Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU BEDAH LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2021


UNIVERSITAS PATTIMURA

UNDESENSUS TESTIS

Oleh
Meilisa Meita Kusdianto
(2015-83-068)

Pembimbing
dr. Helfi Nikijuluw, Sp.B, KBD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. M. HAULUSSY

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2021
2

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. Ajis Soamole
Umur : 34 Tahun
Jenis Kelamin : Pria
Alamat : Galunggung
Tgl. MRS : 08 Februari 2021
Pengantar : Ny. Hasna
No. RM : 026408
Agama : Islam

2. ANAMNESIS
2.1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Adanya benjolan pada perut
Anamnesis:
Pasien dibawa ke rumah sakit Bhaktirahayu dengan keluhan adanya benjolan
pada perut. Dialami kurang lebih 4 bulan lalu, Nyeri sesekali, demam tidak ada,
pusing tidak ada, Nyeri kepala tidak ada, sedikit lemas, sesak sesekali, mual
muntah tidak ada, Nyeri ulu hati sejak mulai minum asam, bab dan bak normal.
2.2.Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes Melitus dan Hipertensi tidak ada, Riwayat alergi tidak ada
2.3.Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak diketahui
2.4.Riwayat Pengobatan
Pasien belum melakukan pengobatan
3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
3

Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6°C
SpO2 : 97%

Kepala : Normocephal
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil isokor
THT : Otorhea (-/-), Rhinorea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorax
Pulmo : I = Jejas (-), pengembangan dada simetris
P = Krepitasi (-), fremitus taktil simetris kiri dan kanan
P = Sonor
A= Vesikuler (+/+), Rh (-/-), wheezing (-/-)
COR : Bunyi jantung I.II reguler.

Abdomen
I = Tampak cembung, NTE (-), defans muskular (-)
A = Bising usus (+) normal,
P = Nyeri perut kanan (-), nyeri uluhati (-),
P = Nyeri ketok CVA (-)

Extremitas
Superior = Akral hangat, edema (-/-), jejas (-/-), deformitas (-/-)
Inferior = Akral hangat, edema (-/-), jejas (-/-), deformitas (-/-)

Genitalia : Tidak diketahui


4

Status Lokalis
Pada abdomen
• Inspeksi : Terdapat massa berukuran ± 20cm
• Auskultasi : Bising usus normal
• Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, teraba massa dan benjolan, mobile (-).
• Perkusi : timpani

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
Pemeriks Hasil Nilai normal
aan
WBC 5,6 4,00-10,0
LYM 2,0 1,0-5,0
MON 0,4 0,1-1,0
GRA 3,2 2,0-8,0
RBC 4,69 4,00-6,20
HGB 14,3 11,0-17,0
HCT 42,2 35,0-55,0
MCU 90,0 80,0-100,0
MCH 30,5 26,0-34,0
MCHC 33,9 31,0-35,5
RDW 12,4 10,0-16,0
PLT 219 150-400
MPU 7,8 7,0-11,0
PCT 0,17 0,200-0,500
PDW 11,0 10,0-18,0

