Anda di halaman 1dari 32

TUTORIAL KLINIK

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Disusun Oleh :

Husna Nadiyya, S,Ked

Dosen Pembimbing Klinik :

dr. Miftah Khussurur. Sp. P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. SOEROTO NGAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2019
BAB I
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.A.S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 51 tahun
Alamat : Pojok, Beran, Ngawi
Pekerjaan : Petani
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
MRS : 15 Juli 2019
Tanggal pemeriksaan : 21 Juli 2019

ANAMNESIS

Keluhan utama
Sesak napas

Keluhan tambahan
Batuk, penurunan nafsu makan dan sulit beraktivitas

Riwayat perjalanan penyakit


Pasien datang ke IGD RSUD Dr Soeroto Ngawi dengan keluhan sesak nafas sejak ± 1
minggu SMRS memberat sekitar 2 hari SMRS, setiap kambuh sesak dirasakan sekitar ± 2 jam,
selama 1 minggu ini hampir setiap hari kambuh yaitu ketika cuaca dingin, sering pada malam
hari dan setelah beraktivitas. Sesak dipengaruhi aktivitas yaitu bila berjalan sejauh ±100 meter.
Sesak berkurang ketika diminumkan obat dari dokter dan posisi agak membungkuk. Keluhan
disertai nafas bunyi mengi (+), batuk berdahak (+) terkadang putih atau kuning + 1 bulan,
demam (+), sering terbangun di malam hari karena sesak (+) sehingga pasien lebih nyaman tidur
dengan 2-3 bantal, nyeri dada (-), dada berdebar (+), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun
disertai dengan penurunan BB sekitar 4 kg, BAB dan BAK biasa.

Riwayat penyakit dahulu

- Riwayat sakit asma (+) sejak 5 tahun yang lalu, pencetus asma adalah cuaca dingin dan
batuk yang terus menerus, kontrol rutin di dokter paru, 2 tahun pertama pasien minum
obat salbutamol beli sendiri 3 tahun berikutnya konsumsi obat dari dokter paru.
- Post MRS 2 bulan yang lalu dengan keluhan yang sama
- Riwayat alergi makanan disangkal
- Riwayat sakit darah tinggi disangkal
- Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal

Riwayat kebiasaan

- Riwayat merokok sejak kelas 3 SMP s/d menikah (10 tahun) sebanyak 1-2 batang/hari.
Sering terpapar asap rokok teman kerja semasa kerja di pabrik.

Riwayat penyakit keluarga

- Riwayat batuk lama pada bapak kandung pasien (penyakit tidak diketahui)

Riwayat sosioekonomi

- Pendapatan ± 500.000-1.000.000/ bulan, pasien mengaku cukup untuk kebutuhan sehari-


hari

Status gizi
Diet sebelum sakit: makan 3 kali sehari, teratur, porsi satu piring.
Variasi diet:
Karbohidrat : nasi, sebanyak 1 piring
Protein : tahu, tempe sering
Lemak : ikan, ayam, daging, ±1potong, jarang
Sayur : sering, sayur bayam atau kangkung
Susu : jarang
Anamnesis sistem
 Umum : Demam, lemas.
 Kulit : Tidak ada keluhan.
 Kepala : Nyeri kepala. Mata, telinga, hidung, mulut, tenggorokan tidak ada
keluhan.
 Leher : Tidak ada keluhan.
 Dada : Sesak napas, batuk berdahak.
 Abdomen : Tidak ada keluhan.
 Saluran kemih : Tidak ada keluhan.
 Genital : Tidak ada keluhan.
 Ekstremitas : Tidak ada keluhan.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum

Keadaan umum : Tampak sakit

Keadaan saakit : Sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Gizi : normal

Dehidrasi :-

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 96 x/ menit

Pernapasan : 28x/ menit

Suhu : 36,8°C

BB : 50 kg

TB : 165 cm
IMT : 18,38 kg/m3 (underweight)

Status Generalis

Kulit

Warna sawo matang, agak kemerahan, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis(-),
scar (-), keringat umum (-), keringat setempat (-),pucat pada telapak tangan dan kaki,
pertumbuhan rambut normal.

KGB

Tidak ada pembesaran dan nyeri tekan KGB pada daerah axilla, leher dan inguinal.

