Anda di halaman 1dari 29

BAB II

PEMBAHASAN

1.1.
1.2.
1.3.
1.4.http://ariefboyandsusilo.blogspot.co.id/2012/11/farmakologi.html

PENGERTIAN OBAT OTONOM

Obat otonom yaitu obat-obat yang bekerja pada susunan syaraf otonom, mulai
dari sel syaraf sampai sel efektor. Obat ini berpengaruh secara spesifik dan
bekerja pada dosis kecil. Efek suatu obat otonom dapat diperkirakan jika respons
berbagai organ otonom terhadap impuls syaraf otonom diketahui.
1.1 Anatomi Fisiologi Syaraf Otonom
Syaraf otonom terdiri dari syaraf preganglion, gaglion dan pascaganglion yang
mempersyarafi sel efektor. Saraf otonom berhubungan dengan syaraf somatic,
sebaliknya kejadian somatic juga mempengaruhi fumgsi organ otonom. Pada
susunan syaraf pusat terdapat beberapa pusat otonom, misalnya di medulla
oblongata terdapat pengatur pernapasan dan tekanan darah. Hipotalamus dan
hipofisis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan air, metabolisme lemak dan
karbohidrat. Pusat susunan syaraf otonom yang lebih tinggi dari hipotalamus
adalah korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai coordinator
antara system otonom dan somatic.

Gb. pembagian syaraf otonom

1
Serat eferen terbagi dalam system simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis
disalurkan melalui serat torakolumbal (dari torakal 1 sampai lumbal 3), dalam
system ini termasuk ganglia pravertebal dan ganglia terminal. System
parasimpatis atau kraniosakral outflow disalurkan melalui syaraf otak ke III, IX, X
dan N. pelvikus yang berasal dari bagian sacral segmen 2, 3 dan 4.
Secara umum dapat dikatakan bahwa system simpatis dan parasimpatis
memperlihatkan fungsi yang antagonistik yaitu bila yang satu menghambat fungsi
maka yang lain memicu fungsi tersebut. Contoh yang jelas ialah midriasis terjadi
dibawah pengaruh syaraf simpatis dan miosis dibawah pengaruh parasimpatis.
System simpatis aktif setiap saat, walaupun aktivitasnya bervariasi dari waktu ke
waktu. Dengan demikian penyesuaian tubuh terhadap lingkungan terjadi setiap
secara terus menerus. Dalam keadaan darurat, system simpatoadrenal (terdiri dari
system simpatis dan adrenal) berfungsi sebagai satu kesatuan secara serentak.
System parasimpatis fungsinya lebih terlokalisasi, tidak difus seperti system
simpatis, dengan fungsi primer reservasi dan konservasi sewaktu aktivitas
organisme minimal. System ini mempertahankan denyut jantung dan tekanan
darah pada fungsi basal, menstimulasi system pencernaan berupa peningkatan
motilitas dan sekresi getah pencernaan, meningkatkan absorpsi makanan,
memproteksiretina terhadap cahaya berlebihan, mengosongkan rectum dan
kandung kemih.
Cara Kerja Obat Otonom
Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohormonal dengan cara menghambat
atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan pengaruh obat pada
transmisi system kolinergik dan adrenergic, yaitu:
1. Menghambat sintesis atau pelepasan transmitor
2. Menyebabkan penglepasan transmitor.
3. Berikatan dengan reseptor
4. Menghambat destruksi transmitor.

2
1.3 Penggolongan Obat Berdasarkan Efek Utamanya
A. Kolinergik atau Parasimpatomimetik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan
saraf parasimpatis.
Ada 2 macam reseptor kolinergik:
a. Reseptor muskarinik: merangsang otot polos dan memperlambat denyut
jantung
b. Reseptor nikotinik/ neuromuskular → mempengaruhi otot rangka
Penggolongan Kolinergik
Ester kolin (asetil kolin, metakolin, karbakol, betanekol)
Anti kolinestrase (eserin, prostigmin, dilsopropil fluorofosfat)
Alkaloid tumbuhan (muskarin, pilokarpin, arekolin)
Obat kolinergik lain (metoklopramid, sisaprid)

Farmakodinamik Kolinergik

3
Meningkatkan TD
Meningkatkan denyut nadi
Meningkatkan kontraksi saluran kemih
Meningkatkan peristaltik
Konstriksi bronkiolus (kontra indikasi asma bronkiolus)
Konstriksi pupil mata (miosis)
Antikolinesterase: meningkatkan tonus otot

Efek Samping
Asma bronkial dan ulcus peptikum (kontraindikasi)
Iskemia jantung, fibrilasi atrium
Toksin; antidotum → atropin dan epineprin

Indikasi
Ester kolin: tidak digunakan pengobatan (efek luas dan
singkat), meteorismus, (kembung), retensio urine, glaukoma, paralitic
ileus, intoksikasi atropin/ alkaloid beladona, faeokromositoma.
Antikolinesterase: atonia otot polos (pasca bedah, toksik), miotika (setelah
pemberian atropin pd funduskopi), diagnosis dan pengobatan miastemia gravis
(defisiensi kolinergik sinap), penyakit Alzheimer (defisiensi kolinergik sentral)
Alkaloid Tumbuhan: untuk midriasis (pilokarpin)
Obat Kolinergik Lain: digunakan untuk memperlancar jalanya kontras radiologik,
mencegah dan mengurangi muntah (Metoklopramid)

Intoksikasi
Efek muskarinik: mata hiperemis, miosis kuat, bronkostriksi, laringospasme,
rinitis alergika, salivasi, muntah, diare, keringat berlebih
Efek nikotinik: otot rangka lumpuh
Efek kelainan sentral: ataksia, hilangnya refleks, bingung, sukar bicara, konvulsi,
koma, nafas Cheyne Stokes, lumpuh nafas.

