DERMATITIS HERPETIFORMIS
Disusun oleh :
Lidya Tanjaya (2018-0601-0003)
Pembimbing :
dr. Flora Anisah Rakhmawati, Sp.KK
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatitis herpetiformis (DH) atau Duhring disease merupakan
penyakit autoimun kronis, residif yang menyebabkan ruam pruritik
terutama mengenai permukaan ekstensor tubuh. Penyakit ini memiliki
kaitan yang kuat dengan hipersensitivitas gluten dimana manisfestasi
dermatologinya berupa ruam papulovesikuler simetris disertai rasa gatal
yang hebat. 1,3,4
2.2 Epidemiologi
Menurut meta-analisis oleh Singh et al, prevalensi Celiac Disease
(CD) di Asia cukup rendah sebesar 1,6%, oleh karena itu jarang sekali
ditemukan di populasi Asia.5 Prevalensi dermatitis herpetiformis sendiri
lebih dominan pada negara-negara Barat, seperti Amerika Utara dan
Eropa dengan angka sebesar 1,2 – 39,2 per 100,000 jiwa.3 Sebuah
penelitian di Finlandia, prevalensi dermatitis herpetiformis didapatkan
sebesar 75,3 per 100,000 jiwa, dan insiden sebesar 3,5 per 100,000 jiwa
per tahun.6
Onset penyakit lebih sering ditemukan pada orang dewasa,
terutama pada usia dekade ketiga dan keempat, namun tidak jarang
didapatkan pada anak-anak dan lansia. Berbagai studi menunjukkan
perbandingan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan
ratio 3:2.4
2.3 Etiologi
2.3.1 Genetik
Etiologi dermatitis herpetiformis sebenarnya belum
diketahui pasti dan masih dalam penelitian lanjut , namun beberapa
studi menyimpulkan adanya hubungan kuat antara DH dan tipe-tipe
Human Leukocyte Antigen (HLA) tertentu, yaitu HLA-DQ2 dan
HLA-DQ8. Selain itu, jika keluarga inti menderita celiac disease
2
3
2.4 Patogenesis
Gluten, protein yang ditemukan pada gandum, barley dan rye
berperan dalam patogenesis dermatitis herpetiformis. Selain gluten,
iodium dapat mempengaruhi timbulnya eksaserbasi erupsi dermatitis
herpetiformis. Pasien dengan dermatitis herpetiformis yang rutin
mengonsumsi makanan mengandung gluten memiliki peningkatan kadar
reseptor IL-2 serum dan reseptor IL-8 serum, peningkatan ekspresi E-
selectin sel endotel pada kulit, peningkatan ekspresi CD11b pada netrofil.
Manifestasi sistemik pada respon imun mukosa percernaan dapat
menginduksi terjadinya timbulnya lesi kulit. Celiac disease pada pasien
dermatitis herpetiformis mungkin berhubungan dengan deposit IgA yang
dapat ditemukan di kulit. Selain deposit IgA, ditemukan antibodi
terhadap tissue transglutaminases (Tgases) pada serum penderita
dermatitis herpetiformis, yaitu antibodi IgA antierpidermal Tgase yang
dapat deposisi pada kulit.
Trauma minor pada kulit meningkatkan ekspresi IL-8 dan E-
selectin, yang mengakibatkan infiltrat inflamatorik neutrofil. Hal ini
mendukung bahwa sitokin atau produksi kemokin setelah trauma
merupakan faktor pencetus pada lesi dermatitis herpetiformis. Setelah
infiltrat terikat dengan IgA kulit, faktor seperti sitokin, kemokin dan
protease dikeluarkan kemudian mengakibatkan terbentuknya lesi dan
4
Gambar 1.5 Vesikel, bula, erosi dan hiperpigmentasi pada area bokong
7
2.7.1 Histopatologi
Fragmen kulit untuk pemeriksaan histopatologis harus
didapatkan dari area eritematosa atau papuloeritematosa berdekatan
dengan vesikel, dimana mikroabses netrofil dapat teridentifikasi.
Gambaran histopatologis lesi primer tampak kumpulan netrofil
papiler dermis (mikroabses), fragmen netrofil, eosinofil, fibrin dan
terkadang terpisahnya papiler dengan epidermis. Lesi primer,
pembuluh darah dermis atas dan tengah dikelilingi infiltrat
limfohistiotik, netrofil, dan sediki eosinofil. 1,8
Gambar 1.11 Deposit IgA linier pada papillary dermal dan sepanjang membran basalis
(berwarna hijau)
2.7.3 Serologi
Pemeriksaan serologi dapat dilakukan bila pasien secara
klinis mengarah ke dermatitis herpetiformis namun hasil uji
imunofluoresensi negatif. Penderita dermatitis herpetiformis biasanya
menunjukkan antibodi yang spesifik, salah satunya, antibodi IgA anti-
tTg yang dianggap paling sensitif dan spesifik. Beberapa pasien
dengan defisiensi IgA perlu melakukan pemeriksaan IgA serum total
untuk mengeksklusi hasil negatif palsu. Selain IgA, terdapat beberapa
antibodi yang sensitif dan spesifik, antara lain IgA anti-endomysium
(EMA), IgA and IgG anti-deamidated synthetic gliadin-derived
peptides (DGP), IgA anti-epidermal transglutaminase (eTG).3
12
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Non-farmakologis
Diet bebas gluten ketat dianggap sebagai terapi pilihan
bagi penderita dermatitis herpetiformis dan celiac disease, karena
gejala kulit dan gejala saluran pencernaan tergantung pada
konsumsi gluten, dan khususnya pada dermatitis herpetiformis,
karena efek samping kumulatif dari obat-obatan pilihan. Kadar
gluten yang diizinkan adalah sebanyak, 20 ppm (bebas gluten);
namun, di beberapa negara, produk dengan 100 ppm (gluten sangat
rendah) juga diperbolehkan.
Diet bebas gluten dapat mengatasi gejala saluran
pencernaan dan gejala kulit, serta mencegah perkembangan
limfoma dan penyakit lain yang berhubungan dengan enteropati
dan malabsorpsi yang diinduksi oleh gluten. Gejala saluran
pencernaan dapat berkurang dalam 3-6 bulan, dan lebih cepat
dibandingkan gejala kulit, yang membutuhkan 1-2 tahun untuk
resolusi lesi. Bila penderita kembali mengonsumsi gluten, lesi
dapat muncul dalam 12 minggu dan deposit IgA pada
dermoepidermal junction.1,3,4
2.8.2 Farmakologis
Diaminodifenil sulfone atau dapson merupakan obat
pilihan dermatitis herpetiformis, dan sulfapiridin sebagai terapi
alternatif. Dapson diketahui dapat menghambat kemotaksis dan
mengaktivasi netrofil, mengurangi keluarnya leukotriene dan
prostaglandin. Dapson dapat diberikan selama 6 -24 bulan sampai
manfaat diet bebas gluten tercapai dan efektif.
Pemberian dapson dapat mengurangi rasa gatal setelah 3
jam sampai beberapa hari setelah konsumsi obat pertama, tidak
terdapat erupsi lesi baru setelah 1-2 hari terapi dan lesi baru dapat
berkurang dalam 1 minggu. Dosis dapson biasanya 100-150
mg/hari dengan dosis rumatan sebanyak 1 mg/kg/hari. Dosis
rendah perlu dipertahankan pada pasien remisi, dan bila
memungkinkan penggunaan dapson dihentikan. Efek samping
13
DAFTAR PUSTAKA