EKG
5

Gambar 1. Hasil EKG tampak normal

CT-Scan

Gambar 2. Gambaran ct-scan pelvis dan abdomen potongan coronal


6

Gambar 3. Gambaran ct-scan pelvis dan abdomen potongan sagital

Gambar 4. Gambaran ct-scan pelvis dan abdomen potongan axial


7

5. Resume
Seorang laki – laki berumur 34 tahun dibawa ke RSU Bhakti Rahayu dengan
keluhan adanya benjolan pada abdomen. Benjolan sudah dirasakan sejak 4
bulan lalu, nyeri sesekali, demam tidak ada, pusing tidak ada, Nyeri kepala tidak
ada, sedikit lemas, sesak sesekali, mual muntah tidak ada, Nyeri ulu hati sejak
mulai minum asam, bab dan bak normal. Tidak ada riwayat diabetes melitus,
hipertensi dan alergi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang. Kepala, mata, leher, dan thorax dalam batas normal. Pada pemeriksaan
abdomen ditemukan massa berukuran kurang lebih 20 cm, bising usus normal,
Nyeri tekan tidak ada, teraba massa dan benjolan tetapi tidak mobile. Pada
pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan rapid test covid didapatkan hasil
non reactive, laboratorium dalam batas normal, EKG dalam batas normal, dan
ct- scan tampak masa terlihat isodens jelas berukuran besar.
6. DIAGNOSIS
Tumor Abdomen
7. PENATALAKSANAAN
Laparoskopi eksplorasi tgl 9 Januari 2021 pukul 12.00 WIT
I. PROGNOSIS
- Ad vitam : bonam
- Ad fungsionam : bonam
- Ad sanationam : bonam
8

LAPORAN OPERASI

Pada tanggal 9 Januari 2021 (12:00 -13.00WIT) telah dilakukan operasi oleh
dr. Helfi Nikijuluw, Sp.B, KBD dengan prosedur berupa:
a. Diagnosis Pre Operasi : Tumor Abdomen
b. Diagnosis Post Operasi : Undesensus testis Intra abdominal
c. Tindakan : laparotomi orchidektomi
d. Teknik Operasi :
1. Dalam stadium anastesi, antisepsis lapangan operasi
2. Insisi mid line sampai peritonium
3. Explorasi lanjut tampak tumor diameter 10cm merupakan undesensus testis
4. Lakukan orchidektomi
5. Kontrol perdarahan
6. Luka operasi ditutup lapis demi lapis
7. Operasi selesai
e. Instruksi Pasca Operasi :
 Amati tanda- tanda vital
 IVFD Ringer Laktat 20tpm
 Injeksi ceftriaxone 1x2 g
 Injeksi ketorolac 3x1 amp
 Tramadol 2x1 drip
9

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi

Pada umumnya undesensus testis (undescended testis atau UDT), sering

disebut juga kriptorkidismus, merupakan tidak turunnya satu atau kedua testis

pada salah satu atau kedua scrotum tetapi masih berada pada jalur desensus

normal. 1,2

2.2 Anatomi3

Testis berjumlah 2 buah dengan bentuk ovoid, pipih dengan ketebalan ± 2,5

cm, warna putih, terletak didalam cavum skroti sisi kiri lebih rendah dari pada

sisi kanan. Ukuran testis rata–rata 4x3x2,5 cm, dengn berat ± 32 gram.

Morfologi testis, terdapat 2 permukaan datar disebut fascies lateral dan medial, 2

buah puncak yaitu pole superior dan inferior. Testis dilapisi oleh suatu kapsul

yang dibentuk oleh 3 lapisan, yaitu :

a. Tunika vaginalis (lapisan terluar)

b. Tunika Albuginea (Lapisan tengah)

c. Tunika vaskulosa (Lapisan dalam)


10

Gambar 5. Posisi anatomis testis

Tunika albuginea terdiri dari sejumlah besar otot polos yang terletak diantara

jaringan ikat kolagen, otot polos ini diduga berperan untuk kontraksi capsule testis

manusia. Arteri spermatika interna berasal dari aorta, dicabangkan dibawah a.

Renalis. Berjalan di dalam funikulus spermatikus menuju testis, a. Spermatika

interna akan beranastomose dengan cabang–cabang pembuluh darah dari a.

Hipogastrika, yaitu a. Vasdeferens dan a. Cremasterica, bersama – sama mensuplai

darah bagi testis. Darah dari testis akan melalui plexux pampiniformis pada

fnikulus spermatikus. Pada anulus inguinalis interna, plexus pampiniformis

membentuk vena spermatika. Vena spermatika kanan akan menuju vena cava
11

inferior, dibawah vena renalis kanan. Vena spermatika kiri akan menuju vena

renalis kiri dengan suduh ± 900C.

Pembuluh limfe testis berjalan melalui funikulus spermatikus menuju nondulus

lumbal dan berakhir pada nodulus paraaortal dan vena cava inferior dibawah vena

renalis. Persarafan testis menyertai pembuluh darah arteri dan berasal plexus

aortikus dan renalis, dari medulaspinalis thorakal X. Dan berhubungan dengan

serabut saraf dari plexus hipogastrikus.

2.3 Etiologi Dan Patogenesis

UDT dapat disebabkan oleh kelainan dari kontrol hormon atau proses anatomi

yang diperlukan dalam proses penurunan testis secara normal. Kelainan hormon

androgen, MIS, atau Insl 3 jarang terjadi, tetapi telah diketahui dapat menyebabkan

UDT. Kelainan fase pertama dari penurunan testis juga jarang terjadi. Sebaliknya,

migrasi testis pada fase ke-2 dari penurunan testis adalah proses yang kompleks, diatur

oleh hormon, dan sering mengalami kelainan. Hal ini ditunjukkan dengan gagalnya

gubernakulum bermigrasi ke skrotum, dan testis teraba di daerah inguinal. Penyebab

dari kelainan ini masih tidak diketahui secara pasti, namun kemungkinan disebabkan

oleh tidak baiknya fungsi plasenta sehingga menghasilkan androgen dan stimulasi

gonadotropin yang tidak cukup.

Beberapa gangguan jaringan ikat dan sistem saraf berhubungan dengan UDT,

seperti arthrogryposis multiplex congenita, spina bifida dan gangguan hypothalamus.

Kerusakan dinding abdomen yang menyebabkan gangguan tekanan abdomen juga

meningkatkan frekwensi UDT, seperti exomphalos, gastroschisis, dan bladder

exstrophy. Prune Belly syndrome adalah kasus yang spesial di mana terjadi
12

pembesaran kandung kemih yang menghalangi pembentukan gubernakulum di daerah

inguinal secara normal, atau menghalangi penurunan gubernakulum dari dinding

abdomen karena kandung kemih menjadi sangat besar. Hal ini lalu menghalangi

prosesus vaginalis membentuk kanalis inguinalis secara normal dan oleh sebab itu

testis tetap berada pada daerah intra abdomen di belakang kandung kemih yang

membesar tersebut.5

2.4 Klasifikasi

UDT dapat dibedakan menjadi palpable dan nonpalpable. UDT dapat ditemukan

sepanjang jalur penurunan testis yang normal atau di daerah lain seperti di daerah

inguinal, perineum, kanalis femoralis, penopubic, dan hemiskrotum kontralateral.

Testis mungkin tidak teraba karena lokasinya pada intra abdomen. Nonpalpable UDT

dapat dibedakan lagi menjadi unilateral dan bilateral. Pembedaan antara palpable dan

nonpalpable UDT mungkin dikaburkan oleh fakta bahwa palpable UDT dengan open-

ring dapat menjadi nonpalpable UDT jika testis turun ke abdomen melalui annulus

internal yang terbuka.6

2.5 Manifestasi Klinis

Pada sebagian besar kasus UDT, testis berada pada leher skrotum atau di luar

annulus inguinalis eksternal. Testis sering berada sedikit ke lateral dari annulus

inguinalis eksternal di ruang subkutan di bawah fascia Scarpa. Posisi ini biasanya

bukan disebabkan oleh karena migrasi ectopic dari gubernakulum, melainkan oleh

karena lapisan fascia dari dinding abdomen. Bahkan testis masih berada pada sebuah

mesentery di dalam tunika vaginalis. Adanya mesentery ini berarti testis dapat

berpindah di dalam
13

tunika vaginalis saat dilakukan palpasi.6

Panjang spermatic cord pada bayi adalah sekitar 4-5cm dari annulus inguinalis

eksternal sampai ke puncak testis. Sebaliknya, panjang spermatic cord pada anak usia

10 tahun adalah sekitar 8-10cm. Hal ini dikarenakan oleh perubahan bentuk pelvis

sehingga jarak antara annulus inguinalis eksternal dengan skrotum semakin

bertambah. Perlunya spermatic cord untuk memanjang ini kini diketahui sebagai

kemungkinan penyebab dari acquired UDT. Sebagian besar acquired UDT ini

disebabkan oleh karena kegagalan obliterasi dari prosesus vaginalis yang menyisakan

fibrosa yang tidak dapat memanjang sesuai dengan bertambahnya usia.6

2.6 Diagnosis5,6,7

ANAMNESIS

a. Tentukan apakah testis pernah teraba di dalam skrotum

b. Riwayat operasi daerah inguinal

c. Riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi, kehamilan

kembar, prematuritas.

e. Riwayat keluarga : UDT, hipospadia, infertilitas, intersex, pubertas prekoks

PEMERIKSAAN FISIK

Pasien sebaiknya diperiksa dalam 2 posisi, yaitu supinasi dan duduk. Pada

posisi duduk, pasien bersandar pada kedua tangan, menekuk lutut, dan telapak

kaki saling menyentuh satu sama lain. Observasi dimulai dengan melihat ada atau

tidaknya testis dan hipoplasia skrotum. Manuver yang dilakukan untuk

menentukan posisi testis adalah meraba daerah sepanjang kanalis inguinalis dari
14

anulus internal menuju skrotum. Selain kedua posisi tersebut, posisi jongkok juga

dapat memantu untuk menentukan posisi testis.

Saat pemeriksaan fisik kondisi pasien harus dalam keadaan relaksasi dan

posisi seperti frog-leg atau cross-legged. Pada pasien yang terlalu gemuk, dapat

dilakukan dalam posisi sitting cross-legged atau baseball catcher’s. Tangan

pemeriksa harus dalam keadaan hangat untuk menghindari tertariknya testis ke

atas. UDT dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya menjadi : skrotum atas,

kantong inguinal superfisial, kanalis inguinalis, dan abdomen.

Pemeriksaan fisik dimulai dari antero-superiori iliac spine, meraba daerah

inguinal dari lateral ke medial dengan tangan yang tidak dominan. Jika teraba

testis, testis dipegang dengan tangan dominan dan ditarik ke arah skrotum.

PEMERIKSAAN PENUNJANG UNDESENDED TESTIS


Pemeriksaan penunjang jarang dilakukan kecuali testis tidak teraba. Salah satu

pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hormonal,

yaitu tes stimulai hCG (humen chrorionic gonadotropin). Pengukuran kadar

testosterone, follicle stimulating hormone (FSH), dan Luteinizing hormone (LH)

perlu dilakukan sebelum pemberian hCG sebanyak 2000 IU satu kali perhari

selama 3 hari. Kemudian kadar hormon–hormon tersebut kembali diukur pada

hari ke – 6. Jika kadar FSH meningkat pada anak laki–laki dibawah umur 9 tahun,

maka kemungkinan anak tersebut mengalami anorchia. Jika kadar LH dan FSH

dalam batas normal dan stimulasi hCG menghasilkan peningkatan kadar

testosterone yang pantas, maka kemungkinan ada jaringan testis dan pasien

memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Pemeriksaan hormonal lain yang dapat

dilakukan adalah pengukuran kadar androgen, MIS/AMH, ataupun analisis


15

kromosom. Tujuan dari pemeriksaan hormonal tersebut adalah untuk memastikan

testis ada dan memproduksi hormon yang sesuai. Jika adanya testis telah dapat

dipastikan, maka lokasi testis dapat ditentukan melalui laparoskopi.

Pemeriksaan radiografi seperti ultrasonography, computed tomography,

magnetic resonance imaging, dan magnetic resonance angiography juga jarang

dilakukan. Hingga saat ini, laparoskopi masih menjadi gold standard dalam

menentukan posisi testis yang tidak teraba, dengan sesnitivitas sebesar 95% atau

lebih.