Kepala

Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, deformitas (-)

Mata

Eksoftalmus (-), endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra anemis (-), sklera
ikterik (-), pupil bulat dan isokor, refleks cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik.

Hidung

Deviasi septum (-), sekret (-), pendarahan (-), pernapasan cuping hidung (-).

Telinga

Sekret (-), perdarahan (-), pendengaran baik.

Mulut

Sianosis (-), lidah kotor/pucat (-), mukosa mulut basah (+), tonsil T1-T2 hiperemis (-), faring
hiperemis (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), bau pernapasan khas (-), pursed
lips breathing (-).

Leher
Pembesaran/nyeri tekan kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP (5+0)
cmH2O, kaku kuduk (-).

Thorax

Paru-paru

- I : Tidak ada kelainana bentuk. Pergerakan dada kanan = kiri tidak ada yang tertinggal,
sela iga sedikit melebar (+)
- P : Tidak ada nyeri tekan, tidak terdengar adanya krepitasi, fremitus taktil dan vokal kiri
simetri kanan dan kiri
- P : Perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar pada ICS VII-VIII
- A: Vesikuler (+) melemah pada kedua lapang paru, wheezing +/+, ekspirasi memanjang

Jantung

- I: Ictus cordis tidak terlihat


- P: Ictus cordis teraba di ICS VIII linea midclavikularis sinistra
- P: batas jantung atas ICS III, batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas jantung kiri
2 jari linea midklavikularis sinistra
- A: HR: 80x/ menit, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

- I : Datar
- A : BU (+) Normal
- P : thympani, nyeri ketok (-)
- P : Supel (+), nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, tumpul, rata,
konsistensi kenyal, lien tidak teraba

Genital

Tidak diperiksa

Ekstremitas atas
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat.

Ektremitas bawah

Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat.

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (15 Juli 2019)

Hasil Pemeriksaan Hematologi:

Pemeriksaan Hasil Normal


13,6 g/dl 13-18 g/dl
Hb
40 vol% 40-52 vol%
Ht

Leukosit 10.700/mm3 4000-11.000/mm3

Trombosit 392.000/ mm3 150.000-400.000/ mm3

LED 20 mm/jam L < 10 mm/jam, P < 15


mm/jam

Basofil 0% 0-1 %

Eosinofil 8% 2-4%

Batang 0% 3-5%

Segmen 76% 50-70%

Limfosit 11% 25-40%


Monosit 5% 2-8%

Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik:

Pemeriksaan Hasil Normal

GDS 111 mg/dl <140 mg/dl

Ureum 22 mg/dl 13-43 mg/dl

Creatinin 0,9 mg dl L 0,9-1,3 mg/dl,


P 0,6-1,0 mg/dl

Pemeriksaan radiologi

Foto thorax PA tanggal 17-7-2019


RESUME

Seorang laki-laki berinisial Tn. A.S, berumur 51 tahun, MRS tanggal 15 Juli 2019 dengan
keluhan utama sesak nafas. Keluhan sesak nafas dirasakan sejak ± 1 minggu SMRS memberat
sekitar 2 hari SMRS, setiap kambuh sesak dirasakan sekitar ± 2 jam, selama 1 minggu ini hampir
setiap hari kambuh yaitu ketika cuaca dingin, sering pada malam hari dan setelah beraktivitas.
Sesak dipengaruhi aktivitas yaitu bila berjalan sejauh ±100 meter. Sesak berkurang ketika
diminumkan obat dari dokter dan posisi agak membungkuk. Keluhan disertai nafas bunyi mengi
(+), batuk berdahak (+) terkadang putih atau kuning + 1 bulan, demam (+), sering terbangun di
malam hari karena sesak (+) sehingga pasien lebih nyaman tidur dengan 2-3 bantal, nyeri dada (-
), dada berdebar (+), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun disertai dengan penurunan BB
sekitar 4 kg, BAB dan BAK biasa.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
keadaan compos mentis. Tekanan darah pasien 130/80 mmHg, nadi 96 x/menit, pernafasan 28
x/menit, pada pemeriksaan paru didapatkan sela iga agak melebar, hipersonor pada kedua lapang
paru, suara dasar vesikuler melemah dan bunyi tambahan wheezing.

Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan Leukosit 10.700/mm3 dan dari pemeriksaan


rontgen thorax didapatkan kesan emfisematous lung.

Diagnosis kerja:

PPOK eksaserbasi akut

Diagnosis banding:

- Asma
- SOPT

Penatalaksanaan:

Nonfarmakologis

 Istirahat, dengan setengah duduk


 Diet BB

Farmakologis

 O2 2-5 lt/menit
 IVFD RL 14 tpm + drip 2 amp aminophylin (metilxantin utk bronkodilator)
 Inj. Lansoprazol 1 x 1 (PPI)
 Inj. Infimycin 500mg 1 x 1 (antibiotik azitromisin)
 Drip Hidrokortison 1-0-0 (kortikosteroid)
 Codein 3 x 10 mg (analgesik opioid)
 Lactrin 3x1 (mukolitik)
 Heparmin 3x1 (vitamin)
 PCT 3x1 (antipiretik)
 Lagesyl syr 3xCI (antasied)

Prognosis:

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : ad malam

Quo ad Functionam : Dubia ad Malam


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)


A. Defenisi

Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD) tahun 2010, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang dikarakterisasi
oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversible sepenuhnya. Sumbatan aliran
udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-
paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Dua gangguan yang terjadi pada PPOK
adalah bronkitis kronis atau emfisema.

Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut -turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan
obstruksi jalan napasyang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

B. Epidemiologi

Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan suatu
gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis,
sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada
pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.

WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan 6
menjadi peringkat ke-3 di dunia penyebab kematian tersering. Prevalensi PPOK meningkat
dengan meningkatnya usia. Prevalens ini juga lebih tinggi pada pria daripada
wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara di mana merokok merupakan gaya
hidup, yang menunjukkan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama, dimana angka
kesakitannya meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria daripada wanita. Kematian
akibat PPOK sangat rendah pada pasien usia di bawah 45 tahun, dan meningkat dengan
bertambahnya usia.

Tabel 1. Prevalensi PPOK pada Negara-negara miskin

Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei
Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama
dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia. Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia.
Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada
tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada
Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin
meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar
59.936 vs 59.118.

C. Etiologi

Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi
faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain
adalah:

a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih besar
pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90%
kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat
PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status
merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita
PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin
menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga
berisiko menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu
silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene diisosianat, dan
asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang
disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya
polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan
bermotor, dll, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu
inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi
bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan
jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru,
yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasien antara lain adalah:
a. Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan
genetik berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami <1% pasien
PPOK.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK
pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi
pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya
tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami PPOK.
d. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya
elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan
antara enzim proteolitik dan faktor protektif.

D. Patofisiologi

Proses potogenesis PPOK

.
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat

Perbedaan patogenesis asma dan PPOK


Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan kadar
sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana
sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan
eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga
menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen.

Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler dan
struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri
pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan
infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi
juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik
(CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat
pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga terhadap
hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen IL-4 yang
mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar
submukosa penghasil sekret.

TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi dan
menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian akan
menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada didalam saluran
nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada
saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada
peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit
pada gambaran darah tepi. Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu
jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses
tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risiko yaitu
asap rokok.

Gambar 2. Mekanisme Inflamasi pada PPOK

Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen
menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik
melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya
kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun.
Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa
respon inflamasi lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari
penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada
sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat.

Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro inflamasi,
lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan
temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi perbedaan
dimana memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami demam, tetapi tidak
pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga
yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK, dimana
hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan
makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer.

Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK

1. Bronkitis Kronis

Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu dengan
menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus-menerus seperti asap rokok atau
polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap
rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mucociliary clearance). Faktor yang
menyebabkan gagalnya mukosiliar adalah adanya proliferasi sel goblet dan pergantian
epitel yang bersilia dengan yang tidak bersilia. Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar
penghasil mukus menyebabkan hipersekresi mukus di saluran nafas. Iritasi asap rokok
juga menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkilolitis) dan alveoli (alveolitis). Akibatnya
makrofag dan neutrofil berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel.
Bersama dengan adanya produksi mukus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Dengan
banyaknya mukus yang kental dan lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar
menyebabkan meningkatnya risiko.

Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan penyempitan
lumen, juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil, yang
makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi menunjukkan bahwa pasien dengan
bronkitis kronis mempunyai diameter jalur pernafasan yang kurang dari 0,4 mm. Bronkitis
kronik berkembang selama beberapa tahun, perubahan pada saluran nafas kecil
menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga terjadi
ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia mengakibatkan hipertensi
pulmonary dengan berikutnya terjadi gagal jantung kanan (cor pulmonale). Pasien
dengan hipertensi pulmonari mengalami peningkatan persentasi intima dan media pada
arteri pulmonari.

Hipoksemia persisten menstimulasi eritropoiesis dengan akibat polisitemia dan


meningkatnya viskositas darah, yang akan mendorong terjadinya mental confusion dan
thrombotic stroke. Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia
untuk membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri yang
dapat menyerangnya yaitu Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza. Tanda-
tanda infeksi adalah perubahan sputum seperti meningkatnya volume mukus, mengental,
dan perubahan warna. Demam dapat terjadi atau pun tidak. Infeksi yang berulang dapat
menyebabkan keparahan akut pada status pulmonar dan berkontribusi secara signifikan
pada percepatan penurunan fungsi pulmonar karena inflamasi menginduksi fibrosis pada
bronkus dan bronkiolus.

2. Emfisema

Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang bertanggung
jawab untuk pertukaran gas. Asinus terdiri: respiratory bronkiolus, duktus alveolus dan
kantong alveolar. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga
permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe emfisema berdasarkan pola
asinus yang terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema
sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus. Dinding-
dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan cenderung menjadi satu ruang.
Mula-mula duktus alveolaris dan kantung alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan.
Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang pada bagian atas paru-paru, tetapi akhirnya
cenderung tersebar tidak merata. Emfisema sentrilobular lebih banyak ditemukan pada
orang yang merokok, dan jarang dijumpai pada orang yang tidak merokok.
Gambar 4. Mekanisme terjadinya emfisema

Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan
melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim ini
akan dihambat oleh α1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defisiensi α1-
antitripsin, enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada
alveous menyebabkan emfisema.

E. Pemeriksaan dan Diagnosis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat.
Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis
PPOK di tegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan.
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara, batuk
berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a) Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding).
 Penggunaan otot bantu napas.
 Hipertropi otot bantu napas.
 Pelebaran sela iga.
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai.
b) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
c) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah.
d) Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
 Ekspirasi memanjang.
 Bunyi jantung terdengar jauh.

3. Pemeriksaan Penunjang
a) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
b) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran:
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik:
 Normal
 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis, produksi dahak atau
dispnea dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Adanya keterbatasan aliran udara dapat
dijelaskan lebih lanjut dengan spirometri. Spirometri merupakan penilaian komprehensif dari
kapasitas dan volume paru. Spirometri yang dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik dapat
meningkatkan akurasi diagnosis PPOK. Spirometri juga digunakan untuk menentukan tingkat
keparahan penyakit, bersama dengan penilaian gejala dan adanya komplikasi. Keuntungan
utama dari spirometri adalah dapat mengidentifikasi individu yang memiliki kemampuan
farmakoterapi untuk mengurangi eksaserbasi.

Prosedur pengujian reversibilitas:


1. Persiapan
Pengujian harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi
pernafasan. Pasien tidak diberikan inhalasi bronkodilator short-acting 6 jam sebelumnya,
long-acting β-agonis 12 jam sebelumnya, atau teofilin SR 24 jam sebelumnya.
2. Spirometri
FEV1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator. Bronkodilator dapat
diberikan dengan metered-dose inhaler (MDI) atau nebulisasi.
Dosis umumbiasanya 400mcg, β-agonis 160mcg, antikolinergik atau kombinasi keduanya.
FEV1 dapat diukur 10-15 menit setelah pemberian β-agonis atau 30-45 menit setelah
kombinasi diberikan.
3. Hasil
Peningkatan FEV1 yang lebih besar dari 200 ml dan 12% di atas
prebronchodilator FEV1 dianggap signifikan.

