Anda di halaman 1dari 103

Hubungan Antara Karakteristik Responden, Perilaku Merokok Anggota

Keluarga dalam Rumah dan Kebiasaan Pembakaran Sampah dengan Angka


Kejadian Pneumonia pada Balita di Desa Kujangsari Puskesmas Langensari
1 Bulan Januari-Maret 2019

PENELITIAN
Afina Insani Pracoyo 2018790013
Citra Putri Irawan 2018790031
Efrilia Adha Pohan 2018790040
Irda Novia Rahmawati 2018790060
Kusuma Intan 2018790071
Laiza Intan Puspita Ayu P 2018790073
Muhammad Afif Akbar 2018790083
Naufal Rahman Tejokusumo 2018790095
Mutiara Nurul Qalbi 2018790090
R. Luthfi Nur Fajri 2018790100
Rif’ah Naa’imah 2018790105
Syifa Rahmawati Putri 2018790119

Pembimbing :
dr. Pitut Aprilia Savitri, MKK
dr. Mamik Setyawati

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
Hubungan Antara Karakteristik Responden, Perilaku Merokok Anggota
Keluarga dalam Rumah dan Kebiasaan Pembakaran Sampah dengan Angka
Kejadian Pneumonia pada Balita di Desa Kujangsari Langensari 1 Bulan
Januari-Maret 2019

PENELITIAN
Afina Insani Pracoyo 2018790013
Citra Putri Irawan 2018790031
Efrilia Adha Pohan 2018790040
Irda Novia Rahmawati 2018790060
Kusuma Intan 2018790071
Laiza Intan Puspita Ayu P 2018790073
Muhammad Afif Akbar 2018790083
Naufal Rahman Tejokusumo 2018790095
Mutiara Nurul Qalbi 2018790090
R. Luthfi Nur Fajri 2018790100
Rif’ah Naa’imah 2018790105
Syifa Rahmawati Putri 2018790119

Pembimbing :
dr. Pitut Aprilia Savitri, MKK
dr. Mamik Setyawati

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Disetujui untuk diajukan pada seminar penelitian Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Pada hari : Senin

Tanggal : 29 April 2019

ii
PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI

HUBUNGAN KARAKTERISTIK RESPONDEN, PERILAKU MEROKOK


ANGGOTA KELUARGA DALAM RUMAH DAN KEBIASAAN
PEMBAKARAN SAMPAH DENGAN ANGKA KEJADIAN PNEUMONIA
PADA BALITA DI DESA KUJANGSARI DI PUSKESMAS LANGENSARI
1 BULAN JANUARI – MARET 2019

Telah disusun dan dipersiapkan oleh :

Afina Insani Pracoyo, S.Ked., Citra Putri Irawan S.Ked., Efrilia Adha Pohan
S.Ked., Irda Novia Rahmawati S.Ked., Kusuma Intan S.Ked., Laiza Intan Puspita
S.Ked., M. Afif Akbar S.Ked., Naufal Rahman Tejokusumo S.Ked., Mutiara
Nurul Qalbi S.Ked., Rif’ah Naa’imah S.Ked., Syifa Rahmawati Putri S.Ked.

TELAH DIUJI DAN DIPERTAHANKAN DIHADAPAN DEWAN PENGUJI

TANGGAL 29 APRIL 2019

Susunan Dewan Penguji

Pembimbing Utama

dr.Mamik Setiyawati

Penguji Penguji

dr.H.Agus Budiana Ekaputra dr. Pitut Aprilia Savitri, MKK

Mengetahui,

Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjar

dr.H. Herman, M.Kes

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbiil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan


kepada kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayat-Nya akhirnya
kami dapat menyelesaikan penyusunan penelitian kami. Penelitian ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir stase IKAKOM I
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, beserta
pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan penelitian ini kami mendapatkan banyak motivasi dan
bantuan serta kemudahan yang diberikan secara tulus oleh berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Kepala Dinas Kesehatan beserta jajarannya yang telah membimbing kami
dalam mengerjakan penelitian ini dan memberikan dukungan serta bantuan
disaat penulis sedang dalam kesulitan;
2. dr. Pitut Aprilia Savitri selaku dokter pembimbing di Kampus FKK UMJ
yang memberikan arahan dengan baik serta dukungan nya
3. dr. Mamik Setiyawati selaku dokter pembimbing di PKM Langensari 1 yang
selalu memberikan arahan dan dukungan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan tepat waktu;
4. dr. Irfan Yanuar Hilmi yang telah membantu membimbing kami untuk
menyelesaikan penelitain ini;
5. Staf-staf PKM Langensari 1 yang telah membantu kami untuk
menyelesaikan penelitian ini;
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan
serta jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan yang
bersifat membangun dan bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi pembaca.

Banjar, April 2019

Penyusun

iv
v

Hubungan Karakteristik Responden, Perilaku Anggota Keluarga yang


Merokok dalam Rumah dan Kebiasaan Pembakaran Sampah terhadap
Angka Kejadian Pneumonia Pada Balita di Desa Kujangsari Puskesmas
Langensari 1 Kecamatan Langensari Kota Banjar Periode 2 Januari - 30
Maret 2019
Afina Insani, Citra Putri, Efrilia Adha, Irda Novia, Kusuma Intan, Laiza Intan, M. Afif, Mutiara
Qalbi, Naufal Rahman, R.Luthfi, Rif’ah Naa’imah, Syifa Rahmawati*, Mamik Setiyawati, Irfan
Yanuar Hilmi**, Pitut Aprilia S***
* Mahasiswa Profesi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta
** Dokter Puskesmas, Puskesmas Langensari 1 Kecamatan Langensari Kota Banjar
*** Dosen Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta
ABSTRAK
Latar Belakang: Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah
utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun
yang sudah maju salah satu penyakit nya adalah pneumonia. Beberapa faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita adalah asap rokok dan asap
dari pembakaran. Di Jawa Barat insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi ke-4
(2,7% dan 4,5%). Sedangkan di puskesmas langensari 1 kejadian pneumonia balita
menjadi peringkat pertama dari 10 besar penyakit yang ada, dan insiden kejadian
pnemonia balita sebesar 5.2%.
Tujuan: Untuk mengetahui Hubungan Karakteristik Responden, Perilaku Anggota
Keluarga yang Merokok dalam Rumah dan Kebiasaan Pembakaran Sampah
terhadap Angka Kejadian Pneumonia Pada Balita di Desa Kujangsari Puskesmas
Langensari 1 Kecamatan Langensari Kota Banjar Periode 2 Januari - 30 Maret 2019.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan metode
rancangan case control. Pemilihan sampel kasus pada kelompok kasus digunakan
total sampling. Jumlah sampel kontrol pada penelitian ini menggunakan
perbandingan kelompok kasus : kelompok kontrol yaitu 1 : 1. Sehingga didapatkan
jumlah sampel 66 balita di Desa Kujangsari. Uji analisis yang digunakan dengan
Uji Chi-Square (CI=95% atau taraf kesalahan 0,05).
Hasil: Hasil penelitian antara usia dengan kejadian pneumonia pada balita
didapatkan OR 1,150 dan p value = 0.792 ( CI 95%). Hasil penelitian jenis kelamin
dengan kejadian pneumonia pada balita didapatkan OR 1,450 dan p value = 0.564
(CI 95%). Hasil penelitian antara perilaku anggota keluarga yang merokok di dalam
rumah dengan kejadian pneumonia pada balita didapatkan OR 6,923 dan p value =
0.000 (CI 95%). Hasil penelitian antara kebiasaan pembakaran sampah dengan
kejadian pneumonia pada balita didapatkan OR 2.250 dan p value = 0.159% (CI
95%).
Kesimpulan: Dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
usia, jenis kelamin dan kebiasaan membakar sampah dengan angka kejadian
pneumonia pada balita. Namun terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku
anggota keluarga yang merokok di dalam rumah dengan angka kejadian pneumonia
balita.
Kata Kunci: Karakteristik Reponden, Perilaku Merokok dalam rumah,
Pembakaran Saham, Balita terkena Pneumonia.

v
Relationship Between Respondents Characteristics, Smoking Habit of Family
Members Inside The House and The Habit of Burning Waste With the
Prevalence Rate of Pneumonia in Infants at Langensari 1 Health Center
Kujangsari Village Langensari district Banjar city Periode 2nd January to 30th
March 2019
Afina Insani, Citra Putri, Efrilia Adha, Irda Novia, Kusuma Intan, Laiza Intan, M. Afif, Mutiara
Qalbi, Naufal Rahman, R. Luthfi, Rif’ah Naa’imah, Syifa Rahmawati*, Mamik Setiyawati, Irfan
Yanuar Hilmi**, Pitut Aprilia S***
**Student of Medicine Program, Faculty of Medicine and Health, University of Muhammadiyah
Jakarta
**General Practitioner in Langensari 1 Health Center, Langensari district, Banjar city
***Medicine Lecture, Faculty of Medicine and Health, University of Muhammadiyah Jakarta

ABSTRACT
Background: lower respiratory tract infections are still a common problem in
health care, whether it be in a developing or a developed country one of these
infection is pneumonia. Several factors that can cause pneumonia in infants are
smoke coming from ciggaretes or burning waste. in West Java, pneumonia has the
4th highest incidence and prevalence rate (2.7% and 4.5% respectively), when in
Langensari 1 health center pneumonia has become the first out of the top 10
diseases that occurs, with an incidence rate of 5.2% in infants.
Aim: to identify the relationship between the respondents characteristic, behaviors
of family members who smoke inside the house dan habit of burning waste with the
incidence rate of pneumonia in infants at Langensari 1 Health Center, Kujangsari
village, Langensari district, Banjar City between the period of 2nd of January to
30th of March 2019.
Result: there are no significant correlation between age and the prevalence of
pneumonia in infants where the OR is 1.150 and p-value = 0.792 (CI 95%). gender
has no significant correlation with the prevalence of pneumonia in infants with an
OR 1.450 dan p-value = 0.564 (CI 95%). there is significant correlation between
smoking inside the house with the prevalence of pneumonia in infants with an OR
6.923 dan p-value = 0.000 (CI 95%). there is no significant correlation between
the habit of waste burning with the prevalence of pneumonia in infants with an OR
2.250 dan p-value = 0.159 (CI 95%)
Conclusion: there are no significant correlation between age, gender, and burning
waste habbits with pneumonia prevalences in infants, but there is a significant
correlation between smoking inside the house witu the prevalences of pneumonia
in infants.
Keywords: Respondent characteristics, habit of smoking inside the house, waste
burning, infants with pneumonia

vi
vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv


ABSTRAK .............................................................................................................. v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum...............................................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus ..............................................................................................3
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 4
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6
2.1 Balita......................................................................................................... 6
2.1.1 Pengertian Balita ..........................................................................................6
2.1.2 Karakteristik Balita ......................................................................................6
2.2 Pneumonia ................................................................................................ 7
2.2.1 Definisi Pneumonia......................................................................................7
2.2.2 Epidemiologi ................................................................................................7
2.2.3 Etiologi ..........................................................................................................7
2.2.4 Klasifikasi Pneumonia pada Balita ............................................................8
2.2.5 Faktor Risiko Pneumonia ............................................................................9
2.2.6 Manifestasi Klinis ......................................................................................14
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................15
2.2.8 Kriteria Diagnosis ......................................................................................15
2.2.9 Penatalaksanaan .........................................................................................18
2.2.10 Komplikasi ..................................................................................................20
2.3 Perilaku Merokok ................................................................................... 21
2.3.1 Definisi ........................................................................................................21
viii

2.3.2. Zat dalam rokok yang berperan dalam penumonia ................................22


2.3.3. Kualitas dan kuantitas merokok ...............................................................23
2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok ..........................24
2.3.5 Aspek-aspek Perilaku Merokok ...............................................................25
2.3.6 Dampak Perilaku Merokok .......................................................................26
2.4 Sampah ................................................................................................... 27
2.4.1 Definisi Sampah .........................................................................................27
2.4.2 Sumber Sampah..........................................................................................27
2.4.3 Sampah dan Permasalahannya ..................................................................28
2.4.4 Komponen Pencemar Udara .....................................................................30
2.4.5 Manajemen Pengelolaan Sampah.............................................................33
2.5 Kerangka Teori, Kerangka Konsep dan Hipotesis ................................. 36
2.5.1 Kerangka Teori ...........................................................................................36
2.5.2 Kerangka konsep ........................................................................................36
2.5.3 Hipotesis......................................................................................................37
BAB 3 METODE PENELITIAN......................................................................... 38
3.1 Jenis dan Desain Penelitian .................................................................... 38
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 38
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ........................................ 38
3.3.1 Variabel penelitian .....................................................................................38
3.3.2 Definisi operasional ...................................................................................39
3.4 Populasi .................................................................................................. 41
3.5 Sampel .................................................................................................... 41
3.5.1 Sampel kasus ..............................................................................................41
3.5.2 Sampel kontrol ...........................................................................................41
3.6 Kriteria Sampel....................................................................................... 41
3.6.1 Kriteria Kasus .............................................................................................41
3.6.2 Kriteria Kontrol ..........................................................................................42
3.7 Instrumen Penelitian ............................................................................... 42
3.7.1 Uji Validitas..................................................................................................42
3.7.2 Uji Reliabilitas............................................................................................44
3.8 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 44
ix

3.8.1 Alat Pengumpulan Data.............................................................................44


3.9 Teknik Pengolahan Data......................................................................... 45
3.10 Teknik Analisis Data .............................................................................. 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 47
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 47
4.1.1 Letak Geografis ..........................................................................................47
4.1.2 Keadaan Wilayah Penelitian .....................................................................48
4.2 Hasil Penelitian....................................................................................... 49
4.2.1 Analisis Univariat ......................................................................................50
4.2.2 Analisis Bivariat .........................................................................................51
4.3 Pembahasan ............................................................................................ 56
4.3.1 Hubungan Usia dengan Kejadian Pneumonia pada Balita ....................56
4.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Pneumonia ........................57
4.3.3 Hubungan Perilaku Anggota Keluarga yang Merokok dalam Ruman
dengan Kejadian Pneumonia ....................................................................57
4.3.4 Hubungan Kebiasaan Pembakaran Sampah dengan Kejadian
Pneumonia ..................................................................................................62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 63
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 64
5.2 Saran ....................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 70
x

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Klasifikasi pneumoni anak usia 2 bulan – 59 bulan ............................................8

Tabel 2. 2 Tanda dan Gejala Pneumonia pada Balita ......................................................14

Tabel 2. 3 Frekuensi Napas Penderita Pneumonia Balita ................................................15

Tabel 2. 4 Pemberian Antibiotik pada Anak ....................................................................18

Tabel 2. 5 Dosis Antipiretik parasetabol 10 mg/kgBB ....................................................19

Tabel 3. 1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………………………………..39

Tabel 3. 2 Hasil uji validitas Perilaku Merokok Dalam Rumah .......................................43

Tabel 3. 3 Hasil uji validitas Kebiasaan Pembakaran Sampah.........................................43

Tabel 4. 1 Luas Dusun Desa Kujangsari…………………………………………………..48

Tabel 4. 2 Gambaran Wilayah Desa Kujangsari ..............................................................48

Tabel 4. 3 Sebaran Usia di Desa Kujangsari ....................................................................49

Tabel 4. 4 Distribusi Karakteristik Responden ...............................................................50

Tabel 4. 5 Distribusi Diagnosis Pneumonia .....................................................................51

Tabel 4. 6 Hubungan usia dengan kejadian Pneumonia pada balita.................................52

Tabel 4. 7 Hubungan jenis kelamin dengan kejadian Pneumonia pada balita ..................53

Tabel 4. 8 Hubungan perilaku merokok dalam rumah dengan kejadian Pneumonia pada
balita...............................................................................................................54

Tabel 4. 9 Hubungan kebiasaan pembakaran sampah dengan kejadian pneumonia.........55


xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Persetujuan Responden


Lampiran 2. Form Obervasi
Lampiran 3. Lembar Persetujuan Dinas Kesehatan Kota Banjar
Lampiran 4. Daftar Coding Responden Penelitian
Lampiran 5. Daftar Coding Responden Validasi Kuisioner Perilaku Merokok
Anggota Keluarga dalam Rumah
Lampiran 6. Daftar Coding Responden Validasi Kuisioner Kebiasaan Pembakaran
Sampah
Lampiran 7. Hasil SPSS Responden Penelitian
Lampiran 8. Hasil SPSS Responden Validasi Kuisioner
Lampiran 9. Dokumentasi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama
dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang
sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. Pneumonia adalah radang
akut yang menyerang jaringan paru dan sekitarnya. Pneumonia merupakan
manifestasi infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang paling berat karena
dapat menyebabkan kematian. Penyebab pneumonia adalah berbagai macam
virus, bakteri atau jamur. Bakteri penyebab pneumonia yang tersering adalah
pneumokokus (Streptococcus pneumonia), HiB (Haemophilus influenza type b)
dan stafilokokus (Staphylococcus aureus). Virus penyebab pneumonia sangat
banyak, misalnya rhinovirus, respiratory syncytial virus (RSV), virus influenza.
Virus campak (morbili) juga dapat menyebabkan komplikasi berupa pneumonia.
Pneumonia juga penyebab utama kematian balita di dunia. Pada tahun
2015, World Health Organization (WHO) melaporkan hampir 6 juta anak balita
meninggal dunia, 16% dari jumlah tersebut disebabkan oleh pneumonia sebagai
pembunuh balita nomor 1 di dunia. Berdasarkan data Badan PBB untuk Anak-
Anak (UNICEF), pada 2015 terdapat kurang lebih 14 persen dari 147.000 anak
di bawah usia 5 tahun di Indonesia meninggal karena pneumonia. Dari statistik
tersebut, dapat diartikan sebanyak 2-3 anak di bawah usia 5 tahun meninggal
karena pneumonia setiap jamnya. Hal tersebut menyebabkan pneumonia
sebagai penyebab kematian utama bagi anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 (Riskesdas 2018)
menunjukkan bahwa insiden dan prevalensi kejadian pneumonia di Indonesia
adalah 4,5%. Jawa Barat menduduki insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi
ke-4 (2,7% dan 4,5%). Hasil data Dinas Kesehatan Kota Banjar menyebutkan
bahwa cakupan pneumonia pada balita mencapai 57% dari target 86% pada
tahun 2018. Puskesmas Langensari 1 merupakan salah satu Puskesmas di Kota
Banjar dengan ISPA sebagai peringkat pertama dari 10 besar penyakit yang ada,
pada tahun 2018 angka kesakitan Pneumonia pada balita mencapai 5,2% dari