4
Tabel Jenis Obat Kolinergik
Nama-nama obat Dosis Pemakaian dan pertimbangan
kolinergik pemakaian

Bekerja langsung
Betanekol D: PO: 10-50 mg, b.i.d.- Untuk meningkatkan urin, dapat
(urecholine) q.i.d merangsang motilitas lambung
Karbakol 0,75-3%, 1 tetes Untuk menurunkan tekanan
(carcholine, miostat) intraokuler, miosis
Pilokarpin (pilocar) 0,5-4%, 1 tetes Untuk menurunkan tekanan
intraokuler, miosis
Antikolinestrase reversible
Fisostigmin 0,25-0,5%, 1 tetes, q.d- Untuk menurunkan tekanan
(eserine) q.i.d intraokuler, miosis, masa kerja
singkat
Neostigmin D: PO: mula-mula 15 Untuk menambah kekuatan otot
(prostigmin) mg, t.i.d pada miastenia gravis, masa
Dosis max: 50 mg, t.i.d kerja singkat
Ambenonium D: PO: 60-120 mg, t.i.d Untuk menambah kekuatan
(mytelase) atau q.i.d otot, masa kerja sedang
Antikolinestrase irreversible
Demakarium 0,125-0,25%, 1 tetes, q Untuk menurunkan tekanan
(humorsol) 12-48 jam intraocular pada glaucoma,
miotikum, masa kerja panjang
Isofluorofat Ointment 0,25%, q 8-72 Untuk mengobati glaucoma.
(floropryl) jam Kenakan pada sakus
konjungtiva
B. Simpatomimetik atau Adrenergic
Yakni obat-obat yang merangsang system syaraf simpatis, karena obat-obat ini
menyerupai neurotransmitter (norepinafrin dan epinephrine). Obat-obat ini
bekerja pada suatu reseptor adrenergic yang terdapat pada sel-sel otot polos,

5
seperti pada jantung, dinding bronkiolus saluran gastrointestinal, kandung kemih
dan otot siliaris pada mata. Reseptor adrenergic meliputi alfa1, alfa2, beta1 dan
beta2
Kerja obat adrenergic dapat di bagi dalam 7 jenis:
Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa,
dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh
darah otot rangka.
Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan
kekuatan kontraksi.
Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan
kewaspadaan, aktivitas psikomotor dan pengurangan nafsu makan.
Efek metabolic, misalnya peningkatan glikogenesis di hati dan otot,
lipolisis dn pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
Efek endokrin, misalnya mempengaruhi efek insulin, rennin dan hormone
hipofisis.
Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan penglepasan
neurotransmitter NE dan Ach.

Penggolongan Adrenergik
Katekolamin (Endogen: epineprin, norepineprin dan dopamine;
Sintetik: isoprotenol hidroklorida dan dobutamine)
Non katekolamin (fenileprin, meteprotenol dan albuterol)
Farmakodinamik Adrenergic
Bersifat inotropik
Bronkodilator
Hipertensi
Tremor dan gelisah
Efek Samping
Efek samping sering kali muncul apabila dosis ditingkatkan atau obat bekerja non
selektif (bekerja pada beberapa reseptor). Efek samping yang sering timbul pada

6
obat-obat adrenergic adalah, hipertensi, takikardi, palpitasi, aritmia, tremor,
pusing, kesulitan berkemih, mual dan muntah.
Kontra Indikasi
Tidak boleh di gunakan pada ibu hamil
Sesuaikan dosis pada penderita yang mendapat antidepresi trisiklik
Tidak boleh digunakan pada penderita Stenorsis subaorta, anoreksia,
insomnia dan estenia.
Tabel Jenis Obat Adrenergik
Adrenergic Resptor Dosis Pemakaian dalam klinik

Epinefrin (adrenalin) Alfa1, beta1, beta2 Berbeda-beda Syok nonhipovalemik,


D: IV, IM, SK: 0,2- henti jantung,
1 ml dari 1:1000 anafilaksis akut, asma
akut.
Efadrin Alfa1, beta1, beta2 D: PO: 25-50 mg, Keadaan hipotensi,
t.i.d atau q.i.d bronkospasme, kongesti
D: SK hidung, hipotensi
ortoristik.
Norepinefrin Alfa1, beta1 D: IV: 4 mg, Syok, merupakan
(lavarterenol, dekstrose 5% dalam vasokontriktor kuat,
levophed) 250-500 ml meningkatkan tekanan
darah dan curah jantung
Dopamine (intropin) Beta1 D: IV: mula-mula Hipotensi (tidak
1-5 µg/kg/menit, menurunkan fungsi
naikkan secara ginjal dalam dosis <5
bertahap; ≤ 50 µg/kg/menit)
µg/kg/menit
Fenilefrin (neo- Alfa1 Larutan 0,123-1% Kongesti hidung
synephrine) (dekongestan)

7
Pseudoefedrin Alfa1, beta1 Obat bebas Dekongestan
(Sudafed, Actifed) (beberapa)
Fenilpropanolamin Alfa1, beta1 Obat bebas Dekongestan
(Dimetapp, contac, (beberapa)
triaminicol, dexatrim)
Dobutamin (dobutrek) Beta1 D: IV: mula-mula Obesitas
2,5-10 µg/kg, dapat
dinaikkan secara
bertahap; ≤ 40
µg/kg/menit
Isoprotenol (isoprel) Beta1, beta2 Inhal: 1-2 Dekompensasi jantung,
semprotan, IV: 5-20 payah jantung kongestif
µ/menit (meningkatkan aliran
darah miokardium dan
curah jantung)
Metaprotenol Beta1 (beberapa), beta2 Inhal: 2-3 Bronkospasme, blok
(alupent, metaprel) semprotan ≤ 12 jantung akut (hanya
semprotan/hari dipakai pada bradikardi
D: PO: 10-20 mg, yang refrakter terhadap
t.i.d atau q.i.d atropine)
Albuterol (proventil) Beta2 Inhal: 1-2 Bronkospasme
semprotan, q 4-6 h
D: PO: 2-4 mg, t.i.d
atau q.i.d
Ritodrin (yutopar) Beta1 (beberapa), beta2 D: PO: 10-20 mg, q Relaksasi usus
4-6 h, ≤ 120
mg/hari
IV: 50-300 µ/menit

C. Parasimpatolitik atau Antikolinergik

8
Obat-obat yang menghambat kerja asetilkolin dengan menempati reseptor-
reseptor asetilkolindisebut dengan antikolinergik atau parasimpatolitik. Obat ini
mempengaruhi organ jantung, saluran pernapasan, saluran gastrointestinal,
kandung kemih, mata dan kelenjar eksokrin dengan menghambat saraf
parasimpatis, sehingga system saraf simpatis (adrenergic) menjadi dominan.

