Pembimbing
Diajukan oleh:
Iqbal Hilmi Fauzan
J510170082
Oleh:
Pembimbing:
Dipresentasikan di hadapan
A. Latar Belakang
Saat ini jumlah CKD sudah bertambah banyak dari tahun ke tahun.
Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran
kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya.
Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi
angka kematian. Jumlah kejadian CKD didunia tahun 2009 menurut USRDS
terutama di Amerika rata-rata prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang
yang terkena PGK. Sedangkan di Indonesia tahun 2009 prevalensinya 12,5%
atau 18 juta orang dewasa yang terkena PGK.
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan dari laporan kasus ini adalah untuk lebih
mengetahui dan memahami mengenai kasus “Chronic Kidney Disease”.
Penulisan laporan kasus ini juga untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit PKU Surakarta.
C. Manfaat
A. IDENTITAS
Nama : Ny. T
Usia : 58 tahun
Tempat Lahir : Klaten, 12 Desember 1959
Alamat : Gedong, Tulung, Klaten
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMP
Agama : Islam
Masuk RS : 20 Juni 2018
Diagnosis Masuk : Observasi Dyspneu, CKD, HT dengan
Edem Ekstremitas
G. ANAMNESIS SISTEM
a. Serebrospinal : Kejang (-), pusing (+), demam (-), Penurunan
kesadaran (-)
b. Kardiopulmoner : Kulit berwarna biru (-), nyeri dada (-) berdebar-
debar (-),
c. Respiratorius : Batuk (+), Pilek (-), sesak (+) tidak membaik
dengan istirahat,mimisan (-)
d. Gastrointestinal : Nyeri perut (-), mual (+), muntah (-), kembung (-),
BAB sulit (-), diare (-)
e. Urogenital : BAK sulit (-), nyeri saat BAK (-), BAK panas (-)
f. Integumentum : Gatal (-), bercak kemerahan (-), pucat (-), kulit
kuning (-)
g. Muskuloskeletal : Nyeri otot (-), kelemahan anggota gerak (-), nyeri
sendi (-)
H. PEMERIKSAAN FISIK
1. Tanda Vital
a. Keadaan umum : tampak sesak
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tekanan Darah : 170/90
d. Suhu badan : 36.2o C
e. Nadi : 70 x/menit
f. Pernapasan : 20 x/menit
Kesan: Keadaan umum tampak sesak, kesadaran compos mentis dan
tanda vital didapatkan tekanan darah tinggi.
2. Status Gizi
a. Perhitungan
1) Tinggi Badan : 160 cm
2) Berat Badan : 54 Kg
3) BMI : BB (kg)/ TB(m)2 =kg/m2= 54/(1,60)2= 21,09 kg/m2
(Normal)
Kesan: Status Gizi - Baik
3. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : Normochephal, rambut hitam.
1) Mata : Conjuctiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), reflek cahaya normal (+/+) isokor (+/+) 3mm, Mata
cekung (-/-)
2) Hidung : Sekret (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-/-)
3) Telinga : Normotia (+/+), Sekret (-/-), hiperemis (-/-)
4) Mulut : Mukosa bibir kering (-), perdarahan gusi (-), sianosis (-),
pharynx hiperemis (-), tonsil membesar (-).
5) Gigi : caries (-), calculus (-)
Kesan : Pemeriksaan Kepala didapatkan conjungtiva anemis
b. Leher : Tidak ada pembesaran limfonodi leher dan tidak ada
peningkatan vena jugularis
c. Thoraks : Simetris (+), ketinggalan gerak (-)
Jantung : Batas jantung jelaskan:
Inspeksi : Iktus cordistak tampak
Palpasi : Iktus cordis Tidak kuat angkat
Perkusi : Kanan atas : SIC II Linea Parasternal
dekstra
Kanan bawah : SIC IV Linea Parasternal
dekstra
Kiri atas : SIC II Linea Parasternal
sinistra
Kiri bawah : SIC IV-V Linea
Midclavilularis sinistra
Auskultasi : Suara jantung I-IIreguler, bising jantung (-)
Kesan: Pemeriksaan leher, thoraks, dan jantung dalam batas normal.
d. Pulmonal
KANAN DEPAN KIRI
Simetris (+), Retraksi Inspeksi Simetris (+), Retraksi (-)
(-)
Ketinggalan Gerak (-), Palpasi Ketinggalan Gerak (-),
Fremitus Kanan Kiri Fremitus Kanan Kiri
Sama (+) Sama (+)
Sonor Perkusi Sonor
SDV (+/+), Ronkhi Auskultas SDV (+/+), Ronkhi
seluruh lapang paru i seluruh lapang paru
(+/+), Wheezing (-) (+/+), Wheezing (-)
KANAN BELAKA KIRI
NG
Simetris (+) Inspeksi Simetris (+)
Ketinggalan Gerak (-), Palpasi Ketinggalan Gerak (-),
Fremitus Kanan Kiri Fremitus Kanan Kiri
Sama (+) Sama (+)
Sonor Perkusi Sonor
SDV (+/+), Ronkhi Auskultas SDV (+/+), Ronkhi
seluruh lapang paru i seluruh lapang paru
(+/+), Wheezing (-) (+/+), Wheezing (-)
e. Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), sikatrik (-), purpura (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani (+), acites (-)
Palpasi : Supel, massa abnormal (-), nyeri tekan (-), turgor
kulit menurun (-)
Hepar : tidak membesar (-)
Lien : tidak membesar (-)
KIMIA KLINIK
SGOT 16 < 33
SGPT 15 < 50
Ureum (H) 142 13.0 – 43.0
Kreatinin (H) 7.8 0.9 – 1.3
Gula Darah Sewaktu (Stik) (H) 226 70 - 140
Elektrolit
Natrium (L) 128.2 135 - 148
Kalium (H) 5.71 3.50 – 5.10
Interpretasi :
Kesan Normal
J. DAFTAR MASALAH
Anamnesis : sesak nafas, batuk, mual, pusing, badan lemas, bengkak
pada tangan dan kaki, riwayat sakit ginjal dan hipertensi rutin kontrol
dokter spesialis dalam, riwayat minum jamu dan jarang mengkonsumsi
air putih sering mengkonsumsi teh, obat-obatan yang di konsumsi
Amlodipin, Candesartan, Asam folat.
Pemeriksaan fisik : TD 179/90, conjungtiva anemis, ronki pada seluruh
lapang paru, pitting edem ekstremitas pada tangan dan kaki.
Pemeriksaan Laboratorium : Hb rendah (9.1), Azotemia (Cr 7.8, Ur 142),
GDS tinggi (226), hiperkalemi (5.71), hiponatremia (128)
Rontgen : edem paru dengan cardiomegali
Laju Filtrasi Glomerulus = 6.7
L. TERAPI
- O2 3 lpm
- Inf. RL 8 tpm
- Inj. Furosemide IIA/8 jam
- Fasorbid tab 3x5mg
- Natrium Bicarbonat tab 3x500mg
- Amlodipin tab 1x10mg
M. FOLLOW UP
Rontgen Thorax AP
Hasil :
A/
Chronic Kidneys Disease
Stage V
Edem paru dengan
perbaikan
Hipertensi stage II
dengan perbaikan
Diabetes Melitus dengan
perbaikan
Anemia normositik
normokromik
Hiperkalemia
TANGGAL SOA PLANNING
26– 06– S/ P/
2018 Pasien post HD hari ke 1, - O2 3 lpm
sedikit pusing, mual, perut - Diet uremic 1700
sebah, bengkak berkurang - Inf. RL 8 tpm
- Inj. Furosemide IIA/8
O/ jam
- KU : lemah, Compos - Inj. Metoklopramid
Mentis IA/8 jam
- TD : 140/80 - Fasorbid tab 3x5mg
- N : 80 x/menit - Natrium Bicarbonat tab
- RR : 20 x/menit 3x500mg
- S : 37°C - Asam Folat tab 1x1
- KL : CA (-/-), SI (-/-), - Adalat Oros tab 1x1
sekret hidung (-), mukosa - Analsik tab 3x1
bibir kering (-), PKGB (-). - Candesartan tab
- Tho: BJ I.II Reguler, SDV 1x16mg
(+/+), Ronkhi (-/-),
Whezzing (-/-)
- Abd: Supel (+), Peristaltik
(+), Nyeri Tekan (-),
kembung (-) hepatomegali
(-), splenomegali (-).
- Eks: Akral hangat (+),
oedem kaki kanan (+/+),
ADP kuat (+)
- Urin 1000cc
A/
Chronic Kidneys Disease
Stage V
Edem paru dengan
perbaikan
Hipertensi stage II
dengan perbaikan
Diabetes Melitus dengan
perbaikan
Anemia normositik
normokromik
Hiperkalemia
Pada kasus ini pasien didiagnosa Chronic Kidney Disease stage V, Edem
paru, Hipertensi stage II, Diabetes Melitus, Hiperkalemi, Anemia Normositik
Normokromik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Ginjal adalah sepasang organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak
saling bersebelahan dengan vertebra di bagian posterior inferior tubuh manusia
yang normal. Setiap ginjal mempunyai berat hampir 115 gram dan mengandungi
unit penapisnya yang dikenali sebagai nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan
tubulus. Glomerulus berfungsi sebagai alat penyaring manakala tubulus adalah
struktur yang mirip dengan tuba yang berikatan dengan glomerulus. Ginjal
berhubungan dengan kandung kemih melalui tuba yang dikenali sebagai ureter.
Urin disimpan di dalam kandung kemih sebelum ia dikeluarkan ketika berkemih.
Uretra menghubungkan kandung kemih dengan persekitaran luar tubuh (Pranay,
2010).
Fisiologi
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak
(sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah
“menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit
atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120
ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus
sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Selain itu, fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi
cairan ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel
ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus (Guyton dan
Hall,2007).
a. Fungsi Ginjal
1. Fungsi ekskresi
Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah ekskresi air.
Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan
kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3ˉ.
Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang
normal.
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein
terutama urea, asam urat dan kreatinin.
2. Fungsi non ekskresi
Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.
Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam
stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.
Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Degradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, paratiroid hormon,
prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH dan hormon gastrointestinal
(gastrin, polipeptida, intestinal vasoaktif).
Menghasilkan prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator,
bekerja secara lokal, untuk melindungi dari kerusakan iskemik ginjal
b. Fungsi Nefron
Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan
substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi
yang paling penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti
urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium,
klorida dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam tubuh secara
berlebihan (Guyton dan Hall, 2007).
Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula
(badan malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus). Setiap
korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang
berada dalam kapsula bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri
afferent. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau
penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari
glomerulus dan kapsula bowman karena adanya tekanan daridarah yang mendorong
plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah
yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri efferent.
Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula bowman
terdapat tiga lapisan:
Kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus
Lapisan kaya protein sebagai membran dasar
Selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman (podosit)
Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang
terdiri dari:
Tubulus penghubung
Tubulus kolektivus kortikal
Tubulus kloektivus medularis
DEFINISI
Penyakit gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal, selanjutnya
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireverrsibel pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindromklinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ akibat penurunan
fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik (Dennis, 2005).
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron
terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang
masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron sudah
berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan
lagi (Price et al, 2005).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam
usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi dan
reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk seluruh
massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal, namun jika
75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban solut bagi setiap
nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan keseimbangan glomerulus tubulus
tidak dapat dipertahankan lagi (Price et al, 2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia. Retensi
cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu mengkonsentrasikan dan
mengencerkan urin.Respon ginjal yang tersisa terhadap masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita sering menahan cairan dan natrium,
sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin dan
angiotensin. Kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah
dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat memperberat stadium
uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring
dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al,
2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang tidak
adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin adalah suatu
substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-sum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD, produksi erytropoetin
menurun dan anemia berat akan terjadi disertai keletihan, angina dan sesak nafas
(Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan. Dengan
menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat
serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine
penderita.Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al, 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al, 2005).
Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu
(McCance dan Sue, 2006):
A. Penurunan Fungsi Ginjal. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR <
50%. Pada keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun sudah
terdapat peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
B. Insufisiensi Ginjal. Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak
dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR
mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal
yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan
kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi urin,
nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjala saat stres dapat terjadi
pada tahapan ini.
C. Gagal Ginjal. Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia,
asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan
elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal
ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada
sistem organ lain.
D. ESRD. End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari gangguan
fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang berat. GFR
hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi juga terganggu,
dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi cairan, dan
gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler, hematologi,
neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan tulang dan mineral
juga dapat terjadi.
MANIFESTASI KLINIS
Sistem Klinis
Kardiovaskuler Hipertensi
Pembesaran vena leher
Pitting edema
Friction rub pericardial
Edem periorbital
Pulmoner Nafas dangkal
Kusmaul
Krekels
Sputum kental
Gastrointestinal Konstipasi / diare
Anoreksia, mual dan muntah
Nafas berbau ammonia
Perdarahan saluran GI
Ulserasi dan perdarahan pada mulut
Integumentum Kulit kering, bersisik
Warna kulit abu-abu mengkilat
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
Pruritus
Ekimosis
Muskuloskeletal Kehilangan kekuatan otot
Kram otot
Fraktur tulang
Reproduksi Amenore
Atrofi testis
Sindrom uremic Lemah letargi
Anoreksia
Mual dan muntah
Nokturia
Kelebihan volume cairan (volume
overload).
Neuropati perifer
Uremic frost
Perikarditis
Kejang
Koma.
Hematologi Anemia
a. Kelainan hematologi
Anemia
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang
ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik
(Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity
(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007;
Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).
Gangguan pembekuan
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan
aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan gangguan
konsumsi protrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal,
perdarahan dari luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro
intestinal,dll.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi
oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein
dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia
yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit
garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost (Kumar et al., 2007).
e. Kelainan kardiovaskular
Penyakit jantung iskemik
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari
faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia,
dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor
resiko non-tradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme,
dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat
penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut,
seperti interleukin 6 dan C-reaktif protein, yang menyebabkan proses
penyumbatan koroner dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler.
Nitride oksida merupakan mediator yang penting dalam pada dilatasi
vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun
sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin.
DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia,SLE,dll.
b. Sindroma Uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan ( volume overload ), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, klorida)
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft – Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokomiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isosteinuria.
Gambaran Radiologis
Gambaran radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjalan bila ada indikasi
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologis Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana didiagnosis secara non
invasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi
yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana
ukuran ginjal yang sudah mengecil ( contracted kidney ), ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah,
gagal napas dan obesitas.
TATALAKSANA
Anemia
Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl (atau 10
g/dl pada usia < 2 tahun).
Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan. Dengan
memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2.
Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:
Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100
mikrogram/L.
Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin < 100
mikrogram/L.
Penanganan Anemia
1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia
menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi
untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di demonstrasikan dengan
plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant
eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah
dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini
memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah
transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang
membutuhkan transfusi reguler. Pada gambar.3, saat sejumlah
erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien
reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis
tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB
yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap
penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah
meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi
untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama
dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat
terlihat.
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan
viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer.
Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas darah
bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat
peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi
human recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit.
Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagubilitas.
Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan
hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer
karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan
keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh
eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien
dengan peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan
bahwa recombinant human eritropoetin harus digunakan dengan hati-
hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek samping ini
dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal,
tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin
merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia. Indikasi dan
Kontraindikasi terapi EPO:
1) Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan
penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
- Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi
transferin > 20%.
- Tidak ada infeksi yang berat.
2) Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO.
3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada
keadaan:
- Hipertensi tidak terkontrol.
- Hiperkoagulasi.
- Beban cairan berlebihan / fluid overload.
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang
cukup, terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada GGK:
Anemia dengan status besi cukup.
Anemia defisiensi besi:
- Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L
- Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100
mcg/L
Saturasi Transferin < 20 %
Terapi Eritropoietin Fase koreksi
Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht
tercapai.
- Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x
seminggu selama 4 minggu.
- Target respon yang diharapkan :
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam
2-4 minggu.
- Pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu.
- Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai
target Hb tercapai (> 10 g/dL).
- Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%.
- Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu,
turunkan dosis 25%.
- Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan
suplemen sesuai dengan panduan terapi besi.
E. Nutrisi
Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan energi dan nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala uremia dan
menunda percepatan penurunan fungsi ginjal atau memperlambatnya. Status
nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka mortalitas pada pasien dengan GGK.
Dianjurkan kecukupan energy > 35 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60
tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan
30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup untuk mencegah terjadinya
proses katabolik. Bila asupan peroral tidak memadai untuk memenuhi
kebutuhan nutrisis sehari-hari sesuai dengan status gizi seseorang, dapat
ditambahkan nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak
dan karbohidrat sebesar 25% : 75%. Selain itu diberikan kombinasi dari asam
amino esensial dan non esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat
adalah 5 g/kgBB. Sedangkan lipid diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk
fat emulsion 10-20% sebanyak 500 mL.
Diet rendah garam, dalam bentuk protein sekitar 0,6 – 0,75%
g/kgBB/hari,dengan protein yang memiliki nilai biologic tinggi, sebesar 0,35
g/kgBB/hari tergantung dari beratnya gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan
gagal ginjal krooni harus mengurangi asupan proeinnya karena protein berlebih
akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion inorganic yang
akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia. Dua penelitian
meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein memperlambat
progresivitas penyakit ginjal diabetik dan non-diabetik. Asupan kalori yang
cukup sekitar 35 kkal/kgBB.
Terdapat 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu : dialisis dan transplantasi ginjal a.
Dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialis peritoneal dan hemofiltrasi Cuci darah
apabila fungsi ginjal untuk membuang zat-zat metabolik yang beracun dan
kelebihan cairan dari tubuh sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak
mampu lagi menjaga kelangsungan hidup penderita gagal ginjal, maka harus
dilakukan dialisis (cuci darah) sebagai terapi pengganti fungsi ginjal. Ada dua jenis
dialisis yaitu:
1. Asidosis metabolic
2. Hiperkalemi refrakter
3. Edem paru akut
4. Sindrom uremikum
5. Encepalopati uremikum
6. Intoksikasi (alkohol, obat)
Komplikasi Hemodialisa
1. Komplikasi akut
2. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan
perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease.
PROGNOSIS
BAB IV
KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa
dialysis atau transplantasi ginjal.
Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya data-
data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi
ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan
stadium lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah
diagnosis dini dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti
bahwa intervensi atau pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa
dari penyakit tersebut. Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal ginjal
kronik berhubungan dengan adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai
20% diatas nilai normal, sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai
terjadi penurunan fungsi ginjal menjadi 30% dari nilai normal.
DAFTAR PUSTAKA