Anda di halaman 1dari 75

HUBUNGAN PERILAKU PENGGUNAAN TABIR SURYA DENGAN

DERAJAT KEPARAHAN MELASMA

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH:

Linda Fajriah
NIM: 11181330000021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H / 2021 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Januari 2022

Materai
Rp 6000

Linda Fajriah

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

HUBUNGAN PERILAKU PENGGUNAAN TABIR SURYA DENGAN


DERAJAT KEPARAHAN MELASMA

Laporan Penelitian

Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran sebagai


salah satu syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh :

Linda Fajriah
NIM : 11181330000021

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS dr. Bimo Aryo Tejo, Sp.DV

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2021 M

ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Laporan penelitian berjudul HUBUNGAN PERILAKU PENGGUNAAN


TABIR SURYA DENGAN DERAJAT KEPARAHAN MELASMA yang
diajukan oleh Linda Fajriah (NIM:11181330000021), telah diujikan dalam sidang
di Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Januari
2022. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter.
Jakarta, 14 Januari 2022

DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang

Dr. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS


NIP 195404061981111001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS dr. Bimo Aryo Tejo, Sp.DV
NIP 195404061981111001

Penguji I Penguji II

Dr. Zeti Harriyati, M. Biomed dr. Rahmatina, Sp.KK


NIP 197905262005012005

PIMPINAN FAKULTAS PIMPINAN FAKULTAS


Dekan FK UIN Jakarta Kaprodi Kedokteran UIN Jakarta

dr. Hari Hendarto, Sp.PD-KEMD. Ph.D, FINASIM Dr. dr. Achmad Zaki, M. Epid, SpOT
NIP 196511232003121003 NIP 197805072005011005
iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
berkah dan rahmat-Nya serta nikmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan laporan hasil penelitian yang berjudul “Hubungan
Perilaku Penggunaan Tabir Surya Dengan Derajat Keparahan Melasma”
dengan lancar. Sholawat dan salam juga selalu teriring dan tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan yang baik bagi umatnya, yang
telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang penuh ilmu dan
pengetahuan.

Dalam penyusunan proposal ini, penulis banyak mendapat arahan,


bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini
dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :

1. dr. Hari Hendarto, Ph.D, Sp.PD-KEMD selaku dekan Fakultas


Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. dr. Achmad Zaki, M. Epid, Sp.OT selaku ketua Program Studi
Pendidikan dokter dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS selaku pembimbing 1 dan dr.
Bimo Aryo Tejo, Sp.DV selaku pembimbing 2 yang telah memberikan
banyak arahan, bimbingan dan dukungan yang penuh sejak awal hingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
4. Dr. Zeti Harriyati, M. Biomed selaku penguji 1 dan dr.
Rahmatina,Sp.KK selaku penguji 2 yang telah memberikan masukan
dan saran yang membangun kepada penulis dalam menyusun laporan
penelitian ini.
5. Drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab riset
yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian di Program Studi Pendidikan Dokter.
6. dr. Nursyahidah, Sp.FK dan dr. Ayat Rahayu, Sp.Rad selaku
pembimbing akademik yang telah banyak memberikan nasihat dan

iv
semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas
Kedokteran.
7. Orang tua penulis ayahanda Drs. Rojali dan uminda Dra. Nuriyah yang
selalu memberikan semangat, nasihat, doa dan dukungan secara moral
maupun moril sehingga penulis dapat menempuh pendidikan sejauh ini
dan dapat mencapai cita-cita menjadi seorang dokter yang hebat.
8. Teman teman seperjuangan tim riset, yaitu Fardha Nadya Yunitha, Sinta
Maharani Fawwaz, Raden Tasya Shafira, dan Mohammad Alwan
Pramedisca yang telah banyak membantu serta saling menguatkan dan
mendoakan untuk berjuang menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatku, yaitu Shafiya Fatiha Rahmi, Sri Murniati, dan
Serina Aulia Noviani yang selalu menyemangati, menemani dan
membantu penulis dalam keadaan apapun hingga detik ini sehingga
banyak direpotkan.
10. Seluruh teman-teman sejawat FK UIN 2018 yang sejak awal hingga saat
ini saling menyemangati dan berjuang bersama untuk meraih impian
menjadi dokter muslim yang hebat serta bermanfaat untuk membantu
banyak orang.
11. Semua pihak-pihak lain yang telah membantu dan terlibat sehingga
penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini dengan baik dan tepat
waktu.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penulisan, pembahasan, ataupun penyusunannya. Oleh
karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan,
bahasa, maupun dalam susunan kalimatnya. Penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat positif dan membangun dari para pembaca demi sempurnanya laporan
hasil skripsi ini.

Jakarta, 14 Januari 2022

Linda Fajriah

v
ABSTRAK

Linda Fajriah. Program Studi Pendidikan Dokter. Hubungan Perilaku


Penggunaan Tabir Surya Dengan Derajat Keparahan Melasma.

Latar belakang: Tabir surya merupakan suatu bahan yang berfungsi sebagai
pelindung bagi kulit dari pengaruh radiasi sinar UV. Melasma merupakan kelainan
hiperpigmentasi berupa makula coklat didapat pada kulit yang bersifat kronis dan
cenderung berulang pada daerah terpajan matahari. Untuk etiopatogenesisnya
masih belum jelas, radiasi ultraviolet (UV) berperan dalam terjadinya melasma.
Penggunaan tabir surya yang baik dan benar dapat memperbaiki dan mencegah
timbulnya melasma. Tujuan penelitian: Untuk mengetahui hubungan perilaku
penggunaan tabir surya dengan derajat keparahan melasma. Metode penelitian:
Penelitian ini menggunakan desain observasi analitik dengan rancangan potong
lintang (cross-sectional). Pengambilan sampel melalui metode consecutive
sampling sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 50 responden. Derajat
keparahan melasma didapatkan melalui pemeriksaan fisik kemudian diukur
menggunakan skor MASI dan perilaku penggunaan tabir surya diukur dengan
pengisian kuesioner. Analisis data menggunakan SPSS dengan uji pearson,
dianggap bermakna jika sig <0.05. Hasil Penelitian: Tingkat perilaku penggunaan
tabir surya mayoritas pasien sudah dalam kategori sedang-baik, sebanyak 23
responden (46%) berperilaku baik dan 19 responden (38%) berperilaku sedang,
hanya 8 orang (16%) dalam kategori kurang. Derajat keparahan melasma
berdasarkan skor MASI diperoleh sebanyak 38 pasien (76%) memiliki derajat
keparahan melasma tingkat ringan, 7 pasien (14%) kategori sedang, dan 5 pasien
(10%) kategori berat. Terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku
penggunaan tabir surya dengan derajat keparahan melasma (nilai p=0,014) dengan
korelasi sebesar- 0,346 menunjukkan hubungan tidak searah dan kekuatan korelasi
yang lemah. Kesimpulan: Perilaku penggunaan tabir surya dapat mempengaruhi
derajat keparahan melasma.

Kata kunci: Tabir Surya, Skor MASI, Derajat Melasma

vi
ABSTRACT

Linda Fajriah. Medicine Study Program. Correlation between sunscreen use


behavior with the severity of melasma.

Background: Sunscreen is an ingredient that functionates to protect the skin from


the effects of UV radiation. Melasma is a hyperpigmentation disorder in the form
of brown macula obtained on the skin that is chronic and tends to recur in areas
exposed to the sun. The etiopathogenesis is still unclear. Ultraviolet (UV) radiation
plays a role in the occurrence of melasma. The use of a good and correct sunscreen
can improve and prevent the onset of melasma. Objective: To find out the
correlation of sunscreen use behavior with the severity of melasma. Method: This
study uses an observational analytical with a cross-sectional design. Sampling
through consecutive sampling methods so that the number of samples was obtained
for about 50 respondents. The severity of melasma is obtained through a physical
examination then measured using MASI scores and sunscreen use behavior is
measured by filling out questionnaires. Analysis of data using SPSS with pearson
test, is considered meaningful if sig n<0.05. Results: The sunscreen use behavior
of the majority of patients are already in the moderate-good category, as many as
23 respondents (46%) behave well and 19 respondents (38%) behave moderately,
only 8 people (16%) in the less category. The severity of melasma based on MASI
scores was obtained as many as 38 patients (76%) had mild melasma severity, 7
patients (14%) moderate category, and 5 patients (10%) severe category. There is
a meaningful correlation between the behavior of the use of sunscreen with the
degree of severity of melasma (value p = 0.014) with a correlation of -0.346 shows
a unidirectional correlation and weak correlation strength. Conclusion: The
sunscreen use behavior can affect the severity of melasma

Kata kunci: Sunscreen, MASI Score, Severity of Melasma

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.............................................. i


LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 3
1.3 Hipotesis Masalah.............................................................................................. 4
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 4
1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 4
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 4
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 4
1.5.1 Peneliti ...................................................................................................... 4
1.5.2 Institusi ..................................................................................................... 4
1.5.3 Masyarakat .............................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 6
2.1 Melasma.............................................................................................................. 6
2.1.1 Definisi Melasma ..................................................................................... 6
2.1.2 Epidemiologi Melasma............................................................................ 6
2.1.3 Klasifikasi Melasma ................................................................................ 8
2.1.4 Etiologi ................................................................................................... 10
2.1.5 Patogenesis ............................................................................................. 13
2.1.6 Manifestasi Klinis .................................................................................. 15
2.1.7 Tatalaksana ............................................................................................ 16

viii
2.1.8 Pencegahan ............................................................................................ 18
2.1.9 Derajat Keparahan Melasma (skor MASI) ........................................ 20
2.2 Tabir Surya ...................................................................................................... 22
2.2.1 Definisi .............................................................................................................. 22
2.2.2 Klasifikasi ......................................................................................................... 22
2.2.3 Penggunaan Klinis ........................................................................................... 23
2.2.4 Hubungan Penggunaan Tabir Surya dengan Melasma ..................... 24
2.3 Perilaku ............................................................................................................ 25
2.4 Kerangka Teori ................................................................................................ 27
2.5 Kerangka Konsep ............................................................................................ 28
2.6 Definisi Operasional ........................................................................................ 29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 30
3.1 Desain Penelitian ............................................................................................. 30
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian........................................................................ 30
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................................... 30
3.3.1 Populasi .................................................................................................. 30
3.3.2 Sampel .................................................................................................... 30
3.4 Variabel penelitian .......................................................................................... 32
3.4.1 Variabel bebas ....................................................................................... 32
3.4.2 Variabel terikat ..................................................................................... 32
3.5 Cara Kerja Penelitian ..................................................................................... 32
3.5.1 Pengisian kuesiner ................................................................................. 32
3.5.2 Pemeriksaan Fisik di Wajah ................................................................ 32
3.6 Analisis Data .................................................................................................... 32
3.7 Alur Kerja Penelitian ...................................................................................... 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 34
4.1 Hasil .................................................................................................................. 34
4.1.1 Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner ............................................... 34
4.1.2 Analisis Univariat .................................................................................. 35
4.1.3 Analisis Bivariat .................................................................................... 39
4.2 Pembahasan ..................................................................................................... 40
4.3 Integrasi Keilmuan dan Keislaman ............................................................... 44
4.4 Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 45

ix
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 46
5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 46
5.2 Saran ................................................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 48
LAMPIRAN ......................................................................................................... 52

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Tabir Surya berdasarkan Spektrum dan Bahan .................. 23
Tabel 2.2 Definisi Operasional Variabel ............................................................... 29
Tabel 4.1. Distribusi subjek berdasarkan umur ..................................................... 35
Tabel 4.2. Rerata umur subjek Melasma ............................................................... 35
Tabel 4.3. Distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin ........................................ 36
Tabel 4.4. Distribusi subjek berdasarkan pekerjaan.............................................. 36
Tabel 4.5. Distribusi frekuensi tingkat perilaku penggunaan tabir surya ............. 37
Tabel 4.6. Rerata perilaku penggunaan tabir surya pada subjek ........................... 37
Tabel 4.7. Distribusi tingkat derajat keparahan melasma ..................................... 38
Tabel 4.8. Rerata nilai skor MASI pada subjek .................................................... 38
Tabel 4.9. Gambaran perilaku penggunaan tabir surya dengan derajat melasma . 39
Tabel 4.10. Hubungan perilaku penggunaan tabir surya dengan keparahan
melasma................................................................................................................. 40

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Melasma tipe epidermal ..................................................................... 8


Gambar 2.2. Melasma tipe dermal .......................................................................... 9
Gambar 2.3. Melasma tipe campuran ..................................................................... 9
Gambar 2.4. Pigmentasi Melasma ........................................................................ 15
Gambar 2.5. Algoritma Tatalaksana Melasma ...................................................... 19
Gambar 2.6. Perhitungan skor MASI pada Melasma ........................................... 21
Gambar 2.7. Interpretasi Derajat Keparahan Melasma ......................................... 21

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian ........................ 52

Lampiran 2 Lembar kesediaan pengisian kuesioner (informed consent) ............ 53

Lampiran 3 Kuesioner penelitian ........................................................................ 54

Lampiran 4 Hasil uji statistik .............................................................................. 56

