PENELITIAN
Afina Insani Pracoyo 2018790013
Citra Putri Irawan 2018790031
Efrilia Adha Pohan 2018790040
Irda Novia Rahmawati 2018790060
Kusuma Intan 2018790071
Laiza Intan Puspita Ayu P 2018790073
Muhammad Afif Akbar 2018790083
Naufal Rahman Tejokusumo 2018790095
Mutiara Nurul Qalbi 2018790090
R. Luthfi Nur Fajri 2018790100
Rif’ah Naa’imah 2018790105
Syifa Rahmawati Putri 2018790119
Pembimbing :
dr. Pitut Aprilia Savitri, MKK
dr. Mamik Setyawati
PENELITIAN
Afina Insani Pracoyo 2018790013
Citra Putri Irawan 2018790031
Efrilia Adha Pohan 2018790040
Irda Novia Rahmawati 2018790060
Kusuma Intan 2018790071
Laiza Intan Puspita Ayu P 2018790073
Muhammad Afif Akbar 2018790083
Naufal Rahman Tejokusumo 2018790095
Mutiara Nurul Qalbi 2018790090
R. Luthfi Nur Fajri 2018790100
Rif’ah Naa’imah 2018790105
Syifa Rahmawati Putri 2018790119
Pembimbing :
dr. Pitut Aprilia Savitri, MKK
dr. Mamik Setyawati
Disetujui untuk diajukan pada seminar penelitian Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
ii
PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI
Afina Insani Pracoyo, S.Ked., Citra Putri Irawan S.Ked., Efrilia Adha Pohan
S.Ked., Irda Novia Rahmawati S.Ked., Kusuma Intan S.Ked., Laiza Intan Puspita
S.Ked., M. Afif Akbar S.Ked., Naufal Rahman Tejokusumo S.Ked., Mutiara
Nurul Qalbi S.Ked., Rif’ah Naa’imah S.Ked., Syifa Rahmawati Putri S.Ked.
Pembimbing Utama
dr.Mamik Setiyawati
Penguji Penguji
Mengetahui,
iii
KATA PENGANTAR
Penyusun
iv
v
v
Relationship Between Respondents Characteristics, Smoking Habit of Family
Members Inside The House and The Habit of Burning Waste With the
Prevalence Rate of Pneumonia in Infants at Langensari 1 Health Center
Kujangsari Village Langensari district Banjar city Periode 2nd January to 30th
March 2019
Afina Insani, Citra Putri, Efrilia Adha, Irda Novia, Kusuma Intan, Laiza Intan, M. Afif, Mutiara
Qalbi, Naufal Rahman, R. Luthfi, Rif’ah Naa’imah, Syifa Rahmawati*, Mamik Setiyawati, Irfan
Yanuar Hilmi**, Pitut Aprilia S***
**Student of Medicine Program, Faculty of Medicine and Health, University of Muhammadiyah
Jakarta
**General Practitioner in Langensari 1 Health Center, Langensari district, Banjar city
***Medicine Lecture, Faculty of Medicine and Health, University of Muhammadiyah Jakarta
ABSTRACT
Background: lower respiratory tract infections are still a common problem in
health care, whether it be in a developing or a developed country one of these
infection is pneumonia. Several factors that can cause pneumonia in infants are
smoke coming from ciggaretes or burning waste. in West Java, pneumonia has the
4th highest incidence and prevalence rate (2.7% and 4.5% respectively), when in
Langensari 1 health center pneumonia has become the first out of the top 10
diseases that occurs, with an incidence rate of 5.2% in infants.
Aim: to identify the relationship between the respondents characteristic, behaviors
of family members who smoke inside the house dan habit of burning waste with the
incidence rate of pneumonia in infants at Langensari 1 Health Center, Kujangsari
village, Langensari district, Banjar City between the period of 2nd of January to
30th of March 2019.
Result: there are no significant correlation between age and the prevalence of
pneumonia in infants where the OR is 1.150 and p-value = 0.792 (CI 95%). gender
has no significant correlation with the prevalence of pneumonia in infants with an
OR 1.450 dan p-value = 0.564 (CI 95%). there is significant correlation between
smoking inside the house with the prevalence of pneumonia in infants with an OR
6.923 dan p-value = 0.000 (CI 95%). there is no significant correlation between
the habit of waste burning with the prevalence of pneumonia in infants with an OR
2.250 dan p-value = 0.159 (CI 95%)
Conclusion: there are no significant correlation between age, gender, and burning
waste habbits with pneumonia prevalences in infants, but there is a significant
correlation between smoking inside the house witu the prevalences of pneumonia
in infants.
Keywords: Respondent characteristics, habit of smoking inside the house, waste
burning, infants with pneumonia
vi
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Tabel 4. 7 Hubungan jenis kelamin dengan kejadian Pneumonia pada balita ..................53
Tabel 4. 8 Hubungan perilaku merokok dalam rumah dengan kejadian Pneumonia pada
balita...............................................................................................................54
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3.266 balita yang tercatat dalam satu tahun. Dari sasaran target 151 balita
didapatkan kunjungan berobat ke puskesmas dengan pneumonia sebanyak 187
(123,84%), hal ini menunjukkan bahwa Puskesmas Langensari 1 jumlah
penderita pneumonia memenuhi target seharusnya.
Secara umum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian
pneumonia diantaranya faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor ekstrinsik
meliputi: pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil
pembakaran sampah atau bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang
tinggi), ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Sedangkan faktor intrinsik
meliputi: usia anak, status gizi, ASI ekslusif dan status imunisasi. Faktor
perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan infeksi pernapasan
pada bayi atau peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit
pneumonia.
Berdasarkan faktor risiko tersebut, salah satunya adalah faktor eksternal
yang dapat disebabkan dari pencemaran udara dalam rumah seperti asap rokok
dan pembakaran sampah. Kebiasaan kepala keluarga yang merokok di dalam
rumah dapat berdampak negatif bagi anggota keluarga khususnya balita.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok aktif sekitar 29,3%
dengan jumlah 65 juta perokok atau 225 miliar batang per tahun. Di Puskesmas
Langensari 1, berdasarkan data Perilaku Hidup Sehat dan Bersih (PHBS) tahun
2018 diketahui bahwa jumlah perokok di dalam rumah masih tinggi, dimana
diantaranya adalah rumah yang memiliki anak balita. Sedangkan hasil data dari
Puskesmas Langensari 1 didapatkan jumlah perilaku merokok didalam rumah
sebesar 27% artinya 3 dari 10 orang ini memiliki perilaku merokok didalam
rumah. Untuk Desa Kujangsari sendiri pun perilaku merokok didalam rumah
sebesar 31 %.