1
2

3.266 balita yang tercatat dalam satu tahun. Dari sasaran target 151 balita
didapatkan kunjungan berobat ke puskesmas dengan pneumonia sebanyak 187
(123,84%), hal ini menunjukkan bahwa Puskesmas Langensari 1 jumlah
penderita pneumonia memenuhi target seharusnya.
Secara umum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian
pneumonia diantaranya faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor ekstrinsik
meliputi: pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil
pembakaran sampah atau bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang
tinggi), ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Sedangkan faktor intrinsik
meliputi: usia anak, status gizi, ASI ekslusif dan status imunisasi. Faktor
perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan infeksi pernapasan
pada bayi atau peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit
pneumonia.
Berdasarkan faktor risiko tersebut, salah satunya adalah faktor eksternal
yang dapat disebabkan dari pencemaran udara dalam rumah seperti asap rokok
dan pembakaran sampah. Kebiasaan kepala keluarga yang merokok di dalam
rumah dapat berdampak negatif bagi anggota keluarga khususnya balita.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok aktif sekitar 29,3%
dengan jumlah 65 juta perokok atau 225 miliar batang per tahun. Di Puskesmas
Langensari 1, berdasarkan data Perilaku Hidup Sehat dan Bersih (PHBS) tahun
2018 diketahui bahwa jumlah perokok di dalam rumah masih tinggi, dimana
diantaranya adalah rumah yang memiliki anak balita. Sedangkan hasil data dari
Puskesmas Langensari 1 didapatkan jumlah perilaku merokok didalam rumah
sebesar 27% artinya 3 dari 10 orang ini memiliki perilaku merokok didalam
rumah. Untuk Desa Kujangsari sendiri pun perilaku merokok didalam rumah
sebesar 31 %.
Sanitasi rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan angka kejadian
penyakit menular, terutama Pneumonia. Beberapa hal yang dapat
mempengaruhi kejadian penyakit Pneumonia pada balita adalah kondisi fisik
rumah, kebersihan rumah, kepadatan penghuni dan pencemaran udara dalam
rumah seperti pembakaran sampah. Ada pun hasil pembakaran sampah yang
didapatkan dari data Puskesmas Langensari 1 sebesar 64,50 % kebiasaan
3

membakar sampah yang dilakukan oleh warga di wilayah kerja puskesmas


langensari 1.
Oleh karena itu, peningkatan terjadinya pneumonia pada tahun 2018 di
Puskesmas Langensari I perlu kita teliti faktor manakah yang berperan dengan
terajadinya peningkatan ini. Maka peneliti tertarik dengan kasus ini, maka
penelitian dilakukan dengan judul “Hubungan Karakteristik Responden,
Perilaku Anggota Keluarga yang Merokok dalam Rumah dan Kebiasaan
Pembakaran Sampah terhadap Angka Kejadian Pneumonia Pada Balita di Desa
Kujangsari Puskesmas Langensari 1 Kecamatan Langensari Kota Banjar
Periode 2 Januari - 30 Maret 2019”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut “Bagaimana Hubungan Karakteristik Responden, Perilaku Anggota
Keluarga yang Merokok dalam Rumah dan Kebiasaan Pembakaran Sampah
terhadap Angka Kejadian Pneumonia Pada Balita di Desa Kujangsari
Puskesmas Langensari 1 Kecamatan Langensari Kota Banjar Periode 2 Januari
- 30 Maret 2019?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Karakteristik Responden, Perilaku
Merokok di dalam Rumah dan Kebiasaan Pembakaran Sampah terhadap
Angka Kejadian Pneumonia Pada Balita di Desa Kujangsari Puskesmas
Langensari 1 Kecamatan Langensari Kota Banjar Periode 2 Januari – 30
Maret 2019
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kejadian pneumonia pada balita di Desa Kujangsari
Puskesmas Langensari 1 Kecamatan Langensari Kota Banjar pada tanggal
2 Januari – 30 Maret 2019
2. Untuk mengetahui perilaku merokok di dalam rumah pada anggota
keluarga balita terdiagnosa pneumonia
4

3. Untuk mengetahui pembakaran sampah pada pada anggota keluarga balita


terdiagnosa pneumonia
4. Untuk mengetahui hubungan usia dengan angka kejadian pneumonia
balita di Desa Kujangsari Puskesmas Langensari 1 Kecamatan Langensari
Kota Banjar pada tanggal 2 Januari – 30 Maret 2019
5. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan angka kejadian
pneumonia balita di Desa Kujangsari Puskesmas Langensari 1 Kecamatan
Langensari Kota Banjar pada tanggal 2 Januari – 30 Maret 2019
6. Untuk mengetahui hubungan perilaku merokok di dalam rumah terhadap
angka kejadian pneumonia balita di Desa Kujangsari Puskesmas
Langensari 1 Kecamatan Langensari Kota Banjar pada tanggal 2 Januari
– 30 Maret 2019
7. Untuk mengetahui hubungan pembakaran sampah terhadap angka
kejadian pneumonia balita di Desa Kujangsari Puskesmas Langensari 1
Kota Banjar pada tanggal 2 Januari - 31 Maret 2019

1.4 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dibatasi hanya pada balita di Desa Kujangsari Kecamatan
Langensari Kota Banjar pada tanggal 2 Januari- 31 Maret 2019.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang kesehatan tentang
pneumonia yang terjadi di masyarakat
b. Dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan dan manfaat bagi
peneliti-peneliti selanjutnya
2. Bagi Peneliti
a. Memperoleh pengalaman dalam melaksanakan penelitian.
b. Menjadi tambahan ilmu pengetahuan pada subjek terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.
3. Bagi Masyarakat
5

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai informasi untuk mendeteksi awal


pneumonia dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya pneumonia balita serta pengetahuan pentingnya pengelolaan rumah
sehat dan PHBS
4. Bagi Instansi Kesehatan Puskesmas Langensari 1 dan Dinas Kesehatan Banjar
Hasil Penelitian ini dapat dijadikan masukan dan pertimbangan dalam
membuat kebijakan-kebijakan dibidang kesehatan di masa mendatang
khususnya dalam pencegahan dan penatalaksanaan pasien dengan pneumonia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Balita
2.1.1 Pengertian Balita
Anak bawah lima tahun atau sering disebut sebagai anak Balita adalah anak
yang telah menginjak usia diatas satu tahun sampai dibawah usia lima tahun
atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12 – 59 bulan (Kemenkes,
2015). Sedangkan menurut Soetjiningsih pada tahun 2001 balita adalah anak
dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik pertumbuhan cepat pada
usia 0-1 tahun, dimana usia 5 bulan berat badan naik 2 kali berat badan
lahir dan berat badan naik 3 kali dari berat badan lahir pada usia 1 tahun dan
menjadi 4 kali pada usia 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra
sekolah kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg per tahun, kemudian
pertumbuhan konstan mulai berakhir.
Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat
dalam pencapaian keoptimalan fungsinya, pertumbuhan dasar yang akan
mempengaruhi sertamenentukan perkembangan kemampuan berbahasa,
kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia (Supartini, 2004).
Satus gizi anak balita diukur berdasarkan usia (U), berat badan (BB) dan
tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan
digital yang memiliki presisi 0,1kg, panjang atau tinggi badan diukur
menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan
TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri yaitu BB/U,
TB/U dan BB/TB (Kemenkes, 2015).

2.1.2 Karakteristik Balita


Septiari (2012) menyatakan karakteristik balita dibagi menjadi dua yaitu:
1. Anak usia 1-3 tahun
Usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinyaanak menerima
makanan yang disediakan orang tuanya. Laju pertumbuhan usia balita
lebih besar dari usia prasekolah, sehingga diperlukan jumlah makanan
yang relatif besar. Perut yang lebih kecil menyebabkan jumlah makanan

6
7

yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil bila


dibandingkan dengananak yang usianya lebih besar oleh sebab itu, pola
makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.
2. Anak usia prasekolah (3-5 tahun)
Usia 3-5 tahunanak menjadi konsumen aktif. Anak sudah mulai
memilih makananyang disukainya. Pada usiaini berat badan anak
cenderung mengalami penurunan, disebabkan karena anak beraktivitas
lebih banyak dan mulai memilih maupun menolak makanan yang
disediakan orang tuanya.

2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia merupaan infeksi akut parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstisial
2.2.2 Epidemiologi
Pneumoni masih merupakan masalah kesehatan utama dan
menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara
berkembang. Penyakit ini juga merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak usia < 5 tahun. Insiden pneumonia pada anak < 5 tahun
adalah 10-20 kasus/100 anak/ tahun dinegara berkembang dan 2-4 kasus/
anak/ tahun di negara maju.
2.2.3 Etiologi
Berdasarkan studi mikrobiologik penyebab utama pneumonia anak
balita adalah streptococcus pneumoniae/ pneumococcus (30-50%) dan
hemophilus influenzae type b/ Hib (10-30%), diikuti staphylococcus aureus
dan klebsiela pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain seperti mycoplasma
pneumonia, chlamydia spp, pseudomonas spp, escherichia coli. Pneumonia
pada neonatus banyak disebabkan bakteri gram negatif seperti klebsiella spp
dan bakteri gram positif seperti S. Pneumoniae, S. Aureus. Penyebab
pneumonia karena virus disebabkan respiratory syncytial virus (RSV),
diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan
adenovirus. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh bahan-bahan lain misal
8

bahan kimia (aspirasi makan/susu atau keracunan hidrokarbon pada minyak


tanah atau bensin)
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia banyak disebabkan
bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan
dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram negatif.

o Klebsiella pneumoniae 45,18%


o Streptococcus pneumoniae 14,04%
o Streptococcus viridans 9,21%
o Staphylococcus aureus 9%
o Pseudomonas aeruginosa 8,56%
o Steptococcus hemolyticus 7,89%
o Enterobacter 5,26%
o Pseudomonas spp 0,9%

2.2.4 Klasifikasi Pneumonia pada Balita


Tabel 2. 1 Klasifikasi pneumoni anak usia 2 bulan – 59 bulan

Klasifikasi Tanda bahaya


Pneumonia Napas cepat
- > 50 kali/menit pda anak usia 2
bulan – < 12bulan
- >40 kali/menit pada usia 12 bulan –
29 bulan
Pneuoni berat - Tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam (retraksi otot bantu napas)
- Saturasi O2 < 90%
Pneumoni sangat berat - Tidak bisa minum
- Kejang
- Kesadaran menurun
- Stridor pada saat anak tenang
- Tampak biru pada lidah (sianosis
9

sentral)
- Ujung tangan dan kaki pucat dan
dingin
- Head nodding
- Grunting
- Gizi buruk

2.2.5 Faktor Risiko Pneumonia


Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang
anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat (Kartasasmita, 2010).
A. Faktor Lingkungan
1. Ventilasi Udara Dalam Rumah
Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar
masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah dengan tujuan untuk
menjaga kelembaban udara didalam ruangan. Rumah yang tidak dilengkapi
sarana ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar didalam rumah
menjadi sangan minimal. Kecukupan udara segar didalam rumah sangat di
butuhkan oleh penghuni didalam rumah, karena ketidakcukupan suplai
udara segar didalam rumah dapat mempengaruhi fungsi sistem pernafasan
bagi penghuni rumah, terutama bagi bayi dan balita. Ketika fungsi
pernafasan bayi atau balita terpengaruh, maka kekebalan tubuh balita akan
menurun dan menyebabkan balita mudah terkena infeksi dari bakteri
penyebab pneumonia
Hasil penelitian Hartati (2011) menunjukkan bahwa balita yang
tinggal di rumah yang tidak ada ventilasi udara rumah mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,5 kali dibandingkan dengan balita yang
tinggal dirumah yang memiliki ventilasi udara. Berbeda dengan penelitian
Yuwono (2008), pada penelitian ini anak balita yang tinggal di rumah
dengan luas ventilasi rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena
pneumonia sebesar 6,3 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang
tinggal di rumah dengan luas ventilasi rumah memenuhi syarat.
10

2. Jenis Lantai Rumah


Balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi
syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 3,9 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai
memenuhi syarat. Hal tersebut menunjukkan bahwa risiko balita terkena
pneumonia akan meningkat jika tinggal di rumah yang lantainya tidak
memenuhi syarat. Lantai rumah yang tidak memenuhi syarat tidak terbuat
dari semen atau lantai rumah belum berubin. Rumah yang belum berubin
juga lebih lembab dibandingkan rumah yang lantainya sudah berubin.
Risiko terjadinya pneumonia akan lebih tinggi jika balita sering bermain di
lantai yang tidak memenuhi syarat (Yuwono, 2008).

Jenis lantai tanah (tidak kedap air) memiliki peran terhadap proses
kejadian pneumonia, melalui kelembaban dalam ruangan karena lantai
tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Hubungan antara jenis lantai
dengan kejadian pneumonia pada balita bersifat tidak langsung, artinya jenis
lantai yang kotor dan kondisi status gizi balita yang kurang baik
memungkinkan daya tahan tubuh balita rendah sehingga rentan terhadap
kejadian sakit atau infeksi dan dapat dengan mudah terkena pneumonia
kembali, atau pneumonia berulang.

3. Kepadatan Hunian Rumah


Kepadatan penghuni rumah merupakan luas lantai dalam rumah
dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan
hunian dalam rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan perumahan, luas
ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2
orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah usia 5 tahun.
Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit
dan melancarkan aktivitas.
Risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika tinggal di
rumah dengan tingkat hunian padat. Tingkat kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding
11

dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit
dengan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni
dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan
bakteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni
rumah yang satu ke penghuni rumah lainnya. Tempat tinggal yang sempit,
penghuni yang banyak, kurang ventilasi, dapat meningkatkan polusi udara
didalam rumah, sehingga dapat mempengaruhi daya tahan tubuh balita.
Balita dengan sistem imunitas yang lemah dapat dengan mudah terkena
pnuemonia kembali setelah sebelumnya telah terkena pneumonia atau
pneumonia berulang.
Balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibandingkan dengan balita yang
tidak tinggal di kepadatan hunian tinggi (Hartati, 2011). Sedangkan menurut
penelitian Yuwono (2008) yang dilakukan di Kabupaten Cilacap,
menunjukkan bahwa anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat
hunian padat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,7 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian tidak
padat.
4. Keberadaan Perokok di Dalam Rumah
Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan setidaknya
200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, racun utama pada
rokok adalah tar, nikotin dan karbonmonoksida. Tar adalah substansi
hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru, Nikotin
adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini
bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan.
Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah,
membuat darah tidak mampu mengikat oksigen (Sugihartono dan Nurjazuli,
2012).

Asap rokok yang mencemari di dalam rumah secara terus-menerus


akan dapat melemahkan daya tahan tubuh terutama bayi dan balita sehingga
mudah untuk terserang penyakit infeksi, yaitu pneumonia (Sugihartono dan
Nurjazuli, 2012).
12

Berdasarkan penelitian Yuwono (2008), penelitian tersebut


menunjukkan bahwa risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika
tinggal di rumah yang penghuninya memiliki kebiasaan merokok. Asap
rokok bukan menjadi penyebab langsung kejadian pneumonia pada balita,
tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat menimbulkan
penyakit paru-paru yang akan melemahkan daya tahan tubuh balita.

5. Perilaku Membakar Sampah


Membakar sampah merupakan salah satu penanganan dan atau
pengolahan akhir sampah. Proses pembakaran sampah sangat berperan
dalam menambah jumlah zat pencemar di udara terutama debu dan
hidrokarbon. Hal penting yang perlu diperhitungkan dalam emisi
pencemaran udara oleh sampah adalah emisi partikulat akibat pembakaran,
sedangkan emisi dari proses dekomposisi yang perlu diperhatikan adalah
emisi HC dalam bentuk gas metana. Pembakaran sampah di dalam udara
terbuka juga menimbulkan kabut asap yang tebal yang mengandung bahan
lainnya seperti partikel debu yang kecilkecil yang biasa disebut particulate
matter (PM) berukuran 10 mikron, biasa disebut PM10. Alat saring
pernafasan manusia tidak sanggup menyaring PM10 ini, sehingga bisa
masuk ke dalam paru-paru dan bisa mengakibatkan sakit gangguan
pernafasan (asma dan radang paru-paru), infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA).
Adanya dampak kesehatan dari pembakaran sampah terutama di
area tebuka yang berupa mencemari lingkungan, polusi udara, dan
mengganggu kesehatan masyarakat, sehingga pembakaran sampah sudah
tidak dianjurkan sebagaimana telah ditetapkan dalam UU RI nomor 18
tahun 2008 tentang pengelolaan sampah bahwa setiap orang dilarang untuk
membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan
sampah.
B. Faktor Individu anak
1. Jenis Kelamin
Anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terserang
pneumonia dibandingkan dengan anak dengan jenis kelamin perempuan
13

(Astuti dan Rahmat, 2010). Dalam penelitian Hartati dkk (2012), anak
dengan jenis kelamin laki laki lebih berisiko terkena pneumonia, hal ini
disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil
dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya
tahan tubuh anak laki-laki dan perempuan.
2. Status Gizi
Pemberian Nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak dapat mencegah balita terhindar dari penyakit infeksi
sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi optimal (Hartati
dkk, 2012).
Status gizi pada anak berkontribusi lebih dari separuh dari semua
kematian anak di negara berkembang, dan kekurangan gizi pada anak usia
0-4 tahun memberikan kontribusi lebih dari 1 juta kematian pneumonia
setiap tahunnya. Status gizi menempatkan balita pada peningkatan risiko
pneumonia melalui dua cara. Pertama, kekurangan gizi melemahkan sistem
kekebalan tubuh balita secara keseluruhan, protein dan energi dengan
jumlah yang cukup dibutuhkan untuk sistem kekebalan tubuh balita. Kedua,
balita dengan status gizi kurang dapat melemahkan otot pernapasan, yang
dapat menghambat sistem pernafasan pada balita tersebut (UNICEF, 2006).

