Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

“APENDISITIS AKUT”

Narasumber :
dr. Dyan Sp.B

Pembimbing :
dr. Yeni Purwati

Disusun oleh :
Naufal Rahman Tejokusumo

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM PANDEGLANG
2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini,
sebagai salah satu syarat dalam program internship. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini
adalah untuk mengkaji lebih lanjut khususnya Apendisitis akut. Dalam penyelesaian laporan
kasus ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Yeni Purwati selaku pembimbing, dan dr. Dyan
Sp.B selaku narasumber, serta rekan-rekan dokter intership.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan kasus ini.

Pandeglang, Maret 2022


LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Nomor RM : 5793xx
Umur : 45 tahun
Alamat : Kp. Badur Rancateureup Labuan
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 06-12-21
Tanggal Keluar : 10-12-21

II. Anamnesis
Autoanamnesis.
A. Keluhan Utama
Lemas dan merasa kuning pada seluruh tubuh.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan lemas dan kuning pada seluruh tubuh sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit, keluhan disertai perut yang membesar. Riwayat sakit kuning
sebelumnya disangkal. Pasien juga mengatakan BAB hitam sejak 1 minggu, BAK tidak ada
keluhan. Mual (+) nafsu makan menurun.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit Hipertensi, Diabetes Melitus, Asma, Penyakit hati, Penyakit ginjal dan
Penyakit kardiovaskular disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit Hipertensi, Diabetes Melitus, Asma, Penyakit hati, Penyakit ginjal dan
Penyakit kardiovaskular disangkal.
E. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat maupun makanan.
F. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 89 x/menit, reguler
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36 oC
Kepala : Dalam batas normal
Mata : Kelopak mata : Tidak ada kelainan
: Conjungtiva Anemis : + / +
: Sklera Ikterik :+/+
Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran KGB
Thoraks : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : Deformitas (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : VBS +/+, Rh -/-, Wh -/-
BJ I-II Reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Datar
Palpasi : Soepel, NTE (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bu (+) Normal
Anogenital : DBN
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai -/-
Neurologis : DBN

G. Pemeriksaan Penunjang

Tanggal : 06/12/21

Hematologi :
Hemoglobin : 8.9 g/dL (N : 12.1~17.6 g/dL)
Hematokrit : 26 % (N : 40~52 %)
Eritrosit : 2.8 juta /µL (N : 4.7~6.1 juta /µL)
Leukosit : 28.070 /µL (N : 4500~11300 /µL)
Trombosit : 240.000 /µL (N : 150.000~450.000 /µL)

Kimia Klinik :
AST (SGOT) : 490 U/l (N : 10~50 U/l)
ALT (SGPT) : 491 U/l (N : 10~50 U/l)
Gula Darah Sewaktu : 131 mg/dL (N: 74~180 mg/dL)

Imunologi :
HbsAg Kualitatif : REAKTIF (N: NON REAKTIF)

H. Diagnosis
Ascites + Ikterik ec. Hepatitis B DD/ Susp. Sirosis Hepatis
Anemia gravis ec. Melena

I.Terapi dan Tindakan


- Venflon
- Furosemide 2x40 mg
- Vit K 3x1
- Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Omeprazole 1x1 amp
- Spironolactam 1x25 mg
- Lactulac 2x1 c
- Curcuma 3x1
- Lesipar 2x1
- Pemasangan Kateter
J. Follow Up

Tanggal 07/12/21
S : Pasien merasa badan lemas, BAB hitam (+)
O : TSS, CM
TD: 130/70 mmHg
N : 80 x/m
S : 37 C
RR: 20 x/m
A : Ascites + Ikterik ec. Susp. Sirosis Hepatis
Anemia gravis ec. Melena
Ensefalopati Hepatikum gr. I
P:
- Furosemide 1x40 mg
- Vit K 3x1
- Ceftriaxone 2 x 2 gr
- Omeprazole 1x1 amp
- Spironolactam 1x100 mg
- Lactulac 2x1 c
- Curcuma 3x1
- Lesipar 2x1
- Asam Trexanamat 3x500 mg
- Propanolol 1x10 mg
- Inbumin 3x2
PRC 2 Labu
USG Abdomen

