Oleh :
Reni Dwi Astuti
G1A219107
Dosen Pembimbing:
dr. Widuri Astuti, Sp.An
Oleh:
Reni Dwi Astuti
G1A219107
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan Clinical Report Session yang berjudul “Anastesi Spinal pada
Tindakan Sectio Caesaria Atas Indikasi KPD”. Dalam kesempatan ini saya juga
mengucapkan terima kasih banyak kepada dr. Widuri Astuti, Sp.An selaku dosen
pembimbing yang memberikan banyak ilmu selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Anastesi.
Penulis menyadari bahwa laporan Clinical Report Session ini jauh dari sempurna,
penulis juga dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
agar lebih baik kedepannya.
Akhir kata, saya berharap semoga laporan Clinical Report Session (CRS) ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan pengetahuan kita.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi regional yang paling populer pada seksio sesarea adalah penggunaan
teknik sub arachnoid block (SAB) atau anestesia spinal. Dibandingkan dengan anestesi
epidural, anestesi spinal lebih mudah, awitannya cepat dan harganya lebih murah.
Kombinasi antara anestetika lokal, seperti bupivacaine, dengan atau tanpa opioid,
seperti fentanyl atau morfin, sering digunakan dan menghasilkan anestesia yang
memuaskan. Keuntungan teknik spinal antara lain ibu akan tetap terbangun, mula kerja
obat yang cepat, blokade sensorik dan motorik yang lebih dalam, menggunakan teknik
yang sederhana, pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dan risiko toksisitas obat
anetesi yang kecil. Di samping kelebihan tersebut, Teknik anestesi spinal memiliki
kekurangan yakni potensi hipotensi pada ibu bersalin yang dikenal dengan istilah
hipotensi maternal 1,3,4
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya
proses persalinan, yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup bulan atau kurang
3
bulan. Ketuban pecah dini berhubungan dengan 30-40% kelahiran preterm yang
merupakan penyebab kematian serta kesakitan yang penting baik bagi maternal maupun
perinatal. Selaput ketuban normalnya pecah secara spontan pada waktu proses
persalinan, yaitu pada akhir kala I atau awal kala II, diakibatkan oleh kontraksi uterus
yang berulang-ulang. Ketuban yang pecah sebelum mulainya persalinan dengan usia
kehamilan sebelum 37 minggu disebut ketuban pecah dini preterm.5,6
4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Keluar air air dari jalan lahir sejak ± 6 jam SMRS
6
Batas Bawah : ICS IV Line parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris (+/+), jejas (-/-)
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, luka bekas operasi(+), abdomen melebar, linea nigra (+), striae
gravidarum (+)
Palpasi : TFU 35 cm, pada fundus teraba bokong, pada perut bagian kiri teraba punggung
janin, pada perut bagian kanan teraba bagian kecil janin.
Perkusi : Timpani pada 4 kuadran
Auskultasi : DJJ 132x/menit, teratur
Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edema (-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edema (-)
Genitalia : Terpasang kateter
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium (16/05/2021)
Nilai Normal
BT : 1-3’
7
10/04/2021 Hasil Nilai Normal Unit
Elektrolit:
Premedikasi anestesi :
Ondansetron 8 mg IV
8
Tindakan Anestesi : Regional (Spinal)
Lokasi penusukan : L4-L5
Obat anastesi local : Bupivacain 0,5% (5 mg/ml) 3 ml (15 mg )
Adjuvant : Morphin 0,1 mg
Operasi mulai : 09.15 WIB
Operasi selesai : 10.15 WIB
Berat badan pasien : 70 kg
Durasi operasi : 60 menit
Pasien puasa : 8 jam
Medikasi :
∙ Oxytocin 20 IU
∙ Methylergometrin 0.4 mg
- Output :
∙ Urine : ± 500 cc
∙ Perdarahan : ± 250 cc
9
- Stress operasi(SO) = 6 cc/KgBB/jam
= 6 cc x 70 Kg/jam
= 420 cc/jam
EBV : 65 X BB = 4550 cc
EBL : 20% EBV = 910 cc
Kebutuhan cairan selama Operasi
Jam I = 1/2 PP + SO + M
= 560 + 420 + 140
= 1120 cc
Jam II = ¼ PP + SO + M
= 280 + 420 + 140
= 840 cc
10
Pelepasan alat monitoring dan pasien di bawa ke ruang
pemulihan untuk observasi lebih lanjut sebelum di
pindahkan ke ruang rawat inap.