3. Pemberian ASI Eksklusif


Hal ini secara luas diakui bahwa anak-anak yang mendapatkan ASI
eksklusif mengalami infeksi lebih sedikit dan memiliki penyakit yang lebih
ringan daripada mereka yang tidak mendapat ASI eksklusif. ASI
mengandung nutrisi, antioksidan, hormon dan antibodi yang dibutuhkan
oleh anak untuk bertahan dan berkembang, dan membantu sistem kekebalan
tubuh agar berfungsi dengan baik. Kekebalan tubuh atau daya tahan tubuh
yang tidak berfungsi dengan baik akan menyebabkan abak mudah terkena
infeksi. Namun hanya sekitar sepertiga dari bayi di negara berkembang yang
diberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupannya. Bayi di
bawah enam bulan yang tidak diberi ASI ekslusif berisiko 5 kali lebih tinggi
mengalami pneumonia, bahkan sampai terjadi kematian. Selain itu, bayi 6 -
14

11 bulan yang tidak diberi ASI juga meningkatkan risiko kematian akibat
pneumonia dibandingkan dengan mereka yang diberi ASI (UNICEF, 2006)

2.2.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 40˚C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi.

Tabel 2. 2 Tanda dan Gejala Pneumonia pada Balita

Gejala Klasifikasi Tindakan


Ada tanda bahaya Pneumonia berat Berikan dosis antiniotik yang
umum atau tarikan Atau sesuai, segera rujuk
dinding dada ke dalam Penyakit sangat berat
atau stridor
Napas Cepat Pneumonia Beri antibiotik yang sesuai
selama 5 hari.
Beri pelega tenggorokan dan
pereda batuk yang aman
Kunjunga ulang setelah 2 hari
Tidak ada tanda-tanda Batuk bukan Jika batuk > 30 hari, rujuk
pneumonia atau pneumonia untuk pemeriksaan lebih
penyakit sangat berat lanjut
Beri pelega tenggorokan dan
pereda batuk yang aman
Kunjungan ulang setelah 5
hari bila tidak ada perbaikan
15

Adapun manifestasi klinik sederhana untuk anak (WHO): Napas


cepat (tachypnea) dan Chest Indrawing (tarikan dinding dada ke dalam).

Tabel 2. 3 Frekuensi Napas Penderita Pneumonia Balita

Usia Frekuensi Napas


< 2 bulan 60 kali per menit
2 - 12 bulan 50 kali per menit
1 - 5 tahun 40 kali per menit

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Gambaran Radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
2. Pemeriksaan Labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul,
dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.

2.2.8 Kriteria Diagnosis


16

Diagnosis pneumonia didapatkan dari hasil anamnesis, gejala klinik,


pemeriksaan fisis, foto thorax, dan laboratorium. Diagnosis ditegakkan bila
ditemukan pada foto thorax terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif
dan ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulent
c. Suhu tubuh ≥ 37.5˚C (oral)/riwayat demam
d. Terdapat ronkhi atau konsolidasi atau napas bronkial
e. Leukosit ≥ 10.000 atau < 4.5000
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT).
Gambar 1. Sistem Skor Pneumonia Komunitas (PORT)

Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu


atau lebih' kriteria di bawah ini.
1. Kriteria minor:
 Frekuensi napas > 30/menit
 PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
17

 Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral


 Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
 Tekanan sistolik < 90 mmHg
 Tekanan diastolik < 60 mmHg
2. Kriteria mayor:

 Membutuhkan ventilasi mekanik


 Infiltrat bertambah > 50%
 Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
 Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada
penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang
membutuhkan dialysis

Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi


rawat inap pneumonia komuniti adalah :

a. Skor PORT lebih dari 70


b. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap
bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini :
• Frekuensi napas > 30/menit
• PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg

c. Pneumonia pada pengguna NAPZA


Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat
Intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2
gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan
membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala
minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru
18

menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg).


Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk
perawatan Ruang Rawat Intensif.
Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik
sering pula dijumpai bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai
adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella
spp. Penyebab lain Chlamydiapsittasi, Coxiella burnetti, virus
Influenza tipe A & B, Adenovirus dan Respiratori syncitial virus.

2.2.9 Penatalaksanaan
A. Pemberian Antibiotik Oral
Pilihan pertama amoksisilin. Ini dipilih karena lebih efektif
dibandinngkan dengan cotrimoxsazol, cara pemberiannya murah dan
mudah. Antibiotik pilihan kedua yaitu eritromisin. Antibiotik diberikan
selama 3 hari dengan jumlah pemberian sesuai dengan tabel 2.1 khusus
untuk daerah dengan prevalesi HIV tinggi, antibiotik diberikan 5 hari.
Jangan memberikan antibiotik bila anak memiliki riwayat anafikasis atau
reaksi alesgi sebelumnya terhadap jenis obat tersebut.
Dosis obat dibagi menjadi :
 Amoksisilin : 80-100 mg/kgBB/Hari dibagi 2 dosis
 Eritromisisn : 40-60 mg/kgBB/Hari dibagi 3-4 dosis
Catatan :

1) Dosis maksimal 2 gr/hari (khusus dengan balita overweight)


2) Jika memungkinkan berikan antibiotik secara individu atau jika
tidak ikuti tabel 2.4
Tabel 2. 4 Pemberian Antibiotik pada Anak

Kategori Usia Amoksisilin Amoksisilin Eritromisin


pneumonia /BB tablet 250 sirup 125 mg sirup 125 mg
mg dalam 5 ml dalam 5 ml
(sendok takar) (sendok takar)
19

Dengan 2- 12 2 kali 1,5 2 kali 3 3 kali 1


napas cepat bulan tablet/hari sendok/hari sendok/hari
(4-<10
kg)
12-5 2 kali 2,5 2 kali 6 3 kali 2
tahun tablet/hari sendok/hari sendok/hari
(10-19
kg)
Catatan: Dosis amoksisilin untuk anak usia 2 – 59 bulan dengan pneumonia

B. Pengobatan Demam
Demam sangat umum terjadi pada infeksi saluran napas akut.
Penatalaksanaan demam tergantung dari apakah demam itu tinggi atau
rendah. Jika demam tidak tinggi (38,5ºc) nasihati ibuuntuk
memberikancairan yang banyak dan tidak perlu pemberian antipiretik
namun jika demam tinggi lebih dari 38ºc demam bisa diturunkan dengan
antipiretik sehingga anak merasa lebih enak dan lebih banyak makan.
Anak dengan pneumoni akan sulit bernapas bila mengalami demam
tinggi, beritahu ibunya untuk memberi antipiretik tiap 6 jam dengan dosis
yang sesuai pada tabel 2.2 sampe demam mereda. Demam itu sensiri bukan
indikasi untuk pemberian antibiotik,kecuali bayi < dari 2 bulan, sehingga
bayi harus dirujuk dan jangan langsung diberi antipiretik.

Tabel 2. 5 Dosis Antipiretik parasetabol 10 mg/kgBB

Usia/BB Tablet 500 Tablet 100 Sirup 120 mg/5 ml


mg mg
2bulan - < 6 bulan 1/10 ½ 2,5 ml, ½ sendok
(4-< 7 kg) takar
20

6 bulan - < 3 tahun ¼ 1 5 ml,1 sendok


(7 - < 14 kg)
3 tahun – 5 tahun ½ 2 7,5 ml, 1½ sendok
(14-19 kg)

C. Pengobatan Wheezing
Pada bayi berusia <2 bulan wheezing merupakan tanda bahaya dan
harus dirujuk segera. Pada kelompok usia 2 bulan – 59 bulan wheezing
perluditentukan apakah ini merupakan episode pertama atau sudah berulang.
Episode pertama jika terdapat wheezing kemungkianan karena pneumonia
namun jika berulang kemungkinan karena asma. Bila ada keraguan lakukan
nebulisasi bronkodilator dan dinilai responnya untuk menentukan apakah
ini pneumoni atau asma.
Bagan 2.1 Wheezing pada usia 2 bulan – 59 bulan

Wheezing

Inhalasi

Bronkodilator kerja cepat, bila


belum membaik dapat diberikan
sampai 3 kali dalam 1 jam

Wheezing tidak menghilang Wheezing reda atau


menghilang

Bukan asma
asma

Tatalaksana pneumonia Tatalaksana asma

2.2.10 Komplikasi
Jika tidak mengalami perbaikan setelah 2 hari, atau kondisi anak semakin
memburuk, lihat adanya komplikasi atau adanya diagnosis lain. Jika ada
21

kemungkinan, lakukan foto thoraks ulang untuk mencari komplikasi. Beberapa


komplikasi yang sering terjadi adalah :
 Pneumotokel yang disebabkan oleh infeksi staphilokokus. Jika terjadi
perburukan secara klinis secara cepat walaupun sudah diterapi, ditandai
dengan pneumotokel atau pneumo thoraks dengan efusipleura,
ditemukannya kokus gram + pada sediaan apusan sputum dan adanya
infeksi kulit yang disertai pus atau pustula
 Pneumothoraks
 Empiema. Apabila demam persisten disertai tanda klinis dan foto thoraks
yang mendukung :
- Terdapat tanda pedorongan organ intrathorakal yang masif
- Pekak pada perkusi
- Gambaran foto thoraks menunjukan cairan pada satu atau kedua sisi
thoraks
- abses

2.3 Perilaku Merokok


2.3.1 Definisi
Merokok adalah menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam
tubuh dan menghembuskannya kembali keluar. Berdasarkan pengertian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok adalah suatu kegiatan
atau aktivitas merokok yang dimulai dari membakar, menghisap sampai
menghembuskannnya keluar sehingg menimbulkan asap rokok yang diukur
melalui persepsi dan aktivitas subjek terhadap merokok.

Membagi tipe perokok menjadi dua jenis yaitu perokok aktif ialah
individu yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok. Merokok sudah
menjadi bagian hidupnya sehingga rasanya tak enak kalau sehari tak
merokok. Oleh karena itu, ia kan berupaya untuk mendapatkannya.
Sedangkan perokok pasif adalah individu yang tak memiliki kebiasaan
merokok, namun terpaksa harus menghisap asap rokok yang dihembuskan
orang lain yang kebetulan di dekatnya.
22

Seseorang menjadi tergantung pada rokok pada umumnya melalui


proses perkembangan. Pertama, orang yang bersangkutan harus
mempunyai sikap positif terhadap rokok tersebut, kemudian secara fisik
padanya. Memiliki sikap positif terhadap merokok dan mulai
bereksperimen dengan tembakau berhubungan erat dengan kebiasaan
merokok yang dimiliki anggota lain dalam keluarga. Secara kontras,
menjadi perokok tetap lebih berkaitan erat dengan kebiasaan merokok
teman sebaya dan kemudahan untuk memperoleh rokok.

2.3.2. Zat dalam rokok yang berperan dalam penumonia


1. Hidrogen sianida
Senyawa racun lainnya yang menjadi bahan penyusun rokok adalah
hidrogen sianida. Beberapa negara pernah memakai senyawa ini untuk
menghukum mati narapidana. Saat ini, hidrogen sianida juga digunakan
dalam industri tekstil, plastik, kertas, dan sering dipakai sebagai bahan
pembuat asap pembasmi hama. Efek dari senyawa ini dapat melemahkan
paru-paru, menyebabkan kelelahan, sakit kepala, dan mual.
2. Benzena
Benzena merupakan residu dari pembakaran rokok. Paparan
benzena jangka panjang (setahun atau lebih), dapat menurunkan jumlah sel
darah merah dan merusak sumsum tulang, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya anemia dan perdarahan. Selain itu, benzena juga merusak sel
darah putih sehingga menurunkan daya tahan tubuh, serta meningkatkan
risiko leukimia
3. Amonia
Amonia merupakan gas beracun, tidak berwarna, namun berbau tajam.
Pada industri rokok, amonia digunakan untuk meningkatkan dampak candu
nikotin. Dalam jangka pendek, menghirup dan terpapar amonia dapat
mengakibatkan napas pendek, sesak napas, iritasi mata, dan sakit
tenggorokan. Sedangkan dampak jangka panjangnya yaitu pneumonia dan
kanker tenggorokan
23

2.3.3. Kualitas dan kuantitas merokok


a. Perokok Aktif (Active Smoker)
Perokok aktif adalah orang yang langsung menghisap rokok melalui
mulutnya serta bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri
maupun lingkungan sekitar.
b. Perokok Pasif (Pasive Smoker)
Perokok pasif adalah orang yang menghirup asap rokok yang
dihasilkan dari rokok seorang perokok aktif. Asap rokok lebih berbahaya
bagi perokok pasif dibandingkan dengan perokok aktif. Asap rokok yang
dihembuskan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif lima kali
lebih banyak mengandung gas karbon monoksida (CO) dan empat kali lebih
banyak mengandung tar dan nikotin.
c. Berdasarkan Jumlah Rokok
 Perokok Ringan: orang yang merokok kurang dari 10 batang dalam
sehari
 Perokok Sedang: orang yang merokok 10-20 batang dalam sehari.
 Perokok Berat: orang yang merokok lebih dari 20 batang dalam sehari.
d. Paparan Asap Rokok
Paparan asap rokok adalah semua bahan kimia yang berasal dari
pembakaran rokok yang mengenai perokok maupun bukan perokok
(perokok pasif). Asap rokok yang dihirup oleh perokok pasif disebut asap
sampingan sedangkan asap rokok yang dihirup oleh perokok aktif disebut
asap utama. Asap sampingan adalah sumber utama asap tembakau
lingkungan, dimana asap tersebut berasal dari sumber- sumber selain dari
penghisapan rokok secara langsung, yakni berasal dari:
- Asap yang dikeluarkan oleh perokok;
- Pembakaran ujung rokok;
- Merembes melalui kertas dan filter dari rokok
(Amini, 2010)

e. Lama Paparan Asap Rokok


24

Lama paparan adalah waktu dimana seseorang terpapar asap rokok.


Perokok pasif dikategorikan sebagai bukan perokok yang menghisap asap
rokok para perokok paling tidak 15 menit dalam satu hari selama satu
minggu. Perokok pasif menghirup 75% asap rokok yang berasal dari asap
sampingan, sedangkan perokok aktif hanya menghirup 25% asap rokok
dalam bentuk asap utama yang berasal dari ujung rokok yang terbakar.
Nikotin dapat diserap dari semua tempat termasuk kulit. Nikotin
terutama mengalami metabolisme di hati, paru, dan ginjal. Nikotin akibat
inhalasi asap rokok dimetabolisme dalam jumlah yang berarti di paru-paru.
Waktu paruh, half-life time, nikotin 20-40 menit. Misalkan sehabis merokok
satu batang (10mg nikotin dalam satu batang rokok) dalam darah orang
berat badan 70 kg (+/- 5kg darah) akan terdapat 40 ppb (part per billion)
nikotin, setelah 30 menit jumlahnya tersisa 20 ppb, dan sesudah 30 menit
berikutnya tersisa 10 ppb dan begitu seterusnya. Meski pada dosis rendah
dan waktu yang singkat, nikotin tetap mampu menstimulir organ tertentu
dan berbeda terhadap orang lain.

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok


1. Persahabatan (Friendships)
Bahwa sahabat pada umumnya berusia dan berjenis kelamin yang
sama, namun beberapa anak dan remaja memiliki sahabat berjenis
kelamin berbeda. Pada beberapa remaja, sahabat berasal dari ras yang
sama. Para sahabat menemukan aktivitas-aktivitas yang dapat dinikmati
dan dimaknai bersama, dan seiring waktu mereka memperoleh rangkaian
pengalaman yang serupa, yang memungkinkan terjadinya saling bertukar
perspektif tertentu mengenai kehidupan.
2. Kelompok sosial yang lebih besar
Sebagian besar remaja dan anak-anak menikmati kebersamaan
bersama teman-teman sebayanya yang bukan sahabat dekatnya. Seiring
berlalunya waktu, mereka membentuk kelompok sosial yang lebih besar
yang rutin berkumpul. Bahwa pada awalnya kelompok-kelompok
tersebut mencakup laki-laki dan perempuan. Saat mulai bergabung ke
25

dalam sebuah kelompok, remaja lebih menyukai kedekatan dengan


anggota kelompok tersebut dibandingkan dengan individu-individu yang
bukan anggota kelompok dan mereka membentuk perasaan “setia”
terhadap individu-individu dalam kelompok.
3. Geng
Geng adalah suatu kelompok sosial kohesif yang dicirikan oleh
ritual inisiasi, penggunaan simbol-simbol dan warna yang khas,
“kepemilikan‟ terhadap suatu teritori spesifik, dan permusuhan dengan
satu atau lebih kelompok. Geng diatur oleh aturan-aturan berperilaku
yang ketat dan hukuman-hukuman keras bagi setiap pelanggaran.
4. Hubungan romantik
Dilihat berbasarkan perspektif psikologi perkembangan,
hubungan romantik memiliki keunggulan yang nyata: hubungan tersebut
dapat memenuhi kebutuhan para remaja akan persahabatan, afeksi, dan
keamanan, sekaligus memberikan kesempatan sosial dan perilaku-
perilaku interpersonal yang baru.

2.3.5 Aspek-aspek Perilaku Merokok


Umumnya setiap individu dapat menggambarkan setiap perilaku
menurut tiga aspek. adalah sebagai berikut:
a. Frekuensi
Frekuensi adalah sering tidaknya perilaku muncul. Frekuensi
sangatlah bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana perilaku merokok
seseorang dengan menghitung jumlah munculnya perilaku merokok
sering muncul atau tidak. Dari frekuensi merokok seseorang,dapat
diketahui perilaku merokok seseorang yang sebenarnya.
b. Lamanya berlangsung
Lamanya berlangsung adalah waktu yang diperlukan seseorang
untuk melakukan suatu tindakan. Aspek ini sangatlah berpengaruh bagi
perilaku merokok seseorang. Dari aspek inilah dapat diketahui perilaku
merokok seseorang apakah dalam menghisapnya lama atau tidak.
c. Intensitas
26

Intensitas adalah banyaknya daya yang dikeluarkan oleh perilaku


tersebut. Aspek intensitas digunakan untuk mengukur seberapa dalam
dan seberapa banyak seseorang menghisap rokok. Dimensi intensitas
merupakan cara yang paling subjektif dalam mengukur perilaku
merokok seseorang.
Aspek-aspek perilaku merokok lainnya, antara lain :
 Aktivitas individu yang berhubungan dengan perilaku merokoknya,
diukur melalui intensitas merokok, tempat merokok, waktu merokok
dan fungsi merokok alam kehidupan sehari-hari.
 Lingkungan teman sebaya, yatu sejauh mana individu mempunyai
teman sebaya yang merokok dan memiliki penerimaan positif terhadap
perilaku merokok.
 Kepuasan psikologis, yaitu efek yang diperoleh dari merokok yang
berupa keyakinan dan perasaan yang menyenangkan. Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwasanya perilaku.

