Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkatnyalah laporan Kasus yang berjudul “PERITONITIS EC APPENDISITIS
PERFORASI” dapat diselesaika. Laporan ini disusun sebagai tugas dalam menjalani Program
Dokter Internship di wahana RSUD Rejang Lebong.
Dalam menyelesaikan laporan ini, penulis memperoleh banyak bantuan serta bimbingan
dari berbagai pihak, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar institusi. Melalui ini,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Rejang Lebong
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ
perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus
organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau
difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau
aseptik.Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari
kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. AS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 53 tahun
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Desa muning Agung Kecamatan Lebong Sakti
Tanggal MRS : 6 Juni 2023
Tanggal Pengkajian : 6 Juni 2023
Nomor Rekam Medik : 247058
Dokter yang merawat : dr. Selamet, Sp.B
Keluhan Utama
Os datang dengan keluhan nyeri diseluruh bagian perut sejak 1 hari SMRS.
2
• Riwayat Sosial dan Ekonomi
- Pasien minum air putih 1.5 - 3 L/hari.
- Pasien perokok aktif.
- Makan tidak teratur, dan olahraga jarang.
• Thorax
Pulmo :
- Inspeksi : Dinding dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : vesikuler di kedua lapang paru, wheezing (-), ronkhi (-)
Cor :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
3
- Perkusi : Batas kanan jantung linea strenalis dextra
Batas pinggang jantung ICS 3 linea parasternalis sinistra
Batas kiri jantung ICS 5 linea midclavicula sinistra
- Auskultasi: Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen
- Inspeksi : simetris, scar (-), hiperpigmentasi (-),
- Auskultasi : BU 8 x/mnt (+) normal
- Palpasi : Distensi (-), massa (-), hepar dan lien tak teraba, defans
muscular (+), nyeri tekan (+) seluruh regio abdomen.
Mc burney (+).
- Perkusi : Timpani (+)
• Ekstremitas
Superior Inferior
4
2.4.2. Rontgen Thorak AP
Kesan:
• Tidak tampak kardiomegali
5
2.8. Follow Up
07 Juni 2023 S/
nyeri pada luka post operasi laparatomi h+1. Mual sesekali dirasakan.
muntah (-),demam (-), flatus (+).
O/
Keadaan umum : Tanpak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4V5M6
Tanda-tanda vital:
• Nadi : 124 x/menit
• Tekanan darah : 230/70 mmHg
• Pernapasan : 20 x/menit
• Suhu : 37,00C
Pemeriksaan fisik abdomen:
I: datar, jejas (-)
A: BU (+) N
P: NT (+) regio umbilikus.
P: timpani (+)
A/
• post op Laparatomi H+1
P/
• IVFD Flutrolit xx gtt/menit
• Dexketoprofen 3x1 IV
• Metronidazole 3x500 IV
• Omeprazole 1x1 IV
• Floxaris 1x1 IV
8 juni 2023 S/
Nyeri pada luka post operasi Laparatomi h+1. Mual (-), muntah (-),demam
(-). BAB dan BAK Tak.
6
O/
Keadaan umum : Tanpak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4V5M6
Tanda-tanda vital:
• Nadi : 90 x/menit
• Tekanan darah : 120/80 mmHg
• Pernapasan : 20 x/menit
• Suhu : 36,90C
Pemeriksaan fisik abdomen:
I: Datar,
A: BU (+) N
P: NT (+) regio umbilikus.
P: timpani (+)
A/
• post op Laparatomi H+2
P/
• IVFD Flutrolit xx gtt/menit
• Dexketoprofen 3x1 IV
• Metronidazole 3x500 IV
• Omeprazole 1x1 IV
• Floxaris 1x1 IV
9 juni 2023 S/
nyeri pada luka post operasi lapartomi h+3 berkurang.. Mual (-), muntah (-
),demam (-). BAB dan BAK tak.
O/
Keadaan umum : Tanpak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4V5M6
Tanda-tanda vital:
• Nadi : 80 x/menit
• Tekanan darah : 130/80 mmHg
7
• Pernapasan : 19 x/menit
• Suhu : 36,70C
A/
• post op Laparatomi H+3
P/
• Pasien diperbolehkan pulang
• Ganti Verban
• Cefixime 2x200mg PO
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peritonitis
3.1 Definisi
Peritonitis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
peritoneum. Peritoneum adalah lapisan tipis dari jaringan yang melapisi organ-organ
perut dan terletak di dalam dinding perut. Peradangan ini disebabkan oleh infeksi
bakteri atau jamur pada membrane ini. Ada dua tipe peritonitis yaitu primer dan
sekunder. Peritonitis primer disebabkan oleh penyebaran infeksi dari pembuluh darah
dan pembuluh limfe ke peritoneum. Penyebab peritonitis primer yang paling umum
adalah penyakit hati. Peritonitis sekunder adalah tipe peritonitis yang lebih umum. Hal
ini terjadi ketika infeksi yang berasal dari saluran pencernaan atau saluran empedu
menyebar ke dalam peritoneum. Peritonitis juga dapat bersifat akut atau kronis.
Peritonitis akut adalah peradangan yang tiba-tiba pada peritoneum sedangkan
peritonitis kronis adalah peradangan yang berlangsung sejak lama pada peritoneum.
Peritonitis adalah keadaan darurat yang mengancam jiwa karena memerlukan
perawatan medis secepatnya. Infeksi menghentikan pergerakan usus yang normal
(peristaltik). Tubuh segera mengalami dehidrasi, dan zat-zat kimia penting yang disebut
elektrolit dapat menjadi sangat terganggu. Seseorang yang menderita peritonitis dan
tidak dirawat dapat meninggal dalam beberapa hari.
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau
sekunder, akut atau kronis dan diakibatkan oleh kontaminasi kapasitas peritoneal oleh
bakteri atau kimia. Primer tidak berhubungan dengan gangguan usus dasar (contoh:
sirosis dengan asites, system urinarius); sekunder inflamasi dari saluran GI,
ovarium/uterus, cedera traumatic atau kontaminasi bedah (Doenges, 1999). Peritonitis
adalah inflamasi peritonium yang bias terjadi akibat infeksi bacterial atau reaksi
kimiawi (Brooker, 2001). Peritonitis adalah infeksiseius atau peradangan dari sebagian
atau seluruh peritonium, penutup dari saluran usus (Griffith, 1994).
9
3.2 Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan didalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasitifus
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena
trauma abdomen.
1. Bakterial, misalnya Bacteroides, E.Coli, Streptococus,Pneumococus, proteus,
kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
Misalnya peradangan dinding peritonium yang terjadi bila benda asing termasuk
bakteri atau isi gastrointestinal.
2. Kimiawi, yaitu pada getah lambung,dan pankreas, empedu,darah, urin, benda asing
(talk, tepung).
Misalnya, robek atau perforasi dari organ mana saja diperut, seperti apendiksitis,
tukak peptik, atau divetikulum yang terinveksi atau kandung kemih. Juga luka pada
dinding perut, seperti karena pisau atau luka karena tembak, atau dapat pula karena
penyakit radang panggul atau robeknya kehamilan ektopi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
1. Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga
peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous
bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien
dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi
gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid)
akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).
10
Berikut penyebab peritonitis sekunder :
Regio Asal Penyebab
Boerhaave syndrome
Malignancy
Esophagus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal
Stomach stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Duodenum Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or
common duct
Biliary tract Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Crohn disease
Small bowel Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
11
Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy
Large bowel and Ulcerative colitis and Crohn disease
appendix Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo
Uterus, salpinx, ovarian abscess, ovarian cyst)
and ovaries Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)
12
3.3 Pathway
Masuk ke rongga
peritoneum
PERITONITIS
Refluk makan ke
atas Kekurangan
volume cairan
Mual, muntah, dan elektrolit
anoreksia
Intake inadekuat
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan
13
3.4 Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan
peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas,
batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri
tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum
visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda
peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis
bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen
yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara
tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi
peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan
nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi
positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat,
penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic),
penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
3.5 Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga
abdomen sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor.
Terjadinya proliferasi bacterial, terjadinya edema jaringan dan dalam waktu singkat terjadi
eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan
jumlah protein, sel darah putih, debris seluler dan darah. Respons segera dari saluran usus
adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus paralitik disertai akumulasi udara dan cairan dalam
usus.
14
3.6 Komplikasi
Menurut Chushieri komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut
sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut,
yaitu :
a. Komplikasi dini
1) Septikemia dan syok septic
2) Syok hipovolemik
3) Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
system
4) Abses residual intraperitoneal
5) Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
1) Adhesi
2) Obstruksi intestinal rekuren
2) X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Fotopolos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
a) Illeus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis.
b) Usus halus dan usus besar dilatasi
c) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi
15
3) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan
fotopolos abdomen 3 posisi, yaitu :
a) Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
b) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
a) Tiduran miring kekiri (left lateral decubitus = LLD), dengansinar horizontal
proyeksianteroposterior.
3.8 Penatalaksanaan
3.8.1 Pembedahan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua
penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomieksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
a. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defansmuskuler yang meluas, nyeri tekan
terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok,
anemia progresif), tanda sepsis (panastinggi, leukositosis), dan tanda iskemia
(intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
b. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensiusus,
extravasasi bahan kontras, tumor, danoklusi vena atau arteri mesenterika.
c. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran
cerna yang tidak teratasi.
d. Pemeriksaan laboratorium.
Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
a. Mengeliminasi sumber infeksi.
b. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
c. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
16
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah a.l :
a. Mempuasakanpasienuntukmengistirahatkansalurancerna.
b. Pemasangan NGT untukdekompresilambung.
c. Pemasangankateteruntuk diagnostic maupun monitoring urin.
d. Pemberianterapicairanmelalui I.V.
e. Pemberian antibiotic.
Terapi bedah pada peritonitis a.l :
a) Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas
dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
b) Pencucian rongga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,
kainkassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk
menghilangkan pus, darah, danjaringan yang nekrosis.
c) Debridemen: mengambiljaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
d) Irigasi kontinyu pasca operasi.
Terapi post operasi a.l:
a) Pemberiancairan I.V, dapat berupa air, cairanelektrolit, dannutrisi.
b) Pemberian antibiotic
c) Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.
3.8.2 Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokusseptik (apendiks, dsb)
atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-
tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonic adalah penting. Pengembalian
volume intravascular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
1) Terapi antibiotic harus diberikan segera setelah diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organism
17
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakterei akan berkembang selama operasi.
2) Pembuangan focus septic atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertical di garis tengah yang
menghasilkan jalan masuk keseluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika
peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan di atas tempat inflamasi.Tehnik operasi yang
digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat
patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang
terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus
yang perforasi.
3) Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ke
tempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika
(misalsefalosporin) atau antiseptik (misalpovidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteri menyebar ke tempat lain.
4) Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminaneksogen. Drainase berguna pada keadaan dimanater
jadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk
peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
3.8.3 Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat,
terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau
divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitisakut) atau penyakit radang panggul
pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang
tepat, bila perlu beberapa macam antibiotic diberikan bersamaan.
18
B. Apendisitis Perforasi
3.1 Definisi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik. Apendisitis
adalah peradangan dari apendiks veriformis dan merupakan penyebab nyeri abdomen
akut. Apendiks memiliki panjang sekitar 6 cm sampai 9 cm pada orang dewasa 20-30
tahun Dasar apendiks melekat pada sekum dan ujungnya memiliki beberapa posisi seperti
retrosekal, pelvis, antesekal, preileal, retroileal, atau perikolik kanan.
Apendisitis akut merupakan infeksi yang terjadi pada apendiks vermiformis atau
biasa dikenal di masyarakat dengan peradangan usus buntu. Keterlambatan penegakkan
diagnosis berimplikasi pada tatalaksana yang tidak optimal dan dapat menimbulkan
komplikasi berupa perforasi. Perforasi apendiks vermiformis akan mengakibatkan
peritonitis dan dapat menyebabkan sepsis yang tidak terkontrol serta abses intraabdomen.
Semakin lama keluhan nyeri abdomen yang dialami pada pasien apendisitis akut, semakin
tinggi pula kemungkinan terjadinya perforasi.
Apendisitis perforasi adalah Pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
3.2 Klasifikasi
19
4) Apendisitis infiltrate
Proses radang apendiks yang penyebaran;nya dapat dibatasi oleh omentum, usus
halus, sekum, kolon dan peritoneum sehinnga membentuk gumpalan massa yang
melekat erat satu dengan lainnya.
5) Apendisitis abses
Massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus)
6) Apendisitis perforasi
Pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam
rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak
daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik
Apendisitis kronik jarang terjadi daripada apendisitis akut dan lebih sulit untuk
didiagnosis, insidensnya hanya 1% di Amerika Serikat. Apendisitis kronik yang dapat
menjadi akut lagi disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut. Penegakan
diagnosis pada apendisitis kronis paling tidak harus ditemukan 3 hal yaitu :
a) Memiliki riwayat nyeri kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3
minggu tanpa alternatif diagnosis lain;
b) Setelah dilakukan apendektomi gejala yang dialami pasien tersebut hilang;
c) Secara histopatologik, gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis
yang aktif pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks.
3.3 Etiologi
Etiologi dari apendisitis ini masih belum bisa dipahami. Obstruksi dari lumen
adalah faktor yang mendominasi pada apendisitis akut. Fekalit, residu makanan yang
belum tercerna sempurna, hiperplasia limfoid, luka intraluminal, tumor, bakteri, virus
dan inflammatory bowel disease itu semua dapat berhubungan dengan inflamasi
apendiks pada apendisitis. Penyebab tersering pada obstruksi apendik adalah fekalit
hampir 50% kejadian apendisitis akut disebabkan hal ini, sedangkan untuk hipertrofi
jaringan, sayuran, biji buah, cacing (Enterobius vermicularis, Balantidum coli,
Schistosoma haematobium) lebih sedikit.
Pada 60% aspirasi cairan apendiks yang meradang ditemukan adanya bakteri
anaerob,pada jaringan apendiks normal hanya ditemukan 25% bakteri anaerob. Menurut
studi yang dilakukan di Ukraina pada tahun 2016, dari 153 sampel pasien apendisitis
20
ditemukan terdapat 82 sampel (80,39%) yang positif terdapat bakteri E.coli, 52 sampel
(50,98%) terdapat bakteri Staphylococcus dan bakteri fecal Streptococcus pada 9 sampel
(18,63%).
3.4 Patofisiologi
21
3.5 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada pasien apendisitis akut biasanya adalah nyeri pada
abdomen. Nyeri dimulai dari area periumbilical/epigastrium berpindah ke fossa iliaka
kanan dalam beberapa jam. Kemungkinan setelah itu muncul gejala lain seperti tidak
nafsu makan, mual dan muntah selama 12-24 jam.Nyeri awal pada periumbilikal
disebabkan oleh obstruksi dan inflamasi dari apendiks dan di medias melalui saraf nyeri
visceral sebagai nyeri. Ketika parietal peritoneum terlibat dapat menyebabkan nyeri
somatik yang melokalisasi, intense dan konstan yang menjalar.Dalam apendisitis awal,
pasien mulanya afebrile atau memiliki demam rendah. Pada apendisitis perforasi, disertai
dengan demam tinggi juga nyeri abdomen secara menyeluruh.Pasien juga dapat
mengalami diare ataupun tenesmus.
Sangat penting untuk mengidentifikasi pasien yang kemungkinan memiliki
apendisitis sedini mungkin untuk meminimalisir resiko terjadinya komplikasi. Pasien
yang memiliki gejala lebih dari 48 jam kemungkinan sudah perforasi. Apendisitis harus
dimasukan pada diagnosis banding untuk nyeri pada abdomen pada setiap pasien pada
semua umur kecuali kalau yakin organ tersebut sudah dihilangkan.
Tanda umum dari apendisitis akut adanya demam sedang dan takikardi yang
mungkin karena inflamasi yang terjadi pada apendiks. Sedangkan tanda local yang khas
adalah tenderness terlokalisir dan persisten di daerah McBurney, walaupun bergantung
dari lokasi apendiks itu sendiri.Munculnya kekakuan otot dari fossa illiaka kanan juga
dapat timbul karena inflamasi yang terjadi pada parietal peritoneum.
Pasien dengan apendisitis pelvis biasanya menunjukan adanya dysuria, frekuensi
BAK, diare atau tenesmus. Pasien dengan apendisitis ini kemungkinan hanya mengalami
nyeri di regio suprapubic pada palpasi atau pada pemeriksaan rectal atau pelvis.
Pemeriksaan pelvis pada wanita adalah suatu keharusan untuk menyingkirkan diagnosis
banding seperti inflammatory disease, kehamilan ektopik dan ovarian torsion. Frekuensi
gejala dan tanda yang ditunjukan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
22
Frekuensi Gejala yang Sering Muncul
Gejala Frekuensi
Nyeri Abdomen >95%
Anoreksia >70%
Konstipasi 4-16%
Diare 4-16%
Demam 10-20%
Perpindahan nyeri ke kuadran kanan 50-60%
bawah
Mual >65%
Muntah 50-75%
Sumber : Harrison, 2015
3.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis pada apendisitis akut dapat ditegakan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut meliputi :
a. Anamnesis
Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua pasien
dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan manifestasi klinis diatas yakni
mual, muntah pada keadaan awal yang diawali dengan nyeri perut kuadran kanan
bawah yang makin progresif. Keluhan utama pada pasien apendisitis akut adalah
23
nyeri pada abdomen. Pasien akan menjelaskan nyeri kolik pada peri-umbilikal
yang semakin nyeri pada 24 jam pertama, yang menjadi konstan dan tajam, dan
berpindah ke fossa iliaka kanan. Nyeri awal mewakilkan nyeri peralihan hasil
dari inevarsi visceral midgut dan nyeri yang terlokalisir disebabkan oleh
terlibatnya parietal peritoneum setelah proses inflamasi. Kehilangan selera
makan sering sebagai fitur yang predominan, dan konstipasi juga mual sering
muncul.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada tanda vital kadang ditemukannya berupa takikardi ringan ataupun
peningkatan suhu. Pada pemeriksaan fisik pasien dilakukan pemeriksaan di titik
McBurney (sepertiga distal garis antara umbilikus dan spina iliaka anterior
superior atau SIAS kanan)untuk mengetahui adanya tenderness, guarding dan
juga rebound, lalu dilakukan pemeriksaan Rovsing’s sign (nyeri pada kuadran
kanan bawah ketika dilakukan palpasi di kuadran kiri bawah) untuk mengetahui
terjadinya iritasi pada baian peritoneal. Setelah itu dilakukan pemeriksan Psoas
sign (perlahan mengekstensi paha kanan pasien dengan posisi pasien berbaring
kearah kiri) untuk membuktikan adanya inflamasi local ketika otot illiopsoas,
lalu dilakukan juga pemeriksaan Obturator sign (internal rotasi pada paha kanan
pasien yang difleksikan dengan posisi pasien supinasi)untuk menunjukan adanya
indikasi terjadi iritasi dekat obturator internus. Penjelasan lebih detail untuk
pemeriksaan fisik dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
24
c. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pada apendisitis dapat ditegakan melalui beberapa tes yaitu
pemeriksaan darah lengkap terutama sel darah putih, analisa urin, dan juga
patologi untuk mendapatkan bukti yang menunjang. Investigasi untuk
apendisitis akut yang harus dilakukan yaitu :
1. Analisa urin : hampir 40% dapat muncul keabnormalan
2. Test kehamilan : menyingkirkan adanya kehamilan pada wanita
3. Pemeriksaan darah lengkap : neutrophil (75%), predominan
leukositosis (80-90%)
4. C reactive protein : dapat terjadi peningkatan konsentrasi
Sistem scoring dan algoritma telah diusulkan untuk membantu diagnosis pada
apendisitis akut namun belum digunakan secara luas. Tes laboratorium ini diperlukan
untuk membantu menyingkirkan diagnosis banding.
Leukosit adalah grup heterogen dari sel bernukleus yang dapat ditemukan di
sirkulasi darah selama kita hidup. Leukosit diklasifikasikan menjadi granulosit, limfosit
dan monosit, granulosit memiliki 3 variasi yaitu neutrofil (PMN), eosinofil dan basofil.
Konsentrasi normal di dalam darah bervariasi antara 4000sel/mm3dan 10.000
sel/mm3.Leukosit memiliki peran penting dalam fagositosis dan imunitas dalam
menghadapi infeksi. Leukosit dapat dievaluasi dengan beberapa teknik yang dapat
dilakukan di laboratorium, salah satunya yang paling mudah adalah hitung jumlah
leukosit dan hitung jenis leukosit.
25
3.6.2 Pemeriksaan Urin
Urinalisis berguna pada kasus yang diragukan mengarah pada infeksi saluran
kemih yang menyerupai apendisitis. Namun, apendiks terinflamasi yang berbatasan
dengan ureter atau kantung kemih dapat menyebabkan sterile pyuria atau hematuria.
Setiap wanita dalam usia kehamilan harus melakukan tes kehamilan bila dicurigai
kehamilan ektopik
3.6.3 Radiografi
Pemeriksaan radiografi jarang membantu dalam menegakan diagnosis
apendisitis.Pada pemeriksaan abdomen polos dapat menunjukan pola gas di saluran
cerna yang tidak spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan jika dikhawatirkan adanya kondisi
lain seperti fekalit di kuadran kanan bawah, obstruksi saluran cerna atau ureterolithiasis,
hampir <5% akan menunjukan adanya fekalit dengan gambaran opaque di bagian
kuadran kanan bawah abdomen. Kemunculan dari fekalit bukanlah diagnosis dari
apendisitis, walaupun kemunculannya pada letak dimana pasien mengeluhkannya.
Sensitivitas keseluruhan pada alat ultrasonography adalah 86 % dan spesifitas 85%.
Ultrasonography, terutama dengan Teknik intravaginal terbukti sebagai identifikasi
paling berguna untuk patologi perlvis pada Wanita. Penemuan USG pada apendisitis
yaitu adanya penebalan dinding dan meningkatnya diameter apendiks dan juga adanya
cairan bebas.
Pemeriksaan menggunakan Computed Termography (CT) memiliki sensitivitas
76-100% dan spesifitas 83-100% , pemeriksaan ini berguna terutama jika dicurigai
sudah terbentuknya abses. Penemuan pada CT adalah termasuk dilatasi >6 mm dengan
penebalan dinding, lumen yang tidak terisi dengan kontras enterik, dan jaringan
berlemak yang terurai atau udara disekitas apendiks, yang mengarah pada inflamasi.
Selain pemeriksaan lab seperti diatas bisa dilakukan juga penilaian berdasarkan
Skor Alvarado, Skor Alvarado ini memiliki sensitivitas 96% dan spesifitas 81% dalam
penegakan diagnosis apendisitis. Berdasarkan Skor Alvarado, pasien dikategorikan
menjadi resiko rendah (Skor<4), resiko sedang (4-7) dan resiko tinggi (≥8). Pada
tabel dibawah ini dijabarkan skor alvarado.
26
Skor Alvarado
Tabel Skor Alvarado Skor
Gejala Klinis
Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1
Nafsu makan menurun 1
Mual dan muntah 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas McBurney 1
Nyeri tekan pada titik McBurney 2
Demam 1
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis 2
Shift to the left neutrophil 1
Total 10
3.7 Komplikasi
Komplikasi pada apendisitis akut adalah terjadinya rupture atau perforasi karena
obstruksi terus menerus pada lumen sehingga menimbulkan gangrene distal.Ruptur
muncul pada 15-25 persen pasien dengan kejadian tinggi pada anak- anak dan
geriatric.Gejala terjadinya rupture kadang terjadinya penurunan nyeri (hanya 4 persen)
karena hilangnya secara tiba-tiba distensi abdomen pada beberapa pasien. Peningkatan
suhu dan juga peningkatan leukosit daripada kasus apendisitis akut biasa juga bisa
terjadi.
27
3) Infeksi Saluran Kemih
Timbul gejala pada system berkemih dan tidak adanya kekakuan pada abdomen,
sering ditemukan nyeri pada costovertebral angle bukan di fossa iliaka kanan juga
pada pemeriksaan lab ditemukan bakteriuria.
4) Peritonitis Primer
5) Pelvic Inflammatory Disease
Jika pada pasien apendisitis akut tidak terdapat kontraindikasi, memiliki riwayat
medis yang kuat dan juga pemeriksaan fisik dengan didukung oleh pemeriksaan
laboratorium harus segera dilakukan apendektomi. Sedangkan pada pasien dengan
perforasi terutama dengan abses disarankan untuk diberikan antibiotic terlebih dahulu
lalu dikakukan apendektomi.
Seluruh pasien harus dipersiapkan secara keseluruhan untuk pembedahan dan
mengkoreksi keabnormalan pada cairan dan elektrolit. Pasien yang hendak melakukan
operasi sebaiknya diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi terjadinya infeksi
pada area yang dioperasi dan abses intra-abdominal, pemilihan antibiotic berdasarkan
mikrobiologi local dan resistensi obat pada pasien. Apendiktomi dapat berupa terbuka
atau laparascopic. Apendiktomi secara terbuka atau tradisional dilakukan oleh metode
standar dengan beberapa bantuan dari insisi. Laparoscopic apendiktomi digunakan
sekitar 60% pada semua apendektomi termasuk perforasi. Laparoskopik disertai dengan
nyeri post-operatif yang sedikit dan kemungkinan jangka waktu yang pendek untuk
pulih pada aktivitas normal. Pasien yang melakukan laparoskopik juga memiliki luka
infeksi yang sedikit.
Jika tidak ada komplikasi, maka pasien dapat pulang setelah 24 – 40 jam setelah
operasi. Komplikasi post-operasi tersering adalah demam dan juga leukositosis. Jika
ditemukan keadaan ini lebih dari 5 hari maka harus dicurigai adanya abses
intraabdominal.
28
terjadinya perforasi dan angka morbiditas sehingga dapat memperburuk prognosis
dari penyakit itu sendiri.
2. Kasus apendisitis perforasi ditandai dengan adanya perasaan tidak nyaman pada
daerah periumbilikus, diikuti dengan anoreksia, mual dan muntah yang disertai
dengan nyeri tekan kuadran kanan bawah juga rasa pegal dalam atau nyeri pada
kuadran kanan bawah. Demam dan lekositosis juga dapat terjadi pada awal
penyakit. Apendisitis mungkin tidak menunjukkan gejala pada usia lanjut dan
tidak adanya nyeri pada kuadran kanan bawah (Robbins,et al ., 2007).
3. Saat ini telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi
negative, salah satunya adalah dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah
sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat, dan kurang
invasive(Saleem MI, 1998).Alfredo Alvarado (1986) membuat sistem skor yang
didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi
ini dibuat berdasarkan temuan pre-operasi dan digunakan untuk menilai derajat
keparahan apendisitis perforasi. Sistem skor ini menggunakan tanda dan gejala
yang meliputi migrasi nyeri, anoreksia, mual, muntah, nyeri tekan abdomen
kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan, suuhu badan lebih dari 37,2 C,
lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah
dan lekositosis memiliki nilai 2 dan enam lainnya masing-masing memiliki nilai
1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Rice,et al., 1999).
4. Salah satu proses kegawatdaruratan perforasi terjadi 24 jam setelah rasa nyeri.
Gejalanya meliputi demam dengan suhu 37,7 C atau lebih tinggi lagi, nyeri tekan
abdomen yang berkelanjutan. (Smeltzer & Bare,2002)
5. Apendisitis merupakan penyakit yang jarang mereda dengan spontan, namun
penyakit ini mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami
perforasi. Perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, sehingga observasi aman
untuk dilakukan dalam masa tersebut. Perforasi dapat terjadi dengan
menimbulkan tanda-tanda seperti nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan
bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam,
malaise, dan leukositosis. Apabila perforasi dengan peritonitis umum telah terjadi
sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat segera ditegakkan (Mansjoer,
2012).
29
BAB IV
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A. (2017). Relaksasi Nafas Dalam Menurunkan Kecemasan Pasien Pre Operasi Bedah
Abdomen. Jurnal Kesehatan, Volume VIII, Nomor 2.
Tennesse: Medscape. Depkes RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia (Laparatomi). Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik.
Depkes RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Pelayanan
Medik. Doherty, Way LW. (2006). Current surgical diagnosis and treatment, edisi ke 12. New
York: The McGraw Hill companies.
Ikawati, Desi. (2019). Pengaruh Terapi Musik Instrumental Terhadap Intensitas Nyeri Pada
Pasien Pasca Operasi Laparatomi Di Ruang Bedah RSUD Dr H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung 2019. Poltekkes Tanjungkarang.
Japanesa, A. (2016). Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis Akut di Bangsal Bedah
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Padang: Jurnal Kesehatan Andala.
Marshall, J. (2004). Current focus. Intra-abdominal infections. Elsevier, Volume 6, pp. 1015-
1025.
Mieny, C & Mennen, U. (2013). Principles of surgical patient care. Volume II, pp. 1- 96.
31
Notoatmojo., S. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Renika Cipta Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.
Nugraheni. (2016). Pengaruh Inform Consent tentang Prosedure Pre Operasi Appendiktomi
Terhadap Kecemasan Pasien di RSUD Pandan Arang Boyolali. Naskah Publikasi.
Surakarta : STIKES Kusuma Husada.
Togatorop, Via Eliadora. (2020). Asuhan Keperawatan perioperatif Pada Pasien Dengan
Tindakan Laparatomi atas indikasi Peritonitis di Ruang Ok Rumah Sakit Airan Raya
Lampung Selatan Tahun 2020. Poltekkes Tanjungkarang.
Wirawan, Komang. (2020). Asuhan Keperawatan Perioperatif Pada Pasien Dengan Tindakan
laparatomi Atas Indikasi Trauma Tumpul Abdomen Di Ruang Bedah RS Airan Raya
Lampung Selatan Provinsi Lampung.
32