2.8. Tatalaksana5,6,7,8

TERAPI HORMONAL

Alasan utama dilakukan terapi adalah kemungkinan meningkatnya resiko

infertilitas, keganasan testis, torsiotestis, trauma testis terhadap tulang pubih, dan

faktor psikologis terhadap kantong skrotum yang kosong. Terapi hormonal untuk

mengatasi UDT masih dalam kontroversi. Hormon–hormon seperti buserelin, LH

releasing hormon agonis, dan gonadotrophin releasing hormon (GnRH) agonis,

sering digunakan untuk menangani UDT di Eropa dengan tingkat kesuksesan

antara 10–50%. Tingkat kesuksesan yang lebih tinggi mungkin terjadi pada anak

yang mengalami acquired UDT. Pada anak yang mengalami kegagalan migrasi

gubernakulum manuju skrotum secara kongenital, terapi hormonal kelihatannya

memiliki tingkat kesuksesan yang sangat rendah. Namun penggunaan hormon –

hormon tersebut belum disetujui ole United States Food and Drug

Administration.
16

Gambar 6. Algoritna Tatalaksana Undesended Testis

Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang

diberikan adalah hCG, gonadotropin releasing hormone (GnRH) atau LH-

releasing hormone. Terapi hormon meningkatkan produksi testosteron dengan

menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi ini

bedasarkan observasi bawa proses turunnya testis berhubungan dengan androgen.

Tingkat testosteron lebih tinggi bilsa diberikan hCG dibandingkan GnRH.

Gambar 7. Protokol terapi hormonal


17

Semakin rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan terapi.

Terapi hormonal dengn hCG 2.500 unit per hari dibagi dalam 4 dosis

intramuskular dilakukan ila usia anak belum mencapai 2 tahun.

Jika respon tidak ada maka pemberian hormon dapat diulang 6 bulan

kemudian. Jika masih belum ada respon maka sebaiknya dilakukan terapi

pembedahan. Evaluasi pengobatan hormon dilakukan selama pengobatan, pada

akhir pengobatan, 1 bulan kemudian, 3 bulan kemudian, 6 bulan kemudian, dan

12 bulan kemudian. Efek samping HCG diantaranya:

a. Pembesaran volume testis

b. pembesaran penis

c. ereksi

d. kadang – kadang pertumbuhan rambut pubis

e. Gangguan emosi

Keuntungan terapi hormon:

a. Keberhasila 10 – 80%, sehingga mengurangi tindakan operasi

b. tidak ada atau minimalnya efek samping

c. lebih mnguntungkan pada kriptorkismus bilateral

Keberhasilan pengobatan tergantung dari posisi testis dimana testis

intrainguinal memiliki hasil yang lebih baik, umur pasien dimana pasien dengan

usia lebih besar memiliki hasil yang lebih baik, dan kriptorkismus bilateral

memiliki hasil yang lebih baik.


18

TERAPI PEMBEDAHAN

Prinsip dari pembedahan untuk menangani UDT adalah untuk memindahkan

testis dan meletakkannya di dalam skrotum. Pembedahan ini disebut dengan

Orchidopexy. Biasanya orchdopexy langsung dilakukan jika testis telah pasti

diketahui terletak pada leher skrotum atau pada daerah inguinal. Jika testis terletak

pada daerah intraabdomen, laparoskopi dapat dilakukan terlebih dahulu untuk

menentukan letak testis. Kemudian, akan diputuskan apakah orchidopexy akan

dilakukan dalam satu atau dua tahap. Waktu yang optimal untuk melakukan

orchidopexy adalah saat anak berusia 3–12 bulan, dimana usia 6–12 buan adalah

waktu yang paling baik. Pembedahan dalam menangani UDT dibedakan

berdasarkan apakah testis dapat teraba atau tidak. Kesembuhan post operasi dari

prosedur orchidopexy sangat cepat, dimana setelah beberapa hari, pasien dapat

kembali melakukan aktivitas penuh. Olahraga mungkin perlu dihindari dalam 1–2

minggu.pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan setelah 6–12 bulan untuk

meyakinkan bahwa atrophy tidak terjadi. Saat anak telah berumur 14 tahun,

pemeriksaan terhadap pubertas dan kemumngkinan terjadinya infertilitas dan

keganasan perlu dilakukan.

A. PALPABLE UDT

Penanganan utama pada palpable UDT adalah orchidopexy dan membuat

kantong subdartos. Tingkat kesuksesan dari tindakan tersebut mencapai 95%

dengan testis tetap berada di dalam skrotum dan tidak mengalami atrophy.

Pembedahan biasanya dilakukan dengan anestesi umum, dan pasien dalam

posisi supinasi. Insisi dilakukan sepanjang garis Langer, diatas anulus internal.
19

Aponeurosis oblique eksternal diinsisi ke arah lateral dan dari anulus eksternal

sesuai dengan arah serat–seratnya, dan dilakukan dengan hati–hati agar tidak

melukai saraf ilioinguinalis. Testis dan spermatic cord lalu dibebaskan. Vas

deferens dan pembuluh–pembuluh darahnya dipisahkan dari Tunica Vaginalis.

Prosesus vaginalis dipisahkan dari struktur cord dan diligasi di anulus internal.

Pemotongan secara retroperitoneal pada anulus internal dapat memperpanjang

cord sehingga testis dapat mencapai skrotum.

Sebuah tembusan dari buat dari kanalis inguinalis ke dalam skrotum dengan

menggunakan satu jari atau sebuah clam besar. Kantong subdartos dibuat dengan

meletakkan satu jari melalui tembusan dan meregangkan kulit skrotum. Insisi

sepanjang 1–2 cm dilakukan pada kulit skrotum yang diregangkan dengan jari

tersebut. Sebuah clamp lalu diletakkan di jari operator, dan ujungnya dipandu ke

dalam kanalis inguinalis dengan menarik jari. Clam kemudian digunakan untuk

menjepit jaringan diantara testis. Clamp lalu ditarik untuk membawa testis ke

dalam kantong. Menjepit testis atau vas deferens secara langsung harus dihindari

agar tidak menimbulkan luka.

Jika testis berada di dalam kantong, leher kantong dijahit sehingga menjadi

lebih sempt untuk mencegah testis tertarik naik kembali. Saat ini pengukuran dan

biopsi testis bisa dilakukan. Kulit skrotum lalu ditutup. Aponeurosis oblique

eksternal disatukan kembali dengan penjahitan absorbable. Kulit dan jaringan

subkutis ditutup dengan penjahitan subkutis. Setelah beberapa minggu, luka bekas

operasi perlu diperiksa, dan 6 – 12 bulan kemudian pemeriksaan testis perlu


20

dilakukan. Posisi dan kondisi akhir dari testis perlu diperhatikan. Walaupun

jarang terjadi, atrophy dan retraksi dapat muncul sebagai komplikasi.

B. NONPALPABLE UDT

Penangan nonpalpable UDT dapat dimulai dengan eksplorasi inguinal ataupun

laparoskopi diagnostik. Laparoskopi dapat dilakukan melalui umbilikus. Apabila

pembuluh–pembuluh darah testis terlihat keluar dari annulus internal, insisi pada

daerah inguinal dilakukan untuk menentukan lokasi testis. Orchidopexy dilakukan

jika testis dapat ditemukan. Jika pembuluh–pembuluh darah berakhir di dalam

kanalis inguinalis, ujung dari pembuluh darah tersebut dapat diambul untuk

dilakukan pemerikaan patologis. Adanya sisa jaringan testis atau hemosiderin dan

kalsigikasi merupakan indikasi dari kemungkinan terjadinya perinatal torsion dan

resorption testis.

Jika melalui laparoskop diagnostik testis diketahui berada pada daerah intra

abdomen, terdapat beberapa pilihan tindakan. Pada Fowler-Stephens

orchidopexy, dilakukan ligasi pembuluh darah testis secara laparoskopik atau

laparotomy, yang membuat kelangsungan hidup testis bergantung pada arteri

cremaster. Untuk alasan ini,


21

Gambar 8. Orchidopexy

Fowler-Stephens orchidopexy adalah pilihan yang kurang tepat jika sebelumnya

telah dilakukan eksplorai inguinal yang membahayakan suplai vaskuler ke testis.

Setelah ligasi dilakukan, orchidopexy dilakukan setelah sekitar 6 bulan untuk

memberikan waktu pertumbuhan sirkulasi kolateral. Tingkat kesuksesan dari

prosedur ini mencapai lebih dari 90%, dengan testis tetap erada di dalam skrotum

dan tidak mengalami atrophy. Tindakan lain yang dapat dilakukan jika testis

berada pada daerah intra abdomen adalah orchidopexy mikrovaskuler

(autotransplantasi) dan orchidectomy.


22

2.9 Komplikasi Dan Prognosis5,9

Komplikasi dari orchidopexy meliputi infeksi dan haematoma, tetapi

komplikasi yang paling serius adalah atrophy testis. Hal ini terjadi pada

persentase yang kecil, yaitu sekitar 5–10%. Resiko terjadinya atrophy testis pada

testis yang tidak teraba lebih tinggi daripada pada testis yang teraba pada daerah

pangkal paha. Selain itu, resiko terjadinya atrophy testis juga lebih tinggi pada

anak dengan perkembangan testis yang abnormal di mana ukuran testis lebih kecil

daripada ukuran normal.

Komplikasi yang lain yaitu :

a. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak komplit

b. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus

c. trauma pada vas deferens

d. pasca-operasi torsio

e. epididimioorkhitis

f. pembengkakan skrotum

Prediksi mengenai fertilitas dan keganasan masih dalam kontroversi,

dikarenakan oleh perkembangan yang pesat dalam permahaman dan penangana

UDT dalam 25 tahun terakhir. Infertilitas mungkin terjadi pada 1 dari 4 laki – laki

dewasa dengan riwayat unilateral UDT. Tidak diketahui apakah prognosis akan

membaik jika orchidopexy dilakukan saat anak berusia jauh lebih muda daripada

saat anak berusia lebih lanjut. Namun, suatu meta analisis menunjukkan bahwa

orchidopexy yang dilakukan saat anak berusia lebih dari 10 tahun memiliki resiko
23

6 kali lebih tinggi untuk mengalami keganasan, dari pada orchidopexy yang

dilakukan saat anak berusia kurang dari 10 tahun.


24

DAFTAR PUSTAKA

1. Moh. Adjie Pratignyo. 2011. Bedah Saluran Cerna Anak. Edisi 1. SAP
Publish Indonesia: Tangerang
2. Sjamjuhidayat & Wim de Jong. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 4. Jakarta :
EGC
3. Ellis, Harold. 2006. The Male Genital Organs; Clinical Anatomy, 7th edt, Pg.
116. Blackwell Publishing Ltd. Victoria, Australia.
4. Kolon. TF, Patel RP, Huff DS, Cryptorchidism: diagnosis, treatment, and long
term prognosis. Urol Clin North Am 2004; 31:7-18.
5. Hutson J. Cryptorchidism. Dalam: Puri P, Höllwarth M, penyunting. Pediatric
Surgery: Diagnosis and Management. Jerman: Springer, 2009; hal 919-926
6. Copp HL, Shortliffe LD. Undescended Testes and Testicular Tumors. Dalam:
Holcomb GW, Murphy JP, penyunting. Ashcraft’s Pediatric Surgery. Amerika
Serikat: Saunders Elesevier, 2010; hal 676-683.
7. Mouriquand, PDE. Undescended testes in children: the paediatric urologist’s
point of view. European Journal of Endocrinology. 2008;159:S83-S86.
8. Hutson JM. Orchidopexy. Dalam: Puri P, Höllwarth M, penyunting. Pediatric
Surgery. Jerman: Springer, 2006; hal 555-576.
9. Foresta C, Zucarello D, Garolla A, Garolla A, Ferlin A. Role of Hormones,
Genes,and Environment in Human Cryptorchidism. The Endocrine Society.
2008:29(5):560-580.

Anda mungkin juga menyukai