Lampiran 5 Lembar persetujuan kaji etik............................................................ 60

Lampiran 6 Riwayat hidup peneliti ..................................................................... 61

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Matahari mengandung sinar ultra violet (UV) yang memiliki manfaat
bagi tubuh manusia, salah satunya untuk sintesis vitamin D (pembentukan
kolekasiferol).1 Sinar UV merupakan sinar yang memiliki panjang gelombang 100–
400 nm, yang terbagi menjadi tiga jenis yaitu UV A, UV B, dan UV C.2

Sinar UV juga dapat memberikan dampak negatif bagi tubuh jika


paparan terjadi secara terus menerus, yang dapat menimbulkan stres oksidatif dan
mengakibatkan kerusakan pada kulit.2 Radiasi dari sinar UV dapat masuk ke kulit
yang lebih dalam sehingga akan menimbulkan dampak negatif, berupa perubahan-
perubahan jangka pendek yang bersifat akut seperti pigmentasi, eritema,
fotosensitivitas, bahkan efek jangka panjang seperti penuaan dini dan keganasan
atau kanker kulit.3

Untuk mencegah terjadinya efek dari radiasi sinar UV tersebut, maka


kulit perlu perlindungan dengan penggunaan tabir surya yang baik dan tepat sebagai
salah satu upaya proteksi dan menjaga kulit agar tetap sehat. Tabir surya merupakan
suatu bahan yang berfungsi sebagai pelindung bagi kulit dari pengaruh sinar UV
yang dipancarkan oleh matahari. Berdasarkan kandungannya, tabir surya terbagi
menjadi fisis (bekerja memantulkan sinar UV) dan kimiawi (bekerja menyerap
sinar UV). Kedua jenis tabir surya tersebut memiliki efek yang sama sehingga
energi radiasi sinar tidak masuk ke kulit.3,4

Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat pada kulit yang


bersifat kronis dan cenderung berulang dengan gambaran klinis khas berupa makula
coklat muda hingga coklat tua pada daerah terpajan matahari, contohnya wajah dan
leher.4 Untuk etiopatogenesisnya saat ini masih belum jelas. Faktor genetik,
hormonal, dan radiasi ultraviolet (UV) diduga berperan dalam pengaruh terjadinya
melasma. Etiologi utama yang menjadi penyebab masih menjadi banyak
pertanyaan. Terdapat beberapa faktor risiko yang terlibat, antara lain warna kulit

1
2

gelap terutama tipe kulit Fitzpatrick III dan IV, predisposisi genetik, pajanan sinar
UV, kehamilan, dan penggunaan hormon eksogen.5

Kasus melasma lebih banyak dialami oleh perempuan dibanding dengan


laki-laki. Prevalensi pada perempuan Latin sebanyak 4%-10% dan meningkat
hingga 50% pada ibu hamil, sedangkan pada perempuan Asia Tenggara
prevalensinya mencapai 40%. Di Indonesia, data dari epidemiologi poliklinik
kesehatan kulit dan kelamin RS Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2013
menyatakan bahwa jumlah kunjungan pasien melasma sebanyak 14,8% dari 2.768
kunjungan dengan 11,9% nya adalah pasien perempuan. Survei yang dilakukan oleh
Guinot dkk 2010 di Tunisia, melaporkan bahwa faktor predisposisi utama pada
pasien melasma berhubungan dengan pajanan sinar UV sebanyak 51%.6

Secara klinis, derajat keparahan melasma dapat diukur dengan


mengunakan alat ukur The Melasma Area and Severity Index (MASI). Skor MASI
dinilai dengan pemeriksaan inspeksi secara subjektif yang meliputi 3 aspek, yaitu
luas area keterlibatan, tingkat kegelapan/derajat pigmentasi, dan homogenitas
hiperpigmentasi. Dengan demikian, nilai skor tersebut dapat memberikan gambaran
derajat keparahan melasma secara kuantitatif yang cukup akurat dengan validitas
dan reliabilitas yang baik.7

Hasil penelitian di Cengkareng oleh Lahida pada tahun 2017, dari 70


responden dilaporkan sebanyak 44,3% pasien tidak memiliki riwayat pemakaian
tabir surya dan menderita melasma. Pada tahun 2018, hasil penelitian oleh Waskita
menyatakan bahwa 96,7% responden yang rutin memakai tabir surya paling banyak
mengalami derajat melasma ringan sedangkan yang tidak rutin memakai tabir surya
paling banyak mengalami derajat melasma sedang yaitu 70%. Hal tersebut
menunjukan bahwa kejadian melasma dan derajat keparahannya dipengaruhi oleh
penggunaan tabir surya.6,8

Dari penelitian yang sama juga didapatkan pada responden yang rutin
memakai tabir surya memiliki derajat melasma sedang yaitu sebanyak 3,3%. Hal
ini dapat disebabkan karena perilaku yang belum benar dalam menggunakan tabir
surya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Wadoe dkk pada mahasiswa
3

UNAIR tahun 2019 melaporkan perilaku penggunaan tabir surya masih kurang
baik.8

Penggunaan tabir surya dengan spektrum luas dapat memperbaiki


melasma, meningkatkan efektifitas krim pemutih, dan membantu mencegah lesi
baru. Pemakaiannya harus tepat, baik mengenai bahan maupun cara pakai untuk
keberhasilan terapi. Sebuah studi yang dilakukan di Korea pada tahun 2013
menunjukan bahwa penggunaan tabir surya spektrum luas (SPF 50+, UVA-PF 30)
dapat ditoleransi dengan baik dan terbukti efektif dalam pencegahan melasma pada
wanita hamil di Korea.9,10

Menurut penelitian dari H. Lakhdar et al pada tahun 2007, melaporkan


bahwa pada 200 wanita hamil yang dioleskan tabir surya dengan Sun Protection
Factor (SPF) 50+ dan UVA-Protection Factor (UVA-PF) 28, hanya 2,7% yang
mengalami kasus baru melasma. Selain itu, hasil pengamatan menunjukan bahwa
pada 8 dari 12 wanita yang menderita melasma pada awal kehamilan mengalami
perbaikan klinis dalam 6 bulan setelah pemberian tabir surya.8,11

Oleh karena uraian di atas, tabir surya merupakan salah satu upaya
pencegahan dan pengobatan melasma sehingga peneliti berkeinginan untuk
meneliti dan membuktikan adakah hubungan perilaku penggunaan tabir surya
dengan derajat keparahan melasma. Dengan demikian, penelitian ini juga dapat
bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pentingnya
menggunakan tabir surya sebagai proteksi bagi kulit dari radiasi sinar UV dan
sebagai upaya pencegahan terjadinya melasma.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana hubungan perilaku penggunaan tabir surya dengan derajat
keparahan melasma?
4

1.3 Hipotesis Masalah

Terdapat hubungan antara perilaku penggunaan tabir surya dengan derajat


keparahan melasma, yaitu semakin baik perilaku penggunaan tabir surya maka
semakin rendah derajat keparahan melasmanya.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan perilaku penggunaan tabir surya dengan
derajat keparahan melasma

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui perilaku penggunaan tabir surya berdasarkan
kuesioner pada pasien melasma di Klinik The Alfein Bogor.
2. Untuk mengetahui derajat keparahan melasma pada pasien
melasma di Klinik The Alfein Bogor yang diukur dengan skor
MASI.

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1.5.1 Peneliti
- Dapat menambah pengalaman dan wawasan mengenai hubungan
perilaku penggunaan tabir surya dengan derajat keparahan melasma
- Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran (S.Ked)
Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.5.2 Institusi
Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan dasar
rujukan mengenai hubungan antara perilaku penggunaan tabir surya
dengan derajat keparahan melasma
5

1.5.3 Masyarakat
Dapat menambah pengetahuan mengenai pentingnya menggunakan
tabir surya sebagai upaya pencegahan timbulnya kelainan kulit salah
satunya melasma akibat sinar UV sehingga diharapkan masyakat
menjadi lebih sadar dan berkeinginan untuk merawat kesehatan kulit
yaitu dengan pemakaian tabir surya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Melasma

2.1.1 Definisi Melasma


Istilah chloasma dan 'mask of pregnancy' identik dengan melasma.
Kata melasma berasal dari bahasa Yunani "melas" yang berarti hitam.
Melasma merupakan kelainan pigmen pada kulit berupa hipermelanosis
yang didapat dan bersifat kronik, dengan ciri khas lesi berupa makula
bilateral berwarna cokelat muda sampai cokelat tua tidak merata, berbentuk
tidak teratur, dan tepi irregular. Lesi tersebut biasanya mengenai area yang
sering terpajan sinar ultra violet dengan tempat predileksi pada pipi, dahi,
daerah atas bibir, hidung dan dagu. Karena area predileksi pada wajah
tersebut yang menjadi pertimbangan kosmetika sehingga berdampak pada
psikologis bagi pasien. 5,9,12

2.1.2 Epidemiologi Melasma


Menurut survei pada tahun 2006 yang dilakukan oleh Brazilian
Society of Dermatology (BSD) terhadap 57.343 diagnosis, melasma
merupakan salah satu kelompok penyakit terbesar ketiga dalam praktik
dermatologis. Dari studi kasus di Nepal pada tahun 2008 dengan 546 pasien
dermatologis, dilaporkan bahwa melasma sebagai diagnosis paling sering
keempat dan kelainan pigmen pertama yang paling sering dilaporkan. Selain
itu, sebanyak 1076 pasien dermatologi mengalami perubahan pigmen
sebagai penyakit kulit (dermatosis) tersering keempat. Hal ini dilaporkan
dari studi retrospektif yang dilakukan di Arab Saudi.13
Hasil data kunjungan pasien pada tahun 2011 di Poliklinik Kosmetik
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dilaporkan bahwa persentase kelainan

6
7

hiperpigmentasi sebesar 33,6% dari total 4.559 kunjungan, dengan


distribusi tertinggi yaitu pasien melasma sebanyak 53,45%. 14
Berdasarkan data penelitian, melasma paling banyak terjadi pada
wanita yaitu sebesar 97,5% dan pada fototipe kulit Fitzpatrick IV sebesar
39,7%. Dalam studi berbasis populasi di Brazil pada tahun 2013 dengan
melibatkan 515 karyawan dewasa, melasma teridentifikasi pada 34% wanita
dan 6% pria.13
Dari studi kasus yang dilakukan di RS perawatan tersier di Nepal,
dengan jumlah sampel 138 pasien sebanyak 81,9% didominasi oleh
perempuan (113 orang). Hal itu lebih sering terjadi pada perempuan dengan
usia subur. Namun, onset juga dapat terjadi setelah menopause dan biasanya
lebih sering dengan tipe melasma ekstra-wajah. Usia onset antara 30-55
tahun dan pada pria hanya terjadi pada 10% kasus. Melasma juga lebih
sering pada orang-orang yang tinggal di daerah tropis seperti Asia atau
Hispanik, dimana terdapat paparan radiasi ultraviolet yang lebih besar.
12,13,15

Salah satu faktor pemicu yang paling sering menyebabkan melasma


adalah paparan sinar matahari yang intens sebesar 83,3%. Selain itu,
terdapat faktor pemicu lain seperti stres (34,8%), kehamilan (30,4%), pil
kontrasepsi (5,8%) dan penggunaan steroid tanpa resep (4,3%).14 Dari data
penelitian di India dilaporkan bahwa usia rata-rata dan durasi penyakit
antara laki-laki (33,5 dan 3,5 tahun) dan perempuan (31,5 dan 3,1 tahun)
hampir sama. 16
Faktor risiko utama bagi laki-laki yang diduga mempengaruhi
adalah paparan sinar matahari sebesar 48,8% dan riwayat keluarga sebesar
39,0%. Untuk perempuan, faktor risiko yang berperan dikaitkan dengan
kehamilan (45,3%), paparan sinar matahari (23,9%) dan penggunaan
kontrasepsi oral kombinasi (19,4%).15,16. Paparan sinar matahari dan
pekerjaan diluar ruangan menjadi dua faktor risiko utama yang ditemukan
pada pria India dan Latin.17
8

2.1.3 Klasifikasi Melasma


Melasma digolongkan berdasarkan beberapa kategori yang dapat
ditinjau mulai dari gambaran klinis, pemeriksaan histopatologik, maupun
dengan pemeriksaan sinar Wood. Klasifikasi ini memiliki makna yang
berarti untuk pemilihan terapi yang tepat dan menentukan diagnosis
pasien.9,18

Berdasarkan gambaran klinis, terdapat tiga pola yaitu :


1. Bentuk sentro-fasial, meliputi daerah dahi, hidung, pipi, bagian medial,
bawah hidung, dan dagu. Pola ini merupakan yang paling umum sekitar
63%.
2. Bentuk malar, meliputi area hidung dan pipi bagian lateral (21%).
3. Bentuk mandibular, meliputi daerah mandibula (16%).

Berdasarkan lokasi melanin dengan pemeriksaan sinar Wood,


terbagi menjadi :
1. Tipe epidermal
Berupa pigmen kecoklatan dengan lesi yang berbatas tegas. Lesi tampak
lebih jelas dengan sinar Wood dibandingkan sinar biasa dengan
gambaran adanya aksentuasi warna seperti cahaya yang diserap oleh
kelebihan melanin di basal atau regio suprabasal.

