Anda di halaman 1dari 67

Case Report II

SEORANG PASIEN WANITA 58 TAHUN DENGAN CHRONIC KIDNEY


DIASEASE, OEDEM PARU, HIPERTENSI STAGE 11, DIABETES
MELITUS TIPE 2, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK DAN
HIPERKALEMIA

Pembimbing

dr. Retno Suryaningsih, Sp. PD

Diajukan oleh:
Iqbal Hilmi Fauzan
J510170082

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
Case Report II
SEORANG PASIEN WANITA 58 TAHUN DENGAN CHRONIC KIDNEY
DIASEASE, OEDEM PARU, HIPERTENSI STAGE 11, DIABETES
MELITUS TIPE 2, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK DAN
HIPERKALEMIA

Oleh:

Iqbal Hilmi Fauzan


J510170082

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari, 2018

Pembimbing:

dr. Retno Suryaningsih., Sp.PD ( )

Dipresentasikan di hadapan

dr. Retno Suryaningsih., Sp.PD ( )


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis


dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit ginjal
kronik (Chronic Kidney Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak
mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan
hidup. Kerusakan pada kedua ginjal bersifat ireversibel. Dikatakan penyakit
ginjal kronik apabila kerusakan ginjal terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju fultrasi
glomerulus, dengan manifestasi: kelainan patologis, terdapat tanda kelainan
ginjal misalnya pada saat pencitraan (imaging) atau laju filtrasi glomerulus
kurang dari 60 ml/menit/1,73m2.

Saat ini jumlah CKD sudah bertambah banyak dari tahun ke tahun.
Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran
kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya.
Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi
angka kematian. Jumlah kejadian CKD didunia tahun 2009 menurut USRDS
terutama di Amerika rata-rata prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang
yang terkena PGK. Sedangkan di Indonesia tahun 2009 prevalensinya 12,5%
atau 18 juta orang dewasa yang terkena PGK.

Penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan timbulnya berbagai


manifestasi yang komplek, diantaranya, penumpukan cairan, edema paru,
edema perifer, kelebihan toksik uremik bertanggung jawab terhadap
perikarditis dan iritasi, sepanjang saluran gastrointestinal dari mulut sampai
anus. gangguan keseimbangan biokimia (hiperkalemia, hiponatremi, asidosis
metabolik), gangguan keseimbangan kalsium dan fosfat lama kelamaan
mengakibatkan demineralisasi tulang neuropati perifer, pruritus, pernafasan
dangkal, anoreksia, mual dan muntah, kelemahan dan keletihan. Berbagai
macam manifestasi lain bisa muncul akibat penyakit ginjal kronis ini. Atas
dasar inilah penulis tertarik untuk lebih mengetahui gambaran penyakit ginjal
kronis dengan secara langsung mendapati manifestasi yang muncul pada real
patient yang sedang menderita penyakit tersebut.

B. Tujuan

Tujuan dari pembuatan dari laporan kasus ini adalah untuk lebih
mengetahui dan memahami mengenai kasus “Chronic Kidney Disease”.
Penulisan laporan kasus ini juga untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit PKU Surakarta.

C. Manfaat

Laporan kasus ini diharapakan dapat memberikan manfaat kepada


penulis dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat
lebih mengetahui dan memahami mengenai kasus “Chronic Kidney Disease ”.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. T
Usia : 58 tahun
Tempat Lahir : Klaten, 12 Desember 1959
Alamat : Gedong, Tulung, Klaten
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMP
Agama : Islam
Masuk RS : 20 Juni 2018
Diagnosis Masuk : Observasi Dyspneu, CKD, HT dengan
Edem Ekstremitas

Tanggal, 20 Mei 2018 (Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan keluarga


pasien)
B. KELUHAN UTAMA
Sesak nafas tidak membaik dengan istirahat.
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke Pasien mengeluhkan sesak nafas kurang lebih satu
minggu SMRS. Keluhan dirasakan tiba-tiba dan memburuk ketika aktivitas
tetapi tidak membaik dengan istirahat. Sebelum akhirnya pasien dibawa ke RS,
pasien juga mengalami batuk, pusing, badan terasa lemas, mual, bengkak pada
tangan dan kaki, serta nafsu makan menurun.

Pasien mengatakan didiagnosis menderita gagal ginjal dan memiliki


riwayat hipertensi, serta rutin kontrol ke poliklinik penyakit dalam. Pasien juga
mengatakan belum pernah menjalani hemodialisa sebelumnya. Pasien rutin
mengkonsumsi obat-obatan dari dokter spesialis dalam yang menanganinya.
Demam (-), pucat (-), kulit kuning (-), Perut kembung (-), nyeri perut (-)
muntah (-), pandangan kabur/kunang-kunang (-), kesemutan (-), BAB cair/sulit
(-), BAB berdarah (-), BAK sakit (-), penurunan berat badan (-).

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


1. Riwayat penyakit serupa : diakui, sejak ± 3
bulan rutin kontrol ke dokter spesialis dalam
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
4. Riwayat stroke : disangkal
5. Riwayat diabetes melitus : disangkal
6. Riwayat hipertensi : diakui
7. Riwayat kolesterol : disangkal
8. Riwayat alergi : disangkal
9. Riwayat trauma : disangkal

Kesan: Terdapat riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan


penyakit sekarang.

E. RIWAYAT PENYAKIT PADA KELUARGA


1. Riwayat penyakit serupa : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
4. Riwayat stroke : disangkal
5. Riwayat diabetes melitus : disangkal
6. Riwayat hipertensi : disangkal
7. Riwayat alergi : disangkal

Kesan: Tidak terdapat riwayat penyakit keluarga yang dapat diturunkan


atau ditularkan yang berhubungan dengan penyakit sekarang.
F. RIWAYAT KEBIASAAN
1. Merokok : disangkal
2. Alkohol : disangkal
3. Konsumsi obat-obatan : Amlodipin,
Candesartan, Asam folat, Furosemid
4. Lain-lain : Pasien memiliki
kebiasaan jarang mengkonsumsi air putih, lebih sering minum air
teh dan kadang mengkonsumsi jamu gendong.

Kesan: Terdapat riwayat konsumsi obat-obatan dan memiliki


kebiasaan jarang mengkonsumsi air putih dan konsumsi jamu
gendong.

G. ANAMNESIS SISTEM
a. Serebrospinal : Kejang (-), pusing (+), demam (-), Penurunan
kesadaran (-)
b. Kardiopulmoner : Kulit berwarna biru (-), nyeri dada (-) berdebar-
debar (-),
c. Respiratorius : Batuk (+), Pilek (-), sesak (+) tidak membaik
dengan istirahat,mimisan (-)
d. Gastrointestinal : Nyeri perut (-), mual (+), muntah (-), kembung (-),
BAB sulit (-), diare (-)
e. Urogenital : BAK sulit (-), nyeri saat BAK (-), BAK panas (-)
f. Integumentum : Gatal (-), bercak kemerahan (-), pucat (-), kulit
kuning (-)
g. Muskuloskeletal : Nyeri otot (-), kelemahan anggota gerak (-), nyeri
sendi (-)

Kesan: Didapatkan gangguan serebrospinal, respiratorius,


gastrointestinal.

H. PEMERIKSAAN FISIK
1. Tanda Vital
a. Keadaan umum : tampak sesak
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tekanan Darah : 170/90
d. Suhu badan : 36.2o C
e. Nadi : 70 x/menit
f. Pernapasan : 20 x/menit
Kesan: Keadaan umum tampak sesak, kesadaran compos mentis dan
tanda vital didapatkan tekanan darah tinggi.

2. Status Gizi
a. Perhitungan
1) Tinggi Badan : 160 cm
2) Berat Badan : 54 Kg
3) BMI : BB (kg)/ TB(m)2 =kg/m2= 54/(1,60)2= 21,09 kg/m2
(Normal)
Kesan: Status Gizi - Baik

3. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : Normochephal, rambut hitam.
1) Mata : Conjuctiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), reflek cahaya normal (+/+) isokor (+/+) 3mm, Mata
cekung (-/-)
2) Hidung : Sekret (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-/-)
3) Telinga : Normotia (+/+), Sekret (-/-), hiperemis (-/-)
4) Mulut : Mukosa bibir kering (-), perdarahan gusi (-), sianosis (-),
pharynx hiperemis (-), tonsil membesar (-).
5) Gigi : caries (-), calculus (-)
Kesan : Pemeriksaan Kepala didapatkan conjungtiva anemis
b. Leher : Tidak ada pembesaran limfonodi leher dan tidak ada
peningkatan vena jugularis
c. Thoraks : Simetris (+), ketinggalan gerak (-)
Jantung : Batas jantung jelaskan:
Inspeksi : Iktus cordistak tampak
Palpasi : Iktus cordis Tidak kuat angkat
Perkusi : Kanan atas : SIC II Linea Parasternal
dekstra
Kanan bawah : SIC IV Linea Parasternal
dekstra
Kiri atas : SIC II Linea Parasternal
sinistra
Kiri bawah : SIC IV-V Linea
Midclavilularis sinistra
Auskultasi : Suara jantung I-IIreguler, bising jantung (-)
Kesan: Pemeriksaan leher, thoraks, dan jantung dalam batas normal.

d. Pulmonal
KANAN DEPAN KIRI
Simetris (+), Retraksi Inspeksi Simetris (+), Retraksi (-)
(-)
Ketinggalan Gerak (-), Palpasi Ketinggalan Gerak (-),
Fremitus Kanan Kiri Fremitus Kanan Kiri
Sama (+) Sama (+)
Sonor Perkusi Sonor
SDV (+/+), Ronkhi Auskultas SDV (+/+), Ronkhi
seluruh lapang paru i seluruh lapang paru
(+/+), Wheezing (-) (+/+), Wheezing (-)
KANAN BELAKA KIRI
NG
Simetris (+) Inspeksi Simetris (+)
Ketinggalan Gerak (-), Palpasi Ketinggalan Gerak (-),
Fremitus Kanan Kiri Fremitus Kanan Kiri
Sama (+) Sama (+)
Sonor Perkusi Sonor
SDV (+/+), Ronkhi Auskultas SDV (+/+), Ronkhi
seluruh lapang paru i seluruh lapang paru
(+/+), Wheezing (-) (+/+), Wheezing (-)

Kesan: Pemeriksaan paru terdapat suara Ronki seluruh lapang paru


pada paru kanan maupun kiri.

e. Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), sikatrik (-), purpura (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani (+), acites (-)
Palpasi : Supel, massa abnormal (-), nyeri tekan (-), turgor
kulit menurun (-)
Hepar : tidak membesar (-)
Lien : tidak membesar (-)

Kesan : Pemeriksaan abdomen dalam batas normal

f. Ekstremitas dan Status Neurologis


Pitting Edema (+/+) pada kedua tangan dan kaki, petekie (-/-), akral
hangat (+/+), a. dorsalis pedis kuat (+/+), sianosis (-),pucat (-)
LENGAN TUNGKAI
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Tonus Normal Normal Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Clonus Negatif Negatif
Reflek
Biseps (+), triceps (+) Patella (+), achilles (+)
fisiologis
Reflek Hoffman (-), tromner (- Babinski (-), chaddock (-),
patologis ) gordon (-)
Meningeal Kaku kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-),
sign kernig (-)
Sensibilita
Normal
s

Kesan : Pemeriksaan ekstremitas didapatkan Pitting Edema pada kedua


tangan dan kaki, status neurologis dalam batas normal.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
20 Juni 2018
Nama Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Rutin 3 diff
Leukosit 6.4 x 103/ul 3.6 – 11
Eritrosit (L) 3.36x 106/ul 3.80 - 5.20
Hemoglobin (L) 9.1 g/dl 11.7 – 15.5
Hematokrit (L) 27.8% 35 – 47
Trombosit 274 x 103/ul 140 – 440
Neutrofil (H) 73.2 % 50-70 %
Limfosit (L) 21.7 % 25-40
Monosit 5.1 % 2-8%
MCV 83 80 - 100
MCH 27 26.0 – 34.0
MCHC 32.7 32 - 36
MPV (L) 8.5 fl 9.0 – 13.0

Golongan Darah + Rhesus


Gol. Darah B
Rhesus Positif

KIMIA KLINIK
SGOT 16 < 33
SGPT 15 < 50
Ureum (H) 142 13.0 – 43.0
Kreatinin (H) 7.8 0.9 – 1.3
Gula Darah Sewaktu (Stik) (H) 226 70 - 140

Elektrolit
Natrium (L) 128.2 135 - 148
Kalium (H) 5.71 3.50 – 5.10

Kesan: Pemeriksaan Laboratorium didapatkan penurunan Eritrosit,


Hemoglobin, Hematokrit, Limfosit dan Natrium serta peningkatan Neutrofil,
Ureum Kreatinin, Gula Darah Sewaktu dan Kalium.
Elektrokardiografi

Interpretasi :

Irama : sinus rhytm


Heart Rate : 72x/menit
Axis : normoaxis
Gelombang P : normal
P-R interval : normal
ST segmen : normal
Gelombang T : T inverted tidak pada lead yang berpasangan

Kesan  Normal

Laju Filtrasi Glomerulus

LFG = (140-58) x 54 /72 x 7.8 x 0.85 = 6.7

J. DAFTAR MASALAH
 Anamnesis : sesak nafas, batuk, mual, pusing, badan lemas, bengkak
pada tangan dan kaki, riwayat sakit ginjal dan hipertensi rutin kontrol
dokter spesialis dalam, riwayat minum jamu dan jarang mengkonsumsi
air putih sering mengkonsumsi teh, obat-obatan yang di konsumsi
Amlodipin, Candesartan, Asam folat.
 Pemeriksaan fisik : TD 179/90, conjungtiva anemis, ronki pada seluruh
lapang paru, pitting edem ekstremitas pada tangan dan kaki.
 Pemeriksaan Laboratorium : Hb rendah (9.1), Azotemia (Cr 7.8, Ur 142),
GDS tinggi (226), hiperkalemi (5.71), hiponatremia (128)
 Rontgen : edem paru dengan cardiomegali
 Laju Filtrasi Glomerulus = 6.7

K. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


 Chronic Kidneys Disease Stage V
 Edem Paru
 Hipertensi Stage II
 Hiperkalemi
 Diabetes Melitus
 Anemia Normositik Normokromik e.c CKD

L. TERAPI
- O2 3 lpm
- Inf. RL 8 tpm
- Inj. Furosemide IIA/8 jam
- Fasorbid tab 3x5mg
- Natrium Bicarbonat tab 3x500mg
- Amlodipin tab 1x10mg
M. FOLLOW UP

TANGGAL SOA PLANNING


21– 06– S/ Sesak nafas, badan lemas, P/
2018 pusing, bengkak pada tangan dan - O2 3 lpm
kaki, nafsu makan menurun. - Inf. RL 8 tpm
Demam (-), nyeri perut (-), batuk (- - Inj. Furosemide IIA/8
), BAK sakit (-), BAB cair/sulit (-) jam
O/ - Fasorbid tab 3x5mg
- KU : tampak sesak, - Natrium Bicarbonat tab
Compos Mentis 3x500mg
- TD : 130/90 - Amlodipin tab 1x10mg
- N : 80 x/menit - Kalitake tab 3x1
- RR : 20 x/menit - Asam folat tab 1x1
- S : 36.5°C Program
- KL : CA (-/-), SI (-/-), - Diet Uremic, DM 1700
sekret hidung (-), mukosa - Pasang DC
bibir kering (-), PKGB (-). - Motivasi Hemodialisa
- Tho: BJ I.II Reguler, SDV - Konsul Dokter
(+/+), Ronkhi (+/+), Anestesi  pasang HD
Whezzing (-/-) Cath
- Abd: Supel (+), Peristaltik - Rontgen post pasang
(+), Nyeri Tekan (-), HD Cath
kembung (-) hepatomegali
(-), splenomegali (-).
- Eks: Akral hangat (+),
oedem kaki kanan (+/+),
ADP kuat (+)
- GDS : (H) 221
A/
 Chronic Kidneys Disease
Stage V
 Edem Paru
 Hipertensi stage II
 Hiperkalemi
 Anemia normositik
normokromik
 Diabetes Melitus

TANGGAL SOA PLANNING


22– 06– S/ Sesak nafas berkurang, badan P/
2018 lemas, pusing, bengkak pada - Diet uremic, DM 1700
tangan dan kaki, nafsu makan - O2 3 lpm
menurun. - Inf. RL 8 tpm
Demam (-), nyeri perut (-), batuk (- - Inj. Furosemide IIA/8
), BAK sakit (-), BAB cair/sulit (- jam
), post pasang HD Cath - Fasorbid tab 3x5mg
O/ - Natrium Bicarbonat
- KU : tampak sesak, tab 3x500mg
Compos Mentis - Amlodipin tab 1x10mg
- TD : 140/80 - Asam Folat tab 1x1
- N : 80 x/menit - Kalitake tab 3x1
- RR : 20 x/menit Program :
- S : 36°C - Cek Hb, Ureum
- KL : CA (-/-), SI (-/-), Kreatinin, Kalium,
sekret hidung (-), mukosa Albumin, Urin Rutin,
bibir kering (-), PKGB (-). HbsAg, Anti-HCV,
- Tho: BJ I.II Reguler, SDV Anti-HIV
(+/+), Ronkhi (+/+),
Whezzing (-/-)
- Abd: Supel (+), Peristaltik
(+), Nyeri Tekan (-),
kembung (-) hepatomegali
(-), splenomegali (-).
- Eks: Akral hangat (+),
oedem kaki kanan (+/+),
ADP kuat (+)
- Urin 1500cc
- Laboratorium : terlampir
- Rontgen : terlampir
A/
 Chronic Kidneys Disease
Stage V
 Edem Paru
 Hipertensi stage II dengan
perbaikan
 Diabetes Melitus
 Anemia normositik
normokromik
 hiperkalemia

Pemeriksaan : 22 Juni 2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN


HEMATOLOGI
Hemoglobin (L) 8.8 11.7 – 15.5
KIMIA KLINIK
Albumin (L) 2.4 3.5 – 5.2
Ureum (H) 90 13 – 43
Kreatinin (H) 5.3 0.6 – 1.1
ELEKTROLIT
Kalium 4.24 3.5 – 5-1
SERO IMUNOLOGI
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
Anti-HCV Negatif Negatif
Anti-HIV Negatif Negatif
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
URIN LENGKAP
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Agak keruh Jernih
Glukosa Trace (+/-) Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Berat Jenis 1.020 1.003 – 1.030
Darah +1 Negatif
pH Urin 7.0 4.8 – 7.8
Protein +3 Negatif
Urobilinogen 3.2 < 16.9
Nitrit Negatif Negatif
SEDIMEN
Leukosit (H) 4 – 5 1–4
Eritrosit (H) 2 – 3 0–1
Epitel Squamous 2–3 5 – 15
Bakteri Positif/sedikit
Kristal Negatif
Silinder Positif
 Hyalin 0 – 2/lpb
Lain-lain Negatif

Rontgen Thorax AP

Hasil :

Kesan : Cardiomegali dengan Oedema Pulmonum


TANGGAL SOA PLANNING
23– 06– S/ Nyeri pada bekas HD Cath, P/
2018 Sesak (-), badan lemas, pusing, - O2 3 lpm
bengkak pada tangan dan kaki, - Diet uremic, DM 1700
nafsu makan menurun. - Inf. RL 8 tpm
Demam (-), nyeri perut (-), batuk (- - Inj. Furosemide IIA/8
), BAK sakit (-), BAB cair/sulit (-) jam
O/ - Fasorbid tab 3x5mg
- KU : sedang, Compos - Natrium Bicarbonat
Mentis tab 3x500mg
- TD : 150/90 - Amlodipin tab 1x10mg
- N : 80 x/menit - Asam Folat tab 1x1
- RR : 20 x/menit - Kalitake tab 3x1
- S : 36.5°C
- KL : CA (-/-), SI (-/-), Program :
sekret hidung (-), mukosa - Medikasi HD Cath
bibir kering (-), PKGB (-).
- Tho: BJ I.II Reguler, SDV
(+/+), Ronkhi (-/-),
Whezzing (-/-)
- Abd: Supel (+), Peristaltik
(+), Nyeri Tekan (-),
kembung (-) hepatomegali
(-), splenomegali (-).
- Eks: Akral hangat (+),
oedem kaki kanan (+/+),
ADP kuat (+)
- Urin 1500cc
A/
 Chronic Kidneys Disease
Stage V
 Edem paru dengan
perbaikan
 Hipertensi stage II dengan
perbaikan
 Diabetes Melitus
 Anemia normositik
normokromik
 Hiperkalemia

TANGGAL SOA PLANNING


24– 06– S/ Nyeri pada bekas HD Cath, P/
2018 badan lemas, pusing, bengkak - O2 3 lpm
pada tangan dan kaki, nafsu - Diet uremic, DM 1700
makan menurun, perut sebah. - Inf. RL 8 tpm
Demam (-), sesak (-), batuk (-), - Inj. Furosemide IIA/8
BAK sakit (-), BAB cair/sulit (-) jam
O/ - Fasorbid tab 3x5mg
- KU : sedang, Compos - Natrium Bicarbonat tab
Mentis 3x500mg
- TD : 110/80 - Amlodipin tab 1x10mg
- N : 79 x/menit  stop
- RR : 20 x/menit - Asam Folat tab 1x1
- S : 36.3°C - Kalitake tab 3x1 
- KL : CA (-/-), SI (-/-), stop
sekret hidung (-), mukosa - Inj. Metoklopramid
bibir kering (-), PKGB (-). IA/12jam
- Tho: BJ I.II Reguler, SDV Program :
(+/+), Ronkhi (-/-), - Hemodialisa :
Whezzing (-/-) UFG ± 2.5 lt
- Abd: Supel (+), Peristaltik Qb 100
(+), Nyeri Tekan (-), Qd standar
kembung (-) hepatomegali Durasi 4 jam
(-), splenomegali (-). Heparin standar
- Eks: Akral hangat (+), - PRC 2 kolf saat HD
oedem kaki kanan (+/+), - Inj. Ca gluconas IA extra
ADP kuat (+) saat HD
- Urin 3300cc - Cek GDS saat HD
A/ - Post HD cek Hb, Ureum
 Chronic Kidneys Disease kreatinin
Stage V
 Edem paru dengan
perbaikan
 Hipertensi stage II
dengan perbaikan
 Diabetes Melitus
 Anemia normositik
normokromik
 Hiperkalemia

TANGGAL SOA PLANNING


25– 06– S/ Pasien post HD, pusing, P/
2018 mual, perut sebah, badan lemas - O2 3 lpm
O/ - Diet uremic, DM 1700
- KU : lemah, Compos - Inf. RL 8 tpm
Mentis - Inj. Furosemide IIA/8
- TD : 200/100 jam
- N : 95 x/menit - Inj. Metoklopramid
- RR : 20 x/menit IA/8 jam
- S : 36.5°C - Fasorbid tab 3x5mg
- KL : CA (-/-), SI (-/-), - Natrium Bicarbonat tab
sekret hidung (-), mukosa 3x500mg
bibir kering (-), PKGB (-). - Asam Folat tab 1x1
- Tho: BJ I.II Reguler, SDV - Adalat oros tab 1x1
(+/+), Ronkhi (-/-), - Analsik tab 3x1 k/p bila
Whezzing (-/-) nyeri
- Abd: Supel (+), Peristaltik
(+), Nyeri Tekan (-),
kembung (-) hepatomegali
(-), splenomegali (-).
- Eks: Akral hangat (+),
oedem kaki kanan (+/+),
ADP kuat (+)
- Urin 1000cc sore
- Lab : Hb 11.4 (L), GDS
107, Ureum 47 (H),
kreanitin 3.8 (H)

A/
 Chronic Kidneys Disease
Stage V
 Edem paru dengan
perbaikan
 Hipertensi stage II
dengan perbaikan
 Diabetes Melitus dengan
perbaikan
 Anemia normositik
normokromik
 Hiperkalemia
TANGGAL SOA PLANNING
26– 06– S/ P/
2018 Pasien post HD hari ke 1, - O2 3 lpm
sedikit pusing, mual, perut - Diet uremic 1700
sebah, bengkak berkurang - Inf. RL 8 tpm
- Inj. Furosemide IIA/8
O/ jam
- KU : lemah, Compos - Inj. Metoklopramid
Mentis IA/8 jam
- TD : 140/80 - Fasorbid tab 3x5mg
- N : 80 x/menit - Natrium Bicarbonat tab
- RR : 20 x/menit 3x500mg
- S : 37°C - Asam Folat tab 1x1
- KL : CA (-/-), SI (-/-), - Adalat Oros tab 1x1
sekret hidung (-), mukosa - Analsik tab 3x1
bibir kering (-), PKGB (-). - Candesartan tab
- Tho: BJ I.II Reguler, SDV 1x16mg
(+/+), Ronkhi (-/-),
Whezzing (-/-)
- Abd: Supel (+), Peristaltik
(+), Nyeri Tekan (-),
kembung (-) hepatomegali
(-), splenomegali (-).
- Eks: Akral hangat (+),
oedem kaki kanan (+/+),
ADP kuat (+)
- Urin 1000cc

A/
 Chronic Kidneys Disease
Stage V
 Edem paru dengan
perbaikan
 Hipertensi stage II
dengan perbaikan
 Diabetes Melitus dengan
perbaikan
 Anemia normositik
normokromik
 Hiperkalemia

TANGGAL SOA PLANNING


27– 06– P/
S/ Pasien post HD hari ke 2,
2018 - O2 3 lpm
bengkak sudah berkurang,
- Diet uremic 1700
pusing (-), sesak (-), mual (+),
- Inf. RL 8 tpm
muntah (-)
- Inj. Furosemide IIA/8
O/
jam
- KU : sedang, Compos
- Inj. Metoklopramid
Mentis
IA/8 jam
- TD : 130/90
- Fasorbid tab 3x5mg
- N : 80 x/menit
- Natrium Bicarbonat tab
- RR : 20 x/menit
3x500mg
- S : 37°C
- Asam Folat tab 1x1
- KL : CA (-/-), SI (-/-),
- Adalat Oros tab 1x1
sekret hidung (-), mukosa
- Analsik tab 3x1
bibir kering (-), PKGB (-).
- Candesartan tab
- Tho: BJ I.II Reguler, SDV
1x16mg
(+/+), Ronkhi (-/-),
Program :
Whezzing (-/-)
- Cek Hb, protein total,
- Abd: Supel (+), Peristaltik
albumin, globulin
(+), Nyeri Tekan (-),
- Obat pulang :
kembung (-) hepatomegali Fasorbid tab 3x5mg
(-), splenomegali (-). Metoklopramid tab
- Eks: Akral hangat (+), 3x10mg
oedem kaki kanan (+/+), Furosemid tab 40mg 1-0-
ADP kuat (+) 0
- Urin 1000cc Candesartan tab 1x16mg
- Lab : Hb 11.8, protein Adalat oros tab 1x30mg
total 5.6 (L), albumin 2.5 Cefixime caps 100mg 1-
(L), globulin 3.1 0-1
- Edukasi :
A/ HD rutin 2x/minggu
 Chronic Kidneys Disease Kontrol rutin
Stage V Konsumsi minyak ikan
 Edem paru dengan
gabus
perbaikan
 Hipertensi stage II
dengan perbaikan
 Diabetes Melitus dengan
perbaikan
 Anemia normositik
normokromik dengan
perbaikan
 Hiperkalemia
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis pasien mengeluh sesak nafas yang tidak


membaik dengan istirahat, keluhan disertai bengkak pada tangan dan kaki, badan
lemas, batuk dan nafsu makan menurun. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang
lama, riwayat mengkonsumsi jamu gendong, jarang mengkonsumsi air putih dan
sering mengkonsumsi air teh. Kemudian dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah 170/90, conjungtiva anemis, didapatkan suara ronki pada seluruh lapang paru
serta pitting edem pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang, hasil laboratorium didapatkan Hb


rendah 9.1, ureum meningkat 142, kreatinin meningkat 7.8 dan gula darah sewaktu
meningkat 226, kalium meningkat 5.7. Kemudian dari pemeriksaan rontgen
didapatkan edem paru dengan cardiomegali, serta berdasarkan perhitungan laju
filtrasi gromelurus menggunakan rumus Kockcroft-Gault didapatkan hasil 6.7.

Pada kasus ini pasien didiagnosa Chronic Kidney Disease stage V, Edem
paru, Hipertensi stage II, Diabetes Melitus, Hiperkalemi, Anemia Normositik
Normokromik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI FISIOLOGI GINJAL

Anatomi
Ginjal adalah sepasang organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak
saling bersebelahan dengan vertebra di bagian posterior inferior tubuh manusia
yang normal. Setiap ginjal mempunyai berat hampir 115 gram dan mengandungi
unit penapisnya yang dikenali sebagai nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan
tubulus. Glomerulus berfungsi sebagai alat penyaring manakala tubulus adalah
struktur yang mirip dengan tuba yang berikatan dengan glomerulus. Ginjal
berhubungan dengan kandung kemih melalui tuba yang dikenali sebagai ureter.
Urin disimpan di dalam kandung kemih sebelum ia dikeluarkan ketika berkemih.
Uretra menghubungkan kandung kemih dengan persekitaran luar tubuh (Pranay,
2010).
Fisiologi

Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak
(sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah
“menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit
atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120
ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus
sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Selain itu, fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi
cairan ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel
ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus (Guyton dan
Hall,2007).
a. Fungsi Ginjal
1. Fungsi ekskresi
 Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah ekskresi air.
 Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan
kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3ˉ.
 Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang
normal.
 Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein
terutama urea, asam urat dan kreatinin.
2. Fungsi non ekskresi
 Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.
 Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam
stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.
 Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
 Degradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, paratiroid hormon,
prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH dan hormon gastrointestinal
(gastrin, polipeptida, intestinal vasoaktif).
 Menghasilkan prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator,
bekerja secara lokal, untuk melindungi dari kerusakan iskemik ginjal
b. Fungsi Nefron
Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan
substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi
yang paling penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti
urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium,
klorida dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam tubuh secara
berlebihan (Guyton dan Hall, 2007).

Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak


diperlukan dalam tubuh adalah:
 Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang
akan menghasilkan cairan filtrasi.
 Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak
diperlukan tidak akan direabsorpsi sedangkan substansi yang
diperlukan direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler
peritubulus.

Substansi-substansi yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi dan plasma


langsung melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi
urine yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi
yang difiltrasi dan juga sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi. Nefron
berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh
dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang
masih diperlukan tubuh, molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi
dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan
kotranspor, hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.

Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula
(badan malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus). Setiap
korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang
berada dalam kapsula bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri
afferent. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau
penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari
glomerulus dan kapsula bowman karena adanya tekanan daridarah yang mendorong
plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah
yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri efferent.
Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula bowman
terdapat tiga lapisan:
 Kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus
 Lapisan kaya protein sebagai membran dasar
 Selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman (podosit)

Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari


glomerulus, melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam
kapsula Bowman dalam bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak
mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk
molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal
sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc
filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan untuk
tes diagnosa fungsi ginjal (Guyton dan Hall, 2007).

Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang


mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi
proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus
konvulasi distal. Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu Friedrich
Gustav Jakob Henle di awal tahun 1860-an. Lengkung Henle menjaga gradien
osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang
melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP dan
memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam
amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk
ke dalam tubulus konvulasi
dan tubulus kolektivus melalui osmosis.

Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang
terdiri dari:
 Tubulus penghubung
 Tubulus kolektivus kortikal
 Tubulus kloektivus medularis

Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus


juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel
juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin cairan menjadi
makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang
kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter.

CHRONIC KIDNEY DISEASE

DEFINISI
Penyakit gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal, selanjutnya
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireverrsibel pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindromklinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ akibat penurunan
fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik (Dennis, 2005).
EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di


Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per
1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah
berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di
Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta
penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di Malaysia dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahun.Di
negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
juta/tahun.

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000


(Murray et al., 2007 & Suwitra, 2007) yaitu:
1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih (Arora,
2014).

ETIOLOGI

Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :


1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan pembuluh darah ginjal
a. Arterisklerosis
b. Nefrosklerosis
4. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
c. Gangguan tubulus primer
d. Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
5. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
6. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia renalis)
KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar
derajat penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit
dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma,
umur, jenis kelamin, etnik. Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet
pada penyakit ginjal yaitu :

Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut :

Berdasarkan laju filtasi glomerulus :

Klasifikasi Berdasarkan Keparahan


GFR
Derajat Deskripsi
mL/min/1.73 Keadaan Klinis
m2
1 Kerusakan ginjal dengan Albuminuria,
GFR Normal atau ≥ 90 proteinuria,
meningkat hematuria
2 Kerusakan ginjal dengan Albuminuria,
penurunan GFR ringan 60-89 proteinuria,
hematuria
3 Penurunan GFR sedang Insufisiensi ginjal
30-59
kronik
4 Penurunan GFR berat Insufisiensi ginjal
15-29
kronik, pre-ESRD
5 Gagal ginjal < 15 Gagal ginjal,
Atau dialisis uremia, ESRD

PATOFISIOLOGI
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron
terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang
masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron sudah
berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan
lagi (Price et al, 2005).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam
usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi dan
reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk seluruh
massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal, namun jika
75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban solut bagi setiap
nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan keseimbangan glomerulus tubulus
tidak dapat dipertahankan lagi (Price et al, 2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia. Retensi
cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu mengkonsentrasikan dan
mengencerkan urin.Respon ginjal yang tersisa terhadap masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita sering menahan cairan dan natrium,
sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin dan
angiotensin. Kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah
dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat memperberat stadium
uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring
dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al,
2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang tidak
adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin adalah suatu
substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-sum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD, produksi erytropoetin
menurun dan anemia berat akan terjadi disertai keletihan, angina dan sesak nafas
(Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan. Dengan
menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat
serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine
penderita.Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al, 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al, 2005).
Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu
(McCance dan Sue, 2006):
A. Penurunan Fungsi Ginjal. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR <
50%. Pada keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun sudah
terdapat peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
B. Insufisiensi Ginjal. Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak
dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR
mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal
yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan
kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi urin,
nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjala saat stres dapat terjadi
pada tahapan ini.
C. Gagal Ginjal. Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia,
asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan
elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal
ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada
sistem organ lain.
D. ESRD. End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari gangguan
fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang berat. GFR
hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi juga terganggu,
dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi cairan, dan
gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler, hematologi,
neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan tulang dan mineral
juga dapat terjadi.

MANIFESTASI KLINIS

Sistem Klinis
Kardiovaskuler Hipertensi
Pembesaran vena leher
Pitting edema
Friction rub pericardial
Edem periorbital
Pulmoner Nafas dangkal
Kusmaul
Krekels
Sputum kental
Gastrointestinal Konstipasi / diare
Anoreksia, mual dan muntah
Nafas berbau ammonia
Perdarahan saluran GI
Ulserasi dan perdarahan pada mulut
Integumentum Kulit kering, bersisik
Warna kulit abu-abu mengkilat
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
Pruritus
Ekimosis
Muskuloskeletal Kehilangan kekuatan otot
Kram otot
Fraktur tulang
Reproduksi Amenore
Atrofi testis
Sindrom uremic Lemah letargi
Anoreksia
Mual dan muntah
Nokturia
Kelebihan volume cairan (volume
overload).
Neuropati perifer
Uremic frost
Perikarditis
Kejang
Koma.
Hematologi Anemia

a. Kelainan hematologi
 Anemia
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang
ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik
(Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity
(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007;
Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).
 Gangguan pembekuan
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan
aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan gangguan
konsumsi protrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal,
perdarahan dari luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro
intestinal,dll.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi
oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein
dan antibiotika.

c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia
yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit
garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost (Kumar et al., 2007).
e. Kelainan kardiovaskular
 Penyakit jantung iskemik
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari
faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia,
dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor
resiko non-tradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme,
dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat
penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut,
seperti interleukin 6 dan C-reaktif protein, yang menyebabkan proses
penyumbatan koroner dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler.
Nitride oksida merupakan mediator yang penting dalam pada dilatasi
vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun
sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin.

 Gagal jantung kongestif


Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau left
ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam pada
uremia, kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
 Hipertensi dan Hipertrofi ventrikel kiri
Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering.
Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya hipertrofi
ventrikel.
f. Gangguan metabolik endokrin
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme glukosa dan pada
wanita terjadi penurunan hormon estrogen, sehingga terjadi amenorea, dan
kemungkinan untuk menjadi hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang
telah menjalani dialisis dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi,
oligospermia, displasia sel germinal, yang menurunkan kadar testosteron
plasma.
g. Kelainan neuromuskular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan
fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik.
Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan
konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups,
keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada uremia terminal, didapatkan
astherixis, mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma.
Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik,
ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian
proximal.
h. Gangguan keseimbangan elektrolit
 Homeostasis Natrium dan Air.
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil
kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan
penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang
menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan
menyebabkan penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume
cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan
hipertensi yang menyebabkan kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan
penyakit ginjal kronik yang belum di dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi
CES, pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam
dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga
memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.
Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi seperti muntah,
diare, berkeringat, demam, pasien akan mengalami kekurangan CES.
 Homeostasis Kalium.
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan
penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat
terjadi dengan gejala klinis berupa konstipasi, katabolisme protein,
hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented
dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat dapat menghambat
kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal
nefron. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik. Biasanya
merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi
diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.
 Metabolik Asidosis.
Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan
produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis
metabolik ialah akibat yang tidak dapt dihindarkan. Pada kebanyakan pasien
dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium
bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respons
terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber endogen atau
eksogen), pasien gagal ginjal kronik, rentan terhadap asidosis, yang
dibutuhkan jumlah alkali yang besar utuk koreksi. Pemberian natrium harus
dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.

i. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat


Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat
diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau
low bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari
penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidism berhubungan dengan
metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
 Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat
(PO43- ) dan menimbulkan retensi PO43
 Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan
masa sel kelenjar para tiroid.
 Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang
berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan dengan supresi
produksi kalsitriol (1,25 – dihidroksi oleh kalsiferol).
 Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis
akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia.
Kadar kalsitriol yang rendah, pada akhirnya, menimbulkan
hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung dan tidak langsung.
Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH.
Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik
menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol
menimbulkan gannguan absorbsi Ca2+ dari traktus gasrto interstinal, yang
kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya meningkatkan
sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan
produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan
hiperparatiroid sekunder. Low turn over bone disease dapat
diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan penyakit tulang
adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah
osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas.
Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak
termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat
menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan deposit aluminium, atau
asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai kejadian
lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan
gagal ginjak kronik, dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes.
Penyakit tulang adinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volume
tulang dan mineralisasi dan merupakan hasil supresi produksi PTH denagn
terapi kalsitriol. Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal
kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan
dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
(1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan
asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien
dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia,SLE,dll.
b. Sindroma Uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan ( volume overload ), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, klorida)
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft – Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokomiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isosteinuria.
Gambaran Radiologis
Gambaran radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjalan bila ada indikasi
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologis Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana didiagnosis secara non
invasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi
yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana
ukuran ginjal yang sudah mengecil ( contracted kidney ), ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah,
gagal napas dan obesitas.

TATALAKSANA

Farmakoterapi (menurut NICE guidelines)

A. Kontrol tekanan darah


 Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg
(dengan kisaran target 120 – 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90
mmHg.
 Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR 70
mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau
lebih, atau proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga
tekanan sistolik < 130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan
tekanan diastolik < 80 mmHg.
B. Pemilihan agen antihipertensi
1st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila ACE Inhibitor tidak dapat mentolerir).

ACE Inhibitor/ARBs diberikan pada:


 Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau
lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium
GGK.
Note: Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan di sini untuk
memulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang dengan CKD dan
proteinuria. Potensi manfaat ACE inhibitor dalam konteks ini sangat
meningkat jika seseorang juga memiliki diabetes dan hipertensi dan dalam
keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah diterapkan.
 GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau
lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria
0,5 gr/24jam atau lebih).
 GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira
ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24jam
atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardivaskular.
 GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR < 30 mg/mmol (kira-
kira ekuivalen dengan PCR < 50 mg/mmol, atau proteinuria < 0,5
gr/24jam.
 Saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs, upayakan agar mencapai dosis
terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan
terapi 2nd line (spironolakton).
 Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs:
 Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium
dan perkiraan LFG sebelum memulai terapi ACE Inhibitor/ARBs.
Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah
penggunaan obat, dan setelah peningkatan dosis.
 Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi
serum potassium secara signifikan > 5,0 mmol/L.
 Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut,
karena menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan
hiperkalemia.
 Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs yang
dapat
 juga mencetuskan hiperkalemia, bukan kontraindikasi penggunaan
terapi tersebut, tapi harus menjaga konsentrasi serum potassium.
 Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat >
6,0 mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat
meningkatkan hiperkalemia sudah tidak digunakan.
 Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum
terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas
awal kurang dari 30%.
 Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin
plasma 30% atau lebih:
- Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs.
- Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis
harus diturunkan dan alterlatif antihipertensi lain bisa digunakan.

C. Pemilihan statins dan antiplatelet


 Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular.7
Pada orang dengan GGK, penggunaannya-pun tidak berbeda.
 Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan
sekunder dari penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipid-nya.
 Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan
sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan
kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus
memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor pada orang dengan
GGK yang diberikan antiplatelet multipel.
D. Komplikasi lainnya
Metabolisme tulang dan osteoporosis
 Melakukan pengukurang rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid hormone
(PTH) dan level vitamin D pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B,
tidak tirekomendasikan.
 Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada orang
dengan GGK stadium 4 dan 5 (LFG < 30 ml/min/1,73m2).
 Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk mencegah dan
mengobati osteoporosis pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B.
 Pemberian suplemen vitamin D:
 GGK stadium 1, 2, 3A/3B diberikan cholecalciferol atau ergocalciferol.
 GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol
(alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).
 Monitor konsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang
mendapatkan terapi diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol
(alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).

Anemia
 Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl (atau 10
g/dl pada usia < 2 tahun).
 Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan. Dengan
memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2.
 Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:
 Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100
mikrogram/L.
 Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin < 100
mikrogram/L.
 Penanganan Anemia
1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia
menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi
untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di demonstrasikan dengan
plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant
eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah
dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini
memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah
transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang
membutuhkan transfusi reguler. Pada gambar.3, saat sejumlah
erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien
reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis
tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB
yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap
penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah
meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi
untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama
dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat
terlihat.
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan
viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer.
Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas darah
bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat
peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi
human recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit.
Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagubilitas.
Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan
hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer
karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan
keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh
eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien
dengan peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan
bahwa recombinant human eritropoetin harus digunakan dengan hati-
hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek samping ini
dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal,
tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin
merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia. Indikasi dan
Kontraindikasi terapi EPO:
1) Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan
penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
- Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi
transferin > 20%.
- Tidak ada infeksi yang berat.
2) Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO.
3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada
keadaan:
- Hipertensi tidak terkontrol.
- Hiperkoagulasi.
- Beban cairan berlebihan / fluid overload.
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang
cukup, terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada GGK:
 Anemia dengan status besi cukup.
 Anemia defisiensi besi:
- Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L
- Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100
mcg/L
Saturasi Transferin < 20 %
 Terapi Eritropoietin Fase koreksi
Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht
tercapai.
- Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x
seminggu selama 4 minggu.
- Target respon yang diharapkan :
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam
2-4 minggu.
- Pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu.
- Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai
target Hb tercapai (> 10 g/dL).
- Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%.
- Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu,
turunkan dosis 25%.
- Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan
suplemen sesuai dengan panduan terapi besi.

 Terapi EPO fase pemeliharaan:


- Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL). Dosis
2 atau 1 kali 2000 IU/minggu. Pantau Hb dan Ht setiap
bulan Periksa status besi setiap 3 bulan.
- Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL
(dan status besi cukup) maka dosis EPO diturunkan 25%.
Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek
samping diantaranya:
i. Hipertensi:
 tekanan darah harus dipantau ketat terutama
selama terapi eritropoetin fase koreksi.
 pasien mungkin membutuhkan terapi
antihipertensi atau peningkatan dosis obat
antihipertensi.
 peningkatan tekanan darah pada pasien dengan
terapi eritropoietin tidak berhubungan dengan
kadar Hb.
ii. Kejang:
 Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase
koreksi.
 Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat
dan tekanan darah yang tidak terkontrol.
Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon
yang tidak adekwat. Respon EPO tidak adekwat
bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang
dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8
minggu.
 Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekuat
yaitu:
- Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan
penyebab tersering).
- Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC,
SLE,AIDS).
- Kehilangan darah kronik.
- Malnutrisi.
- Dialisis tidak adekuat.
- Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor
antagonis).
- Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi
alumunium, hemoglobinopati seperti talasemia beta dan
sickle cell anemia, defisiensi asam folat dan vitamin B12,
multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis,
keganasan).
 Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan
terapi penunjang yang berupa pemberian:
- Asam folat : 5 mg/hari
- vitamin B6: 100-150 mg
- vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
- vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi
besi fungsional yang mendapat terapi EPO.
- vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor
eritroid
- vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif
yang diakibatkan terapi besi intravena.
- Preparat androgen (2-3 x/minggu):
i. Dapat mengurangi kebutuhan EPO
ii. Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien
dengan gangguan fungsi hati
iii. Tidak dianjurkan pada wanita

2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.


Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal
dialisis pada dasarnya dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia
pada gagal ginjal, sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang
menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain itu,
pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangannya lebih cepat
daripada menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi
pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang
toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya. Pendekatan sederhana
untuk meningkatkan terapi dtoksifikasi pada uremia dengan
meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi
dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang
memuaskan. Misalnya, tidak ada data yang membuktikan bahwa
hemofiltrasi yang mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang
lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaran selulosa yang
kecil, merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada
gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory peritoneal dialysis
(CAPD) , juga merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan
molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan dengan hemodialisis
standar dengan membaran selulosa yang kecil. Hal ini masih tidak jelas
jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang lebih baik
dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan CAPD
meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan
karena oleh itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya
belum diketahui.
3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine.
Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi
aluminium, terapi dapat selektif dan efektif efek aluminium yang
memperberat pada anemia dengan gagal ginjal selalu harus diasumsikan
ketika terjadi anemia mikrositik dengan normal atau peningkatan feritin
serum pada pasien reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkan denan
peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik
oral maupun dialisat, gejala intoksikasi aluminium seperti ensekalopati
penyakit tulang aluminium , dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi
utama adalah pemberian chelator deferoxamin (DFO) IV selama satu
sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau hemofiltrasi atau CAPD.
Range dosis 0,5 – 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO memobilisasi aluminium
sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang dengan terapi
dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi,
toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena
infeksi jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi
sementara waktu, pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek
DFO pada anemia dapat berakibat drastis, yang menggambarkan
perubahan nilai hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium,
MCV, MCH pada pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan
aluminium. Pada permulaan terapi pasien mengalami anemia mikrositik
peningkatan nilai aluminium serum dan feritin. Setelah beberapa bulan
terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada nilai diatas normal,
hemoglobin meningkat secara signifikan dan feritin serum dan
aluminium menurun.
4. Mengkoreksi hiperparatiroidism.
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal,
paratiroidektomi bukan merupakan indikasi untuk terapi anemia.
Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid dengan 1,25-dihidroksi
vitamin D3 biasanya berhubungan dengan peningkatan anemia.
5. Terapi Androgen.
Efek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan produksi
eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin yang
sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosteron
propionat, enanthane, cypionate), derivat 17-metil androstanes
(fluoxymesterone, oxymetholone, methyl testosterone), dan komponen
19 norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropionate)
telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Respon
nya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi.
Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg, 1 x
seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus dibatasi karena efek
sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio
anabolik : androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit
menyebabkan hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita.
Fluoksimesterone dapat menyebabkan priapismus pada pasien pria.
Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan komplikasi pada
penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17 methylated steroid. Pada
keadaan meningkatnya transaminase darah yang progesif dan bilirubin
serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun, komponen 17-
methylated steroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan
dapat diberikan secara oral. Terapi dengan androgen dapat
menimbulakan gejala prostatism atau pertumbuhan yang cepat dari Ca
prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik
adalah efek samping lainnya pada terapi ini.
6. Suplementasi besi.
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi
besi pada usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi
ferritin serum satu atau dua kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi
besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral lebih
dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk
memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus
dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi
IV lebih aman dan nyaman dibanding injeksi intra muskular. Syok
anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi
parenteral. Untuk emngurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini,
pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil dari total
dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi dapat
diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap
harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5%
iron dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.
Terapi besi fase pemeliharaan:
a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis
selama terapi EPO.
b. Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L – < 500 mcg/L Saturasi
transferin > 20 % – < 40 %
c. Dosis
- IV : iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu
iron dextran : IV : 50 mg/minggu
iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu
- IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
- Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari
- Status besi diperiksa setiap 3 bulan
- Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan
terapi besi dosis pemeliharaan.
- Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%,
suplementasi besi distop selama 3 bulan.
- Bila pemeriksaan ylang setelah 3 bulan feritin serum < 500
mcg/L dan saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat
dilanjutkan dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.
7. Transfusi darah.
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi
darah adalah:
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
- Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL
- Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
- Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO
ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat,
sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan
transfusi darah dengan hati-hati.
- Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL
(tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan
secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Pada kelompok pasien
yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi
darah sedapat mungkin dihindari.

E. Nutrisi
Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan energi dan nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala uremia dan
menunda percepatan penurunan fungsi ginjal atau memperlambatnya. Status
nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka mortalitas pada pasien dengan GGK.
Dianjurkan kecukupan energy > 35 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60
tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan
30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup untuk mencegah terjadinya
proses katabolik. Bila asupan peroral tidak memadai untuk memenuhi
kebutuhan nutrisis sehari-hari sesuai dengan status gizi seseorang, dapat
ditambahkan nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak
dan karbohidrat sebesar 25% : 75%. Selain itu diberikan kombinasi dari asam
amino esensial dan non esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat
adalah 5 g/kgBB. Sedangkan lipid diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk
fat emulsion 10-20% sebanyak 500 mL.
Diet rendah garam, dalam bentuk protein sekitar 0,6 – 0,75%
g/kgBB/hari,dengan protein yang memiliki nilai biologic tinggi, sebesar 0,35
g/kgBB/hari tergantung dari beratnya gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan
gagal ginjal krooni harus mengurangi asupan proeinnya karena protein berlebih
akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion inorganic yang
akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia. Dua penelitian
meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein memperlambat
progresivitas penyakit ginjal diabetik dan non-diabetik. Asupan kalori yang
cukup sekitar 35 kkal/kgBB.

F. Terapi cairan parenteral untuk pasien dengan GGK:


1. Formula Kopple
 Air : 1000-2000 ml/hari
 Glukosa : 500-600 g/hari
 Asam Amino : 35-45 g/hari
 Kalori : 30-50 kkal/kgBB/hari
 NPC/N : 300 (GGK) 500 (GGA)
 Elektrolit : Na, K, Ca, Mg, Zn, dll.
2. Formula Teraoka
 50% glukosa : 1000 ml
 10% NaCl : 40ml
 K aspartat : 1 mEq
 8.5% Ca glukonas : 6 mEq
 Mg sulfat : 6 mEq
 K2PO4 : 1 mEq
 Kidmin : 400-600 ml
 Lipid : 400 ml/w

TERAPI PENGGANTI GINJAL

Terdapat 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu : dialisis dan transplantasi ginjal a.
Dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialis peritoneal dan hemofiltrasi Cuci darah
apabila fungsi ginjal untuk membuang zat-zat metabolik yang beracun dan
kelebihan cairan dari tubuh sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak
mampu lagi menjaga kelangsungan hidup penderita gagal ginjal, maka harus
dilakukan dialisis (cuci darah) sebagai terapi pengganti fungsi ginjal. Ada dua jenis
dialisis yaitu:

1) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)


Cara yang umum dilakukan di Indonesia adalah dengan menggunakan
mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah
dipompa keluar dari tubuh, masuk ke dalam mesin dialiser untuk dibersihkan
melalui proses difusi dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus untuk
dialisis), kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh.
Agar prosedur hemodialisis dapat berlangsung, perlu dibuatkan akses
untuk keluar masuknya darah dari tubuh. Akses tersebut dapat bersifat
sementara (temporer) Akses temporer berupa kateter yang dipasang pada
pembuluh darah balik (vena) di daerah leher. Sedangkan akses permanen
biasanya dibuat dengan akses fistula, yaitu menghubungkan salah satu
pembuluh darah balik dengan pembuluh darah nadi (arteri) pada lengan bawah,
yang dikenal dengan nama cimino. Untuk memastikan aliran darah
pada cimino tetap lancar, secara berkala perlu adanya getaran yang ditimbulkan
oleh aliran darah pada cimino tersebut.
2) Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut).
Adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut
(peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk
dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. Dapat dilakukan pada di
rumah pada malam hari sewaktu tidur dengan bantuan mesin khusus yang
sudah diprogram terlebih dahulu. Sedangkan continuous ambulatory peritoneal
dialysis (CAPD) tidak membutuhkan mesin khusus tersebut, sehingga dapat
dikatakan sebagai cara dialisis mandiri yang dapat dilakukan sendiri di rumah
atau di kantor.
3) Transplantasi ginjal yang dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah
(cadaver).
Cangkok atau transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal
mengatasi gagal ginjal terminal. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua
sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor
kadaver). Akan lebih baik bila donor tersebut dari anggota keluarga yang
hubungannya dekat, karena lebih besar kemungkinan cocok, sehingga diterima
oleh tubuh pasien. Selain kemungkinan penolakan, pasien penerima donor
ginjal harus minum obat seumur hidup. Juga pasien operasi ginjal lebih rentan
terhadap penyakit dan infeksi, kemungkinan mengalami efek samping obat dan
resiko lain yang berhubungan dengan operasi.

Indikasi Hemodialisa Emergensi

1. Asidosis metabolic
2. Hiperkalemi refrakter
3. Edem paru akut
4. Sindrom uremikum
5. Encepalopati uremikum
6. Intoksikasi (alkohol, obat)

Komplikasi Hemodialisa

Komplikasi hemodialisa dapat disebabkan karena penyakit yang mendasarinya


yaitu gagal ginjal kronik atau oleh karena proses saat menjalani hemodialisa.

1. Komplikasi akut
2. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan
perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease.

PROGNOSIS

Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya


buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan
sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri.
Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat
lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penanganannya seringkali terlambat.

BAB IV
KESIMPULAN

 Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa
dialysis atau transplantasi ginjal.
 Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya data-
data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi
ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan
stadium lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah
diagnosis dini dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti
bahwa intervensi atau pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa
dari penyakit tersebut. Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal ginjal
kronik berhubungan dengan adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai
20% diatas nilai normal, sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai
terjadi penurunan fungsi ginjal menjadi 30% dari nilai normal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardaya. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana


Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang:Perhimpunan Nefrologi
Indonesia, 2003:13-22
2. Carpenter, C. B., Lazarus, J. M. 2012. Dialisis dan Transplantasi Dalam
Terapi Gagal Ginjal dalam Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Harrison Edisi 13. Jakarta: EGC. hlm: 1435-1443.

3. Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. Dalam


Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, et al (eds):
Harisson’s Principles od Internal Medicine, 16rd ed. New York,
McGraw Hill, 2005:1653-1663.

4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi


I, et al., 3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing 2009:1035-1040.

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Dalam Ilmu


Penyakit Dalam Vol.1, ed.4. Jakarta: FKUI, 2007:570

6. Nasution MY, Prodjosudjadi W. pemeriksaan penunjang pada penyakit


ginjal. Dalam Noer S. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga.
Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2001:299-306

7. Baigent C, Landry M (2003) Study of heart and renal protection. Kidney


International 63: S207-S210.

8. De Goeij, Moniek CM j, Nora V, Nynke H, Dinanda J de Jager, Elisabeth


B,Yvo WJ Sijpkens, Friedo W Dekker and Diana C Grootendorst. 2011.
Association of blood pressure with decline in renal function and time
until the start of renal replacement therapy in pre-dialysis patients: a
cohort study. BMC Nephrology 2011, 1 2:38.

9. Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen


Anemia Pada pasien Gagal Ginjal Kronik: 2001
10. Ali Z. Nutrisi parenteral pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Dalam
Nefrologi Klinik, Tatalaksana Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang:
perhimpunan nefrologi Indonesia, 2003: 39-34.

11. Abbot C K, Glanton W.C, Trespalacios C.F, Oliver D, Ortiz M, Agoda


L, Cruess D, Kimmel P. Body Mass Index, Dialysis Mortality, and
Survival: Analysis the United States Renal Data System Dialysis
Morbidity and Mortality Wave II Study. Kidney International. 2004. 65,
579-605.

Anda mungkin juga menyukai