BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
No.RM : 37.XX.XX
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Masuk : 17 Desember 2018
Tanggal Operasi : 18 Desember 2018
Umur : 48 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Karangpandan, Karanganyar
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal Cempaka II
RSUD Karanganyar pada tanggal 17 Desember 2018.
Keluhan Utama : Benjolan pada payudara kiri.
Keluhan Tambahan :-
F. Anamnesis Sistemik
Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Abdomen : Diare (-), kembung (-), konstipasi (-)
Urologi : BAK (+) dan BAB(+), panas (-)
Muskolo : Nyeri di tangan (-) dan kaki (-)
Riwayat Operasi dan Anestesi
Disangkal
G. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
- Berat Badan : 45 kg
- Tinggi Badan : 150 cm
- Kesadaran : Compos mentis
- Tanda Vital : - Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 82 x/menit, reguler,
isi dan tegangan cukup
- Pernapasan : 18 x/menit
thorakoabdominal
- Suhu : 36,5°C
Status generalis
Pemeriksaan kepala
- Bentuk kepala : Normochepali, simetris
- Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak mudah rontok
Pemeriksaan mata
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor, diameter 3 mm.
Pemeriksaan telinga
Letak simetris, bentuk normal, ukuran normal, tidak ada tanda radang, tidak
ada discharge, pendengaran baik, tidak ada benjolan, tidak nyeri tekan.
Pemeriksaan hidung
Tidak ada tanda-tanda radang, discharge, sekret, epistaksis, tidak ada
deformitas, tidak ada napas cuping hidung.
Pemeriksaan mulut dan faring
Bibir tidak kering, tidak sianosis, tepi lidah tidak hiperemis, tidak tremor
dan mukosa mulut basah dan tonsil dalam batas normal.
Pemeriksaan leher
Inspeksi : Tidak terlihat benjolan atau massa.
Palpasi : PKGB (-), deviasi trakhea (-)
Pemeriksaan dada
Paru-Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor-sonor
Auskultasi : Suara dasar: vesikuler +/+, Suara tambahan : -/-
Jantung
Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba iktus kordis di SIC V, linea mid clavicula sinistra.
Perkusi : - Batas kiri atas : SIC II linea parasternal sinistra
- Batas kiri bawah : SIC V linea midclavikula sinistra
- Batas kanan atas : SIC II linea sternalis dekstra
- Batas kanan bawah : SIC IV linea parasternal dekstra
Auskultasi : BJ I,II reguler, bising (-), gallop (-)
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar, dinding perut tidak tegang
Auskultasi : Bunyi usus (+) normal
Palpasi : Perut supel
Hepar teraba 1 jari bawah Arcus Costae Dextra,
konsistensi kenyal, tepi tumpul, permukaan halus
Lien dalam batas normal, tidak ada
nyeri tekan, ginjal sulit dinilai.
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Perkusi hepar dalam batas normal
Perkusi lien dalam batas normal
Nyeri ketok kostovertebrae kanan dan kiri (-)
Kulit
Turgor kulit cukup, kulit tidak mengelupas, tidak pucat dan tidak gatal.