Sanitasi rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan angka kejadian
penyakit menular, terutama Pneumonia. Beberapa hal yang dapat
mempengaruhi kejadian penyakit Pneumonia pada balita adalah kondisi fisik
rumah, kebersihan rumah, kepadatan penghuni dan pencemaran udara dalam
rumah seperti pembakaran sampah. Ada pun hasil pembakaran sampah yang
didapatkan dari data Puskesmas Langensari 1 sebesar 64,50 % kebiasaan
3
6
7
2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia merupaan infeksi akut parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstisial
2.2.2 Epidemiologi
Pneumoni masih merupakan masalah kesehatan utama dan
menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara
berkembang. Penyakit ini juga merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak usia < 5 tahun. Insiden pneumonia pada anak < 5 tahun
adalah 10-20 kasus/100 anak/ tahun dinegara berkembang dan 2-4 kasus/
anak/ tahun di negara maju.
2.2.3 Etiologi
Berdasarkan studi mikrobiologik penyebab utama pneumonia anak
balita adalah streptococcus pneumoniae/ pneumococcus (30-50%) dan
hemophilus influenzae type b/ Hib (10-30%), diikuti staphylococcus aureus
dan klebsiela pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain seperti mycoplasma
pneumonia, chlamydia spp, pseudomonas spp, escherichia coli. Pneumonia
pada neonatus banyak disebabkan bakteri gram negatif seperti klebsiella spp
dan bakteri gram positif seperti S. Pneumoniae, S. Aureus. Penyebab
pneumonia karena virus disebabkan respiratory syncytial virus (RSV),
diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan
adenovirus. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh bahan-bahan lain misal
8
sentral)
- Ujung tangan dan kaki pucat dan
dingin
- Head nodding
- Grunting
- Gizi buruk
Jenis lantai tanah (tidak kedap air) memiliki peran terhadap proses
kejadian pneumonia, melalui kelembaban dalam ruangan karena lantai
tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Hubungan antara jenis lantai
dengan kejadian pneumonia pada balita bersifat tidak langsung, artinya jenis
lantai yang kotor dan kondisi status gizi balita yang kurang baik
memungkinkan daya tahan tubuh balita rendah sehingga rentan terhadap
kejadian sakit atau infeksi dan dapat dengan mudah terkena pneumonia
kembali, atau pneumonia berulang.
dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit
dengan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni
dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan
bakteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni
rumah yang satu ke penghuni rumah lainnya. Tempat tinggal yang sempit,
penghuni yang banyak, kurang ventilasi, dapat meningkatkan polusi udara
didalam rumah, sehingga dapat mempengaruhi daya tahan tubuh balita.
Balita dengan sistem imunitas yang lemah dapat dengan mudah terkena
pnuemonia kembali setelah sebelumnya telah terkena pneumonia atau
pneumonia berulang.
Balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibandingkan dengan balita yang
tidak tinggal di kepadatan hunian tinggi (Hartati, 2011). Sedangkan menurut
penelitian Yuwono (2008) yang dilakukan di Kabupaten Cilacap,
menunjukkan bahwa anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat
hunian padat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,7 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian tidak
padat.
4. Keberadaan Perokok di Dalam Rumah
Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan setidaknya
200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, racun utama pada
rokok adalah tar, nikotin dan karbonmonoksida. Tar adalah substansi
hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru, Nikotin
adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini
bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan.
Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah,
membuat darah tidak mampu mengikat oksigen (Sugihartono dan Nurjazuli,
2012).
(Astuti dan Rahmat, 2010). Dalam penelitian Hartati dkk (2012), anak
dengan jenis kelamin laki laki lebih berisiko terkena pneumonia, hal ini
disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil
dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya
tahan tubuh anak laki-laki dan perempuan.
2. Status Gizi
Pemberian Nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak dapat mencegah balita terhindar dari penyakit infeksi
sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi optimal (Hartati
dkk, 2012).
Status gizi pada anak berkontribusi lebih dari separuh dari semua
kematian anak di negara berkembang, dan kekurangan gizi pada anak usia
0-4 tahun memberikan kontribusi lebih dari 1 juta kematian pneumonia
setiap tahunnya. Status gizi menempatkan balita pada peningkatan risiko
pneumonia melalui dua cara. Pertama, kekurangan gizi melemahkan sistem
kekebalan tubuh balita secara keseluruhan, protein dan energi dengan
jumlah yang cukup dibutuhkan untuk sistem kekebalan tubuh balita. Kedua,
balita dengan status gizi kurang dapat melemahkan otot pernapasan, yang
dapat menghambat sistem pernafasan pada balita tersebut (UNICEF, 2006).
11 bulan yang tidak diberi ASI juga meningkatkan risiko kematian akibat
pneumonia dibandingkan dengan mereka yang diberi ASI (UNICEF, 2006)
2.2.9 Penatalaksanaan
A. Pemberian Antibiotik Oral
Pilihan pertama amoksisilin. Ini dipilih karena lebih efektif
dibandinngkan dengan cotrimoxsazol, cara pemberiannya murah dan
mudah. Antibiotik pilihan kedua yaitu eritromisin. Antibiotik diberikan
selama 3 hari dengan jumlah pemberian sesuai dengan tabel 2.1 khusus
untuk daerah dengan prevalesi HIV tinggi, antibiotik diberikan 5 hari.
Jangan memberikan antibiotik bila anak memiliki riwayat anafikasis atau
reaksi alesgi sebelumnya terhadap jenis obat tersebut.
Dosis obat dibagi menjadi :
Amoksisilin : 80-100 mg/kgBB/Hari dibagi 2 dosis
Eritromisisn : 40-60 mg/kgBB/Hari dibagi 3-4 dosis
Catatan :
B. Pengobatan Demam
Demam sangat umum terjadi pada infeksi saluran napas akut.
Penatalaksanaan demam tergantung dari apakah demam itu tinggi atau
rendah. Jika demam tidak tinggi (38,5ºc) nasihati ibuuntuk
memberikancairan yang banyak dan tidak perlu pemberian antipiretik
namun jika demam tinggi lebih dari 38ºc demam bisa diturunkan dengan
antipiretik sehingga anak merasa lebih enak dan lebih banyak makan.
Anak dengan pneumoni akan sulit bernapas bila mengalami demam
tinggi, beritahu ibunya untuk memberi antipiretik tiap 6 jam dengan dosis
yang sesuai pada tabel 2.2 sampe demam mereda. Demam itu sensiri bukan
indikasi untuk pemberian antibiotik,kecuali bayi < dari 2 bulan, sehingga
bayi harus dirujuk dan jangan langsung diberi antipiretik.
C. Pengobatan Wheezing
Pada bayi berusia <2 bulan wheezing merupakan tanda bahaya dan
harus dirujuk segera. Pada kelompok usia 2 bulan – 59 bulan wheezing
perluditentukan apakah ini merupakan episode pertama atau sudah berulang.
Episode pertama jika terdapat wheezing kemungkianan karena pneumonia
namun jika berulang kemungkinan karena asma. Bila ada keraguan lakukan
nebulisasi bronkodilator dan dinilai responnya untuk menentukan apakah
ini pneumoni atau asma.
Bagan 2.1 Wheezing pada usia 2 bulan – 59 bulan
Wheezing
Inhalasi
Bukan asma
asma
2.2.10 Komplikasi
Jika tidak mengalami perbaikan setelah 2 hari, atau kondisi anak semakin
memburuk, lihat adanya komplikasi atau adanya diagnosis lain. Jika ada
21
Membagi tipe perokok menjadi dua jenis yaitu perokok aktif ialah
individu yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok. Merokok sudah
menjadi bagian hidupnya sehingga rasanya tak enak kalau sehari tak
merokok. Oleh karena itu, ia kan berupaya untuk mendapatkannya.
Sedangkan perokok pasif adalah individu yang tak memiliki kebiasaan
merokok, namun terpaksa harus menghisap asap rokok yang dihembuskan
orang lain yang kebetulan di dekatnya.
22
2.4 Sampah
2.4.1 Definisi Sampah
Dalam kamus lingkungan tahun 2004 dinyatakan bahwa pengertian sampah
adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses.
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang
berbentuk padat. Widiwijoto (2011) mengatakan bahwa sampah adalah sisa-sisa
bahan yang telah mengalami perlakuan baik yang telah diambil bagian utamanya,
telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dan dari segi
lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam.
Murtadho dan gumbira (2007) membedakan sampah atas sampah organik dan
sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa
bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari limbah pertanian. Sampah ini
memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena
memiliki rantai karbon relative pendek. Sedangkan sampah anorganik berupa
sampah padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganism karena
memiliki rantai karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastic,
dan lain-lain. Sampah merupakan masalah bagi orang di seluruh dunia ini karena
sampah merupakan suatu barang yang tidak terpakai lagi. Seiring dengan
semakin tingginya populasi manusia, maka produksi sampah juga akan semakin
meningkat.
tinggal yang ditempati oleh sebuah keluarga, atau sekelompok rumah yang
berada dalam suatu kawasan permukiman, maupun unit rumah tinggal yang
berupa rumah susun. Dari rumah tinggal juga dapat dihasilkan sampah
golongan B3 (bahan berbahaya dan beracun), seperti misalnya baterai,
lampu, sisa obat-obatan, oli bekas, dan lainnya.
2. Sampah dari daerah komersial
Sumber sampah dari kelompok ini berasal dari pertokoan, pusat
perdagangan, pasar, hotel, dan perkantoran. Dari sumber ini umumnya
dihasilkan sampah berupa kertas, plastik, kayu, kaca, logam, dan juga sisa
makanan. Khusus dari pasar tradisional, banyak dihasilkan sisa sayur, buah,
makanan yang mudah membusuk. Secara umum sampah dari sumber ini
adalah mirip dengan sampah domestik tetapi dengan komposisi yang
berbeda.
3. Sampah dari perkantoran / Institusi
Sumber sampah dari kelompok ini meliputi perkantoran, sekolah,
rumah sakit dan lembaga pemasyarakatan. Dari sumber ini potensial
dihasilkan sampah seperti halnya dari daerah komersial non pasar.
4. Sampah dari Jalan/Taman dan Tempat Umum
Sumber sampah dari kelompok ini dapat berupa jalan kota, taman,
tempat parkir, tempat rekreasi dan saluran drainase kota. Dari daerah ini
umumnya dihasilkan sampah berupa daun/dahan pohon, pasir/lumpur,
sampah umum seperti plastik, kertas, dan lainnya. Sampah yang dikelola di
perkotaan adalah semua sampah yang timbul di kota baik sampah domestik
maupun non domestik dan tidak termasuk sampah bahan berbahaya dan
beracun (B3). Sampah bahan berbahaya dan beracun seperti sampah medis
dan sampah industri, harus dilakukan penanganan khusus agar tidak
membahayakan kualitas lingkungan.
dan fasilitas tidak memadai maka akan menimbulkan dampak yang berpotensi
mengganggu lingkungan.
Sampai saat ini paradigma pengelolaan sampah yang digunakan adalah
kumpul, angkut dan buang, dan andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan
masalah sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA
(Damanhuri, 2008). Berikut ini merupakan dampak yang ditimbulkan akibat
masalah sampah, antara lain (Ardianti, 2011):
a. Perkembangan Faktor Penyakit
Wadah sampah merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan
faktor penyakit terutama lalat dan tikus. Hal ini disebabkan dalam wadah
sampah tersedia sisa makanan dalam jumlah yang besar. Tempat
penampungan sementara/kontainer juga merupakan tempat berkembangnya
faktor tersebut karena alasan yang sama. Sudah tentu ini akan menurunkan
kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya. Faktor penyakit terutama lalat
sangat potensial berkembangbiak di lokasi TPA. Hal ini terutama
disebabkan oleh frekuensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai
ketentuan, sehingga siklus hidup lalat dari telur menjadi larva telah
berlangsung sebelum penutupan dilaksanakan. Gangguan akibat lalat
umumnya dapat ditemui sampai radius 1-2 km dari lokasi TPA.
b. Pencemaran Udara
Sampah yang menumpuk dan tidak segera terangkut merupakan sumber
bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah sensitif sekitarnya
seperti permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-lain. Pembakaran
sampah seringkali terjadi pada sumber dan lokasi pengumpulan terutama
bila terjadi penundaan proses pengangkutan sehingga menyebabkan
kapasitas tempat terlampaui. Asap yang timbul sangat potensial
menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya. Pembongkaran
sampah dengan volume yang besar dalam lokasi pengolahan berpotensi
menimbulkan gangguan bau. Disamping itu juga sangat mungkin terjadi
pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi yang tidak
memenuhi syarat teknis.
30
c. Pencemaran Air
Sarana dan prasarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial
menghasilkan lindi terutama pada saat turun hujan. Aliran lindi ke saluran
atau tanah sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran. Instalasi
pengolahan berskala besar menampung sampah dalam jumlah yang cukup
besar pula sehingga potensi lindi yang dihasilkan di instalasi juga cukup
potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di sekitarnya. Lindi
yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan sekitarnya baik
berupa rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah di bawahnya.
Pada lahan yang terletak di kemiringan, kecepatan aliran air tanah akan
cukup tinggi sehingga dimungkinkan terjadi cemaran terhadap susia
penduduk yang terletak pada elevasi yang lebih rendah. Pencemaran lindi
juga dapat terjadi akibat pengolahan yang belum memenuhi syarat untuk
dibuang ke badan air penerima. Karakteristik pencemar lindi yang sangat
besar akan sangat mempengaruhi kondisi badan air penerima terutama air
permukaan yang dengan mudah mengalami kekurangan oksigen terlarut
sehingga mematikan biota yang ada.
d. Pencemaran Tanah
Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di
lahan kosong atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan
menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya
sampah organik dan mungkin juga mengandung bahan buangan berbahaya
(B3). Bila hal ini terjadi maka akan diperlukan waktu yang sangat lama
sampai sampah terdegradasi atau larut dari lokasi tersebut. Selama waktu
itu lahan setempat berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap
manusia dan lingkungan sekitarnya.
sebagai contoh gas metan (CH4) yang terjadi sebagai akibat dekomposisi bahan
organik oleh bakteri pengurai. Emisi yang disebabkan oleh kegiatan manusia
disebut anthropogenic emissions. Contoh emisi udara yang disebabkan oleh
kegiatan manusia adalah hasil pembakaran bahan fosil (bensin, solar, batubara),
pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara dan sebagainya. Beberapa
jenis pencemar udara yang paling sering ditemukan di TPA antara lain sulfur
dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), metan (CH4), hidrogen sulfida (H2S),
suhu, dan kelembaban.
1. Sulfur Dioksida
Sulfur dioksida merupakan ikatan yang tidak stabil dan sangat reaktif
terhadap gas yang lain. Ciri lainnya yaitu tidak berwarna, berbau tajam,
sangat mengiritasi kulit, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak.
Pengukuran konsentrasi asam sulfat (H2SO4) bersama-sama dengan SO2
merupakan hal yang penting karena H2SO4 mempunyai sifat iritasi yang
lebih kuat. SO2 merupakan Universitas Sumatera Utara 14 polutan yang
berbahaya bagi kesehatan terutama bagi penderita penyakit kronis sistem
pernapasan dan kardiovaskuler. Penderita tersebut sangat sensitif kontak
dengan SO2, meskipun pada konsentrasi yang relatif rendah.
Sumber pencemaran SO2 di udara 66% berasal dari alam yaitu gunung
berapi dalam bentuk H2S dan oksida, sedangkan sisanya berasal dari
pembakaran batu arang, minyak bakar, kayu, kilang minyak, industri
petrolium, industri asam sulfat, dan industri peleburan baja. SO2 berasal
dari oskidasi logam sulfida misalnya ZnS, PbS, dan CuS. Dalam jumlah
yang kecil SO2 hanya terdeteksi lewat bau, sedangkan dalam jumlah besar
berpengaruh terhadap kesehatan manusia karena menyebabkan iritasi
pada mata, tenggorokan, dan juga batuk.
2. Nitrogen Dioksida
Gas NO yang mencemari udara secara visual sulit diamati karena gas
tersebut tidak bewarna dan tidak berbau. Sedangkan gas NO2 bila
mencemari udara mudah diamati dari baunya yang sangat menyengat dan
warnanya merah kecoklatan. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 empat kali
lebih kuat dari pada toksisitas gas NO. Organ tubuh yang paling peka
32
1. Status Imunisasi
2. Status Gizi
1. Usia
2. Jenis Kelamin Kejadian
3. Pembakaran sampah Pneumonia
4. Merokok dalam rumah
37
2.5.3 Hipotesis
Ha:
Ho:
38
39
Karakteristik
Responden
Seorang anak dikatakan balita 1. 2-12 bulan
Balita apabila berusia 2 bulan sampai Rekam Medis 2. 13-60 bulan Ordinal
1 dengan 60 bulan. (Menkes RI 2014)
3.4 Populasi
Dalam penelitian ini terdapat dua populasi yaitu :
1. Populasi kasus adalah balita dengan diagnosis pneumonia di desa
kujangsari yang terdata di Puskesmas Langensari 1 sejumlah 33 kasus
terhitung periode januari-maret tahun 2019.
2. Populasi kontrol adalah balita dari desa Kujangsari yang tidak dinyatakan
pneumonia serta tidak memiliki gejala klinis pneumonia yang di konfirmasi
dengan rekam medis Puskesmas Langensari 1.
3.5 Sampel
3.5.1 Sampel kasus
Pemilihan sampel kasus pada kelompok kasus digunakan total
sampling yang berarti keseluruhan populasi menjadi sampel penelitian.
Kelompok kasus berjumlah 33 kasus pneumonia pada balita.
3.5.2 Sampel kontrol
Jumlah sampel kontrol pada penelitian ini menggunakan
perbandingan kelompok kasus : kelompok kontrol yaitu 1 : 1. Pemilihan
perbandingan 1 : 1 dikarenakan alasan teknis penelitian ini, yaitu masalah
penghematan waktu penelitian, dan selain itu untuk memudahkan
peneliti dalam proses pengambilan data penelitian. Jumlah sampel
kontrol sama dengan jumlah sampel kasus yaitu 33 responden.
Diharapkan dengan jumlah kelompok kontrol sebesar 33 dapat
meminimalisir kurangnya jumlah sampel apabila terdapat sampel yang
dropout. Sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive
sampling, yaitu dengan memilih sampel berdasarkan kriteria tertentu
yang telah ditetapkan oleh peneliti.
b. Coding
Dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing pertanyaan dan
jawaban dengan kode berupa angka, sehingga memudahkan proses
pemasukan data di komputer
c. Scoring
Pada tahap skoring ini peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan skor
yang ditentukan berdasarkan kuesioner yang telah terisi berdasarkan hasil
wawancara dengan responden
d. Tabulating
Kegiatan tabulating meliputi memasukan data-data hasil penelitian ke dalam
table-tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang
telah ditentukan skornya
e. Data Entry
Tahap terakhir dalam penelitian ini yaitu memproses data, yang dilakukan
oleh peneliti adalah memasukkan data dari kuesioner kedalam program
statistic SPSS
f. Processing
Setelah diedit dan dikoding, diproses melalui program SPSS dengan
menggunakan uji Chi-square.
g. Cleaning
46
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk membuktikan hipotesis dan mencari
hubungan dua variable. Analisa dilakukan menggunakan perangkat lunak
SPSS 25.0 for Windows dengan uji-chi square. Kedua variabel dalam
penelitian ini memiliki kategori ordinal. Keluaran dari uji korelasi adalah Pvalu
dan arah korelasi. Pvalue dinyatakan secara statistik bermakna apabila Pvalue <
α. Pada umumnya, α yang digunakan adalah 0.05.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
47
48
3 10 - 14 478 437
4 15 - 19 542 484
5 20 - 24 537 517
6 25 - 29 539 460
7 30 - 34 492 389
8 35 - 39 405 437
9 40 - 44 345 391
10 45 - 49 380 428
11 50 - 54 332 400
12 55 - 59 318 339
13 60 - 64 253 236
14 65 - 69 217 198
15 70 - 74 106 152
maka terdapat variabel yang bermakna. Sedangkan, jika p>a maka artinya tidak
ada hubungan yang bermakna.
Diagnosis P- OR CI (95%)
Variabel value
Pneumonia Non-
pneumonia Total
Usia N N N
(%) (%) (%)
11 10 21
2-12 bulan (52,4%) (47,6%) (100%)
22 23 45 0,792 1,150 0,408 –
13 – 60 bulan (48,9%) (51,1%) (100%) 3,243
33 33 66
Total (100%) (100%) (100%)
Diagnosis P- OR CI (95%)
Variabel value
Pneumonia Non-
pneumonia Total
Jenis Kelamin N N N
(%) (%) (%)
21 18 39
Laki-laki (53,8%) (46,2%) (100%)
12 15 27 0,564 1,458 0,544 –
Perempuan (44,4%) (55,6%) (100%) 3,910
33 33 66
Total (100%) (100%) (100%)
Diagnosis P- OR CI (95%)
Variabel value
Pneumonia Non-
pneumonia Total
Perilaku N N N
merokok dalam (%) (%) (%)
rumah
20 6 26
Ada (76,9%) (23,1%) (100%)
13 27 40 0,000 6,923 2,243-
Tidak ada (32,5%) (67,5%) (100%) 21,367
33 33 66
Total (100%) (100%) (100%)
Diagnosis P- OR CI (95%)
Variabel value
Pneumonia Non-
pneumonia Total
Kebiasaan N N N
Pembakaran (%) (%) (%)
Sampah
Sampah dibakar 27 22 49
(55,1%) (24,5%) (100%)
Sampah tidak 6 11 17 0,159 2.250 0.717 –
dibakar (8,5%) (8,5%) (100%) 7.056
33 33 66
Total (100%) (100%) (100%)
4.3 Pembahasan
4.3.1 Hubungan Usia dengan Kejadian Pneumonia pada Balita
Dari data yang sudah didapatkan balita yang berusia 13-60 bulan lebih
rentan terhadap pneumonia dibanding anak-anak yang berusia 2-12 bulan, anak
– anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terkena pneumoni karena sistem
kekebalan tubuh yang belum sempurna dan saluran napas yang relatif lebih
sempit (Depkes RI, 2004), hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa usia tidak
berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita. Berdasarkan hasil analisa
menggunakan uji chi-square menunjukkan p-value 0.792 (p>0.05). Hal ini
sesuai dengan penelitian oleh Setyoningrum dan Setyowati di RSUD
Dr.Soetomo menyatakan bahwa usia tidak berkaitan dengan kejadian
pneumonia pada balita dikarenakan oleh banyak faktor penyebab dari
pneumonia. Kejadian Pneumonia lebih berpengaruh karena faktor lingkungan
itu sendiri seperti Paparan asap rokok ataupun asap dari pembakaran sampah,
asap pembakaran yang dihasilkan oleh sampah akan menyebabkan rangsangan
pada saluran pernapasan pada balita, sehingga balita menjadi rentan mengalami
batuk, sesak nafas, sakit kepala dan pusing. Bila terus dibiarkan kondisi ini akan
memperberat terjadinya penyakit pneumoni.
Status gizi juga mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita karena
balita dengan status gizi kurang memiliki risiko 9,1 kali lebih besar untuk
terkena pneumonia dibandingkan balita dengan status gizi baik. Imunisasi juga
sangat berpengaruh terhadap kejadian pneumonia karena imunisasi dapat
menekan terjadinya angka pneumonia pada balita. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan David M le Roux dkk yang menyatakan bahwa usia
memiliki hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita dengan p-value
0.01(p<0.05). Penelitian lain yang dilakukan oleh Nana Aldriana di Puskesmas
Rambah Samo tahun 2014 juga menyatakan bahwa usia memiliki hubungan
dengan kejadian pneumonia balita dengan p-value 0.002 (p<0.05). Penelitian
yang dilakukan oleh Dian Ayu di Jakarta pada tahun 2014 juga menyatakan
bahwa usia memiliki hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita dengan
p-value 0.001 (p<0.05).
57
Untuk hasil uji chi-square menunjukkan nilai p-value sebesar 0.000 (p<
0.05), hasil ini dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara
kejadian pneumonia balita pada keluarga yang merokok didalam rumah dengan
keluarga yang tidak merokok dalam rumah serta didapatkan nilai nilai OR 6,923
yang berarti bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan perilaku
merokok dalam rumah balitanya beresiko 6,9 kali lebih beresiko terserang
pneumonia dibandingkan dengan keluarga yang tidak merokok di dalam rumah.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Almer Aprilioza pada
tahun 2015 yang mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara kejadian pneumonia pada balita dengan kebiasaan merokok didalam
rumah dengan p-value 0.049. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hadi Saputra pada tahun 2017 yang menunjukkan bahwa
perbedaan yang signifikan pada kejadian ISPA balita pada keluarga yang
merokok dalam rumah dan keluarga yang tidak merokok dengan p-value 0.028.
hal ini juga sesuai dengan teori WHO yang menyatakan bahwa salah satu faktor
resiko peningkatan kerentanan pada anak untuk terjadinya pneumonia adalah
orang tua yang merokok.
penyakit bronkhitis, pneumonia, dan infeksi saluran napas lainnya (Edlin dan
Golanty, 2010).
2012). Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan,
dan 200 diantaranya sangat berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok
adalah nikotin, tar, dan karbon monoksida (Bambang,2006)
Rokok kretek memicu pertumbuhan sel kanker di trakea, sementara rokok filter
menumbuhkan sel kanker di perifer bronkus.
Asap rokok dapat dikelompokkan menjadi fase tar dan fase gas. Pada fase
tar yaitu bahan yang terserap dari penyaringan asap rokok menggunakan filter
catridge dengan ukuran partikel >0,1µm termasuk nikotin dan gas. Fase ini
memiliki kandungan >1017 radikal bebas per gram, dan >1015 radikal bebas tiap
kali isapan. Radikal bebas dari fase tar memiliki waktu paruh lebih lama, yaitu
dalam beberapa jam sampai bulan, sedangkan radikal bebas dari fase asap gas
hanya memiliki waktu baru beberapa detik.
Paparan asap rokok lingkungan sebagai salah satu faktor risiko timbulnya
infeksi saluran pernapasan, satu batang rokok yang dinyalakan akan
menghasilkan asap sampingan sekitar 10 menit, sementara asap utamanya hanya
akan dikeluarkan pada waktu rokok itu dihisap dan biasanya hanya kurang dari
1 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu ke udara bebas sebelum
dihisap oleh perokok pasif, tetapi kadar berbahayanya lebih tinggi dari pada asap
utama, maka perokok pasif tetap menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok
disekitarnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sri Tanjung pada tahun
2016, semakin lama balita terpapar asap rokok setiap hari maka semakin tinggi
risiko balita terkena infeksi saluran napas karena asap rokok yang mengganggu
sistem pertahanan respirasi. Menurut Corwin (2009) menyatakan bahwa
merokok mengganggu efektivitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi,
Produk produk asap rokok merangsang pembentukan mucus dan menurunkan
pergerakan silia, dengan demikian terjadi penimbunan mucus dan peningkatan
risiko pertumbuhan bakteri sehingga memperudah timbulnya ISPA.
62
warga lainnya memilah sampah terlebih dahulu. Sampah yang di bakar oleh
warga sebanyak 47,0% merupakan sampah yang tidak mudah di urai dan 40,9%
merupakan pembakaran sampah yang mudah di urai. Pembakaran sampah
anorganik seperti plastik menghasilkan zat aktif nitrogen dioksida yang dapat
mengakibatkan gangguan pada saluran pernafasan (Fardiaz, 2012).
Keadaan ventilasi rumah yang baik juga dapat menurunkan risiko untuk
meningkatkan angka kejadian pneumonia. Hasil puskesmas Langensari 1 untuk
ventilasi di desa Kujangsari menunjukkan memenuhi syarat sebesar 96.76% dan
tidak memenuhi syarat sebesar 4.28%. Ventilasi rumah mempunyai banyak
fungsi. Ventilasi yang baik akan menyebabkan banyaknya kadar O 2 didalam
rumah yang berarti kadar CO2 akan menurun. Sehingga sirkulasi atau aliran
udara didalam rumah lancar yang dapat membawa bakteri keluar rumah dan
dapat menurunkan paparan asap yang berasal dari sampah dibakar
(Suhandayani, 2017).
BAB V
64
5.2 Saran
1. Bagi Ibu yang Memiliki Anak Balita
Kepada orang tua khususnya ibu balita untuk menjauhkan balita dari
paparan asap rokok dan mengharuskan anggota keluarga merokok di luar
rumah, dengan cara jika ada yang merokok balita tidak di izinkan untuk
berdekatan dengan orang tersebut, setelah anggota keluarga merokok maka
di haruskan mencuci tangan ataupun mengganti pakaian nya jika ingin
bersentuhan dengan balita.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti kembali variable
kebiasaan pembakaran sampah dengan lebih mendalam dengan
kejadian pneumonia balita
b. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian kualitatif
tentang sulit nya perilaku manusia yang tidak dapat meninggalkan
rokok
3. Bagi Puskesmas Langensari 1
Puskesmas Langensari 1 diharapkan harus lebih meningkatkan kembali
pelaksanaan promosi PHBS teruta perilaku merokok dalam rumah dan
Rumah Tangga Sehat dimana kedua hal ini memiliki pengaruh yang cukup
besar terhadap kejadian infeksi saluran napas khusunya pneumonia,
sehingga hal ini di harapkan dapat menurunkan tingginya perilaku merokok
dalam rumah tangga dimana tempat balita tinggal.