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi spinal (subaraknoid) atau yang sering disebut juga analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal adalah teknik anestesi neuroaksial dan merupakan salah satu
teknik anestesi regional (selain anestesi epidural dan saraf perifer) yang dapat diberikan
sebagai anastesi tunggal maupun kombinasi dengan anastesi umum. Anastesi spinal
dilakukan dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid
(cairan serebrospinal) yang bertujuan untuk menghambat rasa sakit rasa pada bagian yang
lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif jaringan spinal dan saraf terkait. Anestesi ini dapat
dilakukan pada bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum perineum,
bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi, dan bedah abdomen bawah. Namun, hal ini tidak
dapat dilakukan bila terdapat kontraindikasi seperti berikut:
12
Tabel 3.1. Perbedaan anestesi spinal dan epidural
Operasi bedah sesar dengan anesthesia regional pada umumnya tidak memerlukan
sedasi, namun jika pasien tampak sangat cemas, berikan midazolam 0,5 – 2 mg. Oleh karena
kemungkinan aspirasi isi lambung pada wanita hamil lebih tinggi diperlukan premedikasi
seperti antagonis reseptor H2 (ranitidine / famotidin) beguna untuk mengurangi sekresi asam
lambung dan metoklorpramid berguna untuk memfasilitasi pengosongan lambung.
Meningkatkan tonus LES (lower sphincter esophagus) dan efek antiemetik. Selain itu
diperlukan :9
1. Posisi maternal
Pada kehamilan aterm, pembesaran uterus menyebabkan desakan pada pembuluh
darah besar di abdomen (aorta abdominalis dan vena cava inferior) yang disebut kompresio
aorta – caval. Penekanan ini menurunkan venous return. Ditambah vasodilatasi akibat
pengaruh hormonal, dapat terjadi penurunan tekanan darah, berkurangnya perfusi uterus dan
bradikardia janin. Untuk mencegah hal tersebut, kecukupan cairan intravaskular perlu
dipastikan. Selain itu dapat memposisikan pasien dekubitus lateral kiri atau dilakukan
manipulasi posisi uterus dengan kedua tangan untuk menggeser uterus ke arah kiri sehingga
mengurangi penekanan aorto kaval.
Anatomi tulang belakang lebih mudah di palpasi pada posisi duduk di bandingkan
lateral dekubitus, penderita dengan bantuan seorang asisten dan memeluk bantal diposisikan
duduk dengan punggung belakang di fleksikan maksimal dan kedua kaki menggantung diatas
lantai atau di atas bangku.
13
2. Pemantauan
Pemantauan meliputi oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu, pastikan EKG
terpasang secara benar. Perhatikan pula kemungkinan perubahan teknik anesthesia regional
menjadi umum karena adanya penyulit atau terjadi kegawatan pada ibu hamil
3. Pemberian cairan
Pemberian cairan sesaat sebelum anesthesia terutama anesthesia regional dapat
menurunkan kejadian hipotensi, memperbaiki curah jantung dan sirkulasi uteroplasenta.
Masih terdapat kontroversi mengenai jumlah dan jenis cairan yang mengandung glukosa
karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan hiperinsulinemia pada ibu dan janin. Sisa
insulin dapat memicu hipoglikemia pada tubuh janin setelah lahir.
4. Persiapan sebelum induksi
● -Informed Consent (izin dari pasien)
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal
● Pemeriksaan fisik
Tidak ada kelainan spesifik seperti tulang punggung dan lain-lain.
● Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (protrombin time) dan PTT (partial tromboplastine time)
5. Peralatan Analgesia Spinal
● Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri, denyut (pulse oksimeter) dan EKG
Peralatan resusitasi
● Jarum spinal
terdapat 3 jenis jarum spinal yaitu dengan ujung tajam (quincke) atau jarum spinal
dengan ujung pensil (pensil poit whitecare).
Gambar 3.1 jenis-jenis jarum spinal
14
3.1.2 Teknik Analgesia Spinal
Pasien dapat diposisikan duduk, posisi tidur lateral decubitus maupun posisi jack knife
(tengkurap) dengan tusukan paling sering dilakukan pada garis tengah (midline, median).
Tusukan paramedian biasanya dilakukan bila ada penyulit dan tusukan ini dilakukan 2 cm
lateral dari garis tengah dengan sudut 10-25° terhadap garis tengah. Penusukan biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien.
Penusukan dilakukan pada perpotongan antara misal L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
Garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka merupakan titik acuan L4 atau L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
Teknik:
Inspeksi: garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan-kiri akan memotong
garis tengah punggung setinggi L4 atau L4-L5.
Palpasi: untuk mengenal ruang antara dua vetebra lumbalis
Pungsi lumbal hanya antara: L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1
Pasien diposisikan duduk, posisi tidur lateral decubitus maupun posisi jack knife dengan
punggung fleksi maksimal.
15
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Obat-obat anestetik lokal yang paling sering digunakan:
- Lidokaine (xylobain, lignokain) 2% berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100mg
(2-5ml)
- Lidokaine (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5% berat jenis 1.033, sifat
hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
- Bupivacaine (markaine) 0.5% dlm air berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg (1-
4ml)
- Bupivacaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25% berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg (1-3ml)
Penyebaran dermatomal dari anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor utama
1. Berat jenis anestetika lokal (barisitas)
2. Posisi pasien (kecuali isobaric)
3. Dosis dan volum anestetika lokal (kecuali isobarik)
4. Lokasi Injeksi
2. Faktor lainnya
1. Ketinggian suntikan
2. Kecepatan suntikan (barbotase)
3. Ukuran jarum
4. Keadaan fisik pasien
5. Tekanan intra abdominal
6. Usia
7. Cairan serebrospinal
8. Lengkung Spina
9. Tinggi Pasien
10. Kehamilan
3.1.4 Manifestasi Fisiologi pada Anestesi Spinal
a. Sistem Kardiovaskular
i. Terjadinya hipotensi akibat blockade pada serabut saraf simpatis preganglonik yang
berhubungan dengan kecepatan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnois dan
meluasnya blockade simpatis.
ii. Blockade yang tinggi diatas thorak 4 - 5, terjadi blockade simpatis yang menginervasi
16
jantung dan terjadilah penurunan heart rate setelah itu akan menurunkan kontraktilitas
dan venous return, penurunan cardiac output dan tahanan perifer sehingga terjadilah
hipotensi
iii. Blockade simpatis anestesi spinal menyebabkan hilangnya fungsi kontrol tekanan
darah dan venous return tergantung gravitasi, vena dilatasi mengakibatkan pooling
vena sehingga terjadi penurunan venous return, cardiac output dan tahanan perifer
serta terjadi hipotensi
iv. Hipovolemia menyebabkan depresi serius system kardiovaskular selama spinal
anestesi dan merupakan kontraindikasi spinal anestesi
v. Tekanan darah di bawah 80 mmHg dan diastolic < 50 mmHg harus diperhatikan
b. Sistem Respirasi
i. Efek anestesi spinal pada fungsi respirasi berhubungan dengan level blockade anestesi
spinal yang meluas sampai level thorak tengah atau lebih rendah, jarang menyebabkan
perubahan fungsi respirasi
ii. Pasien dengan penyakit paru kronik berat, blockade motorik harus dipelihara di bawah
T7. Respiratory arrest dapat terjadi pada anesthesia spinal total, karena paralisis otot
respirasi atau iskemik brainstem sekunder dari hipotensi berat. Respiratory arrest
disebabkan aliran darah meduller tidak adekuat karena cardiac output tidak adekuat,
total spinal dengan selutuh otot respirasi, efek toksik obat local anestesi serta efek injeksi
obat narkotik analgesi.