Pemeriksaan khusus (tidak rutin) yang dapat dilakukan antara lain:


1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),
VR/KRF, VR/KPT meningkat DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai:
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang
tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi, mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel
kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfgsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10.Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
F. Diagnosis Banding

1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis
dengan lesi paru yan Pneumotoraks
3. Gagal jantung kronik
4. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal: bronkiektasis, destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya
berbeda.

Tabel 2. Perbedaan asma, PPOK dan SOPT


Asma PPOK SOPT
Timbul pada usia muda ++ - +
Sakit mendadak ++ - -
Riwayat merokok + +++ -
Riwayat atopi +++ - -
Sesak dan mengi berulang +++ + +
Batuk kronik berdahak + ++ +
Hiperaktiviti bronkus +++ + +/-
Reversibiliti obstruksi ++ - -
Eosinofil sputum + - ?
Netrofil sputum - + ?
Makrofag sputum + - ?

Tabel 3. Perbandingan gejala antara PPOK dan asma


PPOK Asma
Riwayat Klinis Onset biasanya pada usia tua. Onset biasanya pada umur yang
Riwayat paparan rokok. lebih muda
Tidak ada riwayat atopik pada Paparan allergen.
keluarga. Riwayat atopi atau asma pada
Variasi diurnal tidak begitu jelas. keluarga.
Berkaitan dengan pola nokturnal
dan memberat pada pagi hari.
Tes Diagnostik
Spirometri Obstruksi tidak reversible sepenuhnya Obstruction dapat reversible
Kapasitas Berkurang (dengan emphysema) sepenuhnya
Radiology Hiperinflasi cenderung lebih Biasanya normal
persisten. Penyakit bullous dapat Hiperinflasi hanya pada
ditemukan eksaserbasi, namun normal di luar
serangan
Patologi Metaplasia kelenjar mucus Hyperplasia kelenjar mucus
Kerusakan jaringan alveolar Struktur alveolar utuh
(emphysema)
Inflamasi Makrofag dan neutrofil mendominasi Sel Mast dan eosinophils
Limfosit CD8+ mendominasi
Limfosit CD4+
Penatalaksanaan
Kortikosteroid Untuk kasus sedang hingga berat Untuk kasus ringan hingga berat
Inhalasi Tidak direkomendasikan persisten
Leukotriene Digunakan untuk maintenance dan Digunakan sebagai medikasi
modifier selama eksaserbasi pengontrol
Anticholinergic Hanya digunakan pada eksaserbasi.
inhalasi Tidak diindikasikan untuk
maintenance

Tabel 4. Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Nilai FEV1 dan Gejala Menurut GOLD
2010
Tingkat Nila FEV1 dan Gejala
I FEV1/FVC < 70% FEV1 ≥ 80% dan umumnya, tapi tidak
Ringan selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap
ini, pasien biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya
bermasalah.

II FEV1/FVC < 70%; 50%< FEV1 < 80%, gejala biasanya mulai
Sedang progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.

III FEV1/FVC < 70%; 30%< FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi
Berat berulang yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada
tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai
dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit.

IV FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan
Sangat Berat respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
walaupun FEV1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan
pernafasan atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale . Pada
tahap ini, kualitas hidup sangat terganggu dan serangan
mungkin mengancam jiwa.

Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah sebagai berikut:


1. Batuk kronis: terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari.
2. Produksi sputum secara kronis
3. Bronkitis akut: terjadi secara berulang.
4. Sesak nafas (dispnea): bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk
jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan.
5. Riwayat paparan terhadap faktor risiko: merokok, partikel dan senyawa kimia, asap dapur.
G. Penatalaksanaan PPOK
a. Terapi Non-Farmakologis
1. Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko PPOK
dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan FEV1 jangka
panjang dan memperlambat perkembangan PPOK.
2. Program rehabilitasi paru termasuk latihan bersama dengan
berhenti merokok, latihan pernapasan, pengobatan medis yang optimal, dukungan
psikososial, dan pendidikan kesehatan. Tambahan oksigen, dukungan nutrisi, dan
perawatan psychoeducational (misalnya, relaksasi) adalah tambahan
penting yang berarti dalam program rehabilitasi paru.
3. Vaksinasi tahunan dengan vaksin intramuskular influenza tidak
aktif yangdirekomendasikan.
4. Satu dosis vaksin pneumokokus polivalen diindikasikan untuk pasien
pada setiap usia dengan PPOK; vaksinasi ulang dianjurkan bagi pasien yang lebih tua
dari 65 tahun jika vaksinasi pertama adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien
lebih muda dari 65 tahun.
5. Terapi oksigen jangka panjang. Penggunaan terapi oksigen dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien PPOK dengan hipoksemia kronis.

b. Terapi Farmakologis
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan
dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi PPOK
berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.

Obat-obat yang digunakan adalah:


1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini bisa
digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan,
atau secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala. Efek
samping obat bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung dosis. Jarang
menimbulkan efek obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reaction), dan kalaupun
terjadi umumnya segera hilang jika obat dihentikan.
Beberapa contoh bronkodilator untuk PPOK adalah sbb:
 Antikolinergik
Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal ini
karena persyarafan utama yang memediasi aksi bronkokonstriksi adalah saraf
kolinergik, di mana pada usia lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down
regulasi dan berkurangnya sensitivitas. Mekanisme utama obat golongan
antikolinergik adalah blokade pada reseptor muskarinik M3. Termasuk golongan ini
adalah ipratropium dan oksitropium (beraksi pendek), dan tiotropium
bromida (beraksi panjang). Penghambatan terhadap reseptor M3 menyebabkan
penghambatan terhadap aktivasi enzim fosfolipase yang menguraikan
senyawa fosfatidil inositol difosfat menjadi inositol trifosfat dan diasilgliserol.
Berkurangnya senyawa inositol trifosfat yang beraksi memobilisasi kalsium dari
tempat penyimpanannya menyebabkan relaksasi otot polos bronkus.
 Simpatomimetik
Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik β-2
bersifat bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk
meningkatkan pembentukan adenosine 3’,5’ monophosphate (3’,5’-cAMP). cAMP
akan menghambat aksi myosin light chain kinase, sehingga pada gilirannya akan
mencegah terjadinya kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini juga mungkin
meningkatkan pembersihan mukosiliar.Efek bronkodilatasi β-agonis aksi cepat
umumnya berakhir setelah 4-6 jam, sedangkan β-agonis aksi panjang
seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan durasi aksi sampai 12 jam atau lebih,
tanpa berkurangnya efektivitas pada malam hari atau dengan penggunaan teratur
pada pasien PPOK.
 Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik
Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika
perkembangan penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk. Kombinasi dua
golongan bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan digunakan
sendiri-sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya sehingga
menurunkan potensi efek sampingnya. Kombinasi antara suatu β-agonis aksi pendek
maupun panjang dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan
gejala dan fungsi paru. Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi tiotropium
bromide dengan formoterol memberikan perbaikan fungsi paru yang lebih baik
daripada kombinasi salmeterol dengan flutikason.
 Metilxantin
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan
menghambat phosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan cAMP),
menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot polos,
antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen,
antagonis reseptor adenosin, dan penghambatan pelepasan mediator
dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada PPOK menunjukkan
perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara
subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan toleransi
latihan, dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang mungkin
menyebabkan kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan fungsi
jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis.

2. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan
mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas kapiler
untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan
menghambat prostaglandin.

3. Terapi Oksigen jangka panjang (long term)


Penggunaan oksigen berkesinambungan (>15 jam sehari) dapat meningkatkan harapan
hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan memperbaiki
tekanan arteri pulmonar, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status
mental. Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat
keparahan IV (sangat berat) jika:
a) PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia, atau
b) PaO2 antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO2 89%, tetapi ada tanda hipertensi
pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif,
atau polisitemia.

4. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus atau
bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika pada
pasien-pasien yang:
a) Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea (sesak
nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum, atau
b) Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi
sputum merupakan salah satunya, atau
c) Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif
maupun non-invasif. Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus
pneumonia, Haemophilus parainfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.

Tabel 5. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK


Karakteristik pasien Patogen penyebab Terapi yang
yang mungkin direkomendasikan
· Eksaserbasi tanpa S.pneumoniae, H.Infl Makrolid (azitromisin,
komplikasi uensa, H. klaritromisin),
· < 4 eksaserbasi Paraenfluenzae, sefalosporin generasi 2
setahun dan M. atau 3, doksisiklin
· Tidak ada penyakit catarrhalis umumny
penyerta a tidak resisten
· FEV1 > 50%
· Eksaserbasi kompleks H. Influensa, M. Amoksisilin/klavulanat,
· Umur > 65 th, Catarrhalis, S Fluorokuinolon
Ø 4 eksaserbasi pneumoniaepenghasi (levofroksasin,
pertahun l betalaktamase, gatiflokasin,
· FEV1 < 50% tapi > Enterobacteraceae moksifloksasin),
35% (K. Pneumoniae, E. Sefalosporin generasi 2
coli, dan 3
Proteus, Enterobacte
r, dll)
Eksaserbasi kompleks Seperti di atas, Fluorokuinolo
dengan risiko P. ditambah P. (levofroksasin,
aeruginosa aeruginosa gatiflokasin,
moksifloksasin), terapi
IV jika perlu:
sefalosporin generasi 3
atau 4
5. Imunisasi
Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat
PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia lanjut
karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien PPOK sebaiknya
menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi influenza per tahun
untuk mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum
divaksinasi, maka dapat digunakan obat antivirus amantadin dan rimantadin.
6. Mukolitik
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi telah
diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Meskipun
mungkin penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi secara
keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut GOLD 2010,
penggunaannya tidak direkomendasikan berdasarkan bukti-bukti klinis yang ada.

7. Terapi Pengganti AAT (alpha anti trypsine)


Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi faktor
risiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambahkan terapi
penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT secara
rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar.
Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara
intravena sekali seminggu dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan
toleransi pasien. Saat ini, contoh produk yang tersedia adalah Prolastin, Aralast,
dan Zemaira.

8. Terapi Pada Komplikasi PPOK: Cor Pulmonale


Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV), pasien seringkali mengalami komplikasi akibat
hipoksemia yang berkepanjangan, yaitu terjadinya vasokonstriksi kronis pada arteri
pulmonary yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan atau cor pulmonale.
Selain PPOK-nya harus ditangani secara tersendiri, cor pulmonale juga perlu mendapat
penanganan agar tidak membawa akibat fatal berupa kematian. Di bawah ini
dipaparkan beberapa obat yang dapat dipakai dalam pengatasan cor pulmonale.
a. Terapi Oksigen
Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan secara
terus-menerus. Pada komplikasi cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2)
cenderung berada di bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan kegiatan
fisik atau selama istirahat. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi paru akibat
hipoksemia, sehingga kemudian meningkatkan curah jantung, dan mengurangi
vasokonstriksi simpatis serta mengurangi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan
perfusi ginjal.
b. Diuretik
Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume pengisian
ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema yang terjadi.
Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri dan kanan, tetapi
diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika tidak digunakan secara
hati-hati.
c. Vasodilator
Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang padacor
pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal kalsium,
terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat mengurangu
tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif pada hipertensi
pulmonar primer daripada sekunder.
d. Glikosida jantung
Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonalemasih
kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal
jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis
memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hati-hati,
dan tidak boleh digunakan selama fase akutkarena dapat meningkatkan risiko
terjadinya aritmia jantung.
e. Teofilin
Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi
vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK
dengan cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga dapat
meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga dilaporkan
dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol penyakit paru
seperti PPOK.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. 2005. Patogenesis dan pengobatan pada penyekit paru obstruksi kronik. Kongres
Nasional X PDPI. Solo. P: 1-7.
Anthariksa, Budhi. 2009. Penyakit paru obstruksi kronik. Departemen pulmonologi dan ilmu
kedokteran respirasi FKUI. RS Persahabatan Jakarta. Upload 29 april 2009.
GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). 2010. Executive summary
global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease update 2010.
Hisyam. 2001. Pola Microba pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Eksaserbasi di
RS. Dr Sarjito. Jurnal Penelitian Universitas Gajah Mada Vol 33. No 1. Yogyakarta
Ikawati, Z, 2011,Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.
Mangunnegoro, H. 2001. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia .Jakarta
W. Sudoyo, Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Universitas Indonesia PDPI. 2006.
PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta.1-18.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. PPOK (Penyakit Paru ObstruksiKronik)
Pedoman Praktis Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia
Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008,ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai