dosisnya dapat diturunkan
d. Memperkuat relaksasi otot selama narkosa, hal ini dapat dicapai dengan
pemberian relaksansia otot, seperti tuokurarin dan gelamin.
Setelah penilaian prabedah selesai dengan menghasilkan antara lain penentuan
status fisik pasien, langkah berikutnya ialah menentukan macam obat premedikasi
yang akan digunakan. Untuk penentuan ini ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan yaitu :
- Macam operasi
- Posisi pasien waktu dilakukan operasi
- Perkiraan lama operasi dan sebagainya
Tujuan utama dari pemberian obat premedikasi ialah untuk memberikan sedasi
psikis, mengurangi rasa cemas dan melindungi keadaan basal fisiologis dalam
melawan bahaya stress mental atau faktor-faktor yang tidak ada hubungannya
dengan anestesi yang spesifik. Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian
premedikasi yaitu induksi anestesi yang lancar.
Sehingga dapat disimpulkan secara singkat, bahwa tujuan dari premedikasi dan
anestesi ialah untuk melindungi pasien terhadap akibat segera dari trauma
pembedahan (misalnya rasa takut, sakit, aktivitas saraf simpatis, ketegangan
otot).Oleh karena itu premedikasi ini harus memenuhi kebutuhan masing-masing
pasien yang untuk setiap pasien dapat berbeda-beda.

2
Mengapa masalah takut dan nyeri ini harus diperhatikan betul pada prabedah,
dapat dijelaskan sebagai berikut :
Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas 2 bagian :
- Somatik (voluntary)
- Simpatetik (involuntary)
Efek somatik ini timbul dalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan
untuk bertahan atau menghindari kejadian tsb. Kebanyakan pasien akan
melakukan modifikasi terhadap menifestasi efek somatik tersebut dan
menerima keadaan yaitu dengan tampak tenang.
Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat
disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan saraf simpatis
untuk menimbulkan perubahan dalam berbagai derajat yang mengenai setiap
sistem dalam tubuh. Banyak dari perubahan ini yang disebabkan oleh suplai
darah ke jaringan, sebagian karena stimulasi eferen simpatis yang ke pembuluh
darah, dan sebagian karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi.
Impuls adrenergik dari rasa takut timbul di korteks serebri dan dapat
ditekan dengan tidur atau dengan sedatif yang mencegah kemampuan untuk
menjadi takut bila ada penyebab takut yang sesuai.
Reaksi kardiovaskuler terhadap nyeri secara neurologis berbeda dengan
rasa takut, karena arkus refleks yang tersangkut seluruhnya ada di batang otak
di bawah level sensoris thalamus. Ini berarti bahwa pendekatan klinis untuk
menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda.
Tanda akhir dari reaksi adrenergik terhadap rasa takut ialah
meningkatnya detak jantung dan tekanan darah. Maka tujuan pemberian obat
premedikasi dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Menghilangkan kecemasan
2. Mendapatkan sedasi
3. Mendapatkan analgesi
4. Mendapatkan amnesi
5. Mendapatkan efek antisialogoque

3
Disamping itu pada keadaan tertentu juga :
1. Menaikkan pH cairan lambung
2. Mengurangi volume cairan lambung
3. Mencegah terjadinya reaksi alergi
Premedikasi ini tidak boleh diberikan secara otomatis/rutin, tetapi harus
berdasar pada keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah
kunjungan prabedah dilakukan. Dengan demikian maka pemilihan obat
premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan memperhitungkan :
1. Umur pasien
2. Berat badan
3. Status fisik
4. Derajat kecemasan
5. Riwayat hospitalisasi sebelumnya (terutama pada anak)
6. Riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien
pernah diberi anestesi sebelumnya)
7. Riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat
berpengaruh pada jalannya anestesi (misalnya MAO inhibitor,
kortikosteroid, antibiotik tertentu)
8. Perkiraan lamanya operasi
9. Macamnya operasi (misalnya terencana, darurat pasien rawat inap
atau rawat jalan) Rencana obat anestesi yang akan digunakan

Tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat pendahulu


yang sesuai dengan tujuannya obat-obatan yang sering digunakan sebagai
premedikasi adalah obat-obat golongan antikholinergik, sedative, dan
analgetik.
1. Obat golongan antikholinergik
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat
menekan atau menghambat aktivitas khilonergik atau parasimpatis.

4
Tujuan utama pemberian obat golongan antikholinergik untuk
pramedikasi adalah :
- Mengurangi sekresi kelenjar : saliva, saluran cerna dan saluran
nafas.
- Mencegah spasme laring dan bronkus.
- Mencegah bradikardi.
- Mengurangi motilitas usus
- Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas.
Obat golongan antikholinergik yang digunakan dalam praktik
anestesia adalah preparat alkaloid belladonna yang turunannya adalah
sulfas atropine dan skopolamin.
Mekanisme kerja. Menghambat kerja asetil kolin pada organ yang
diinervasi oleh serabut saraf otonom parasimpatis atau serabut saraf
yang mempunyai neurotransmitter asetil kolin. Alkaloid belladonna
menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh asetil
kolin pada sel efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos
dan jantung. Khaisat sulfas atropine lebih dominan pada otot jantung,
usus dan bronkus, sedangkan skopolamin lebih dominan pada iris,
korpus siliare dan kelenjar.
Efek terhadap sususan saraf pusat. Sulfas atropine tidak
menimbulkan depresi susunan saraf pusat, sedangkan skopolamin
mempunyai efek depresi sehingga menimbulkan rasa ngantuk,
euphoria, amnesia dan rasa lelah.
Efek terhadap respirasi. Menghambat sekresi kelenjar pada hidung,
mulut, faring, trakea, dan bronkus menyebabkan mukosa jalan nafas
kekeringan, menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan bronkhioli,
sehingga diameter lumennya melebar akan menyebabkan volume ruang
rugi bertambah.
Efek tehadap kardiovaskular. Menghambat aktivitas vagus pada
jantung, sehingga denyut janutng meningkat, tetapi tidak berpengaruh

5
langsung pada tekanan darah. Pada hipotensi karena refleks vagal,
pemberian obat ini akan meningkatkan tekanan darah.
Efek terhadap saluran cerna. Menghambat sekresi kelenjar liur
sehingga mulut terasa kering dan sulit menelan, mengurangi sekresi
getah lambung sehingga, keasaman lambung bisa dikurangi.
Mengurangi tonus otot polos sehingga motilitas usus menurun.
Efek terhadap kelenjar keringat. Menghambat sekresi keringat
sehingga menyebabkan kulit kering dan badan terasa panas akibat
pelepasan panas tubuh terhalang melalui proses evaporasi.
Cara pemberian dan dosis.
a. Intamuskular, dosis 0,01 mg/kg BB diberikan 30-45
menit sebelum induksi.
b. Intravena, dengan dosis 0,005 mg/kg BB diberikan 5-10
menit sebelum induksi.
Kontra indikasi. Alkaloid belladonna ini tidak diberikan pada
pasien yang menderita demam, takikardi, glukoma, dan tirotoksikosi.
Kemasan dan sifat fisik. Dikemas dalam bentuk ampul iml
mengandung 0,25 dan 0,50 mg tidak berwarna dan larut dalam air.
2. Obat golongan sedative 6
Obat golongan sedative adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas
dan menimbulkan rasa kantuk.
Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk memberikan
suasana nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut,
sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan lingkungannya.
Untuk keperluan ini, obat golongan sedative yang sering digunakan
adalah :
a. Derivate fenothiazin
Derivate fenothiasin yang banyak digunakan untuk premedikasi
adalah prometazin. Obat ini pada mulanya digunakan sebagai
antihistamin.

6
Khasiat farmakologi, terhadap saraf pusat. Menimbulkan depresi
saraf pusat, bekerjapada formasio retikularis dan hipotalamus
menekan pusat muntah dan mengatur suhu obat ini berpotensi dengan
sedative lainnya.
Terhadap respirasi. Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas
dan menghambat sekresi kelenjar.
Terhadap saluran cerna efek lain. Menurunkan pristaltik usus,
mencegah spasme dan mengurangi sekresi kelenjar. Efek lainnya
adalah menekan sekresi katekolamin dan sebagi antikolinergik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khasiat prometazin
sebagai obat premedikasi adalah sebagai sedative, antiemetic,
antikolinergik, antihistamin, bronkodilator, dan anti pretika.
Cara pemberian dan dosis
-. Intramuscular dosis 1 mg/kg BB dan diberikan 30-45 menit
sebelum induksi.
- intravena, dengan dosis 0,5 mg/kg BB diberikan 5-10 menit
sebelum induksi.
Kemasan dan sifat fisik. Dikemas dalam bentuk ampul 2ml
mengandung 50mg. tidak berwarna dan larut dalam air.

b. Derivate benzodiazepin
Derivate benzodiazepin yang banyak digunakan untuk premedikasi
adalah diazepam dan midazolam.
Khasiat farmakologi, terhadap saraf pusat dan medulla spinalis.
Mempunyai khasiat sedasi dan anti cemas yang bekerja pada sistem
limbic dan pada ARAS serta bisa menimbulkan amnesia antero grad.
Sebagai obat anti kejang yang bekerja pada kornu anterior medulla
spinalis dan berhubungan saraf otot. Pada dosis kecil bersifat
sedative. Sedangkan dosis tinggi sebagai hipnotik.

7
Khasiat respirasi. Pada dosis kecil 0,2 mg/kg bb yang diberikan
secara intravena , menimbulkan depresi ringan yang tidak serius. Bila
dikombinasikan dengan narkotik menimbulkan depresi nafas yang
lebih berat.
Terhadap kardiovaskular. Pada dosis kecil, pengaruhnya kecil
sekali pada kontraksi mauoun denyut jantung akan tetapi pada dosis
besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan oleh efek dilatasi
pembuluh darah.
Terhadap saraf-otot. Menimbulkan penurunan tonus otot rangka
yang bekerja di tingkat supra spinal dan spinal, sehingga sering
digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka seperti
pada tetanus.
Penggunaan klinis. Premedikasi, diberikan intramuscular dengan
dosis 0,2 mg/kg BB atau peroral dengan dosis 5-10 mg. induksi,
diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB. Sedasi, pada
analgesik regional diberikan intravena. Menghilangkan halusinasi
pada pemberian ketamine.
Pada pemberian intramuscular atau intravena obat ini tidak bisa
dicampur dengan obat lain karena bisa terjadi presipitasi. Jalur vena
yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena besar untuk mencegah
flebitis. Pemberian intramuscular kurang disenangi oleh karena
menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan.
Kemasan. Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul
2ml yang mengandung 10mg, berwarna kuning sukar larut dalam air
dan bersifat asam.
c. Derivate butirofenon
Derivate ini disebut juga sebagai obat golongan neroleptika karena
sering digunakan sebagai neroleptik. Derivate butirofenon yang
sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah
dehidrobenzperidol atau popular disebut DHBP.

8
Efek farmakologi, Terhadap saraf pusat. Berkhasiat sebagai
sedative. Disamping itu mempunyai khasiat khusus sebagai anti
muntah yang bekerja pada pusat muntah di “chemoreceptor trigger
zone”. Efek samping yang tidak dikehendaki adalah timbulnya
rangsangan ekstrapiramidal sehingga menimbulkan gerakan tak
terkendali (parkinsonism) yang bosa diatasi dengan pemberian obat
antiparkinson.
Terhadap respirasi. Menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat
dilatasi pembuluh darah rongga hidung. Juga menimbulkan dilatasi
pembukuh darah paru sehingga kontra indikasi pada pasien asma.
Terhadap sirkulasi. Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah
perifer, sehingga sering digunakan sebagai anti syok. Tekanan darah
akan turun tetapi perfusi dapat dipertahankan selama volume
sirkulasi adekuat.
Penggunaan klinis. Premedikasi, diberikan intramuscular dosis
0,1 mg/kg BB. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia
regional. Antihipertensi, antimual, suplemen anestesi.
Kemasan. Dalam bentuk ampul 2ml dan 10ml mengandung 2,5
mg/ml tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.
d. Derivate barbiturat
Derivate barbiturat yang sering digunakan sebagai obat
premedikasi adalah pentobarbital dan sekobarbital. Digunakan
sebagai sedasi dan penenang prabedah terutama pada anak-anak.
Pada posisi lazim, menimbulkan depresi ringan pada respirasi
dan sirkulasi.
Sebagai premedikasi diberikan intramuskular dengan dosis
2mg/kg BB atau peroral.
e. Antihistamin
Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi
adalah derivate difenhidramin.

9
Khasiat yang diiharapkan adalah sedative, antimuntah ringan
dan antipiretik sedangkan efek sampingnya adalah hipotensi yang
sifatnya ringan.
3. Golongan analgetik narkotik atau opioid
Berdasarkan struktur kimia, analgetik atau opioid dibedakan 3
kelompok :
a. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein
b. Derivate semisintesis : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin,
oksimorfon, hidrokodon, oksikodon.
c. Derivate sintetik :
- fenilpiperidine : petidin, fentanyl, sulfentanil, dan alfentanil.
- Benzmorfans : pentazosin, fenazosin, dan siklazosin.
- Morfinans : lavorvanol
- Propionanilides : metadon
- Tramadol
Sebagai analgesic opioid bekerja secara sentral pada reseptor-
reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor , yaitu :
- Reseptor Mu
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimulasi pada
reseptor ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria dan
depresi nafas.
- Reseptor kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi, dan anestesia.
Morfin bekerja pada reseptor ini.
- Reseptor signa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi,
pupil midriasis, dan stimulasi respirasi.
- Reseptor delta
Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas,
diduga memperkuat reseptor Mu.

10
Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat
premedikasi adalah: petidin, morfin. Sedangkan fentanyl digunakan
sebagai suplemen anestesia.
Efek farmakologi, terhadap susunan saraf pusat. Sebagai
analgesik, obat ini bekerja pada thalamus dan substansia gelatinosa
medulla spinalis, disamping itu narkotik juga mempunyai efek
sedasi.
Terhadap respirasi. Menimbulkan depresi pusat nafas terutama
pada bayi dan orang tua. Efek ini semakin manifes pada keadaan
umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan seksama
dalam penggunaannya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan
dengan nalorpin atau nalokson. Terhadap bronkus, petidin
menyebabkan dilatasi bronkus sedangkan morfin menimbulkan
konstruksi akibat pengaruh pelepasan histamine.
Terhadap sirkulasi. Tidak menimbulkan depresi sistem sirkulasi,
sehingga cukup aman diberikan pada semua pasien kecuali bayi dan
orang tua. Pada kehamilan, narkotik dapat melewati barrier plasenta
sehingga bisa menimbulkan depresi napas pada bayi baru lahir.
Terhadap sistim lain. Merangsang pusat muntah, menimbulkan
spasme spinter kandung empedu sehingga menimbulkan kolik
abdomen. Morfin merangsang pelepasan histamin sehingga bisa
menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atau minimal pada daerah
hidung, sedangkan petidin pelasan histaminnya bersifat lokal
ditempat suntikan.
Penggunaan klinik. Morfin mempunyai kekuatan 10 kali
dibandingkan dengan petidin, ini berarti bahwa dosis morfin
sepersepuluh dari petidin sedangkan fentanyl 100 kali dari petidin.
Analgetik narkotik digunakan sebagai :
- Premedikasi : petidin diberikan intramuskular dengan dosis 1mg/kg
BB atau intravena 0,5 mg/kg BB

11
- Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut/ kronis diberikan
sistemik atau atau regional intrarektal/epidural.
- Suplemen sedasi dan analgesic di unit terapi intensif.
Kontra indikasi. Pemberian harus hati-hati pada pasien orang tua
atau bayi dan keadaan umum yang buruk. Tidak boleh diberikan
pada pasien yang mendapatkan preparat penghambat monoamine
oksidase, pasien asma dan penderita penyakit hati.
Kemasan. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung
50 mg/ml tidak berwarna. Fentanyl dikemas steril dalam bentuk
ampul 2 dan 10ml tiap ml mengandung 50mikrogram. Morfin dalam
bentuk ampul 1ml yang mengandung 10 atau 20 mg, tidak berwarna
dan bisa dicampur dengan obat lain.
Dalam aplikasinya, ketiga jenis obat-obat an premedikasi ini
dicampur dalam satu spuit kecuali diazepam, dan disuntikkan secara
intramuskular. Pemberian dengan cara ini dimaksudkan untuk
mengurangi suntikan berulang. Apabila diberikan terpisah pasien
akan disuntik sebanyak tiga kali keadaan ini tidak mengenakkan
pasien.

2. Induksi Anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dar sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia pembedahan.

Mekanisme kerja:

a. Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan
aktivitas neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi digunakan gas
dan cairan terbang yang masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi,
aktivitas, sifat melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk

12
mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan
dalam dosis tinggi, yang kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara
keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi
dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat
mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas atau uap yang
diinhalasi. Keuntungan anastetika inhalasi dibandingkan dengan anastesi intravena
adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anastesi dengan
mengurangi konsentrasi dari gas/uap yang diinhalasi. Kebanyakan anastesi umum tidak
di metabolisasikan oleh tubuh, karena tidak bereaksi secara kimiawi dengan zat-zat
faali. Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anastetika umum di bawah
pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil.

b. Anestesi Intravena
Obat-obat intravena seperti tiopental, etomidate, dan propofol mempunyai mula
kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap senyawa gas inhalasi yang
terbaru, misalnya desflurane dan sevoflurane. Senyawa intravena ini umumnya
digunakan untuk induksi anestesi. Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa
intravena juga sangat cepat.
Secara umum, mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anastesi
umum dibawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air yang bersifat
stabil. Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi transmisi rangsangan di sinaps dan
dengan demikian mengakibatkan anastesia.

Farmakodinamika
Kerja neurofisiologik yang penting pada obat anestesi umum adalah dengan
meningkatkan ambang rangsang sel. Dengan meningkatnya ambang rangsang,akan
terjadi penurunan aktivitas neuronal. Obat anestetik inhalasi seperti juga intravena
barbiturate dan benzodiazepine menekan aktivitas neuron otak sehingga akson dan
transmisisi naptik tidak bekerja. Kerja tersebut digunakan padatransmisi aksonal dan
sinaptik, tetapi proses sinaptik lebih sensitive dibandingkan efeknya. Mekanisme ionik

13
yang diperkirakan terlibat adalah bervariasi. Anestetik inhalasi gas telah dilaporkan
menyebabkan hiperpolarisasi saraf dengan aktivitas aliran K+, sehingga terjadi
penurunan aksi potensial awal, yaitu peningkatan ambang rangsang. Mekanisme
molecular dengan anestetik gas merubah aliran ion pada membran neuronal belumlah
jelas. Efek ini dapat menghasilkan hubungan interaksi langsung antara molekul
anestetik dan tempat hidrofobik pada saluran membrane protein yang spesifik.
Mekanisme ini telah diperkenalkan pada penelitian interaksi gas dengan saluran
kolineroseptor nikotinik interkais yang tampaknya untuk menstabilkan saluran pada
keadaan tertutup. Interpretasi alternatif, yang dicoba untuk diambil dalam catatan
perbedaan struktur yangnyata diantara anestetik, memberikan interaksi yang kurang
spesifik pada obat ini dengan dengan membran matriks lipid, dengan perubahan
sekunder pada fungsi saluran.

Farmakokinetika
Dalamnya anestesi ditentukan oleh konsentrasi anestetik didalam susunan saraf
pusat. Kecepatan pada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi anestesi)
bergantung pada banyaknya farmakokinetika yang mempengaruhi ambilan dan
penyebaran anestetik. Faktor tersebut menentukan perbedaan kecepatan transfer
anestetik inhalasi dari paru kedalam darah serta dari darah keotak dan jaringan
lainnya. Faktor-faktor tersebut juga turut mempengaruhi masa pemulihan anestesi
setelah anestetik dihentikan.

JENIS OBAT
a). Anestesi Inhalasi
1) N2O (Gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogenmonoksida)
Diperoleh dengan memanaskan amonium nitrat sampai 240o. zn2O dalam
ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya
1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalam silinder warna biru 9000
liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm. Pemberian anestesia dengan
N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi

14
analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasikan
dengan salah satu cairan anestetik lainnya seperti : halotan dan sebagainya. Pada akhir
anestesia setelah N2O akan cepat dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi
alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, diberikan O2 100% selama 5-10 menit.

2) Halotan (Fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan.


Baunya enak, tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, maka sering
digunakan sebagai induksi anestesia kombinasi dengan N2O. Halotan harus di simpan
didalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh
timol 0,01%. Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring dan laring. Setelah beberapa menit lidokain
bekerja, umumnya prosedur laringoskopi dapat dikerjakan dengan mudah, karena
relaksasi otot cukup. Khasiat anastetisnya sangat kuat (2 kali kloroform dan 4 kali eter)
tetapi khasiat analgesinya rendah dan daya relaksasi otot ringan. Halotan digunakan
dalam dosis rendah dan dikombinasikan dengan suatu relaksan otot, seperti galamin
dan suksametonium. Kelarutannya dalam darah relatif rendah induksi lambat, mudah
digunakan, tidak merangsang mukosa saluran napas. Bersifat menekan refleks dari
faring dan laring, melebarkan bronkiolus dan mengurangi sekresi ludah dan sekresi
bronkus. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggalkan aliran darah otak
yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia heperventilasi, sehingga tidak disukai
untuk bedah otak. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunkan tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard dan inhibisi refeleks baroreseptor. Kira-kira 20% halotan dimetabolisir
terutama dihepar secara oksidatif menjadi komponen, bromin, klorin, dan asam triklro
asetat. Secara reduktif menjadi komponen flourida, dan produk non-volatil yang
dikeluarkan lewat urin. Metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras,
sehingga merupakan indikasi kontra pada penderita gangguan hepar, pernah dapat

15
halotan dalam waktu kurang tiga bulan atau pada pasien kegemukan. Pasca pemberian
halotan sering menyebabkan pasien menggigil.
Dosis: tracheal 0,5-3 v%.

Farmakodinamik
Halotan adalah obat narkotika kuat untuk mencapai anestesi bedah tahap
digunakan sendiri dalam campuran dengan oksigen. Pasangan dalam campuran dengan
oksigen tidak meledak, yang memungkinkan penggunaan peralatan listrik selama
operasi. Ketika dikombinasikan dengan nitrous oxide atau eter.

Farmakokinetik
Mudah diserap dari saluran pernapasan. Sedikit larut dalam darah. Konsentrasi
yang diperlukan untuk operasi 12 mg, dan depresi dari pusat pernapasan terjadi pada
konsentrasi 30-38mg. dengan menambahka campuran nitrous oxide dapat mengurangi
konsentrasi halotan. Efek narkotika cepat berhenti setelah akhir inhalasi. Sekitar 80%
dari obat dilepaskan melalui paru-paru, dan 20% dimetabolisme dalam hati untuk
metaolit utama asam trifluoroasetat, dimana konsentrasi maksimum diamati satu hari
setelah anestesi.

3) Enfluran (Etran, aliran)


Merupakan halogenasi eter dan cepat populer setelah ada kecurigaan gangguan
fungsi hepar oleh halotan pada penggunaan ulang. Anestetikum inhalasi kuat,
digunakan pada berbagai jenis pembedahan juga sebagai analgetikum pada persalinan.
Memiliki daya relaksasi otot dan analgesi yang baik, tidak begitu menekan SSP.
Resorpsinya setelah inhalasi cepat dengan waktu induksi 2-3 menit. Sebagian besar
diekskresikan oleh paru-paru. Efek sampingnya berupa hipotensi, menekan
pernapasan, aritmi, dan merangsang SSP. Pasca bedah dapat timbul hipotermi
(menggigil) serta mual dan muntah. Daya kerjanya dapat melemaskan otot uterus, zat
ini meningkatkan perdarahan pada persalinan,SC,dan abortus.

16
Dosis tracheal 0,5-4v%.

Farmakodinamik
Sifat Enfluran (Etherane/Compound 347) Farmakologi, pengambilan dan
distribusi : Keseimbangan cepat atau tekanan parsial alveoli dan arteri sehingga induksi
relatif cepat Nilai MAC 2x halothan berarti potensi ½ dari halothan. Menyebabkan
hipnotik Pada konsentrasi inspirasi (3 - 3,5%) dapat menimbulkan aktivitas spike
epileptiform pada EEG, oleh karena itu dihindari untuk pasien epilepsi.

Farmakokinetik
Dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui urine. Sistem Respirasi : Tidak
iritatif dan tidak menyebabkan sekresi saliva dan trakheobronkhia. Penurunan refleks
laring tidak sebesar halothan. Depresi napas > dalam dibanding halothan.
Sistem Kardiovaskular : Depresi miokard lebih kuat dari halothan (MAC yang sama)
sehingga efek hipotensi > daripada efek halothan Aritmia jarang terjadi, pemakaian
adrenalin relatif aman.
Otot : Konsentrasi meningkatkan relaksasi uterus. Meningkatkan- aktivitas obat
pelumpuh otot non depolarisasi SSP.

4) Isofluran (Foran, Aeran)


Merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau subanestetik
menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah
otak dan tekanan intrakranial. Peningkatan aliran darah otak dan tekanan intrakranial
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak. Memiliki bau tidak enak, anestetikum inhalasi kuat
dengan sifat analgetis dan relaksasi otot baik. Penekanan terhadap SSP sama dengan
enfluran. Tidak menyala dan tidak eksplosif. Kadar fluoride dalam ginjal rendah
sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap fungsi ginjal. Efek samping berupa
hipotensi, aritmia, menggigil, kontriksi bronchi, dan meningkatkan jumlah leukosit.

17
Pasca bedah dapat menimbulkan mual muntah dan keadaan tegang lebih kurang 10%
pasien.
Dosis tracheal 0.5-3v% dalam O2 dan N2O.

Farmakodinamik
Kardiovaskular : Depresi jantung dan pembuluh darah minimal dibanding
anestesi inhalasi lainnya digemari untuk anestesia teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
Otot : Relaksasi cukup baik dan berpotensi dengan relaksan, pada uterus hamil
menyebabkan relaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan oksitosin
sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan.
Hati dan ginjal : Tidak hepatotoksik dan nefrotoksik
Lain : Induksi dan pemulihan lebih cepat

Farmakokinetik :
SSP : Mendepresi nafas seperti anestesi inhalasi lainnya. Pada dosis
anestetik/subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen tetapi
meningkatkan CBF dan ICP.

5) Desfluran
Merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip
isofluran. Desfluran sangat mudah menguap, bersifat simpatomimetik menyebabkan
takikardia dan hipertensi, merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.

Farmakodinamik
Iritasi ringan saluran napas, sekresi, batuk, kadang laringospasme.
Apnoe, menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arteri rata-rata,
depresi kortikal, supresi aktifitas EEG, menekan fungsi neuromuskuler, meningkatkan

18
kerja pankuronium dan suksametonium, peningkatan jumlah neutrophil, dan
konsentrasi gula darah meningkat.

Farmakokinetik

Potensinya kurang dibanding halotan atau isofluran. Induksi cepat dicapai,


waktu bangun dan pemulihan lebih cepat dari isofluran.Dihalogenasi dengan fluorida,
tahan terhadap biodegradasi. Kurang dimetabolisme, efek toksik organ spesifik tidak
ada.

6) Sevofluran
Merupakan halogenasi eter . Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.Efek
terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporantoksik terhadap
hepar.

Farmakodinamik
Dapat menimbulkan depresi sistem kardiovaskuker dan respirasi seperti obat-
obatan anestesi halogen yang lain. Hilangnya kesadaran dapat dicapai dalam 5 kali
tarikan nafas tunggal dengan induksi sevofluran sebanyak 2%, kelarutan darah/ gas
yang rendah menghasilkan induksi dan rekoveri yang cepat.

Farmakokinetik
Iritasi saluran pernapasan serta kelarutan lebih rendah daripada halotan,
sehingga induksi inhalasi akan lebih cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan.
Sevofluran mendepresi SSP. Kardiovaskuler dan rerpirasi parallel dengan isofluran.

b) Anestesi Intravena
1) Tiopental (Pentotal, tiopenton)

19
Dikemas dalam bentuk tepung bubuk berwarna kuning, berbau belerang,
biasanya dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam
akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg). Anestetikum injeksi baik, tetapi
sangat singkat ( t ½ kurang lebih 5 menit) , mulai kerjanya cepat, tetapi efek
analgesi dan relaksasi ototnya tidak cukup kuat. Tiopental hanya boleh digunakan
untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan disuntikan perlahan-lahan dihabiskan
dalam 30-6- detik. Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan
keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri akan menyebabkan
vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kallau hal ini terjadi dianjurkan
memberikan suntikan infiltrasi lidokain. Efek samping : depresi pernapasan, terutama
pada injeksi yang terlalu cepat dan dosis berlebihan, menyebabkan sering
menguap, batuk, dan kejang laring pada taraf awal anastesi, dapat menembus
plasenta dan masuk ke dalam ASI.
Kontraindikasi : tidak dapat digunakan pada infusiensi sirkulasi, jantung, atau
hipertensi.
Dosis : IV 100-150 mg larutan 2,5-5% (perlahan-lahan) rectal 40 mg/kg maksimal 2 g.

Farmakodinamik
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia
pada dosis subhipnotik, meghasilkan penururnan metabolism serebral dan aliran darah,
sedangkan pada dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.
Turut menurunkan tekanan intrakranial.

Farmakokinetika
Terikat pada protein plasma 80%. Di dalam hati dirombak sangat lambat
menjadi 3-5% pentobarbital dan sisanya menjadi metabolit tidak aktif yang
diekskresikan melalui kemih. Kadarnya dalam jaringan lemak adalah 6-12 kali lebih
besar daripada kadar dalam plasma.

2) Midazolam

20
Berkhasiat hipnotis. Anxiolitis, relaksasi otot dan antikonvulsi. Digunakan
pada taraf induksi dan memelihara anestesi. Secara oral resorpsinya agak cepat dan
perombakan berjalan dengan cepat dan sempurna. Efek samping dosis diatas 0,1-0,15
mg/kg/BB berupa hambatan pernapasan yang bias fatal. Nyeri pada tempat injeksi, dan
tromboflebitis pada tempat injeksi.
Dosis: premedikasi oral 25 mg 45 menit sebelum pembedahan, IV 2,5 mg (HCl).

Farmakokinetik
Midazolam merupakan short-acting benzodiazepine yang bersifat depresan
sistem saraf pusat (SSP). Efek midazolam pada SSP tergantung pada dosis yang
diberikan, rute pemberian,dan ada atau tidak adanya obat lain. Onset waktu efek
penenang (sedatif) setelah pemberian IM pada orang dewasa adalah 15 menit, dengan
puncak sedasi terjadi 30 sampai 60 menit setelahinjeksi. Sedasi pada pasien dewasa
dan anak-anak dicapai dalam waktu 3 sampai 5 menit setelah injeksi intravena (IV).
Waktu onset dipengaruhi oleh dosis total diberikan dan administrasi bersamaan
premedikasi narkotika.

Farmakokinetik

Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar
darah otak. Hanya50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik
karena metabolisme portahepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk
plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan
kelarutan lemak yang tinggi mempercepatdistribusi dari otak ke jaringan yang tidak
begitu aktif juga dengan klirens hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu
paruh diazepam.Waktu paruh meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati.
Pada pasien dengan obesitas,klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak
berikatan dengan sel lemak. Akibateliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek
pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam.

21
3) Diazepam
Suatu golongan benzodiazepine dengan kemampuan menghilangkan
kegelisahan, efek relaksasi otot yang bekerja secara sentral, dan bila diberikan secara
intravena bekerja sebagai antikejang. Respon obat bertahan selama 12-24 jam menjadi
nyata dalam 30-90 menit setelah pemberian secara oral dan 15 menit setelah injeksi
intravena.
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap benzodiazepine, pemberian parenteral di
kontraindikasikan pada pasien syok atau koma.
Dosis : induksi = 0,1-0,5 mg/kgBB.

Farmakodinamik
Memodulasi efek postsynaptic dari transmisi GABA-A, sehingga
mengakibatkan peningkatan hambatan presinaptik. Bekerja pada bagian sistem limbik
thalamus dan hipotalamus untuk menimbulkan efek yang menenangkan.

Farmakokinetik
Waktu untuk mecapai plasma puncak yaitu 0,5-2 jam denga perbandingan
dalam darah diazepam 1,8 dan DMDZ 1,7 serta perbandinga ikatan protein diazepam
98-99% dan DMDZ 97%. Pendistribusiannya secara luas, menembus sawar darah otak,
menembus plasenta dan memasuki ASI dengan jalur metabolisme oksidasi dan
dimetabolisme terutama oleh hati. Beberapa produk metabolismenya bersifat aktif
sebagai depresan SSP.

4) Ketamin
Digunakan pada pembedahan singkat, untuk induksi anestesi. Menimbulkan
rasa sakit. Metabolismenya melalui konvugasi di hati dan diekskresikan melalui kemih.
Daya kerja analgetis (t ½ kurang lebih 2 jam) berlangsung lebih lama daripada efek
hipnotiknya. Menimbulkan analgesi yang dalam. Tidak efektif terhadap nyeri
perut dan dada. Efek samping : hipertensi, kejang-kejang, sekresi lidah yang kuat, dan

22
peningkatan tekanan intrakranial dan intraokuler, mengurangi prestasi kegiatan jantung
dan paru-paru. Gangguan psikis (halusinasi) pada fase pemulihan.
Dosis IM 10 mg/kg, IV 2 mg/ kg BB.

Farmakodinamik
Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/KgBB IV atau 3-5 mg/KgBB IM.
Stadium depresi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anestesia dapat
diberikan dosis 25-100 mg/KgBB/menit. Stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.
Mekanisme kerja ketamin bekerja sebagai antagonis nonkompetitif pada reseptor
NMDA yang tidak tergantung pada tegangan akan mempengaruhi ikatan pada tempat
ikatan fensiklidin. Reseptor NMDA adalah suatu reseptor kanal ion (untuk ion na+ ,ca2+
,dan k+) maka blockade reseptor ini berarti bahwa pada saat yang sama, ada blokade
aliran ion sepanjang membrane neuron sehingga terjadi hambatan pada depolarisasi
neuron di SSP.

Farmakokinetik
Ketamin menghambat efek membrane eksitatori neurotransmitter asam
glutamat pada suptipe reseptor NMDA . Ketamin merupakan obat yang sangat lipofilik
dan didistribusikan dengan cepat ke dalam organ-organ yang kaya vaskuler, termasuk
otak, hati dan ginjal kemudian obat ini di distribusikan kembali kedalam jaringan-
jaringan yang kurang vaskularisasinya, bersamaan dengan metabolismenya di hati
untuk selanjutnya dibuang ke urin dan empedu.

5) Propofol (Diprivan, Recofol)


Digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi umum. Setelah injeksi IV
propofol dengan cepat disalurkan ke otak, jantung, hati, dan ginjal, kemudian disusul
dengan redistribusi yang sangat cepat ke otot, kulit, tulang, dan lemak.
Redistribusi ini menyebabkan kadar dalam otak menurun dengan cepat. Di hati,
propofol dirombak menjadi metabolit-metabolit inaktif yang diekskresikan melalui
urin. Efek samping: sesak nafas, depresi sistem kardiovaskuler (hipotensi,bradikardia),

23
eksitasi ringan dan tromboflebitis. Setelah siuman timbul mual muntah dan nyeri
kepala.
Dosis IV/infus 2-12 mg/kg BB.

Farmakodinamik
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil
dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis
induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan
perubahan mood tapi tidak sehebat tiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial
dan tekanan intraokular sebanyak 35%. Propofol mempunyai efek mengurangi
pembebasan katekolamin dan menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak
30%. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus
dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan.

Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein
plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif,
waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam
kenyataanya di klinis jauh lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat
ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik )
dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol
10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun
relaksasi otot.

6) Opioid (Morfin, petidin, fentanl, sufentanil)


Disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam
anestesia untik mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.
Opium ialah getah candu. Opiat ialah obat yang dibuat dar opium. Reseptor opioid
sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih
terkonsentrasi di otak tengah yaitu sistem limbik, talamus, hipotalamus, korpus

24
striatum, sistem aktivasi retikular dan di korda spinalis yaitu di substansia galtinosa
dan dijumpai pula di pleksus saraf usus.
Reseptor opioid di identifikasikan menjadi 5 golongan:
a. Reseptor u (mu) : u-1, analgesia supraspinal, sedasi
u-2, analgesia spinal, depresi napas, eforia,
ketergantungan fisik, kekakuan otot.
b. Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen.
c. Reseptor k (kappa) : k-1 analgesia spinal
k-2 tidak diketahui
k-3 analgesia suprapsinal
d. Reseptor o (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
e. Reseptor e (epsilon) : respon hormonal

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia grisea,
yaitu di periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada sistem spinal tempat
kerjanya di substansia geatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama bekerja di
reseptor u (mu) dan sisanya di reseptor k (kappa).

Opioid digolongkan menjadi :


1. Agonis, mengaktifkan reseptor contoh : morfin, papaveretum, petidin (meperidin,
demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2. Antagonis, tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis
merangsang reseptor, contoh : nalokson, naltrekson.
3. Agonis-antagonis, contoh pentasosin, nalbufin, butafeno, baprenorfin.

Klasifikasi Opioid
Agonis
1. Morfin
Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan
kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Terhadap sistem saraf pusat

25
mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesi,
sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi
parasimpatik, miosis, mual muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi, dan sekresi
hormon antidiuretik (ADH). Sirkulasi darah otak sebenarnya secara langsung tak
terganggu tetapi kalau terjadi depresi napas dan hiperkapnia baru terjadi peningkatan
aliran darah ke otak dan peningkatan tekanan intrakranial. Terhadap sistem jantung,
dosis besar merangsang vagus dan berakibat bradikardi, walaupun tidak mendepresi
miokardium. Dosis terapetik pada dewasa sehat normal tidur terlentang hampir tidak
menggangu sistem jantung. Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik. Terhadap
sistem respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan histamin, sehingga
menyebabkan konstriksi bronkus sehingga di kontraindikasikan pada kasus asma dan
bronkitis akut. Pada saluran cerna, morfin menyebabkan kejang otot usus, sehingga
terjadi konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga
tidak dianjurkan digunakan pada gangguan empedu. Terhadap sistem ekskresi ginjal,
morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-buli yang berakibat retensio urin.

Untuk digunakan sebagai obat utama anestesia harus ditambahkan


bensodiazepin atau fenotiasin atau anestetik inhalasi volatil dosis rendah. Dosis anjuran
untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB,
subkutan, intramuskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa 1-2
mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan. Untuk mengurangi nyeri
dewasa pasca bedah atau nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-
0,2 mg inttratekal dan dapat diulang antara 6-12 jam.

2. Petidin (Meperidin, demerol)

Zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai
efek efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Perbedaan dengan morfin
sebagai berikut:

26
a. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan morfin yang lebih larut dalam air.
Matebolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat.

b. Petidin bersifat atropin menyebabkan mulut kering, pandangan kabur dan


takikardia. Sama seperti morfin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan. Petidin lebih efektif menghilangkan gemetaran pasca
bedah yang tidak ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada
dewasa, morfin tidak. Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.

Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfn 10x lebih kuat) dapat diulang
tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena karena iritasi.

3. Fentanil

Zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin. Lebih larut dalam
lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Efek
depresi napasnya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB
analgesinya hanya berlangsung 30 menit karena itu hanya digunakan untuk anestesia
pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 ug/kgBB digunakan
untuk induksi anestesia dan pemeliharaan anestesia dengan kombinasi bensodiazepin
dan anestesia inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Efek yang tak disukai ialah
kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.

4. Sufentanil

Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari
fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosis 0,1-0,3 mg/kgBB.

5. Alfentanil

Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil fentanil. Insiden mual muntahnyya


sangat besar. Mula kerjanya cepat. Dosis analgesinya 10-20 ug/kgBB.

27
6. Tramadol

Analgetk sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan kelemahan


analgesinya10-20% dibandingkan morfin. Tramadol dapat diberikan secara oral,
intramuskular, atau intravena 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis
maksimal 400 mg per hari.

Antagonis

1. Nalokson

Antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor mu, delta, kappa, dan sigma.
Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapatkan morfin akan terlihat laju napas
menigkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah meningkat. Nalokson
biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan dengan
dosis dicicil 1-2 ug/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit sampai ventilasi
dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan. Dosis intramuskular 2x dosis
intravena. Pada keracunan opioid, nalokson dapat diberikan per-infus dosis 3-10
ug/kgBB.

2. Naltrekson

Merupakan anatagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan per oral,
pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paruh plasma 8-12 jam. Pemberian
per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat
mengurangi pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa
menghilangkan efek analegsinya.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Nugroho Agung. 2011. Perbandingan Perubahan Hemodinamik antara Fentanil


Diazepam dan Fentanil-Mildazolam Sebagai Premedikasi Anastesi Umum di
RSUD Dr Moewardi Surakarta. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas
Maret.
2. Utama Dian Yuanita. 2010. Anastesi Lokal dan Regional untuk Biopsi Kulit.
Fakultas Kedokteran Diponegoro. Rumah Sakit Dokter Kariadi, Semarang.
3. Mangku Gde dan Tjokoda Gde Agung Senapathi. 2010. Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reanimasi. Indeks Jakarta : Jakarta.
4. Nugroho Agung. 2011. Perbandingan Perubahan Hemodinamik antara
Fentanil-Diazepam dan Fentanil-Mildazolam sebagai premedikasi Anastesi
Umum di RSUD Moewardi Surakarta. Surakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret.
5. Tanto Chris et all. 2014. Kapita Selekta Ed.4 : Anastessiologi – Manajemen
Pra-Operasi. Jakarta : Media Aesculapius
6. Clemens barends, Anthony Absalom. 2016. Anxiolytics, sedatives and
hypnotics vol 17. Anaesthesia and Intensive Care Medicine.
7. Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3.
EGC : Jakarta.
8. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and the Use of Pharmacologic
Agents to Reduce the Risk ofPulmonary Aspiration: Application to Healthy
PatientsUndergoing Elective Procedures Vol 5 no.3 . 2011. American Society
of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice Parameters.
9. Latief, Said A. Petunjuk Praktis Anestesiologi: edisi kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2001.
10. Wahjoeningsih, Sri. Panduan Kepaniteraan Klinik. Block Course Anesthesia
and Analgesia Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi FK Unair/RSU dr.
Sutomo.

29
11. Wirjoatmodjo, Karjadi. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. 1999/2000. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

30

Anda mungkin juga menyukai