Penggolongan Obat Antikolinergik


Antikolinergik klasik (alkaloid belladonna, atropine sulfat dan
skopolamin)
Antikolinergik sintetik (Propantelin)
Antikolinergik-antiparkisonisme (triheksifenidil hidroklorida, prosiklidin,
biperiden dan benztropin)
Farmakodinamik Antikolinergik
Menghambat efek muskarinik
Penurunan salivasi dan sekresi lambung (konstipasi)
Mengurangi kontraksi tonus kandung kemih
Dapat bekerja sebagai antidot terhadap toksin
Sebagai obat antispasmodik
Meningkatkan TD
Mengurangi rigriditas dan tremor berhubungan dengan ekstensi
neuromuscular
Efek Samping
Mulut kering
Gangguan penglihatan (terutama penglihatan kabur akibat midriasis)
Konstipasi sekunder
Retensi urine
Takikardia (akibat dosis tinggi)

Obat-obat Antikolinergik

9
Nama obat Dosis Pemakaian dan pertimbangan

Atropine D: IM: 0,4 mg Pembedahan untuk mengurangi salvias dan


IV: 0,5-2 mg sekresi bronchial. Meningkatkan denyut jantung
dengan dosis ≥ 0,5 mg
Propantelin D: PO: 7,5-15 mg, t.i.d
(bentyl) atau q.i.d Sebagai antispasmodic untuk tukak peptic
dan irritable bowel syndrome
Skopolamin D: PO: 0,5-1 mg, t.i.d Obat preanestesi, irritable bowel syndrome dan
(hyoscine) atau q.i.d; mabuk perjalanan.
IM: 0,3-0,6 mg
Isopropamid D: PO: 5 mg, b.i.d Tukak peptic dan irritable bowel syndrome
(darbid)
Hematropin Larutan 2-5%, 1-2 tetes Midriasis dan siklopegia (paralisis otot siliaris
(isopto sehingga akomodasi hilang) untuk pemeriksaan
hematropin) mata
Siklopentolat Larutan 0,5-2%, 1-2 Midriasis dan siklopegia untuk pemeriksaan mata
(cyclogyl) tetes
Benztropin D; PO: 0.5-6 mg/hari Penyakit parkison. Untuk mengobati efek
(cogentin) dalam dosis terbagi samping fenotiazin dan agen antipsikotik lainnya
Biperiden D: PO: 2 mg, b.i.d - Penyakit parkison. Untuk mengobati efek
(akineton) q.i.d samping fenotiazin dan agen antipsikotik lainnya
Trihesifinidil D: PO: 1 mg/hari, dapat Penyakit parkison. Untuk mengobati efek
(artane) dinaikkan sampai 5-15 samping fenotiazin dan agen antipsikotik lainnya
mg/hari dalam dosis
terbagi

D. Simpatolitik atau Antiadrenergik


Obat-obat antiadrenergik umumnya mengahambat efek neurotransmitter
adrenergic dengan menempati reseptor alfa dan beta baik secara langsung maupun

10
tidak langsung. Berdasar tempat kerjanya, golongan obat ini dibagi atas antagonis
adrenoreseptor (adrenoreseptor bloker) dan penghambat saraf adrenergic.
Antagonis reseptor atau adrenoreseptor blocker ialahh obat yang menduduki
adrenoreseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat
adrenergic, dengan demikian menghalangi kerja obat adrenergic pada sel
efektornya. Untuk masing-masing adrenoreseptor α dan β memiliki penghambat
yang efektif yakni α-blocker dan β-blocker.
Penghambat saraf adrenergic adalah obat yang mengurangi respon sel efektor
terhadap perangsangan saraf adrenergic, tetapi tidak terhadap obat adrenergic
eksogen.

1. α - Blocker
Penggolongan dan Indikasi Obat α - Blocker
a. α – Blocker Nonselektif:
Derivat haloalkilamin (dibenamin dan fenoksibenzamin) : untuk
pengobatan feokromositoma, pengobatan simtomatik hipertofi prostat benigna dan
untuk persiapan operasi,
Derivat imidazolin (fentolamin dan telazolin) : mengatasi hipertensi,
pseudo-obstruksi usus dan impotensi.
Alkaloid ergot (ergonovin, ergotamine dan ergotoksin) : meningkatkan
tekanan darah, untuk stimulasi kontraksi uterus setelah partus, mengurangi nyeri
migren dan untuk pengobatan demensia senelis.
b. α1 – Blocker Selektif:
Derivat kuinazolin (prazosin, terazosin, doksazosin, trimazosin
danbunazosin) : untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung kongesif, penyakit
vaskuler perifer, penyakit raynaud dan hipertofi prostat benigna (BPH)
c. α2 – Blocker Selektif : (Yohimbin) untuk pengobatan impotensi,
meningkatkan TD,

Farmakodinamik

11
Menimbulkan vasodilatasi dan venodilatasi
Menghambat reseptor serotonin
Merangsang sekresi asam lambung, saliva, air mata dan keringat
Kontriksi pupil
Efek Samping
Hipotensi postural
Iskemia miokard dan infark miokard
Takikardi dan aritmia
Hambatan ejakulasi dan espermia yang reversible
Kongesti nasal
Pusing, sakit kepala, ngantuk, palpasi edema perifer dan nausea.
Tekanan darah menurun

2. β - Blocker
Jenisnya adalah propanolol yang menjadi prototype golongan obat ini. Sehingga
sampai sekarang semua β-blocker baru selalu dibandingkan dengan propanolol.
Farmakodinamik
Mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard
Menurunkan TD dan resistensi perifer
Sebagai antiaritmia
Bronkokontriksi
Mengurangi efek glikemia
Peningkatan asam lemak dalam darah
Menghambat tremor dan sekresi renin
Efek Samping
Gagal jantung dan Bradiaritmia
Bronkospasme
Gangguan sirkulasi perifer
Gejala putus obat (serangan angina, infark miokard, aritmia ventrikuler
bahkan kematian)
Hipoglikemia dan hipotensi

12
Efek sentral (rasa lelah, gangguan tidur dan depresi)
Gangguan saluran cerna (nausea, muntah, diare atau konstipasi)
Gangguan fungsi libido ( penurunan libido dan impotensi)
Alopesia, retensi urine, miopati dan atropati
Indikasi
Pada umumnya obat-obat antiadrenergik di gunakan untuk pengobatan Angina
pectoris, Aritmia, Hipertensi, Infark miokard, Kardiomiopati obstruktif
hipertrofik, Feokromositoma, Tirotoksokosis, Glaucoma, tremor esensial dan
Ansietas
Kontraindikasi
Hati-hati penggunaan β-blocker pada penderita dengan pembesaran
jantung dan gagal jantung
Hati-hati penggunaan pada penderita asma, syok kardiogenik, penyakit
hati dan ginjal.
Tidak boleh digunakan pada penyakit vascular perifer dan penyakit paru
obstruktif menahun (PPOM)

3. Penghambat Saraf Adrenergik


Penghambat saraf adrenergic mengambat aktivitas saraf adrenergic berdasarkan
gangguan sintesis atau penyimpanan dan penglepasan neurotransmitor di ujung
saraf adrenergic.
Penggolongan dan Indikasi Obat Penghambat Saraf Adrenergik
a. Guanetidin dan Guanadrel (ismelin dan hylorel) : sebagai antihipertensi
b. Reserpin : sebagai antihipertensi (lebih efektif bila dikombinasikan dengan
obat diuretic)
c. Metirosin : menghambat enzim tirosin hidroksilase, sebagai adjuvant dari
fenoksibenzamin pada pengobatan feokrositoma maligna.
Farmakodinamik
Menyebabkan respon trifasik terhadap TD
Menyebabkan vasodilatasi, venodilatasi dan penurunan curah jantung.
Retensi air dan garam

13
Meningkatkan motilitas saluran cerna
Efek Samping
Hipotensi ortostatik dan hipotensi postural
Diare
Hambatan ejakulasi
Retensi urine
Sedasi, ansietas dan tidak mampu berkonsentrasi
Depresi psikotik atau gangguan psikis lainnya
Hidung tersumbat
Odema

Kontraindikasi
Tidak boleh diberikan pada penderita dengan riwayat depresi.
Tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan alcohol.

Tabel Jenis Obat Antiadrenergik


Antiadrenergik Reseptor Dosis Pemakaian dalam
klinis

Tolazolin Alfa D:IM: IV: 25mg, Gangguan pembuluh


(proscoline) q.i.d. bayi baru darah tepi (raynaud),
lahir: IV: 1- hipertensi
2mg/kg selama 10
menit
Fentolamin Alfa D: IM: IV: 5 Gangguan pembuluh
(regitine) mg A: IM: IV: darah perifer,
1 mg hipertensi.
Prazosin Alfa D: PO: 1-5 mg, Hipertensi
(minipress) t.i.d; ≤ 20 mg/hari

14
Propanolol Beta1, beta2 D: PO: 10-20 mg, Hipertensi, aritmia,
(inderal) t.i.d atau q.i.d; angina pectoris, pasca
dosis dapat infark miokardium
disesuaikan
IV: 1-3 mg, dapat
diulang bila perlu
Nadolol (corgard) Beta1, beta2 D: PO:40-80 Hipertensi, angina
mg/hari, ≤ 240 pektoris
mg/hari
Timolol Beta1, beta2 D: PO:10-20 mg, Hipertensi pasca
(blocarden) b.i.d ≤60 mg/hari infark miokardium
Meetoprolol Beta1 D: PO: 100-450 Hipertensi, angina,
(lopressor) mg, q.i.d; q rata- pasca infark
rata 50 mg b.i.d miokardium
Atenolol Beta1 D: PO:50-100 Hipertensi, angina
(temormin) mg/hari
Asebutolol Beta1 D: PO: 200 mg, Hipertensi, aritmia
(spectral) b.i.d ventrikel

E. Obat Ganglion
Reseptornya dikenal sebagai reseptor nikotinik yang sensitive terhadap
peghambatan oleh heksametonium. Atas dasar fakta yang ditemukan diduga
bahwa Ach yang dilepaskan saraf preganglion berinteraksi dengan suatu neuron
perantara yang di lepaskan katekolamin.
Zat yang menstimulasi kolinoreseptor di ganglion otonom dapat dibagi 2
golongan. Golongan yang pertama terdiri dari nikotin dan lobelin. Golongan
kedua adalah muskarin, metakolin dan sebagian antikolinestrase. Sedangkan zat
penghambat ganglion juga ada 2 golongan,yaitu golongan yang merangsang lalu
menghambat seperti nikotin dan yang langsung mengambat contohnya
heksametonium dan trimetafan.

15
1. Obat Yang Merangsang Ganglion.
Nikotin penting bukan karena kegunaannya dalam terapi tapi tempat kerjanya di
ganglion yang dapat menimbulkan ketergantungan dan bersifat toksik.
Farmakodinamik
Takikardi
Merangsang efek bifasik pada medulla adrenalin
Merangsang efek sentral pada SSP
Vasokontriksi
Tonus usus dan peristaltic meningkat
Perangsangan sekresi air dan secret bronkus
Efek Samping
Muntah dan Salivasi
Hipertensi
Efek sentral (Tremor dan insomnia)
Efek nikotinik (kelumpuhan atau lemah pada otot rangka)

Intoksikasi
Intoksikasi akut: mual, slivasi, kolik usus, muntah, diare, keringat dingin, sakit
kepala, pusing, pendengaran dan penglihatan terganggu, otot-otot menjadi lemah,
frekuensi napas meninggi, TD naik.
Pengobatan: larutan kalium permanganate 1:10.000
Intoksikasi kronik: kejadian ini biasanya terjadi pada perokok berat antara lain
faringitis, sindrom pernapasann perokok, ekstrasistol, takikardi atrium
paroksismal, nyeri jantung, penyakit buerger, tremor dan insomnia.

2. Obat Penghambat Ganglion

16
Dalam golongan ini termasuk heksametonium (C6), pentolinium (C5),
tetraetiamonium (TEA), klorisondamin, mekamilamin, trimetafan.
Farmakodinamik
Vasodilatasi
Pengurangan alir balik vena
Temperature kulit meningkat
Penurunan laju filtrasi glomerulus
Sekresi lambung, air liur dan pancreas berkurang
Kelenjar keringat dihambat.
Efek Samping
Midriasis
Hipotensi ortostatik
Sembelit dengan kemungkinan ileus peeristaltik dan retensi urin
Mulut kering
Impotensi
Konstipasi
Obstipasi diseling dengan diare, mual, anoreksia dan sinkop.

Kontraindikasi
Gunakan dengan hati-hati pada pasien alergi
Jangan di gunakan pada penderita insufisiensi koroner dan ginjal.

Keterangan:
D: Dewasa
PO: Peroral
IV: Intra Vena
IM: Intra Muskular
1.4 Referensi
Deglin, Vallerand. 2005. Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta: EGC

17
FKUI, Bagian Farmakologi. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Gaya Baru:
Jakarta
http://dr-suparyanto.blogspot.com/2010/04/obat-otonomik.html
Kee, Hayes. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC

http://nitamustika.blogspot.co.id/2013/09/obat-obat-sistem-saraf-otonom.html
Obat antimuskarinik
Obat golongan ini seperti atropin dan skopolamin bekerja menyekat reseptor
muskarinik yang menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Selain itu,
obat ini menyekat sedikit perkeualian neuron simpatis yang juga kolinergik,
seperti saraf simpatis yang menuju kelenjar keringat. Bertentangan dengan obat
agonis kolinerik yang kegunaan teraupetiknya tebatas, maka obat penyekat
kolinergik ini sangat menguntungkan dalam sejumlah besar situasi klinis. Karena
obat ini tidak menyekat nikotinik, maka obat antimuskarinik ini sedikit atau tidak
mempengaruhi smbungan saraf otot rangka atau ganglia otonom.
Atropin
Atropin, alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarink,
dimana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat
pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik
baik di snetral maupun saraf tepi. Kerja obat ini secara umum berlangsung sekitar
4 jam kecuali bila diteteskan kedalam mata, maka kerjanya sampai berhari-hari.
Kerja :
- Mata : atropin meyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingg
menimbulkan midriasis, mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya dan
sikloplegia (ketidak mampuan untuk memfokuskn penglihatan dekat). Pada pasien
dengan glaukoma, tekanan intraokular akan meninggi secara membahayakan.
- Gastrointestial : atropin digunakan sebagai obat antispsmodik untuk
mengurangi aktivitas saluran cerna.
- Sistem kemih : atropin digunakan pula untuk mengurangi keadaan
hipermotilitas kandung kemih. Obat ini kadang-kdang masih dipakai untuk kasus