Pemeriksaan Laboratorium
Kimia Klinik :
Protein Total : 6.4 g/dL (N : 6.6~8.7 g/dL)
Albumin : 2.2 g/dL (N : 3.2~4.5 g/dL)
Globulin : 4.2 g/dL (N : 1.8~3.5 g/dL)

Tanggal 08/12/21
S : BAB hitam (+)
O : TSS, CM
TD: 117/63 mmHg
N : 83x/m
S : 36 C
RR: 20 x/m
A : Ensefalopati Hepatikum gr. I
Anemia gravis ec. Melena
P:
- Furosemide 1x40 mg
- Vit K 3x1
- Ceftriaxone 2 x 2 gr
- Omeprazole 1x1 amp
- Spironolactam 1x100 mg
- Lactulac 2x1 c
- Curcuma 3x1
- Lesipar 2x1
- Asam Trexanamat 3x500 mg
- Propanolol 1x10 mg
- Inbumin 3x2
- Paracetamol 1x1 gr

Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi :
Hemoglobin : 9.6 g/dL (N : 12.1~17.6 g/dL)
Hematokrit : 27 % (N : 40~52 %)
Eritrosit : 3.0 juta /µL (N : 4.7~6.1 juta /µL)
Leukosit : 23.980 /µL (N : 4500~11300 /µL)
Trombosit : 307.000 /µL (N : 150.000~450.000 /µL)

Tanggal 09/12/21
S : BAB Hitam (-) lemas, perut kembung
O : TSS, CM
TD: 105/65 mmHg
N : 82 x/m
S : 36.6 C
RR: 22 x/m
A : Ensefalopati Hepatikum gr. I
Anemia gravis ec. Melena
P:
- Furosemide 1x40 mg
- Vit K 3x1
- Ceftriaxone 2 x 2 gr
- Omeprazole 1x1 amp
- Spironolactam 1x100 mg
- Curcuma 3x1
- Lesipar 2x1
- Asam Trexanamat 3x500 mg
- Propanolol 1x10 mg
- Inbumin 3x2
Cek DPL ulang

Tanggal 10/12/21
S : Pasien merasa masih lemas
O : TSS, CM
TD: 102/62 mmHg
N : 95 x/m
S : 36 C
RR: 20 x/m
A : Ensefalopati Hepatikum gr. I
Anemia gravis ec. Melena

P : lemas, perut terasa kembung dan besar


- Furosemide 1x40 mg
- Vit K 3x1
- Ceftriaxone 2 x 2 gr
- Omeprazole 1x1 amp
- Spironolactam 1x100 mg
- Curcuma 3x1
- Lesipar 2x1
- Asam Trexanamat 3x500 mg
- Propanolol 1x10 mg
- Inbumin 3x2

Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi :
Hemoglobin : 10.0 g/dL (N : 12.1~17.6 g/dL)
Hematokrit : 29 % (N : 40~52 %)
Eritrosit : 3.2 juta /µL (N : 4.7~6.1 juta /µL)
Leukosit : 20.270 /µL (N : 4500~11300 /µL)
Trombosit : 239.000 /µL (N : 150.000~450.000 /µL)
TINJAUAN PUSTAKA

Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatic semakin besar.
Hal ini dapat memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatic
serta kemajuan dalam diagnosis dan tatalaksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tatalaksana,
serta pencegahan ensefalopati hepatic menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatic di
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki panduan penatalaksanaan
ensefalopati hepatic yang diterbitkan oleh Perhimpunan Penelitian Hati Indonesia (PPHI) pada
tahun 2014.

1. Definsi

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan gangguan pada sistem saraf pusat sebagai akibat
insufisiensi hepar dengan sindrom atau kelainan neuropsikiatri pada pasien dengan disfungsi
hepar. Ensefalopati hepatik ditandai dengan perubahan kepribadian atau perilaku, gangguan
intelektual, dan penurunan tingkat kesadaran tanpa adanya kelainan ada otak yang mendasarinya.
(Poh dan Chang, 2012)

Ensefalopati hepatik (HE) atau ensefalopati portosistemik (PSE) adalah. sindrom


reversibel dari gangguan fungsi otak yang terjadi pada pasien dengan gagal hati lanjut. Keadaan
klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati tersebut merupakan gangguan
neuropsikiatrik yang disebut sebagai HE.

