Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindakan anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dapat berupa
anestesi umum maupun regional. Kedua teknik ini masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan yang tentunya akan berpengaruh terhadap indeks
kepuasan pelayanan anestesi di rumah sakit. General anestesi merupakan tindakan
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali (reversible). General anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini
masuk ke jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi. Selama masa
induksi pemberian obat bius harus cukup untuk beredar di dalam darah dan
tinggal di dalam jaringan tubuh. Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah
Endotrakea Tube (ETT) dan Laringeal Mask Airway (LMA).¹
Pemakaian pipa endotrakeal (endotracheal tube/ETT) merupakan tindakan
yang sering dilakukan pada prosedur anestesi umum. Komplikasi pemakaian ETT
dapat terjadi saat intubasi maupun ekstubasi. Penelitian di Wales tahun 2008
terhadap 250 pasien yang menjalani prosedur anestesi umum mendeskripsikan
bahwa batuk merupakan komplikasi paling sering saat ekstubasi, yaitu 35,6%.
Data yang diperoleh di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, Denpasar
tahun 2015 menunjukkan sebagian besar operasi atau tindakan bedah dilakukan
dengan anestesi umum. Dengan keterangan dari tindakan bedah, sebanyak 4.582
(68,18%) dilakukan intubasi endotrakeal dengan anestesi umum. ¹

BAB II
LAPORAN KASUS
2

1. IDENTITAS
 Nama : Barata Anugra
 Jenis Kelamin : Laki - laki
 Umur : 8 bulan
 Agama : Islam
 Alamat : DSN IX Jl. Suka Setia Labuhan Deli
 Pekerjaan :
 Status Perkawinan :
 No RM : 325397

2. ANAMNESA
 Keluhan Utama : Bibir sumbing sejak lahir
Telaah :

Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan bibir sumbing
sejak lahir. Ibu pasien mengatakan bahwa kelainan pada bibir pasien tidak
mengganggu asupan ASI yang diberikan. Makan minum lancar. Keluhan demam
(-), batuk (-), sesak napas (-), susah makan (-), BAB (+) konsistensi kenyal, warna
kekuningan, darah (-), 3-4 kali per hari. BAK (+), konsistensi cair, berwarna
kekuningan, 5-6 kali per hari.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada
Riwayat Alergi :
- Tidak ada
Riwayat Pengobatan :
- Tidak ada
Riwayat Psikososial :
- Merokok (-)
- Alkohol (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
 Keadaan Umum : Compos mentis
 Tinggi Badan : 73 cm
 Berat Badan : 7 kg
Keadaan Gizi
BB: 73 cm
TB: 7 kg
 Bb/u diantara -2 SD sampai +2 SD : Baik
3

 Tb/u diantara -2 SD sampai +3 SD : Normal


 Bb/tb untuk status gizi <-2 SD sampai -3 SD : Gizi kurang

Kurva Pertumbuhan BB/U 0-5 tahun

Interpretasi BB/U WHO


 < -3 SD : BB sangat kurang
 Di antara < -2 SD sampai -3 SD : BB kurang
 Di antara -2 SD sampai +2 SD : BB cukup
 > +2 SD : mungkin ada masalah pertumbuhan,
lakukan penilaian berat badan menurut tinggi badan

Kurva Pertumbuhan TB/U 0-5 tahun


4

Interpretasi TB/U WHO


 Di <-3 SD : Sangat pendek
 <-2 SD sampai -3 SD : Pendek
 -2 SD sampai +3 SD : Normal
 > +3 SD : Sangat tinggi

Kurva Pertumbuhan BB/TB 0-5 tahun


5

InterpretasI BB/TB WHO


 Di < -3 SD : Gizi buruk
 Di antara <-2 SD sampai -3 SD : Gizi Kurang
 Di antara -2 SD sampai +2 SD : Gizi baik/cukup. Untuk anak
dengan BB/TB >+1 SD dikategorikan beresiko gizi lebih, harus dilakukan
penghitungan BMI dan di plot ke kurva BMI
 Di antara +2 SD sampai +3 SD : Gizi lebih, harus dilakukan
penghitungan BMI dan diplot ke kurva BMI WHO
 Di > +3 SD : Obesitas, harus dilakukan
penghitungan BMI dan diplot ke kurva BMI WHO

 B1 (Breath)
 Airway : Clear
 RR : 21 x/menit
 SP : Vesikuler ka=ki
 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)

 B2 (Blood)
 Akral : Hangat
 TD : 100/80 mmHg
6

 HR : 116x/menit
 B3 (Brain)
 Sensorium : Compos Mentis, GCS= 15
 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
 RC : (+)/(+)
 B4 (Bladder)
 Urine Output :-
 Kateter : Tidak Terpasang
 B5 (Bowel)
 Abdomen : Soepel
 Peristaltik : 7x/i
 Mual/Muntah : (-)/(-)
 Puasa (+)
 B6 (Bone)
 Oedem : (-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
 Hb : 11,0 g/dl (11,7 – 15,5 g/dl)
 HT : 31,0 % (35 – 47 %)
 Eritrosit 6
: 4,2 x 10 /µL (3,8 – 5,2 x 106/µL)
 Leukosit : 9,370 / µL (4000 – 11.000 / µL)
 Trombosit : 402,000 / µL (150.000 – 450.000 / µL)
Hitung Jenis Leukosit
 Eosinofil : 1% (1-3 %)
 Basofil : 1% (0-1 %)
 N. Stab : 0% (2-6 %)
 N. Seg : 26% (53-75 %)
 Limfosit : 61% (20-45 %)
 Monosit : 11% (4-8 %)
Fungsi ginjal
 Ureum :
 Kreatinin :
Glukosa Darah
 glukosa darah sewaktu :
 Fungsi Hati
 SGOT :
 SGPT :
7

Diagnosis : Labioschizi

5. RENCANA TINDAKAN
 Tindakan : Labio plasty
 Anesthesi : GA-ETT
 PS-ASA : II(pasien dengan penyakit sistemik ringan-sedang
seperti hipertensi terkontrol)
 Posisi : Supinasi
 Pernapasan : Kontrol dengan ventilator

6. PERSIAPAN OBAT GA-ETT


Premedikasi
 Midazolam : 0,35 mg
 Fenthanyl : 14 mg
Medikasi
 Propofol : 14 mg
 Atracurium : 0,35 mg
 Atropin : 0,07 mg
 Fentanyl : 7 mg
 Neostigmin : 0,5 mg

Maintenance
 Sefoflurance : 1%
 RL : 500 cc
Sebelum tindakan ekstubasi
 Neostagmin + Sulfas Atropine (3:3)
Pernapasan
 O2 : 4 L/menit
 N2O :
 Sefoflurane : Pemberian awal 1% sampai akhir
Jumlah Cairan
 PO : RL 200 cc
 DO : RL 400 cc
 Produksi Urin :-
Perdarahan
 Kassa Basah :-
 Kassa 1/2 basah :-
 Suction : 10 cc
 Jumlah : 10 cc
 EBV : 7 x 65 = 455 cc
 EBL 10 % = 45,5 cc
8

20 % = 91 cc
30 % = 136,5 cc
Durasi Operatif
 Lama Anestesi = 11.10 – 13.00 WIB
 Lama Operasi = 11.15 – Selesai

Teknik Anastesi : GA - ETT


 Premedikasi dengan Inj. Midazolam 0,35 mg dan Inj. Fentanyl 14 mg →
Induksi: Propofol 14 mg → Sleep non apnoe → Inj. Atracurium 0,35 mg
→ Sleep apnoe → Oksigenasi dengan O2 5-10 menit sampai saturasi 99%
Insersi ETT no. 3 → cuff (+)→ SP kanan = kiri → fiksasi.
Preoksigenasi → pernafasan terkontrol dengan Ventilator dan saturasi >
95%.

7. POST OPERASI
 Operasi berakhir pukul : 13.00 WIB
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau selama 2 jam, yaitu setiap 15 menit
pada 1 jam pertama dan setiap 30 menit pada 1 jam berikutnya.
 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI


 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, makan dan minum sedikit demi sedikit apabila pasien
sudah sadar penuh dan peristaltik normal.