18
enuresis (buang air seni tanpa disadari). Tetapi obat agoni adrenergik alfa
mungkin jauh lebih efektif dengan efek samping yang sedikit.
- Kardiovaskuler : atropin menimbulkan efek divergen pada sistem
kardiovaskuler, tergantung pada dosisnya. Pada dosis rendah, efek yang menonjol
adalah penurunan denyut jantung (brakardia). Pada dosis tinggi, reseptor jantung
pada nodus SA disekat, dan denyut jantung sedikit bertambah (takkikardia). Dosis
sampai timbul efek ini sedikitnya 1 mg atropin, yang berarti sudah termasuk dosis
tinggi dan pemberian biasanya. Tekanan darah arterial tidak dipengaruh tetapi
padatingkat toksik, atropin akan mendilatasi pembuluh darah di kulit.
- Sekresi : atropin menyekat kelenjar saliva sehingga timbul efek
pengeringan pada lapisan mukosa mulut (serostomia). Kelenjar saliva sangat peka
terhadap atropin. Kelenjar keringat dan kelenjar air mata terganggu pula.
Hambatan sekresi pada kelenjar keringat menyebabkan suhu tubuh meninggi.
Penggunaan terapi :
- Oftalmik : pada mata, salep mata atropin menyebabkan efek midratik atau
siklopegik dan memunginkan untuk pengukuran kelainan refraksi tanpa gangguan
oleh kapasitas akomodasi mata. Atropin mungin menimbulkan suatu serangan
pada individu yang menderita glaukoma sudut sempit.
- Obat antipasmodik : atropin digunakan sebagai obat antiplasmodik untuk
melemaskan saluran cerna dan kandung kemih.
- Antidotum untuk aginis kolinergik : atropin digunakan untuk mengobati
kelebihan dosis organofosfat (yang megandung insektisida tertentu) dan beberapa
jenis keracunan jamur ( jamur tertentu yang megandung substansi kolinergik).
Kemampuan obat ini masuk kedalam SSP sangat penting sekali. Atropin
menyekat efek asetilkolin yang berlebihan akibat dari hambatan terhadap
asetilkolinesterase oleh obat-obatan seperti fisostigmin.
- Obat antisekretori : suatu obat kadang diperlukan sebagai antisekretori
guna menghentikan sekresi pada saluran napas atas dan bawah sebelum dilakukan
suatu operasi
Farmakokinetik :atropin mudah diserap, sebagian dimetabolisme didalam hepar,
dan dibuang dari tubuh terutama melalui air seni. Masa paruhnya sekitar 4 jam.

19
Efek samping : tergantung pada dosis, atropin dapat menyebabkan mulut kering,
penglihatan mengabur, mata rasa berpasir (sandy eyes), takikardia, dan konstipasi.
Efeknya terhadap SSP termasuk rasa capek, bingung, halusinasi, delirium, yang
mungkin berlanjut mnejadi depresi, kolaps sirkulasi dan sistem pernapasan dan
kematian. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropin dapat menimbulkan
midrasis dan sikloplegi dan keadaan ini cukup gawat karena dapat menyebabkan
serangan glaukomaberulang setelah menjalani kondisi tenang.
Skopolamin
Skolapomin, alkaloid beladona lainnya, dapat menimbulkan efek tepi yang sama
dengan efek atropin. Tetapi efe skopolamin lebih nyata pada SSP dan masa
kerjanya lebih lama dibandingkan atropin.
Efek : skopolamin merupakan salah satu obat anti mbauk perjalanan yang paling
efektif. Obat ini menimbulkan pula efek penumpulan daya ingat jangka pendek.
Bertolak belakang dengan atropin, obat ini menyebabkan sedasi, rasa megantuk,
tetapi pada dosis yang lebih tinggi bahkan menimbulkan kegelisahan/kegaduhan.
Penggunaan terapi : walaupun mirip dengan atropin, indikasi obat ini terbatas
pada pencegahan mabuk perjalanan (obat ini memang sangat efektif) dan
penumpulan daya ingat jangka pendek.
Farmakokinetik dan efek samping : aspek ini persis sama seperti atropin
Ipratropium
Penyedotan Ipratropium, suatu turunan kuartener atropin, bermanfaat untuk
pengobatan asma dan penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) pada pasien yang
tidak cocok menelan agonis adrenergik.

https://vdocuments.site/farmako-dinamis-transmisi-neurohumoral.html
F A R M A K O D I N A M I KA dan TRANSMISI NEUROHUMORAL Oleh :
Dr.dr.M.DOEWES,PFarK
FARMAKODINAMIKA  Ilmu yang mempelajari efek biokomiawi & fisiologis
obat serta mekanisme kerjanya Tujuan analisis kerja obat tsb adalah untuk
menggambarkan interaksi kimiawi atau fisik antara obat & sel target/reseptor

20
“SISTEM SARAF OTONOM” dipakai sebagai “wakil” untuk menjelaskan
proses/dinamika dari mekanisme kerja obat serta mekanisme transmisi
neurohumoral. Sistem saraf otonom membawa impuls saraf dari “SSP” ke “organ
efektor” melalui 2 jenis “serat saraf eferen” yaitu : “saraf pre-ganglion” dan “saraf
post-ganglion”
Serat Eferen terbagi dalam : ”Sistem Simpatis” dan ”Sistem Parasimpatis”
@Sistem simpatis disalurkan melalui serat torakolumbal (dari torakal 1 sampai
lumbal 3), dalam sistem ini termasuk : Ganglia para vertebral, prevertebral dan
ganglia terminalis @ Sistem parasimpatis atau kraniosakral disalurkan melalui
saraf otak ke III, VII, IX dan X, dan n.pelvikus yang berasal dari bagian sacral
segmen 2 - 4.

Saraf preganglion, baik simpatis maupun parasimpatis dan saraf postganglion


parasimpatis  bersifat “kolinergik” Artinya  saraf-saraf tersebut pada ujungnya
melepaskan ASETILKOLIN sebagai “neurotransmiter” Saraf postganglion
simpatis  bersifat “adrenergik” Artinya  ujung sarafnya melepaskan NOR
EPINEFRIN sebagai “neurotransmiter

NEUROTRANSMITTER dan MEKANISME TRANSMISI NEUROHUMORAL


KOMUNIKASI ANTAR SEL · Komunikasi Saraf  Lewat neurotransmitter pada
sinap. NEUROTRANSMITTER Disintesa dari as. amino yg diambil dari darah
dng perantara sel Glia

BILA IMPULS SERAF (NAP) SAMPAI KEUJUNG TERMINAL NEURIT


9. Substansi-P MACAM-MACAM NEUROTRANSMITTER 1. Asetil kolin 2.
Katekolamin (Dopamin, Epinefrin, Nor-epinefrin) 3. Asam amino : Gaba, Glisin,
Glutamat, Aspartat 4. Serotonin (5-HT atau Hidroksi triptamin) 5. Enkefalin 6.
Endorfin 7. Histamin 8. Somatostatin

21
CLASSIFICATION of NEUROTRANSMITTERS · SMALL-MOLECULE,
RAPID-ACTING TRANSMITTERS · NEUROPEPTIDE, SLOW-ACTING
TRANSMITTERS
“Kerja” yang dilakukan reseptor adalah “pengenalan isarat” dari luar atau
“RECOGNITION” INTERAKSI NEUROTRANSMITTER – RESEPTOR
Tergantung dari macam Nt dan Jenis reseptor yang terlibat, maka perubahan pada
tingkat seluler  berbagai macam “respon”

RESEPTOR DAPAT DIKATAKAN SEBAGAI : “UNIT REGULASI” DARI


“ENZIM ADENIL SIKLASE”

“Siklik AMP”  sebagai “alat komunikasi subseluler” berfungsi untuk “menyalin”


& “menterjemahkan” isarat dari luar untuk diteruskan ke-organel-2 yang
berkompeten. “Siklik AMP” juga, berfungsi sebagai : “Conductor”, dan prosesnya
disebut : Transmission

PROSES RE-UPTAKE Neurotransmitter yang dilepas dari ikatan-reseptor diserap


kembali kedalam neuron pre-sinap · Proses re-uptake fase I  transport melalui
membran pre-sinap  merupakan proses aktif dengan menggunakan Na++ dan
energi (amine pump) · Proses re-uptake fase II  absorbsi neurotransmitter
kedalam vesikel  berlangsung melalui suatu mekanisme yang tergantung adanya
Mg++ dan ATP (pada daerah membran vesikel) Contoh : Pada obat-obat anti-
depressan atau kokain dapat menghambat proses re-uptake sehingga dapat
mengganggu proses inaktivasi amine-amine bebas dengan akibat  kadar
neurotransmitter tetap tinggi  stimulasi reseptor meningkat
PROSES INAKTIVASI ENZIMATIS  ada dua sistem enzim : Yang bekerja
pada “sistem adrenergik” 

22
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SINTESA DAN RELEASE
NEUROTRANSMITTER Sintesa & release neurotransmitter tergantung pada
aktifitas pra-sinap
PENGATURAN SINTESA NEUROTRANSMITTER : Kecepatan sintesa
katekolamin ternyata dibatasi oleh adanya “TYR-OH” (tirosin hidroksilase 
enzim yang berperan sebagai katalisator pembentukan DOPA dari Tirosin)
Stimulasi neuron katekolaminergik  meningkatkan aktifitas “TYR-OH”,
sedangkan apabila jumlah katekolamin yang berlebihan dalam neuron akan
menghambat aktifitas “TYR-OH” melalui : “Mekanisme inhibitorik intra
neuronal”
RELEASE KATEKOLAMIN YANG MENINGKAT (atau katekolamin agonist
yang meningkat) AKAN MENURUNKAN SINTESA KATEKOLAMIN ok :
terjadi stimulasi “reseptor pra-sinap (AUTORESEPTOR) oleh katekolamin
(agonist) melalui inhibisi aktifitas “TYR-OH” Blokade reseptor pra-sinap (auto
reseptor)  menyebabkan meningkatnya sistem katekolamin melalui stimulasi
“TYR-OH”
“SISTEM FEED-BACK NEGATIVE” juga mengontrol release katekolamin,
yaitu: adanya katekolamin atau antagonist-nya akan menurunkan release
katekolamin, sedangkan zat-zat yang mem-blokade akan meningkatkan release
katekolamin
INHIBISI RESEPTOR PRA-SINAP  efek sebaliknya
NEUROTRANSMITTER AGONIST DAN ANTAGONIST Obat yang
mengganggu “inter-aksi” antara “neurotransmitter-reseptor” akan mengganggu
komunikasi internal Sedangkan obat yang mempunyai struktur kimia mirip
dengan neurotransmitter endogen dan kemudian terjadi interaksi dengan reseptor
yang pada kenyataannya tidak menimbulkan respon  RESEPTOR
ANTAGONIST (“INHIBITOR”) Hal tsb disebabkan karena : Kemiripan “struktur
kimia” antara obat dan neurotransmitter yang bersangkutan. Apabila obat tersebut
menimbulkan respon yang sama seperti kalau terjadi interaksi endogen dengan
reseptornya Maka obat yang mempunyai karakteristik fungsional semacam ini
disebut sebagai : RESEPTOR AGONIST (“AKTIVATOR”)

23
2. Obat Antikolinesterase

Antikolinesterase terdiri dari eserin (fisostigmin), prostigmin (neostigmin), disospropil-


fluorofosfat (DFP), dan insektisida golongan organofosfat. Antikolinesterase
menghambat kerja kolinesterase (dengan mengikat kolinesterase) dan mengakibatkan
perangsangan saraf kolinergik terus menerus karena Ach tidak dihidrolisis. Dalam
golongan ini kita kenal dua kelompok obat yaitu yang menghambat secara reversible
misalnya fisostigmin, prostigmin, piridostigmin dan edrofonium. Dan menghambat
secara ireversibel misalnya gas perang, tabung, sarin, soman, insektisida organofosfat,
parathion, malation, diazinon, tetraetil-pirofosfat (TEPP), heksaetiltetrafosfat (HETP) dan
oktametilpiro-fosfortetramid (OMPA).

a. Mekanisme kerja

Hampir semua kerja antikolinesterase dapat diterangkan adanya asetikolin endogen. Hal
ini disebabkan oleh tidak terjadinya hidrolisis asetilkolin yang biasanya terjadi sangat
cepat, karena enzim yang diperlukan diikat dan dihambat oleh antikolinesterase.
Hambatan ini berlangsung beberapa jam utuk antikolinesterase yang reversible, tetapi
yang ireversibel dapat merusak kolinesterase sehingga diperlukan sisntesis baru dari
enzim ini untuk kembalinya transmisi normal. Akibat hambatan ini asetilkolin tertimbun
pada rseptor kolinergik ditempat Ach dilepaskan.

b. Farmakodinamik

Efek utama antikolinesterase yang menyangkut terapi terlihat pada pupil, usus dan
sambungan saraf-otot. Efek-efek lain hanya mempunyai arti toksikologi.

Mata. Bila fisostigmin (Eserin) atau DFP diteteskan pada konjungtiva bulbi, maka terlihat
suatu perubahan yang nyata pada pupil berupa miosis, hilangnya daya akomodasi dan
hiperemia konjungtiva. Miosis terjadi cepat sekali, dalam beberapa menit, dan menjadi
maksimal setelah setengah jam. Tergantung dari antikolinesterase yang digunakan,
kembalinya ukuran pupil ke normal dapat terjadi dalam beberapa jam (fisostigmin) atau
beberapa hari sampai seminggu (DFP). Miosis menyebabkan terbukannya saluran
Schlemm, sehingga pengaliran cairan mata lebih mudah, maka tekanan intraokuler
menurun. Terutama bila ada glaukoma. Miosis oleh obat golongan ini dapat diatasi oleh
atropin.

Saluran cerna. Prostigmin paling efektif terhadap saluran cerna. Pada manusia
pemberian prostigmin meningkatkan peristalsis dan kontraksi lambung serta sekresi
asam lambung. Efek muskarinik ini dapat mengatasi inhibisi oleh atropine. Di sini
N.vagus yang mempersarafi lambung harus utuh setelah denervasi, prostagmin tidak

24
memperlihatkan efek. Perbaikan peristalsis ini merupakan dasar pengobatan
meteorisme dan penggunaan prostigmin pasca bedah.

Sambungan saraf-otot. Antikolinesterase memperlihatkan efek nikotinik terhadap otot


rangka dan asetikolin yang tertimbun pada sambungan saraf-otot menyebabkan otot
rangka dalam keadaan terangsang terus-menerus. Hal ini menimbulkan tremor, fibrilasi
otot, dan dalam keadaan keracunan, kejang-kejang. Bila perangsangan otot rangka
terlau besar misalnya padakeracunan insektisida organofosfat, maka akan terjadi
kelumpuhan akibatdepolarisasi menetap (persisten).

Tempat-tempat lain. Pada umunya antikolinerase melaui efek muskarinik, memperbesar


skresi semua kelenjar eksoskrin misalnya kelenjar pada bronkus, kelenjar air mata,
kelenjar keringat, kelenjar liur, dan kelenjar saluran cerna. Pada otot polos bronkus obat
ini menyebabkan konstriksi, sehingga dapat terjadi suatu keadaan yang menyerupai
asma bronkial, sedangkan pada ureter meningkatkan peristalsis. Pembuluh darah
perifer umumnya melebar akibat antikolinesterase, sebaliknya pembuluh koroner dan
paru-parumenyempit. Terhadap jantung efek langsungnya ialah penimbunan asetilolin
endogen dengan akibat bradikardi dan efek inotropik negative sehingga menyebabkan
berkurangnya curah jantung. Hal ini disertai dengan memanjangnya waktu refrakter dan
waktu konduksi.

c. Farmakokinetik

Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cerna, tempat suntikan maupun melaui
selaput lendir lainya. Seperti atropin, fisostigmin dalam obat tetes mata dapat
menyebabkan obat sistemik. Hal ini dapat dicegah dengan menekan sudut medial mata
dimana terdapat kanalis lakrimalis. Prostigmin dapat diserap secara baik pada
pemberian parenteral, sedangkan pada pemberian oral diperlukan dosis 30 kali lebih
besar dan penyerapannya tidak teratur. Efek hipersalivasi baru tampak 1-1 ½ jam
setelah pemberian oral 15-20 mg.

d. Sediaan dan posologi

Fisostigmin salisilat (eserin salisilat) tersedia sebagai obat tetes mata, oral dan
parenteral. Prostigmin bromida (Neostigmin bromida) tersedia untuk pemakian oral
(15mg per tablet) danneostigmin metilsulfat untuk suntikan, dalam ampul 0,5 dan 1,0
mg/ml. Pridostigmin bromida (Mestinon bromida) sebagai tablet 60 mg dan juga ampul
0,5 mg/ml. Edrofonium klorida ( Tensilon klorida), dalam ampul 10 mg/ml, dapat dipakai
untuk antagonis kurareatau diagnosis miastenia gravis. Diisopropilfluorofosfat(DFP)
atau isoflurorat tersedia sebagai larutan dalam minyak untuk pemberian parenteral dan
sebagai obat tetes mata (0,1 % larutan dalam air).

e. Indikasi

25
1. Antonio otot polos

Prostigmin terutama berguna untuk keadaan atoni otot polos saluran cerna dan
kandung kemih yang sering terjadi pada pasca bedah atau keadaan toksik. Pemberian
sebaiknya secara SK atau IM. Prostigmin yang diberikan sebelum pengambilan X-foto
abdomen juga bermanfaat untuk menghilangkan bayangan gas dalam usus.

2. Sebagai miotika

Fisostigmin dan DFP secara local digunakan dalam oftalmologi untuk menyempitkan
pupil, terutama setelah pemberian atropin pada funduskopi. Dilatasi pupil oleh atropin
berlangsung berhari-har dan menggangu penglihaan bila tidak diantagonis dengan
eserin. Dalam hal ini DFP merupakan miotik yang kuat. Perlekatan iris dengan lensa
kadang-kadang terjadi akibat peradangan dalam hal ini atropin dan fisostigmin
digunakan berganti-ganti untuk mencegah timbulnya perlengketan tersebut.

3. Diagnosis dan pengobatan miastenia gravis

Miastenia gavis ditandai dengan kelemhan otot yang ekstrim. Gejala penyakit ini adalah
berkurangnya produksi asetilkolin pada sambungan saraf-otot atau dapat ditandai juga
dengan peninggian ambang rangsangan. Setelah pemberian 1,5 mg prostigmin SK
kelemahan otot rangka diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat dianggap sebagai
suatu tes diagnostik. Untuk diagnosis digunakan 2 mg androfonium, disusul 8 mg 45
detik kemudian bila dosis pertama tidak mempan. Prostigmin dan piridostigmin
merupakan kolinergik yang sering digunakan untuk mengobati miastenia gravis.
Pengobatan dimulai dengan 7,5 mg prostigmin atau 30 mg prodiatigmin biasanya 3 kali
sehari. Bila diragukan apakah efek kolinergik sudah cukup apa belum, dapat diuji dengan
pemberian endrofonium, bila terjadi perbaikan berarti dosis perlu ditambah.

4. Penyakit Alzheimer

Dosis yang diberiakn pada penyakit Alzheimer yaitu 3 kali sehari 25-50 mg diawali
dengan 50 mg/hari dan ditingkatkan sampai 150 mg/hari dalam 4 minggu. Efek samping
mual dan efek kolinergik perofer lainnya tidak menibulkan masalah, mungkin karena
dosis dinaikan secra bertaha dalam 4 minggu. Obat ini meningkatkan enzim
aminotransferase dan dikhawatirkan bersifat hepatotoksisk. Karena itu dianjurkan
melakukan uji fungsi hati setiap 2 minggu dalam 3 bulan pertama dan setiap bulan
setelahnya.

Alkaloid tumbuhan

26
Alkaloid tumbuhan yaitu : muskarin yang berasal dari jamur Amanita muscaria,
pilokarpin yang berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandidan Pilokarpus
microphyllus dan arekolin yang berasal dari Areca catehu (pinang). Ketiga obat ini
bekerja pada efek muskarinik, kecuali pilokarpin yang juga memperlihatkan efek
nikotinik. Pilokorpin terutama menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat
yang terjadi karena perangangan langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena
perangsangan ganglion (efek nikotinik), kelenjar air mata dan kelenjar ludah. Produksi
keringat dapat mencapai 3 liter. Pada penyuntika IV biasanya terjadi kenaikan tekanan
darah akibat efek ganglionik dan sekresi katekolamin dari medulla adrenal.

a. Intoksikasi

Keracunan muskarin dapat terjdi akibat keracunan jamur. Keracunan


jamur Clitocybe dan Inocybe timbul cepat dalam beberapa menit sampai dua jam
setelah makan jamur sedangkan gejala keracunan A. phalloides timbul lambat, kira-kira
sesudah 6-15 jam, dengan sifat gejala yang berlainan. Amanita muscaria dapat
menyebabkan gejala muskarinik tetapi efek utama disebabkan oleh suatu turunan
isoksazol yang merupakan antidotum yang ampuh bila efek muskariniknya yang
dominan. Amanita phalloides lebih berbahaya, keracunannya ditandai dengan gejala-
gejala akut di saluran cerna dan dehidrasi yang hebat.

b. Indikasi

Pilokarpin HCL atau pilokarpin nitrat digunakan sebagai obat tetes mata untuk
menimbulkan miosis dengan larutan 0,5-3 %. Obat ini juga digunakan sebagai diaforetik
dan untuk menimbulkan saliva diberikan per oral dengan dosis 7,5 mg. Arekolin hanya
digunakan dalam bidang kedokteran hewan untuk penyakit cacing gelang. Musakrin
hanya berguna untuk penelitian dalam laboratorium dan tidak digunakan dalam
terapi. Aseklidin adalah suatu senyawa sintetik yang strukturnya mirip arekolin. Dalam
kadar 0,5-4% sama efektifnya dengan pilokarpin dalam menurunkan tekanan
intraokular. Obat ini digunakan pada penderita glaukoma yang tidak tahan pilokarpin.

4. Obat kolinergik lainnya

1. Metoklopramid

Metoklopramid merupakan senyawa golongan benzamid. Gugus kimianya mirip


prokainamid, tetapi metoklopramid memiliki efek anestetik lokal yang sangat lemah dan
hamper tidak berpengaruh terhadap miokard.

27
a. Efek farmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran cerna, obat ini juga
dapat meningkatkan sekresi prolaktin.Mekanisme kerja metoklopramid pada saluran
cerna, yaitu :

1. Potensiasi efek kolinergik

2. Efek langsung pada otot polos

3. Penghambatan dopaminergik sentral

b. Indikasi. Metaklopramid terutama digunakan untuk memperlancar jalannya zat


kontras pada waktu pemeriksaan radiologic lambung dan deuodenum untuk mencegah
atau mengurangi muntah akibat radiasi dan pascabedah, untuk mempermudah intubasi
saluran cerna. selain itu obat ini diindikasikan pada berbagai gangguan saluran cerna
dengan gejala mual, muntah, rasa terbakar di ulu hati, perasaan penuh setelah makan
dan gangguan cerna (indigestion) misalnya pada gastroparesis diabetik.

c. Kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat

Metoklopiramid dikontraindikasikan pada obstruksi, perdarahan, dan perforasi saluran


cerna, epilepsi, feokromositoma dan gangguan ekstrapiramidal. Efek samping yang
timbul pada penggunaan metoklopramid pada umunya ringan. Yang penting diantaranya
adalah kantuk, diare, sembelit dan gejala ekstrapiramidal.

d. Sediaan dan posologi

Metoklopiramid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg, sirup mengandung 5 mg/
5 ml dan suntikan 10 mg/2ml untuk penggunaan IM atau IV. Dosis untuk dewasa ialah 5-
10 mg 3 kali sehari, untuk anak 5-14 tahun 2,5 mg – 5 mg diminum 3 kali sehari, anak 3-5
tahun 2 mg diminum 2 atau 3 kali sehari, anak 1-3 tahun 1 mg diminum 2 atau 3 kali
sehari dan bayi 1 mg diminum 2 kali sehari.

2. Sisaprid

Sisaprid merupakan senyawa benzamid yang merangsang motilitas saluran cerna. Kerja
obat ini diduga meningkatkan pelepasan ACH di saluran cerna.

a. Eksperimental pada hewan

Sisaprid meningkatkan tonus istirahat sfingter bawah esofagus dan meningkatkan


amplitudo kontraksi esofagus bagian distal. Pengosongan lambung dipercepat, waktu
transit mulut-saekum memendek, peristalsis kolon meningkat.

b. Indikasi

28
Sisaprid diindikasikan pada refluks gastroessofagial, gangguan mobilitas gaster dan
dyspepsia bukan karena tukak.

c. Sediaan dan posologi

Dosis 3-4 kali sehari 10 mg, 15-30 menit sebelum makan. Lama pengobatan 4-12
minggu. Obat ini dimetabolisme secara ekstensif di hati sehingga dosis perlu disesuaikan
pada gagal hati. Pada pasien gagal ginjal, dosis juga perlu diturunkan sesuai beratnya
gangguan, mungkin sampai separuhnya. Perhatian.Jangan memberikan sisaprid bila
peningkatan gerakan saluran cerna dapat berpengaruh buruk misalnya pada
pendarahan, obstruksi, perforasi, atau keadaan pascabedah.

d. Efek samping

Efek samping pada saluran cerna berupa : Kolik, borborigmi, dan diare. Gejala sistem
saraf pusat berupa sakit kepala, pusing, konvulsi dan efek.

Daftar puataka:

Tjay hoan Tiondan dian raharja kirana, 1991. Obat-obat penting .Edisi IV.Jakarta : pt Elex
media kompatindo

29

Anda mungkin juga menyukai