2.3.6 Dampak Perilaku Merokok


Dampak perilaku merokok menjadi dua bagian yaitu:
1. Dampak positif
Manfaat rokok bagi perokok adalah mengurangi ketegangan yang
individu rasakan, membantu konsentrasi untuk menghasilkan sebuah
karya, upaya memperoleh dukungan sosial, dan menjadi relaksasi yang
menyenangkan. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Soesmalijah
Soewondo dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyebutkan,
dapat rokok membuat perokok menjadi lebih dewasa, mudah konsentrasi,
dan dapat memunculkan ide-ide atau inspirasi.
2. Dampak negatif
Meskipun saat ini sudah tersedia rokok yang memiliki kandungan
tar dan nikotin yang rendah, tetapi tidak ada rokok yang aman bagi
kesehatan. Penyakit yang diakibatkan oleh rokok, seperti: kanker mulut,
kanker faring, kanker paru, kanker prostat, gangguan kehamilan dan
janin, penyakit jantung koroner, pneumonia.
27

2.4 Sampah
2.4.1 Definisi Sampah
Dalam kamus lingkungan tahun 2004 dinyatakan bahwa pengertian sampah
adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses.
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang
berbentuk padat. Widiwijoto (2011) mengatakan bahwa sampah adalah sisa-sisa
bahan yang telah mengalami perlakuan baik yang telah diambil bagian utamanya,
telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dan dari segi
lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam.
Murtadho dan gumbira (2007) membedakan sampah atas sampah organik dan
sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa
bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari limbah pertanian. Sampah ini
memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena
memiliki rantai karbon relative pendek. Sedangkan sampah anorganik berupa
sampah padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganism karena
memiliki rantai karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastic,
dan lain-lain. Sampah merupakan masalah bagi orang di seluruh dunia ini karena
sampah merupakan suatu barang yang tidak terpakai lagi. Seiring dengan
semakin tingginya populasi manusia, maka produksi sampah juga akan semakin
meningkat.

2.4.2 Sumber Sampah


Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya (1986), sumber sampah antara lain
1. Sampah dari Pemukiman
Sampah dari Pemukiman merupakan sampah yang dihasilkan dari
kegiatan atau lingkungan rumah tangga atau sering disebut dengan istilah
sampah domestik. Dari kelompok sumber ini umumnya dihasilkan sampah
berupa sisa makanan, plastik, kertas, karton/dos, kain, kayu, kaca, daun,
logam, dan kadang-kadang sampah berukuran besar seperti dahan pohon.
Praktis tidak terdapat sampah yang biasa dijumpai di negara industri, seperti
mebel, TV bekas, kasur dan lainnya. Kelompok ini dapat meliputi rumah
28

tinggal yang ditempati oleh sebuah keluarga, atau sekelompok rumah yang
berada dalam suatu kawasan permukiman, maupun unit rumah tinggal yang
berupa rumah susun. Dari rumah tinggal juga dapat dihasilkan sampah
golongan B3 (bahan berbahaya dan beracun), seperti misalnya baterai,
lampu, sisa obat-obatan, oli bekas, dan lainnya.
2. Sampah dari daerah komersial
Sumber sampah dari kelompok ini berasal dari pertokoan, pusat
perdagangan, pasar, hotel, dan perkantoran. Dari sumber ini umumnya
dihasilkan sampah berupa kertas, plastik, kayu, kaca, logam, dan juga sisa
makanan. Khusus dari pasar tradisional, banyak dihasilkan sisa sayur, buah,
makanan yang mudah membusuk. Secara umum sampah dari sumber ini
adalah mirip dengan sampah domestik tetapi dengan komposisi yang
berbeda.
3. Sampah dari perkantoran / Institusi
Sumber sampah dari kelompok ini meliputi perkantoran, sekolah,
rumah sakit dan lembaga pemasyarakatan. Dari sumber ini potensial
dihasilkan sampah seperti halnya dari daerah komersial non pasar.
4. Sampah dari Jalan/Taman dan Tempat Umum
Sumber sampah dari kelompok ini dapat berupa jalan kota, taman,
tempat parkir, tempat rekreasi dan saluran drainase kota. Dari daerah ini
umumnya dihasilkan sampah berupa daun/dahan pohon, pasir/lumpur,
sampah umum seperti plastik, kertas, dan lainnya. Sampah yang dikelola di
perkotaan adalah semua sampah yang timbul di kota baik sampah domestik
maupun non domestik dan tidak termasuk sampah bahan berbahaya dan
beracun (B3). Sampah bahan berbahaya dan beracun seperti sampah medis
dan sampah industri, harus dilakukan penanganan khusus agar tidak
membahayakan kualitas lingkungan.

2.4.3 Sampah dan Permasalahannya


Sampah merupakan hasil sampingan dari kegiatan manusia sehari-hari.
Jumlah sampah yang semakin besar memerlukan pengelolaan yang lebih
maksimal. Selama tahapan penanganan sampah tidak dilakukan dengan benar
29

dan fasilitas tidak memadai maka akan menimbulkan dampak yang berpotensi
mengganggu lingkungan.
Sampai saat ini paradigma pengelolaan sampah yang digunakan adalah
kumpul, angkut dan buang, dan andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan
masalah sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA
(Damanhuri, 2008). Berikut ini merupakan dampak yang ditimbulkan akibat
masalah sampah, antara lain (Ardianti, 2011):
a. Perkembangan Faktor Penyakit
Wadah sampah merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan
faktor penyakit terutama lalat dan tikus. Hal ini disebabkan dalam wadah
sampah tersedia sisa makanan dalam jumlah yang besar. Tempat
penampungan sementara/kontainer juga merupakan tempat berkembangnya
faktor tersebut karena alasan yang sama. Sudah tentu ini akan menurunkan
kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya. Faktor penyakit terutama lalat
sangat potensial berkembangbiak di lokasi TPA. Hal ini terutama
disebabkan oleh frekuensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai
ketentuan, sehingga siklus hidup lalat dari telur menjadi larva telah
berlangsung sebelum penutupan dilaksanakan. Gangguan akibat lalat
umumnya dapat ditemui sampai radius 1-2 km dari lokasi TPA.
b. Pencemaran Udara
Sampah yang menumpuk dan tidak segera terangkut merupakan sumber
bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah sensitif sekitarnya
seperti permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-lain. Pembakaran
sampah seringkali terjadi pada sumber dan lokasi pengumpulan terutama
bila terjadi penundaan proses pengangkutan sehingga menyebabkan
kapasitas tempat terlampaui. Asap yang timbul sangat potensial
menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya. Pembongkaran
sampah dengan volume yang besar dalam lokasi pengolahan berpotensi
menimbulkan gangguan bau. Disamping itu juga sangat mungkin terjadi
pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi yang tidak
memenuhi syarat teknis.
30

c. Pencemaran Air
Sarana dan prasarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial
menghasilkan lindi terutama pada saat turun hujan. Aliran lindi ke saluran
atau tanah sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran. Instalasi
pengolahan berskala besar menampung sampah dalam jumlah yang cukup
besar pula sehingga potensi lindi yang dihasilkan di instalasi juga cukup
potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di sekitarnya. Lindi
yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan sekitarnya baik
berupa rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah di bawahnya.
Pada lahan yang terletak di kemiringan, kecepatan aliran air tanah akan
cukup tinggi sehingga dimungkinkan terjadi cemaran terhadap susia
penduduk yang terletak pada elevasi yang lebih rendah. Pencemaran lindi
juga dapat terjadi akibat pengolahan yang belum memenuhi syarat untuk
dibuang ke badan air penerima. Karakteristik pencemar lindi yang sangat
besar akan sangat mempengaruhi kondisi badan air penerima terutama air
permukaan yang dengan mudah mengalami kekurangan oksigen terlarut
sehingga mematikan biota yang ada.
d. Pencemaran Tanah
Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di
lahan kosong atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan
menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya
sampah organik dan mungkin juga mengandung bahan buangan berbahaya
(B3). Bila hal ini terjadi maka akan diperlukan waktu yang sangat lama
sampai sampah terdegradasi atau larut dari lokasi tersebut. Selama waktu
itu lahan setempat berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap
manusia dan lingkungan sekitarnya.

2.4.4 Komponen Pencemar Udara


Menurut Mulia (2005), pencemaran udara diawali oleh adanya emisi.
Emisi merupakan jumlah pollutant (pencemar) yang dikeluarkan ke udara dalam
satuan waktu. Emisi dapat disebabkan oleh proses alam maupun kegiatan
manusia. Emisi yang disebabkan oleh proses alam disebut biogenic emissions,
31

sebagai contoh gas metan (CH4) yang terjadi sebagai akibat dekomposisi bahan
organik oleh bakteri pengurai. Emisi yang disebabkan oleh kegiatan manusia
disebut anthropogenic emissions. Contoh emisi udara yang disebabkan oleh
kegiatan manusia adalah hasil pembakaran bahan fosil (bensin, solar, batubara),
pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara dan sebagainya. Beberapa
jenis pencemar udara yang paling sering ditemukan di TPA antara lain sulfur
dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), metan (CH4), hidrogen sulfida (H2S),
suhu, dan kelembaban.
1. Sulfur Dioksida
Sulfur dioksida merupakan ikatan yang tidak stabil dan sangat reaktif
terhadap gas yang lain. Ciri lainnya yaitu tidak berwarna, berbau tajam,
sangat mengiritasi kulit, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak.
Pengukuran konsentrasi asam sulfat (H2SO4) bersama-sama dengan SO2
merupakan hal yang penting karena H2SO4 mempunyai sifat iritasi yang
lebih kuat. SO2 merupakan Universitas Sumatera Utara 14 polutan yang
berbahaya bagi kesehatan terutama bagi penderita penyakit kronis sistem
pernapasan dan kardiovaskuler. Penderita tersebut sangat sensitif kontak
dengan SO2, meskipun pada konsentrasi yang relatif rendah.
Sumber pencemaran SO2 di udara 66% berasal dari alam yaitu gunung
berapi dalam bentuk H2S dan oksida, sedangkan sisanya berasal dari
pembakaran batu arang, minyak bakar, kayu, kilang minyak, industri
petrolium, industri asam sulfat, dan industri peleburan baja. SO2 berasal
dari oskidasi logam sulfida misalnya ZnS, PbS, dan CuS. Dalam jumlah
yang kecil SO2 hanya terdeteksi lewat bau, sedangkan dalam jumlah besar
berpengaruh terhadap kesehatan manusia karena menyebabkan iritasi
pada mata, tenggorokan, dan juga batuk.
2. Nitrogen Dioksida
Gas NO yang mencemari udara secara visual sulit diamati karena gas
tersebut tidak bewarna dan tidak berbau. Sedangkan gas NO2 bila
mencemari udara mudah diamati dari baunya yang sangat menyengat dan
warnanya merah kecoklatan. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 empat kali
lebih kuat dari pada toksisitas gas NO. Organ tubuh yang paling peka
32

terhadap pencemaran gas NO2 adalah paru-paru. Paru-paru yang


terkontaminasi oleh gas NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit
bernafas yang dapat mengakibatkan kematiannya (Fardiaz, 1992).
Kadar NOx di udara daerah perkotaan yang berpenduduk padat akan lebih
tinggi dibandingkan di pedesaan karena berbagai macam kegiatan
manusia akan menunjang pembentukan NO2, misalnya transportasi,
generator pembangkit listrik, pembuangan sampah, dan lain-lain. Namun,
pencemar utama NO2 berasal dari gas buangan hasil pembakaran bahan
bakar gas alam (Wardhana, 2004). Emisi nitrogen oksida dipengaruhi oleh
kepadatan penduduk karena sumber utama NOx yang diproduksi manusia
adalah dari pembakaran, dan kebanyakan dari pembakaran yang
disebabkan oleh kendaraan, produksi energi dan pembuangan sampah.
Sebagian besar emisi NO2 yang dibuat manusia berasal dari pembakaran
arang, minyak, gas alam dan bensin.
3. Hidrogen Sulfida
Bau seperti telur busuk yang terdapat di TPA bersumber dari H2S yang
merupakan hasil samping penguraian zat organik. H2S atau Asam Sulfida
merupakan gas yang tidak berwarna, mudah terbakar, dan sangat beracun.
Gas ini dapat timbul dari aktivitas biologis ketika bakteri mengurai bahan
organik dalam keadaan tanpa oksigen (aktivitas anaerobik), seperti di
rawa, dan saluran pembuangan kotoran. Gas ini juga muncul pada gas
yang timbul dari aktivitas gunung berapi dan gas alam.
Gas ini sangat cepat diserap oleh paru-paru. Absorbsi dari paparan
inhalasi terutama akibat ukuran partikel hidrogen sulfida yang kecil dapat
mencapai saluran nafas bawah di mana hidrogen sulfida dapat diabsorbsi.
Partikel dengan ukuran kecil akan mengalami penetrasi pada sacus
alveolaris yang sebagian dari partikel akan mengalami pembersihan oleh
macrophage dan sebagian lainnya akan diabsorbsi dalam darah. Zona
alveolar merupakan bagian dalam paru dengan permukaan 50 sampai 100
m 2 . Gas pada alveoli hampir selalu menyatu dengan aliran darah yang
tergantung pada kelarutan gas tersebut (Mukono, 2008).
4. Metan
33

Gas metana merupakan senyawa hidrokarbon paling sederhana yang


berbentuk gas yang tidak berwarna dan juga tidak berbau dengan rumus
kimia CH4. CH4 merupakan gas yang diproduksi oleh bakteri tertentu
pada proses pemecahan bahan organik. Sebagai sumber metan adalah
daerah pertanian padi- padian dan daerah peternakan.
CH4 merupakan gas dominan selain karbon dioksida (CO2) yang
dihasilkan dari proses dekomposisi sampah di tempat pembuangan akhir.
Keberadaan dan pergerakan metan sangan berbahaya pada TPA yang
tidak dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan gas. Pembuangan sampah
terbuka di TPA mengakibatkan sampah organik yang tertimbun
mengalami dekomposisi secara anaerobic, dan proses itu menghasilkan
gas metan yang mempunyai kekuatan merusak hingga 20-30 kali lebih
besar daripada CO2. Jumlah emisi gas metana dari pembuangan akhir
sampah secara keseluruhan mencapai kira-kira 30 – 70 juta ton per
tahunnya.
Kandungan metana yang tinggi akan mengurangi konsentrasi oksigen di
atmosfer. Jika kandungan oksigen di udara hingga di bawah 19,5%, akan
mengakibatkan aspiksia atau hilangnya kesadaran makhluk hidup karena
kekurangan asupan oksigen dalam tubuh. Meningkatnya metana juga
meningkatkan risiko mudah terbakar dan meledak di udara.

2.4.5 Manajemen Pengelolaan Sampah


Menurut Damanhuri (2008) pengelolaan sampah adalah pengumpulan,
pengangkutan, pemrosesan, pendaurulangan, atau pembuangan dari material
sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yang dihasilkan
dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya
terhadap kesehatan, lingkungan, atau keindahan. Pengelolaan sampah juga
dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa
melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metode dan keahlian
khusus untuk masing- masing jenis zat. Pengelolaan sampah yang tidak
berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial
34

dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah. Metode


pengelolaan sampah berbeda-beda tergantung banyak hal, di antaranya tipe zat
sampah, tanah yang digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area
(Damanhuri, 2008). Pengolahan sampah yang paling banyak digunakan di
Indonesia antara lain adalah:
a. Open dumping
Cara open dumping merupakan cara yang paling mudah dan murah
dilakukan namun banyak menimbulkan dampak pencemaran. Setelah
sampah di lokasi TPA sampah dibuang begitu saja. Dampak yang
ditimbulkan dari cara ini antara lain bau yang tidak sedap, sampah
berserakan, dan dimungkinkannya menjadi sarang bibit penyakit dan tempat
berkembang biak vektor penyakit seperti kecoa, lalat dan tikus.
b. Sanitary landfill
Metode sanitary landfill merupakan metode yang dianjurkan. Pada metode
ini sampah dibuang, ditutup dengan tanah dan bersamaan dengan ini
dipadatkan dengan alat berat agar menjadi lebih mampat. Lapisan di atasnya
dituangkan sampah berikut tanah secara berlapis dan demikian seterusnya
sampai akhirnya rata dengan permukaan tanah.
c. Composting
Metode composting, sampah diolah secara fermentatif. Secara periodik
tumpukan sampah dibolak - balik agar fermentasi dapat berjalan dengan
baik dan merata. Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan tidak seberat
penimbunan terbuka. Proses pembuatan pupuk pada metode composting
ini berjalan lambat diperlukan waktu sekitar dua bulan.
d. Daur ulang
Metode daur ulang, sampah dikelompokkan menurut jenisnya, kemudian
setiap kelompok sampah diolah sendiri menjadi produk/hasil yang
berharga. Kertas bekas diolah lagi menjadi kertas baru. Hal ini dapat juga
dilakukan terhadap jenis sampah logam, plastik, gelas. Jenis sampah
dedaunan, sisa sayuran dan buah-buahan yang mudah busuk, oleh karena
itu perlu penanganan yang khusus.
e. Pembakaran sampah
35

Menurut Sastrawijaya (2009), pembakaran sampah merupakan metode


pengolahan sampah secara kimiawi dengan proses oksidasi (pembakaran)
dengan maksud stabilisasi dan reduksi volume dan berat sampah. Setelah
proses pembakaran akan dihasilkan abu dengan volume serta beratnya jauh
lebih kecil/rendah dibandingkan dengan sampah sebelumnya. Hasil dari
pembakaran sampah diantaranya:
 Asap, yaitu karbon (C) yang berdiameter kurang dari 0,1 mikron,
akibat dari pembakaran hidrat yang kurang sempurna. Dari 1 ton
sampah kira-kira dihasilkan 9 kg artikel padat yang tak terbakar
berupa asap cokelat. Suatu studi menyimpulkan, asap dari
pembakaran sampah mengandung benzopirena 350 kali lebih besar
dari asap rokok. Asap pembakaran sampah ini akan menghasilkan
racun udara dioksin dan furan yang sama banyaknya dengan racun
udara yang dikeluarkan oleh incinerator.
 Partikulat, yaitu zat padat/cair yang halus dan tersuspensi di udara.
Partikulat debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang
relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara dan masuk
kedalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan.
 Gas-gas pencemar udara, diantaranya adalah dioksin, metana, karbon
monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (NO2)
36

2.5 Kerangka Teori, Kerangka Konsep dan Hipotesis


2.5.1 Kerangka Teori

Infeksi Faktor Ekstrinsik


mikroorganisme
1. Pembakaran
Faktor Intrinsik sampah
2. Merokok
1. Jenis kelamin 3. Pencahayaan
2. Status Imunisasi 4. Ventilasi
Host
3. Usia 5. Kondisi rumah
4. Status Gizi 6. Kepadatan
Diagnosis Pneumonia hunian

Pneumonia Pneumonia Pneumonia


Berat Sangat
Berat
*Kemenkes RI, 2018

2.5.2 Kerangka konsep

1. Status Imunisasi
2. Status Gizi

1. Usia
2. Jenis Kelamin Kejadian
3. Pembakaran sampah Pneumonia
4. Merokok dalam rumah
37

2.5.3 Hipotesis
Ha:

 Tidak terdapat hubungan antara usia dengan angka kejadian pneumonia


balita

 Tidak terdapat hubungan jenis kelamin dengan angka kejadian pneumonia


balita

 Tidak terdapat hubungan antara perilaku merokok di dalam rumah dengan


angka kejadian pneumonia balita

 Tidak terdapat hubungan antara kebiasaan membakar sampah dengan angka


kejadian pneumonia balita

Ho:

 Terdapat hubungan antara usia dengan angka kejadian pneumonia balita

 Terdapat hubungan antara usia dengan angka kejadian pneumonia balita

 Terdapat hubungan antara perilaku merokok di dalam rumah dengan angka


kejadian pneumonia balita

 Terdapat hubungan antara kebiasaan membakar sampah dengan angka


kejadian pneumonia.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
metode rancangan kasus kontrol (case control) yaitu suatu penelitian yang
menggunakan pendekatan retropective yang berguna untuk mengetahui
bagaimana faktor risiko mempengaruhi kasus. Penelitian ini menggunakan data
sekunder dan data primer.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Desa Kujangsari, Kecamatan Langensari
Kota Banjar pada bulan April tahun 2019.
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.3.1 Variabel penelitian
a. Variabel bebas : Perilaku anggota keluarga yang merokok dalam
rumah, kebiasaan pembakaran sampah., usia dan jenis kelamin
b. Variabel terikat : Kejadian Pneumonia pada balita.