Ekstremitas
- Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-)
edema (-/-), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik dan
motorik baik
- Inferior : Deformitas (-/-), edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-
), kesemutan, (-/-), sensorik dan motorik baik
H. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium : Tanggal 18 Desember 2018
Darah Rutin Nilai Nilai normal satuan
Hb 12,7 12.00 – 16.00 g/dL
Ht 37,5 37 – 47 Vol%
Leukosit 11,14 5,0 – 10,0 10^3/uL
Trombosit 190 150 – 300 mm3
Eritrosit 4,74 4,50 – 5,50 10^6/uL
MCV 79,1 82 – 92 fL
MCH 26,8 27 – 31 Pg
MCHC 33,9 32-37 g/dL
Gran 54,0 50-70,0 %
Limfosit 16,1 25,0– 40,0 %
Monosit 4,1 3,0 – 9,0 %
Eosinofil 2,0 0 ,5–5,0 %
Basofil 0,5 0,0-1,0 %
Clotting Time 3’30” 2-8 Menit
Bleeding Time 1’30” 1-3 menit
Gol. darah -
GDS 104 70 – 150 mg/dL
Creatinin 0,70 0,5-0,9 mg/dL
Ureum 35 10-50 mg/dL
HbsAg NR NR
Kesan:
Cor dalam batas normal
Paru dalam batas normal
Tanda-tanda metastase (-)
Struktur dan bentuk tulang normal
Kesan : thorax dalam batas normal
J. Diagnosis Klinis
Tumor Mamae Sinistra (TMS)
K. Terapi
Pro Lumpectomy
L. Konsul Anestesi
Seorang wanita usia 48 tahun dengan diagnosis tumor mammae sinistra yang
akan dilakukan lumpectomy pada tanggal 18 Desember 2018. Hasil
laboratorium, rontgen thorax dan vital sign terlampir.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA :I
Rencana tindakan anestesi : General anestesi Teknik Face Mask
M. Laporan Anastesi
Nama : Nn. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 60 Tahun
No RM : 37.XX.XX
Premedikasi : Granisetron, fentanyl, midazolam
Diagnosa pra bedah : Tumor mammae sinistra
Diagnosa pasca bedah : Post Lumpectomy TMS
Jenis anastesi : General anestesi
Teknik anastesi : Facemask
Induksi : Recofol
Pemeliharaan : O2, N20, Isofluran
Ijin operasi : sudah (+)
Tanggal operasi : 18 Desember 2018
Jumlah cairan : Infus RL dan tutofusin 500cc
Hemoglobin : 12,7 gr/dL
Temperatur : 36,50C
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 82x/ menit
Keadaan pernapasan : frekuensi 18x/menit, dan volume napas cukup
Keadaan gizi : kesan baik
N. Tatalaksana Anastesi
1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital
c. Lama puasa 8 jam
d. Cek obat dan alat anestesi
e. Posisi terlentang
f. Infus RL 30 tpm
2. Di ruang operasi
a. Jam 10.10 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang,
TD 110/70 mmHg, HR : 82x/m, Saturasi Oksigen : 99% . O2, N2O, dan
agent (Halotan) sudah disiapkan. Menyiapkan Face Mask dan bila
diperlukan, siapkan laringoskop, guedel/mayo, plester, endotracheal
tube nomer 6,5, stetoskop, dan suction. Obat premedikasi dimasukan
melalui IV line.
- Inj. Fentanyl 50 µg/ml (2ml)
- Inj. Granisetron inj. 1 mg/ml (3ml)
- Inj. Midazolam 5mg/5ml (5ml)
b. Jam 10.15 dilakukan induksi dengan Propofol 90 mg, segera kepala
diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan O2 6 l/menit.
Setelah reflek bulu mata menghilang, dan tampak tanda-tanda relaksasi
otot leher dan rongga mulut, face mask yang dihubungkan dengan
mesin anestesi untuk mengalirkan N2O dan O2. N2O mulai diberikan 3L
dengan O2 3 L /menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan
ini Halotan dibuka sampai 3% dan sedikit demi sedikit (sesudah setiap
5-10 kali tarik nafas) diturunkan dengan 1,5% sampai 2% tergantung
reaksi dan besar tubuh penderita. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-
tanda mata (reflek bulu mata), nadi tidak cepat dan posisi tubuh terhadap
rangsang operasi tidak banyak berubah.
c. Jam 10.20 operasi dimulai dan tanda vital serta saturasi oksigen
dimonitor tiap 5 menit
d. Jam 10.25 infus RL diganti Tuthofusion 30 tpm
e. Jam 11.00 operasi selesai, setelah operasi selesai agent, N2O, dan O2
kita tutup (matikan). Pemberian oksigen recovery. Apabila sudah
selesai, face mask dilepaskan.
f. Jam 11.05 pasien di pindahkan ke ruang pemulihan (recovery room).
3. Recovery Room
Pasien masuk Ruang RR pukul 11.10 dalam posisi terlentang dengan
kepala ekstensi, pasien mengantuk, monitoring tanda vital serta saturasi O2
dan diberikasn O2 2 liter/menit lewat hidung. TD 110/70 mmHg, Nadi :
82x/m, RR : 18x/m, Suhu : 36,7˚C. Jam 11.20 pasien sadar penuh dan
dipindah ke bangsal.
