Anda di halaman 1dari 61

POTENSI INTERAKSI OBAT PADA LANSIA YANG

MENDAPATKAN PERESEPAN LEBIH DARI SATU


OBAT DI PUSKESMAS PONDOK CABE ILIR KOTA
TANGERANG SELATAN BULAN JANUARI –MARET
TAHUN 2019

Diajukan sebagai salah satu persyaratan


guna memperoleh gelar sarjana kedokteran (S.Ked)

Disusun oleh
MAGHFIRATULLIZA
Nim: 1161030000083

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019M

i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

iii
LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

POTENSI INTERAKSI OBAT PADA LANSIA YANG MENDAPATKAN


PERESEPAN LEBIH DARI SATU OBAT DI PUSKESMAS PONDOK
CABE ILIR KOTA TANGERANG SELATAN BULAN
JANUARI-MARET TAHUN 2019

Laporan Penelitian

Diajukan kepada Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran untuk Memenuhi


Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh

Maghfiratulliza
11161030000083

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK dr. Nurmila Sari M.kes


NIP. 197508032009122005 NIP.198503152011012010

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H / 2019 M

iii
LEBARAN PENGESAHAN PENGUJI
Laporan Penelitian berjudul POTENSI INTERAKSI OBAT PADA LANSIA
YANG MENDAPAT PERESEPAN LEBIH DARI SATU OBAT di
PUSKESMAS PONDOK CABE ILIR KOTA TANGERANG SELATAN
BULAN JANUARI – MARET TAHUN 2019 yang diajukan oleh Maghfiratulliza
(NIM: 11161030000083), telah diajukan dalam sidang di Fakultas Kedokteran pada
November 2019. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada program studi kedokteran dan
profesi dokter
Ciputat, 20 November 2019

DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang

dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK


NIP. 197508032009122005
Pembimbing I Pembimbing II

dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK dr. Nurmila Sari M.Kes


NIP. 197508032009122005 NIP. 198503152011012010

Penguji I Penguji II

dr. Nursyahidah, Sp.Fk dr. Ayat Rahayu, Sp. Rad, M.Kes


NIP. - NIP. 19640909199631001

PIMPINAN FAKULTAS

iv
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. Wb

Alhamdulillahirabbil a’lamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT.


Tuhan semesta alam yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan serta umur
panjang kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian
ini. Selanjutnya shalawat beserta salam selalu saya sanjungkan kepada seorang
pemuda gagah perkasa yang telah membawa penerangan bagi umat manusia, yaitu
baginda Nabi Muhammad SAW. berkat perjuangan Beliau kita semua dapat
merasakan nikmatnya Islam.

Laporan penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam proses perjalanan mengerjakan laporan penelitian ini
sangat banyak dukungan, doa, semangat serta bimbingan dari banyak pihak. Oleh
sebab itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. dr. Hari Hendarto, Ph.D, Sp.PD-KEMD, selaku Dekan Fakultas Kedokteran


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. dr. Achmad Zaki. Sp.OT., M.Epid, selaku ketua Program studi
Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK selaku pembimbing 1 yang telah meluangkan
waktu disela kesibukannya untuk membimbing penulis, mengoreksi serta
mengajarkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
4. dr. Nurmila Sari M.Kes selaku pembimbing 2 yang telah meluangkan
waktunya dan juga mengarahkan kami para penulis untuk lebih teliti dan jeli
dalam menuntukan segala pilihan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dan mendapatkan ilmu tambahan.
5. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab modul riset
angkatan 2016 yang telah membantu serta memantau perkembangan penulis
dalam mengerjakan penelitian ini.

v
6. dr. Riky selaku Kepala Puskesmas Pondok Cabe Ilir Tangerang Selatan, dan
bapak Bakhtiar selaku pemegang rekam medik yang telah memberi izin dan
memudahkan peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.
7. Kepada kedua orang tua penulis ayahanda Fakhrurrazi dan ibunda tercinta
Kamariah atas segala doa, motivasi, dukungan dan segala hal yang telah
diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
ini.
8. Keluarga tercinta, kakak Farika Novita, Nurul Safani, serta adik Alya dan
Navisa yang senantiasa mendoakan dan mendukung penulis dalam segala hal.
9. Kepada teman sekelompok penelitian, Vina Izzatul Awaliyah, Zely Martiani,
Dwi Sheila Amellita, Nurhasima Dan Nila Rahadatul Aisy yang senantiasa
bersama-sama berbagi cerita, kegembiraan dukungan serta arahan. Sehingga
peneliti tidak merasa terbebani dengan penelitian ini.
10. Kepada teman sejawat angkatan 2016 yang selalu memberi dukungan kepada
sesama, agar tetap semangat dalam menjalankan segala tugas.
11. Kepada Auliyadin A.Md yang selalu mengingatkan dan membantu dalam
segala hal, mengajarkan cara mengaplikasikan aplikasi dengan benar,
membenarkan tulisan dan memberi dukungan kepada peneliti.
12. Kepada Alfita Husna dan teman-teman lainnya yang tidak penulis sebutkan
satu persatu yang telah memberi banyak dukungan serta kebahagiaan kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

vi
ABSTRAK

Maghfiratulliza. Program Studi Kedokteran UIN Jakarta. Potensi Interaksi Obat


Pada Lansia yang Mendapatkan Lebih Dari Satu Obat di Puskesmas Pondok Cabe
Ilir Kota Tangerang Selatan Bulan Januari – Maret Tahun 2019.
Latar Belakang: Tingginya angka harapan hidup di Indonesia dapat dilihat dari
peningkatan jumlah lanjut usia yang signifikan, ditinjau dari segi kesehatan, lansia
merupakan orang yang paling rentan terhadap paparan penyakit, karena daya tahan
tubuhnya yang sudah mulai menurun. oleh sebab itu lansi sering mendapatkan
pengobatan berlebih sehingga terjadinya interaksi obat.Tujuan: Mengetahui
peresepan yang berpotensi terjadinya interaksi obat pada pasien lanjut usia di
Puskesmas Pondok Cabe Ilir di Kota Tangerang Selatan.Metode: Penelitian ini
menggunakan desain deskriptif potong lintang dengan cara pengambilan total
sampel, dengan jumlah 116 sampel data rekam medis yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi di Puskesmas Pondok Cabe Ilir pada bulan Januari – Maret
2019.Hasil: distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah
perempuan yaitu 67 pasien (57%), dan laki-laki 50 pasien (43%), dengan distribusi
usia tersering yaitu 60-74 tahun sebanyak 96(83%) atau biasa disebut lansia awal.
Berdasarkan diagnosis terbanyak yaitu penyakit kardiovaskular sebanyak 44 kasus
(32%). Penggunaan obat tersering berdasarkan golongan yaitu golongan
multivitamin sebanyak 44 obat (15%). Kombinasi dua obat yang berpotensi
terjadinya interaksi sebanyak 36 kali (31%). Kesimpulan: Potensi interaksi obat di
Puskesmas Pondok Cabe Ilir kota Tangerang Selatan sebanyak 36 kali (31%),
dengan kombinasi dua obat tersering deksametason dan diklofenak.

Kata kunci: Lanjut usia, Interaksi Obat.

vii
ABSTRACT

Maghfiratulliza. Program Study of Medicine, UIN Jakarta. Potential Drug


Interactions in the Elderly with Polypharmacy at Pondok Cabe Ilir Health
Center, South Tangerang City, January - March 2019.

Background: The life expectancy in Indonesia is high that can be seen from a
significant increase in the elderly, elderly are the most vulnerable to exposure by
disease, because their immune system has decline. Elderly often affected by
disease, so possible to receive polypharmacy until drug interactions occur.
Objective: To determine prescribing drugs that have drug interactions in elderly
patients at Puskesmas Pondok Cabe Ilir Community in South Tangerang City.
Method: This study used descriptive design, cross sectional from medical record
data by totally sampling with 116 samples were obtained the inclusion and
exclusion criteria at Puskesmas Pondok Cabe Ilir in January - March 2019. Results:
distribution samples based on gender are 67 women (57%), 50 men (43%), based
on age is 60-74 years 96 patients (83%). Based on diagnoses is cardiovascular
disease 44 cases (32%). The most common use of drugs is multivitamin 44 drugs
(15%). Combination of two drugs has drug interaction 36 times (31%). Conclusion:
the prevalence of potential drug interactions in the Puskesmas Pondok Cabe Ilir in
South Tangerang City was 36 times (31%), with the combination of the two most
common drugs dexamethasone and diclofenac.

Keywords: Elderly, Drug Interaction

viii
DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL ................................................................................. i


LEMBARAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................... ii
LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... iii
LEMBARAN PENGESAHAN ................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
ABSTRAK................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... x
DAFTAR DIAGRAM ................................................................................. xi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan ................................................................................................ 2
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 2
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4


2.1 Landasan Teori ....................................................................................... 4
2.1.1 Teori penuaan ............................................................................. 4
2.1.2 Perubahan Fungsi Organ dan Sitem Pada Lansia ......................... 6
2.1.3 Perubahan Farmakodinamik Pada Lansia .................................... 8
2.1.4 Definisi Interaksi Obat ............................................................... 10
2.1.5 Mekanisme Interaksi Obat ........................................................... 10
2.1.5.1 Interaksi Farmakokinetik .......................................................... 10
2.1.5.2 Interaksi Farmakodinamik ........................................................ 14
2.1.9 Level kemaknaan Klinis .............................................................. 15
2.1.10 Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat ................................ 16
2.2 Kerangka Teori ....................................................................................... 18
2.3 Kerangka konsep ..................................................................................... 19
2.4 Defenisi Operasional ............................................................................... 20
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 22
3.1 Desain penelitian ..................................................................................... 22
3.2 Lokasi dan waktu penelitian ................................................................. 22
3.2.1 Waktu penelitian ......................................................................... 22
3.2.2 Lokasi penelitian ........................................................................ 22
3.3 populasi target ........................................................................................ 22
3.3.1 Populasi jerjangkau ..................................................................... 22
3.3.2 Subjek penelitian ........................................................................ 22
3.3.3 Besar sampel .............................................................................. 23
3.3.4 Cara pengambilan sampel ........................................................... 24
3.3.5 Kriteria sampel penelitian .......................................................... 24

ix
3.4 Alur Penelitian ..................................................................................... 25
3.5 Manajemen Data .................................................................................. 25
3.5.1 Pengumpulan Data ..................................................................... 25
3.6 Pengolahan data ................................................................................... 25
3.7 Analisis data ........................................................................................ 26
3.8 Penyajian data...................................................................................... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................... 27
4.1 Karakteristik Sampel ............................................................................... 27
4.1.1 Distribusi sampel berdasarkan jenis keamin ................................ 27
4.1.2 Distribusi sampel berdasarkan usia ............................................. 27
4.1.3 Distribusi sampel berdasarkan diagnosis tersering ....................... 27
4.2 Analisi Univariat ................................................................................... 28
4.2.1 Jenis Obat Yang Dikonsumsi....................................................... 28
4.3 Interaksi Obat.......................................................................................... 29

4.4 Pembahasan Interaksi Obat ..................................................................... 32


4.5 Keterbatasan Peneliti ............................................................................... 37
BAB V SIMPULAN DAN SARAN............................................................. 38
5.1 Ringkasan .............................................................................................. 38
5.2 Saran....................................................................................................... 38
5.2.1 Saran bagi Puskesmas ................................................................. 38
5.2.2 Saran bagi peneliti selanjutnya .................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 40


Lampiran..................................................................................................... 42

x
DAFTAR TABEL

Table 2.1 Perubahan farmakokineti pada lansia ............................................. 9


Tabel 4.1 Distribusi pasien lania berdasarkan jenis kelamin .......................... 28
Table 4.2 Distribusi pasien lansia berdasarkan usia ....................................... 28
Table 4.3 Kunjungan pasien lansia berdasarkan diagnostik ........................... 29
Table 4.4 Jenis obat yang dikonsumsi lansia ................................................. 31
Table 4.5 Kombinasi dua obat yang berpotensi interaksi ............................... 32

xi
DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1 Tingkatan Interaksi Obat.......................................................... 32


Diagram 4.2 peresepan yang berpotensi interaksi ......................................... 32

xii
DAFTAR SINGKATAN

AINS : anti inflamasi non steroid


ADIs : Adverse Drug Interactions
HIV : Human Immunodeficient Virus
DNA : Deoxyribonucleic Acid
FIFO : First In First Out
FEFO : First Expire First Out
WHO : World Health Organisation
MAO : Monoamin Oksidase
RNA : Rybonucleic Acid
CYP : Cytochrom
pH : log kadar H+
ISPA : Infeksi Saluran Napas Atas
Vl : Vulnus Laseratum
KLL : Kecelakaan Lalulintas
PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronik
ISK : Infeksi Saluran Kemih
HHD : Hipertensi Heart Disease
CHF : Congestive Heart Failure
OMA : Otitis Media Akut
CKD : Cronic Kidney Disease
BPH : Benign Hiperplasia Prostat

xiii
Daftar Lampiran

Lampiran 1 Perizinan Puskesmas .................................................................. 43


Lampiran 2 CV Peneliti ................................................................................ 44
Lampiran 3 Surat Etik ................................................................................... 45
Lampiran 4 Daftar penyakit .......................................................................... 46
Lampiran 5 Profil Puskesmas ........................................................................ 47

xiv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organisation (WHO), lanjut usia adalah seseorang


yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok umur pada
manusia yang telah memasuki tahap akhir dari fase kehidupannya. Pada tahun 2000
jumlah lanjut usia diproyeksikan sebesar 7,28 % dan pada tahun 2020 sebesar
11,34. Data USA-Bureau of the Census, bahkan Indonesia diperkirakan akan
mengalami pertambahan warga lansia terbesar seluruh dunia, antara tahun 1990 –
2025, yaitu sebanyak 414%.3
Kelompok lanjut usia mengalami suatu proses yang disebut penuaan. Proses
penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-tahapan
menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, dan semakin rentannya tubuh terhadap
berbagai serangan penyakit. Di Indonesia angka kesakitan pada lansia (morbidity
rate) 29,3 % pada tahun 2008, dan 28,86 % pada tahun 2010, serta 26,85 pada tahun
2012 yang artinya dari 100 lansia terdapat sekitar 28 orang lansia yang mengalami
sakit.1
Pasien lanjut usia dengan multi morbiditas akan sering mendapatkan
peresepan lebih dari obat.7 pemberian beberapa obat dalam waktu bersamaan, atau
pemberian obat secara berlebihan,10 secara signifikan bisa meningkatkan resiko
interaksi obat dengan obat.9
Interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap obat lain di dalam
tubuh. Interaksi obat dapat terjadi pada farmakodinamik maupun farmakokinetik.
Interaksi obat masih menjadi masalah besar di kalangan masyarakat, terutama di
Indonesia. Laporan penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain (antar obat) mencapai
78,96% pada pasien lanjut usia.9 Di Amerika Serikat, insiden interaksi obat yang
mengakibatkan reaksi efek samping sebanyak 7,3% terjadi di rumah sakit, yang
sebagian besar terjadi pada geriatri (yaitu 88%).25 Dalam penelitian sebelumnya
tentang prevalensi peresepan yang berpotensi terjadinya interaksi obat pada pasien

1
2

lanjut usia di Puskesmas X menunjukkan angka yang relatif bermakna, yaitu


terdapat 22% resep yang berpotensi interaksi. 26
Mengingat tingginya resiko interaksi dan efek samping obat pada pasien
lanjut usia. Maka peresepan obat harus lebih diperhatikan untuk mengurangi
terjadinya efek samping. Oleh karena itu, potensi interaksi obat pada lanjut usia
sangat penting untuk diteliti di wilayah yang lebih luas.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakakan dalam latar belakang
masalah, maka dapat dirumuskan: Berapa peresepan yang berpotensi terjadinya
interaksi obat pada pasien lanjut usia dengan peresepan lebih dari satu obat di
Puskesmas Pondok Cabe Ilir kota Tangerang Selatan bulan Januari-Maret tahun
2019?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui peresepan yang berpotensi terjadinya interaksi obat pada pasien
lanjut usia di Puskesmas Pondok Cabe Ilir di Kota Tangerang Selatan.

1.3.2 Tujuan khusus


a) Mengetahui karakteristik pasien lanjut usia di Puskesmas Pondok Cabe Ilir
b) Mengetahui distribusi kunjungan pasien lanjut usia berdasarkan diagnosis
penyakit di Puskesmas Pondok Cabe Ilir
c) Mengetahui jenis obat yang dikonsumsi pasien lanjut usia di Puskesmas
Pondok Cabe Ilir
d) Mengetahui jenis kombinasi obat yang sering mengalami interaksi pada
polifarmasi.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Untuk Peneliti
a. Peneliti dapat mengetahui jelas obat yang sering mengalami
interaksi.
b. Mengaplikasikan ilmu yang di dapat selama masa studi di Fakultas
Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3

1.4.2 Untuk Institusi


Meningkatkan dan menambah perbendaharaan bahan bacaan bagi
mahasiswa/ mahasiswi FK dan FIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.4.3 Untuk Masyarakat


Menambah wawasan bagi masyarakat bahwa polifarmasi dapat menimbulkan
interaksi pada beberapa obat tertentu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


Lanjut usia adalah proses menua (menjadi tua = aging) adalah proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga
menyebabkan jaringan tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu: usia pertengahan (middle age) 45-59
tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lansia tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat
tua (very old) diatas 90 tahun.9
Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan
terhadap infeksi dan makin banyak penumpukan distorsi metabolik dan struktural
yang disebut sebagai “penyakit degenerative ” (seperti hipertensi, aterosklerosis,
diabetes mellitus dan kanker).4
2.1.1 Teori-Teori Proses Menua
1. Teori perkembangan genetik/ penuaan primer atau non stokhastik.
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-
spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai inti sel genetik yang telah diatur
menurut suatu replikasi tertentu. Waktu ini akan menghitung mitosis dan
akan menghentikan replikasi sel bila tidak berjalan. Jadi menurut konsep ini
bila waktu itu berhenti maka akan berhenti juga kehidupan (meninggal). 4
2. Mutasi Somatik (Teori Error Catastrophe)
Dalam teori ini faktor lingkungan juga merupakan penyebab terjadinya
mutase somatik. Dalam teori tersebut menjelaskan bahwa terjadinya mutasi
genetik yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan
terjadinya penurunan kemampua fungsional sel tersebut. Salah satu
hipotesis yang berhubungan dengan mutase sel somatik adalah hipotesis
(“Error Catastrophe). Menurut hipotesis tersebut, menua disebabkan oleh
kesalahan-kesalahan yang beruntun sepanjang kehidupan setelah
berlangsung dala waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses

4
5

transkripsi (DNA U RNA), maupun dalam proses translasi (RNA U protein/


enzim). Kesalahan tersebut akan mengakibatkan terbentuk enzim yang
salah, sebagai reaksi dan kesalahan-kesalahn lain yang berkembang secara
eksponsial dan akan menyebabkan reaksi metabolisme yang salah, sehingga
akan mengurangi fungsi sel, walaupun dalam batas-batas tertentu kesalahan
dalam pembentukan RNA dapat diperbaiki, namun kemapuan memperbaiki
diri sendri itu sifatnya terbatas pada kesalahan dalam proses transkripsi
(pembentukan RNA) yang tentu akan menyebabkan kesalahan sintesis
protein atau enzim, yang dapat menimbbulkan metabolit yang berbahaya. 4
3. Rusaknya Sistem Imun Tubuh
Mutase yang berulang atau perubahan protein paska translasi dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali
dirinya sendiri (selfrecognition). Jika mutasi somatik menyebabkan
terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini sistem imun
tubuh beranggapan sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel
asing yang menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar
terjadinya peristiwa autoimun.4
4. Teori organ tubuh ( Singel Organ Theory)
Teori penuaan organ tunggal dilihat sebagai kegagalan suatu organ vital
tubuh yang berhubungan dengan suatu penyakit. Menurut teori ini, orang
meninggal karena penyakit, sehingga menyebabkan bagian penting dari
tubuh berhenti berfungsi (organ vital) sedangkan sisa organ yang lain masih
berfungsi. Teori ini berasumsi bahwa jika tidak ada penyakit dan
kecelakaan, maka kematian tidak terjadi.5
5. Teori Aktivitas
Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju penuaan yang
sukses maka dia harus tetap beraktivitas. Kesempatan untuk turut berperan
dengan penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya
adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia, secara
negative mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik
yang berkesinambungan akan memelihara kesehatan sepanjang
kehidupan.11
6

6. Teori subkultur
Lansia sebagai suatu kelompok, memiliki norma mereka sendiri,
harapan, keyakinan, dan kebiasaan; karena itu, meraka telah memiliki
subkultur mereka sendiri. Teori ini juga menyatakan bahwa orang tua
kurang terintegrasi lebih baik di antar lansia lainnya bila dibandingkan
dengan orang dari kelompok usia berbeda. Salah satu hasil dari subkultur
usia akan menjadi pengembangan “kesadaran kelompok umur” yang akan
berfungsi untuk meningkatkan citra diri orang tua dan mengubah difinisi
budaya negatif dari penuaan.5
2.1.2 Perubahan Fungsi Organ dan Sistem pada Lansia
a. Perubahan sistem muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas,
gangguan metabolik, atau enervasi saraf. Dengan bertambahnya umur,
kerusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena
penurunan hormon estrogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormone
lain. Tulang-tulang trabeculae menjadi lebih berongga, mikroarsitektur
berubah dan seiring patah baik akibat benturan ringan maupun spontan. 11
1. Sistem skeletal
Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh
mengalami penurunan. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi
pada sistem skeletal akibat proses penuaan:
a. Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan
diskus intervetebralis dan penekanan pada kolumna vertebralis.
Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi bungkuk dan
penampilan barrel chest.
b. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabecular yang berfungsi
sebagai perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan
lengkungan. Implikasi dari hal ini yaitu peningkatan terjadinya
risiko fraktur.11
2. Sistem muskular
Perubahan yang terjadi akibat penuaan pada sitem muskular antara
lain:
7

a. Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muscular memanjang.


Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi,
pergerakan yang kurang aktif.

b. Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen


dan sendi, penyusutan dan sclerosis tendon dan otot, dan perubahan
degeneratif ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan fleksi.11

b. Perubahan pada sistem pulmonal


Perubahan anatomis seperti komplians paru dan dinding dada turut
berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20% pada umur 60
tahun. Penurunan laju ekspirasi paksa satu detik sebesar 0,2liter/decade. 14
Beberapan dampak yang diakibatkan penuaan pada paru-paru yaitu:
a. Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya recoil elastis, dan pembesaran
elveoli. Yang mengakibatkan terjadinya penurunan daerah
permukaan untuk difusi gas.
b. Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2 residu. Yang
mengakibatkan penurunan saturasi O2 dan peningkatan volume.
c. Pengerasan brongkus dengan peningkatan resistensi, yang
berdampak pada dispnea saat aktivitas.
d. Kalsifikasi kartilago kosta, hal ini dapat mengakibatkan Emfisema
sinilis, pernapasan abnormal, hilangnya suara paru pada bagian
dasar.
e. Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru, yang
dapat mengakibatkan atelektasis.
f. Berkurangnya produktifitas mukus, yang dapat terakumulasi
sehingga mengental dan sulit dikeluarkan.
g. Penurunan sensitivitas fingter esofagus, yang mengakibatkan
hilangnya sensasi haus dan silia kurang aktif.
h. Penurunan sensitivitas kemoreseptor. Implikasi pada hal ini adalah
tidak adanya perubahan dalam PaCO2 dan kurang aktifnya paru-
paru pada gangguan asam basa.
8

c. Perubahan kardiovaskular
Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan secara strukturan
maupun fungsional seiring dengan bertambahnya usia. Penurunan yang
terjadi biasanya ditandai dengan penurunan tingkat aktivitas, yang
mengakibatkan penurunan kebutuhan darah yang teroksigenasi. 13
Jumlah detak jantung saat istirahat pada orang tua yang sehat tidak ada
perubahan, namun detak jantung maksimum yang dicapai selama latihan
berat berkurang. Pada dewasa muda, kecepatan jantung di bawah tekana
yaitu 180-200x/menit. Namun pada usia 70-75 tahun, kecepatan jantung
berubah menjadi 140-160x/menit.5

a. Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen


dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Mengakibatkan
ketidakmampuan jantung untuk densitas dan penurunan kekuatan
kontraktilitas.
b. Jumlah sel-sel pacemaker mengalami penurunan dan berkas his
kehilangan serat konduksi yang berfungsi membawa inpuls ke
ventrikel, yang berimplikasi terhadap terjadinya disritmia.
c. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena
peningkatan serat kolagen dan hilang serat elastis daam lapisan medial
arteri. Implikasi dari hal ini yaitu penurunan kepekaan baroreseptor dan
penurunan kepekaan respon terhadap panas dan dingin.
d. Vena meregang dan mengalami dilatasi, yang mengakibatkan
penurunan atau kegagalan vena dalam menutup secara sempurna.
Sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah.
2.1.3 Perubahan Farmakokinetik pada Lansia
a. Absorbsi
Pertambahan usia pada setiap manusia tidak terlalu berpengaruh
terhadap absorbsi suatu obat, namun walaupun demikian usia tetap berperan
dalam gangguan absorbsi obat-obat tertentu secara tidak lansung. Karena
pada beberapa keadaan, seperti berubahnya kebiasaan makan, peningkatan
konsumsi obat tanpa peresepan, (seperti obat antasids dan laxatives), dan
perubahan pada pengosongan lambung yang biasanya lebih lambat
9

dibandingkan dengan usia muda, terutama pada lansia dengan riwayat


diabetes.12

b. Disribusi
Seiring dengan peningkatan usia, maka banyak perubahan-perubahan
yang terjadi pada tubuh. Seperti direduksinya masa tubuh sehingga menjadi
kurus, penurunan cairan tubuh, dan peningkatan lemak tubuh. Serta
terjadinya penurunan serum albumin, yang fungsinya mengikat obat-obat
tertentu, terutama asam lemah. Sehingga jika albumin menurun maka
peningkatan obat bebas didalam tubuh akan terjadi. Perubahan tersebut
menyebkan penurunan efek obat. Seperti loding dose digoxin pada lansia
dengan heart failure harus dikurangi dosisnya, karena jika dosis tetap sama
akan menyebabkan terjadinya penurunan volume distribusi. 12
Beberapa perubahan yang berkaitan dengan usia yang menyebabkan
perubahan farmakokinetik pada obat:

Table 2.1 Perubahan pada lansia yang berkaitan pada farmakokinetik.

Young adults Older Adult


Variable
(20-30 years) (60-80 years)

Body water (% of body weight) 61 53

Lean body mass(%of body weight) 19 12


26-33(women) 38-45
Body fat (% of body weight)
18-20(men) 36-38
Serum albumin 4,7 3,8
Kidney weight(of young adult) (100) 80
Hepatic blood flow (%of young
(100) 55-60
adult)

c. Metabolisme
Obat melewati hati dan mengalami metabolisme pintas awal.
Metabolisme di hati dipengaruhi umur, genotipe, gaya hidup, curah jantung,
10

penyakit dan interaksi antar obat. Mengecilnya masa hati dan proses menua
dapat mempengaruhi metabolisme obat. 12
d. Ekresi
Obat yang ekresinya melalui ginjal pedoman bersihan kreatinin 24 jam
penting diperhatikan untung memperhatikan dosis awal. Kadar kreatinin
serum tidak menggambarkan fungsi ginjal karena masa otot berkurang pada
proses menua. GFR (Glom, Filtel, Rate) lebih penting dan jika turun sampai
10-15 ml/menit, dosis obat harus disesuaikan. 12

2.1.4 Definisi interaksi obat


Suatu interaksi terjadi jika efek suatu obat diubah oleh adanya obat lain,
makanan, minuman, obat herbal, atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya.
Definisi lain yang lazim dikatakan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu
dengan lainnya, atau hal yang akan terjadi di dalam tubuh ketika dua obat atau lebih
diminum dalam waktu yang sama.6
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat merubah
efek obat secara tidak lansung atau dapat berinteraksi. Interaksi yang terjadi bisa
bersifat potensiasi atau antagonis efek. Atau adakalanya terjadi efek yang baru atau
berbeda.

2.1.5 Mekanisme interaksi obat


2.1.5.1 Interaksi Farmakokinetik
Interaksi secara farmakokinetik mempengaruhi proses dari absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekresi dari suatu obat.
a. Interaksi pada absorbsi
Interaksi obat dari segi absorbsi biasanya sering terjadi pada bagian
intestinal. Absorbs suatu obat dapat dipengaruhi oleh adanya obat lain, atau
makanan dan minuman. Seperti pemberian deksametason bersamaan
dengan omeprazole, maka penyerapan dari deksametason berkurang.8
b. Perubahan PH pada Gastrointestinal
Obat melewati membran mukosa saluran cerna secara difusi pasif, dan
tergantung dari tingkat kelarutannya didalam lemak. Absorbsi suatu obat
juga sangat bergantung pada formulasi farmasetik, yaitu ph usus dan variasi
11

lainnya. Seperti absorbsi dari asam salisilat oleh lambung sangat baik pada
keadaan ph yang rendah. Dalam teori disebutkan bahwa perubahan PH
lambung yang terjadi disebabkan oleh obat, seperti H2 reseptor antagonis,
yang menyebabkan perubahan pada absorbsi. Namun dalam kenyataan
banyak hal lainnya yang dapat menyebabkan perubahan pada absorbsi obat,
seperti motilitas usus, kelat, dan hal lainnya. Contoh lain yang sering terjadi
yaitu penurunan PH karena PPI dapat menyebabkan penurunan efek dari
ketokonazole.8
c. Gangguan absorbsi, kelat dan mekanisme lain
Penggabungan obat dengan obat lain, atau dengan zat lain seperti
makanan dan lain-lain dapat menjadi kelat bagi suatu obat sehingga tidak
dapat diabsorbsi. Seprti antibotik tetrasiklin yang menjadi kelat karena
penambahan beberpa divalent dan trivalent metallic ions, seperti calcium,
alumunium, bismuth dan besi. Absorbsinya akan terhambat dan
tereduksinya antibiotic sehingga fungsinya kurang efektif.6 8
d. Perubahan pada motilitas saluran cerna
Usus halus merupakan tempat absorbsi utama untuk semua obat,
termasuk obat yang bersifat asam. Maka semakin cepat suatu obat sampai
ke usus halus, maka semakin cepat juga absorbsinya. Obat yang
mempercepat waktu pengosongan lambung, akan mempercepat absorbs
obat lain. Begitu juga sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu
pengosongan lambung, akan memperpanjang pula absorbsi obat lain.
Seperti antikolinergik dan antidepresi trisiklik. Kecepatan pengosongan
lambung hanya mempengaruhi waktu absorbsi, tanpa mempengaruhi
jumlah absorbsi. Ini berarti, kecepatan pengososngan lambung tidak
mempengaruhi bioavailabilitas obat. Ada beberapa pengecualian yang dapat
mempengaruhi absorbsi obat, yaitu: 1. obat yang sukar larut dalam saluran
cerna, seperti digoksin dan kortikosteroid, atau sukar diabsorbsi misalnya
dikumaro, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk melarutkan dan
diabsorbsi; (2) obat yang diabsorbsi secara aktif hanya di satu segmen usus
halus bagian atas, vitamin B12 di ileum. 8
12

e. Kompetisi untuk transporter membrane di saluran cerna


Makanan yang memiliki kesamaan dengan obat juga dapat
menghalangi absorbsi dari suatu obat. Misalnya levodopa, metildopa dan 6-
merkaptopurin, diabsorbsi melalui mekanisme transporter membran yang
sama dengan transporter untuk zat makanan. Oleh sebab itu absorbsi obat
tersebut dapat terhambat secara kompetitif. Seperti levodopa dapat
dihambat oleh fenilanin yang berasal dari diet tinggi protein (2 g/kg/hari). 8
f. Perubahan flora usus
Flora usus sangat berperan penting dalam mekanisme absorbsi obat.
karena perubahan dari flora usus dapat mengganggu sistesi vitamin K dan
sumber vitamin K. dan apabila pemberian antibakteri dengan spektrum luas,
maka akan mensupresi flora normal usus, sehingga akan terjadinya
peningkatan efektivitas antikoagulan oral (antagonis vitamin K)8.
g. Interaksi dalam distribusi
Obat di dalam tubuh biasanya memerlukan protein plasma sebagai
pembawa ke reseptor, khususnya pada obat-obat yang bersifat asam sangat
banyak yang berikatan dengan albumin. Kekurangan dari protein plasma
didalam tubuh menyebabkan obat-obat yang memerlukan protein plasma
saling berkompetesi. Dan obat yang tidak terikat pada protein menjadi obat
bebas dan berbahaya dalam efek farmakologinya. Akan tetapi peningkatan
obat bebas tidak berlansung lama, karena eliminasi obat juga meningkat
sehingga kadar obat total akan menurun dan kadar obat bebas akan kembali
seperti semula (mekanisme kompensasi).
Bagi obat penggeser, yang dapat menimbulkan interaksi pergeseran
protein yang bermakna adalah yang bersifat sebagai berikut: (1) berikatan
dengan albumin di tempat ikatan sama dengan obat yang digeser (site I dan
site II) dengan ikatan yang kuat; (2) pada dosis terapi kadarnya cukup tinggi
untuk mulai menjenuhkan tempat ikatan pada albumin. Sebagai contoh,
fenilbutazon menggeser warfarin.8
h. Interaksi dalam metabolisme
Metabolisme obat erat kaitannya dengan enzim, terutama sitokrom
P450 (CYP) dalam mikrosom hati. Ada 6 isoenzim CYP yang penting untuk
13

metabolism obat. Pembeperian bersama salah satu subtrak dengan salah satu
penghambat dari enzim yang sama akan meningkatkan kadar plasma
subtrak sehingga meningkatkan efek atau toksisitasnya. CYP 3A4/5
merupakan enzim yang paling banyak memetabolisme obat, yaitu sekita
50%. Maka penghambat isoenzim ini menjadi penting karena berinteraksi
dengan banyak obat, terutama poten inhibitor, yaitu ketokonazol,
itrakonazol, eritromisin dan karitramisin. 8
i. Induksi Metabolisme Obat
Fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, merupakan obat yang larut dalam
lemak dan dapat menginduksi sintesis enzim metabolisme di hati serta
mukosa saluran cerna. Induksi terjadi setelah 1-4 minggu, dan waktu yang
sama diperlukan untuk menghilangkan efek induksi setelah obat
penginduksi dihentikan. Merokok dan makanan panggang arang
menghasilkan hidrokarbon polisklik yang juga merupakan zat penginduksi
enzim metabolisme (CYP1A2).8
j. Gangguan Ekresi Empedu dan Sirkulasi Enterohepatik
Gangguan ekresi melalui empedu dapat terjadi akibat kompetisi antara
obat dan metabolit obat untuk system transport (sekresi aktif ke dalam
empedu) yang sama. Pada sirkulasi enterohepatick dapat dikurangi dengan
mensupresi bakteri usus untuk menghidrolisis konjugat obat sehingga
mengurangi reabsorbsi, atau dengan mengikat obat yang dibebaskan
sehingga tidak dapat direabsorbsi.6, 8
k. Interaksi dalam Ekresi Ginjal
Interaksi pada ginjal dapat terjadi melalui dua mekanisme, diantarnya
ada yang berinterksi karena berkompetisi antara obat dan metabolit karena
melalui system transport aktif yang sama. Seperti P-glikoprotein untuk
kation organik dan zat netral. Yang kedua yaitu interaksi yang terjadi karena
adanya kerusakan pada ginjal, sehingga obat yang seharusnya diekresikan
melalui ginjal menjadi menumpuk, dan meningkatkan efek toksik. Contoh
obat yang dapat merusak ginjal yaitu kloramfenikol, ampisilin, dan
tetrasiklin.8
14

2.1.5.2 Interaksi Farmakodinamik


Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sitem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek
yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam
plasma.8
l. Interaksi pada Reseptor
Interaksi pada system reseptor yang sama biasanya merupakan
antagonis antara agonis dan antagonis/bloker dari reseptor yang
bersangkutan. Seperti contoh: pada keadaan overdosis dari morfin sulfat,
naloxone diberikan sebagai antagonis untuk memblok efek narkotik dari
morfin sulfat.8
m. Interaksi Fisiologik
Ketika terjadi interaksi pada sistem fisiologi yang sama maka dapat
menghasilkan peningkatan atau penurunan respon (potensiasi atau
antagonism). Contoh interaksi yang terjadi pada sistem fisiologi yaitu:
1. Kombinasi obat-obat anti hipertensi → adiktif / sinergik
2. Antihipertensi + OAINS (retensi air dan garam) yang memberi efek
penurunan antihipertensi.
3. Trombolitik + antikoagulan + antiplatelet menyebabkan efek
perdarahan.8
n. Perubahan dalam Kesetimbangan Cairan dan Eletrolit
Beberapa obat yang berkerja pada organ tertentu dapat mengalami
interaksi jika terjadinya perubahan dalam kesetimbangan cairan dan
elekrolit, terutama obat yang bekerja pada jantung. Contoh obat yang
mengalami interaksi pada keadaan demikian adalah: digitalis dengan
diuretic dan amfoterisin B, akan memberikan efek hypokalemia oleh obat
diuretic dan akan menyebabkan toksisitas pada obat Digitalis. 8
o. Gangguan Mekanisme Ambilan Amin di Ujung Saraf Adrenergik
Penghambat saraf adenergik diambil oleh ujung saraf adrenergik
dengan mekanisme transport aktif untuk norepinefrin. Mekanisme tersebut
dapat dihambat secara kopetitif oleh amin simpatomimetik, misalnya yang
terdapat dalam obat flu (fenileffrin, efedrin, pseudoefedrin). Obat-obat yang
15

bersifat amin simpatomimetik yang dapat mengantagonisasi efek hipotensif


penghambat adrenergik.8
p. Interaksi dengan Menghambat Monoamine Oksidase
(Penghambat MAO)
Makanan dapat meningkatkan, menurunkan atau melambatkan tubuh
untuk mmerespon obat secara farmakokinetik. Seperti contoh mengosumsi
antidepresan (phenelzine) bersamaan dengan makan yang banyak
mengandung tyramine, seperti beer, cheese, yogurt, atau pisang. Tyramin
adalah potent vasokonstriktor, dan ketika tyramine dikomsumsi bersamaan
dengan salah satu MAO maka dapat menyebabkan hipertensi krisis. Namun
saat ini MAO yang digunakan hanyalah Moklobemid yang bersifat
reversible. Penghambat MAO yang lainnya sudah ditarik karena
menimbulkan interaksi yang berbahaya. Moklobemid menghasilkan
akumulasi norepinefrin dalam jumlah besar di ujung saraf adrenergik.
Pemberian MAOI bersama amin simpatomimetik kerja tidak lansung juga
dapat menyebabkan hipertensi krisis, sakit kepala berdenyut yang hebat, dan
kadang-kadang perdarahan intraserebral.8

2.1.6 Level Kemaknaan Klinis Interaksi Obat


2.1.6.1 Major (Serious-use alternative)
Major merupakan kontraindikasi yaitu kombinasi kedua obat sangat
dilarang dan tidak boleh digunakan, kombinasi dua obat tersebut sangat beresiko
terjadinya interaksi berat atau bahaya.
2.1.6.2 Sedang (significan-Monitor closely)
Kategori interaksi obat yang tergolong sedang yaitu apabila obat tersebut
dikombinasikan maka dapat memungkinkan terjadinya interaksi yang signifikan.
Pemberian yang tidak biasa dihindari dan wajib memerlukan monitoring dari
dokter.
2.1.6.3 Minor
Kategori interaksi yang tergolong minor yaitu interaksi dengan bahaya
minimal, atau tidak signifikan.
16

2.1.7 Faktor Yang Mempengaruhi Interaksi Obat


a. Usia
Penurunan fungsi oragan pada pasien lansia dan keadaan anak kecil yang
belum memiliki sistem imun yang sempurna, maka keduanya memiliki
resiko tinggi terhadap interaksi obat. Dalam sebuah penelitian “potential
drug-drug interaction in pediatric patientsin mexico hospital”
menunjukkan 61% prevalensi yang berpotensi DDIs pada pasien lanjut usia
dan diantaranya anak-anak.
b. Penyakit
Penyakit tertentu dapat menghambat efek dari suatu obat, misalnya
kerusakan organ hepar dan ginjal dapat mengganggu proses metabolisme
dan ekresi dari obat yang melalui organ tersebu.
c. Konsumsi alkohol
Konsumsi alcohol secara akut maupun kronik sama-sam
membahayakan bagi pasien yang mengosumsi obat-obat tertentu. Konsumsi
alkohol secara kronik menyebabkan interaksi secara farmakokinetik, yang
paling sering yaitu alkohol menginduksi sistem endoplasmik retikulum sel
hati, alkohol memacu metabolisme obat lain. Sedangkan konsumsi alkohol
secara akut akan menghambat metaboisme obat lain, misalnya fenotiazin
dan hipnotik-sedatif, antidepresan trisiklik dan asetosal (meningkatkan
resiko perdarahan lambung).
d. Merokok
Merokok dapat meningkatkan aktivitas enzim metabolisme di hati.
Merokok dapat merangsang metabolisme teofilin dan mexiletine. Seorang
perokok membutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai level serum
terapetik.
e. Makanan
Makanan yang mengandung zat tertentu terkadang dapat menghamabat
kerja suatu obat, atau sebaliknya memberi efek yang berlebihan. Seperti
keju, pisang, anggur dan makanan lain yang difermentasikan mengandung
Tiamin yang menyebabkan pelepasan norepinefrin jumlah besar, sehingga
17

dapat menyebabkan krisis hipertensi. Pemberian susu juga dapat


menghambat absorbsi tetrasiklin.
f. Lingkungan
Faktor lingkungan seperti adanya beberapa peptisida dapat mengubah
efek enzim metabolisme di hati.
18

2.2 Kerangka Teori

Usia lanjut

Sering
Penurunan fungsi Resiko terkena mendapatkan
organ penyakit peresepan
meningkat

Meningkatkan
Gangguan pengolahan
resiko obat berlebih
obat oleh tubuh

Resiko terjadinya Faktor yang


Gangguan dalam interaksi obat mempengaruhi
farmakodinamik
dan farmakokinetik
Usia

Makanan

Konsumsi alkohol

Merokok

Penyakit

Lingkungan
19

2.3 Kerangka Konsep

Pasien lanjut usia

Peresepan obat >1

↑ Resiko interaksi

Interaksi obat
dengan obat

Penggolongan
interaksi obat

Diperbolehkan Monitoring Dilarang


20

2.4 Defenisi Operasional


variabel Definisi oprasiona Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur

Jenis kelamin Jenis kelamin responden Berdasarkan catatan rekam Rekam 1.laki-laki kategorik
berdasarkan rekam medis medis medis 2. perempuan
usia Lama hidup responden Berdasarkan catatan rekam Rekam 1. 60-74 kategorik
berdasarkan rekam medik medik medik 2. 75-90
3. >90
Jenis obat Obat yang diterima pasien Berdasarkan catatan rekam Rekam 1. Antipiretik kategorik
dan dikategorikan medik medik 2. Analgesik
berdasarkan golongan 3. Anti hipertensi
4. Antasid
5. Lain-lain
polifarmasi Pemberian obat ≥2 jenis Berdasarkan catatan rekam Rekam 1. Polifarmasi kategorik
medik medik 2. Tidak
polifarmasi
Interaksi obat Perubahan efek terapetik Analasis catatan rekam medis Rekam 1. Interaksi obat kategorik
obat baik secara dengan literatur medik 2. Tidak interaksi
21

farmakodinamik ataupun
farmakokinetik
Kategori Pembagian tingkat Berdasarkan literatur Stockley Literatur 1. Dilarang Kategorik
interaksi obat keparahan interaksi obat Stockley 2. Monitoring
3. diperboleh
kan
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian


Desain penelitian pada penelitian ini merupakan deskriptif yaitu dengan
menggunakan data sekunder dari puskesmas yang berupa rekam medis dan resep.
Data yang diambil merupakan peresepan pasien usia lanjut dengan polifarmasi.
Ditinjau dari waktu dilakukannya penelitian, desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah potong lintang , yaitu penelitian yang dilakukan pada satu kali
observasi dan di ukur pada waktu tertentu.

3.2 Waktu Dan Lokasi Penelitian


3.2.1 Waktu Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada bulan April-Mei 2019. Analisis data
dilakukan pada bulan Mei- September 2019.

3.2.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pondok Cabe Ilir Kota Tanggerang
Selatan

3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien lanjut usia yang
berkunjung ke Puskesmas Pondok Cabe Ilir kota Tangerang Selatan dan mendapat
peresepan lebih dari satu obat.

3.3.2 Populasi Terjangkau


Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua pasien lanjut usia yang
berkungkung ke Puskesmas Pondok Cabe Ilir Kota Tangerang Selatan dan
mendapatkan peresepan obat pada bulan Januari-Maret 2019 .

3.3.3 Subjek Pelitian


Subjek penelitian pada penelitian ini adalah seluruh pasien lanjut usia yang
berkunjung ke Puskesmas Pondok Cabe Ilir Kota Tangerang Selatan pada bulan
Januari – Maret 2019 dan memenuhi kriteria inklusi dengan metode total sampling.

22
23

Metode ini dilakukan dengan cara peneliti mengambil seluruh sampel pada periode
yang telah di tentukan. Dan didapatkan jumlah sampel pada penelitian ini sejumlah
116 sampel.

3.3.4 Besar Sampel


Untuk menentukan besarnya sampel dalam penelitian ini digunakan rumus
besar sampel deskriptif kategorik sebagai berikut:30

Zα2 xPxQ
𝑛=
d2

(1,96)(1,96)x0,22x0,78
𝑛=
0,05x0,05

0,6592
𝑛=
0,0025

𝑛 = 264

Keterangan:

n = besar sampel penelitian


Zα = deviat baku alfa
P = proporsi kategori variable yang diteliti
Q = 1- P
d = presisi
Diketahui:
Zα = 1,96
P = 0,22
Q = 0,78
d =0,05
Berdasarkan rumus tersebut, didapatkan jumlah sampel minimal yang
diteliti sebanyak 264 sampel. Jumlah sampel yang didapatkan sebesar 116 dan tidak
mencukupi jumlah sampel minimal, sehingga diambil total sampel.
24

3.3.5 Cara Pengambilan Sampel


Penelitian ini menggunakan teknik total sampling, sehingga jumlah sampel
pasien lanjut usia yang mendapatkan peresepan di Puskesmas Pondok Cabe Ilir
Kota Tanggerang Selatan berjumlah 116 sampel. Jumlah sampel yang diambil telah
divalidasi dengan rumus (2a2 x P x Q – D) /D2.

3.3.6 Kriteria Sampel Penelitian


3.3.6.1 Kriteria Inklusi
a) . Pasien yang berusia 60 tahun ke atas pada rekam medis maupun data
online puskesmas.
b) Pasien lanjut usia dan mendapatkan peresepan lebih dari satu obat dari
puskesmas.
c) Pasien lanjut usia yang memiliki identitas lengkap (nama, umur, alamat,
dan jenis kelamin) dalam rekam medik maupun data daring

3.3.6.2 Kriteria Ekslusi


a) Pasien lanjut usia yang mendapatkan rujukan tanpa mendapatkan obat.
b) Pasien lanjut usia yang tidak mendapatkan resep.
c) Pasien lanjut usia yang mendapatkan peresepan obat topikal.
25

3.4 Alur penelitian

Persiapan surat izin penelitian

Mengajukan surat izin ke Dinas


kesehatan Tangerang Selatan

Memberikan surat izin ke


puskesmas Tangerang Selatan

Pengambilan sampel

Data jenis obat

Melihat jenis interaksi pada


referensi Stockley Drug Interaction

Studi pustaka

Pengolahan data

Analisis data

3.5 Managemen Data


3.5.1 Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari rekam medik pasien yang berkunjung ke Puskesmas
Pondok Cabe Ilir Kota Tangerang Selatan, yang memenuhi kriteria inklusi pada
bulan Januari 2019-Maret 2019

3.6 Pengolahan Data


Data diolah menggunakan perangkap lunak Excel, dan kemudian data
dianalisis, jika obat yang diresepkan lebih dari satu, akan dianalisis karakteristik
masing-masing obat tersebut. Untuk membantu mengidentifikasi apakah terjadi
interaksi antar obat menggunakan aplikasi Medscape. Data kemudian dipelajari
26

dengan literatur lainnya. Kombinasi obat yang berpotensi berinteraksi akan dicari
penjelasan lebih lanjut melalui leteratur yang lain, apakan obat tersebut interaksinya
bersifat merugikan atau menguntungkan.

3.8 Analisis Data


Peresepan obat yang berpotensi terjadinya interaksi akan digolongkan
menjadi 3 kategori, yaitu peresepan dengan potensi terjadinya interaksi obat yang
diperbolehkan, diperbolehkan dengan monitoring, dan dilarang menurut Stockley
Drug Interaction. Kemudian akan dicari penjelasan interaksi obat melalui tinjauan
pustaka.

3.9 Penyajian Data


Hasil analisis data akan disajikan dalam bentuk tabel, diagram, teks, dan
akan dinarasikan serta akan dihitung persentasenya. Hasil penelitian dibuat dalam
bentuk makalah laporan penelitian yang dipresentasikan dihadapan staf pengajar
Fakultas Kedokteran dan Profesi Dokter.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Sampel


Sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 116 pasien dengan
karakteristik sebagai berikut.
Table 4.1 Distribusi pasien lanjut usia berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas
Pondok Cabe Ilir Tangerang Kota Selatan Periode januari-Maret 2019.
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 50 43%

Perempuan 65 57%
Total 116 100%

Table 4.1 menunjukkan bahwa dari 116 pasien lanjut usia yang
berpartisipasi dalam penelitian, didapatkan frekuensi paien lanjut usia yang terdiri
dari laki-laki sebanyak 50 pasien (43%) dan perempuan sebanyak 65 pasien (57%).
Tabel 4.2 Distribusi pasien lanjut usia berdasarkan usia di Puskesmas Pondok Cabe
Ilir kota Tangerang Selatan periode Januari- Maret 2019.

Usia Frekuensi Persentase


60-74 96 83%
75-90 19 16%
>90 1 1%
Total 116 100%

Tabel 4.2 Menunjukkan usia tersering pasien lanju usia yang menerima
berkunjung dan menerima peresepan polifarmasi yaitu pada usia 60-74 tahun
sebanyak 96 kali kunjungan (83%).
Table 4.3 Kunjungan pasien lanjut usia berdasarkan diagnosis penyakit di
Puskesmas Pondok Cabe Ilir periode januari-maret 2019.

Daftar Penyakit Frekuensi persentase


Penyakit kardiovaskular 44 32%
Penyakit muskuloskeletal 34 24,64%
Penyakit respirasi 30 21,74%

27
28

Penyakit digestif 7 5,1%


Penyakit metabolik Endokrin 5 3,6%
Penyakit Ginjal & Saluran kemih 5 3,6%
Gangguan gigi 4 2,9%
Penyakit Kulit 2 1,4%
Penyakit Telinga 1 0,71%
Penyakit Mata 1 0,71%
Lain-lain 5 3,6%
Jumlah 138 100%

Table 4.3 Menunjukkan bahwa dari 116 pasien lanjut usia, terdapat 10
golongan penyakit dengan fekuensi 138, 4 penyakit tersering diantaranya yaitu
penyakit Kardiovaskular dengan frekuensi 44 kunjungan (33%), penyakit
muskuloskeletal 34 (24,64%), Penyakit Respirasi 30 (21,74%), dan penyakit
Digestif 7 (5,1%).

4.2 Analisis Univariat


Pada penelitian ini ditemukan 37 jenis obat yang diberikan kepada pasien
lanjut usia dengan frekuensi sebanyak 289 kali yang diresepkan untuk pasien
lanjut usia.
Table 4.4 Jenis obat yang dikonsumsi pasien lanjut usia di Puskesmas Pondok
Cabe Ilir kota Tangerang Selatan periode Januari-Maret 2019.

Nama Obat Nama Obat Frekuensi Persentase


Multivitamin neurovit 44 15%
Vitamin c 5 1,7%
Kalsium kanal bloker Amlodipin 28 10%
ACE Inhibitor Captopril 3 1%
Nitrat Isosorbide dinitrat 3 1%
Diuretik Hidroklorotiazid 3 1%
Furosemide 2 0,6%
Kortikosteroid Deksametason 15 5,1%
Metilprednisolone 2 0,6%
Meloksikam 7 2,4%
Inhibitor pompa proton Omeprazol 11 4%
Antasida Antasida 13 4,5%
OAINS Asam mefenamat 10 3,4%
Diklofenak 16 6%
29

Ibuprofen 5 1,7%
Mukolitik Asetilsistein 7 2,4%
Molexflu ® 10 3,4%
Wicold ® 13 4,5%
Ekspektoran Guaifenesin 5 1,7%
OBH 4 1,5%
Sulfonilurea Metformin 2 0,6%
Glipizide 1 0,3%
Glizepirid 1 0,3%
Anti urisemia Allopurinol 3 1
Statin Simvastatin 3 1
Antibiotic Siprofloksasin 3 1
Cefadroksil 1 0,3%
Amoksisilin 18 6,2%
Antagonis reseptor H1 Cholpheniramin maleat 3 1
Loratadin 6 2%
Setirizine 1 0,3%
Antagonis reseptor D2 Domperidon 2 0,6%
Antagonis reseptor α3 Betahistin 2 0,6%
Agonis selektif β2 Salbutamol 9 3%
Antidepresan Amitriptilin 1 0,3
Pencahar Lactulose 4 1,5%
Antipiretik Paracetamol 23 8%
Jumlah 289 100%

Table 4.4 Menunjukkan obat yang sering diresepkan kepada pasien lanjut
usia yaitu sumplemen vitamin berupa neurovit sebanyak 44 obat (15%), amlodipine
dengan frekuiensi 28 obat (10%) dan yang ketiga adalah paracetamol sebanyak 23
obat (8%).
4.3 Interaksi obat
Pada penelitian dengan jumlah 116 sampel dan 289 frekuensi obat akan
diteliti berapa kombinasi yang berpotensi terjadinya interaksi menggunakan
literature Stockley Drug Interaction.
Table 4.5 kombinasi 2 obat yang berpotensi terjadinya interaksi obat
menurut Stockley Drug Interaction.
Kombinasi 2 Obat frekuensi keparahan
Deksametason - Eritromisin 1 Dilarang
30

Asam Mefenamat - Deksametason 2 Monitoring

Deksametason - Ciprofloxacin 1 Monitoring

Hidroklorotiazid - Meloksikam 1 Monitoring

Hidroklorotiazid – Asam Mefenamat 2 Monitoring

Deksametason - Amlodipine 2 Monitoring

Captopril - Diklofenak 1 Monitoring

Asam Mefenamat - Captopril 1 Monitoring

Meloksikam - Deksametason 3 Monitoring

Deksametason - Diklofenak 6 Monitoring

Ibuprofen - Deksametason 1 Monitoring

Asam Mefenamat - Metil Prednison 1 Monitoring

Nifedipin - Amlodipine 1 Monitoring

Captopril - Furosemide 1 Monitoring

Captopril - Isisorbid Dinitrat 1 Monitoring

Asam Mefenamat - Siprofloksasin 2 Monitoring

Amlodipine - Simvastatin 3 Monitoring

Amlodipine - Metformin 2 Monitoring

Metil Prednisolone - Ciprofloksasin 1 Monitoring

Deksametason - Omeprazole 2 Minor

Eritromicin - Loratadin 2 Minor

Klorafenikol – Amoksisilin 1 Minor

Table 4.5 Menunjukkan sebanyak 22 kombinasi 2 obat yang berpotensi


terjadinya interaksi menurut literatur Stockley Drug Interaction, dengan frekuensi
36 kali. Dalam interaksi tersebut terdapat 1 jenis interaksi yang dilarang, 18 jenis
interaksi yang diperbolehkan namun harus terus dipantau, dan 3 interaksi dengan
resiko rendah atau dianggap minor.
31

Diagram 4.1 tingkat keparahan interaksi dengan resiko Major, Moderat, Minor.

Tingkatan Interaksi Obat


90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
mayor moderat minor

Diagram 4.1 menunjukkan tingkatan interaksi obat yaitu terdapat 1 interaksi


mayor (5%), 18 interaksi sedang/moderat (81,5%), dan 3 interaksi minor (13,5%).

Diagram 4.2 Peresepan yang berpotensi terjadinya interaksi obat menurut literatur
Stockley drug interaction.

31%

69%

interaksi obat tanpa interaksi

Diagram 4.1 Menunjukkan bahwa dari 116 peresepan yang diberikan pada
pasien lanjut usia di Puskesmas Pondok Cabe Ilir Kota Tangerang Selatan pada
bulan Januari – Maret 2019 sebanyak 36 resep (31%) berpotensi terjadinya interaksi
dan 70 resep (69%) tidak berpotensi terjadinya interaksi obat menurut literatur
Stockley drug interaction.
32

4.4 Pembahasan Interaksi Obat


1. Kortikosteroid – NSAID
NSAID pada interaksi ini adalah asam mefenamat, ibuprofen,
meloksikam dan diklofenak. Kortikosteroid pada interaksi ini adalah
deksametason. Pemberian bersamaan antara steroid dan NSAID dapat
meningkatkan resiko terjadinya iritasi pada mukasa saluran cerna. NSAID
bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi
asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Di mukosa lambung, aktivasi
cox 1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif, sedangkan
kortikosteroid juga memiliki farmakodinamik yang sinergis dengan
NSAID, sehingga jika 2 obat tersebut diberikan bersamaan maka dapat
menyebabkan hilangnya mukosa lambung yang berfungsi sebagi
gastroprotektif.6, 8, 24
Professional societies termasuk American Geriatric Society, American
College of Rheumatology, dan Europian League Against Rheumatism
merekomendasikan untuk penggunaan NSAID pada lanjut usia
membutuhkan penjagaan, batasan dosis serta durasi. American Geriatric
Society juga merekomendasikan untuk penggunaan NSAID kronik (dalam
jangka lama) harusnya dilarang, karena dapat menyebabkan perdarahan
saluran cerna. Grup yang paling beresiko yaitu lansia diatas 75 tahun,
penggunaan kortikosteroid dengan pengguna antiplatelet atau anti
koagulan.29
2. NSAID – Antihipertensi
Obat dengan golongan NSAID dalam interaksi ini adalah diklofenak,
asam mefenamat, dan meloksikam. Sedangkan obat anti hipertensi berupa
captopril, dan hidroklorotiazid. Pemberian dua obat tersebut dalam waktu
bersamaan dapat menimbulkan interaksi secara farmakodinamik antagonis.
Hidroklorotiazid akan meningkatkan level atau efek dari meloksikam, dan
meloksikam akan menurunkan efek dari hidroklorotiazid karena NSAID
akan menghambat sintesis prostaglandin yang berperan penting dalam
pengaturan aliran darah ginjal, transport air dan garam, sehingga
menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air. Pemberian bersama kedua
33

obat akan menurunkan efek anti hipertensi. Tekanan darah tidak menurun
namun kebalikannya, yaitu terjadi peningkatan tekanan darah diastol pada
beberapa pasien yang di teliti.6, 8, 21, 24
Pada 90 pasien yang mendapatkan antihipertensi berupa ACE inhibitor
dan mendapatkan ibuprofen selama 4 minggu terlihat adanya peningkatan
tekanan darah yang sangat signifikan pada 15 pasien. Dalam keseluruhan
grup terlihat peningkatan tekanan diastol sekitar 3,5mmHg.6 Jurnal
American of hypertension in the elderly menunjukan bahwa penggunaan
indometasin 50 mg setiap hari selama 3 minggu dan mendapatkan
amlodipine atau enalapril, menunjukkan peningkatkan teknan darah dan
penurunkan pulsasi pada pasien yang mengkonsumsi enalapril, sama halnya
pada amlodipine namun efek yang timbul lebih minimal dibandingkan
enalapril. Perbedaan yang ditimbulkan oleh indometasin pada kedua
kelompok tersebut yaitu peningkatan tekanan darah 10,1/4,9mmHg dan
penurunan denyut nadi sebesar 5,6 permenit pada enalapril. Penggunaan
enalapril juga dapat meningkatkan berat badan dan penurunan renin plasma,
maka dari itu penggunaan amlodipine lebih menjadi pilihan.28
3. Metiprednisolone - Ciprofloksasin
Penggabungan kortikosteroid yaitu metil prednisolon dengan
siprofloksasin dapat berinteraksi secara farmakodinamik antagonis, yaitu
dapat menimbulkan efek sedatif. Kortikosteroid dimetabolisme oleh
isoenzim sitokrom P450 CYP1A2, CYP2D6 dan CYP3A4, sedangkan
siprofloksasin merupakan potent inhibitor yang kuat terhadap enzim
CYP1A2 dan kemungkinan juga mengganggu enzim CYP3A2. Interaksi
tersebut dapat menimbulkan efek sedatif dan confuse pada pasien yang
mengosumsi kedua obat tersebut dalam waktu bersamaan.6
Seorang pasien wanita yang sudah lama mengosumsi steroid 140 mg
setiap hari selama 6 tahun untuk mengurangi rasa nyeri pada intestinal
pseudo-obstruktif kronik, kemudian pasien mengalami infeksi saluran
kemih dan diberikan siprofloksasin 750 mg 2 kali sehari. Dua hari kemudian
pasien menunjukkan gejala sedatif.6, 24
4. Deksametason – Siprofloksasin
34

Mekanisme interaksi obat antara Deksametason dengan siprofloksasin


masih belum diketahui secara jelas, namun stuatu critical review
menunjukkan bahwa siprofloksasin dan deksametason sama-sama memiliki
efek negatif pada tendon manusia. Siprofloksasin menyebabkan apoptosis
sel tendon pada suatu experiment in-vitro, sementara deksametason juga
menginduksi penuaan sel. 15 24
Penggabungan dua obat tersebut dapat meningkatkan resiko dari ruptur
tendon, pada tahun 1998-2000 di Prancis dengan 525 pasien yang
mengkonsumsi florokuinolon menunjukkan relatif beresiko terhadap ruptur
tendon dan kerusakan sendi. Belum ada mekanisme khusus keterkaitan
antara siprofloksasin dengan deksametason, namun banyak yang
menyebutkan bahwa faktor resiko terjadinya ruptur tendon pada
penggunaan siprofloxacin terkait dengan usia 60 tahun, gagal ginjal,
diabetes mellitus, transplantasi organ dan penggunaan kortikosteroid dalam
jangka panjang.15,24
5. Amlodipine – Simvastatin
Interaksi pada golongan Calcium channel blocker dengan golongan
statin yaitu simvastatin terjadi secara farmakokinetik dalam metabolisme.
Simvastatin menghambat MHG-CoA reductase di hati, inhibisi enzim
tersebut menyebabkan penurunan kadar kolestrol total. Simvastatin di
metabolisme oleh cytochrome P-450 isoenzyme CYP3A4 dan sangat
sensitive terhadap inhibitor CYP3A4. Amlodipin merupakan inhibitor
lemah isoenzim CYP3A4, sehingga penggabungan kedua obat tersebut akan
meningkatkan (C (max)) dari HMG-CoA reductase inhibitor dan AUC,
sehingga penggabungan amlodipine 10mg ditambah dengan simvastatin
20mg sama dengan mengkonsumsi simvastatin 40mg. peningkatan kadar
simvastatin di dalam plasma tetap tidak mempengaruhi efek dari simvastatin
sebagai HMG-CoA reductase inhibitor , akan tetapi pada penelitian
Pharmacy Practice Unit tentang Recommendations on Simvastatin
interaction; what are the Implication for Patients Taking Amlodipine dan
The MHRA Drug Safety(2012) mengatakan bahwa penggabungan keduanya
dapat menyebabkan rabdomiolisis dan miopati.17,18, 24
35

6. Amlodipin - Metformin
Pemberian amlodipin bersama obat anti diabetik oral menyebabkan
interaksi farmakodinamik antagonis, yaitu amlodipine akan menurunkan
pengeluaran insulin oleh pangkreas atau menghambat reseptor GLUT 1.
Penghambatan pengeluaran insulin akan melawan fungsi dari metformin,
sehingga kadar gula darah benar-benar harus dimonitoring. Dalam sebuah
penelitian International Journal of Basic & Clinical Pharmacology (2013)
menunjukkan penggunaan amlodipin dan metformin dapat menurunkan
kadar gula darah dalam 1,2-6 jam dengan signifikan, sehingga terjadinya
hipoglikemia.
7. Deksametason – Eritromisin
Pemberian eritromisin bersamaan dengan kortikosteroid, dapat
menimbulkan interaksi secara farmakodinamik antagonis. Kortikosteroid
tersebut merupakan deksametason yang dimetabolisme oleh sitokrom p450
isoenzim CYP3A4 di hati,dan eritromisin dapat menghambat sitokrom P50
isoenzim CYP3A4. Ketika kedua obat tersebut diberikan bersamaan maka
akan menyebabkan peningkatan kadar deksametason di dalam plasma. 6, 24,8
8. Eritromisin - Loratadin
Pemberian eritromisin bersamaan dengan loratadin menunjukkan
adanya interaksi secara farmakokinetik, yaitu terjadinya peningkatan
konsentrasi loratadin di dalam plasma (40% meningkat di bawah AUC), dan
descarboethoxyloratadine (46%) meningkat pada AUC). Namun tidak
menunjukan perubahan apapun terhadap klinis pasien, tidak menyebabkan
efek sedasi maupun sinkop.16, 24
9. Kloramfenikol - Amoksisilin
Khoramfenikol dapat menurunkan efek dari amoksisilin secara
farmakodinamik antagonis. Kloramfenikol akan menghamabat obat lain
yang di metabolisme di hepar, dengan demikian toksisitas obat lain akan
tinggi bila diberikan bersamaan dengan kloramfenikol dalam interaksi ini
yaitu amoksisilin.8, 24
10. Asam Mefenamat – Siprofloksasin
36

Mekanisme interaksi obat antara asam mefenamat dengan siprofloksasin


masih belum diketahui secara detail, namun Hori S,et al. J Infect Chemother
2003 memaparkan bahwa penggabungan dua obat tersebut meningkatkan
efek konvulsan.23,24 hal ini didasarkan pada kemungkinan resiko stimulasi
sistem saraf pusat dan peningkatan GABA secara sinergis pada ko-
administrasi antara NSAID dengan antibiotic golongan quinolone. Insiden
konvulsi yang hebat telah dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima
kombinasi enaxacin dan fenbufen. Ko-administrasi keduanya harus bener-
benar diperhatikan terutama bagi pasien epilepsi. 31
11. Anti hipertensi – Anti hipertensi
Pemberian 2 obat anti hipertensi secara bersamaan dapat meningkatkan
resiko terjadinya hipotensi, obat anti hipertensi yang diberikan secara
bersamaan dalam hal ini adalah captopril, furosemide, nifedipin,
amlodipine, serta isosorbid dinitrat yang sebenarnya merupakan golongan
nitrat, namun dalam hal ini juga meningkatkan resiko terjadinya hipotensi.
Furosemide bekerja dengan menstimulasi kallikrein ginjal dan kinins untuk
menghentikan sekresi dari aldosterone, sedangkan Captopril juga
menghentikan sekresi aldosterone. Terjadi interaksi secara farmakodinamik
sinergis, dan penggabungan keduanya dapat meningkatkan resiko
hipotensi.27
Dari data klinis pasien dapat dilihat kemungkinan adanya interaksi obat
atau terjadinya efek samping obat pada pasien lanjut usia yang mendapat
peresepan, sebagai contoh pada salah satu pasien yang berkunjung tiga kali
kunjungan dalam satu bulan dengan keluhan nyeri dan mendapat peresepan
yang sama, obat golongan NSAID sebagai Pereda nyeri. Pada kunjungan ke
tiga pasien mendapatkan peresepan antacid karena keluhan gastrointestinal.
Dari kejadian tersebut dapat dilihat bahwa efek samping dari suatu obat
(dalam kasus ini NSAID) kemungkinan benar terjadi di Puskesmas terebut.
37

4.5 Keterbatasan Peneliti


Penelitian menggunakan data sekunder yaitu hanya melihat catatan rekam
medis pasien lanjut usia yang berobat di Puskesmas Pondok Cabe Ilir Kota
Tangerang Selatan, tanpa melihat gejala klinis secara lansung. Peneliti hanya
mengukur potensi interaksi obat pada resep yang diterima pasien, dalam hal ini
potensi mungkin saja tidak terjadi jika pasien menerima edukasi yang tepat dikala
pengambilan resep.
BAB V
RINGKASAN DAN SARAN

5.1 Ringkasan
1. Prevalensi peresepan yang berpotensi terjadinya interaksi obat pada
pasien lanjut usia di Puskesmas Pondok Cabe Ilir Kota Tangerang
Selatan periode Januari – Maret 2019 sebesar 31% (36 peresepan).
2. Karakteristik pasien lanjut usia yaitu pasien perempuan sebesar 57% (65
pasien) dan laki-laki 43% (50 pasien), dengan usia tersering yang
berobat didapatkan pada usia 60-70 tahun, yaitu sebanyak 96 pasien
(83%).
3. Diagnosis penyakit pada pasien lanjut usia dengan 4 diagnosis tersering
pada pasien lanjut usia diantaranya yaitu penyakit kardiovaskular
sebanyak 44 diagnosis (32%), muskuloskeletal 34 diagnosis (24,64%),
respirasi 30 diagnosis (21,74%), dan digestive 7 diagnosis (5,1%).
4. Jenis obat tersering yang diberikan pada pasien lanjut usia adalah
sumplemen vitamin, yaitu sebanyak 44 obat (15%), amlodipine dengan
frekuiensi 28 obat (10%) dan yang ketiga adalah paracetamol sebanyak
23 obat (8%).
5. Jenis kombinasi dua obat tersering yang berpotensi terjadinya interaksi
pada pasien lanjut usia di Puskesmas Pondok Cabe Ilir Kota Tangerang
Selatan periode Januari – Maret 2019 adalah deksametason – diklofenak
sebanyak 6 kali, meloksikam – deksametason sebanyak 3 kali, dan
amlodipine – simvastatin sebanyak 3 kali. Potensi interaksi obat dengan
resiko tinggi yaitu kombinasi antara Deksametason – Eritromisin yaitu
sebanyak 1 kali (harus diganti).
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelian lebih lanjut dan pada wilayah yang lebih luas
jangkauannya.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang potensi interaksi obat
pada lansia untuk mengetahui pola pemberian obat, dan apakah ada
edukasi secara menyeluruh atau tidak.

38
39

3. Peneliti merekomendasikan kepada Puskesmas Pondok Cabe Ilir untuk


melalukan evaluasi peresepat pada pasien lanjut usia untuk mencegah
potensi interaksi obat.
4. Peneliti tidak melihat kondisi klinis dari pasien secara lansung, hanya
berdasarkan rekam medis. Peneliti menyarankan kepada peneliti
selanjutnya untuk melihat kinis pasien jika memungkinkan.
Daftar Pustaka

1. Kementrian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Lansia Kementrian


Kesehatan RI. Jakarta Selatan. 2017
2. Cascorbi ingolf. Drug Interactions-Principles, Examples and Clinical
Consequences. Institute of Clinical Experimental Pharmacology at the
University Medical Center Schleswing-Holstein. 2014
3. Kinsella K. & Taeuber CM. An Aging World II, US Bureau of the Census,
International Population Reports.1993
4. Martono H, Pranarka kris. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI (Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut) edisi 5. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia .2015.
5. Miller, Carol A. Nursing Care of Older Adults: Theory and Practice. Philadepia:
Lippincott. 1999
6. Stockley, I.H., Stockley’s Drug Interactins. Pharmaceuticl press, London. 2008
7. Masnoon N, Shakib S, Kalisch Ellett L, Gillian E. What is polypharmacy? A
Sistematic review of definition. Masnoon et al. BMC. Geriatrics (2017) 17:230
8. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, dkk. Farmakologi dan Terapi edisi 6.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2016
9. Dasopang E, Harahap U, Lindarto D. Polifarmasi dan Interaksi obat Pasien Usia
Lanjut Rawat Jalan dengan Penyakit Metabolik. Jurnal Farmasi Klinik
Indonesia. 2015. Vol. 4 No. 4, hlm 235-241
10. Dorland, W.A. Newman, Kamus Kedokteran Dorland, alihbahasa
HuuriwatiHartanto, dkk., edisi 29, EGC, Jakarta. 2002.
11. Stanley, Mickey, and Patricia Gauntlett Beare. Buku Ajar Keperawatan
Gerontik, ed 2, Jakarta: EGC.2006
12. Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., Farmakologi Dasar dan Klinis,
Edisi 12
13. Toni Setiabudhi dan Hardiwinoto. Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai
Aspek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.2005
14. Tamher dan Noorkasiani. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Sakemba Medika. 2009

40
41

15. Baboldashti N Z, Sarah L, Raewyn, dkk. Platelet-Rich Plasma Protects


Tenocytes from Adverse Side Effects of Dexamethasone and Ciprofloxacin.
The American jurnal of sports Medicine.2011 https://doi.org
/10.1177/0363546511407283.
16. Brannan Melvin D, Reidenberg P, dkk. Loratadine administered concomitantly
with erythromycin: Pharmacokinetik and electrocardiographic evaluations.
American society for clinical pharmacology & therapeutics.1995
https://doi.org/10.1016/0009-9236 (95)90243-0.
17. Nishio S, et al. Interaction between amlodipine and simvastatin in patient with
hypercholesterolemia and hypertension. 2005. http//ncbi.nlm.nih.gov
18. Randall Christine. MHRA Recommendations On Simvastatin Interactions:
What Are The Implications For Patients Taking Amlodipine? North West
Medicines Information Centre, Pharmacy Practice Unit. 2012
19. Megat M, Sermet Catherine, dkk. Polypharmacy: Definitions, Measurement
and Stakes Involved Review of the Literature and Measurement Tests. Institute
de recherché at documentation en economie de la sante. 2014.
http://www.iredes.fr/english/issues-in-health-economics/204-polypharmacy-
definition-measurement-and-stakes-involved.pdf
20. Prajapat Rajeev, Agarwal Pooja,Jain, dkk, The Effect Of Amlodipine On Blood
Glucose Level And Its Interaction With Oral Hypoglycemic Druds In Albino
Rabbits. International Jurnal of Basic & Clinical Pharmacology. 2013.vol 2
21. Imananta F P, Sulistiyaningsih. Artikel Tinjauan: Penggunaan NSAID
Menginduksi Peningkatan Tekanan Darah Pada Pasien Arthritis. Fakultas
Farmasi Universitas Padjajaran. 2018
22. Foroutan Nazanin. Tendon Rupture as a Probable Side Effect of Ciprofloxacin:
A Review Artikel. Advances in Pharmacoepidemiology & Drug Safety. Iran.
2019
23. Hori S, et al. Effects of Anti Inflammatory Drugs on Convulsant Activity of
Quinolones: a Comparative Study of Drug Interaction Bitween Quinolone And
Anti Inflammatory Drugs.J Infect Chemother. 2003. PubMed mobile website
ttps://www.ncbi.nml.nih.gov
42

24. Medscape. Drug interaction chacker.2019 Available at


https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker.2019
25. Gitawati retno. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Puslitbang Biomedis
dan Farmasi, Badan Litbangkes. 2008.
26. Billah Kafa. Prevalensi Peresepan yang Berpotensi Terjadinya Interaksi Obat
pada Pasien Lanjut Usia di Puskesmas Ciputat periode Januari-Maret 2015. FK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013.
27. Toussaint C, et al. Interference of different ACE-Inhibitor with the diuretic
action of furosemide and Hydrochorothiazide. Klin Wochenschr.1989;
67(22):1138-46.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubme/2586018/
28. Morgan Trefor O, Anderson A, dkk. Effect of Indomethacin on Blood Pressure
in Elderly People With Essential Hypertension Well Controlled on Amlodipine
or Enalapril. American Journal of Hypertension, Ltd. Elsevier Science.2000.
29. Wongrakpanich S, dkk. A Comprehensive Revie of Non-Steroidal Anti-
Inflammatori Drug Use in the Elderly. Agig and Disease. Vol 9; 2018.
30. Dahlan, Sofiyudin M. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta:
Salemba Medisa. 2013
31. Halim Marta. Ciprofloxasin - Scribd. 2012.
https://id.scribd.com/doc/102015342/ciprofloxacin.
LAMPIRAN 1

43
LAMPIRAN 2

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Maghfiratulliza

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir: Aceh Besar, 18 Desember 1997

Agama : Islam

Alamat : Kreung Lamkareung, Indrapuri Aceh Besar prov. Aceh

Email : Magfiratulliza97@gmail.com

No. HP : 085206737098

Riwayat Pendidikan

2002-2004 TK Raudhatul Athfal

2004-2010 MIN 01 Indrapuri

2010-2013 MTS Tgk. Chiek Oemar Diyan

2013-2016 MAS Tgk. Chiek Oemar Diyan

2016- Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


sekarang

44
LAMPIRAN 3

Daftar Penyakit Frekuensi


Hipertensi 42
Penyakit musculoskeletal 22
ISPA 12
Common Cold 9
Vl post KLL 8
Gejala umum 5
Gangguan gigi 4
Asma 4
Dyspepsia 3
Gastritis 3
Penyakit Endokrin 3
Faringitis 2
Atritis 2
Osteo Atritis 2
Dermatitis 2
PPOK 2
ISK 2
Brongkitis 1
Penyakit mata 1
Reumatik 1
Triger finger 1
HHD 1
CHF 1
OMA 1
CKD 1
BPH 1
Hernia inguinal 1
Gerd+varises 1
jumlah 138

45
LAMPIRAN 4

46
LAMPIRAN 5

Profil Puskesmas Pondok Cabe Ilir Kota Tangerang Selatan

UPT Puskesmas Pondok Cabe Ilir mulai beroperasi di bulan April 2017, dengan
wilayah kerja meliputi dua wilayah kelurahan, yaitu kelurahan Pondok Cabe Ilir
dengan luas wilayah 420 Ha dan Pondok Cabe Udik dengan luas wilayah 514 Ha.
Puskesmas Pondok cabe ilir melayani perawatan Non Rawat Inap dan Kesehatan
Masyarakat Rawat Inap, puskesmas tersebut termasuk Puskesmas Kawasan
Perkotaan. Jumlah penduduk kelurahan Pondok Cabe Ilir dalam setahun sebanyak
35.484 jiwa dengan jumlah lanjut usia sebanyak 5.881 (16.6%) pada tahun 2018.
Kelurahan Pondok Cabe Udik sebanyak 20.878 dengan jumlah lanjut usia 460
(2,2%). Pembinaan wilayah tersebut terdiri dari dokter coordinator wilayah, Bidan
Desa, dan Pembina Wilayah per RW.

Sepuluh penyakit terbanyak di wilayah UPT Puskesmas Pondok Cabe Ilir tanuh
2018.

NO DIAGNOSA JUMLAH

1 ISPA 3741

2 Hipertensi 1511

3 Gastritis & Duodenitis 1410

4 Caries 600

5 Nekrosis Pulpa 462

6 Dermatitis Kontak Alergi 457

7 GEA Non Dehidrasi 250

8 Akut Tonsilitis 211

9 Non Insulin Dependen DM 155

10 Suspect TB 142

47

Anda mungkin juga menyukai