2. Epidemiologi

Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena


sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis
(Zubir, 2014). Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi HE stadium 2 hingga stadium 4 sebesar
14,9%. Pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati prevalensi meningkat menjadi 42%.

3. Klasifikasi

Berdasarkan kelainan hati yang mendasarinya, HE dibagi menjadi 3 tipe, antara lain:
 Tipe A
Merupakan gagal hati akut yang ditemukan pada hepatitis fulminan,
 Tipe B

Berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan
hati.

 Tipe C
Berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal serta paling sering ditemukan pada pasien
dengan gangguan fungsi hati (Ratomo, 2016).

Klasifikasi HE berdasarkan gejalanya dibagi menjadi HE minimal (HEM) dan HE overt.


Dikatakan HEM apabila terdapat defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan
fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi, sedangkan HE overt
terbagi lagi menjadi HE episodik (terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan yang
befluktuasi) dan HE persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang kian
memberat).

Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel1). Stadium EH


dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-
4 masuk dalam EH overt.
4. Etiologi

Penyebab ensefalopati hepatik adalah kerusakan hati yang berlangsung lama (kronis). Kerusakan
ini bisa disebabkan oleh:

 Penyakit hepatitis kronis


 Sindrom Reye (kondisi yang jarang terjadi akibat pembengkakakn di hati dan otak)
 Sirosis hati
 Pemasangan shunt pada hati
 Infeksi pada hati
 Susah buang air besar dalam waktu lama
 Tidak mendapat asupan cairan yang cukup
 Perdarahan yang terjadi di usus, lambung, atau kerongkongan
 Obat-obatan tertentu, seperti obat tidur, pereda nyeri, atau diuretik
 Masalah ginjal
 Sering mengonsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan

5. Patofisiologi

Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun
kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan
ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hipona-
tremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika),
infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan
dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi
dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.

Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati

sa- war darah otak.7 Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakinin berperan

penting dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati. Beberapa studi
lain juga mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 1 berikut.
Seperti yang digambarkan pada gambar, amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia
merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri

gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan
memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan
usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus)

menjadi glutamat dan amonia. Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal.
Secara fisiologis, amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan gijal
juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan
utama dalam metabolisme amonia melalui pemecaham amonia menjadi glutamin via glutamin

sintetase. Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh
keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang
merunah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal
dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali
ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan
mengeluarkan ion amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis,
penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer, ginjal akan menahan ion
amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifiaksi.
Metabolisme oleh hati dilakukan di 2 tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme
amonia menjadi urea melalui siklus Krebs Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral

dimana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin. Pada keadaan sirosis, penurunan
massa hepatosit fungsional menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah
dengan adanya shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung amonia masuk
ke aliran sistemik tanpa melalui hati. Peningkatan kadar amonia dalam darah meningkatkan
risiko toksisitas amonia. Meningkatnya permebialitas sawar darah otak untuk amonia pada
pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan
metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang
ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik
sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres
oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselu- lar yang
menyebabkan disfungsi mitokondria dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan
pori-pori transisi mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein
kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson
inglamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular.
6. Manifestasi Klinis

Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi neurologis dan


psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH memperlihatkan gangguan pada tes
psikometrik terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan
berjalannya penyakit, pasien EH mulai memperihatkan perubahan tingkah laku dan kepribadian,
seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang
nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan
disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase
kebingungan akut dengan agitasi atau somnolens, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam
koma.

Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi
dini dalam menegakkan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A
dan NCT-B, maupun critical flicker frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk
mendiagnosis EH. Namun, pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara
merata di Indonesia. Oleh karena itu, para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien
beserta keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur,
penurunan aktivitas sehari-hari pasien hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun
penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance imaging
(MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan
kelainan lain pada otak. Elektroensefalografi akan menunjukkan perlambatan (penurunan
frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH.2,8 Pemeriksaan kadar amonia
tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah
(>100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien dengan EH. Pemeriksaan
kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini
belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia. Gambar 3 menunjukkan alur
diagnosis pasien dengan kecurigaan EH.
7. Tatalaksana

Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar penatalaksanaan


EH adalah: identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan keseimbangan nitrogen,
pencegahan perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati hepatik.

 TATALAKSANA FAKTOR PRESIPITASI

Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi, infeksi,
obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap
faktor-faktor tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi
cairan perlu dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spektrum luas
diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna
maupun organ lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal
timbulnya manifestasi EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan
vena porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna,
terutama pecahnya varises esofa- gus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH
pada pasien sirosis sehingga membu- tuhkan penanganan yang adekuat.
Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor
presipi- tasi dapat diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya
dievaluasi secara aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan.

 TATALAKSANA FARMAKOLOGIS

Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam
tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan
penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi
potensial lainnya.

 NONABSORBABLE DISACCHARIDES (LAKTULOSA)

Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH. Sifatnya yang laksatif
menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga

mengurangi uptake glutamin. Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora
normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan
menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga
memberikan ion hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3)
menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.

Dari meta analisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam

mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik. Akan tetapi, laktulosa


memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan
menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan EH minimal.
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6
bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung.
Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan
memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia

 ANTIBIOTIK

Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang

bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH. Selain itu,
antibiotik juga memiliki efek anti inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase. Antibiotik

yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.

Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan. Rifaximin dipilih
mengganti- kan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu
neomisin, metronida- zole, paromomisin, dan vankomisin oral karena rifaximin memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya.

 L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)

LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang
berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamin. LOLA meningkatkan

metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah. Selain itu,
LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH.

LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar amonia
dengan mer- angsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan α-
ketoglutarate menjadi glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate
aminotransferase (AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk
menstimulasi glutamine syn- thetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia.
Meskipun demikian, glumatin dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase
(PAG), dan menghasilkan amonia kembali.
Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis
dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan amonia
pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara.Beberapa penelitian
RCT (Kirchets dkk, 1997 dan Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20

g/hari secara intravena dapat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada. Studi meta analisis
terkini (Jiang Q, 2009 dan Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada pasien overt dan
minimal EH dalam perbaikan EH dengan menurunkan konsentrasi amonia serum.

 PROBIOTIK

Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat


untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan berperan penting
dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora
usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya
terkait dengan menekan substansi untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir
fermentasi yang berguna untuk bakteri baik.

Liu, et al., melakukan studi terhadap feses pasien EH minimal dan menemukan
pemberian suplementasi sinbiotik (serat dan probiotik) berhubungan dengan menurunnya jumlah
bakteri patogenik Escherichia coli, Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan peningkatan

pada Lactobacillus penghasil nonurease. Penelitian meta analisis dari 9 laporan penelitian

menunjukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH. Meskipun
demikian, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan dalam penggunaan probiotik pada tatalaksana
dan prevesi sekunder EH overt.

 TERAPI POTENSIAL LAINNYA ng article

Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain ammonia scavenger,
activated charcoal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger (natrium benzoat,
natrium fenilasetat, natrium fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus urea yang telah
tersaturasi penuh. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunakan pada pasien dengan
gangguan siklus urea dan hiperamonemia, namun belum disetujui untuk digunakan pada pasien
EH. Activated charcoal bekerja menyerap molekul kecil, di antaranya amonia, lipopolisakarida
dan sitokin. AST-120, karbon berbentuk sferis saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien
dengan HE. Pada pilot study terlihat bahwa AST-120 memiliki efikasi yang sama dengan

laktulosa namun dengan efek samping yang lebih sedikit. L-Ornithinge Phenylacetate (OP)
bekerja menurunkan kadar amonia dengan berfungsi sebagai substrat pebentukan glutamin dari
amonia pada otot rangka.

8. Penutup

Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada pasien
dengan sirosis hati. Tatalaksana optimal EH akan memperpanjang survival dan memperbaiki
kualitas hidup pasien sirosis. Prinsip tatalaksana EH adalah mengidentifikasi dan mengatasi
pencetus serta terapi medikamentosa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al. Panduan
praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di Indonesia 2014. Jakarta:
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2014.
2. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. Hepatic
encephalopathy—Definition, nomenclature, diagnosis, and quantifica- tion: Final report
of the Working Party at the 11th World Congresses of Gastroenterology, Vienna, 1998.
Hepatology. 2002;35(3):716-21.
3. Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC, et al. The
prognostic significance of subclinical hepatic encephalopathy. Am J Gastroenterol.
2000;95(8):2029-34.
4. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik Minimal di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei - Agustus 2009: KO- PAPDI; 2009.
5. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibra- ta M,
Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.
6. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy: Review of the
Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):1-16.
7. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An over- view. World
J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63.
8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cir- rhosis. Cleve
Clin J Med. 2011;78(9):597-605.
9. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of Minimal Hepatic
Encephalopathy. Metab Brain Dis. 2004;19(3-4):253-67.
10. Groeneweg M, Moerland W, Quero JC, Hop WCJ, Krabbe PF, Schalm SW. Screening of
subclinical hepatic encephalopathy. J Hepatol. 2000;32(5):748-53.
11. Quero JC, Hartmann IJ, Meulstee J, Hop WC, Schalm SW. The diagnosis of subclinical
hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis using neu- ropsychological tests and
automated electroencephalogram analysis. Hepatology. 1996;24(3):556-60.
12. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management of hepatic
encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33.
13. Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A, Eizayaga FX, et al. Hepatic
encephalopathy: An approach to its multiple pathophysiological features. World J
Hepatol. 2012;4(3):50-65.
14. Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver Dis. 2008;28(1):70-80.
15. Chatauret N, Butterworth RF. Effects of liver failure on inter-organ traffick- ing of
ammonia: implications for the treatment of hepatic encephalopa- thy. J Gastroenterol
Hepatol. 2004;19:S219-223.
16. Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors in the mechanism of
ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis. 2009;24(1):103- 17.
17. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. Hepatic
encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline by the European
Association for the Study of the Liver and the American As- sociation for the Study of
Liver Diseases. J Hepatol (2014), http://dx.doi. org/10.1016/j.hep.2014.05.042
18. Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic en- cephalopathy.
Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7.
19. Córdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepa- tol.54(5):1030-40.
20. Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al. Recent advances in
the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gas- troenterol Hepatol.
2010;6(7):5-13.
21. Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy. Int J Hepatol.
2011;2011.
22. Kircheis G, Nilius R, Held C, Berndt H, Buchner M, Gortelmeyer R, et al. Therapeutic
efficacy of L-ornithine-L-aspartate infusions in patients with cirrhosis and hepatic
encephalopathy: Results of a placebo-controlled, double-blind study. Hepatology.
1997;25(6):1351-60.
23. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. L-ornithine- L-
aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the College of
Physicians and Surgenons--Pakistan:JCPSP. 2008;18(11):684-7.
24. Jiang Q, Jiang X-H, Zheng M-H, Chen Y-P. l-Ornithine-l-aspartate in the management of
hepatic encephalopathy: A meta-analysis. J Gastroen- terol Hepatol. 2009;24(1):9-14.
25. Bai M, Yang Z, Qi X, Fan D, Han G. l-ornithine-l-aspartate for hepatic en- cephalopathy
in patients with cirrhosis: A meta-analysis of randomized controlled trials. J
Gastroenterol Hepatol. 2013;28(5):783-92.
26. Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses 2003;61:307-
13.
27. Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of antibiotics, prebiotics and probiotics
in the treatment for hepatic encephalopathy. Med Hypoth- eses 2005;64:64-8.
28. Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut flora: Effect on minimal
hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology 2004;39:1441-9.
29. Shukla S, Shukla A, Mehboob S, Guha S. Meta-analysis: the effects of gut flora
modulation using prebiotics, probiotics and synbiotics on minimal hepatic
encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther. 2011;33(6):662-71

Anda mungkin juga menyukai