Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

DERMATITIS HERPETIFORMIS

Disusun oleh :
Lidya Tanjaya (2018-0601-0003)

Pembimbing :
dr. Flora Anisah Rakhmawati, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN ATMA JAYA
RSUD R. SYAMSUDIN SH SUKABUMI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis herpetiformis (DH) merupakan penyakit yang menahun
dan residif, lesi polimorfik berupa papulovesikuler, tersusun berkelompok
dan simetrik disertai dengan rasa gatal yang hebat. Dermatitis herpetiformis
memiliki hubungan kuat dengan kelainan saluran pencernaan yaitu penyakit
celiac atau celiac disease (CD).1 Penyakit celiac adalah penyakit autoimun
multipel organ kronis yang mempengaruhi usus kecil pada anak-anak dan
orang dewasa yang memiliki kecenderungan genetik. Hal ini disebabkan oleh
konsumsi makanan yang mengandung gluten. Manifestasi klinis penyakit
celiac meliputi gejala intraintestinal dan ekstraintestinal dan dermatitis
herpetiformis merupakan salah satu dari gejala ekstraintestinal, oleh karena
itu pasien dengan dermatitis herpetiformis perlu melakukan tes untuk
penyakit celiac. 2
Prevalensi dermatitis herpetiformis lebih dominan pada ras Kaukasia,
terutama di negara Eropa dan Amerika Utara, dan angkanya bervariasi antara
10/100,000 jiwa dan 39/100,000 jiwa. Perbandingan perempuan dan laki-laki
sebesar 1.5:1, dan ditemukan paling banyak terutama pada usia dekade
ketiga, keempat dan kelima meskipun dermatitis herpetiformis dapat terjadi
pada usia berapa pun.1,3
Dermatitis herpetiformis dapat secara jelas ditentukan melalui klinis,
histopatologi dan imunologi. Dengan mengetahui etiopatogenesis,
manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dapat membantu
tenaga kesehatan untuk mengidentifikasi dan memberikan tatalaksana yang
tepat dan sesuai.
Dermatitis herpetiformis dapat secara jelas ditentukan melalui
pemeriksaan histopatologi dan imunologi. Dengan mengetahui
etiopatogenesis, manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang yang sesuai
dapat membantu tenaga kesehatan untuk mengidentifikasi dan memberikan
tatalaksana yang tepat dan sesuai.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis herpetiformis (DH) atau Duhring disease merupakan
penyakit autoimun kronis, residif yang menyebabkan ruam pruritik
terutama mengenai permukaan ekstensor tubuh. Penyakit ini memiliki
kaitan yang kuat dengan hipersensitivitas gluten dimana manisfestasi
dermatologinya berupa ruam papulovesikuler simetris disertai rasa gatal
yang hebat. 1,3,4

2.2 Epidemiologi
Menurut meta-analisis oleh Singh et al, prevalensi Celiac Disease
(CD) di Asia cukup rendah sebesar 1,6%, oleh karena itu jarang sekali
ditemukan di populasi Asia.5 Prevalensi dermatitis herpetiformis sendiri
lebih dominan pada negara-negara Barat, seperti Amerika Utara dan
Eropa dengan angka sebesar 1,2 – 39,2 per 100,000 jiwa.3 Sebuah
penelitian di Finlandia, prevalensi dermatitis herpetiformis didapatkan
sebesar 75,3 per 100,000 jiwa, dan insiden sebesar 3,5 per 100,000 jiwa
per tahun.6
Onset penyakit lebih sering ditemukan pada orang dewasa,
terutama pada usia dekade ketiga dan keempat, namun tidak jarang
didapatkan pada anak-anak dan lansia. Berbagai studi menunjukkan
perbandingan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan
ratio 3:2.4

