Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

“Laki-laki Usia 37 Tahun dengan Batu Ureter”

Disusun untuk Ujian Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Diajukan Kepada :
Dr. Bondan Prasetyo, Sp.B

Disusun Oleh :
Sagita Intan
H3A019052

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD TUGUREJO SEMARANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus ini telah dipresentasikan dan disetujui oleh dokter pembimbing
dari:
Nama : Sagita Intan
NIM : H3A019052
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Muhammadiyah Semarang
Judul : Ureterolithiasis Proximal Sinistra
Pembimbing : dr. Bondan Prasetyo, Sp.B

Semarang, September 2021


Dokter Pembimbing

dr. Bondan Prasetyo, Sp.B


BAB I
DATA PASIEN

A. IDENTITAS
Nama : Tn. W
Umur : 37 tahun
Status : Sudah menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Amarta RT 02/III Kangkung Kendal, Kab Kendal
No. Catatan Medis : 61-62-XX
Tanggal masuk RS : 07 September 2021
Ruang rawat : Ruang Amarilis

B. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 08 September 2021.
1. Keluhan Utama
Nyeri pinggang kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang sebelah kiri sejak 1
bulan yang lalu, memberat 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri pinggang dirasakan hilang timbul, nyeri dirasakan tidak
menjalar ke kaki atau ke genetalia. Keluhan tidak disertai nyeri saat
BAK dan BAK juga tidak disertai darah. Serpihan batu bersamaan
dengan BAK juga disangkal oleh pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit jantung : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat penyakit jantung : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
5. Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi
a. Pasien merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol.
b. Berobat dengan jaminan BPJS PBI.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda Vital
TD : 129/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 19 x/menit
Suhu : 36,5°C
4. Status Generalisata
a. Kepala : Mesocephal
b. Wajah : Kulit sama dengan sekitar
c. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pandangan
kabur (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (+/+)
d. Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
e. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-), gangguan pendengaran (-/-)
f. Mulut : Tonsil TI – TI tenang, faring hiperemis (-)
g. Leher : JVP normal, KGB normal, trakea terletak di tengah.
h. Thorax : Bentuk normal dan gerak simetris
i. Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I – II murni reguler, murmur (-), Gallop (-)
j. Pulmo
Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Hemithoraks kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada hemithoraks kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
k. Abdomen
Inspeksi : Perut datar, warna kulit sama dengan sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (+) suprapubic
l. Ekstremitas
Superior Inferior

Edema +/- -/-

Nyeri -/- -/-

Capillary refill time <2 detik/<2 detik <2 detik/<2 detik

Akral dingin -/- -/-

5. Status Lokalis (Genitourinaria)


a. Regio costovertebralis dextra dan sinistra
Inspeksi : massa (-), lesi (-), warna kulit sama dengan sekitar
Palpasi : balloetmen (-)/(-)
Nyeri ketok CVA : (-)/(+)
b. Regio suprapubik
Inspeksi : bulging (+)
Perkusi : redup
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)
c. Regio Genetalia Eksterna
Inspeksi : benjolan daerah inguinal (-), benjolan di scrotum
(- ), OUE tak tampak kelainan
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)
6. Pemeriksaan Tambahan (Rectal Touche)
a. Sekitar anus : massa (-), fisura (-), fistula (-)
b. Tonus sfingter ani : mencengkram kuat (+)
c. Mukosa rectum : licin, massa (-)
d. Ampula recti : collapse (-)
e. Kelenjar prostat
a) Letak prostat : masih pada tempatnya, floating (-)
b) Diameter laterolateral : > 4 cm
c) Konsistensi : kenyal
d) Sulcus medianus : teraba
e) Polus anterior : tidak teraba
f) Permukaan : licin (+), nodul (-)
g) Mobile (-)
h) Nyeri tekan (-)
f. Handscoon : darah (-), fekal material (-)

D. DIAGNOSIS SEMENTARA
Suspect ureterolithiasis

E. DIAGNOSIS BANDING
1. Nefrolithiasis
2. Vesikolithiasis

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap (07 September 2021)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 9.08 10^3/ul 3.8 – 10.6
Eritrosit 5.27 10^3/ul 4.4 – 5.9
Hemoglobin 15.90 g/dl 13.2 – 17.3
Hematokrit 46.40 % 40 – 52
MCV 81.70 Fl 80 – 100
MCH 28.00 Pg 26 – 34
MCHC 34.30 g/dl 32 – 36
Trombosit 282 10^3/ul 150 – 440
RDW 11.80 % 11.5 – 14.5
PLCR 22.6 %
Eosinofil absolute 0.29 10^3/ul 0.045 – 0.44
Basofil absolute 0.02 10^3/ul 0 – 0.02
Neutrofil absolute 5.15 10^3/ul 1.8 – 8
Limfosit absolute 2.95 10^3/ul 0.9 – 5.2
Monosit absolute 0.67 10^3/ul 0.16 – 1
Eosinofil 3.20 % 2–4
Basofil 0.20 % 0–1
Neutrofil 56.70 % 50 – 70
Limfosit 32.50 % 25 – 40
Monosit 7.40 % 2– 8

2. Kimia Klinik (Serum) B


Glukosa sewaktu 81 mg/dl <125
Ureum 22.0 mg/dL 10.0-50.0
Creatinin H 1.18 mg/dL 0.70-1.10
Kalium 3.86 mmol/l 3.5-5.0

3. Pemeriksaan CT-Scan
Klinis: Hydronephrosis kiri

GINJAL KANAN : bentuk, axis dan ukuran normal (uk. cranio-caudal


+ 10,87 cm), batu (-), PCS tak melebar, tak tampak fat stranding perirenal

URETER KANAN: tak melebar. Tampak batu kecil pada mid ureter
setinggi diskus V.L 3-4 (CT number 221 HU, uk.+ 0,3 x 0,4)

GINJAL KIRI : bentuk dan axis normal, ukuran agak membesar (uk.
Cranio-caudal + 12,82 cm), PCS tampak melebar, tampak batu multipel
kecil kecil yang bergerombol pada lower kaliks (CT number bervariasi
251 - 579 HU, uk. terbesar + 0,6 cm)

URETER KIRI: tampak batu pada pelvicoureteral junction - ureter


proximal (CT number + 600-700 HU, uk. + 1,46x1,55 cm; sepanjang +
2,44 cm)
VESIKA URINARIA: dinding tak menebal, permukaan regular, batu (-),
divertikel (-)

PROSTAT : Bentuk dan ukuran normal (vol. t 23 mL), tak tampak


kalsifkasi

HEPAR: Bentuk dan ukuran normal, tepi regular, densitas dan struktur
parenkim normal.

DUKTUS BILLIARIS intra & extra hepatal baik.

VESICA FELEA ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak batu
maupun sludge

PANKREAS: Ukuran normal, kalsifikasi (-), tak tampak pelebaran duktus


pancreatikus.

LIEN : Bentuk dan ukuran normal, densitas dan struktur parenkim normal

Tak tampak pelebaran aorta abdominalis

Tak tampak ascites.

Pada thoraks inferior yang tervisualisasi : corakan vaskuler normal, tak


tampak nodul maupun atelectasis. Tak tampak efusi pleura kanan kiri.

Sistema tulang baik

Kesan:

Hydronephrosis kiri e.c batu pada pelvicoureteral junction - ureter


proximal (CT number bervariasi 251 - 579 HU, uk. terbesar + 0,6 cm)

Multipel nephrolithiasis kiri kecil kecil dengan ukuran dan densitas


bervariasi yg ber- gerombol pada lower kaliks (CT number 251 - 579 HU,
uk. terbesar + 0,6 cm)
Ureterolithiasis kanan kecil, berdensitas rendah pada mid ureter setinggi
V.L 3-4 (CT-number 221 HU, uk. + 0,3 x 0,41 cm) --> non obstruktif 、

G. INNITIAL PLAN
1. Diagnosis
Ureterolithiasis proximal sinistra
2. Terapi
Infus RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Pro Extended pyelolithotomy
3. Monitoring
a. Keadaan umum
b. Tanda vital
4. Edukasi
a. Menjelaskan kepada keluarga dan pasien tentang penyakit yang
diderita dan rencana terapi yang akan dilakukan
b. Menjelaskan kepada pasien tentang komplikasi yang mungkin
terjadi

H. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanam : dubia ad bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI GINJAL DAN PERSARAFAN GINJAL

Ginjal adalah organ yang terletak di posterior abdomen (retroperitoneal), bilateral


terhadap kolum vertebra dari T12 hingga L3, berbentuk seperti kacang, berwarna
merah kecoklatan.
Gambar letak ginjal

Ginjal dilindungi oleh susunan yang komplek berupa kapsul renal yang terdiri
atas kapsul fibrosa, lemak perirenal, fascia renal, dan lemak pararenal.

Gambar Struktur eksternal pembungkus ginjal

Bagian dalam parenkim renal dibagi menjadi dua area utama yaitu kortek dan
medulla. Kortek memanjang ke medulla membentuk piramida ginjal. Bagian
apcks discbut papilla. Tiap papilla tersusun atas beberapa struktur kaliks minor
yang merupakan tempat menampung urin dari piramida ginjal. Beberapa kaliks
minor membentuk kaliks mayor. Kumpulan kaliks mayor membentuk pelvis
renal. Pelvis renal mengalirka urin dari ginial ke ureter.atas medial masing-
masing ginjal ditandai dengan fisura yang dalam yaitu hilum renal. Pembuluh
darah ginjal dan ureter masuk dan keluar ke ginjal melalui hilum renal.
Gambar Struktur internal ginjal

Berdasarkan anatomi ginjal, setiap ureter mempunyai panjang sekitar 25 cm dan


mempunyai tiga penyempitan: di tempat pelvis renalis berhubungan dengan
ureter atau disebut UPJ /Uretero-pelvic Junction), di tempat persilangan ureter di
area pelvis superior setinggi pembuluh darah illiac, dan di tempat ureter
menembus dinding vesica urinaria atau disebut UVJ (Uretero-vesical Junction).
Pada daerah ini sering terjadi sumbatan saluran kemih.

Gambar Anatomi ureter

Reseptor nyeri saluran kemih atas terutama yang peka terhadap kolik renal
terletak pada submukosa pelvis renalis, kaliks renalis, kapsul renal dan ureter
proximal. Distensi akut lebih berperan terhadap munculnya renal kolik akut
spasme, iritasi lokal, maupun hiperperstaltik ureter. Stimulasi kapsul renal
peripelvic menimbulkan munculnya nyeri flank, sementara stimulasi pelvis renal
dan kaliks renal menyebabkan kolik renal
Gambar Anatomi ginjal dan letak timbulnya nyeri

Serabut nyeri renal berasal dari preganglion saraf simpatis yang menyentuh korda
spinalis setinggi T-11 hingga L-2 melalui serabut saraf dorsalis. Transmisi spinal
adanya signal nyeri renal terjadi pada awalnya melalui traktus spinotalamikus
asenden.

Gambar Persarafan ginjal Gambar Persarafan ginjal

Pada ureter bagian bawah, nyeri renal didistribusikan melalui saraf genitofemoral
dan ilioinguinal.
Gambar distribusi nyeri ginjal

Selain persarafan, ginjal juga memiliki sistem vaskuler. Ginjal mendapat pasokan
darah dari arteri renalis, yang merupakan cabang langsung aorta abdominalis.
Aorta abdominalis terletak lebih ke kiri, sehingga arteri renalis kanan berukuran
lebih panjang dan menyilang melalui bagian posterior vena cava. Masing-masing
arteri renalis masuk ke ginjal melalui hilum renalis, lalu dibagi menjadi beberapa
segmen cabang. Cabang-cabang inilah yang memberi pasokan darah ke parenkim
renal. Cabang yang membentuk arteri interlobaris mensuplai piramida renalis, lalu
bercabang lagi membentuk arteri arcuata yang kemudian bercabang lagi
membentuk arteri interlobularis. Dari arteri interlobularis bercabang menjadi
arteriol aferen, lalu membentuk jarring-jaring kapiler glomerulus, tempat
terjadinya filtrasi. Kapiler-kapiler yang bergabung di 2/3 luar korteks menjadi
arteriol eferen, lalu membentuk jarring-jaring peritubular, mensuplai tubulus
nefron dengan oksigen dan nutrient. Bagian dalam korteks dan medulla disuplai
oleh arteri yang lurus dan panjang yaitu vasa recta. Arteri yang mendarahi ureter
adalah sebagai berikut : ujung atas oleh arteri renalis, bagian tengah oleh arteri
testikularis atau arteri ovarika, dan di dalam pelvis oleh arteri vesikalis superior.

Sistem drainase ginjal melalui vena renalis kanan dan kin. Vena-vena keluar dari
hilum melalui bagian anterior arteri renalis, lalu dikosongkan di vena cava
inferior. Vena cava terletak lebih di kanan sehingga vena renalis kiri berukuran
lebih panjang dan menyilang di sisi anterior aorta abdominalis. Darah vena arteri
dialirkan ke dalam vena yang sesuai dengan arteria.

Gambar arteri dan vena ginjal

B. FISIOLOGI GINJAL

Fungsi utama ginjal adalah menyaring dan mengekskresi produk-produk sisa


metabolisme dari tubuh. Selain itu, ginjal juga bertanggungjawab terhadap kadar
air dan keseimbangan elektrolit tubuh. Prosesnya adalah dari ginjal, sisa
metabolisme dialirkan ke vesika urinaria melalui ureter, lalu dialirkan keluar
tubuh melalui uretra.

Pada kondisi normal, ginjal memproduksi urin lebih dari 2 liter per hari untuk
mengurangi risiko terbentuknya batu ginjal. Ginjal juga mengekskresi 1 - 1,5g
kreatinin setiap hari. Olch sebab itu, anjuran terbaik untuk memenuhi kebutuhan
ginjal adalah mengonsumsi air sebanyak 2,5-3 liter per hari

C. DEFINISI BATU URETER


Batu ureter adalah keadaan dimana terdapat batu saluran kencing, yang
terbentuk ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalium, oksalat,
kalium fosfat, dan asam urat meningkat Urolithiasis adalah suatu keadaan
terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada
daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan.
Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan kristal yang
terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang tumbuh sebagai
pencetus. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai
beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam velvis
ginjal. Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke
ureter. Gerakan peristaltic ureter mencoba mendorong batu ke distal,
sehingga menimbulkan kontraksi yang kuat dan dirasakan sebagai nyeri hebat

D. EPIDEMIOLOGI DAN PREVALENSI BATU URETER

Penelitian epidemiologi memberikan kesan seakan-akan penyakit batu


mempunyai hubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan berubah
sesuai dengan perkembangan kehidupan suatu bangsa. Berdasarkan perbandingan
data penyakit batu ureter di berbagai negarz, dapat disimpulkan bahwa di negara
yang mulai berkembang terdapat banyak batu ureter proksimal, terutama terdapat
kalangan anak. Di negara yang sedang berkembang insidensi batu uret rendah,
baik dari batu ureter distal maupun dari batu ureter proksimal. Di negara yang
telah berkembang, terdapat banyak batu ureter proksimal, terutama di kalangan
orang dewasa.

Komposisi batu ginjal sangat dipengaruhi oleh usia dan gender.


Kebanyakan batu terbentuk pada pasien usia 20-49 tahun, puncaknya pada usia
35-45 tahun. Namun pada wanita, angka kejadian batu saluran kemih mencapai
puncaknya pada usia 60 tahun. Hal ini terkait dengan kadar esterogen. Risiko
terbentuknya batu saluran kemih juga meningkat pada pasien dewasa dengan
riwayat diabetes mellitus. Pada anak-anak dengan faktor risiko obesitas,
ditemukan bahwa rislko terbentuk batu juga meningkat. Pada laki-laki peluang
terjadinya batu saluran kemih lebih besar dibandingkan pada wanita dengan
perbandingan 3:1.

Komplikasi yang muncul akibat batu ureter diantaranya adalah


hidronefrosis yang dapat dievaluasi melalui CT Scan. Survei menyatakan bahwa
kejadian hidronefrosis pada wanita umumnya terjadi pada dekade usia 30-70an,
terutama disebabkan oleh kehamilan dan kegansan ginekologi. Pada pria,
hidronefrosis kebanyakan terjadi setelah usia 60 tahun disebabkan oleh obstruksi
prostat. Pada anak-anak ditemukan kejadian hidronefrosis sebanyak 2-2,5%.
Hidronefrosis sendiri bermula dari adanya sumbatan saluran kemih, dapat terjadi
pada ginjal hingga meatus uretra. berasal dari luar individu seperti geografi
daerah, iklim dan temperatur, jumlah asupan air, diet, pekerjaan dan aktivitas
fisik, kolesterol, hipertensi, asupan vitamin C berlebih, kebiasaan menahan kemih
dan obesitas.

D. DIAGNOSA BATU URETER

Penegakan diagnosis batu ureter berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Keluhan pasien dengan batu ureter antara lain adalah :

 Nyeri pinggang

 BAK terhambat (sedikit-sedikit)

 Tidak BAK

 BAK campur darah (hematuria)

 Keluar kristal saat BAK

Nyeri akibat kolik renal dapat digolongkan dalam 3 fase yaitu : fase akut, fase
konstan, dan fase relief. Fase akut umunya terjadi pada pagi atau malam hari,
sehingga mengganggu tidur pasien. Nyeri mencapai titik maksimal dalam 30
menit. Nyeri flank yang hebat biasanya disertai radiasi nyeri ke inguinal, mual,
muntah, dan hematuria. Pada fase konstan, nyeri berada pada titik maksimal
dan bertahan dalam waktu cukup lama sehingga pasien mulai membutuhkan
pengobatan. Fase relief adalah fase berkurangnya rasa nyeri, sehingga pasien
merasa lebih baik, namun dapat sewaktu-waktu mengalami fase akut kembali.
Nyeri yang hebat terutama disebabkan oleh obstruksi akut dan komplit atau
dilatasi mendadak kapsul renal, sistem kolektivus dan vesika urinaria akibat
asupan cairan berlebih schingga menghasilkan urin dalam jumlah besar, namun
tidak dapat dialirkan. Sedangkan nyeri dirasakan minimal pada obstruksi
parsial atau obstruksi yang bertambah perlahan. Kualitas nyeri juga dapat
dipengaruhi oleh terjadinya infeksi pada kasus obstruksi. Pasien mengeluh
tidak bisa BAK, dapat disebabkan olch obstruksi komplit bilateral dan
glomenulonefritis.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik general didapatkan dalam batas nomal. Pada


pemeriksaan status lokalis pinggang inspeksi dalam batas normal, palpasi
dalam batas normal, flank pain, dan nyeri sudut kostofrenikus di sisi obstruksi.
Lesi di ureter atas atau pelvis renalis menimbulkan keluhan nyeri flank,
sedangkan obstruksi ureter bawah akan menimbulkan keluhan nyeri menjalar
di salah satu sisi labia atau testis.

Pasien dengan hidronefrosis, pada pemeriksaan fisik akan teraba ginjal.


Pada hidronefrosis bilateral akan didapatkan edema kedua tungkai dan vesika
urinaria teraba akibat dilatasi.

3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis batu ureter dapat ditegakkan melalui anamnesis dan


pemeriksaan fisik, namun pemeriksaan penunjang umumnya dilakukan untuk
mengonfirmasi diagnosa, mengetahui letak pasti batu serta menentukan
tatalaksana selanjutnya.
CT Scan abdomen tanpa kontras merupakan modalitas piliban utama
negakkan diagnosis batu ureter terutama dengan gejala kolik Pemeriksaan ini
dapat memberikan hasil densitas batu untuk memperkirakan komposisi batu.
Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang awal, lebih dipilih USG dan foto
kontras IVP.

USG renal dapat membantu menunjukkan adanya batu, hidronefrosis,


maupun dilatasi ureter. USG dapat dijadikan sebagai alat bantu diagnosis
tunggal, atupun bersamaan dengan foto polos abdomen. Menjadi modalitas pi
terutama untuk pasien hamil.

Foto polos abdomen dapat juga digunakan sebagai modalitas untuk


membantu penegakan diagnose batu ureter. Batu yang mengandung kalsium
akan memberikan gambaran radioopaque, sedangkan batu asam urat, batu
cysteine dan batu yang terbentuk oleh indinavir memberikan gambaran
radioluscent. Namun tidak semua batu dapat terlihat dengan modalitas foto
polos abdomen, yaitu batu berukuran kecil, batu radioluscent, batu yang
terhalang oleh gas, feses atau tulang. Batu radioluscent seperti batu asam urat
yang tidak bisa terlihat pada foto polos abdomen dapat diberikan medikasi
alkalinasi asalkan didapatkan ph urin <6 dan didukung klinis kolik renal.
Meskipun foto polos abdomen tidak dapat mengidentifikasi batu radioluscent,
namun modalitas ini dapat sangat membantu monitor progresifitas batu
radioopaque yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, foto polos abdomen dapat
memberikan informasi bentuk, posisi, tampakan fluoroskopi, dan ukuran batu
radiopaque sehingga dapat diambil suatu keputusan tindakan bedah maupun
tidak, serta menunjukkan batu maupun kalsifikasi yang berasal dari organ
selain traktus urinarius yang mungkin terjadi. Oleh sebab itu, foto polos
abdomen seringkali disarankan sebagai modalitas tambahan CT Scan pada
pasien dengan keluhan kolik renal. Setelah tindakan operasi, foto polos
abdomen dilakukan untuk memastikan bahwa batu saluran kemih sudah benar-
benar bersih serta untuk memastikan posisi DJ Stent dipasang dengan tepat.
IVP (Intravena Pyelography) adalah standar baku modalitas radiologi
untuk menegakkan diagnose batu saluran kemih. Dari pemeriksaan ini akan
diperolch visualisasi sistem saluran kemih secara jelas, mengidentisikasi batu
secara spesifik diantara kalsifikasi pelvis, serta mendemonstrasikan fungsi
ginjal. baik yang terdapat batu dan yang tidak.

C'T scan renal dapat dilakukan untuk memantau kondisi batu setelah
menjalani terapi, mengidentifikasi batu yang sulit diidentifikasi dengan
pemeriksaan lain, menemukan dan menghitung jumlah batu sebelum dilakukan
program pencegahan batu.

Khusus untuk kasus batu ureter, dapat dilakukan retrograde


pyelography (RPG) untuk menegakkan diagnosa. Jenis pemeriksaan ini
memberikan gambaran terbaik mengenai anatomi ureter dan pelvis renal,
sehingga dapat menunjukkan batu urcter secara jelas.

E. PENATALAKSANAAN BATU URETER

Prinsip terapi batu ureter adalah manajemen suportif dan medikasi atau
operasi. Pada kondisi kolik renal, prinsip terapi adalah hidrasi yang cukup dengan
cairan intravena, obat-obat antinyeri dan obat-obat anti muntah. Kontrol terhadap
nyeri merupakan aspek yang sangat penting karena kolik renal adalah
pengalaman nyeri yang paling hebat bagi pasien. Manajemen nyeri yang adckuat
dapat dicapai dengan narkotik dan NSAID. Sedangkan rute pemberian dapat
disesuaikan dengan kondisi pasien terkait kualitas intake oral pasien. Saat awal
mendiagnosis batu saluran kemih, harus dapat dipikirkan adanya kemungkinan
obstruksi atau infeksi. Menurut Turk dkk, penggunaan obat-obatan a blocker
(tamsulosin) dan calcium channel blocker (nifedipine) dapat membantu ekspulsi
batu saluran kemih. Pemberian obat anti nyeri dan obat--obat yang dapat
membantu mengeluarkan batu dari saluran kemih dimdikasikan untuk suatu
kondisi obstruksi. Sedangkan pada kondisi yang menunjukkan adanya tanda
infeksi, pemberian obat-obat antibiotika merupan suatu indikasi. Pada kondisi
tidak ditemukan tanda-tanda obstruksi maupun infeksi, pemberian obat dan obat-
obatan lain yang membantu mengeluarkan batu, dapat bermanfaat untuk batu
yang berukuran kurang dari 5-6mm. Sedangkan batu yang lebih besar, harus
dikeluarkan dengan cara operasi. Pilihan metode operasi diantaranya adalah
nefrostomi per kutan, Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL),
ureterorenoskopi (URS), nefrolitotomi per kutan, nefrostomi terbuka, anatrophic
nephrolithotomy. Seiring perkembangan teknologi, ditemukan suatu metode
penatalaksanaan batu yang lebih aman dan efektif. ESWL telah dikenal sejak
tahun 1981 dan menjadi pilihan utama penatalaksanaan batu, terutama untuk batu
ginjal dan batu ureter dengan ukuran S 20 mm. Batu ureter distal dapat diatasi
dengan URS maupun ESWL, karena tingkat kesuksesan kedua metode ini sama.

Selain ukuran batu, faktor yang menentukan indikasi dilakukan tindakan


erasi pada kasus batu saluran kemih adalah adanya obstruksi dan in eningkatkan
resiko urosepsis dan mortalitas. Pada kasus-kasus semacam ini dapat dua pilihan
yaitu dilakukan prosedur operasi dilanjutkan den pemasangan stent ureter atau
melalui prosedur nefrostomi per kutan. Nefrostomi per kutan merupakan suatu
prosedur yang lebih aman dan cepat terutama untuk pasien dengan kondisi sepsis
atau tidak stabil.

Batu dengan ukuran kurang dari 2 cm yang menganggu bagian atas atau
tengah kaliks dapat dikeluarkan dengan metode minimal invasive, ESWL. Namun
metode ini tidak disarankan bagi pasien hamil. Batu dengan ukuran lebih dari 2
cm yang tidak berhasil dikeluarkan dengan metode ESWL dan ureteroskopi dapat
kan tindakan nefrolitotomi dengan cara memecahkan batu men agmen-fragmen
dan membiarkan fragmen-fragmen tersebut kelua saluran kemih. Kemudian
fragmen-fragmen batu dikumpulkan untuk dilakukan analisa batu sehingga dapat
mencegah resiko terbentuknya batu berulang.

G. PROGNOSA DAN KOMPLIKASI BATU URETER


Umumnya kasus batu saluran kemih yang ditangani dengan baik akan
memberikan hasil yang baik. Resiko munculnya batu berulang sebesar 50% dalam
5 tahun dan 75% dalam 10 tahun. Berdasarkan survei, 80-85% batu saluran kemih
akan keluar spontan bersamaan dengan BAK. Sekitar 20% pasien perlu dirawat
karena nyeri hebat dan persisten, infeksi saluran kemih, batu tidak dapat keluar
saat BAK, dan dehidrasi.

Komplikasi yang muncul diantaranya obstruksi saluran kemih, infeksi


saluran kemih, urosepsis, pyelonephritis dan hidronefrosis. Menurut Ktz, 96% ien
dengan batu ureter, mengalami hidronefrosis hingga hidrourete liks dan pelvis
ginjal serta ureter diakibatkan oleh batu menyumbat sehingga urin tidak dapat
mengalir hingga ke uretra, akibatnya terdapat kumpulan urin di ginjal. Obstruksi
urin akut dalam beberapa jam akan menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR) dan bertahan selama beberapa minggu tanpa menimbulkan
gejala. Hal ini juga menyebabkan gangguan pada tubulus renal yang erperan
dalam transport sodium, potassium dan proton. Semakin lama durasi obstruksi,
maka gangguan fungsi yang ditimbulkan akan semakin besar. Obstruksi dalam
waktu singkat hanya akan menyebabkan gangguan fungsi yang revesibel dengan
perubahan anatomi minimal atau bisa disebut dengan hidronefrosis akut, yaitu
kurang dari 2 minggu. Sedangkan hidronefrosis kronis akan menghasilkan
gangguan ireversibel pada fungsi ginjal, yaitu obstruksi berlangsung lebih dari 6
minggu.

DAFTAR PUSTAKA
Ather, M Hammad. Optimal Minimally Invasive Treatment of
Ureterolithiasis. 2001. Brazillian Joumal of Urology.

Evan, Andrew P. Physiopathology and Etiology of Stone Formatio


Kidney and the Urinary Tract. 2009. Disitasi dari US National Library of
Medicine National Institutes of Health

Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi. 2011. Jakarta : Sagung Seto.

Ratu, G dkk. 2006. Profil Analisis Batu Saluran Kemih di Laboratorium


Patologi Klinik. Disitasi dari journal.unair.ac.id

Turk, Christian, dkk. 2016. Medical Expulsive Therapy for


Ureterolithiasis: The EAURecommendations in 2016. Disitasi dari
curopeahurology.com

Anda mungkin juga menyukai