4. Intruksi pasca anestesi
Posisi supine dengan oksigen 2-3 liter/ menit.
Kontrol vital sign jika TD <100 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin,
Bila muntah diberikan granisetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik.
Lain – lain
- Antibiotik sesuai bedah
- Analgesik sesuai bedah
- Puasa sampai dengan flatus
- Kontrol balance caira
- Monitor vital sign
I. Anastesi
a. Pengertian
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri.
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya
persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini,
selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi
umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang
mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir
sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan
secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang
diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap)
yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan
secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa
alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti
ketamin.
b. Tahap-tahap anastesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium
induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi
sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat
meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat
terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter),
dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium
pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin,
muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III
(pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang
ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota
gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada,
bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea
terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal
dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali
otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal,
bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV
(paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan
paralisis otot dada,
pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran
seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal.
c. Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan
cara kerja. Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya
anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal,
regional, dan umum.
1. Anastesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang
mampu menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara
reversibel pada bagian tubuh yang spesifik. Pada anestesi
umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran
penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga
diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap
utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat (lokal).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk
banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction,
kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi
berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan
penjahitan.
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan
untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena
efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama
kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu,
maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan
tindakan tanpa rasa nyeri.
2. Anastesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus
bedah yang pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk
meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila
pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus
buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan
menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar
register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam
tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan
impuls saraf di area itu. Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-
organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan tak dapat
diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau
efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Ada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke
bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke
susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di
anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi,
walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang
dioperasi.
3. Anastesi Umum
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut
juga dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
yang bersifat reversibel. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan
pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada
kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah
rekonstruksi tulang, dan lain-lain.
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa
nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga
merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi
juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk
meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya
selama operasi dilakukan. Untuk menentukan prognosis
(Dachlan. 1989) ASA (American Society of Anesthesiologists)
membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi
yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori
sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang
memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan
sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah
maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan
lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan
atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai
penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi
semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak
diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok
hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai
pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat
(E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
d. Obat-obatan anastesi umum
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan
ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita,
sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta
obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ
vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar,
stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup
baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal adalah mempunyai sifat-sifat antara
lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi
otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang cepat
dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat
tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas
keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan
kondisi pasien. Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada
pembiusan total adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal haruslah
tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam
darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping
minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi
pasien.
e. Pemilihan tehnik anastesi
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks,
memerlukan kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara
pasien dan faktor–faktor pembedahan. Dalam beberapa kelompok
populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada
pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi resiko
trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan
pernapasan, infark miokardial, dan gagal ginjal. Beberapa faktor
yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain: keterampilan
dan pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan
peralatan, kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat
darurat atau efektif, keadaan lambung, dan pilihan pasien. Untuk
operasi kecil (misalnya menjahit luka atau manipulasi fraktur
lengan), jika lambung penuh, maka pilihan yang terbaik adalah
anestesi regional. Untuk operasi besar gawat darurat, anestesi
regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal
keamanannya.
General anestesi adalah tindakan meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversible). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: (1) hipnotik,
(2) analgesia, dan (3) relaksasi otot.
Metode anestesi general dilihat dari cara pemberian obat:
1. Parenteral
Anestesi general yang diberikan secara parenteral baik intravena
maupun intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan yang
singkat atau untuk induksi anestesi.
2. Perektal
Anestesi general yang diberikan perektal kebanyakan dipakai
pada anak, terutama untuk induksi anestesi atau tindakan
singkat.
3. Perinhalasi
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas atau
cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai
zat anestetika melalui udara pernapasan.
Teknik pemberian anestesi general:
1. Napas spontan dengan face mask
2. Napas spontan dengan pipa endotrakeal
3. Dengan pipa endotrakea dan napas kendali
f. Face Mask
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya
kelemahan dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding
posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrus tmerupakan
teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial
airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding
faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam
anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat
memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih
intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan
lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran
kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan
besar (100 mm/Guedel no 5).
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak
antara lubang hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih
panjang dari oral airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal
airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan
atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan
pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang
dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi
daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran
oksigen atau gas anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan
pemasangan face mask dengan rapat (gambar 5-5). Lingkaran dari
face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium face
mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui
konektor. Tersedia berbagai disain face mask. Face mask yang
transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan
muntahan. Facemask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup
lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum.
Retaining hook dipakai untuk mengkaitkan head scrap sehingga face
mask tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam mask untuk
pediatrik di disain untuk mengurangi dead space.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas
dan face mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face
mask yang tidak tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempis
walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran
sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang
tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
= 2925cc
= 1,02 %
Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak
diperlukan tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan (koloid 1flab) sudah
cukup untuk menangani banyaknya perdarahan.
Post operatif
Motorik 4 ekstermitas 2 √
2 ekstremitas 1
- 0
Nafas kurang 1
- 0
20-50% 1
>50% 0
Ketika dipanggil 1
- 0
Kulit Kemerahan 2 √
Pucat 1
Sianosis 0
Total 10
Apabila total Aldrete score >7 pasien sudah dapat dipindah ke bangsal.
Pada saat malam hari post operasi.
Sistem Pernapasan
Sistem Sirkulasi
GCS : 15
Sistem Perkemihan
Sistem Pencernaan
Sistem Muskuloskeletal
Pada kasus ini, pasien wanita usia 48 tahun dengan tumor mammae sinistra
yang akan dilakukan operasi lumpectomy menggunakan anestesi umum (General
Anestesi) dengan teknik face mask dengan obat-obatan premedikasi dan anestesi
intravena maupun inhalasi yang sesuai.
Dalam operasi lumpectomy ini menggunakan General Anestesi dikarenakan
General Anestesi menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral dan juga
memblock nervus vagus (saraf simpatis).
Obat-obatan yang digunakan dalam premedikasi adalah ondansetron
(granisetron), midazolam (sedacum), cefuroxime (Oxtercid) dan fentanyl. Untuk
induksi menggunakan propofol (recofol), pemeliharaan menggunakan N2O, O2,
dan Halotan. General Anestesi diinduksi dengan Propofol yang merupakan obat
hipnotik intravena diisopropilfenol yang menimbulkan induksi anenstesi yang
cukup dengan aktivitas eksitasi yang maksimal. kemudian diberi rumatan anestesi
dengan N2O, O2, dan Halotan. Dengan maintenance cairan menggunakan tutofusin
500 cc.
Kebutuhan cairan selama operasi yaitu jumlah dari pengganti puasa,
maintenance, dan stress operasi (1/2.720 + 90 + 90 = 540 cc) untuk 1 jam pertama,
pasien memerlukan 40 menit untuk operasi sehingga memerlukan cairan 360cc.
selama proses operasi tidak terjadi masalah gejolak hemodinamik.
Post operasi pasien dirawat di recovery room setelah aldrette score 10 pasien
dapat dipindah ke bangsal, selanjutnya dimonitoring stabilitas pasien post operasi
sampai keadaan umumnya membaik.
DAFTAR PUSTAKA
Jatoi I, Kaufmann M, Petit J.Y. 2006. Diagnostic Procedures. In: Schroder G, ed.
Atlas of Breast Surgery. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. p 19-21
Jatoi I, Kaufmann M, Petit J.Y. 2006. Surgery for Breast Carcinoma. In: Schroder
G, ed. Atlas of Breast Surgery. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 67,
81-82
Kirby I.B. 2006. The Breast. In: Brunicardi F.C et all, ed. Schwartz’s Principles of
Surgery. Eight edition. New York: McGraw-Hill Books Company.
Latief, SA, Suryadi, KA, Dachlan, R: Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi kedua,
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2002.
Morgan, G. Edward. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. Mc Graw-Hill
Companies, Inc. United State.
Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi dan
Terapi edisi 5 hal.259-272. 2007. Gaya Baru, jakarta.