2.3 Etiologi
2.3.1 Genetik
Etiologi dermatitis herpetiformis sebenarnya belum
diketahui pasti dan masih dalam penelitian lanjut , namun beberapa
studi menyimpulkan adanya hubungan kuat antara DH dan tipe-tipe
Human Leukocyte Antigen (HLA) tertentu, yaitu HLA-DQ2 dan
HLA-DQ8. Selain itu, jika keluarga inti menderita celiac disease

2
3

atau dermatitis herpetiformis, maka kemungkinan untuk menderita


dermatitis herpetiformis atau celiac disease lebih tinggi.1,3,4

2.3.2 Faktor lingkungan


Konsumsi gluten dan komponen protein (gliadin dan
glutenin) merupakan pencetus terjadinya dermatitis herpetiformis
dan celiac disease. Gluten dapat ditemukan pada gandum, rye,
barley dan digunakan untuk meningkatkan tekstur makanan.
Paparan gluten secara topikal ataupun intradermal tidak akan
memicu lesi dermatitis herpetiformis yang khas, yang berarti
perkembangan penyakit ini disebabkan paparan saluran pencernaan
terhadap gluten.4, 2

2.4 Patogenesis
Gluten, protein yang ditemukan pada gandum, barley dan rye
berperan dalam patogenesis dermatitis herpetiformis. Selain gluten,
iodium dapat mempengaruhi timbulnya eksaserbasi erupsi dermatitis
herpetiformis. Pasien dengan dermatitis herpetiformis yang rutin
mengonsumsi makanan mengandung gluten memiliki peningkatan kadar
reseptor IL-2 serum dan reseptor IL-8 serum, peningkatan ekspresi E-
selectin sel endotel pada kulit, peningkatan ekspresi CD11b pada netrofil.
Manifestasi sistemik pada respon imun mukosa percernaan dapat
menginduksi terjadinya timbulnya lesi kulit. Celiac disease pada pasien
dermatitis herpetiformis mungkin berhubungan dengan deposit IgA yang
dapat ditemukan di kulit. Selain deposit IgA, ditemukan antibodi
terhadap tissue transglutaminases (Tgases) pada serum penderita
dermatitis herpetiformis, yaitu antibodi IgA antierpidermal Tgase yang
dapat deposisi pada kulit.
Trauma minor pada kulit meningkatkan ekspresi IL-8 dan E-
selectin, yang mengakibatkan infiltrat inflamatorik neutrofil. Hal ini
mendukung bahwa sitokin atau produksi kemokin setelah trauma
merupakan faktor pencetus pada lesi dermatitis herpetiformis. Setelah
infiltrat terikat dengan IgA kulit, faktor seperti sitokin, kemokin dan
protease dikeluarkan kemudian mengakibatkan terbentuknya lesi dan
4

menginduksi keratinosit basal memproduksi kolagenase atau


stromelysin-1.1

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala dermatitis herpetiformis biasanya mengeluhkan rasa
terbakar dan gatal yang sangat hebat, dan penderita dapat memperkirakan
erupsi lesi 8-12 jam setelah rasa terbakar, perih dan gatal. Pada dermatitis
herpetiformis, lesi primer merupakan papul eritematosa, plak seperti
urtikaria, dan umumnya vesikel, berkelompok (herpes-like), terkadang
lesi krusta juga terlihat pada kulit penderita akibat garukan sehingga lesi
primer sudah tidak ditemukan. Lesi yang muncul dan menghilang secara
terus menerus dapat menyebabkan hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.
Distribusi lesi simetris pada permukaan ekstensor ; siku, lutut, bokong,
bahu, kulit kepala, wajah dan area sakrum.1,7

Gambar 1.1 Predileksi lesi dermatitis herpetiformis


5

Gambar 1.2 Vesikel pruritik, berkelompok dan ekskoriasi pada siku

Gambar 1.3 Ruam papulovesikuler dan krusta pada lutut


6

Gambar 1.4 Dermatitis Herpetiformis ; punggung

Gambar 1.5 Vesikel, bula, erosi dan hiperpigmentasi pada area bokong
7

2.6 Diagnosis Banding


2.6.1 Pemfigoid bulosa
Penyakit autoimun kronik, ditandai dengan bula
subepidermal yang besar dan berdinding tegang, biasanya terjadi
pada lansia usia 60-80 tahun. Manifestasi diawali dengan erupsi
prodromal (urtikaria dan papul) eritema dan pruritik, kemudian
menjadi bula dalam minggu sampai bulan. Bula berukuran besar,
bulat atau oval, berdinding tegang dan berisi cairan serosa atau
hemoragik serta tidak mudah pecah. Jika bula pecah, terdapat
daerah erosive yang luas tetapi tidak bertambah. Distribusi dapat
terlokalisir atau generalisata. Predileksi; aksila, inguinal, tungkai
atas bagian medial, abdomen, lengan bagian fleksor, generalisata.
Mukosa mulut dapat terkena kira-kira 10-35% kasus.
Pada pemeriksaan histopatologi, didapatkan celah pada taut
dermal-epidermal di subepidermal, netrofil, eosinofil dan limfosit
pada dermis papiler. Pada imunofluoresensi langsung, tampak IgG
linear di zona membran basalis.8

Gambar 1.6 Pemfigoid bulosa


8

2.6.2 Pemfigoid gestationis


Pemfigoid gestationis adalah dermatosis autoimun
inflamatorik bulosa polimorfik dan pruritik, timbul pada masa
kehamilan dan pasca partus. Lesi muncul pada usia kehamilan 4 –
7 bulan dan pasca partus. Lesinya polimorf terdiri atas eritema,
plak urtikaria, papul, vesikel dan bula berdinding tegang. Erupsi
lesi sangat pruritik terutama di abdomen dan ekstremitas, namun
selaput lendir jarang sekali terkena. Pada pemeriksaan
histopatologi, ditemukan bula subepidermal dan deposisi IgG linear
dan C3 pada membran basalis. Pemeriksaan ELISA dan
immunoblotting assays dapat mendeteksi antibodi membran
antibasal IgG.8

Gambar 1.7 Pemfigoid gestationis

2.6.3 Dermatosis IgA linier


Dermatosis autoimun yang biasanya mengenai anak-anak,
umunya disebut chronic bullous disease of childhood (CBDC),
ditandai dengan adanya bula dan deposit IgA linier homogen pada
membran basalis. Lesi timbul mendadak, tampak papul, vesikel,
bula berdinding tegang berkelompok atau generalisata, distribusi
simetris pada abdomen dan ekstremitas. Mukosa dapat terkena,
namun tidak didapati kelainan enteropati seperti pada dermatitis
herpetiformis. Pada pemeriksaan imunofluoresensi langsung,
9

didapati deposit IgA linier dan C3 sepanjang membran basalis dari


kuli perilesi.8

Gambar 1.8 Chronic Bullous Disease of Childhood

Gambar 1.9 Dermatosis IgA Linier


10

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Histopatologi
Fragmen kulit untuk pemeriksaan histopatologis harus
didapatkan dari area eritematosa atau papuloeritematosa berdekatan
dengan vesikel, dimana mikroabses netrofil dapat teridentifikasi.
Gambaran histopatologis lesi primer tampak kumpulan netrofil
papiler dermis (mikroabses), fragmen netrofil, eosinofil, fibrin dan
terkadang terpisahnya papiler dengan epidermis. Lesi primer,
pembuluh darah dermis atas dan tengah dikelilingi infiltrat
limfohistiotik, netrofil, dan sediki eosinofil. 1,8