Gambar 2.1. Melasma tipe epidermal


(Sumber : Tamler C, et al. 2009)
9

2. Tipe dermal
Berupa lesi pigmen coklat keabuan dengan batas tidak tegas.
Dibandingkan dengan sinar biasa, pada sinar Wood tidak ditemukan
adanya warna kontras sehingga aksentuasi tidak terlihat.

Gambar 2.2. Melasma tipe dermal


(Sumber : Tamler C, et al. 2009)

3. Tipe campuran
Terjadi deposit melanin di lapisan epidermis dan dermis. Terlihat
adanya peningkatan pewarnaan di lokasi tertentu sehingga tampak
beberapa lokasi lebih jelas dan tidak jelas.

Gambar 2.3. Melasma tipe campuran


(Sumber : Tamler C, et al. 2009)

4. Tipe indeterminate
Tipe ini sering ditemukan pada individu dengan kulit gelap. Biasa
disebut juga sebagai tipe sukar dinilai. Hal ini dikarenakan pada
pemeriksaan sinar wood, lesi menjadi tidak jelas akibat warna kulit yang
gelap sedangkan dengan sinar biasa dapat terlihat lebih jelas.
10

Berdasarkan letak pigmen melanin yang berlebih dengan


pemeriksaan histopatologis, melasma dikelompokkan menjadi :

1. Melasma tipe epidermal, umumnya berwama cokelat, terdapat deposit


melanin terutama pada lapisan basal dan suprabasal, kadang-kadang
meluas di seluruh lapisan stratum korneum dan stratum spinosum.
2. Melasma tipe dermal, berwama cokelat kebiruan, terdapat makrofag
bermelanin (melanofag) pada dermis terutama disekitar pembuluh darah
di dermis dengan atau tanpa infiltrat sel radang serta kelainan minimal
pada epidermis.5,9,18

2.1.4 Etiologi
Etiologi utama yang mendasari timbulnya melasma masih belum
diketahui secara pasti. Banyak faktor yang berperan dalam patogenesis
melasma. Beberapa faktor risikonya antara lain warna kulit gelap (tipe kulit
Fitzpatrick III dan IV), predisposisi genetik, pajanan sinar matahari, terapi
hormonal dan kehamilan. Selain itu, kosmetika tertentu, defisiensi nutrisi,
obat-obat yang bersifat fototoksik, fotosensitif, atau fotoalergik, maupun
obat-obatan antikonvulsan juga menjadi faktor yang memengaruhi
terjadinya melasma.5,9, 12,19

2.1.4.1 Sinar ultra violet


Pajanan sinar UV menyebabkan pembentukan singlet oxygen dan
radikal bebas yang dapat merusak lipid di membran sel dan jaringan
termasuk kulit. Radikal bebas akibat peroksidasi lipid tersebut akan
menstimulasi melanosit untuk memproduksi melanin yang berlebih
sehingga proses ini berperan terhadap kejadian melasma.12,19
Selain itu, radiasi UV juga mempengaruhi produksi melanin baik
secara langsung terhadap melanosit ataupun dengan merangsang berbagai
sitokin keratinosit, seperti interleukin-1, endotelin-1, alpha-melanocyte-
stimulating hormone (ɑ-MSH), dan adreno-corticotropic hormone
(ACTH). Sitokin-sitokin tersebut akan berikatan dengan reseptor
11

melanokortin-1 kemudian merangsang aktivitas enzim tirosinase


menyebabkan proliferasi melanosit disertai peningkatan produksi
melanin.5,12
Gugus sufhidril di epidermis merupakan penghambat enzim
tirosinase yang bekerja dengan cara mengikat ion Cu. Gugus ini dirusak
oleh spektrum sinar matahari kemudian menyebabkan enzim tirosinase
tidak lagi dihambat dan dapat bekerja maksimal sehingga memicu
terjadinya melanogenesis.9
Survey yang dilakukan oleh Guinot dkk pada tahun 2010 di Tunisia
melaporkan bahwa pajanan sinar UV sebagai faktor pemicu yang
mempengaruhi timbulnya melasma pada 51% dan menjadi faktor yang
memperburuk pada 84% pasien.20

2.1.4.2 Hormon
Kadar estrogen, progesteron, dan MSH (Melanin Stimulating
Hormone) biasanya meningkat pada ibu hamil trimester tiga sehingga
kejadian melasma meluas pada usia kandungan tersebut. Selain itu, pil
kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dan progesteron juga telah
diamati dan menunjukan bahwa dalam 1 bulan sampai 2 tahun setelah
pemakaian akan tampak adanya melasma. 9,19
Penelitian yang telah dilakukan oleh Guinot dkk melaporkan bahwa
kehamilan sebagai faktor yang memberat pada 51% wanita dan
kontrasepsi oral sebagai faktor pemicu pada 26% pasien dan faktor yang
memperburuk pada 38% pasien. Risiko 8 kali lebih tinggi terjadi melasma
yang lebih parah pada wanita dengan kontrasepsi oral. Didapatkan
hubungan bermakna antara derajat keparahan melasma dan penggunaan
kontrasepsi oral. Efek tersebut diduga akibat estrogen dan progesterone
yang stimulasi melanogenesis.20

2.1.4.3 Obat
Beberapa contoh obat yang dapat menyebabkan timbulnya melasma
antara lain difenil hidantoin, mesantoin, klorpromasin, sitostatik, dan
12

minosiklin. Obat tersebut ditimbun di lapisan dermis bagian atas dan


secara kumulatif dapat merangsang melanogenesis.9

2.1.4.4 Genetik
Predisposisi genetik diduga merupakan faktor utama dalam
etiopatogenesis melasma. Dilaporkan adanya kasus keluarga sekitar 20-
70%.9 Hasil laporan menunjukan sekitar 50% kasus dengan riwayat
keluarga yang positif melasma. Kembar identik telah dilaporkan
mengembangkan kejadian tersebut.19 Terdapat 48% dari 324 wanita yang
memiliki riwayat keluarga dengan melasma, hal ini didapat dari penelitian
pada 9 negara (Amerika serikat, Perancis, Jerman, Belanda, Meksiko,
Italia, Singapura, Korea Selatan, dan Hongkong).12
Penanda genetik tertentu seperti tirosinase (TYR),
microphthalmiaassociated transcription factor (MITF), silver locus protein
homolog (SILV), dan tyrosinase related protein 1 (TYRP1) yang terdapat
pada kulit pasien melasma berkaitan dengan peningkatan sintesis dan
regulasi melanin pada melanosit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kang dkk pada tahun 2011 menunjukan adanya modulasi ekspresi 279 gen
pada lesi 12 pasien melasma. Dari gen tersebut, terdapat 4 peningkatan
ekpresi utama yang terkait dengan melanogenesis, yaitu gen TYRP1, dan
3 modulator jalur Wnt (Wnt5a, SFRP2, WIF1). Jalur penghantaran Wnt
berperan pada perkembangan melanosit, sehingga modulasi pada jalur
tersebut mungkin menyebabkan kelainan hiperpigmentasi.5,12,21

2.1.4.5 Ras
Melasma dapat terjadi pada semua kelompok ras, namun lebih
sering dijumpai pada kulit gelap (tipe kulit IV-VI) dan tinggal di daerah
dengan radiasi UV tinggi, seperti Hispanik/Latin, dan Asia. Prevalensi
pada wanita Asia Tenggara mencapai 40% kasus.9,21
13

2.1.4.6 Kosmetika
Kosmetik merupakan campuran kompleks yang mengandung
parfum, pengawet, zat pewama, atau bahan-bahan tertentu lainnya. Bahan
kimia dalam kosmetik dapat menyebabkan perubahan pigmen dan
fotosensitivitas yang dapat menimbulkan hiperpigmentasi pada wajah, jika
terpajan sinar matahari. Hasil uji tempel dari bahan kimia kosmetik pada
43,2% pasien dengan melasma menunjukkan hasil yang positif, dengan
setrimida sebagai alergen yang paling sering menyumbang hasil positif
sebesar 52%. 9,22
Belum ada penelitian yang dapat menemukan hubungan antara
melasma dengan penggunaan bahan kimia apa pun. Dalam studi yang
dilakukan oleh Vazquez dkk, 16 penggunaan kosmetik seperti sabun, krim
cukur, aftershave, dan parfum didokumentasikan pada 25 (92,6%) pria
dengan melasma..23

2.1.4.7 Idiopatik.9
Idiopatik juga menjadi salah satu faktor timbulnya melasma karena
tidak diketahui secara jelas penyebabnya. Dilaporkan terdapat 1,6% kasus
melasma akibat faktor tersebut.

2.1.5 Patogenesis
Pada area yang terlibat melasma, terjadi peningkatan jumlah dan
aktivitas melanosit sehingga menghasilkan melanosom lebih banyak.
Faktor-faktor yang memperburuk seperti paparan sinar matahari dan
hormon akan merangsang hiperfungsional melanosit yang dianggap sebagai
patogenesisnya. Terdapat hubungan terhadap kehamilan dan pil kontrasepsi
sebagai faktor hormonal yang ikut berperan dalam terjadinya melasma,
namun pada wanita menopause yang menerima pengganti estrogen jarang
ditemukan. Hasil pengukuran β-MSH dari plasma adalah normal.24,25
Banyak laporan menunjukan bahwa penyebab melasma tersering
dipicu oleh faktor paparan sinar matahari. Musim panas menjadi salah satu
14

hal yang memperburuk melasma. Lesi melasma biasanya terdistribusi pada


area wajah yang sering terpajan sinar matahari dan lesi mulai memudar pada
musim dingin. Hal tersebut mendukung bahwa sinar matahari memiliki
peran dalam pathogenesis melasma. Sinar matahari menyebabkan
peningkatan pigmentasi dan bentukan photodamaged yang disebut solar
elastosis. Pada area kulit wajah yang terkena melasma, solar elastosis lebih
terlihat. Selain itu, terjadi penurunan ekspresi WIF-1 sebagai antagonis Wnt
pada area kulit melasma yang mengakibatkan peningkatan ekspresi Wnt
sehingga akan merangsang melanogenesis.12, 26, 27
Hormonal juga menjadi salah satu faktor pemicu yang berkaitan
dengan etiopatogenesis melasma. Prevalensi melasma lebih sering terjadi
dan parah pada wanita terutama saat hamil, dengan penggunaan kontrasepsi
oral, atau dengan terapi penggantian hormon (HRT) saat menopause.
Hiperpigmentasi biasanya akan hilang dalam hitungan bulan setelah
melahirkan pada kasus melasma dengan kehamilan. Namun, melasma pada
penggunaan kontrasepsi oral atau HRT sulit dihilangkan walaupun terapi
tersebut dihentikan, pigmentasi masih bertahan selama bertahun-tahun.26
Dibandingkan dengan kulit normal, pada lesi melasma terdapat
peningkatan ekspresi reseptor estrogen. Ekspresi reseptor melanocortin-1
(MCR1) pada melanosit ikut meningkat akibat adanya ikatan estradiol
dengan reseptor estrogen sehingga terjadi proses melanogenesis dan
peningkatan produksi melanin. Saat kondisi hamil atau penggunaan
kontrasepsi oral, kadar estrogen meningkat, hal ini mungkin akan
meningkatkan efek downregulation H19. Downregulation dari gen H19
(yang mengkode 2,3-kb noncoding mRNA) akan menstimulasi
hiperpigmentasi yang menyebabkan terjadinya melasma. Selain itu, hormon
estrogen akan meningkatkan regulasi PDZK1 (faktor promotor insulin 1)
pada melasma yang dianggap sebagai faktor penting. 5,26,28
15

2.1.6 Manifestasi Klinis


Gambaran lesi pada melasma berupa makula hiperpigmentasi
dengan warna coklat muda hingga cokelat tua kadang disertai eritema
ringan. Namun, dapat juga berwarna kebiruan atau keabu-abuan pada pasien
melasma tipe dermal. Area distribusinya terbagi menjadi tiga pola sesuai
dengan klasifikasi berdasarkan gambaran klinisnya, yaitu sentrofasial,
malar, dan mandibula. Pola lengan bawah dan tungkai atas juga dapat
dijumpai namun pola tersebut langka, biasanya pada wanita pasca
menopause dengan terapi pengganti estrogen dan pada penduduk asli
Amerika.9,28

Gambar 2.4. Pigmentasi Melasma


(Sumber : Calonje E, et al. 2020)

Lokasi hipermelanosis dapat dilihat dengan menggunakan lampu


wood (λ = 340-400 nm). Pigmen pada epidermis tampak lesi berbatas tegas
dengan gambaran batas aksentuasi yang jelas. Sedangkan pada dermal,
tampak pigmen berwarna hitam kebiruan dan cenderung tidak terdefinisi
dengan baik. Lokalisasi pigmen tidak terdeteksi pada individu dengan kulit
coklat tua sehingga disebut dengan tipe intermediate (tidak pasti). 29
Dermoskopi juga berperan dalam membantu mendiagnosis
melasma, menilai tingkat keparahan melasma, dan mengidentifikasi tingkat
deposisi pigmen. Gambaran yang dapat ditemukan dalam dermoskopi yaitu
vaskularisasi dan telangiektasis yang menonjol, aksentuasi jaringan pigmen
pseudoretikular, dan struktur pigmen termasuk struktur mata burung
hantu.29
16