DAFTAR PUSTAKA
( )
70
Lampiran 2. Form Observasi
A. Data Demografi
Nama Balita :
Nama Kepala Keluarga :
Alamat :
Usia :
Jenis Kelamin :
B. Status Kesehatan Balita
1. Status gizi
a. BB/U :
b. TB/U :
c. BB/TB :
2. Imunisasi
a. Lengkap
b. Tidak lengkap
C. Perilaku Merokok Dalam Rumah
1. Apakah ada anggota keluarga yang merokok ?
a. ya b. tidak
2. Apakah anggota keluarga merokok dalam rumah?
a. ya b. tidak
3. Ketika ada anggota keluarga yang merokok, apa jendela tertutup?
a. ya b. tidak
4. berapa banyak rokok yang dihabiskan oleh anggota keluarga yang
merokok dalam 1 hari?
a. ≤ 20 batang b. > 20 batang
5. Berapa lama rumah ibu terpapar asap rokok dalam waktu satu hari?
a. ≤30 menit b. >30 menit
6. Jika ada yang merokok di sekitar balita, apakah balita tetap berada
dekat dengan perokok tersebut?
a. ya b. tidak
7. Jenis rokok apa yang dikonsumsi oleh anggota keluarga ibu yang
merokok?
a. filter b. non filter\
8. Jika anggota keluarga merokok diluar rumah, apakah jarak merokok
dari rumah >10 meter?
a. ya b. Tidak
D. Kebiasaan Pembakaran Sampah
1. Apakah dirumah tersedia tempat pembuangan sampah?
a. ya b. tidak
2. Apakah di rumah sampah tidak di pilah menjadi organik (daun, sisa
makan, kulit buah) dan sampah anorganik (plastik, ember, kresek)
sebelum di buang?
A, ya b. tidak
3. Apakah sampah yang ada dibuang dengan cara dibakar?
a. ya b. tidak
4. Jika ya, apakah sampah yang dibakar adalah sampah yang mudah
diurai (daun, sisa makanan, kulit buah, dan lain-lain)?
a. Ya b. tidak
5. Apakah pembakaran sampah dilakukan tidak dekat dari rumah (>10
meter)?
a. ya b. tidak
6. Jika dilakukan pembakaran sampah dekat rumah, apakah ventilasi
ditutup?
a. ya b. tidak
7. kapan pembakaran sampah biasa di lakukan?
a. Pagi atau siang b. sore atau malam
8. Apakah pembakaran sampah dilakukan < 3x dalam satu minggu?
a. ya b. Tidak
Lampiran 3. Lembar Persetujuan Dinas Kesehatan Kota Banjar
Lampiran 4. Daftar Coding Responden Penelitian
No Total
Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Answer
1 2 3 4 5 6 7 8
1 14
1 2 2 2 2 2 1 2
2 10
1 1 2 1 1 2 1 1
3 14
1 2 2 2 2 2 2 1
4 15
1 2 2 2 2 2 2 2
5 16
2 2 2 2 2 2 2 2
6 16
2 2 2 2 2 2 2 2
7 16
2 2 2 2 2 2 2 2
8 13
1 2 2 2 2 2 1 1
9 11
1 2 1 2 2 1 1 1
10 16
2 2 2 2 2 2 2 2
11 13
1 2 2 2 2 1 2 1
12 13
1 2 2 2 2 1 2 1
13 10
1 1 1 1 2 1 1 2
14 10
1 1 1 1 2 1 1 2
15 16
2 2 2 2 2 2 2 2
16 10
1 1 2 1 1 1 1 2
17 12
1 2 2 2 1 1 1 2
18 12
1 1 2 2 1 1 2 2
19 11
1 1 1 2 2 1 2 1
20 16
2 2 2 2 2 2 2 2
21 15
2 2 2 2 1 2 2 2
22 11
1 2 2 2 1 1 1 1
23 16
2 2 2 2 2 2 2 2
24 12
1 1 2 1 2 2 2 1
25 14
1 2 2 2 2 2 1 2
26 10
1 1 2 1 1 2 1 1
27 14
1 2 2 2 2 2 2 1
28 15
1 2 2 2 2 2 2 2
29 16
2 2 2 2 2 2 2 2
30 16
2 2 2 2 2 2 2 2
Lampiran 6. Daftar Coding Responden Validasi Kuisioner Kebiasaan
Pembakaran Sampah
No Total
Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Answer
1 2 3 4 5 6 7 8
1 12
2 2 1 1 1 1 2 2
2 13
2 2 1 1 1 2 2 2
3 10
2 1 1 1 1 2 1 1
4 15
2 1 2 2 2 2 2 2
5 12
2 2 1 2 1 1 1 2
6 11
2 1 1 1 1 1 2 2
7 12
2 2 1 1 1 1 2 2
8 11
1 2 1 1 1 1 2 2
9 14
1 1 2 2 2 2 2 2
10 15
1 2 2 2 2 2 2 2
11 11
2 2 1 1 2 1 1 1
12 11
1 2 2 1 1 1 2 1
13 8
1 1 1 1 1 1 1 1
14 8
1 1 1 1 1 1 1 1
15 9
1 1 1 1 2 1 1 1
16 12
2 2 1 1 1 2 2 1
17 10
2 1 1 1 2 1 1 1
18 10
2 1 1 1 1 1 2 1
19 8
1 1 1 1 1 1 1 1
20 9
1 1 1 1 1 1 2 1
21 12
2 1 1 1 2 1 2 2
22 13
2 1 1 1 2 2 2 2
23 15
2 2 2 1 2 2 2 2
24 13
2 2 1 1 2 2 1 2
25 12
2 2 1 1 1 1 2 2
26 13
2 2 1 1 1 2 2 2
27 10
2 1 1 1 1 2 1 1
28 15
2 1 2 2 2 2 2 2
29 12
2 2 1 2 1 1 1 2
30 11
2 1 1 1 1 1 2 2
Lampiran 7. Hasil SPSS Responden Penelitian
Alamat
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Sindangmulya 14 21.2 21.2 21.2
Sindangasih 13 19.7 19.7 40.9
Cijurey 14 21.2 21.2 62.1
Citangkolo 12 18.2 18.2 80.3
Kalapasabrang 13 19.7 19.7 100.0
Total 66 100.0 100.0
Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 0-12 bulan 21 31.8 31.8 31.8
13-60 bulan 45 68.2 68.2 100.0
Total 66 100.0 100.0
jenis_kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki laki 39 59.1 59.1 59.1
perempuan 27 40.9 40.9 100.0
Total 66 100.0 100.0
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .070a 1 .792
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .070 1 .792
Fisher's Exact Test 1.000 .500
Linear-by-Linear .069 1 .793
Association
N of Valid Cases 66
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Usia (0-12 bulan / 13-60 bulan) 1.150 .408 3.243
For cohort Diagnosis Pneumonia = Pneumonia 1.071 .646 1.776
For cohort Diagnosis Pneumonia = Bukan .932 .547 1.586
Pneumonia
N of Valid Cases 66
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .564a 1 .453
Continuity Correctionb .251 1 .617
Likelihood Ratio .565 1 .452
Fisher's Exact Test .617 .309
Linear-by-Linear .556 1 .456
Association
N of Valid Cases 66
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for jenis_kelamin (laki laki / perempuan) 1.458 .544 3.910
For cohort Diagnosis Pneumonia = Pneumonia 1.212 .726 2.022
For cohort Diagnosis Pneumonia = Bukan .831 .515 1.340
Pneumonia
N of Valid Cases 66
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Perilaku Merokok Dalam Rumah 6.923 2.243 21.367
(Merokok di dalam rumah / Tidak Merokok dalam rumah)
For cohort Diagnosis Pneumonia = Pneumonia 2.367 1.445 3.878
For cohort Diagnosis Pneumonia = Bukan Pneumonia .342 .164 .712
N of Valid Cases 66
Kebiasaan Pembakaran Sampah * Diagnosis Pneumonia Crosstabulation
Diagnosis Pneumonia
Pneumo Bukan
nia Pneumonia Total
Kebiasaa Kebiasaan Count 27 22 49
n membakar % within Kebiasaan Pembakaran 55.1% 44.9% 100.0%
Pembaka sampah Sampah
ran % within Diagnosis Pneumonia 81.8% 66.7% 74.2%
Sampah Sampah Count 6 11 17
tidak % within Kebiasaan Pembakaran 35.3% 64.7% 100.0%
dibakar Sampah
% within Diagnosis Pneumonia 18.2% 33.3% 25.8%
Total Count 33 33 66
% within Kebiasaan Pembakaran 50.0% 50.0% 100.0%
Sampah
% within Diagnosis Pneumonia 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 1.981a 1 .159
Continuity Correctionb 1.268 1 .260
Likelihood Ratio 2.004 1 .157
Fisher's Exact Test .260 .130
Linear-by-Linear 1.951 1 .163
Association
N of Valid Cases 66
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kebiasaan Pembakaran Sampah (Kebiasaan 2.250 .717 7.056
membakar sampah / Sampah tidak dibakar)
For cohort Diagnosis Pneumonia = Pneumonia 1.561 .782 3.117
For cohort Diagnosis Pneumonia = Bukan Pneumonia .694 .434 1.109
N of Valid Cases 66
Lampiran 8. Hasil SPSS Responden Validasi Kuisioner
1. Kuisioner Perilaku Merokok dalam Rumah
Correlations
Quest Quest Quest Quest Quest Quest Quest Quest Total
1 2 3 4 5 6 7 8 Answer
Quest. 1 Pearson 1 .426* .277 .354 .223 .500** .538** .538** .776**
Correlation
Sig. (2-tailed) .019 .138 .055 .236 .005 .002 .002 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 2 Pearson .426* 1 .429* .829** .380* .373* .323 .167 .754**
Correlation
Sig. (2-tailed) .019 .018 .000 .038 .042 .081 .378 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 3 Pearson .277 .429* 1 .294 -.216 .555** .312 .109 .512**
Correlation
Sig. (2-tailed) .138 .018 .115 .251 .001 .093 .568 .004
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 4 Pearson .354 .829** .294 1 .315 .177 .484** .138 .690**
Correlation
Sig. (2-tailed) .055 .000 .115 .090 .350 .007 .466 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 5 Pearson .223 .380* -.216 .315 1 .279 .398* .071 .492**
Correlation
Sig. (2-tailed) .236 .038 .251 .090 .136 .029 .710 .006
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 6 Pearson .500** .373* .555** .177 .279 1 .342 .196 .672**
Correlation
Sig. (2-tailed) .005 .042 .001 .350 .136 .064 .300 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 7 Pearson .538** .323 .312 .484** .398* .342 1 .139 .701**
Correlation
Sig. (2-tailed) .002 .081 .093 .007 .029 .064 .465 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 8 Pearson .538** .167 .109 .138 .071 .196 .139 1 .486**
Correlation
Sig. (2-tailed) .002 .378 .568 .466 .710 .300 .465 .007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Total Pearson .776** .754** .512** .690** .492** .672** .701** .486** 1
Answer Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000 .004 .000 .006 .000 .000 .007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.757 9
Correlations
Quest Quest Quest Quest Quest Quest Quest Total
1 2 3 4 Quest 5 6 7 8 Answer
Quest 1 Pearson 1 .175 -.218 -.036 .045 .238 .106 .356 .395*
Correlation
Sig. (2-tailed) .355 .247 .849 .812 .206 .578 .053 .031
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 2 Pearson .175 1 .033 .033 -.157 .055 .157 .355 .394*
Correlation
Sig. (2-tailed) .355 .861 .861 .407 .775 .407 .055 .031
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 3 Pearson -.218 .033 1 .583** .484** .442* .380* .238 .636**
Correlation
Sig. (2-tailed) .247 .861 .001 .007 .014 .038 .205 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 4 Pearson -.036 .033 .583** 1 .311 .272 .035 .408* .554**
Correlation
Sig. (2-tailed) .849 .861 .001 .094 .146 .856 .025 .001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 5 Pearson .045 -.157 .484** .311 1 .367* .005 .198 .500**
Correlation
Sig. (2-tailed) .812 .407 .007 .094 .046 .980 .295 .005
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 6 Pearson .238 .055 .442* .272 .367* 1 .198 .250 .639**
Correlation
Sig. (2-tailed) .206 .775 .014 .146 .046 .295 .183 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 7 Pearson .106 .157 .380* .035 .005 .198 1 .508** .549**
Correlation
Sig. (2-tailed) .578 .407 .038 .856 .980 .295 .004 .002
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 8 Pearson .356 .355 .238 .408* .198 .250 .508** 1 .759**
Correlation
Sig. (2-tailed) .053 .055 .205 .025 .295 .183 .004 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Total Pearson .395* .394* .636** .554** .500** .639** .549** .759** 1
Answer Correlation
Sig. (2-tailed) .031 .031 .000 .001 .005 .000 .002 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Reliability Statistics
Cronbach's N of
Alpha Items
.728 9
Lampiran 9. Dokumentasi