Gambar 1.10 Biopsi lesi; vesikel subepidermal, netrofil dan eosinofil

2.7.2 Uji Imunofluoresensi langsung


Uji imunofluoresensi direk tetap menjadi baku emas diagnosa
dermatitis herpetiformis. Apabila hasil negatif, maka pemeriksa
perlu mengambil bahan baru untuk diuji ulang dan menentukan
apakah penderita dermatitis herpetiformis sedang dalam diet bebas
gluten atau tidak karena hal ini dapat menyebabkan hasil negatif
palsu. Bahan uji sebaiknya diambil dari kulit sekitar lesi (1 cm dari
lesi), dimana enzim proteolitik tidak menyebabkan degradasi
imunoglobulin. Temuan khas pada penderita dermatitis
herpetiformis adalah deposit IgA sepanjang dermal-epidermal
junction dan di atas papilla dermis dalam dua pola spesifik, yaitu
granuler dan fibriler. Komponen komplemen ketiga (C3) sering kali
ditemukan di lokasi yang sama dengan IgA. Gambaran C3 pada kulit
sekitar lesi dan kulit yang sehat tidak dipengaruhi bila penderita
11

mengonsumsi dapson, tetapi C3 dapat tidak terdeteksi bila penderita


sedang dalam diet bebas gluten. 1,4

Gambar 1.11 Deposit IgA linier pada papillary dermal dan sepanjang membran basalis
(berwarna hijau)

2.7.3 Serologi
Pemeriksaan serologi dapat dilakukan bila pasien secara
klinis mengarah ke dermatitis herpetiformis namun hasil uji
imunofluoresensi negatif. Penderita dermatitis herpetiformis biasanya
menunjukkan antibodi yang spesifik, salah satunya, antibodi IgA anti-
tTg yang dianggap paling sensitif dan spesifik. Beberapa pasien
dengan defisiensi IgA perlu melakukan pemeriksaan IgA serum total
untuk mengeksklusi hasil negatif palsu. Selain IgA, terdapat beberapa
antibodi yang sensitif dan spesifik, antara lain IgA anti-endomysium
(EMA), IgA and IgG anti-deamidated synthetic gliadin-derived
peptides (DGP), IgA anti-epidermal transglutaminase (eTG).3
12

2.8 Tatalaksana
2.8.1 Non-farmakologis
Diet bebas gluten ketat dianggap sebagai terapi pilihan
bagi penderita dermatitis herpetiformis dan celiac disease, karena
gejala kulit dan gejala saluran pencernaan tergantung pada
konsumsi gluten, dan khususnya pada dermatitis herpetiformis,
karena efek samping kumulatif dari obat-obatan pilihan. Kadar
gluten yang diizinkan adalah sebanyak, 20 ppm (bebas gluten);
namun, di beberapa negara, produk dengan 100 ppm (gluten sangat
rendah) juga diperbolehkan.
Diet bebas gluten dapat mengatasi gejala saluran
pencernaan dan gejala kulit, serta mencegah perkembangan
limfoma dan penyakit lain yang berhubungan dengan enteropati
dan malabsorpsi yang diinduksi oleh gluten. Gejala saluran
pencernaan dapat berkurang dalam 3-6 bulan, dan lebih cepat
dibandingkan gejala kulit, yang membutuhkan 1-2 tahun untuk
resolusi lesi. Bila penderita kembali mengonsumsi gluten, lesi
dapat muncul dalam 12 minggu dan deposit IgA pada
dermoepidermal junction.1,3,4

2.8.2 Farmakologis
Diaminodifenil sulfone atau dapson merupakan obat
pilihan dermatitis herpetiformis, dan sulfapiridin sebagai terapi
alternatif. Dapson diketahui dapat menghambat kemotaksis dan
mengaktivasi netrofil, mengurangi keluarnya leukotriene dan
prostaglandin. Dapson dapat diberikan selama 6 -24 bulan sampai
manfaat diet bebas gluten tercapai dan efektif.
Pemberian dapson dapat mengurangi rasa gatal setelah 3
jam sampai beberapa hari setelah konsumsi obat pertama, tidak
terdapat erupsi lesi baru setelah 1-2 hari terapi dan lesi baru dapat
berkurang dalam 1 minggu. Dosis dapson biasanya 100-150
mg/hari dengan dosis rumatan sebanyak 1 mg/kg/hari. Dosis
rendah perlu dipertahankan pada pasien remisi, dan bila
memungkinkan penggunaan dapson dihentikan. Efek samping
13

penggunaan dapson adalah anemia hemolitik, metemoglobinemia


(dose-dependent). Penderita lansia dengan komorbid gangguan
jantung seperti gagal jantung dan penyakit jantung koroner perlu
berhati-hati akibat kadar hemoglobin menurun. Oleh karena itu,
pasien yang mengonsumsi dapson harus dimonitor berkala.
Sebelum memulai terapi, pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati,
fungsi ginjal, dan urinalisis harus dilakukan. Pasien dievaluasi
kembali setiap minggu selama 1 bulan pertama untuk monitor
anemia, metemoglobinemia, dan gejala neuropatik. Setelah 1 bulan
pertama, pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan fungsi ginjal
dilakukan setiap 2 kali sebulan, kemudian menjadi 2 bulan dan
setiap 3 bulan. Jika dapson gagal mengendalikan gejala atau terjadi
efek samping, sulfonamid seperti sulfapiridin dan
sulfamethoxypyridazine dapat menjadi alternatif untuk mengontrol
fase akut dermatitis herpetiformis. Dosis rekomendasi berkisar dari
500 mg hingga 4,5 g per hari, sulfapiridin (2-4 g/hari) dan
sulfamethoxypyridazine (0,25-1,5 g/hari). Efek samping kedua
obat adalah mual, muntah bahkan anoreksia, reaksi
hipersensitivitas obat, anemia hemolitik, proteinuria dan kristaluria.
Oleh karena itu, sebelum memulai terapi dengan sulfonamid, perlu
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan urinalisis. Pemeriksaan
yang sama harus diulang setiap bulan pada 3 bulan pertama
pemberian obat dan kemudian diulang setiap 6 bulan.
Obat-obatan lain juga dapat digunakan untuk mengontrol
gejaa kulit, seperti kortikosteroid poten topikal (betamethasone
valproate atau dipropionate) dan sangat poten (clobetasol
propionate) bermanfaat untuk mengurangi pruritus dan mencegah
lesi baru. Steroid sistemik atau anti-histamin juga dapat
mengurangi rasa gatal dan rasa terbakar meskipun efektifitasnya
masih diragukan. 1,3,4
13

DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller AS, Leffell D. Fitzpatrick's


Dermatology in General Medicine, 8th Edition. New York: McGraw-Hill; 2011.
2. Popp A, Mäki M. Gluten-Induced Extra-Intestinal Manifestations in Potential
Celiac Disease—Celiac Trait. Nutrients [Internet]. 2019 Feb 1;11(2). Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6412544/
3. Antiga E, Caproni M. The diagnosis and treatment of dermatitis
herpetiformis. Clin Cosmet Investig Dermatol. 2015. [Internet]. [cited 2019 Aug
31]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4435051/#b8-ccid-8-257
4. Clarindo MV, Possebon AT, Soligo EM, Uyeda H, Ruaro RT, Empinotti JC.
Dermatitis herpetiformis: pathophysiology, clinical presentation, diagnosis and
treatment. An Bras Dermatol. 2014. [Internet]. [cited 2019 Aug 31]. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4230654/
5. Singh P, Arora S, Singh A, Strand TA, Makharia GK. Prevalence of celiac
disease in Asia: A systematic review and meta-analysis. J Gastroenterol Hepatol.
2016 Jun;31(6):1095–101.
6. Salmi TT, Hervonen K, Kautiainen H, Collin P, Reunala T. Prevalence and
incidence of dermatitis herpetiformis: a 40-year prospective study from Finland.
Br J Dermatol. 2011 Aug;165(2):354–9
7. Du Vivier A. Atlas on clinical dermatology 4th edition. Elsevier Health Sciences,
2012.
8. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick's color atlas and synopsis of clinical
dermatology, 7th edition. New York: McGraw Hill; 2013.

Anda mungkin juga menyukai