38
39

3.3.2 Definisi operasional


Tabel 3. 1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

No Variabel Penelitian Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Karakteristik
Responden
Seorang anak dikatakan balita 1. 2-12 bulan
Balita apabila berusia 2 bulan sampai Rekam Medis 2. 13-60 bulan Ordinal
1 dengan 60 bulan. (Menkes RI 2014)

Jenis Kelamin Identitas seksual yang dibawa sejak Kuesioner 1. Laki-laki


lahir (Kemenkes, 2015) 2. Perempuan Nominal

Peradangan parenkim paru yang


mencakup bronkiolus respiratorius Terdiagnosis :
dan alveoli. Serta menimbulkan 1. Pneumonia
2 Pneumonia konsolidasi jaringan paru dan Rekam Medis 2. Tidak Pneumonia Nominal
gangguan pertukaran gas setempat.
(PDPI 2014 & Buku ajar IPD 2014)
40

Suatu kegiatan atau aktivitas


merokok yang dimulai dari
membakar, menghisap, sampai 1. Merokok di dalam
3 Perilaku Merokok menghembuskan keluar sehingga Kuesioner rumah Nominal
menimbulkan asap rokok. 2. Merokok di luar
(Nasution, 2008) rumah
Pembakaran sampah merupakan
metode pengolahan sampah secara
kimiawi dengan proses oksidasi Kuesioner dan
4 Pembakaran Sampah (pembakaran) dengan maksud Observasi 1. Dibakar Nominal
stabilisasi dan reduksi volume dan Langsung 2. Tidak dibakar
berat sampah yang akan
menghasilkan asap. Sastrawijaya
(2009)
41

3.4 Populasi
Dalam penelitian ini terdapat dua populasi yaitu :
1. Populasi kasus adalah balita dengan diagnosis pneumonia di desa
kujangsari yang terdata di Puskesmas Langensari 1 sejumlah 33 kasus
terhitung periode januari-maret tahun 2019.
2. Populasi kontrol adalah balita dari desa Kujangsari yang tidak dinyatakan
pneumonia serta tidak memiliki gejala klinis pneumonia yang di konfirmasi
dengan rekam medis Puskesmas Langensari 1.
3.5 Sampel
3.5.1 Sampel kasus
Pemilihan sampel kasus pada kelompok kasus digunakan total
sampling yang berarti keseluruhan populasi menjadi sampel penelitian.
Kelompok kasus berjumlah 33 kasus pneumonia pada balita.
3.5.2 Sampel kontrol
Jumlah sampel kontrol pada penelitian ini menggunakan
perbandingan kelompok kasus : kelompok kontrol yaitu 1 : 1. Pemilihan
perbandingan 1 : 1 dikarenakan alasan teknis penelitian ini, yaitu masalah
penghematan waktu penelitian, dan selain itu untuk memudahkan
peneliti dalam proses pengambilan data penelitian. Jumlah sampel
kontrol sama dengan jumlah sampel kasus yaitu 33 responden.
Diharapkan dengan jumlah kelompok kontrol sebesar 33 dapat
meminimalisir kurangnya jumlah sampel apabila terdapat sampel yang
dropout. Sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive
sampling, yaitu dengan memilih sampel berdasarkan kriteria tertentu
yang telah ditetapkan oleh peneliti.

3.6 Kriteria Sampel


3.6.1 Kriteria Kasus
1. Kriteria Inklusi
a. Responden adalah balita yang tinggal di desa Kujangsari.
b. Responden adalah balita yang didiagnosis pneumonia dan terdata di
rekam medis Puskesmas Langensari 1 periode 2 Januari - 30 Maret
2019.
42

c. Responden adalah balita dengan status gizi dan status imunisasi


lengkap
2. Kriteria Ekslusi
a. Balita yang orang tuanya tidak bersedia menjadi responden

3.6.2 Kriteria Kontrol


1. Kriteria Inklusi
a. Responden balita yang tinggal di desa kujangsari
b. Responden balita yang tidak memiliki gejala klinis pneumonia
c. Responden balita yang tidak di diagnosis pneumonia yang di konfirmasi
dengan rekam medis puskesmas langensari 1
d. Responden balita dengan status gizi baik dan status imunisasi lengkap
2. Kriteria Eklusi
a. Balita yang orang tuanya tidak bersedia menjadi responden

3.7 Instrumen Penelitian


Penelitian ini menggunakan alat bantu berupa lembar kuisioner
observasi yang terdiri dari 8 poin pertanyaan untuk perilaku merokok dalam
rumah dan 8 poin untuk kebiasaan pembakaran sampah yang akan diisi oleh
peneliti saat melakukan observasi. Pengujian instrumen dilakukan kepada 30
ibu dengan balita di Desa Bojongkantong Kecamatan Langensari yang masih
merupakan wilayah kerja Puskesmas Langensari 1. Instrumen telah dilakukan
uji validitas dan uji reabilitas menggunakan program SPSS dengan hasil sebagai
berikut

3.7.1 Uji Validitas


Uji validitas dilakukan untuk memastikan seberapa baik suatu
instrument digunakan untuk mengukur konsep yang seharusnya diukur.
Untuk menguji validitas kuesioner menggunakan bantuan software
Statistical Product and Servise Solution (SPSS). Uji validitas dilakukan
kepada 30 warga yang memiliki balita di desa kujangsari.
43

Pengujian dilakukan pada tanggal 5 April 2019 yang dijaga


identitasnya guna mengantisipasi tercampurnya responden uji validitas dan
responden penelitian.
Hasil dari uji validitas pada penelitian ini tercantum pada lampiran.
Dalam menentukan uji validitas kuesioner dilakukan dengan
memandingkan nilai r tabel dengan nilai r hitung, jumlah responden dalam
uji validitas ini sebanyak 30 orang.
Tabel 3. 2 Hasil uji validitas Perilaku Merokok Dalam Rumah

No pertanyaan Nilai r hitung Keterangan


Pertanyaan 1 0.776 Valid
Pertanyaan 2 0.754 Valid
Pertanyaan 3 0.512 Valid
Pertanyaan 4 0.690 Valid
Pertanyaan 5 0.492 Valid
Pertanyaan 6 0.672 Valid
Pertanyaan 7 0.701 Valid
Pertanyaan 8 0.486 Valid

Dalam menentukan uji validitas kuesioner perilaku merokok dalam


rumah yang dilakukan dengan membandingkan nilai r tabel dengan nilai r
hitung, jumlah responden dalam uji validitas ini sebanyak 30 orang, maka
didapat r tabel sebesar 0,361. Pada kuesioner pertama terdapat 8 pertanyaan
dan seluruh pertanyaan tersebut valid. Sehingga kuesioner dapat di pakai.

Tabel 3. 3 Hasil uji validitas Kebiasaan Pembakaran Sampah

No pertanyaan Nilai r hitung Keterangan


Pertanyaan 1 0.395 Valid
Pertanyaan 2 0.394 Valid
Pertanyaan 3 0.636 Valid
Pertanyaan 4 0.554 Valid
Pertanyaan 5 0.500 Valid
44

Pertanyaan 6 0.639 Valid


Pertanyaan 7 0.549 Valid
Pertanyaan 8 0.759 Valid

Dalam menentukan uji validitas kuesioner kebiasaan pembakaran


sampah yang dilakukan dengan membandingkan nilai r tabel dengan nilai r
hitung, jumlah responden dalam uji validitas ini sebanyak 30 orang, maka
didapat r tabel sebesar 0,361. Pada kuesioner pertama terdapat 8 pertanyaan
dan seluruh pertanyaan tersebut valid. Sehingga kuesioner dapat di pakai.

3.7.2 Uji Reliabilitas


Reliabilitas terkait dengan kendala atau keterpercayaan alat ukur.
Maksudnya sejauh mana alat ukur itu memberikan hasil yang kurang lebih
sama ketika diterapkan pada subjek penelitian yang sama dalam waktu yang
berbeda. Suatu instrument dikatakan konsisten atau realible apabila
memiliki nilai Cronbach’s Alpha ≥ 0,6. Penelitian ini menggunakan
software SPSS. Nilai realibilitas kuesioner sebesar 0,757 untuk kuisioner
Perilaku Merokok dalam Rumah dan 0.728 untuk kuisioner Kebiasaan
Pembakaran Sampah yang lebih besar dibandingkan dengan nilai
Cronbach’s Alpha 0,6 maka penyataan dinyatakan realible.

3.8 Teknik Pengumpulan Data


3.8.1 Alat Pengumpulan Data
1. Sampel Kasus

Pada sampel kasus, ditentukan berdasarkan data sekunder melalui


rekam medis penderita balita pneumonia yang dimiliki oleh Puskesmas
Langensari 1, dengan jumlah 33 responden. Cara pengambilan data
penelitian menggunakan data primer dan sekunder. Data primer atau data
yang diperoleh langsung dari sampel penelitian. Pada penelitian ini peneliti
akan mendatangi rumah sampel kasus satu persatu guna mendapatkan data
penelitian. Data sekunder diperoleh dari data rekam medis
2. Sampel Kontrol
45

Pada sampel kontrol, ditentukan dari sampel balita yaitu yang


bertempat tinggal di desa Kujangsari Kecamatan Langensari. Cara
pengambilan data penelitian menggunakan data primer dan sekunder, data
yang diperoleh langsung dari sampel penelitian dan data identitas balita
yang didapatkan dari status gizi puskesmas langensari 1. Sama seperti
sampel kasus, peneliti akan langsung mendatangi rumah responden pada
sampel kontrol yang sebelumnya telah dihitung terlebih dahulu untuk
mendapatkan data penelitian.

3.9 Teknik Pengolahan Data


a. Editing
Mengecek kembali kuesioner yang telah diisi saat melakukan wawancara ke
responden. Kuesioner yang diberikan pada responden telah terisi setiap
pertanyaan

b. Coding
Dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing pertanyaan dan
jawaban dengan kode berupa angka, sehingga memudahkan proses
pemasukan data di komputer

c. Scoring
Pada tahap skoring ini peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan skor
yang ditentukan berdasarkan kuesioner yang telah terisi berdasarkan hasil
wawancara dengan responden

d. Tabulating
Kegiatan tabulating meliputi memasukan data-data hasil penelitian ke dalam
table-tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang
telah ditentukan skornya

e. Data Entry
Tahap terakhir dalam penelitian ini yaitu memproses data, yang dilakukan
oleh peneliti adalah memasukkan data dari kuesioner kedalam program
statistic SPSS

f. Processing
Setelah diedit dan dikoding, diproses melalui program SPSS dengan
menggunakan uji Chi-square.

g. Cleaning
46

Membuang data atau pembersihan data yang sudah tidak dipakai

3.10 Teknik Analisis Data


a. Analisa Univariat
Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dari
hasil penelitian (Nursalam, 2003). Setiap variabel bebas dan variabel terikat
dianalisa dengan analisis deskriptif dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran mengenai tendensi sentral, proporsi dan variasi data tiap-tiap
variabel. Selanjutnya data ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi.

b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk membuktikan hipotesis dan mencari
hubungan dua variable. Analisa dilakukan menggunakan perangkat lunak
SPSS 25.0 for Windows dengan uji-chi square. Kedua variabel dalam
penelitian ini memiliki kategori ordinal. Keluaran dari uji korelasi adalah Pvalu
dan arah korelasi. Pvalue dinyatakan secara statistik bermakna apabila Pvalue <
α. Pada umumnya, α yang digunakan adalah 0.05.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


4.1.1 Letak Geografis
Wilayah kerja Puskesmas Langensari 1 mencakup dua desa dan 1
Kelurahan yaitu Desa Kujangsar, Desa Rejasari dan Kelurahan Bojongakntong.
Adapun letak geografisnya adalah antara 10828”LU – 10840”LU dan 7193OBT
–7263OBT dengan luas keseluruhan 764,3 km2.
Secara geografis Puskesmas Langensari 1 terletak di wilayah timur
Kota Banjar ± 9 KM, berbatasan langsung dengan wilayah kerja Puskesmas
langensari 2. Batas - batas wilayah kerja Puskesmas Langensari 1 sebagai
berikut :
 Utara : Desa Sinar Tanjung Kecamatan Pataruman Wilayah
kerja Puskesmas Pataruman 3
 Barat : Desa Mulyasari Kecamatan Pataruman Wilayah kerja
Puskesmas Pataruman 3
 Timur : Desa Muktisari Kecamatan Langensari Wilayah kerja
Puskesmas Langensari 2
 Selatan : Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis

Luas wilayah Puskesmas Langensari 1 adalah 14,9 KM2. Dilihat dari


keadaan topografi, wilayah Puskesmas Langensari 1 sebagian besar merupakan
daerah datar. Daerah dengan topografi yang sangat menononjol yaitu di desa
Kujangsari dengan dataran yang menghampar. Sedangkan topografi perbukitan
minor terdapat di Desa Rejasari dan Dusun Bojongsari Kel. Bojongkantong yang
keduanya berbatasan dengan desa mulyasari.

47
48

4.1.2 Keadaan Wilayah Penelitian


1. Luas Wilayah Desa Kujangsari
Desa Kujangsari memiliki Luas Wilayah 421 Hektar, yang meliputi
5 Dusun, yaitu sebagaimana tabel dibawah ini:

Tabel 4. 1 Luas Dusun Desa Kujangsari

NO DUSUN LUAS WILAYAH (Ha)


1. Dusun Citangkolo 74,740
2. Dusun Cijurey 52,790
3. Dusun Sindangasih 99,150
4. Dusun Kalapasabrang 89,160
5. Dusun Sindangmulya 89,410
JUMLAH 421

2. Gambaran Umum Demografis


Tabel 4. 2 Gambaran Wilayah Desa Kujangsari

LUAS JUMLAH RATA-RATA KEPADATAN


JUMLAH
WILAYAH RUMAH JIWA/RUMAH PENDUDUK
PENDUDUK
(km2) TANGGA TANGGA per km2

4,2 11.816 3.869 3,05 2800,46


49

Tabel 4. 3 Sebaran Usia di Desa Kujangsari

KELOMPOK JUMLAH PENDUDUK


NO
USIA (TAHUN) LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4

1 0-4 457 420

2 5-9 480 447

3 10 - 14 478 437

4 15 - 19 542 484

5 20 - 24 537 517

6 25 - 29 539 460

7 30 - 34 492 389

8 35 - 39 405 437

9 40 - 44 345 391

10 45 - 49 380 428

11 50 - 54 332 400

12 55 - 59 318 339

13 60 - 64 253 236

14 65 - 69 217 198

15 70 - 74 106 152

16 75+ 197 236


JUMLAH
6.078 55.971

4.2 Hasil Penelitian


Responden dalam penelitian ini adalah balita yang bertempat tinggal
di desa Kujangsari, yang di ambil dengan kasus dan kontrol dengan
perbandingan 1:1 antara balita yang sudah di diagnosis pneumonia dan tidak
di diagnosis pneumonia. Penelitian dilakukan sejak tanggal 4-5 April 2019
50

di Desa Kujangsari. Pada penelitian ini didapatkan 66 balita yang digunakan


sebagai sampel.

4.2.1 Analisis Univariat


Analisis univariat adalah analisis data berupa perhitungan
distribusi frekuensi dan persentase dari masing-masing variabel untuk
memperoleh informasi dari data yang telah diolah.

Tabel 4. 4 Distribusi Karakteristik Responden

Distribusi Frekuensi Frekuensi Persentase


(N=66) (%)
1. Alamat
Sindangmulya 14 21.2
Sindangasih 13 19.7
Citangkolo 12 21.2
Cijurey 14 18.2
Kalapasabrang 13 19.7
2. Usia
0 – 12 bulan 21 31.8
13 – 60 bulan 45 68.2
2. Jenis Kelamin
Laki – laki 37 56
Perempuan 29 44
3. Perilaku Merokok dalam Rumah
Merokok dalam rumah 26 39.4
Tidak merokok dalam rumah 40 60.6
4. Kebiasaan Pembakaran Sampah
Sampah di bakar 49 74.2
Sampah tidak di bakar 17 25.8

Berdasarkan tabel 4.4 diatas responden terbanyak pada penelitian ini


adalah balita yang bertempat tinggal di Sindangmulya dan Cijurey yaitu sebanyak
51

14 (21.2%) balita, lalu balita di Sindangasih dan Kalapasabrang 13 (19,7%) balita


dan responden paling sedikit yaitu balita di dusun Citangkolo yaitu 12 (18,2%)
balita. Berdasarkan data usia, proporsi usia terbanyak adalah 0 – 12 bulan yaitu
sebanyak 21 (31.8%) balita. Dan proporsi usia terendah adalah 49 – 60 bulan yaitu
5 (7.6%) balita. Dimana responden terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 37
(56%) balita dan perempuan yaitu sebanyak 29(44%) balita. Dan berdasarkan data
tersebut juga didapatkan perilaku merokok dalam rumah paling banyak adalah
tidak merokok didalam rumah sebanyak 40 (60.6%) keluarga dan proporsi merokok
didalam rumah sebanyak 26 (39.4%) keluarga. Sedangkan proporsi kebiasaan
pembakaran sampah paling banyak ditemukan adalah membakar sampah sebanyak
49 (74,3%) keluarga dan proporsi sampah yang tidak dibakar sebanyak 17 (25,8%)
keluarga.

Tabel 4. 5 Distribusi Diagnosis Pneumonia

Diagnosis Pneumonia Frekuensi (N=66) Persenatse (%)


Pneumonia 33 50.0
Bukan Pneumonia 33 50.0

Berdasarkan tabel 4.6 diatas proporsi responden yang di diagnosis pneumonia


sebanyak 33 orang (50.0%). Dan responden yang bukan pneumonia ditemukan
sebanyak 33 orang (50.0%). Hal ini diambil berdasrkan metode pengambilan
sampel yaitu dengan perbandingan 1:1 antara sampel kasus dan sampel kontrol.

4.2.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat digunakan untuk menganalisis hubungan antara dua
variabel, yakni variabel independen dan variabel dependen. Dalam penelitian ini,
analisis bivariat digunakan untuk menganalisis hubungan antara perilaku
merokok dalam rumah dan kebiasaan pembakaran sampah dengan kejadian
pneumonia.
Penelitian ini menggunakan uji statistik Chi-square dengan pengolahan
data Statistical Package for the Social Sciences versi 23.0 for windows (SPSS 23)
menggunakan derajat kepercayaan 95% (CI 95%) dengan p = 0,05. Apabila p<a,
52

maka terdapat variabel yang bermakna. Sedangkan, jika p>a maka artinya tidak
ada hubungan yang bermakna.

Tabel 4. 6 Hubungan usia dengan kejadian Pneumonia pada balita

Diagnosis P- OR CI (95%)
Variabel value
Pneumonia Non-
pneumonia Total
Usia N N N
(%) (%) (%)
11 10 21
2-12 bulan (52,4%) (47,6%) (100%)
22 23 45 0,792 1,150 0,408 –
13 – 60 bulan (48,9%) (51,1%) (100%) 3,243
33 33 66
Total (100%) (100%) (100%)

Tabel ini menunjukkan hubungan usia dengan kejadian pneumonia pada


balita, dari 66 keluarga responden di dapatkan hasil bahwa dari 33 keluarga yang
balitanya di diagnosis pneumonia, terdapat 11 (52,4%) balita dengan usia 2-12
bulan dan 22 (48,9%) balita dengan usia 13-60 bulan. Sedangkan 33 keluarga yang
memiliki balita yang tidak di diagnosis pneumonia, terdapat 10 (47,6%) balita
dengan usia 2-12 bulan dan 23 (51,1%) balita dengan usia 13-60 bulan.

Berdasarkan hasil analisa menggunakan uji chi-square dengan tabel 2x2


menunjukkan p-value 0.792 (p<0.05), OR = 1,150 dan CI (95%) = 0,408- 3,243.
Oleh karena itu, pada populasi penelitian ini tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara usia dengan kejadian pneumonia pada balita dimana OR 1,150
yang berarti bahwa anak dengan usia 13 – 60 bulan beresiko 1,1 kali lebih beresiko
terserang pneumonia dibandingkan dengan usia 2-12 bulan, namun hasil ini
menyatakan bahwa usia tidak menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia.
53

Tabel 4. 7 Hubungan jenis kelamin dengan kejadian Pneumonia pada balita

Diagnosis P- OR CI (95%)
Variabel value
Pneumonia Non-
pneumonia Total
Jenis Kelamin N N N
(%) (%) (%)
21 18 39
Laki-laki (53,8%) (46,2%) (100%)
12 15 27 0,564 1,458 0,544 –
Perempuan (44,4%) (55,6%) (100%) 3,910
33 33 66
Total (100%) (100%) (100%)

Tabel ini menunjukkan hubungan jenis kelamin dengan kejadian pneumonia


pada balita, dari 66 keluarga responden di dapatkan hasil bahwa dari 33 keluarga
yang balitanya di diagnosis pneumonia, terdapat 21 (53,8%) balita laki-laki dan 12
(44,4%) balita perempuan. Sedangkan 33 keluarga yang memiliki balita yang tidak
di diagnosis pneumonia, terdapat 18 (46,2%) balita laki-laki dan 15 (55,6%) balita
perempuan.
Berdasarkan hasil analisa menggunakan uji chi-square dengan tabel 2x2
menunjukkan p-value 0.564 (p<0.05), OR = 1,458 dan CI (95%) = 0,544- 3,910.
Oleh karena itu, pada populasi penelitian ini tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian pneumonia pada balita dimana OR
1,450 yang berarti bahwa balita dengan jenis kelamin laki-laki beresiko 1,4 kali
lebih beresiko terserang pneumonia dibandingkan dengan balita perempuan, nanum
hasil ini menyatakan bahwa jenis kelamin tidak menjadi faktor yang berhubungan
dengan kejadian pneumonia.
54

Tabel 4. 8 Hubungan perilaku merokok dalam rumah dengan kejadian Pneumonia


pada balita

Diagnosis P- OR CI (95%)
Variabel value
Pneumonia Non-
pneumonia Total
Perilaku N N N
merokok dalam (%) (%) (%)
rumah
20 6 26
Ada (76,9%) (23,1%) (100%)
13 27 40 0,000 6,923 2,243-
Tidak ada (32,5%) (67,5%) (100%) 21,367
33 33 66
Total (100%) (100%) (100%)

Tabel ini menunjukkan hubungan perilaku merokok dalam rumah dengan


kejadian Pneumonia pada balita, dari 66 keluarga responden di dapatkan hasil
bahwa dari 33 keluarga yang balitanya di diagnosis pneumonia, terdapat 20 (76,9%)
balita yang anggota keluarganya merokok di dalam rumah dan 13 (32,5%) balita
yang anggota keluarganya tidak merokok didalam rumah. Sedangkan 33 keluarga
yang memiliki balita yang tidak di diagnosis pneumonia, terdapat 6 (23,1%) balita
yang keluarganya merokok didalam rumah dan 27 (67,5%) balita yang keluarganya
tidak merokok didalam rumah.
Berdasarkan hasil analisa menggunakan uji chi-square dengan tabel 2x2
menunjukkan p-value 0.000 (p<0.05), OR = 6,923 dan CI (95%) = 2,243- 21,367.
Oleh karena itu, pada populasi penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan
antara perilaku merokok di dalam rumah dengan kejadian pneumonia pada balita
dimana OR 6,923 yang berarti bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan perilaku merokok dalam rumah balitanya beresiko 6,9 kali lebih beresiko
terserang pneumonia dibandingkan dengan keluarga yang tidak merokok di dalam
rumah.
55

Tabel 4. 9 Hubungan kebiasaan pembakaran sampah dengan kejadian pneumonia

Diagnosis P- OR CI (95%)
Variabel value
Pneumonia Non-
pneumonia Total
Kebiasaan N N N
Pembakaran (%) (%) (%)
Sampah
Sampah dibakar 27 22 49
(55,1%) (24,5%) (100%)
Sampah tidak 6 11 17 0,159 2.250 0.717 –
dibakar (8,5%) (8,5%) (100%) 7.056
33 33 66
Total (100%) (100%) (100%)

Tabel menunjukkan hubungan kebiasaan pembakaran sampah dengan


kejadian Pneumonia pada balita, dari 66 keluarga responden di dapatkan hasil
bahwa dari 33 keluarga yang balitanya di diagnosis pneumonia, terdapat 27
(55,1%) balita yang keluarganya biasa melakukan pembakaran sampah dan 6
(8,5%) balita yang keluarganya tidak mengelola sampah dengan dibakar.
Sedangkan 33 keluarga yang memiliki balita yang tidak di diagnosis pneumonia,
terdapat 22 (24,5%) balita yang melakukan pembakaran sampah dan 11 (8,5%)
balita yang keluarganya tidak mengelola sampah dengan dibakar.

Berdasarkan hasil analisa menggunakan uji chi-square dengan tabel 2x2


menunjukkan p-value 0.159 (p<0.05), OR = 2.250 dan CI (95%) = 0.717- 7,056.
Maka dapat disimpulkan bahwa, pada populasi penelitian ini tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara kebiasaan pembakaran sampah dengan kejadian
pneumonia pada balita dimana OR 2.250 yang berarti bahwa keluarga yang
memiliki kebiasaan membakar sampah balitanya beresiko 2.2 kali lebih beresiko
terserang pneumonia dibandingkan dengan keluarga yang tidak membakar
sampah, namun pembakaran sampah tidak dapat dipastikan menjadi faktor yang
mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.
56

4.3 Pembahasan
4.3.1 Hubungan Usia dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

Dari data yang sudah didapatkan balita yang berusia 13-60 bulan lebih
rentan terhadap pneumonia dibanding anak-anak yang berusia 2-12 bulan, anak
– anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terkena pneumoni karena sistem
kekebalan tubuh yang belum sempurna dan saluran napas yang relatif lebih
sempit (Depkes RI, 2004), hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa usia tidak
berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita. Berdasarkan hasil analisa
menggunakan uji chi-square menunjukkan p-value 0.792 (p>0.05). Hal ini
sesuai dengan penelitian oleh Setyoningrum dan Setyowati di RSUD
Dr.Soetomo menyatakan bahwa usia tidak berkaitan dengan kejadian
pneumonia pada balita dikarenakan oleh banyak faktor penyebab dari
pneumonia. Kejadian Pneumonia lebih berpengaruh karena faktor lingkungan
itu sendiri seperti Paparan asap rokok ataupun asap dari pembakaran sampah,
asap pembakaran yang dihasilkan oleh sampah akan menyebabkan rangsangan
pada saluran pernapasan pada balita, sehingga balita menjadi rentan mengalami
batuk, sesak nafas, sakit kepala dan pusing. Bila terus dibiarkan kondisi ini akan
memperberat terjadinya penyakit pneumoni.
Status gizi juga mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita karena
balita dengan status gizi kurang memiliki risiko 9,1 kali lebih besar untuk
terkena pneumonia dibandingkan balita dengan status gizi baik. Imunisasi juga
sangat berpengaruh terhadap kejadian pneumonia karena imunisasi dapat
menekan terjadinya angka pneumonia pada balita. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan David M le Roux dkk yang menyatakan bahwa usia
memiliki hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita dengan p-value
0.01(p<0.05). Penelitian lain yang dilakukan oleh Nana Aldriana di Puskesmas
Rambah Samo tahun 2014 juga menyatakan bahwa usia memiliki hubungan
dengan kejadian pneumonia balita dengan p-value 0.002 (p<0.05). Penelitian
yang dilakukan oleh Dian Ayu di Jakarta pada tahun 2014 juga menyatakan
bahwa usia memiliki hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita dengan
p-value 0.001 (p<0.05).
57

4.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Pneumonia


Berdasarkan uji statistik hubungan jenis kelamin, didapatkan nilai P-
value dari Pearson Chi-Square sebesar 0.564, dimana nilai P-value > 0,05,
sehingga tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan terjadinya
pneumonia pada balita.

Tidak ada hubungan dipenelitian ini sesuai dengan penelitian Hartati


bahwa tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian
pneumonia pada anak. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh faktor ekstrinsik lain
yang berperan dalam kejadian pneumonia di daerah tersebut seperti lingkungan
tempat tinggal anak, status gizi yang kurang dan status imunisasi yang tidak
lengkap.

Dari hasil penelitan ini juga menyatakan bahwa kejadian pneumonia


balita lebih sering terjadi pada balita laki-laki dibandingkan dengan perempuan,
hal ini sejalan dengan penelitian Lisa Adhia Garina dkk pada tahun 2016, bahwa
pasien pneumonia pada balita mayoritas terjadi pada balita laki-laki sebanyak
27 (63%). Pada penelitian Sunyataningkamto dkk, bahwa balita laki-laki
berisiko 1,5 kali lebih besar untuk mengalami pneumonia bila dibandingkan
dengan perempuan, hal ini dimungkinkan oleh perbedaan fisik anatomi saluran
pernapasan laki-laki dengan perempuan. Secara umum ukuran jalan napas pada
anak balita laki-laki lebih kecil dibanding dengan perempuan atau perbedaan
dalam ketahanan tubuh yang dipengaruhi oleh kromosom seks. Berbeda halnya
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarika Mauli di wilayah kerja puskesmas
Kota Sigli Kabupaten Pidie, Banda Aceh pada tahun 2013, pneumonia lebih
banyak ditemukan pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dengan
perbandingan 1,3 : 1.

4.3.3 Hubungan Perilaku Anggota Keluarga yang Merokok dalam Ruman


dengan Kejadian Pneumonia
58

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Kujangsari


Kecamatan Langensari didapatkan hasil bahwa dari 33 keluarga yang memiliki
balita dengan diagnosis pneumonia terdapat 20 (76,9%) keluarga dengan
perilaku merokok dalam rumah. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan keluarga
yang tidak memiliki perilaku merokok didalam rumah, dimana hanya 13 (32,5%)
keluarga dengan balita yang terserang pneumonia.

Untuk hasil uji chi-square menunjukkan nilai p-value sebesar 0.000 (p<
0.05), hasil ini dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara
kejadian pneumonia balita pada keluarga yang merokok didalam rumah dengan
keluarga yang tidak merokok dalam rumah serta didapatkan nilai nilai OR 6,923
yang berarti bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan perilaku
merokok dalam rumah balitanya beresiko 6,9 kali lebih beresiko terserang
pneumonia dibandingkan dengan keluarga yang tidak merokok di dalam rumah.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Almer Aprilioza pada
tahun 2015 yang mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara kejadian pneumonia pada balita dengan kebiasaan merokok didalam
rumah dengan p-value 0.049. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hadi Saputra pada tahun 2017 yang menunjukkan bahwa
perbedaan yang signifikan pada kejadian ISPA balita pada keluarga yang
merokok dalam rumah dan keluarga yang tidak merokok dengan p-value 0.028.
hal ini juga sesuai dengan teori WHO yang menyatakan bahwa salah satu faktor
resiko peningkatan kerentanan pada anak untuk terjadinya pneumonia adalah
orang tua yang merokok.

Salah satu faktor yang menyebabkan kejadian pneumonia balita adalah


karena adanya anggota keluarga yang merokok didalam rumah, sehingga
menyebabkan balita beresiko tinggi terpapar asap rokok (perokok pasif). Asap
rokok juga sangat berbahaya karena terbukti mengandung bahan kimia yang
telah menyebabkan kanker serta dapat meningkatkan resiko anak kecil terserang
penyakit saluran napas (Warner dan Kelly, 2009). Balita yang menjadi perokok
pasif dalam rumahnya memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang
59

penyakit bronkhitis, pneumonia, dan infeksi saluran napas lainnya (Edlin dan
Golanty, 2010).

Rokok dapat mengganggu fungsi pertahanan paru, melalui gangguan


fungsi silia dan kerja sel makrofag alveolus. Kedua mekanisme tersebut
menyebabkan mikroorganisme yang masuk ke dalam saluran napas dengan
mudah masuk mencapai paru-paru lalu merusak jaringan paru dengan
mengeluarkan toksin sehingga agen infeksius masuk ke dalam saluran
pernapasan, kemudian melakukan adhesi pada dinding bronkus dan bronkiolus
lalu bermultiplikasi dan timbul pemicu untuk terjadinya inflamasi dalam tubuh.
Akibatnya kantung udara alveoli yang terisi eksudat, maka proses difusi oksigen
dan karbondioksida menjadi terganggu sehingga pasien yang mengidap penyakit
ini akan mengalami hipoksemia dan hiperkapnia (Cinar dkk, 2010).

Balita merupakan masa dimana struktur tubuh belum sempurna atau


matur sehingga masa balita biasa disebut sebagai masa pertumbuhan dan
perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada masa balita
merupakan salah satu penyebab tingginya resiko balita terserang penyakit
pernapasan karena sistem fisiologis belum sempurna pada masa ini (Wong dkk,
2012). Penelitian telah banyak dilakukan terkait dengan pengaruh asap rokok
terhadap kesehatan pernapasan balita (Winarni dkk, 2010) mengatakan bahwa
terdapat hubungan antara perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang
tinggal di dalam satu rumah dengan kejadian pneumonia pada balita.