c.Sistem Gastrointestinal
i. Blockade simpatis T5 – L1 pada anestesi spinal menyebabkan kontraksi usus halus,
sphincter relaksasi, peristaltic meningkat, tekanan dalam lumen bowel meningkat,
pengosongan lambung tidak dipengaruhi.
ii. Mual dan muntah terjadi karena hipotensi, peristaltic meningkat, tarikan nervus dan
pleksus terutama vagus, empedu di lambung, analgesic narkotik, psikologik dan
hipoksia.
d. Sistem Genitourinaria
i. Pengaruh spinal anestesi pada fungsi ginjal adalah karena hipotensi, menurunkan 5 –
10 % glomerular filtration rate (GFR).
ii. Blockade simpatis efferent (T5 – L1) berakibat peningkatan tonus sphincter dan
retensi urin.
e. Sistem Endokrin
i. Anestesi spinal tidak merubah fungsi endokrin aktivitas metabolic.
17
ii. Anestesi spinal torakal tinggi berhubungan dengan blockade jalur otonom ke medulla
adrenal.
iii. Temperatur Tubuh. Anestesi spinal sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi
panas berkurang.
iv. Vasodilatasi anggota tubuh bawah merupakan predisposisi terjadinya hipotermi.
3.1.5 Komplikasi tindakan
a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infuse cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai T2.
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
d. Trauma pembuluh darah
e. Trauma saraf
f. Mual muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan:
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urin
5. Meningitis
Pencegahan:
1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus
2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater
3. Hidrasi adekuat, minum / infuse sampai 3 L sehari selama 3 hari
Pengobatan
1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
2. Hidrasi adekuat
3. Hindari mengejan
4. Bila cara tersebut tidak berhasil, dipertimbangkan pemberian “epidural blood patch”
yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5 – 10 ml ke dalam ruang epidural.
18
3.2 Persiapan pra anestesi
Pasien yang akan menjalani operasi harus disiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 2-1 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat
sesingkat mungkin. Tujuan dari kunjungan pra anestesi ini yakni mempersiapkan baik fisik
maupun mental pasien, serta merencanakan teknik dan obat-obatan apa saja yang digunakan.
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,
misalnya alergi, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca bedah, sehingga kita dapat
merancang anestesia selanjutnya. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya
menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya janga digunakan ulang, misalnya halotan
jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya utnuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan
beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan 1-2 minggu untuk mengurangi
produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga patut dicurigai akan adanya penyakit hepar.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher
pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara
sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pada
usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto thoraks.5
Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.5
Klasifikasi Status Fisik
Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of Anesthesiologists (ASA)
yaitu:
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
19
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa
pembatasan aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Kelas VI : Pasien mati batang otak untuk dilakukan donor organ.
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-
6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi. 5
Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya: 5
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
20
3.3. Perubahan Fisiologi Wanita Hamil 7
3.3.1 Perubahan pada Susunan Saraf Pusat
1. Terjadi penurunan dari konsentrasi minimum alveolar (MAC)
Terjadi penurunan 40% dan akan kembali normal sekitar 3 hari setelah
melahirkan
Terjadi peningkatan kadar progresteron dan β-endorphin
2. Peningkatan sensitivitas terhadap lokal anestesi
Penurunan dosis obat mencapai 30%
Dipengaruhi oleh hormone
Pembengkakan pada plexus vena epidural
Penurunan volume cairan cerebrospinal (CSF)
Penurunan volume dari ruang epidural
Peningkatan tekanan ruang epidural
Peningkatan kemungkinan injeksi intravascular
21
Pembengkakan pada kapilr mukosa sehingga meningkatkan resiko
trauma/perdarahan/obstruksi
Menggunakan endotrakeal tube (ETT) yang lebih kecil
22
3.3.5 Perubahan pada Sistem Renal
1. Terjadi renal vasodilatasi dan pembesaran ginjal
2. Peningkatan aldosterone dan renin sehingga meningkatkan retensi natrium
3. Peningkatan aliran plasma ginjal dan GFR meningkat 50% selama trimester pertama,
kembali normal pada trimester ke tiga
4. Penurunan kadar serum kreatinin dan urea nitrogen darah (BUN)
5. Terjadi glikosuria ringan (1-10 g/d) dan/atau proteinuria (<300mg/d)
23
3.3.8 Perubahan pada Efek Metabolik
1. Peningkatan level insulin, penurunan tekanan darah
2. Penurunan asam amino
3. Peningkatan kadar lemak bebas/keton/trigliserida
4. Peningkatan ikatan tiroid globulin / triiodothyronine (T3)/ thyroxine (T4), tetapi
penderita tetap eutiroid karena kadar bebasnya tetap normal
Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of the Membranes (PROM) adalah
keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya proses persalinan pada kehamilan
aterm. Sedangkan Preterm Premature Rupture of the Membranes (PPROM) adalah pecahnya
ketuban pada pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Pendapat lain
menyatakan dalam ukuran pembukaan servik pada kala I, yaitu bila ketuban pecah sebelum
pembukaan pada primigravida kurang dari 3 cm dan pada multigravida kurang dari 5 cm.
Dalam keadaan normal selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. 6
3.4.2. Etiologi
Adapun penyebab terjadinya ketuban pecah dini yaitu sebagai berikut:
b. Hidramnion
e. Kehamilan ganda
24
f. Pendular abdomen (perut gantung)
Adapun mengenai penyebab kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin bahwa
kejadian KPD mayoritas pada ibu multipara, usia ibu 20-35 tahun, umur kehamilan ≥37
minggu, pembesaran uterus normal dan letak janin preskep.
3.4.3. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat timbul pada pasien KPD antara lain:9
1. Gejala utama berupa keluarnya cairan dari vagina, yang dapat keluar sebagai pancaran
yang besar dan mendadak atau sebagai suatu tetesan yang konstan lambat.
2. Keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan 22 minggu 3. Ketuban
dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan berlangsung.
4. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37
minggu maupun kehamilan aterm.
3.4.4. Diagnosis
Diagnosis KPD secara tepat sangat penting untuk menentukan penanganan selanjutnya. Cara-
cara yang dipakai untuk menegakkan diagnosis adalah 21–24: ,9
1. Anamnesis
Pasien merasakan adanya cairan yang keluar secara tiba-tiba dari jalan lahir atau
basah pada vagina. Cairan ini berwarna bening dan pada tingkat lanjut dapat disertai
mekonium.
2. Pemeriksaan inspekulo
Terdapat cairan ketuban yang keluar melalui bagian yang bocor menuju kanalis
servikalis atau forniks posterior, pada tingkat lanjut ditemukan cairan amnion yang keruh dan
berbau.
3. Pemeriksaan USG
Ditemukan volume cairan amnion yang berkurang /oligohidramnion, namun dalam
hal ini tidak dapat dibedakan KPD sebagai penyebab oligohidramnion dengan penyebab
lainnya.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang digunakan
adalah adanya Leukositosis maternal (lebih dari 15.000/uL), adanya peningkatan C-reactive
protein cairan ketuban serta amniosentesis untuk mendapatkan bukti yang kuat (misalnya
cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak atau bakteri pada pengecatan gram
25
maupun pada kultur aerob maupun anaerob). Tes lakmus (Nitrazine Test) merupakan tes
untuk mengetahui pH cairan, di mana cairan amnion memiliki pH 7,0-7,5 yang secara
signifikan lebih basa daripada cairan vagina dengan pH 4,5-5,5. jika kertas lakmus merah
berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban. Normalnya pH air ketuban berkisar
antara 7-7,5. Namun pada tes ini, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan positif palsu.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah Tes Fern. Untuk melakukan tes, sampel cairan
ditempatkan pada slide kaca dan dibiarkan kering. Pemeriksaan diamati di bawah mikroskop
untuk mencari pola kristalisasi natrium klorida yang berasal dari cairan ketuban menyerupai
bentuk seperti pakis.
3.4.5 Penatalaksanaan
Pastikan diagnosis terlebih dahulu kemudian tentukan umur kehamilan, evaluasi ada
tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin serta dalam keadaan inpartu terdapat gawat
janin. Penanganan ketuban pecah dini dilakukan secara konservatif dan aktif, pada
penanganan konservatif yaitu rawat di rumah sakit.
Masalah berat pada ketuban pecah dini adalah kehamilan dibawah 26 minggu karena
mempertahankannya memerlukan waktu lama. Apabila sudah mencapai berat 2000 gram
dapat dipertimbangkan untuk diinduksi. Apabila terjadi kegagalan dalam induksi makan akan
disetai infeksi yang diikuti histerektomi. Pemberian kortikosteroid dengan pertimbangan akan
menambah reseptor pematangan paru, menambah pematangan paru janin. Pemberian
batametason 12 mg dengan interval 24 jam, 12 mg tambahan, maksimum dosis 24 mg, dan
masa kerjanya 2-3 hari, pemberian betakortison dapat diulang apabila setelah satu minggu
janin belum lahir. Pemberian tokolitik untuk mengurangi kontraksi uterus dapat diberikan
apabila sudah dapat dipastikan tidak terjadi infeksi korioamninitis. Meghindari sepsis dengan
pemberian antibiotik profilaksis.
Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada ibu hamil aterm atau preterm dengan atau
tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit. Apabila janin hidup serta terdapat prolaps tali
pusat, pasien dirujuk dengan posisi panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan
posisi sujud. Dorong kepala janin keatas degan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan kepala
janin. Tali pusat di vulvadibungkus kain hangat yang dilapisi plastik. Apabila terdapat
demam atau dikhawatirkan terjadinya infeksi saat rujukan atau ketuban pecah lebih dari 6
jam, makan berikan antibiotik penisilin prokain 1,2 juta UI intramuskular dan ampisislin 1 g
peroral. Pada kehamilan kurang 32 minggu dilakukan tindakan konservatif, yaitu tidah
baring, diberikan sedatif berupa fenobarbital 3 x 30 mg. Berikan antibiotik selama 5 hari dan
glukokortikosteroid, seperti deksametason 3 x 5 mg selama 2 hari. Berikan pula tokolisis,
26
apanila terjadi infeksi maka akhiri kehamilan. Pada kehamilan 33-35 miggu, lakukan terapi
konservatif selama 24 jam kemudian induksi persalinan. Pada kehamilan lebih dari 36
minggu dan ada his maka pimpin meneran dan apabila tidak ada his maka lakukan induksi
persalinan. Apabila ketuban pecah kurang dari 6 jam dan pembukaan kurang dari 5 cm atau
ketuban pecah lebih dari 5 jam pembukaan kurang dari 5 cm. Sedangkan untuk penanganan
aktif yaitu untuk kehamilan > 37 minggu induksi dengan oksitosin, apabila gagal lakukan
seksio sesarea. Dapat diberikan misoprostol 25µg – 50µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4
kali. 9
27
3.4.6 Komplikasi
Infeksi sering terjadi pada pasien dengan KPD. Bukti keseluruhan korioamnionitis
berkisar dari 4,2% hingga 10,5%. Diagnosis korioamnionitis secara klinis ditandai dengan
adanya demam 38 ° C dan minimal 2 dari kondisi berikut: takikardia pada ibu, takikardia
pada janin, nyeri tekan uterus, cairan ketuban berbau busuk, atau darah ibu mengalami
leukositosis. Rongga ketuban umumnya steril. Invasi mikroba dari rongga ketuban mengacu
pada hasil kultur mikroorganime cairan ketuban yang positif, terlepas dari ada atau tidaknya
tanda atau gejala klinis infeksi. Pasien dengan KPD memiliki kejadian solusio plasenta
sekitar 6%. Solusio plasenta biasanya terjadi pada kondisi oligohidroamnion lama dan berat.
Alasan tingginya insiden solusio plasenta pada pasien dengan KPD adalah penurunan
progresif luas permukaan intrauterin yang menyebabkan terlepasnya plasenta. Prolaps tali
pusat yang dikaitkan dengan keadaan malpresentasi serta terjadinya partus kering juga
merupakan komplikasi maternal yang dapat terjadi pada KPD. 9
Kematian neonatal setelah mengalami KPD aterm dikaitkan dengan infeksi yang
terjadi, sedangkan kematian pada KPD preterm banyak disebabkan oleh sindrom gangguan
pernapasan. Pada penelitian Patil, dkk (India, 2014) KPD berkepanjangan meningkatkan
risiko infeksi pada neonatal sekitar 1,3% dan sepsis sebesar 8,7%. Infeksi dapat
bermanifestasi sebagai septikemia, meningitis, pneumonia, sepsis dan konjungtivitis. Insiden
keseluruhan dari kematian perinatal dilaporkan dalam literatur berkisar dari 2,6 hingga 11%.
Ketika KPD dikelola secara konservatif, sebagian besar pasien mengalami oligohidramnion
derajat ringan hingga berat seiring dengan kebocoran cairan ketuban yang terus menerus.
Sedikitnya cairan ketuban akan membuat rahim memberikan tekanan terus-menerus kepada
janin sehingga tumbuh kembang janin menjadi abnormal seperti terjadinya kelainan bentuk
tulang. 9
28
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien Ny. R usia 23 tahun dengan diagnosa pra bedah G2P1A0 gravida 37-38
minggu + KPD 6 jam + Riwayat SC sebelumnya menjalani operasi Sectio Caesarea pada
tanggal 17 Mei 2021. Diagnosa post op yaitu post Sectio Caesarea atas indikasi G2P1A0
gravida 37-38 minggu + KPD+ Riwayat SC . Persiapan operasi dilakukan sebelum tindakan
dimulai.
Pada anamnesis, diketahui bahwa Ny. R pasien ibu hamil mengeluh keluar air air dari
jalan lahir, warna jernih, tidak berbau dan sedikit-sedikit sejak ± 6 jam SMRS. Pasien juga
mengeluh perutnya mules yang hilang timbul, makin lama makin sering, riwayat keluar darah
bercampur lendir pada jalan lahir (-). Pasien mengaku pernah melahirkan SC 5 tahun yang
lalu, pasien hamil anak ke dua dengan jarak kehamilan sebelumnya 5 tahun.
Pada pemeriksaan fisik abdomen, pada inspeksi diperoleh hasil cembung, abdomen
melebar, linea nigra (+), striae gravidarum (+), pada palpasi diperoleh hasil tinggi fundus
uteri 35 cm, pada fundus teraba bokong, pada perut bagian kiri teraba punggung janin, pada
perut bagian kanan teraba bagian kecil janin. Pada perkusi diperoleh hasil timpani pada 4
kuadran.
Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan didapatkan leukositosis
(WBC 10,1) dan anemia (HGB 10,6). Pemeriksaan laboratorium lainnya dalam batas normal.
Kunjungan Pra Anestesi
29
Adapun beberapa keuntungan spinal anestesi dibandingkan general anestesi, yaitu
jumlah perdarahan yang lebih sedikit, angka kejadian trombosis vena dalam lebih kecil,
menghindari efek samping general anestesi, seperti mual, tenggorokan kering, gangguan
kesadaran, dan sebagainya, serta kontrol nyeri yang lebih baik. Keuntungan lainnya seperti
kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang kecil, blok anestesi
yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan penanggulangannya sudah diketahui dengan
baik analgesia dapat diandalkan, sterilitas dijamin, pengaruh terhadap bayi sangat minimal,
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak langsung dengan
bayinya segera setelah melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga terdapat risiko, risiko yang
dapat terjadi seperti mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi, disritmia
atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi.
Premedikasi
Operasi dilakukan pada tanggal 17 Mei 2021 pukul 09.15 wib sampai 10.15 WIB.
Pasien masuk keruang OK IGD didapatkan pemeriksaan TD : 129/77 mmHg, HR : 89x/menit
, RR : 20x/menit, Suhu : 36,5° C, dan SpO2 100%. Pada pasien ini diberikan obat
premedikasi yaitu ondansentron 8 mg (IV). Pemberian obat anti mual dan muntah sangat
diperlukan dalam operasi sectio caesaria emergensi dimana merupakan usaha untuk
mencegah adanya aspirasi dari asam lambung. Ondansetron bekerja dengan menghambat
ikatan serotonin pada reseptor 5HT3, sehingga membuat penggunanya tidak mual dan
berhenti muntah.
30
Anestesi Spinal & Monitoring Intraoperatif
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk
hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang menghubungkan
kedua crista illiaca dengan tulang punggung, yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan
tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan
betadin. Jarum spinal nomor 27 ditusukkan dengan arah median, barbutase positif dengan
keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan
secara perlahan-lahan.
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine HCL hiperbarik 15 mg.
Bupivacain merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan
menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya, yaitu
memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja
lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja 8 jam.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan
darah yang bermakna. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi
spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan
tekanan darah sebesar 20-30% atau sistol kurang dari 100 mmHg. Bila keadaan ini terjadi
maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15 mg secara intravena, dan pemberian
oksigen
Oxytocin dan methylergometrin (drip) yang bertujuan untuk mencegah perdarahan
dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik untuk mempertahankan tonus uterus post
partum.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Pasien berbaring
dengan posisi kepala lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, dikarenakan efek obat
anestesi masih ada. Observasi post sectio caesaria dilakukan di ruang RR, pemberian terapi
cairan dilanjutkan dan dilakukan monitoring vital sign yaitu meliputi tekanan darah, saturasi
oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Pasien dapat keluar dari RR dengan
didapatkan skor bromage 2.
31
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi, sehingga dapat memperikaran masalah yang mungkin timbul dan dapat
mengantisipasinya.
Pada laporan kasus ini diberikan tindakan anestesi spinal tanpa sedasi pada operasi
Sectio caesarea pada pasien Ny. R, umur 23 tahun dengan status fisik ASA II E dengan
diagnosis G2P1A0 gravida 37-38 minggu + KPD 6 jam + Riwayat SC sebelumnya.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal
yang memerlukan penanganan serius. Secara umum penatalaksanaan operasi dan penanganan
anestesi berlangsung dengan baik.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Flora L, Redjeki IS, Wargahadibrat AH. Perbandingan Efek Anestesi Spinal dengan
Anestesi Umum terhadap Kejadian Hipotensi dan Nilai APGAR Bayi pada Seksio
Sesarea. Jurnal Anestesi Perioperatif. 2014;2(2):105-16.
4. Cunningham FG, et.al. Distosia, Transverse Lie: Williams Obstetrics 22 nd Ed. New
York: Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2005; h.509-36. 8. Manuaba IBG,
et.al. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007.h.43-
4,758-61.
5. Parry, S., & Strauss, J. F. 1998. Premature rupture of the fetal membranes. New
England Journal of Medicine, 338(10), 663- 670.
6. Pengurus Besar Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Ketuban Pecah
Dini, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta. 2010. h.39-40.
7. Bhatt Himani, Karlyn Powell, Dominique Aimee. 2011. First Aid for the
Anesthesiology Boards. Obstetric Anesthesia. United States. The McGraw-Hill
Companies. H.177-179.
8. Muhaiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Staf Pengajar, Bagian
Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI. Jakarta. 2011. h .123-33.
9. 13. Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Prawirohardjo S, editor. Ilmu
Kebidanan. Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru
Lahir. Edisi Keempat. Cetakan Kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2012. p.677-82.
33