APPENDISITIS AKUT
DISUSUN OLEH:
Naufal Rahman Tejokusumo
PEMBIMBING:
dr. Dyan, Sp.B
I. Identitas
Nama : Tn. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 34 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kp. Ciduruk, Ds. Gunungputri
Tanggal masuk RS : 12 Maret 2022
Tanggal pulang RS : 16 Maret 2022
II. Anamnesis
Dilakukan secara : Autoanamnesis
Tanggal : 13 Maret 2022
Tempat : Ruang Rawat Inap Bedah
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Keluhan Tambahan : Mual (+), muntah (-), demam (-),BAB dan BAK tak,
fltaus(+).
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSU Berkah Pandeglang dengan keluhan nyeri perut
bagian kanan bwah sejak 13 jam SMRS, nyeri dikeluhkan hilang timbul. Pasien
mengatakan 2 hari sebelumnya mengeluh nyeri pada uluhatinya. Mual (+), muntah (-),
BAB (-)dan BAK (-), demam (-). Riwayat trauma disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Asma (-),
Kolesterol (-).
Riwayat Penyakit keluarga : Tidak ada di keluarga pasien yang memiliki keluhan
serupa
Riwayat pengobatan : Nyeri perut kanan bawah belum diobati sebelumnya.
Riwayat kebiasaan : Merokok (-), alkohol (-)
Alergi : Disangkal.
2
III. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran : Compos mentis
b. Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
c. Alvarado score: M 1, A 0, N 1, T 2, R 0, E 0, L2, S x = 6
d. Tanda vital :
Tekanan Darah : 123/101 mmHg
Nadi : 87 x/ menit
Respirasi : 22 x/ menit
Suhu : 36,5 0C
VAS : 4-5
e. Status generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Pupil bulat isokor, sklera ikterik -/-, kongjugtiva anemis -/-
Leher : Trakea letak normal, tidak ada pembesaran KGB
Thoraks
a. Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
- Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
b. Paru
- Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan dan kiri, pernapasan simetris
dalam keadaan statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)
- Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Terdengar suara nafas bronkial di medial dan Suara nafas
vesikuler di lateral, ronki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen :
- Inspeksi : Tidak tampak adanya massa, tidak terlihat distensi abdomen,
supel datar
- Palpasi : Pada palpasi umum nyeri tekan epigastrium (+)
o Palpasi hepar : Tidak ada pembesaran hepar
3
o Palpasi lien : Tidak ada pembesaran lien
o Palpasi ginjal : Ballottement (-)
- Tes undulasi : (-)
- Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen, shifting dullness (-)
- Auskultasi : bising usus (+) meningkat
Ekstremitas : Akral hangat, tidak sianosis, CRT normal (<2 detik), udem (-)
f. Neurologi
Refleks Fisiologis
- Biseps : +/+
- Patella : +/+
- Achilles : +/+
Refleks Patologis
- Refleks babinski -/-
g. Status lokalis
Inspeksi
Tidak terlihat adanya kelainan, massa (-), eritem (-)
Palpasi
Nyeri tekan McBurney (+), Rovsing sign (-), Blumberg sign (+), Psoas sign (-),
Obturator sign (-).
Perkusi
Timpani
Auskultasi
BU (+) meningkat
4
IV. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium (12 Maret 2022)
IndexEritrosit
MCV 78 70 ~ 96 fL Normal
MCH 26 23 ~ 31 pg Normal
MCHC 34 30 ~ 36 g/dL Normal
Imunoserologi
Antigen SARS Negative Negative Normal
CoV-2
Pemeriksaan Radiologi
Foto ro thorax dan abdomen polos (12 Maret 2022)
Kesan:
5
- TB paru aktif disertai atelktasis sinistra
V. Resume
A. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSU Berkah Pandeglang dengan keluhan nyeri perut bagian kanan
bawah sejak 13 jam SMRS. Pasien mengatakan 2 hari sebelumnya mengeluh nyeri pada
uluhatinya, nyeri dikeluhkan hilang timbul. Mual (+), muntah (-), BAB (-)dan BAK (-),
demam (-). Riwayat trauma disangkal.
B. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital : dalam batas normal
Status Generalis : dalam batas normal
Status Lokalis :
Inspeksi
Tidak terlihat adanya kelainan, massa (-), eritem (-)
Palpasi
Nyeri tekan (+), rovsign sign (-) blumberg sign (+), psoas sign (-), MC burney (+),
Obturator sign (-)
VI. Diagnosis kerja
Appendisitis akut
6
IV Ondancetron 3 x 4 mg
IV Omeprazole 2 x 40 mg
IV Paracetamol 3 x 500 mg (k/p)
Advice DPJP :
Pro appendiktomi
Rontgen abdomen
Rontgen thorax
IVFD RL 20 tpm
Inj ceftriaxon 2x1 gr
Inj ketorolac 3x30 mg
Inj metronidazole 3x500 mg
Inj omz 2x40 mg
Cek lab persiapan operasi
Edukasi pasien dan keluarga pasien rencana operasi dan resiko perdarahan,
infeksi dan perburukan
Terapi post-op :
1. IVFD RL 20 tpm
2. Ceftriaxone 2x1 gr
3. metronidazole 3x500 mg
4. Ketorolac 3x30 mg
5. Omz 2x40 mg
6. Aff DC 24 jam post OP
7. Mobilisasi duduk
8. Diet Biasa
9. GV 1x 1 hari
VIII. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanactionam : ad bonam
7
IX. Follow Up
Tanggal S O A P
Minggu, nyeri perut (+) TSS, CM Susp. IVFD RL 20
13/03/2022 TD: 120/80 Appendisitis tpm
mmHg akut (Pre-op) Inj ceftriaxon
N : 84 x/m 2x1 gr
S : 36,6 C Inj ketorolac
RR: 20 x/m 3x30 mg
Inj
metronidazole
3x500 mg
Inj omz 2x40
mg
konsul dr paru
rencana oprasi
senin
(14/03/22)
Senin, post oprasi TSS, CM post IVFD RL 20
14/03/2022 appendiktomi TD: 120/80 appendiktomi tpm
mmHg e.c Ceftriaxone 2x1
N : 90 x/m susp.appendicitis gr
S : 36,6 C acute (Post-op) metronidazole
RR: 20 x/m 3x500 mg
Ketorolac 3x30
mg
Omz 2x40 mg
Aff DC 24 jam
post OP
Mobilisasi
duduk besok
8
pagi
Diet Biasa
GV 1x 1 hari
NAC 3x1
capsul
Nebu Ventolin
3x/ hari
MP 3x8 tab
Selasa, nyeri post op TSS, CM post IVFD RL 20
15/03/2022 minimal, BAB TD: 120/80 appendiktomi tpm
(-), buang angin mmHg e.c appendicitis Ceftriaxone 2x1
(-), mobilisasi N : 80 x/m acute gr
(+) S : 36,6 C metronidazole
RR: 20 x/m 3x500 mg
Ketorolac 3x30
mg
Omz 2x40 mg
Diet Biasa
GV 1x 1 hari
NAC 3x1
capsul
Nebu Ventolin
3x/ hari
MP 3x8 tab
9
tab
channa 3x1 tab
kontrol poli hari
jumat tanggal
18/03/2022 jam
08.00
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
Gambar 1. Appendix
12
1.4 Epidemiologi Appendisitis
Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara
berkembang.Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada
umur 20-30 tahun, ketika insidens pada lelaki lebih tinggi.4
Di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat 250.000 kasus apendisitis.
Insiden apendisitis paling tinggi pada usia 10-30 tahun, dan jarang ditemukan
pada anak usia kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun insiden apendisitis
menurun, tapi apendisitis bisa terjadi pada setiap umur individu. Pada remaja dan
dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2.
Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia pertengahan 30 tahun
menjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan.6,7
Sekitar 20-30% kasus apendisitis perforasi terjadi di Afrika, sedangkan di
Amerika sebanyak 38,7% insidensi apendisitis perforasi terjadi pada laki-laki dan
23,5% pada wanita.
1.5 Etiologi
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix
sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang
paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan
appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel
lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang
parasit. Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendicitis yaitu: Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli, Viridans streptococci, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus,
Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus micros, Bilophila species, Lactobacillus
species.3
Faktor predisposisi utama terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen
apendiks vermiformis. Fekolit adalah penyebab utama terjadinya obstruksi
apendiks vermiformis. Di samping hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks
vermiformis, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Erosi
13
mukosa apendiks vermiformis akibat parasit E.histolytica merupakan penyebab
lain yang dapat menimbulkan apendisitis.
Pada tahun 1970, Burkitt mengatakan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan kandungan lemak serta gula yang tinggi pada orang Barat, serta
pengaruh konstipasi, berhubungan dengan timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks vermiformis dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon. Semua
ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.4,8
1.6 Klasifikasi
1. Apendisitis akut
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium. Keluhan ini
sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindak ke kanan bawah ke titik
Mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Bila terdapat perangsangan
peritoneum, pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.4
2. Apendisitis kronis
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang
setelah apendiktomi. Kriteria mikroskopik apendisitis kronis adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.4
3. Apendisitis rekurens
Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya
14
apendiktomi, dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini
terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun,
apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan
jaringan parut. Risiko untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%. Insidens
apendisitis rekuren adalah sebesar 10% dari specimen apendiktomi yang
diperiksa secara patologik. Pada apendisitis rekuren biasanya dilakukan
apendiktomi karena sering penderita datang dalam serangan akut. 4
1.7 Patofisiologi
15
omentum yang lebih pendek, apendiks vermiformis yang lebih panjang, dan
dinding apendiks vermiformis yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang
masih kurang, dapat memudahkan terjadinya apendisitis perforasi. Sedangkan
pada orang tua, apendisitis perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan
pembuluh darah.11
Apendiks vermiformis yang pernah meradang tidak akan sembuh
sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut
kanan bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat mengalami peradangan akut
lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.4
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis
appendicitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan
perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah
periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di
dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan
mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul
lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain. 3
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,
infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;
diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan
mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari
dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf
somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran
kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.3
Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda
karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat
terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal
dapat muncul di punggung atau pinggang.3
16
Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis
dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau
keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat
menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah
perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda
perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis
> 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak
bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam
tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan
peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau
remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abses yang dapat diketahui dari
adanya massa pada pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai tetapi
tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam
jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare
dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.3
1.8 Diagnosis
17
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit,
kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah
terlihat pada apendikuler abses.
2. Palpasi
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis
abdomen kuadran kanan bawah:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis.
Nyeri lepas (+) Blumberg sign. Rasa nyeri yang terjadi akibat rangsangan
peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang
hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan
setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc.
Burney.
Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal
ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar
secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada
daerah hipogastrium.9
Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun.
Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk.
Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix.
18
Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen
atau Appendix letak pelvis.
Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.
Dunphy sign: nyeri ketika batuk.3
3. Perkusi
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok
4. Auskultasi
Auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus
paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis,
tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik
usus.
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado,
yaitu:
Tabel 2. Skor Alvarado
Interpretasi:
Skor 7-10 = apendisitis akut,
Skor 5-6 = curiga apendisitis akut
Skor l-4 = bukan apendisitis akut.
c. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
19
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada
CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
- Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan apendikogram.
Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan apendikogram
merupakan pemeriksaan berupa foto barium apendiks yang dapat membantu
melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen
apendiks. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%.
20
- Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis
dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.9
21
spesifik untuk fungsi fisiologis tertentu. Diagnosis banding tergantung dari
beberapa faktor yaitu: lokasi anatomi dari inflamasi apendiks vermiformis,
proses stage ( misalnya simpel atau ruptur), umur pasien, dan jenis kelamin
pasien.12
Beberapa pustaka menyebutkan bahwa diagnosis banding dapat
dipertimbangkan berdasarkan beberapa kondisi sebagai berikut : (1) penyebab
nyeri akut intra-abdominal lainnya, (2) nyeri akut yang berasal dari ginekologi,
(3) penyakit saluran kemih, (4) penyakit thoraks, (5) penyakit sistem saraf
pusat dan, (6) kondisi medis lainnya.1
1.10 Tatalaksana
22
frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas
aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan
Bacteroides.3
a. Pre Operatif
Observasi ketat, tirah baring, dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal
serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen dan
toraks dapat dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotic intrevena
spectrum luas dan analgesic dapat diberikan. Pada perforasi apendiks perlu
diberikan resusitasi cairan sebelum operasi.
b. Operatif
Apendektomi terbuka: dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan
bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada
diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan insisi sub umbilikal pada garis
tengah.
c. Pasca-operatif
23
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan
dalam syok, hipertermia atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam
posisi dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan
perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali
normal.Secara bertahap pasien diberi minum, makan saring, makan lunak, dan
makanan biasa.5
1.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan letak usus halus.4 Peritonitis umum, abses apendiks, tromboflebitis
supuratif system portal, abses subfrenikus, sepsis, dan obstruksi usus.5
1.12 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-
0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada
anak, angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien di atas 70 tahun
angka ini meningkat diatas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan
terapi.5
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Zinner MJ, Seymour I Scwhartz, Harold Ellis. Maingot’s abdominal operations, 10th
edition vol 2. Toronto : McGraw-Hill Professional ; 1997
2. Snell RS. Anatomi klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Ed.6. Jakarta : EGC ; 2006
3. Warsinggih. 2014. Appendisitis Akut. Available from:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/APPEDISITIS-
AKUT.pdf [Accessed April 2018].
4. Sjamsuhidayat R, W De Jong. Buku ajar ilmu bedah, edisi 3. Jakarta : EGC ; 2010
5. Kapita Selekta Kedokteran. 2014. Ed:4. Jakarta : Media Aesculapius
6. Wykes SRM. Peritonitis et kausa appendisitis [Lecture Notes]. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Indonesia Yogyakarta ; 2011.
7. Zuidema GD, Charles JY. Surgery of the alimentary tract 5th edition. Philadelphia :
W.B Saunders ; 2002.
8. Norton J, Philip S Barie, Ralph R Bollinge, Alfred EC, Stephen E Lowry, Sean J
Mulvihiel, et al. sugery basic science and clinical evidence 2nd edition. New York :
Springer ; 2008
9. Selvia B. 2010 Karakteristik Penderita Appendicitis Rawat Inap Di Rumah Sakit
Tembakau Deli PTP Nusantara II. Medan: Sumatra Utara
10. Asdie Ahmad H. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. edisi 13 volume 4.
Jakarta: EGC ; 2000
11. Mansjoer A, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita
selekta kedokteran. edisi 3 jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; 2001
12. Brunicardi F , Dana Andersen , Timothy Billiar , David Dunn, John Hunter , Jeffrey
Matthews, et al. Scwartz’s principles of surgery, 9th ed. USA : McGraw-Hill
Professional ; 2009
25