Dari data hasil penelitian didapatkan bahwa frekuensi anggota keluarga


yang merokok sebesar 61 (92,4%) dari 66 responden yang diteliti. Data tersebut
menunjukan bahwa masih banyak kebiasaan merokok yang dilakukan oleh
anggota keluarga di dalam rumah. Tingginya frekuensi anggota keluarga yang
merokok ini menjadi suatu permasalahan yang terjadi terutama menjadi
permasalah terhadap angka kejadian pneumonia pada balita. Penelitian terbaru
juga menunjukkan adanya bahaya dari secondhand-smoke, yaitu asap rokok
yang terhirup oleh orang-orang bukan perokok karena ada disekitar perokok,
atau biasa dengan perokok pasif. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat
buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung (Atika dan Eni,
60

2012). Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan,
dan 200 diantaranya sangat berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok
adalah nikotin, tar, dan karbon monoksida (Bambang,2006)

Berbagai penelitian tentang rokok telah membuktikan bahwa bahan


kimia yang terkandung dalam rokok bersifat karsinogenik dan dapat memicu
berbagai penyakit pada sistem pernafasan, karena kandungan dari rokok
menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran pernafasan dan jaringan paru-
paru. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa 27 (40,9%) anggota keluarga
merokok didalam rumah. Untuk ventilasi yang terbuka saat anggota keluarga
merokok di dalam rumah sebesar 33 (50%). Karena asap rokok yang terdapat di
rokok ini sangat berbahaya bagi kesehatan saluran nafas maka saat perilaku
merokok didalam rumah ini tinggi, komponen dari rokok ini akan mempengaruhi
kesehatan saluran pernafasan, terutama saluran pernafasan pada balita yang
sangat renta. Komponen yang paling banyak dijumpai di dalam rokok salah satu
nya adalah nikotin. Nikotin merupakan alkaloid yang bersifat stimulan dan pada
dosis tinggi bersifat racun, nikotin juga dapat menyebabkan radang saluran
pernafasan yang ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP),
tumor necrosis factor (TNF- ) akibat dari adanya senyawa radikal bebas

(Crofton, 2002). Tar adalah senyawa polinuklin hidrokarbon aromatik yang


bersifat karsinogenik. Tar dapat merusak sel paru karena dapat lengket dan
menempel pada jalan nafas dan paru-paru sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya kanker (Sitepoe, 2000). Hidrogen Sianida (HCN) merupakan sejenis
gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak memilik rasa. Zat ini sangat
efesien untuk mengganggu pernafasan dan merusak saluran nafas (Sitepoe,
2000).

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa anggota keluarga lebih banyak


mengkonsumsi rokok tidak filter sebanyak 50 (75,8%) anggota keluarga,
walaupun ada anggota keluarga yang mengkonsumsi rokok filter tetapi itu juga
tidak lebih baik. Penelitian dari Departemen Pulmonologi FK UI menyatakan
anggapan rokok filter lebih aman ketimbang rokok kretek itu tidaklah benar.
61

Rokok kretek memicu pertumbuhan sel kanker di trakea, sementara rokok filter
menumbuhkan sel kanker di perifer bronkus.

Asap rokok dapat dikelompokkan menjadi fase tar dan fase gas. Pada fase
tar yaitu bahan yang terserap dari penyaringan asap rokok menggunakan filter
catridge dengan ukuran partikel >0,1µm termasuk nikotin dan gas. Fase ini
memiliki kandungan >1017 radikal bebas per gram, dan >1015 radikal bebas tiap
kali isapan. Radikal bebas dari fase tar memiliki waktu paruh lebih lama, yaitu
dalam beberapa jam sampai bulan, sedangkan radikal bebas dari fase asap gas
hanya memiliki waktu baru beberapa detik.

Paparan asap rokok lingkungan sebagai salah satu faktor risiko timbulnya
infeksi saluran pernapasan, satu batang rokok yang dinyalakan akan
menghasilkan asap sampingan sekitar 10 menit, sementara asap utamanya hanya
akan dikeluarkan pada waktu rokok itu dihisap dan biasanya hanya kurang dari
1 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu ke udara bebas sebelum
dihisap oleh perokok pasif, tetapi kadar berbahayanya lebih tinggi dari pada asap
utama, maka perokok pasif tetap menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok
disekitarnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sri Tanjung pada tahun
2016, semakin lama balita terpapar asap rokok setiap hari maka semakin tinggi
risiko balita terkena infeksi saluran napas karena asap rokok yang mengganggu
sistem pertahanan respirasi. Menurut Corwin (2009) menyatakan bahwa
merokok mengganggu efektivitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi,
Produk produk asap rokok merangsang pembentukan mucus dan menurunkan
pergerakan silia, dengan demikian terjadi penimbunan mucus dan peningkatan
risiko pertumbuhan bakteri sehingga memperudah timbulnya ISPA.
62

4.3.4 Hubungan Kebiasaan Pembakaran Sampah dengan Kejadian


Pneumonia

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 66 keluarga di desa


kujangsari puskesmas langensari 1, diperoleh hasil bahwa 46 keluarga yang
melakukan pengelolaan sampah dengan dibakar 24 balita (52,2%) terdiagnosis
pneumonia dan 22 balita (47,8%) tidak terdiagnosis pneumonia. Hasil ini lebih
tinggi dibandingkan dengan keluarga yang melakukan pengelolaan sampah non
di bakar, dimana dari 20 balita didapatkan 9 balita (45%) di diagnosis
pneumonia dan 11 balita (55%) tidak terdiagnosis pneumonia.

Untuk hasil uji chi-square menunjukkan p-value sebesar 0,592, dimana


p-value >0,05. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Ho diterima, dimana tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian pneumonia balita pada
keluarga yang melakukan pengelolaan sampah dengan di bakar serta nilai OR
1,33 yang menunjukkan bahwa keluarga yang melakukan pengelolaan sampah
dengan di bakar balitanya beresiko 1,3 lebih sering terdiagnosis pneumonia
dibandingkan dengan keluarga yang tidak melakukan pengelolaan sampah
dengan dibakar.

Ketersediaan tempat pembuangan sampah pada tempat tinggal


responden menunjukkan bahwa sebanyak 15.2% tidak memiliki tempat sampah
yang khusus. Dan sebanyak 84,8% tidak memiliki tempat pembuangan sampah.
Warga yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah kemungkinan besar
cara penanganan sampahnya adalah juga dengan cara dibakar di sekitar rumah.
Oleh karena cara penanganan sampah dengan dibakar adalah cara penanganan
yang dirasa paling mudah dan praktis, karena langsung menghilangkan sampah
yang dibersihkan sebelumnya. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil penelitian di
desa Kujangsari pengolahan sampah oleh warga dilakukan dengan cara di bakar
yaitu sebanyak 87,9 % dan yang tidak di bakar hanya 12,1%. Selain itu, sisanya
diambil petugas kesehatan, ditimbun, dan dibuang ke sungai.

Sebelum di buang atau di bakar sebanyak 51% warga tidak memilah


sampahnya dibagi menjadi organik dan anorganik terlebih dahulu. Dan 48%
63

warga lainnya memilah sampah terlebih dahulu. Sampah yang di bakar oleh
warga sebanyak 47,0% merupakan sampah yang tidak mudah di urai dan 40,9%
merupakan pembakaran sampah yang mudah di urai. Pembakaran sampah
anorganik seperti plastik menghasilkan zat aktif nitrogen dioksida yang dapat
mengakibatkan gangguan pada saluran pernafasan (Fardiaz, 2012).

Keadaan ventilasi rumah yang baik juga dapat menurunkan risiko untuk
meningkatkan angka kejadian pneumonia. Hasil puskesmas Langensari 1 untuk
ventilasi di desa Kujangsari menunjukkan memenuhi syarat sebesar 96.76% dan
tidak memenuhi syarat sebesar 4.28%. Ventilasi rumah mempunyai banyak
fungsi. Ventilasi yang baik akan menyebabkan banyaknya kadar O 2 didalam
rumah yang berarti kadar CO2 akan menurun. Sehingga sirkulasi atau aliran
udara didalam rumah lancar yang dapat membawa bakteri keluar rumah dan
dapat menurunkan paparan asap yang berasal dari sampah dibakar
(Suhandayani, 2017).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh


Herman (2011) di desa Bantimurung kabupaten Pangkep yang menyatakan
bahwa tidak adanya hubungan antara paparan asap sampah dengan kejaadian
pneumonia. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang menjadi penyebab
penyakit pneumonia bukan hanya paparan asap sampah, masih banyak faktor
lain yang yang menjadi penyebab penyakit pneumonia misalnya, kepadatan
hunian, ventilasi atapun sistem imun dari balita itu sendiri.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh meirinda (2013) yang


menyatakan bahwa semakin banyak sampah yang dihasilkan maka juga
semakin banyak sampah yang dibakar. Semakin banyak sampah yang dibakar
maka asap yang dihasilkan juga semakin banyak. Banyaknya asap yang
memapari bayi/balita di Desa Patokan dan berlangsung secara terus menerus
serta dalam jangka waktu yang relatif panjang akan sangat berpengaruh
terhadap kesehatan misalnya timbulnya batuk-batuk dan sesak napas.

BAB V
64

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan data yang di dapatkan dari penelitian ini di dapatnya sebanyak
33 kasus balita terdiagnosis pneumonia sejak bulan Januari- Maret 2019 di
Desa Kujangsari Kecamatan Langensari
2. Dari 66 balita yang mengikuti penelitian ini, hasil yang di dapatkan di
dominasi oleh balita yang keluarganya memiliki perilaku merokok di dalam
rumah yaitu sebanyak 60,6% dan sebanyak 39,4% balita yang keluarganya
tidak meiliki perilaku merokok dalam rumah.
3. Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan sebanyak 74,2% balita
keluarganya memiliki kebiasaan membakar sampah dan hanya 25,8% yang
tidak memiliki kebiasaan membakar sampah.
4. Dari hasil penelitian ini yang menghubungkan usia dengan angka kejadian
pneumonia balita menggunakan uji chi-square 2x2 didapatkan p-value
0.792 ( p >0.05) yang berati tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
usia dengan kejadian pneumonia pada balita di Desa Kujangsari pada
periode 2 Januari – 30 Maret 2019
5. Berdasarkan hasil penelitian ini hubungan jenis kelamin dengan angka
kejadian pnemonia balita menggunakan uji chi-square 2x2 menghasilkan p-
value 0.564 artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan kejadian pneumonia pada balita di Desa Kujangsari pada
periode 2 Januari – 30 Maret 2019
6. Hasil dalam penelitian yang menghubungkan antara perilaku anggota
keluarga yang merokok di dalam rumah dengan angka kejadian pneumonia
pada balita dengan uji chi-square 2x2 menghasilkan p-value 0.000 (p < 0.05)
yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku
merokok anggota keluarga dalam rumah dengan angka kejadian pneumonia
pada balita di Desa Kujangsari pada periode 2 Januari – 30 Maret 2019
7. Berdasarkan pengolahan data menggunakan uji chi-square 2x2 yang
menghubungkan kebiasaan pembakaran sampah dengan angka kejadian
pneumonia pada balita menghasilkan p-value 0.159 (p>0.05) dimana hal ini
65

berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan


pembakaran sampah dengan angka kejadian pneumonia pada balita di Desa
Kujangsari pada periode 2 Januari – 30 Maret 2019

5.2 Saran
1. Bagi Ibu yang Memiliki Anak Balita
Kepada orang tua khususnya ibu balita untuk menjauhkan balita dari
paparan asap rokok dan mengharuskan anggota keluarga merokok di luar
rumah, dengan cara jika ada yang merokok balita tidak di izinkan untuk
berdekatan dengan orang tersebut, setelah anggota keluarga merokok maka
di haruskan mencuci tangan ataupun mengganti pakaian nya jika ingin
bersentuhan dengan balita.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti kembali variable
kebiasaan pembakaran sampah dengan lebih mendalam dengan
kejadian pneumonia balita
b. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian kualitatif
tentang sulit nya perilaku manusia yang tidak dapat meninggalkan
rokok
3. Bagi Puskesmas Langensari 1
Puskesmas Langensari 1 diharapkan harus lebih meningkatkan kembali
pelaksanaan promosi PHBS teruta perilaku merokok dalam rumah dan
Rumah Tangga Sehat dimana kedua hal ini memiliki pengaruh yang cukup
besar terhadap kejadian infeksi saluran napas khusunya pneumonia,
sehingga hal ini di harapkan dapat menurunkan tingginya perilaku merokok
dalam rumah tangga dimana tempat balita tinggal.

4. Bagi Dinas Kesehatan Kota Banjar


66

a. Diharapkan untuk memberikan program penanganan pneumonia bagi


balita di pedesaan dan penyuluhan tentang bahaya merokok untuk
kesehatan balita.
b. Perlu adanya peningkatan pelayanan kesehatan pada balita tentang
penyakit infeksi saluran napas karena penyakit infeksi tersebut adalah
penyakit yang sering di derita oleh bayi dibawah lima tahun, selain itu
penyakit tersebut mudah sekali tertular pada bayi dibawah lima tahun,
dan penyakit tersebut mudah sekali menular dimana balita masih
memiliki daya tahan tubuhnya masih sangat rentan terhadap penyakit.
67

DAFTAR PUSTAKA

1. Monita, O., Yani, F. and Lestari, Y. (2019). Profil Pasien Pneumonia


Komunitas di Bagian Anak RSUP DR. M. Djamil Padang Sumatera Barat.
2. Adhia, L. (2016). Hubungan Faktor Risiko dan Karakteristik Gejala Klinis
dengan Kejadian Pneumonia pada Balita. Global Medical and Health
Communication,, Vol. 4(1).
3. Hadisuwarno, W., Setyoningrum, R. and Umiastuti, P. (2015). Host factors
related to pneumonia in children under 5 years of age. Paediatrica
Indonesiana, 55(5), p.248.
4. Efni, Y., Machmud, R. and Pertiwi, D. (2016). Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Kelurahan Air
Tawar Barat Padang. Jurnal kesehatan andalas, 5(2).
5. le Roux, D., Myer, L., Nicol, M. and Zar, H. (2015). Incidence and severity
of childhood pneumonia in the first year of life in a South African birth
cohort: the Drakenstein Child Health Study. The Lancet Global Health, 3(2),
pp.e95-e103.
6. Aldriana, N. (2014). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pneumonia
Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Rambah Samo 1 Tahun
2014. journal maternity and neonatal, 1(6).
7. Ayu, D. Kamso, S. (2014). Aldriana, N. (2014). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Rambah Samo 1 Tahun 2014. journal maternity and neonatal, 1(6). FKMUI.
8. N Mia, Rusdi, Desmawati. Hubungan Status Gizi dengan Derajat
Pneumonia pada Balita di RS. Dr. M. Djamil Padang. 2014. Jurnal FK
Unand.

9. Frini M, Rahman N, Herman. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada


Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Kota Palu . 2018 Juni(09): 34-
77. Available from; Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako.
10. Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI. (2018).
68

11. Wiyatiningrum, Agustina. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Kepala


Keluarga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di
Puskesmas Banyudono 1 Kabupaten Boyolali. 2010.
12. Oktaviani VA. Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Desa Cepogo Kecamatan
Cepogo Kabupaten Boyolali. 2009.
13. Oktaviani I dan Maesaroh S. Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita di Puskesmas Kecamatan Teluknaga
Kabupaten Tangerang. Jurnal Komunikasi Kesehatan. 8 (1), pp 1-16 (2017).
14. Syahputra H, Sabrian N, Utomo W. Perbandingan Kejadian ISPA Balita
pada Keluarga yang Merokok di dalam Rumah dengan Keluarga yang
Tidak Merokok. Jurnal Keperawatan Komunitas. 2 (1), 7-14; Mei 2014.
15. Aprilioza A, Argadireja DS, Feriandi Y. Hubungan Kebiasaan Merokok
pada Orang Tua di Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Plered. 325-328 (1); Penelitia Sivitas Akademika
Unisba. 2017.
16. Tanjung S, Cahyanto EB. Hubungan Antara Lama Paparan Asap Rokok
dengan Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Gambirsari
Surkarta. 1-9; Jurnal Fakultas Kedokteran UNS. 2015
17. Tatalaksana Pneumoni balita di Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Kemenkes RI, tahun 2018
18. Dwiyatmo, Kus. 2016. Pencemaran Lingkungan dan Penangannya.
Yogyakarta: Citra Aji Parama.
19. Hadiwiyoto, S. 2013. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah, Jakarta:
Yayasan Idayu.
20. Kartikawan, Yudhi. 2012. Pengelolaan Persampahan, Yogyakarta: Jurnal
Lingkungan Hidup
21. Herman. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit
Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Desa Bantimurung Kecamatan
Tondong Taliasa Kabupaten Pangkep. Makassar; Universitas Alauddin
Makassar. Press
69

22. Meirinda, 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Udara


dalam Rumah di sekitar Tempat pembuangan Akhir Sampah Kelurahan
Terjun Kecamatan Medan Marelan. Medan: Universitas Sumatera Utara
Press
23. PERMENKES/NOMOR 1077/MENKES/PER/V/2013. Pedoman
Penyehatan Udara Dalam Ruangan Rumah. Jakarta. didownload dari
http://www.hukor.depkes.go.id diakses tanggal 03 April 2019
24. Soemirat, Juli. 2014. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta. Gadjah Mada
Univesity Press.
25. Mukono, 2016. Prinsip Dasar Lingkungan. Surabaya: Airlangga University
Press
26. Yulistiowati, N. Kebiasaan Merokok Orang Tua yang Menderita ISPA pada
Balita di Puskesmas Siwalan Kabupaten Pekalongan. 2011.

27. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti Pedoman


Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI, Jakarta : 2003
28. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Badan Litbang Depkes RI,
Jakarta 2018.
29. Silbernagl Stefan, Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
EGC, Jakarta 2003.
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Informed Consent

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


Saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia :
Alamat :
Setelah mendapatkan penjelasan dan mengerti tentang tujuan penelitian dengan
judul “Hubungan Antara Karakteristik Responden, Perilaku Merokok
Anggota Keluarga Dalam Rumah dan Kebiasaan Pembakaran Sampah
dengan Angka Kejadian Pneumonia di Desa Kujangsari Langensari 1
Kecamatan Langensari Periode 2 Januari – 30 Maret 2019” yang akan
dilakukan oleh peneliti.
Bahwa saya diminta untuk berperan serta dalam penelitian yang nantinya
akan mengisi kuesioner. Sebelumnya, saya sudah diberikan penjelasan mengenai
maksud dan tujuan penelitian ini dan saya mengerti bahwa peneliti akan menjaga
kerahasiaan diri saya. Bila saya merasa tidak nyaman, maka saya berhak untuk
mengundurkan diri.
Demikian secara sadar, sukarela, dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun,
saya bersedia berperan serta dalam penelitian ini dan bersedia menandatangani
lembar persetujuan ini.

Banjar, April 2019

( )

70
Lampiran 2. Form Observasi

“HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK RESPONDEN, PERILAKU


MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DALAM RUMAH DAN
KEBIASAAN PEMBAKARAN SAMPAH TERHADAP ANGKA
KEJADIAN PNEUMONIA DI DESA KUJANGSARI PUSKESMAS
LANGENSARI 1 KOTA BANJAR BULAN JANUARI-MARET 2019”

A. Data Demografi
Nama Balita :
Nama Kepala Keluarga :
Alamat :
Usia :
Jenis Kelamin :
B. Status Kesehatan Balita
1. Status gizi
a. BB/U :
b. TB/U :
c. BB/TB :
2. Imunisasi
a. Lengkap
b. Tidak lengkap
C. Perilaku Merokok Dalam Rumah
1. Apakah ada anggota keluarga yang merokok ?
a. ya b. tidak
2. Apakah anggota keluarga merokok dalam rumah?
a. ya b. tidak
3. Ketika ada anggota keluarga yang merokok, apa jendela tertutup?
a. ya b. tidak
4. berapa banyak rokok yang dihabiskan oleh anggota keluarga yang
merokok dalam 1 hari?
a. ≤ 20 batang b. > 20 batang
5. Berapa lama rumah ibu terpapar asap rokok dalam waktu satu hari?
a. ≤30 menit b. >30 menit
6. Jika ada yang merokok di sekitar balita, apakah balita tetap berada
dekat dengan perokok tersebut?
a. ya b. tidak
7. Jenis rokok apa yang dikonsumsi oleh anggota keluarga ibu yang
merokok?
a. filter b. non filter\
8. Jika anggota keluarga merokok diluar rumah, apakah jarak merokok
dari rumah >10 meter?
a. ya b. Tidak
D. Kebiasaan Pembakaran Sampah
1. Apakah dirumah tersedia tempat pembuangan sampah?
a. ya b. tidak
2. Apakah di rumah sampah tidak di pilah menjadi organik (daun, sisa
makan, kulit buah) dan sampah anorganik (plastik, ember, kresek)
sebelum di buang?
A, ya b. tidak
3. Apakah sampah yang ada dibuang dengan cara dibakar?
a. ya b. tidak
4. Jika ya, apakah sampah yang dibakar adalah sampah yang mudah
diurai (daun, sisa makanan, kulit buah, dan lain-lain)?
a. Ya b. tidak
5. Apakah pembakaran sampah dilakukan tidak dekat dari rumah (>10
meter)?
a. ya b. tidak
6. Jika dilakukan pembakaran sampah dekat rumah, apakah ventilasi
ditutup?
a. ya b. tidak
7. kapan pembakaran sampah biasa di lakukan?
a. Pagi atau siang b. sore atau malam
8. Apakah pembakaran sampah dilakukan < 3x dalam satu minggu?
a. ya b. Tidak
Lampiran 3. Lembar Persetujuan Dinas Kesehatan Kota Banjar
Lampiran 4. Daftar Coding Responden Penelitian

No. Jenis Perilaku


Responden Kelamin Merokok Kebiasaan
dalam Pembakaran Diagnosis
Dusun Usia Rumah Sampah Pneumonia
001 1 1 1 2 1 1
002 1 2 2 2 1 1
003 1 1 1 2 2 1
004 1 1 1 2 2 1
005 1 2 1 2 2 1
006 1 1 1 2 1 1
007 1 2 2 1 1 1
008 1 1 1 2 1 1
009 1 2 2 1 1 1
010 1 2 2 1 1 1
011 1 2 1 2 1 1
012 1 2 1 2 1 1
013 1 1 1 1 1 1
014 1 2 1 2 1 1
015 2 2 2 1 1 1
016 2 2 2 1 1 1
017 2 1 1 2 1 2
018 2 2 1 2 1 2
019 2 1 2 2 2 2
020 2 2 2 2 1 2
021 2 1 1 1 1 2
022 2 1 1 1 1 2
023 2 2 1 2 1 2
024 2 1 2 2 1 2
025 2 2 2 2 2 2
026 2 1 2 2 2 2
027 2 2 2 2 2 2
028 3 2 2 1 1 1
029 3 2 2 1 1 1
030 3 2 1 1 1 1
031 3 2 2 2 1 2
032 3 2 1 1 1 2
033 3 2 2 2 1 2
034 3 2 1 1 1 1
035 3 2 1 2 2 2
036 3 2 1 2 2 2
037 3 1 1 2 2 2
038 3 2 1 2 2 2
039 3 2 2 2 2 2
040 3 2 1 2 2 2
041 3 2 2 1 1 2
042 4 1 2 1 1 1
043 4 1 1 1 2 1
044 4 2 1 2 1 1
045 4 2 2 1 1 2
046 4 1 1 2 1 2
047 4 1 1 2 1 2
048 4 2 2 2 1 2
049 4 1 1 2 1 2
050 4 2 1 1 1 1
051 4 1 1 1 1 1
052 4 1 2 1 1 1
053 4 2 1 1 1 2
054 5 2 1 1 1 1
055 5 2 2 1 2 1
056 5 2 1 1 2 1
057 5 2 2 2 1 1
058 5 1 1 2 1 1
059 5 2 1 2 1 2
060 5 2 2 2 1 2
061 5 2 1 2 2 2
062 5 2 2 2 1 2
063 5 2 2 2 1 2
064 5 2 1 2 1 2
065 5 2 1 1 1 1
066 5 2 1 1 1 1
Lampiran 5. Daftar Coding Responden Validasi Kuisioner Perilaku Merokok
dalam Rumah

No Total
Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Answer
1 2 3 4 5 6 7 8
1 14
1 2 2 2 2 2 1 2
2 10
1 1 2 1 1 2 1 1
3 14
1 2 2 2 2 2 2 1
4 15
1 2 2 2 2 2 2 2
5 16
2 2 2 2 2 2 2 2
6 16
2 2 2 2 2 2 2 2
7 16
2 2 2 2 2 2 2 2
8 13
1 2 2 2 2 2 1 1
9 11
1 2 1 2 2 1 1 1
10 16
2 2 2 2 2 2 2 2
11 13
1 2 2 2 2 1 2 1
12 13
1 2 2 2 2 1 2 1
13 10
1 1 1 1 2 1 1 2
14 10
1 1 1 1 2 1 1 2
15 16
2 2 2 2 2 2 2 2
16 10
1 1 2 1 1 1 1 2
17 12
1 2 2 2 1 1 1 2
18 12
1 1 2 2 1 1 2 2
19 11
1 1 1 2 2 1 2 1
20 16
2 2 2 2 2 2 2 2
21 15
2 2 2 2 1 2 2 2
22 11
1 2 2 2 1 1 1 1
23 16
2 2 2 2 2 2 2 2
24 12
1 1 2 1 2 2 2 1
25 14
1 2 2 2 2 2 1 2
26 10
1 1 2 1 1 2 1 1
27 14
1 2 2 2 2 2 2 1
28 15
1 2 2 2 2 2 2 2
29 16
2 2 2 2 2 2 2 2
30 16
2 2 2 2 2 2 2 2
Lampiran 6. Daftar Coding Responden Validasi Kuisioner Kebiasaan
Pembakaran Sampah

No Total
Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Quest. Answer
1 2 3 4 5 6 7 8
1 12
2 2 1 1 1 1 2 2
2 13
2 2 1 1 1 2 2 2
3 10
2 1 1 1 1 2 1 1
4 15
2 1 2 2 2 2 2 2
5 12
2 2 1 2 1 1 1 2
6 11
2 1 1 1 1 1 2 2
7 12
2 2 1 1 1 1 2 2
8 11
1 2 1 1 1 1 2 2
9 14
1 1 2 2 2 2 2 2
10 15
1 2 2 2 2 2 2 2
11 11
2 2 1 1 2 1 1 1
12 11
1 2 2 1 1 1 2 1
13 8
1 1 1 1 1 1 1 1
14 8
1 1 1 1 1 1 1 1
15 9
1 1 1 1 2 1 1 1
16 12
2 2 1 1 1 2 2 1
17 10
2 1 1 1 2 1 1 1
18 10
2 1 1 1 1 1 2 1
19 8
1 1 1 1 1 1 1 1
20 9
1 1 1 1 1 1 2 1
21 12
2 1 1 1 2 1 2 2
22 13
2 1 1 1 2 2 2 2
23 15
2 2 2 1 2 2 2 2
24 13
2 2 1 1 2 2 1 2
25 12
2 2 1 1 1 1 2 2
26 13
2 2 1 1 1 2 2 2
27 10
2 1 1 1 1 2 1 1
28 15
2 1 2 2 2 2 2 2
29 12
2 2 1 2 1 1 1 2
30 11
2 1 1 1 1 1 2 2
Lampiran 7. Hasil SPSS Responden Penelitian
Alamat
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Sindangmulya 14 21.2 21.2 21.2
Sindangasih 13 19.7 19.7 40.9
Cijurey 14 21.2 21.2 62.1
Citangkolo 12 18.2 18.2 80.3
Kalapasabrang 13 19.7 19.7 100.0
Total 66 100.0 100.0

Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 0-12 bulan 21 31.8 31.8 31.8
13-60 bulan 45 68.2 68.2 100.0
Total 66 100.0 100.0

jenis_kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki laki 39 59.1 59.1 59.1
perempuan 27 40.9 40.9 100.0
Total 66 100.0 100.0

Perilaku Merokok Dalam Rumah


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Merokok di dalam rumah 26 39.4 39.4 39.4
Tidak Merokok dalam rumah 40 60.6 60.6 100.0
Total 66 100.0 100.0

Kebiasaan Pembakaran Sampah


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kebiasaan membakar sampah 49 74.2 74.2 74.2
Sampah tidak dibakar 17 25.8 25.8 100.0
Total 66 100.0 100.0
Diagnosis Pneumonia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Pneumonia 33 50.0 50.0 50.0
Bukan Pneumonia 33 50.0 50.0 100.0
Total 66 100.0 100.0

Usia * Diagnosis Pneumonia Crosstabulation


Diagnosis Pneumonia
Bukan
Pneumonia Pneumonia Total
Usia 0-12 bulan Count 11 10 21
% within Usia 52.4% 47.6% 100.0%
% within Diagnosis 33.3% 30.3% 31.8%
Pneumonia
13-60 bulan Count 22 23 45
% within Usia 48.9% 51.1% 100.0%
% within Diagnosis 66.7% 69.7% 68.2%
Pneumonia
Total Count 33 33 66
% within Usia 50.0% 50.0% 100.0%
% within Diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%
Pneumonia

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .070a 1 .792
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .070 1 .792
Fisher's Exact Test 1.000 .500
Linear-by-Linear .069 1 .793
Association
N of Valid Cases 66
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Usia (0-12 bulan / 13-60 bulan) 1.150 .408 3.243
For cohort Diagnosis Pneumonia = Pneumonia 1.071 .646 1.776
For cohort Diagnosis Pneumonia = Bukan .932 .547 1.586
Pneumonia
N of Valid Cases 66

jenis_kelamin * Diagnosis Pneumonia Crosstabulation


Diagnosis Pneumonia
Bukan
Pneumonia Pneumonia Total
jenis_kelami laki laki Count 21 18 39
n % within jenis_kelamin 53.8% 46.2% 100.0%
% within Diagnosis 63.6% 54.5% 59.1%
Pneumonia
perempu Count 12 15 27
an % within jenis_kelamin 44.4% 55.6% 100.0%
% within Diagnosis 36.4% 45.5% 40.9%
Pneumonia
Total Count 33 33 66
% within jenis_kelamin 50.0% 50.0% 100.0%
% within Diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%
Pneumonia

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .564a 1 .453
Continuity Correctionb .251 1 .617
Likelihood Ratio .565 1 .452
Fisher's Exact Test .617 .309
Linear-by-Linear .556 1 .456
Association
N of Valid Cases 66
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for jenis_kelamin (laki laki / perempuan) 1.458 .544 3.910
For cohort Diagnosis Pneumonia = Pneumonia 1.212 .726 2.022
For cohort Diagnosis Pneumonia = Bukan .831 .515 1.340
Pneumonia
N of Valid Cases 66

Perilaku Merokok Dalam Rumah * Diagnosis Pneumonia Crosstabulation


Diagnosis Pneumonia
Bukan
Pneumonia Pneumonia Total
Perilaku Merokok di dalam Count 20 6 26
Merokok Dalam rumah % within Perilaku 76.9% 23.1% 100.0%
Rumah Merokok Dalam
Rumah
% within Diagnosis 60.6% 18.2% 39.4%
Pneumonia
Tidak Merokok Count 13 27 40
dalam rumah % within Perilaku 32.5% 67.5% 100.0%
Merokok Dalam
Rumah
% within Diagnosis 39.4% 81.8% 60.6%
Pneumonia
Total Count 33 33 66
% within Perilaku 50.0% 50.0% 100.0%
Merokok Dalam
Rumah
% within Diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%
Pneumonia
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 12.438a 1 .000
Continuity Correctionb 10.725 1 .001
Likelihood Ratio 12.958 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .000
Linear-by-Linear 12.250 1 .000
Association
N of Valid Cases 66
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Perilaku Merokok Dalam Rumah 6.923 2.243 21.367
(Merokok di dalam rumah / Tidak Merokok dalam rumah)
For cohort Diagnosis Pneumonia = Pneumonia 2.367 1.445 3.878
For cohort Diagnosis Pneumonia = Bukan Pneumonia .342 .164 .712
N of Valid Cases 66
Kebiasaan Pembakaran Sampah * Diagnosis Pneumonia Crosstabulation
Diagnosis Pneumonia
Pneumo Bukan
nia Pneumonia Total
Kebiasaa Kebiasaan Count 27 22 49
n membakar % within Kebiasaan Pembakaran 55.1% 44.9% 100.0%
Pembaka sampah Sampah
ran % within Diagnosis Pneumonia 81.8% 66.7% 74.2%
Sampah Sampah Count 6 11 17
tidak % within Kebiasaan Pembakaran 35.3% 64.7% 100.0%
dibakar Sampah
% within Diagnosis Pneumonia 18.2% 33.3% 25.8%
Total Count 33 33 66
% within Kebiasaan Pembakaran 50.0% 50.0% 100.0%
Sampah
% within Diagnosis Pneumonia 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 1.981a 1 .159
Continuity Correctionb 1.268 1 .260
Likelihood Ratio 2.004 1 .157
Fisher's Exact Test .260 .130
Linear-by-Linear 1.951 1 .163
Association
N of Valid Cases 66
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kebiasaan Pembakaran Sampah (Kebiasaan 2.250 .717 7.056
membakar sampah / Sampah tidak dibakar)
For cohort Diagnosis Pneumonia = Pneumonia 1.561 .782 3.117
For cohort Diagnosis Pneumonia = Bukan Pneumonia .694 .434 1.109
N of Valid Cases 66
Lampiran 8. Hasil SPSS Responden Validasi Kuisioner
1. Kuisioner Perilaku Merokok dalam Rumah
Correlations
Quest Quest Quest Quest Quest Quest Quest Quest Total
1 2 3 4 5 6 7 8 Answer
Quest. 1 Pearson 1 .426* .277 .354 .223 .500** .538** .538** .776**
Correlation
Sig. (2-tailed) .019 .138 .055 .236 .005 .002 .002 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 2 Pearson .426* 1 .429* .829** .380* .373* .323 .167 .754**
Correlation
Sig. (2-tailed) .019 .018 .000 .038 .042 .081 .378 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 3 Pearson .277 .429* 1 .294 -.216 .555** .312 .109 .512**
Correlation
Sig. (2-tailed) .138 .018 .115 .251 .001 .093 .568 .004
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 4 Pearson .354 .829** .294 1 .315 .177 .484** .138 .690**
Correlation
Sig. (2-tailed) .055 .000 .115 .090 .350 .007 .466 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 5 Pearson .223 .380* -.216 .315 1 .279 .398* .071 .492**
Correlation
Sig. (2-tailed) .236 .038 .251 .090 .136 .029 .710 .006
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 6 Pearson .500** .373* .555** .177 .279 1 .342 .196 .672**
Correlation
Sig. (2-tailed) .005 .042 .001 .350 .136 .064 .300 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 7 Pearson .538** .323 .312 .484** .398* .342 1 .139 .701**
Correlation
Sig. (2-tailed) .002 .081 .093 .007 .029 .064 .465 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 8 Pearson .538** .167 .109 .138 .071 .196 .139 1 .486**
Correlation
Sig. (2-tailed) .002 .378 .568 .466 .710 .300 .465 .007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Total Pearson .776** .754** .512** .690** .492** .672** .701** .486** 1
Answer Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000 .004 .000 .006 .000 .000 .007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.757 9

2. Kuisioner Kebiasaan Pembakaran Sampah

Correlations
Quest Quest Quest Quest Quest Quest Quest Total
1 2 3 4 Quest 5 6 7 8 Answer
Quest 1 Pearson 1 .175 -.218 -.036 .045 .238 .106 .356 .395*
Correlation
Sig. (2-tailed) .355 .247 .849 .812 .206 .578 .053 .031

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Quest 2 Pearson .175 1 .033 .033 -.157 .055 .157 .355 .394*
Correlation
Sig. (2-tailed) .355 .861 .861 .407 .775 .407 .055 .031

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Quest 3 Pearson -.218 .033 1 .583** .484** .442* .380* .238 .636**
Correlation
Sig. (2-tailed) .247 .861 .001 .007 .014 .038 .205 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Quest 4 Pearson -.036 .033 .583** 1 .311 .272 .035 .408* .554**
Correlation
Sig. (2-tailed) .849 .861 .001 .094 .146 .856 .025 .001

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Quest 5 Pearson .045 -.157 .484** .311 1 .367* .005 .198 .500**
Correlation
Sig. (2-tailed) .812 .407 .007 .094 .046 .980 .295 .005

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Quest 6 Pearson .238 .055 .442* .272 .367* 1 .198 .250 .639**
Correlation
Sig. (2-tailed) .206 .775 .014 .146 .046 .295 .183 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Quest 7 Pearson .106 .157 .380* .035 .005 .198 1 .508** .549**
Correlation
Sig. (2-tailed) .578 .407 .038 .856 .980 .295 .004 .002

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Quest 8 Pearson .356 .355 .238 .408* .198 .250 .508** 1 .759**
Correlation
Sig. (2-tailed) .053 .055 .205 .025 .295 .183 .004 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Total Pearson .395* .394* .636** .554** .500** .639** .549** .759** 1
Answer Correlation
Sig. (2-tailed) .031 .031 .000 .001 .005 .000 .002 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Reliability Statistics
Cronbach's N of
Alpha Items
.728 9
Lampiran 9. Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai