Disusun Oleh :
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.A.S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 51 tahun
Alamat : Pojok, Beran, Ngawi
Pekerjaan : Petani
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
MRS : 15 Juli 2019
Tanggal pemeriksaan : 21 Juli 2019
ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak napas
Keluhan tambahan
Batuk, penurunan nafsu makan dan sulit beraktivitas
- Riwayat sakit asma (+) sejak 5 tahun yang lalu, pencetus asma adalah cuaca dingin dan
batuk yang terus menerus, kontrol rutin di dokter paru, 2 tahun pertama pasien minum
obat salbutamol beli sendiri 3 tahun berikutnya konsumsi obat dari dokter paru.
- Post MRS 2 bulan yang lalu dengan keluhan yang sama
- Riwayat alergi makanan disangkal
- Riwayat sakit darah tinggi disangkal
- Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal
Riwayat kebiasaan
- Riwayat merokok sejak kelas 3 SMP s/d menikah (10 tahun) sebanyak 1-2 batang/hari.
Sering terpapar asap rokok teman kerja semasa kerja di pabrik.
- Riwayat batuk lama pada bapak kandung pasien (penyakit tidak diketahui)
Riwayat sosioekonomi
Status gizi
Diet sebelum sakit: makan 3 kali sehari, teratur, porsi satu piring.
Variasi diet:
Karbohidrat : nasi, sebanyak 1 piring
Protein : tahu, tempe sering
Lemak : ikan, ayam, daging, ±1potong, jarang
Sayur : sering, sayur bayam atau kangkung
Susu : jarang
Anamnesis sistem
Umum : Demam, lemas.
Kulit : Tidak ada keluhan.
Kepala : Nyeri kepala. Mata, telinga, hidung, mulut, tenggorokan tidak ada
keluhan.
Leher : Tidak ada keluhan.
Dada : Sesak napas, batuk berdahak.
Abdomen : Tidak ada keluhan.
Saluran kemih : Tidak ada keluhan.
Genital : Tidak ada keluhan.
Ekstremitas : Tidak ada keluhan.
Gizi : normal
Dehidrasi :-
Nadi : 96 x/ menit
Suhu : 36,8°C
BB : 50 kg
TB : 165 cm
IMT : 18,38 kg/m3 (underweight)
Status Generalis
Kulit
Warna sawo matang, agak kemerahan, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis(-),
scar (-), keringat umum (-), keringat setempat (-),pucat pada telapak tangan dan kaki,
pertumbuhan rambut normal.
KGB
Tidak ada pembesaran dan nyeri tekan KGB pada daerah axilla, leher dan inguinal.
Kepala
Mata
Eksoftalmus (-), endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra anemis (-), sklera
ikterik (-), pupil bulat dan isokor, refleks cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik.
Hidung
Deviasi septum (-), sekret (-), pendarahan (-), pernapasan cuping hidung (-).
Telinga
Mulut
Sianosis (-), lidah kotor/pucat (-), mukosa mulut basah (+), tonsil T1-T2 hiperemis (-), faring
hiperemis (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), bau pernapasan khas (-), pursed
lips breathing (-).
Leher
Pembesaran/nyeri tekan kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP (5+0)
cmH2O, kaku kuduk (-).
Thorax
Paru-paru
- I : Tidak ada kelainana bentuk. Pergerakan dada kanan = kiri tidak ada yang tertinggal,
sela iga sedikit melebar (+)
- P : Tidak ada nyeri tekan, tidak terdengar adanya krepitasi, fremitus taktil dan vokal kiri
simetri kanan dan kiri
- P : Perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar pada ICS VII-VIII
- A: Vesikuler (+) melemah pada kedua lapang paru, wheezing +/+, ekspirasi memanjang
Jantung
Abdomen
- I : Datar
- A : BU (+) Normal
- P : thympani, nyeri ketok (-)
- P : Supel (+), nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, tumpul, rata,
konsistensi kenyal, lien tidak teraba
Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas atas
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat.
Ektremitas bawah
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat.
Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 8% 2-4%
Batang 0% 3-5%
Pemeriksaan radiologi
Seorang laki-laki berinisial Tn. A.S, berumur 51 tahun, MRS tanggal 15 Juli 2019 dengan
keluhan utama sesak nafas. Keluhan sesak nafas dirasakan sejak ± 1 minggu SMRS memberat
sekitar 2 hari SMRS, setiap kambuh sesak dirasakan sekitar ± 2 jam, selama 1 minggu ini hampir
setiap hari kambuh yaitu ketika cuaca dingin, sering pada malam hari dan setelah beraktivitas.
Sesak dipengaruhi aktivitas yaitu bila berjalan sejauh ±100 meter. Sesak berkurang ketika
diminumkan obat dari dokter dan posisi agak membungkuk. Keluhan disertai nafas bunyi mengi
(+), batuk berdahak (+) terkadang putih atau kuning + 1 bulan, demam (+), sering terbangun di
malam hari karena sesak (+) sehingga pasien lebih nyaman tidur dengan 2-3 bantal, nyeri dada (-
), dada berdebar (+), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun disertai dengan penurunan BB
sekitar 4 kg, BAB dan BAK biasa.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
keadaan compos mentis. Tekanan darah pasien 130/80 mmHg, nadi 96 x/menit, pernafasan 28
x/menit, pada pemeriksaan paru didapatkan sela iga agak melebar, hipersonor pada kedua lapang
paru, suara dasar vesikuler melemah dan bunyi tambahan wheezing.
Diagnosis kerja:
Diagnosis banding:
- Asma
- SOPT
Penatalaksanaan:
Nonfarmakologis
Farmakologis
O2 2-5 lt/menit
IVFD RL 14 tpm + drip 2 amp aminophylin (metilxantin utk bronkodilator)
Inj. Lansoprazol 1 x 1 (PPI)
Inj. Infimycin 500mg 1 x 1 (antibiotik azitromisin)
Drip Hidrokortison 1-0-0 (kortikosteroid)
Codein 3 x 10 mg (analgesik opioid)
Lactrin 3x1 (mukolitik)
Heparmin 3x1 (vitamin)
PCT 3x1 (antipiretik)
Lagesyl syr 3xCI (antasied)
Prognosis:
Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD) tahun 2010, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang dikarakterisasi
oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversible sepenuhnya. Sumbatan aliran
udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-
paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Dua gangguan yang terjadi pada PPOK
adalah bronkitis kronis atau emfisema.
Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut -turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan
obstruksi jalan napasyang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
B. Epidemiologi
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan suatu
gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis,
sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada
pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.
WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan 6
menjadi peringkat ke-3 di dunia penyebab kematian tersering. Prevalensi PPOK meningkat
dengan meningkatnya usia. Prevalens ini juga lebih tinggi pada pria daripada
wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara di mana merokok merupakan gaya
hidup, yang menunjukkan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama, dimana angka
kesakitannya meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria daripada wanita. Kematian
akibat PPOK sangat rendah pada pasien usia di bawah 45 tahun, dan meningkat dengan
bertambahnya usia.
Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei
Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama
dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia. Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia.
Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada
tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada
Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin
meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar
59.936 vs 59.118.
C. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi
faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain
adalah:
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih besar
pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90%
kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat
PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status
merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita
PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin
menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga
berisiko menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu
silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene diisosianat, dan
asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang
disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya
polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan
bermotor, dll, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu
inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi
bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan
jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru,
yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasien antara lain adalah:
a. Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan
genetik berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami <1% pasien
PPOK.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK
pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi
pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya
tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami PPOK.
d. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya
elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan
antara enzim proteolitik dan faktor protektif.
D. Patofisiologi
.
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler dan
struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri
pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan
infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi
juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik
(CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat
pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga terhadap
hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen IL-4 yang
mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar
submukosa penghasil sekret.
TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi dan
menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian akan
menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada didalam saluran
nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada
saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada
peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit
pada gambaran darah tepi. Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu
jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses
tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risiko yaitu
asap rokok.
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen
menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik
melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya
kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun.
Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa
respon inflamasi lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari
penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada
sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat.
Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro inflamasi,
lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan
temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi perbedaan
dimana memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami demam, tetapi tidak
pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga
yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK, dimana
hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan
makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer.
1. Bronkitis Kronis
Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu dengan
menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus-menerus seperti asap rokok atau
polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap
rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mucociliary clearance). Faktor yang
menyebabkan gagalnya mukosiliar adalah adanya proliferasi sel goblet dan pergantian
epitel yang bersilia dengan yang tidak bersilia. Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar
penghasil mukus menyebabkan hipersekresi mukus di saluran nafas. Iritasi asap rokok
juga menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkilolitis) dan alveoli (alveolitis). Akibatnya
makrofag dan neutrofil berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel.
Bersama dengan adanya produksi mukus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Dengan
banyaknya mukus yang kental dan lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar
menyebabkan meningkatnya risiko.
Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan penyempitan
lumen, juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil, yang
makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi menunjukkan bahwa pasien dengan
bronkitis kronis mempunyai diameter jalur pernafasan yang kurang dari 0,4 mm. Bronkitis
kronik berkembang selama beberapa tahun, perubahan pada saluran nafas kecil
menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga terjadi
ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia mengakibatkan hipertensi
pulmonary dengan berikutnya terjadi gagal jantung kanan (cor pulmonale). Pasien
dengan hipertensi pulmonari mengalami peningkatan persentasi intima dan media pada
arteri pulmonari.
2. Emfisema
Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang bertanggung
jawab untuk pertukaran gas. Asinus terdiri: respiratory bronkiolus, duktus alveolus dan
kantong alveolar. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga
permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe emfisema berdasarkan pola
asinus yang terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema
sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus. Dinding-
dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan cenderung menjadi satu ruang.
Mula-mula duktus alveolaris dan kantung alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan.
Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang pada bagian atas paru-paru, tetapi akhirnya
cenderung tersebar tidak merata. Emfisema sentrilobular lebih banyak ditemukan pada
orang yang merokok, dan jarang dijumpai pada orang yang tidak merokok.
Gambar 4. Mekanisme terjadinya emfisema
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan
melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim ini
akan dihambat oleh α1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defisiensi α1-
antitripsin, enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada
alveous menyebabkan emfisema.
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat.
Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis
PPOK di tegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan.
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara, batuk
berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a) Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding).
Penggunaan otot bantu napas.
Hipertropi otot bantu napas.
Pelebaran sela iga.
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai.
b) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
c) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah.
d) Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
Ekspirasi memanjang.
Bunyi jantung terdengar jauh.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
b) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran:
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik:
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis, produksi dahak atau
dispnea dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Adanya keterbatasan aliran udara dapat
dijelaskan lebih lanjut dengan spirometri. Spirometri merupakan penilaian komprehensif dari
kapasitas dan volume paru. Spirometri yang dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik dapat
meningkatkan akurasi diagnosis PPOK. Spirometri juga digunakan untuk menentukan tingkat
keparahan penyakit, bersama dengan penilaian gejala dan adanya komplikasi. Keuntungan
utama dari spirometri adalah dapat mengidentifikasi individu yang memiliki kemampuan
farmakoterapi untuk mengurangi eksaserbasi.
1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis
dengan lesi paru yan Pneumotoraks
3. Gagal jantung kronik
4. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal: bronkiektasis, destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya
berbeda.
Tabel 4. Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Nilai FEV1 dan Gejala Menurut GOLD
2010
Tingkat Nila FEV1 dan Gejala
I FEV1/FVC < 70% FEV1 ≥ 80% dan umumnya, tapi tidak
Ringan selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap
ini, pasien biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya
bermasalah.
II FEV1/FVC < 70%; 50%< FEV1 < 80%, gejala biasanya mulai
Sedang progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.
III FEV1/FVC < 70%; 30%< FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi
Berat berulang yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada
tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai
dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit.
IV FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan
Sangat Berat respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
walaupun FEV1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan
pernafasan atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale . Pada
tahap ini, kualitas hidup sangat terganggu dan serangan
mungkin mengancam jiwa.
b. Terapi Farmakologis
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan
dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi PPOK
berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.
2. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan
mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas kapiler
untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan
menghambat prostaglandin.
4. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus atau
bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika pada
pasien-pasien yang:
a) Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea (sesak
nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum, atau
b) Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi
sputum merupakan salah satunya, atau
c) Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif
maupun non-invasif. Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus
pneumonia, Haemophilus parainfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.
Amin, M. 2005. Patogenesis dan pengobatan pada penyekit paru obstruksi kronik. Kongres
Nasional X PDPI. Solo. P: 1-7.
Anthariksa, Budhi. 2009. Penyakit paru obstruksi kronik. Departemen pulmonologi dan ilmu
kedokteran respirasi FKUI. RS Persahabatan Jakarta. Upload 29 april 2009.
GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). 2010. Executive summary
global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease update 2010.
Hisyam. 2001. Pola Microba pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Eksaserbasi di
RS. Dr Sarjito. Jurnal Penelitian Universitas Gajah Mada Vol 33. No 1. Yogyakarta
Ikawati, Z, 2011,Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.
Mangunnegoro, H. 2001. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia .Jakarta
W. Sudoyo, Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Universitas Indonesia PDPI. 2006.
PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta.1-18.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. PPOK (Penyakit Paru ObstruksiKronik)
Pedoman Praktis Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia
Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008,ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.