2.1.7 Tatalaksana
Melasma merupakan kelainan kulit yang bersifat kronis residif
sehingga perlu perawatan yang teratur. Pengobatan ini memerlukan durasi
waktu yang cukup panjang, kontrol yang teratur serta kerja sama yang baik
antara penderita dan dokter yang menanganinya. Karena itu, efektifitas dan
efek samping obat harus menjadi pertimbangan setiap pemberian obat.
Selain itu etiopatogenesis melasma juga bersifat multifaktorial, maka
etiologinya penting untuk diketahui sebagai pengobatan kausatif.
Pengobatan dilakukan secara kombinasi dan simultan. 9,30

2.1.7.1 Non medikamentosa


Penggunaan tabir surya dengan minimal SPF 30. Tabir surya
spektrum luas digunakan untuk memperbaiki melasma, meningkatkan
efektifitas krim pemutih, dan membantu mencegah lesi baru. Tindakan
fotoprotektif yang cermat sebagai upaya pencegahan terhadap paparan
sinar UV telah terbukti efektif. Hal tersebut dapat menurunkan kejadian
melasma dan mengobati melasma pada ibu hamil. 26,30,31

2.1.7.2 Medikamentosa
1. Pengobatan topikal :
a. Hidroquinon 2-5% (krim, gel, losio)
Hidroquinon merupakan agen depigmentasi yang bekerja dengan
cara memblokir enzim tirosinase sehingga tidak terjadi
melanogenesis. Efek samping pada obat ini dapat menyebabkan
iritasi kulit (dermatitis iritan). Dapat berpotensi menimbulkan
ochronosis eksogen pada penggunaan jangka panjang, terutama
dengan konsentrasi tinggi. 30,31,32
b. Asam retinoat 0,05%-0,1% (krim dan gel)
Asam retinoat digunakan sebagai monoterapi pada pengobatan
hiperpigmentasi melasma dengan cara meningkatkan pergantian
keratinosit, menurunkan transfer melanosom, menganggu sintesis
melanin, dan menghambat transkripsi tirosinase. Efek sampingnya
17

dapat menimbulkan iritasi, eritema, deskuamasi, dan


fotosensitasi.9,30,31
c. Asam azelaik 20% (krim)
Asam azelaik bekerja sebagai inhibitor enzim tirosinase kompetitif
reversible lemah sehingga menjadi pilihan alternatif dari
hidroquinon karena cara kerjanya yang sama. Namun, obat ini aman
diindikasikan selama kehamilan. Efek samping yang ditimbulkan
dari obat ini adalah rasa gatal dan panas. 9,30,31
d. Asam glikolat 8-15% (krim, gel, losio)
Asam glikolat merupakan salah satu obat golongan alpha-hydroxy
acids (AHA). Mekanisme kerja obat ini dengan cara menghambat
enzim tirosinase serta meningkatkan pergantian dan merangsang
pembentukan kembali sel epidermis.32
e. Asam kojik 4%
Asam kojik merupakan derivat dari Aspergillus oryzae yang bekerja
sebagai inhibitor tirosinase melalui pelepasan ion tembaga sehingga
terjadi blokade aktivasi UV dan menghambat produksi melanin.
Iritasi dapat timbul saat pemberian obat ini.32
f. Triple combination creams (TCC)
Standar emas pada TCC menggunakan rumus Kligman yang terdiri
dari kombinasi retinoid, hidrokuinon, dan kortikosteroid. Dalam
sebuah penelitian pada 120 pasien melasma dilaporkan bahwa
pemberian krim TCC sekali sehari lebih efektif karena terjadi
peningkatan lebih dari 75% pada 73% pasien dibandingkan dengan
pemberian krim hydroquinone 4% dua kali sehari selama 8 minggu.
Namun, penggunaan berlebihan dapat menyebabkan eritema dan
telangiektasis tetap, erupsi akneiformis, dan hipertrikosis.26,32

2. Pengobatan oral :
Diindikasikan apabila lesi mencapai dermis dengan pigmentasi
meliputi daerah yang lebih luas.
18

a. Asam askorbat/ vitamin C


Kerja vitamin C yaitu mengubah DOPA kinon menjadi DOPA
sehingga mencegah pembentukan melanin. Selain itu, vitamin C
juga merubah melanin dari bentuk oksidasi menjadi bentuk reduksi
yang berwama lebih cerah.9
b. Glutation
Senyawa sulfhidril (SH) merupakan glutation dalam bentuk reduksi
yang berpotensi menghambat pembentukan melanin melalui
penggabungan dengan tirosinase.9
c. Pycnogenol
d. Proanthocyanidin-rich.30

2.1.8 Pencegahan
1. Melakukan perlindungan terhadap sinar matahari dengan menggunakan
topi, payung, dan tabir surya. Hal ini sebagai upaya pencegahan
terhadap timbulnya atau bertambah berat serta kambuhnya melasma.
Pemakaian tabir surya harus tepat, baik mengenai bahan maupun cara
pakai untuk keberhasilan terapi.9
2. Menghilangkan faktor yang menjadi penyebab timbulnya melasma,
seperti menghentikan pemakaian pil kontrasepsi atau terapi pengganti
hormon, menghentikan pemakaian kosmetika yang mengandung
parfum atau pewarna, dan mencegah penggunaan obat-obat tertentu
(hidantoin, sitostatika, obat antimalaria, dan minosiklin). 9
19

Algoritma Pengobatan Melasma

Edukasi Pasien
menetapkan ekspektasi yang realistis tentang sifat kronis penyakit

Modifikasi faktor risiko dan prilaku


• Tabir surya zinc oxide dan/atau titanium oxide
• pakaian UPF, topi, mengindari sinar matahari
• tabir surya berwarna iron oxide dan riasan kamuflase
• filter cahaya biru untuk perangkat elektronik
• hentikan kontrasepsi yang mengandung estrogen, hindari terapi
hormonal
• hindari pemicu lain seperti panas
• supplement polypodium leucotomos
• Fotografi serial untuk pemantauan

Pengobatan topikal

• Bahan pencerah
• Hidrokuinon
• TCC
• Retinoids
• Asam azelaik
• TXA topikal
• Adjuvan pencerah, antioksidan, dan kosmetik

Optimalkan regimen topikal x 4-8 minggu


Semua musim Musim gugur dan musim dingin
Skrining kemungkinan hiperkoagulabilitas

Pengobatan sistemik Chemical peels Laser dan devices


• Asam traneksamat oral Superfisial peels : • Microneedling dengan enhanced
• AHAs (asam glikolat, asam drug delivery
laktat, asam sitrat, asam malat, • IPL
asam mandelat, asam tartarat) • QS 1064-nm Nd : YAG
• BHA (asam salisilat) • Piscosecond lasers
• Jessner solution • 1927 nm fractional diode laser
• TCA <30% • Low energy, low density fractional
non-ablative 1550-nm erbium or
1927-nm thulium fiber laser
• 595-nm PDL if vascular
component

Rumatan
Gambar 2.5. Algoritma Tatalaksana Melasma. 32
(Sumber : Guo EL, et al. 2021)
20

2.1.9 Derajat Keparahan Melasma (skor MASI)


Secara klinis, derajat keparahan melasma dapat diukur dengan
menggunakan skor The Melasma Area and Severity Index (MASI). Skor
MASI digunakan sebagai metode standar untuk menilai perubahan pigmen
dan mengevaluasi tingkat keparahan melasma serta menilai keberhasilan
terapi dengan melakukan pemeriksaan inspeksi secara subjektif yang
meliputi 3 aspek, yaitu luas area keterlibatan(A), tingkat kegelapan/derajat
pigmentasi(D), dan homogenitas hiperpigmentasi(H). Dengan demikian,
nilai skor tersebut dapat memberikan gambaran derajat keparahan melasma
secara kuantitatif yang cukup akurat dengan validitas dan reliabilitas yang
baik.7,33
Luas area hiperpigmentasi yang terlibat pada wajah menjadi indeks
yang dinilai terlebih dahulu. Seluruh wajah dibagi menjadi 4 area dengan
persentase dahi(f) sebesar 30%, daerah malar kanan(rm) sebesar 30%,
daerah malar kiri(lm) sebesar 30%, dan dagu(c) sebesar 10% dari total
wajah. Kemudian, hasil dari persentase tersebut diinterpretasikan dengan
skala poin 1-6. Untuk poin 1 jika luas area <10%; poin 2 jika luas area 10–
29%; poin 3 jika luas area 30–49%; poin 4 jika luas area 50–69%; poin 5
jika luas area 70–89%; dan poin 6 jika luas area 90–100%.7,33
Tingkat pigmentasi ditentukan berdasarkan dua variabel, yaitu
tingkat kegelapan/derajat pigmentasi (D) dan homogenitas (H). Nilai D dan
H diukur pada setiap daerah dengan skala 0-4. Skala untuk tingkat
kegelapan diinterpretasikan dengan skala 0 = warna kulit normal/tanpa
hiperpigmentasi; 1 = hiperpigmentasi samar terlihat; 2 = hiperpigmentasi
ringan; 3 = hiperpigmentasi sedang; 4 = hiperpigmentasi berat. Sedangkan,
untuk homogenitas hiperpigmentasi diukur dengan skala 0 jika tidak ada
lesi; skala 1 jika terdapat titik-titik hiperpigmentasi (speckles); skala 2 jika
area lesi tersebar dengan diameter < 1,5 cm; skala 3 jika diameter area yang
terlibat > 2cm; dan skala 4 jika tidak ada area yang jernih dalam area yang
terlibat.
Skor MASI dihitung dengan menjumlahkan nilai keparahan dari
tingkat kegelapan (D) dan homogenitas (H) kemudian dikalikan dengan
21

nilai area keterlibatan (A). hasil skor minimum didapatkan sebesar 0 dan
skor maksimum sebesar 48. Dengan rumus sebagai berikut :

Total score MASI = 0.3A(f)[D(f)+H(f)] + 0.3A(lm)[D(lm)+H(lm)] +


0.3A(rm)[D(rm)+H(rm)] + 0.1A(c)[D(c)+H(c)]

Gambar 2.6. Perhitungan skor MASI pada Melasma.7


(Sumber :Pandya AG, et al. 2011)

Interpretasi nilai skor MASI menunjukkan derajat keparahan


melasma berdasarkan tiga kategori, yaitu derajat ringan = 0-16,9; derajat
sedang = 17-32,9; dan derajat berat = 33-48. 7

Gambar 2.7. Interpretasi Derajat Keparahan Melasma. 7


(Sumber :Pandya AG, et al. 2011)
22

2.2 Tabir Surya

2.2.1 Definisi
Tabir surya merupakan salah satu fotoproteksi untuk melindungi
kulit dan mencegah efek negatif dari pengaruh sinar UV yang dipancarkan
matahari. Radiasi UV berefek terhadap patogenesis melasma sehingga
paparan sinar matahari harus diminimalkan. Pekerjaan diluar ruangan
menjadi hambatan bagi sebagian besar individu untuk menghindari sinar
matahari, sehingga diperlukan penggunaan tabir surya sebagai upaya
preventif yang cukup baik untuk menjaga dan merawat kesehatan kulit.
Penggunaan yang teratur telah terbukti dapat mengurangi keratosis
aktinik, elastosis matahari dan risiko melanoma. Pada kasus melasma,
pemberian tabir surya telah terbukti dapat menurunkan kejadian melasma
dan mengobati melasma pada ibu hamil. Penelitian terbaru menunjukan
bahwa hiperpigmentasi dapat muncul selama 3 bulan akibat visible light
sehingga diperlukan fotoproteksi yang mencakup perlindungan terhadap
visible light seperti oksida besi pada pasien melasma. 31,34,35

2.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme kerjanya, tabir surya secara tradisional
diklasifikasikan menjadi dua :
a. Tabir surya kimiawi (chemical absorbers)
Tabir surya kimiawi adalah bahan yang menyerap ultra violet,
umumnya merupakan senyawa aromatik yang terkonjugasi dengan
gugus karbonil. Bahan kimia ini menyerap sinar UV intensitas tinggi.
Tabir surya kimiawi ada 2 jenis :
- Yang mengandung PABA (Para Amino Benzoic Acicf) atau
derivatnya, misalnya octil PABA
- Yang tidak mengandung PABA (non-PABA), misalnya bensofenon,
sinamat, salisilat, dan antranilat. 9,35
23

b. Tabir surya fisis (physical blocker).


Tabir surya fisis merupakan bahan yang dapat memantulkan/
menyebarkan radiasi ultra violet (UVR). Contoh dari tabir surya jenis
ini yaitu titanium dioksida, seng oksida, dan kaolin. Ukurannya
berbentuk mikro, disebut juga sebagai partikulat anorganik dan
sebagian berfungsi sebagai penyerapan. 9,35
Berdasarkan bagian spektrum UV yang diserap dan kombinasi
bahan dalam formulasi tertentu, tabir surya juga dapat diklasifikasikan
menjadi dua, sebagai berikut :
Tabel 2.1 Klasifikasi Tabir Surya berdasarkan Spektrum dan Bahan
Ultraviolet B blocker Ultraviolet A Blockers

- Homosalate - Oxybenzone
- Octocrylene - Meradimate (methyl
- Octinoxate (octyl anthranilate)
methoxycinnamate) - Avobenzone (Parsol 1789)
- Octisalate (octyl salicylate) - Ecamzule (Mexoryl SX)
- Ensulizole (phenylbenzimidazole
sulfonic acid)

2.2.3 Penggunaan Klinis


Food and Drug Administration (FDA) telah mengatur produk tabir
surya sebagai obat yang dijual bebas (OTC). Tabir surya tersedia dalam
bentuk topikal dengan berbagai variasi, seperti lotion, krim, gel dan terdapat
juga dalam bahan kosmetik yang mengandung SPF. Sun protection factor
(SPF) merupakan perbandingan dosis UVR yang diperlukan pada kulit yang
terlindungi dan tidak terlindungi tabir surya untuk mencapai Minimal
Erythemal Dose (MED), yaitu dosis minimal UV untuk menimbulkan
eritema pertama kali pada kulit. SPF sebagai nilai rujukan untuk mengetahui
efektifitas dari sediaan tabir surya. Nilai SPF menentukan kemampuan tabir
surya dalam menghalangi UVR menembus kulit. Produk SPF 15 mampu
mengalangi UVR sebesar 93,3% dan memungkinkan seseorang bertahan 15
24

kali lebih lama tanpa rasa terbakar. Semakin tinggi nilai SPF, maka semakin
besar perlindungan yang diberikan. 35,36
Tabir surya spektrum luas menjadi rekomendasi yang tepat untuk
digunakan karena memiliki perlindungan terhadap UVA dan UVB. Pada
kasus melasma, dianjurkan untuk menggunakan tabir surya spektrum luas
dengan SPF minimal 30 bersamaan dengan physical blocker, seperti
titanium dioksida atau seng oksida. Dosis penggunaan tabir surya ditetapkan
sebanyak 2mg/cm2 pada kulit yang terpajan menurut hasil uji dari FDA.
Pengaplikasiannya harus benar sesuai dosis yang dianjurkan dan digunakan
30 menit sebelum terkena pajanan sinar matahari, kemudian dioleskan
kembali setelah 2 jam atau setelah berenang, bermain, berolahraga atau
aktivitas lain diluar rumah. Pengaplikasian yang kurang tepat, baik dosis
maupun cara pakainya dapat menyebabkan fungsi proteksi tabir surya
menjadi tidak maksimal terhadap kulit. 9,34,35

2.2.4 Hubungan Penggunaan Tabir Surya dengan Melasma


Penyebab timbulnya melasma belum diketahui secara pasti karena
banyak faktor yang berperan dalam terjadinya melasma. Salah satu faktor
pemicu yang paling sering adalah paparan sinar matahari yang intens.
Penelitian Guinot dkk pada tahun 2010 di Tunisia melaporkan bahwa
pajanan sinar UV sebagai faktor pemicu yang mempengaruhi timbulnya
melasma pada 51% dan menjadi faktor yang memperburuk pada 84%
pasien.20 Pajanan sinar UV akan memicu peningkatan produksi melanin
yang dapat menyebabkan terjadinya melasma.
Sebuah studi yang dilakukan di Korea pada tahun 2013 menunjukan
bahwa penggunaan tabir surya spektrum luas (SPF 50+, UVA-PF 30)
dapat ditoleransi dengan baik dan terbukti efektif dalam pencegahan
melasma pada wanita hamil di Korea. Pada 220 sampel dilakukan uji klinis
selama 12 bulan, hanya 1% (3 orang) yang mengalami melasma dengan
derajat ringan.10
25

Menurut penelitian dari H. Lakhdar et al pada tahun 2007,


melaporkan bahwa pada 200 wanita hamil yang dioleskan tabir surya
dengan Sun Protection Factor (SPF) 50+ dan UVA-Protection Factor
(UVA-PF) 28, hanya 2,7% yang mengalami kasus baru melasma. Selain
itu, hasil pengamatan menunjukan bahwa pada 8 dari 12 wanita yang
menderita melasma pada awal kehamilan mengalami perbaikan klinis
dalam 6 bulan setelah pemberian tabir surya.8,11
Oleh karena itu, penggunaan tabir surya sangat dianjurkan dan
menjadi point penting untuk masyarakat sebagai upaya pencegahan dan
pengobatan melasma.8

2.3 Perilaku
Perilaku adalah respon / reaksi individu terhadap stimulus, hasil dari
berbagai macam pengalaman dan interaksi manusia dengan lingkungan yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku menurut
aspek biologis merupakan suatu kegiatan/ aktivitas makhluk hidup yang
bersangkutan mulai dari tumbuhan, hewan hingga manusia.37
Sementara, perilaku manusia pada hakikatnya didefinisikan sebagai
semua kegiatan / aktivitas yang dilakukan oleh manusia itu sendiri dan
memiliki bentangan yang sangat luas seperti berjalan, menulis, tertawa, bekerja
dan sebagainya, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak
dapat diamati oleh pihak luar.37,38
Seorang ahli psikologi merumuskan teori “S-O-R” atau “Stimulus-
Organisme-Respon”, bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus. Respon tersebut dibedakan menjadi dua kategori yaitu:

1. Respondent respons atau reflextive


Merupakan respon yang ditimbulkan terhadap rangsangan tertentu dan
biasanya respon yang dihasilkan bersifat relatif tetap. Pada kategori ini
termasuk perilaku emosional yang menetap, misalnya orang akan
tertawa apabila mendengar kabar gembira atau lucu, sedih jika
mendengar musibah.
26

2. Operanant respons atau instrumental respons


Merupakan respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh stimulus
atau rangsangan tertentu. Perangsang perilaku berfungsi untuk
memperkuat respon. Misalnya, gaji yang diterima cukup sehingga
petugas kesehatan menjalankan tugasnya dengan baik, kerjanya yang
baik menjadi stimulus untuk memperoleh promosi jabatan.36,37

Berdasarkan bentuk respons terhadap stimulus, perilaku dibedakan


menjadi dua bentuk :
1. Bentuk pasif /perilaku tertutup (covert behavior)
Merupakan perilaku yang tidak dapat diamati secara langsung dan masih
tersembunyi dalam diri, seperti pikiran, tanggapan, sikap batin, dan
pengetahuan.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons terhadap stimulus yang secara langsung dapat diobservasi
sebagai tindakan nyata dan mudah diamati atau dilihat orang lain.37,39
27

2.4 Kerangka Teori

Sinar UV Hormon Obat- Genetik RAS Kosmetik Idiopatik


obatan

kehamilan Pil
kontrasepsi

Peningkatan melanogenesis

Produksi melanin berlebih

Penggunaan Melasma
Tabir surya

Derajat keparahan melasma


(Skor MASI)

Ringan Sedang Berat


28

2.5 Kerangka Konsep

Perilaku penggunaan tabir surya


(Variable independen)

Baik Sedang Kurang

Derajat keparahan melasma


dengan skor MASI
(Variable dependen)

Ringan Sedang Berat


29

2.6 Definisi Operasional

Tabel 2.2 Definisi Operasional Variabel


Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala

Perilaku Tindakan Kuesioner Diukur - Kurang : Numerik


penggunaan yang yang dengan bila skor menjadi
tabir surya dilakukan diambil pengisian nilai kategorik
seseorang dari jurnal kuesioner berjumlah ordinal
dalam komunitas yang terdiri 0-10
melindungi farmasi dari 8 - Sedang :
kulit dari pernyataan bila skor
sinar UV nilai
berjumlah
11-21
- Baik : bila
skor nilai
berjumlah
22-32
Derajat Tingkat Observasi Diukur 1. Ringan : Numerik
keparahan keparahan klinis dengan bila skor menjadi
melasma melasma melakukan MASI 0- kategorik
yang diukur pemeriksaan 16,9 ordinal
dengan skor fisik berupa 2. Sedang :
MASI inspeksi area bila skor
berdasarkan wajah. MASI 17-
luas area, Hasilnya 32,9
tingkat dinilai 3. Berat : bila
kegelapan, berdasarkan skor MASI
dan skor MASI 33-48
homogenitas
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasi analitik dengan desain
potong lintang (cross-sectional) untuk mengetahui hubungan perilaku
penggunaan tabir surya (sebagai variabel bebas/independen) dengan derajat
keparahan melasma (sebagai variable terikat/dependen). Hasil didapatkan
melalui pemeriksaan fisik pada wajah untuk menentukan derajat keparahan
melasma dan pengisian kuesioner yang diambil dari jurnal penelitian
komunitas farmasi untuk mengetahui perilaku penggunaan tabir surya.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan pada Agustus – November 2021 di
klinik The Alfein Bogor.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien melasma yang datang ke
klinik The Alfein Bogor.

3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah pasien melasma yang datang ke
klinik The Alfein Bogor yang telah memenuhi kriteria inklusi dengan
metode pengambilan consecutive sampling yaitu sampel terpilih
berdasarkan kriteria yang sesuai hingga batas yang ditentukan.
Penentuan besar sampel berdasarkan jenis pertanyaan penelitian
yaitu analitik korelatif dengan hipotesis satu arah menggunakan rumus
berikut :

30
31

2
𝑍𝛼 + 𝑍𝛽
𝑛= { } +3
0,5 ln[( 1 + 𝑟)/(1 − 𝑟)]
Keterangan :
n = besar sampel
Zα = deviat baku alfa = 1,645 ( taraf signifikansi = 5% )
Zβ = deviat baku beta = 1,645 ( kekuatan uji ( 1-𝛽 ) = 95 % )
r = korelasi minimal yang dianggap bermakna ( 0,5 )
2
𝑍𝛼 + 𝑍𝛽
𝑛= { } +3
1+𝑟
0,5 ln [1 − 𝑟]
2

1,645 + 1,645
𝑛= { } +3
1 + 0,5
0,5 ln [ ]
1 − 0,5
3,29 2
𝑛= { } +3
0,5 ln 3
3,29 2
𝑛= { } +3
0,55
𝑛 = 38,78
𝑛 = 39 ( dibulatkan )

Dari perhitungan diatas, didapatkan minimal sampel yang


dibutuhkan sebanyak 39 responden. Jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 50 responden

i. Kriteria Inklusi :
1. Pasien baru dan lama melasma di klinik The Alfein Bogor.
2. Pasien yang menggunakan tabir surya.
3. Bersedia menjadi responden.
ii. Kriteria Eksklusi :
1. Pasien yang tidak mengisi data lengkap.
2. Pasien yang sedang hamil.
3. Pasien yang sedang/pernah memakai kontrasepsi hormonal lebih
dari 6 bulan.
32

3.4 Variabel penelitian


3.4.1 Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah perilaku penggunaan tabir
surya pada pasien melasma yang datang ke Klinik The Alfein Bogor.

3.4.2 Variabel terikat


Variabel terikat pada penelitian ini adalah derajat keparahan
melasma yang dialami oleh pasien melasma yang datang ke Klinik The
Alfein Bogor.

3.5 Cara Kerja Penelitian


3.5.1 Pengisian kuesiner
Sebelum pengisian kuesioner, responden diberikan informed
consent terlebih dahulu untuk menjelaskan tujuan dan prosedur yang
akan dilakukan serta meminta izin. Selanjutnya, kuesioner akan diisi
langsung oleh responden sebagai data primer.

3.5.2 Pemeriksaan Fisik di Wajah


Pasien yang memenuhi kriteria inklusi akan terpilih sebagai sampel,
kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dengan inspeksi pada wajah
untuk menilai derajat keparahan melasma yang dialami menggunakan
skor MASI ( Melasma Area Severity Indeks ).

3.6 Analisis Data


Data yang yang telah diisi dan dikumpulkan oleh responden akan
diperiksa kelengkapannya terlebih dahulu. Kemudian, data tersebut akan
diinput dan dianalisis melalui program SPSS (Statistical Package for the
Social Sciens) dengan analisis univariat untuk mengetahui gambaran
karakteristik pada subjek serta analisis bivariat menggunakan uji
33

kormogorov-smirnov untuk mengetahui normalitas data dan uji pearson


untuk mengetahui hubungan kedua variabel yang diteliti.

3.7 Alur Kerja Penelitian

Mencari sumber yang berkaitan dengan penelitian

Penelitian telah mendapat izin dan sudah disetujui

Persiapan alat dan kuesioner yang diperlukan

Pengambilan sampel yang memenuhi kriteria

Melakukan informed consent kepada responden

Pengisian kuesioner perilaku penggunaan tabir surya


dengan lengkap

Melakukan pemeriksaan fisik dengan


inspeksi bagian wajah dan dokumentasi

Interpretasi hasil PF berdasarkan skor MASI


untuk menilai derajat keparahan melasma

Pengumpulan dan pemeriksaan kelengkapan data


kuesioner dan PF

Analisis data
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Penelitian ini telah dilakukan di klinik kecantikan The Alfein Bogor
dengan data primer berupa pengisian kuesioner dan pengambilan foto secara
langsung pada 50 total sampel pasien melasma yang memenuhi kriteria
inklusi sejak 15 Agustus hingga 31 November 2021. Kuesioner dibagikan
dan diisi sebanyak satu kali pada pasien melasma yang datang ke klinik yang
telah memenuhi kriteria subjek penelitian. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan fisik oleh dokter klinik untuk menentukan diagnosis dan
derajat keparahan melasma berdasarkan skor MASI serta dilakukan
pengambilan foto sebagai dokumentasi. Data yang telah diambil, diinput
dan dianalisis menggunakaan SPSS.

4.1.1 Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner


Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 30 responden yang
diambil diluar dari sampel penelitian dengan menggunakan analisis pearson.
Nilai rujukan r tabel untuk 30 sampel yaitu 0.361.
Nilai r hitung yang diperoleh pada tiap pertanyaan berturut-turut
0.893, 0.437, 0.700, 0.675, 0.911, 0.916, 0.916, dan 0.824. Hasil tersebut
menunjukkan item 1-8 memiliki R hitung > R tabel, sehingga seluruh item
pertanyaan dinyatakan valid.
Nilai cronbach's alpha didapatkan sebesar 0.916. Hal tersebut
menunjukan nilai cronbach's alpha >0.6, sehingga seluruh pertanyaan
kuesioner dinyatakan reliabel.
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas yang telah dilakukan,
maka dapat disimpulkan bahwa kuesioner perilaku penggunaan tabir surya
dinyatakan valid dan reliabel.

34
35

4.1.2 Analisis Univariat

4.1.2.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan


karakteristik demografik pasien melasma meliputi umur, jenis kelamin, dan
pekerjaan, yang disajikan sebagai berikut :

Tabel 4.1. Distribusi subjek berdasarkan umur


Kelompok umur (tahun) Frekuensi (n) Persentase (%)
26-35 3 6%
36-45 27 54%
46-55 15 30%
56-65 4 8%
>65 1 2%
Total 50 100%

Pada tabel 4.1. ditemukan distribusi kejadian melasma paling


banyak terjadi pada umur 36-45 tahun yaitu 27 pasien (54%) diikuti oleh
kelompok umur 46-55 tahun sebanyak 15 pasien (30%) dan paling sedikit
pada kelompok umur>65 tahun hanya 1 pasien (2%).

Tabel 4.2. Rerata umur subjek Melasma


Umur (tahun)
N Mean ± SD
Minimum Maksimum
50 27 68 45,48 ± 7,380

Berdasarkan hasil data pada tabel 4.2. didapatkan bahwa rerata umur
pasien melasma pada penelitian ini adalah 45,48 ± 7,380 tahun dengan umur
termuda adalah 27 tahun dan tertua adalah 68 tahun.
36

Tabel 4.3. Distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-laki 2 4%
Perempuan 48 96%
Total 50 100%

Berdasarkan hasil data pada tabel 4.3. didapatkan bahwa kejadian


melasma pada penelitian ini paling banyak diderita oleh pasien perempuan
yaitu sebesar 96% (48 responden) dibandingkan dengan laki-laki hanya 4%
(2 responden) dengan perbandingan yang diperoleh 24:1.

Tabel 4.4. Distribusi subjek berdasarkan pekerjaan


Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)
Ibu Rumah Tangga 34 68%
Wiraswasta 6 12%
Karyawan 6 12%
Guru 2 4%
Perawat 2 4%
Total 50 100%

Hasil analisis pada tabel 4.4. menunjukan pekerjaan terbanyak dari


subjek adalah ibu rumah tangga berjumlah 34 orang (68%) dan distribusi
pekerjaan paling sedikit ditemukan pada profesi guru dan perawat masing-
masing sebanyak 2 orang (4%).

4.1.2.2 Frekuensi Tingkat Perilaku Penggunaan Tabir Surya


Distribusi frekuensi tingkat perilaku penggunaan tabir surya pada
subjek penelitian disajikan sebagai berikut:
37

Tabel 4.5. Distribusi frekuensi tingkat perilaku penggunaan tabir surya


Skor perilaku penggunaan
Frekuensi (n) Persentase (%)
tabir surya
0-10 8 16%
11-21 19 38%
22-32 23 46%
Total 50 100%
Keterangan :
0-10 (kurang)
11-21 (sedang)
22-32 (baik)

Berdasarkan tabel 4.5. subjek penelitian yang memiliki tingkat


perilaku penggunaan tabir surya terbanyak yaitu kategori baik sebanyak 23
orang dengan persentase 46% dari total 50 responden diikuti tingkat
perilaku kategori sedang sebanyak 19 orang (38%).

Tabel 4.6. Rerata perilaku penggunaan tabir surya pada subjek


Perilaku (skor)
N Mean ± SD
Minimum Maksimum
50 0 30 18,44 ± 7,576

Berdasarkan tabel 4.6. didapatkan rerata perilaku penggunaan tabir


surya pada subjek penelitian ini yaitu 18,44 ± 7,576 dengan skor minimum
0 (nol) dan maksimum 30.

4.1.2.3 Frekuensi Tingkat Derajat Keparahan Melasma


Distribusi frekuensi derajat keparahan melasma subjek penelitian
yang diperoleh disajikan pada tabel, sebagai berikut :
38

Tabel 4.7. Distribusi tingkat derajat keparahan melasma


Skor MASI Frekuensi (n) Persentase (%)
0 - 16,9 38 76%
17 - 32,9 7 14%
33 - 48 5 10%
Total 50 100%
Keterangan :
0-16,9 = Ringan
17-32,9 = Sedang
33-48 = Berat

Hasil analisis tabel 4.7., menunjukan distribusi frekuensi derajat


keparahan melasma kategori ringan paling banyak ditemukan pada subjek
yaitu 38 pasien dari 50 responden (76%) dengan nilai skor MASI 0-16.9
berdasarkan diagnosis dari dokter klinik. Melasma dengan derajat sedang
diperoleh sebanyak 7 orang (14%) dan derajat berat sebanyak 5 orang
(10%).

Tabel 4.8. Rerata nilai skor MASI pada subjek


Skor MASI
N Mean ± SD
Minimum Maksimum
50 0,6 45,6 12,624 ± 12,029

Pada tabel 4.8. didapatkan rerata nilai skor MASI subjek penelitian
ini yaitu 12,624 ± 12,029 dengan skor minimum 0,6 dan maksimum 45,6.
39

4.1.2.4 Gambaran Perilaku Penggunaan Tabir Surya dengan Derajat Melasma


Tabel 4.9. Gambaran perilaku penggunaan tabir surya dengan derajat
melasma
Perilaku Derajat Keparahan Melasma
Penggunaan (Skor MASI) Total
Tabir Surya 0-16,9 17-32,9 33-48
Kurang 5 (62,50%) 1 (12,50%) 2 (25%) 8 (100%)
Sedang 12 (63,16%) 4 (21,05%) 3 (15,79%) 19 (100%)
Berat 21 (91,30%) 2 (8,70%) 0 (0%) 23 (100%)
Total 38 (76%) 7 (14%) 5 (10%) 50 (100%)

Berdasarkan hasil tabel 4.9. pasien dengan perilaku penggunaan


tabir surya yang kurang didapatkan sebanyak 25% menderita melasma
derajat berat, 12,50% derajat sedang dan 62,50% derajat ringan. Sedangkan
pada perilaku penggunaan tabir surya yang sudah baik, diperoleh 91,30%
pasien mengalami melasma derajat ringan, 8,70% derajat sedang dan tidak
didapatkan pasien yang mengalami melasma derajat berat (0%).

4.1.3 Analisis Bivariat

4.1.3.1 Uji Normalitas


Hasil uji normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-smirnov,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.163. Hasil tersebut menunjukan nilai
signifikansi >0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data pada variabel
penelitian berdistribusi normal.

4.1.3.2 Uji Pearson


Karena analisis data penelitian menunjukan variabel berdistribusi
normal, maka uji korelasi yang digunakan adalah uji pearson untuk
mengetahui adanya hubungan antara perilaku penggunaan tabir surya
dengan keparahan melasma, disajikan pada tabel sebagai berikut :
40

Tabel 4.10. Hubungan perilaku penggunaan tabir surya dengan keparahan


melasma
Variabel p-value Koefisien korelasi
Perilaku 0.014 -0.346
Skor MASI 0.014 -0.346

Pada tabel 4.10. didapatkan nilai signifikansi sebesar 0.014 (<0.05)


yang menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara perilaku
penggunaan tabir surya dengan skor MASI. Koefisien korelasi yang
bertanda negatif menunjukan bahwa hubungan yang terjadi tidak searah,
artinya semakin baik/tinggi perilaku penggunaan tabir surya maka semakin
ringan keparahan melasmanya, begitupun sebaliknya. Nilai koefisien
korelasi didapatkan sebesar 0.346 yang berarti kekuatan korelasi termasuk
kategori lemah.

4.2 Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada 50 subjek pasien melasma yang dipilih
melalui metode pengambilan consecutive sampling yaitu sampel terpilih
berdasarkan kriteria yang sesuai hingga batas yang ditentukan. Pengambilan
data berlangsung selama ± 3 bulan di klinik kecantikan The Alfein Bogor.
Dalam penelitian ini, subjek paling banyak di temukan pada
kelompok umur 36-45 tahun yang termasuk dalam kategori usia dewasa
akhir dengan rerata umur 45,48 ± 7,380 tahun. Pada usia manula (>65 tahun)
hanya ditemukan 1 orang. Berdasarkan teori dan data epidemiologi, insiden
melasma lebih sering dijumpai pada perempuan, khususnya usia
produktif/subur.9 Usia produktif di Indonesia berkisar antara 15-55 tahun.41
Manusia dengan usia produktif memiliki kegiatan di luar rumah yang cukup
sering sehingga risiko terpajan sinar UV menjadi lebih tinggi. Selain itu,
hormon estrogen dan progesteron seringkali meningkat pada wanita usia
subur. Hal tersebut berkaitan dengan etiopatogenesis timbulnya
melasma.8,9,12,19
41

Terdapat teori yang menyebutkan bahwa insiden penderita melasma


terbanyak di Indonesia pada kelompok wanita usia subur yaitu 30-44 tahun
dengan riwayat pajanan sinar matahari.9 Hal ini juga didukung oleh
penelitian Waskita, dilaporkan bahwa distribusi terbanyak pasien melasma
pada umur 40-50 tahun.8 Data epidemiologi di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya tahun 2009-2011 juga menunjukan hasil yang sama, dilaporkan
pasien baru melasma terbanyak adalah perempuan dengan kelompok umur
36-45 tahun (43%).21 Di Tunisia, 87% perempuan menderita melasma pada
kisaran umur antara 20-40 tahun.13
Berdasarkan pengelompokkan jenis kelamin, diperoleh distribusi
melasma paling banyak ditemukan pada subjek perempuan yaitu 48 pasien
(96%) dibandingkan dengan laki-laki hanya 2 orang (4%). Hal ini sesuai
dengan data epidemiologi sebelumnya, melasma paling sering dijumpai
pada perempuan meskipun dapat pula terjadi pada laki-laki, diperkirakan
sebesar 10% dari total kasus. Perbandingan kasus melasma perempuan dan
laki-laki adalah 24:1.9 Dalam sebuah studi berbasis populasi di Brazil tahun
2013 yang melibatkan 515 karyawan dewasa, kejadian melasma
diidentifikasi pada 34% perempuan dan 6% laki-laki.13 Pada 60 responden
yang diteliti oleh Waskita, tidak ditemukan adanya pasien laki-laki.8 Hal ini
menunjukkan bahwa jenis kelamin berpengaruh pada kejadian melasma.
Pengelompokkan subjek berdasarkan pekerjaan menunjukan ibu
rumah tangga merupakan pekerjaan terbanyak dari subjek berjumlah 34
orang (68%). Distribusi kejadian melasma paling sedikit ditemukan pada
profesi guru dan perawat, masing-masing hanya sebesar 4%. Aktivitas guru
dan perawat sebagian besar berada di dalam ruangan sehingga risiko terkena
pajanan matahari lebih minimal. Hal ini sesuai dengan salah satu faktor
risiko utama melasma yaitu paparan sinar UV.9,14 Dilaporkan dari hasil
survey di Tunisia bahwa faktor predisposisi utama pasien melasma
berhubungan dengan radiasi sinar UV sebanyak 51%. Radiasi UV akan
menstimulasi melanosit sehingga terjadi peningkatam produksi melanin
yang dapat menyebabkan terjadinya hiperpigmentasi.12,19,20
42

Salah satu upaya perlindungan terhadap sinar matahari adalah


menggunakan tabir surya. Tabir surya spektrum luas digunakan untuk
mencegah dan mengobati melasma. Untuk pencapaian keberhasilan terapi
yang maksimal, pemakaian tabir surya harus tepat, baik mengenai bahan
maupun cara pakainya.9,26,30
Perilaku penggunaan tabir surya dinilai berdasarkan pengisian
kuesioner dari jurnal komunitas farmasi. Kuesioner tersebut terdiri dari 8
pernyataan yang sudah dapat menggambarkan perilaku seseorang dalam
menggunakan tabir surya. Namun, ada beberapa hal yang masih kurang atau
belum lengkap sesuai dengan petunjuk penggunaan klinis, seperti
pernyataan mengenai penggunaan tabir surya dengan spektrum
luas/minimal SPF 30 dan jumlah/frekuensi tabir surya yang diaplikasikan
karena jumlah yang dioles dalam mempengaruhi seberapa efektifitas suatu
tabir surya. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi item kuesioner pada
penelitian selanjutnya.
Penilaian perilaku penggunaan tabir surya dikelompokkan menjadi
tiga kategori, yaitu kurang, sedang, dan baik.40 Hasil data yang diperoleh
menunjukkan mayoritas pasien sudah berperilaku kategori sedang-baik
dalam menggunakan tabir surya, hanya 8 orang (16%) dalam kategori
kurang. Pada penelitian ini didapatkan rerata perilaku penggunaan tabir
surya sebesar 18.44 dengan skor tertinggi 30 dan skor terendah 0. Hal
tersebut sudah melewati nilai tengah (16 dari 32), artinya pasien sudah
cukup baik dan mengerti dalam menggunakan tabir surya.
Skor The Melasma Area and Severity Index (MASI) merupakan alat
ukur yang dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan melasma secara
klinis. Nilai skor tersebut memberikan gambaran derajat keparahan
melasma secara kuantitatif yang cukup akurat untuk mengevaluasi dan
menilai tingkat keparahan melasma serta keberhasilan terapi.7,33 Pada
penelitian ini didapatkan sebanyak 38 pasien (76%) memiliki derajat
keparahan melasma tingkat ringan, 7 pasien kategori derajat sedang dan 5
pasien kategori derajat berat. Rerata skor MASI diperoleh sebesar 12.624
43

yang termasuk kategori derajat ringan dengan skor tertinggi 45.6 dan
terendah 0.6.
Pada uji korelasi menggunakan Pearson yang telah dilakukan, hasil
penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
perilaku penggunaan tabir surya dengan keparahan melasma, diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0.014 (<0.05). Nilai koefisien korelatif didapatkan -
0.346 yang berarti kekuatan korelasi termasuk dalam kategori lemah. Nilai
tersebut bertanda negatif menandakan hubungan yang terjadi tidak searah,
artinya semakin baik/tinggi perilaku penggunaan tabir surya maka semakin
rendah/ringan keparahan melasmanya, begitupun sebaliknya. Hasil tersebut
membuktikan bahwa hipotesa peneliti diterima atau dapat dinyatakan
bahwa perilaku penggunaan tabir surya memiliki hubungan korelasi yang
bermakna terhadap keparahan melasma.
Oleh karena itu, semakin seseorang rajin dan rutin dalam
menggunakan tabir surya dengan benar, maka keparahan melasmanya akan
menurun dan semakin ringan. Hal ini sejalan dengan hipotesis penelitian
yaitu derajat keparahan melasma dapat dipengaruhi oleh perilaku
penggunaan tabir surya, perilaku yang baik menyebabkan derajat keparahan
melasma menjadi lebih ringan. Hasil kekuatan korelasi dalam penelitian ini
masih termasuk kategori lemah sehingga belum dapat dipastikan bahwa
tabir surya menjadi faktor satu-satunya yang mempengaruhi derajat
keparahan melasma. untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Apriliyani PY tahun 2017 pada 58 responden. Hasil penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara pemakaian tabir surya dengan skor MASI
berdasarkan uji koefisien kontingensi, didapatkan nilai p 0.000 dengan
kekuatan korelasi sedang.42 Penelitian yang dilakukan oleh
Prabawaningrum juga menunjukkan hasil yang sama, terdapat hubungan
antara riwayat pemakaian tabir surya dengan kejadian melasma, didapatkan
nilai p value 0.003 (< 0.005).43
Hasil analisis data yang dilakukan oleh Waskita juga mendukung
hasil penelitian, diperoleh nilai p value sebesar 0.000 yang artinya terdapat
44

hubungan yang signifikan secara statistik antara riwayat pemakaian tabir


surya dengan derajat keparahan melasma pada kelompok pasien yang rutin
dan tidak rutin menggunakan tabir surya. Pada penelitian tersebut,
responden yang rutin memakai tabir surya mayoritas mengalami derajat
melasma yang ringan yaitu 29 orang (96,7%). Namun, terdapat responden
yang sudah rutin memakai tabir surya tetapi memiliki derajat melasma
sedang (3.3%). Dari hasil anamnesis, hal tesebut disebabkan karena perilaku
pemakaian yang belum benar. Kebanyakan pasien hanya menggunakan satu
kali tanpa dilakukan pengulangan tiap 2 jam dalam sehari.8

4.3 Integrasi Keilmuan dan Keislaman


Tabir surya (sunscreen) merupakan salah satu rangkaian skincare
yang banyak digunakan oleh para perempuan. Tabir surya digunakan
sebagai upaya proteksi bagi kulit dari dampak negatif radiasi sinar UV.
Dalam islam, pemakaian skincare diperbolehkan asal tidak memberikan
kemudharatan/bahaya, tidak berlebihan dan tidak merubah bentuk ciptaan
aslinya serta dengan niat yang benar untuk merawat tubuh.44
Terdapat dalam HR.Muslim yang menjelaskan bahwa hukum
merawat diri diperbolehkan. Hadits tersebut berbunyi “Sesungguhnya Allah
itu indah dan mencintai keindahan”. Maksud dari hadits di atas menghimbau
kepada umat muslim untuk senantiasa selalu menjaga keindahan agar
dicintai Allah karena Allah juga mencintai keindahan.44
Dalam Islam, mempercantik diri termasuk bagian dari ibadah. HR.
Ath-Thabrani menyatakan bahwa “sebaik-baik istri adalah yang
menyenangkan jika engkau melihatnya, taat jika engkau menyuruhnya,
serta menjaga dirinya di saat engkau pergi”. Hadits tersebut menjelaskan
bahwasanya seorang istri tidak boleh memperlihatkan sesuatu/keadaan yang
tidak disukai suaminya dan harus selalu menjaga kebersihan dan kecantikan
dirinya. Terdapat kutipan Islam yang menegaskan bahwa kebersihan juga
merupakan bagian dari iman.44
45

Islam mengajarkan saat laki-laki ingin menikahi seorang perempuan


hendaknya mempertimbangkan 4 hal, yaitu hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan agamanya. Setiap perempuan dituntut untuk selalu
menjaga kecantikannya yang diimbangi dengan agama yang baik. Hal
tersebut terdapat dalam HR. Bukhari.44
Dari penjelasan hadits-hadits diatas, sebagai seorang muslim
khususnya perempuan sudah sepatutnya untuk menjaga kesehatan dan
kebersihan diri dengan melakukan perawatan yang diperbolehkan dalam
islam. Terkait dengan penelitian ini, salah satunya dengan menggunakan
tabir surya untu merawat kesehatan kulit wajah agar terhindar dari penyakit
melasma dan untuk memperbaiki melasma yang sudah ada sebelumnya.

4.4 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu :
1. Peneliti tidak melakukan penelitian lebih spesifik mengenai faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi derajat keparahan melasma.
2. Penelitian ini hanya dilakukan secara cross sectional sehingga kurang
menggambarkan secara jelas hubungan sebab akibat antar variabel.
3. Item kuesioner masih kurang atau belum lengkap sesuai dengan
petunjuk penggunaan klinis, seperti pernyataan mengenai penggunaan
tabir surya dengan spektrum luas/minimal SPF 30 dan jumlah/frekuensi
tabir surya yang diaplikasikan
4. Karena jumlah pasien melasma yang tidak menentu setiap harinya dan
menggunakan data primer di klinik dalam kondisi pandemi, sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama untuk memenuhi jumlah sampel
minimal.
5. Peneliti mengalami kesulitan karena tidak dapat mengontrol dan
memantau secara langsung pengisian kuesioner oleh responden karena
pengambilan data dilakukan oleh terapis dan lokasi klinik yang cukup
jauh.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari uraian hasil dan pembahasan pada penelitian yang berjudul
“Hubungan Perilaku Penggunaan Tabir Surya dengan Derajat Keparahan
Melasma” didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku penggunaan tabir
surya dengan derajat keparahan melasma (nilai p=0,014) dengan nilai
koefisien korelasi sebesar -0,346 yang menunjukkan hubungan yang
terjadi tidak searah dan kekuatan korelasi yang lemah.
2. Tingkat perilaku penggunaan tabir surya mayoritas pasien sudah dalam
kategori sedang-baik, sebanyak 23 responden (46%) berperilaku baik
dan 19 responden (38%) berperilaku sedang, hanya 8 orang (16%)
dalam kategori kurang.
3. Derajat keparahan melasma berdasarkan skor MASI diperoleh sebanyak
38 pasien (76%) memiliki derajat keparahan melasma tingkat ringan, 7
pasien (14%) kategori sedang, dan 5 pasien (10%) kategori berat.

5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
belum dikendalikan yang dapat menimbulkan terjadinya melasma dan
mempengaruhi derajat keparahannya seperti riwayat keluarga, riwayat
pengobatan/perawatan, pemakaian kosmetik dan warna kulit.
2. Penelitian dapat dilanjutkan dengan melibatkan jumlah sampel yang
lebih banyak dan dengan diagnosis skor MASI yang dilakukan oleh
dokter spesialis kulit dan kelamin.
3. Perlu dilakukan modifikasi pada item kuesioner dengan menambahkan
pernyataan yang belum lengkap sesuai dengan petunjuk penggunaan
tabir surya

46
47

4. Studi kohort tidak dapat dilakukan oleh penulis karena kondisi pandemi
COVID-19 dan keterbatasan waktu sehingga disarankan bagi peneliti
berikutnya untuk mengembangkan penelitian mengenai efek
penggunaan tabir surya terhadap derajat keparahan melasma.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prietl B, Treiber G, Pieber TR, & Amrein K. Vitamin D and Immune


Function. Nutrients. 2013;5(7):2502–2521.
2. Kockler J, Oelgemoller M, Robertson S, & Glass BD. Photostability of
Sunscreens. Journal of Photochemistry and Photobiology C. 2012;13(1):91-
110.
3. Pratiwi S, Husni P. Artikel Tinjauan : Potensi Penggunaan Fitokonstituen
Tanaman Indonesia Sebagai Bahan Aktif Tabir Surya. Farmaka.
2017;15(4):18-25.
4. Lapeere H, Boone B, Schepper SD, Verhaeghe E, Ongenae K, Van Geel N,
et al. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. NewYork:
McGraw Hill, 2008.
5. Melyawati, Suseno LS, Bernadette I, Legiawati L. Perkembangan Terbaru
Etiopatogenesis Melasma. MDVI. 2014;41(3):133 – 138
6. Lahida SP. Hubungan Riwayat Pemakaian Tabir Surya dengan Kejadian
Melasma pada Wanita Usia 25-45 tahun[skripsi]. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti. 2017
7. Pandya AG, Hynan LS, Bhore R, Riley FC, Guevara IL, Grimes P, et al.
Reliability assessment and validation of the Melasma Area and Severity
Index (MASI) and a new modified MASI scoring method. J Am Acad
Dermatol. 2011;64(1):78-83.
8. Waskita TW. Hubungan Antara Riwayat Pemakaian Tabir Surya dengan
Derajat Keparahan Melasma[skripsi]. Cimahi : FK Universitas Jendral
Achmad Yani, 2018
9. Sri Linuwih SWM, et al. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7.
Jakarta : Badan Penerbit FKUI, 2016
10. Sophie Seite, Seok Beom Park. Effectiveness of a Broad-Spectrum
Sunscreen in the Prevention of Melasma in Asian Pregnant Women. Journal
of Cosmetics, Dermatological Sciences and Applications. 2013;(3):4-7.
11. H. Lakhdar, K. Zouhair, K. Khadir, A. Essari, A. Richard, S. Seité and A.
Rougier. Evaluation of the Effectiveness of an External Broad-Spectrum

48
49

Sunscreen in the Pre- vention of Chloasma in Pregnant Women. Journal of


the European Academy of Dermatology and Venereology. 2007; 21(6):738-
742
12. Alfrid A, Hari S. Studi Retrospektif: Profil Pasien Melasma. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and
Venereology. 2017;29(3):220-228
13. Handel AC, Miot LDB, Miot HA. Melasma: a clinical and epidemiological
review. An Bras Dermatol. 2014;89(5):771-782.
14. Melyawati, et al. Korelasi klinikopatologis pada kelainan kulit
hiperpigmentasi. MDVI. 2014;41(4):170-176
15. Bhattarai S, Pradhan K, Sharma S, Rajouria EA. Clinical patterns and
epidemiological characteristics of melasma in a tertiary care hospital of
Nepal. Pigment Int. 2017;4:35-38
16. Sarkar R, Jain RK, Puri P. Melasma in Indian males. Dermatol Surg.
2003;29:204–204.
17. Oluwatobi A, Elbuluk N. Melasma: an Up-to-Date Comprehensive Review.
Dermatol Ther (Heidelb). 2017;7(3): 305–318.
18. Tamler C, Rabello RMF, Carlos PBF, Barcaui CB. Classification of
melasma by dermoscopy: comparative study with Wood’s lamp. Surgical &
Cosmetic Dermatology 2009;1(3):115-119
19. Basit H, Godse KV, Al Aboud AM. Melasma [internet]. 2020 [diakses pada
Februari 2021]. Tersedia pada : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/
NBK459271/
20. Guinot C, Cheffai S, Latreille J, Dhaoui MA, Youssef S, Jaber K, et al.
Aggravating factors for melasma: a prospective study in 197 Tunisian
patients. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2010;24:1060-1069.
21. Umborowati M, Rahmadewi. Diagnosis dan terapi pasien melasma. Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2014;26:1-8.
22. Neel Prabha, Vikram K. Mahajan, Karaninder S. Mehta, Pushpinder S.
Chauhan, Mrinal Gupta. Cosmetic Contact Sensitivity in Patients with
Melasma: Results of a Pilot Study. Dermatology Research and Practice.
2014
50

23. Sarkar R, Ailawadi P, and Garg S. Melasma in Men : A Review of Clinical,


Etiological, and Management Issues. J Clin Aesthet Dermatol. 2018; 11(2):
53–59
24. James G. Marks MD and Jeffrey J. Miller MD. Lookingbill and Marks'
Principles of Dermatology. 6th edition. Philadelphia : Elsevier, 2019;(6):62-
74
25. Jean L. Bolognia MD, Julie V. Schaffer MD, Karynne O. Duncan MD and
Christine J. Ko MD. Dermatology Essentials. 1st edition. Elsevier,
2014;(55):496-514
26. William D. James MD, Dirk M. Elston MD, James R. Treat MD, Misha A.
Rosenbach MD and Isaac M. Neuhaus MD. Andrews' Diseases of the Skin.
13th edition. NewYork : Elsevier, 2020;(36):862-880
27. Mary Wu Chang. Dermatology. 4th edition. Elsevier, 2018;(67):1115-1143.
28. Eduardo Calonje, Thomas Brenn, Alexander J. Lazar and Steven D.
Billings. McKee's Pathology of the Skin. 5th edition. Elsevier,
2020;(20):990-1014
29. Lyford WH. Melasma Clinical Presentation [internet]. 2020 [diakses pada
Februari 2021]. Tersedia pada https://emedicine.medscape.com/article/
1068640-clinical#b2
30. Widaty S, et al. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta : PERDOSKI, 2017.
31. Sadeghpour M, Dover JS and Rohrer TE. Advances in Cosmetic Surgery.
Elsevier Ins. 2018;1(1):163-174
32. Guo EL, Wang JV, Geronemus RG, Friedman PM, Combination Treatment
Approach to Melasma, Advances in Cosmetic Surgery. 2021;4(1):97-107
33. Na SY and Park KC. Assessment and Treatment of Photoaging-related
Mottled Pigmentation in Surgery of the Skin. 3rd edition. Elsevier,
2015;(50):804-810
34. James G.H. Dinulos MD. Light-Related Diseases and Disorders of
Pigmentation in Habif's Clinical Dermatology. 7th edition. Elsevier,
2021;(19):748-786
51

35. Mori S and Wang SQ. Sunscreens in Comprehensive Dermatologic Drug


Therapy. 4th edition. Elsevier, 2021;(50):565-575
36. Pramesti RA. Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Angkatan 2016 terhadap Penggunaan Tabir Surya[skripsi]. Jakarta :
Fakultas Kedokteraan Universitas Islam Negeri Jakarta, 2019
37. Adventus MRL, I Made Merta Jaya, Mahendra D. Buku Ajar Promosi
Kesehatan. Jakarta : Universitas Kristen Indonesia, 2019.
38. Notoadtmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka
Cipta, 2010
39. Nurmala I, et al. Promosi Kesehatan. Edisi ke-1. Surabaya : Airlangga
University Press, 2018
40. Wadoe M, Syifaudin DS, Alfianna W, et al. Penggunaan dan Pengetahuan
Sunscreen Pada Mahasiswa Unair. Jurnal Farmasi Komunitas. 2019;6(1):1-
8
41. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia.
Jakarta : Kemenkes RI, 2016
42. Apriliyani PY. Hubungan Antara Pemakaian Tabir Surya dengan Derajat
Keparahan Melasma (Skor MASI) pada Wanita di Kecamatan Grogol-
Sukoharjo[skripsi]. Surakarta : FK Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2017
43. Prabawaningrum CD. Hubungan Riwayat Pemakaian Tabir Surya dengan
Kejadian Melasma[skripsi]. Surakarta : FK Universitas Sebelas Maret, 2015
44. Universitas Islam Indonesia. Makeup dan Skincare dalam Islam[internet].
2020 [diakses pada 2 Januari 2021]. Tersedia pada : Makeup dan Skin Care
dalam Islam - Universitas Islam Indonesia (uii.ac.id)
LAMPIRAN
Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN


HUBUNGAN PERILAKU PENGGUNAAN TABIR SURYA DENGAN
DERAJAT KEPARAHAN MELASMA

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Responden yang saya hormati, saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Linda Fajriah
NIM : 11181330000021
Status : Mahasiswi fakultas kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saat ini saya sedang melakukan penelitian mengenai “Hubungan Perilaku
Penggunaan Tabir Surya dengan Derajat Keparahan Melasma”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku penggunaan tabir surya dengan
derajat keparahan melasma pada pasien melasma di Klinik The Alfein Bogor.
Manfaat penelitian ini agar pengetahuan masyarakat meningkat mengenai
pentingnya menggunakan tabir surya sebagai upaya pencegahan timbulnya
kelainan kulit sehingga masyakat menjadi lebih sadar dan berkeinginan untuk
merawat kesehatan kulit. Selain itu, penelitian ini juga sebagai syarat bagi saya
untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bersifat sukarela dan tidak ada efek negatif yang ditimbulkan.
Semua informasi yang anda berikan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya
digunakaan untuk kepentingan penelitian. Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan partisipasi dan ketersediaan anda untuk mengisi kusioner penelitian
dengan lengkap dan tanpa adanya paksaan.
Demikian informasi ini saya sampaikan, atas bantuan dan partisipasinya,
saya ucapkan terimakasih.

Peneliti
Linda Fajriah

52
53

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN


(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama :
Jenis kelamin :
Dengan ini menyatakan bersedia untuk menjadi subjek penelitian.
Saya telah mendapat penjelasan dengan rinci tentang maksud dan tujuan
dari penelitian dengan judul “Hubungan Perilaku Penggunaan Tabir Surya Dengan
Derajat Keparahan Melasma” oleh Linda Fajriah, mahasiswi angkatan 2018
Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya juga sudah mengerti bahwa saya berpartisipasi secara sukarela tanpa
paksaan untuk dilakukan pemeriksaan dan mengisi kuesioner dengan jujur.

Bogor, ……………2021
Peserta penelitian

( __________________ )
54

Lampiran 3
KUESIONER PENELITIAN

Identitas pasien

Nama :
Usia :
Jenis kelamin : P / L
No. HP :
Pekerjaan :
Pendidikan :
Alamat :
Hasil PF : Melasma derajat __________
Lain-lain : 1. Apakah pasien menggunakan tabir surya ? ya / tidak
2. Apakah saat ini sedang hamil ? ya / tidak
3. Apakah saat ini sedang/terdapat riwayat menggunakan
kontrasepsi >6 bulan? ya / tidak

Kuesioner perilaku penggunaan tabir surya


Beri tanda ceklis (V) pada kotak yang tersedia, sesuai dengan apa yang anda
lakukan

Nilai perilaku penggunaan, apabila responden :


Tidak pernah =0 Sering =3
Jarang =1 Selalu =4
Kadang-kadang = 2

Kategori Perilaku Penggunaan Sunscreen.40


Kurang : 0-10
Sedang : 11-21
Tinggi/baik : 22-32
55

KUESIONER PERILAKU PENGGUNAAN SUNSCREEN


Kadang- Tidak
No Pertanyaan Selalu Sering Jarang
kadang pernah
Anda menggunakan
1 sunscreen secara teratur
setiap hari
Anda mengoleskan ulang
2 sunscreen setiap 2 jam
setelah pemakaian
Anda mengoleskan ulang
3
sunscreen sebelum berenang
Anda mengoleskan ulang
4 sunscreen setelah berenang
dan berkeringat
Anda membeli kembali
sunsreen apabila sunscreen
5
yang anda miliki sudah
habis
Anda memilih sunscreen
6 yang memiliki perlindungan
terhadap UVA dan UVB
Anda menggunakan
sunscreen 15-30 menit
7
sebelum melakukan
aktivitas di luar ruangan
Anda menggunakan
8 sunscreen saat berada di
dalam ruangan
56

Lampiran 4
HASIL UJI STATISTIK

Correlations
item 1 item 2 item 3 item 4 item 5
item Pearson Correlation 1 .306 .478** .509** .885**
1 Sig. (2-tailed) .100 .008 .004 .000
N 30 30 30 30 30
item Pearson Correlation .306 1 .221 .594** .204
2 Sig. (2-tailed) .100 .240 .001 .279
N 30 30 30 30 30
item Pearson Correlation .478** .221 1 .458* .547**
3 Sig. (2-tailed) .008 .240 .011 .002
N 30 30 30 30 30
item Pearson Correlation .509** .594** .458* 1 .470**
4 Sig. (2-tailed) .004 .001 .011 .009
N 30 30 30 30 30
item Pearson Correlation .885** .204 .547** .470** 1
5 Sig. (2-tailed) .000 .279 .002 .009
N 30 30 30 30 30
item Pearson Correlation .815** .365* .563** .443* .880**
6 Sig. (2-tailed) .000 .048 .001 .014 .000
N 30 30 30 30 30
item Pearson Correlation .884** .267 .552** .608** .885**
7 Sig. (2-tailed) .000 .155 .002 .000 .000
N 30 30 30 30 30
item Pearson Correlation .607** .385* .551** .599** .684**
8 Sig. (2-tailed) .000 .035 .002 .000 .000
N 30 30 30 30 30
total Pearson Correlation .893** .437* .700** .675** .919**
skor Sig. (2-tailed) .000 .016 .000 .000 .000
peril N 30 30 30 30 30
aku
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
57

.916 8

Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 26-35 3 6.0 6.0 6.0
36-45 27 54.0 54.0 60.0
46-55 15 30.0 30.0 90.0
56-65 4 8.0 8.0 98.0
>65 1 2.0 2.0 100.0
Total 50 100.0 100.0

jenis kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid perempuan 48 96.0 96.0 96.0
laki-laki 2 4.0 4.0 100.0
Total 50 100.0 100.0

pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid IRT 34 68.0 68.0 68.0
wiraswasta 6 12.0 12.0 80.0
karyawan 6 12.0 12.0 92.0
guru 2 4.0 4.0 96.0
perawat 2 4.0 4.0 100.0
Total 50 100.0 100.0

tingkat perilaku
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kurang 8 16.0 16.0 16.0
sedang 19 38.0 38.0 54.0
baik 23 46.0 46.0 100.0
Total 50 100.0 100.0
58

tingkat keparahan melasma


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ringan 38 76.0 76.0 76.0
sedang 7 14.0 14.0 90.0
berat 5 10.0 10.0 100.0
Total 50 100.0 100.0

Statistics
perilaku
penggunaan
usia tabir surya derajat melasma
N Valid 50 50 50
Missing 0 0 0
Mean 45.48 18.44 12.624
Median 45.00 21.00 10.800
Mode 45 22 10.8
Std. Deviation 7.380 7.576 12.0286
Variance 54.459 57.394 144.686
Minimum 27 0 .6
Maximum 68 30 45.6

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
Residual
N 50
Normal Parametersa,b Mean .0000000
Std. Deviation 11.28655016
Most Extreme Differences Absolute .112
Positive .109
Negative -.112
Test Statistic .112
Asymp. Sig. (2-tailed) .163c
Monte Carlo Sig. (2-tailed) Sig. .538d
99% Confidence Interval Lower Bound .525
Upper Bound .550
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
59

d. Based on 10000 sampled tables with starting seed 2000000.

Correlations
perilaku skor masi
perilaku Pearson Correlation 1 -.346*
Sig. (2-tailed) .014
N 50 50
skor masi Pearson Correlation -.346* 1
Sig. (2-tailed) .014
N 50 50
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
60

Lampiran 5

LEMBAR PERSETUJUAN KAJI ETIK


61

Lampiran 6

RIWAYAT HIDUP PENELITI

A. Data Pribadi
Nama : Linda Fajriah
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 14 Mei 2000
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jln. Balai Rakyat, Kayu Tinggi RT07/RW04
No.74, Cakung Timur, Jakarta Timur
Nomor HP : 085892454474
Email : linda.fajriah18@mhs.uinjkt.ac.id
lindafajriah14@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan Formal


2006 – 2012 : SDN Ujung Menteng 03 Pagi
2012 – 2015 : MTsN 28 Jakarta
2015 – 2018 : MAN 8 Jakarta
2018 – sekarang : Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta

C. Pengalaman Organisasi dan Kepanitian


• Anggota departemen infokom DEMA FK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
• Anggota SCOPH CIMSA FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai