PENDAHULUAN
Tujuan premedikasi1:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi: bebas rasa takut, tegang, dan
khawatir: bebas nyeri dan mual-muntah.
2. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus
3. Memudahkan/memperlancar induksi
4. Mengurangi dosis obat anestesi
5. Mengurangi rasa sakit dan kegelisahab pasca bedah
1. Obat antikolinergi
2. Obat sedatif
3. Obat analgetik narkotik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Premedikasi
Praktik premedikasi anestesi berkembang pesat sejak penemuan eter dan klorofrom
yang diperkenalkan agen anestesi general pada pertengahan abad ke 19. Dengan
menggunakan opioid dan antikolinergik sebelum operasi, pasien dapat tercapai keadaan yang
relaks dan yang lebih penting, mereka dapat menjalani fase induksi dengan nyaman.
Premedikasi dengan menggunakan opioid dan antikolinergik tidak terlalu rutin dilakukan
pada abad ke 20 ketika agen anestesi mulai digunakan secara primer sebagai agen induksi
yang secara signifikan dapat memperpendek waktu induksi. Premedikasi dilakukan pada
tahap persiapan prabedah. Ada dua tujuan premedikasi, yaitu: mencegah efek
parasimpatomimetik dari anestesi dan reduksi kecemasan dan nyeri. Obat-obatan yang
digunakan dalam premedikasi adalah:1
Analgesics: jika ada rasa nyeri atau sebagai suplemen untuk agen anestesi
Contoh: paracetamol, NSAID, opium
Antibiotic prophylaxis
Contoh: prosedur dental invasif
Antithrombotic prophylaxis
Contoh: injeksi heparin subkutan
2.2 Obat Golongan Antikolinergik
Obat golongan antikolinergik yang diguakan dalam praktik anestesia adalah preparat
alkaloid belladona, yang turunaannya adalah sulfas atropin, dan skopolamin. Beberapa
contoh obat golongan antikolinergik lainnya adalah glikopirolat, difenhidramin,
dimenhidrinat, dan ipratropium bromide. Atropin paling banyak digunakan. Selain relaksasi
sfingter, atropine menyebabkan dilatasi pupil. Oleh karena itu penggunaan atropine perlu
perhatian khusus pada glaucoma sudut sempit, hipertrofi prostat dan obstruksi kandung
kemih1,2.
Efek yang diinginkan adalah antisialagog (mengurangi sekresi jalan napas). Obat ini
juga berguna untuk mengatasi reflex vagal karena atropine mempunyai sifat vagolitik. Efek
lain antikolinergik yang tidak diinginkan adalah meningkatnya risiko refluks gastroesofagus
akibat penurunan tonus sfingter esophagus, agitasi, konvulsi hingga koma, siklopegia, demam
akibat hambatan sekresi keringat dan mulut kering yang berlebihan. Oleh sebab itu,
pemberian atropine sebagai premedikasi tidak boleh terlalu lama sebelum anesthesia dimulai
karena akan menimbulkan sensasi yang tidak menyenangkan pada pasien1.
Kloning molekul telah menunjukkan 5 subtipe yang berbeda dari reseptor kolinergik
muskarinik yang ditandai dengan M1 sampai M5, dengan tiap-tiap subtipe dikode oleh gen-
gen seluler yang berbeda. Terdapat distribusi jaringan yang berbeda terhadap masing-masing
subtipe ini, dengan reseptor M2 yang terdapat di paru-paru dan jantung dan reseptor M3 pada
CNS, otot-otot polos dan jaringan-jaringan kelenjar. Reseptor M4 dan M5 pada CNS.4
Absorbsi oral yang larut lemak dari obat-obat antikolinergik tidak cukup diprediksi
sebagai rekomendasi dari administrasi oral pada perioperative. Administrasi intramuskular
atau intravena paling sering digunakan. Atropin intravena mempunyai onset kerja sekitar 1
menit dan mempunyai durasi kerja 30-60 menit, dimana IV glikopirolat mempunyai onset
kerja (2-3 menit) dan mempunyai durasi kerja yang sama dengan atropin.2,3,4
Atropin dan Scopalamine adalah amin yang larut lemak yang gampang berpenetrasi
ke sawar darah otak. Sebaliknya glikopirolat mempunyai kemampuan yang lemah untuk
berpenetrasi ke sawar darah otak untuk menghasilkan efek CNS. Absorbsi glikopirolat
setelah injeksi IM sangat cepat (konsentrasi plasma maksimum dalam 16 menit) dan
sebanding dengan atropin. Eliminasi glikopirolat dari plasma lebih cepat dibandingkan
dengan atropin (eliminasi half-time sekitar 1,25 jam pada glikopirolat dibanding 2,3 jam pada
atropin), dan sekitar 80% dari glikopirolat diekskresi tetap sama pada urin. Bentuk dari
tropine dan asam tropic menggambarkan hidrolisis metabolit inaktif dari atropin. Jumlah
minimal dari atropin biasanya dihancurkan pada plasma manusia, sedangkan beberapa
hewan, diantaranya kelinci, mempunyai enzim plasma yang spesifik, atropine esterase, yang
mampu menghidrolisis atropin. Sebaliknya, scopalamine dihancurkan hampir seluruhnya di
dalam tubuh, dengan hanya sekitar 1% bentuknya tetap sama pada urin. Eliminasi
glikopirolat pada plasma sangat memanjang pada pasien-pasien uremik dibandingkan dengan
pasien-pasien yang tidak uremik.4
Obat-obat antikolinergik digunakan dalam berbagai macam kondisi klinis dan situasi.
Akan tetapi, kurangnya selektivitas obat-obat ini membuat sulit untuk mendapatkan respon
terapi yang diinginkan tanpa adanya efek samping obat. Penggunaan yang paling penting dari
obat-obat antikolinergik pada pasca operasi adalah sebagai : a) obat pasca operasi b) terapi
bradikardia dan c) kombinasi dengan obat-obat anticholinesterase sebagai antagonis terhadap
obat-obat yang memblok neuromuscular yang nondepolarisasi. Penggunaan yang lebih jarang
dari obat-obat antikolinergik meliputi : a) bronkodilatasi b) relaksasi otot polos ureter dan
empedu c) produksi midriasis dan cicloplegia d) antagonis sekresi ion hidrogen gaster oleh
sel parietal e) pencegahan mual yang dicetuskan oleh pergerakan.1
2.4.5 Obat pascaoperasi
2.4.6 Sedasi
Sulfas atropin tidak menimbulkan depresi susunan saraf pusat, sedangkan skopolamin
mempunyai efek depesi sehingga menimbulkan rasa kantuk, euoria, amnesia, dan rasa lelah.1
Menghambat sekresi kelenjar pada hidung, mulut, faring, trakea, dan bronkus,
menyebabkan mukosa jalan napas kering, menyebakan relaksasi otot olos bronkus dan
bronkhioli, sehingga diameter lumennya melebar danmenyebabkan diameter ruang rugi
bertambah.6
Menghambat sekresi kelenjar saliva sehingga mulut terasa kerng dan sulit menelan,
mengurangi sekresi asam lambung, serta mengurangi tonus otot polos sehingga motilitas usus
menurun. Atropin digunakan sebagai obat antispasmodik untuk mengurangi aktifitas saluran
cerna. Antropin dan skopolamin mungkin merupakan obat terkuat sebagai penghambat
saluran cerna. Walaupun motilitas (gerakan usus) dikurangi, tetapi produksi asam hidroklorat
tidak jelas dipengaruhi. Oleh karena itu, obat ini tidak efektif untuk mempercepat
penyembuhan ulkus peptikum.5
Menghambat sekresi kelenjar keringat, sehingga menyebabkan kulit kering dan badan
terasa panas akibat pelepasan panas tubuh terhalang melalui proses evaporasi. atropin
menyekat kelenjar saliva sehingga timbul efek pengeringan pada lapisan mukosa mulut
(serostomia ). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atropin. Kelenjar keringat dan kelenjar air
mata juga terganggu. Hambatan sekresi pada kelenjar keringat menyebabkan suhu tubuh
meninggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Woo Kim et al., dalam
penelitiannya yang membandingkan efek penggunaan placebo dibandingkan derivat
antikolinergik yakni glycopyrrolate sebagai pre-medikasi sebelu penyuntikan ketamin. Dari
penelitian ini didapatkanhasil bahwa populasi yang mendapatkan antikolinergik sebagai
premidasi mengalami peningkatan suhu tuubuh pada 30-60 menit post operasi. Untuk itu,
penggunaaan antikoliergik sebagai premidasi pediatri sebelum induksi ketamin sebaiknya
dihindari.8
2.5.6 Efek terhadap Mata
Angka kejadian bradikardi pada saat operasi mata adalah suatu keadaan yang
mengancam jiwa. Hal ini dikenal dengan OCR (Ocular-cardiac relex). Pada penelitian yang
dilakukan terhadap 90 pasien yang menjalani operasi mata strabismus, 73% mengalami OCR
dimana kelompok tersebut tidak mendapatkan atropin intravena sebagai premedikasi sebelum
induksi ketamin. Sebaliknya, pada kelompok yang mendapatkan premedikasi atropin, hanya
sebesar 20% pasien dari kelompk tersebut yang mengalami bradikardia selama operasi. Hal
ini membuktikan efektifitas peggunaan atropin sebagai inhibisi oculo-cardiac reflex.9
Atropin
Atropin adalah sebuah amina tersier yang mengandung asam tropik (sebuah asam
aromatik) dan tropin (sebuah basa organik). Sebagai premedikasi, atropin diberikan secara IV
atau IM dalam dosis 0,01-0,02 mg/kgBB hingga pada dosis dewasa yang umum sekitar 0,4-
0,6 mg/kgBB dosis IV. Onset kerja atropin dalam waktu 1 menit dengan durasi kerja atropin
selama 30-60 menit.1
2. Intravena, dengan dosis 0.005 mg/kgBB, dberikan 5-10 menit sebelum induksi.
2.7 Kontraindikasi
Alkaloid belladona tidak diberikan pada pasien yang menderita: demam, takikardi,
glukoma, dan tirotoksikosis.1
BAB III
PENUTUP
Premedikasi saat ini telah berkembang pesat. Manfaat pre medikasi telah berkembang,
dahulu pre medikasi digunakan untuk memberi rasa nyaman saat intubasi adn induksi genelar
anestesi, namun saat ini pre medikasi memiliki manfaat beragam yang memberikan rasa
nyaman kepada pasien, meliputi anti depresan, menghambat sekresi asam lambung, dan
pencegahan terhadap suatu kondisi tertentu, misalnye pencegahan vasovagal refleks oleh
penggunaan antikolinergik sebagai premedikasi.
Salah satu premedikasi yang dikenal adalah golongan antikolinergik, dimana obat-
obatan yang tersering digunakan adalah atropin. Antikolinergik dapat memberikan efek untuk
setiap target organ yang berbeda di tubuh manusia sebagai golongan obat premedikasi.
Beberapa efeknya adalah penghambatan ocular-cardiak refleks pada operasi mata, anti
vasovagal refleks, bronkodilator pada intubasi, dan masih banyak manfaat lainnya.9
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku, et al, 2010, Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Indeks: Jakarta.
2. Ganiswarna, S., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
3. Katzung, B.G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik, Penerbit Salemba Medika,
Jakarta.
4. Goodman dan Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Vol.2,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit Buku
Kedokteran.
5. Sheen, et al. Anesthetic premedication: New Horizons of an Old Practice. Acta
Anaesthesiologica Taiwanica. 2014.
6. Ulfah, et al. Premedikasi Atropin Tidak Mengurangi Sekret Dahak Selama Tindakan
Bronkoskopi. Unit LPPM Universitas Sumatera Utara. 2015.
7. Dauger, et al. Bradycardia during critical care intubation: Mechanism, significance,
and atropine. Archieves Dis Child. 2011.
8. Woo Kim, et al. Anticholinergic premedication-induced fever in paediatric
ambulatory ketamine anesthesia. Journal of International Medical research. 2016.
9. Espahbodi, et al. Ketamine or Atropine: Which one Better Prevents Oculo Cardiac
Reflex during Eye Surgery? a Prospective Randomized Clinical Trial. Acta Medica
Iranica. 2015.
10. Barrington, et al. Premedication for Endotracheal intubation m the newborn infant.
Pediatric Child Health. 2011.