8. TERAPI POST OPERASI


 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD RL 32gtt/menit
 Inj. Paracetamol
9

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LABIO SCHIZI

A. Definisi

Celah bibir (cleft lip) merupakan kelainan kongenital yang disebabkan


gangguan perkembangan wajah pada masa embrio. Celah dapat terjadi pada bibir,
10

langit-langit mulut (platum), ataupun kelainan pada keduanya. Celah pada bibir
disebut labiochisis sedangkan celah paa langit langit mulut disebut palatochisis.
Penanganan celah adalah dengan cara pembedahan.

B. Etiologi
 Faktor genetik
 Faktor non genetik
a. Defisiensi nutrisi
b. Zat kimia
c. Virus rubella
d. Trauma

C. Klasifikasi

Klasifikasiyang diusulkan oleh veau dibagi dalam 4 golongan yaitu:

 Golongan I : celah pada langit-langit lunak


 Golongan II : celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen
insisivum
 Golongan III : celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada satu sisi
 Golongan IV : celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada dua sisi.

Klasifikasi dari American Cleft Association ( 1962)

1. Celah langit-langit primer


 Celah bibir : unilateral, median atau bilateral dengan derajat luas celah
1/3,2/3 dan 3/3.
 Celah alveolar dengan segala variasinya.
2. Celah langit-langit sekunder
 Celah langit-langit lunak dengan variasinya.
 Celah langit-langit keras dengan variasinya.
3. Celah mandibula
Klasifikasi celah bibir dan langit-langit menurut kernahan dan stark (1958)
 Group I : Celah langit-langit primer. Dalam grup ini termasuk celah
bibir, dan kombinasi celah bibir dengan celah pada tulang alveolar.
Celah terdapat dimuka foramen insisivum.
11

 Group II : Celah yang terdapat dibelakang foramen insisivum. Celah


langit-langit lunak dan keras dengan variasinya. Celah langit-langit
sekunder.
 Group III : Kombinasi celah langit-langit primer (group I) dengan
langit-langit sekunder ( group II).

D. Patofisiologi

Celah pada bibir atas (cheiloschisis superior) mungkin hanya terbatas pada
bibir atau dapat juga terjadi pada palatum molle. Cleft lip unilateral terjadi akibat
kegagalan fusi dari prominens nasal medial dan prominens maxilla pada satu sisi.
Sedangkan cleft lip bilateral merupakan hasil dari kegagalan fusi pada prominens
nasal medial dengan prominens maxilla pada sisi yang lain. Celah bibir inferior
sangat jarang terjadi, dan biasanya terletak tepat di tengah dan disebabkan oleh
ketidaksempurnaan penyatuan prominensia mandibularis.

E. Diagnosa Postnatal

Biasanya celah (cleft) pada bibir dan palatum segera pada saat kelahiran
.Celah dapat terlihat seperti sudut kecil pada bibir atau dapat memanjang dari bibir
hingga ke gusi atas dan palatum. Namun tidak jarang, celah hanya terdapat pada
otot palatum molle ( soft palate ( submucous cleft),yang terletak pada bagian
belakang mulut dan tertutupi oleh month’s lining. Karena letaknya yang
tersembunyi ,tipe celah ini tidak dapat didiagnosa hingga bebrapa waktu.

F. Penatalaksanaan
 Operasi celah bibir satu sisi (Cheiloraphy unilateral)
 Operasi celah bibir dua sisi ( Cheiloraphy Bilateral)
 Operasi celah langit-langit ( Palatoraphy)
G. Komplikasi
 Gangguan bicara dan pendengaran
 Terjadinya otitis media
 Aspirasi
12

 Distress pernapasan
 Resiko infeksi saluran napas
 Pertumbuhan dan perkembangan terhambat
 Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh otitis media rekureris
sekunder akibat disfungsi tuba eustachius
 Masalah gigi

H. Prognosis

Kelainan labioschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat


dimodifikasi/ disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini
melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki
penampilan wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik pembedahan yang
makin berkembang, 80% anak dengan labioschisis yang telah ditatalaksana
mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara yang
berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada
masalahmasalah berbicara pada anak labioschisis.

2.2 ANESTESI

2.2.1 Definisi Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
pasien. Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu:

a. Hipnotik : hilang kesadaran

b. Analgetik : hilang perasaan sakit

c. Relaksan : relaksasi otot-otot

2.2.2 Anestesi Umum


13

Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana


hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.

Indikasi anestesi umum :

 Pada bayi dan anak-anak


 Pembedahan pada orang dewasa di mana anestesi umum lebih disukai oleh
ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
 Operasi besar
 Pasien dengan gangguan mental
 Pembedahan yang lama
 Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan
 Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :

a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam
pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa
gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan yaitu N2O,
Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan kategori
menggunakan sungkup muka, Endotrakeal Tube nafas spontan, Endotrakeal tube
nafas terkontrol.
c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi
atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai
trias anestesi secara optimal dan berimbang.

2.2.3 Pre-operasi

A. Persiapan Pasien

Untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani suatu tindakan


operasi. Persiapan-persiapan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
14

mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-


gatal atau sesak nafas.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin
yang sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit,
masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada pasien yang
berusia di atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan
EKG.

4. Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA):
 ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
 ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
 ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
 ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
 ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
 ASA 6 : Pasien dengan kematian batang otak
 Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.
5. Puasa
Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab
untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi.
Periksalah apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak
makan/minum sekurang-kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi
yang masih menyusui hanya dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi
pada operasi darurat, lambung mungkin penuh).

B. Persiapan Obat
15

1. Emergency

 Epinefrin

 Efedrin

 Sulfas atrofin

 Aminophlin

 Deksamethason

2. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan


tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:

 Meredakan kecemasan dan ketakutan


 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestetik
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi refleks yang membahayakan

Yang banyak digunakan:

1. Analgetik :

Fentanyl 2-5 mcg/kgbb, intravena Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB


IV. Fentanyl banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai
puncak analgesia lebih singkat, efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang
diberikan secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular.

2. Sedatif :
Midazolam 0,05-0,1 mg/kgbb, intravena keunggulan benzodiazepine dari
barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang
16

rendah, margin dosis aman yang lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di
hati

3. Induksi

Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses transisi dari sadar penuh
sampai hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi
dan pembedahan. Induksi anestesi terdiri dari pemberian obat anestesi hipnosis
secara cepat melalui intravena. Obat induksi yang biasa digunakan :

Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna


putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2.5
mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan
dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya
boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn
dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.

4. Relaxant

Non depol Relaxant yang sering digunakan:

 Rocuronium : dosis 0,6-1,2 mg/kgbb, intravena

 Atracurium : dosis mg/kgbb,intravena

C. Persiapan Alat

Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan


obat- obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat
diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi
sebaiknya kita ingat kata STATICS :

 S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang
 T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed)
 A = Airway
17

Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-


tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
 T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut
 I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
 C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
 S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :

a. Pipa endotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea
dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir
bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil
digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak
bocor. Pipa endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.

Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :

Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + ¼ umur (tahun)

Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)


18

Pipa endotrakheal terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang
mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan
nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung
distalnya.Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian
tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa
dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea.

Pria dewasa : ukuran 7,5 – 8 mm

Wanita dewasa : ukuran 7 mm

b. Laringoskop

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop :

 Bila lurus (straight blades/ Magill/ Miller)


 Bila lengkung (curved blades/ Macinto)

2.2.4 Durate operation

1. Induksi Anestesi

Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.

2. Intubasi Endotrakeal

Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa


pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan
penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi.
19

Gambar 2.1 Intubasi Endotrakeal

Indikasi intubasi endotrakeal :

1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun


2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulutm hidung dan tenggorokan
5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tak ada ketegangan
6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
7. Untuk mencegah kontaminasi trakea
8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan
pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
9. Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme
10. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu :

 Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang
cukup
 Posisi kepala dan leher yang tepat
 Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut

Penilaian Mallampati

Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi kemudahan


intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu
didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi tampakan faring
pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut
Mallampati dibagi menjadi 4 grade 18:

 Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas


20

 Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak
terlihat
 Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
 Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.

Kesulitan dalam teknik intubasi:

 Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap


 Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
 Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
 Kesulitan membuka mulut
 Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
 Abnormalitas pada daerah servikal
 Kontraktur jaringan leher

Komplikasi pada intubasi endotrakeal :


 Memar & oedem laring
 Strech injury
 Non specific granuloma larynx
 Stenosis trakea
 Trauma gigi geligi
 Laserasi bibir, gusi dan laring
 Aspirasi, spasme bronkus

2.2.4 Obat-Obat Anestesi Umum

Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah :

I. Gas Anestesi

Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk


praktek klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Sevofluran.
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih menjadi
misteri dalam farmakologi modern.

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :

1) Ambilan oleh paru


2) Difusi gas dari paru ke darah
3) Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.
Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:

1. N2O
21

Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen minimal 25%. Gas
ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Untuk menghindari terjadinya
hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.

2. Halotan

Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol % dan pada napas
kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan klinis pasien.

3. Isofluran

Setelah premedikasi, induksi dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana


umumnya digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat induksi.Tanda
untuk mengamati kedalaman anestesi adalah penurunan tekanan darah, volume
dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung.

5. Sevofluran

Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen
dapat dicapai dalam 1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.

II. Relaxant

 Pelumpuh otot non-depolarisasi

Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-


kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
22

 Pelumpuh otot depolarisasi

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetil collin, tetapi di celah


syaraf otot tidak dirusak oleh collinestrase, sehingga cukup lama berada di celah
sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul oleh
relaksasi otot lurik. Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan
dosis 1-2 mg/kgbb iv

III. Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.


Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.

Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat.


Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan
cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya
memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan
merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.
Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak
3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.

IV. Monitoring

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi


18
adalah :

 Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter


 Heart rate, nadi, dan kualitasnya
 Warna membran mukosa, dan capillary refill time
23

 Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek


palpebra)
 Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
 Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.2.5 Postoperatif

a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care


unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya. Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah
harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan.
Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya
dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien
diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase.

b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-
benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh
pasien, tetapi efeknya minimal.

Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien,
jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu
terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika
semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.

Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih


dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat
alat berikut :

a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu.
24

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk


dikeluarkan dari PACU adalah:

a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu


b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
f. Mual dan muntah dalam control
g. Nyeri minimal

c. Pemindahan Penderita dari Kamar Operasi

Ada banyak pedoman untuk menentukan kapan penderita dapat dipindahkan


dari kamar operasi. Di RSUP Dr. Kariadi memakai Aldrette Score yaitu penlaian
yang didasarkan atas respirasi, kesadaran, sirkulasi, akfititas dan warna kulit.
Hasil penjumlahan ke-5 faktor tersebut, yang mempunyai nilai maksimal 10
menentukan dapat tidaknya penderita dipindahkan. Penderita dengan nilai
Aldrette Score 8, dapat dipindahkan ke ruang
Catatan : Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
25

BAB IV
KESIMPULAN

Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana


hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible.Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.

Intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa pernafasan yang terbuat dari


portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan penderita atau waktu
memberikan anestesi secara inhalasi.

Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat
minimal.

Berdasarkan materi diatas dapat disimpulkan bahwa Tumor Colli merupakan


tumor yang tumbuh dileher.
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Aru Sudoyo dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi IV.
Jakarta: IPD Press
2. Efiaty Arsyad dkk. 2007. Buku Ajar THT Edisi 6. Jakarta: UI Press
3. Theopilus B. dkk. 2008. Buku Ajar Anatomi Umum. Makassar: Bagian
Anatomi FK Unhas
4. Wan Desen. 2008. Buku Ajar Onkologi. Jakarta: UI Press
5. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2009.
6. Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nd ed, Mosby year Book Inc,
1995.
7. Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi
dan Terapi FK UI. Jakarta
8. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung,Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. 2-9
9. Chyuan HS. Baloon Sinuplasty. 2008. Http://www.entsurgery.com.sg
10. Wanni, 2014. “Anestesi umum pada pasien Ca mamae sinistra dengan
Hipertensi”. Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Soeselo.
11. Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
27

12. Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi.
EGC. Jakarta. pp:229-231
13. Hikayati. 2014. “PENGARUH PENGEMBANGAN CUFF ETT
MENGGUNAKAN SPUIT DAN CUFFINFLATOR TERHADAP DENYUT
NADI DAN TEKANAN DARAH PASIEN INTUBASI” (The Soedirman
Journal), Volume 9, No.1, Maret 2014.

Anda mungkin juga menyukai