Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus Obstetri

PENATALAKSANAAN ATONIA UTERI DENGAN TEKNIK B-LYNCH

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :
dr. Deo Cerlova Milano
Peserta PPDS Obstetri dan Ginekologi

Pembimbing :
Dr. dr. Syamel Muhammad, Sp.OG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2020
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)
OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr. Deo Cerlova Milano


Semester : III (Tiga)/ Patologi II

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul :


PENATALAKSANAAN ATONIA UTERI DENGAN TEKNIK B-LYNCH

Mengetahui/ Menyetujui Padang, Desember 2020


Pembimbing Peserta PPDS

Dr. dr. Syamel Muhammad, Sp.OG(K) dr. Deo Cerlova Milano

Mengetahui,
KPS PPDS Obstetri dan Ginekologi
FK UNAND RSUP Dr. M. Djamil Padang

Dr. dr. Bobby Indra Utama, Sp.OG(K)

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS ....................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 13
2.1 Definisi .............................................................................................................. 13
2.2 Anatomi dan Patofisiologi................................................................................. 13
2.3 Diagnosis ........................................................................................................... 16
2.4 Tatalaksana ........................................................................................................ 19
BAB IV DISKUS ....................................................................................................... 31
BAB V KESIMPULAN............................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 36

ii
BAB I
PENDAHULUAN

WHO memperkirakan 529.000 ibu meninggal setiap tahun. Perdarahan,


hipertensi dan infeksi merupakan triad kematian dalam obstetri. Kematian Ibu adalah
kematian perempuan pada saat hamil atau dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi
kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yang
disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-
sebab lain seperti kecelakaan. 1 Berdasarkan SUPAS 2015, Angka Kematian Ibu (AKI)
di Indonesia untuk periode tahun 2011-2014, adalah sebesar 305 per 100.000 kelahiran
hidup.2
Di negara berkembang, diperkirakan perdarahan post partum menjadi penyebab
60% kematian ibu.3 Mayoritas kematian berasal dari Asia (48%) dan Afrika (47,5%)
dengan hanya sebagian kecil (kurang dari 1%) dari negara maju.4 Perdarahan
postpartum tidak dapat diprediksi dan merupakan kasus emergensi yang mangancam
jiwa. Etiologi perdarahan post partum dikenal dengan mnemonik “4T” —tonus,
trauma, jaringan, dan trombin. Tonus uterus yang abnormal (atonia uteri) diperkirakan
menyebabkan 70-80% perdarahan postpartum dan biasanya harus dicurigai terlebih
dahulu sebagai etiologi perdarahan postpartum.5 Tidak seperti hemostasis biasa yang
bergantung pada vasospasme intrinsik dan pembentukan bekuan darah lokal, pada
uterus yang paling penting untuk mencapai hemostasis tempat implantasi plasenta
adalah kontraksi dan retraksi miometrium untuk menekan pembuluh darah. 6
Penatalaksanaan awal perdarahan post partum meliputi pencegahan perdarahan
masif dengan manajemen aktif kala III, masase fundus, pemberian uterotonika seperti
oksitosin, ergometrin, prostaglandin. Jika terapi medis gagal menghentikan perdarahan
maka dilanjutkan dengan tindakan kompresi dan packing/tampon. Jika ini metode ini
gagal, langkah selanjutnya adalah manajemen operasi, yaitu laparotomi untuk ligasi
pembuluh darah (uterus, ovarica atau arteri hipogastrik), jahitan kompresi uterus, dan
histerektomi sebagai upaya terakhir. 6

1
Perdarahan post partum yang masif dapat menyebabkan koagulopati, iskemia
hipofisis, insufisiensi kardiovaskular, dan kegagalan multi-organ. Hal ini juga terkait
dengan peningkatan kebutuhan akan transfusi darah, perawatan intensif, histerektomi
peri-partum dan komplikasi intra- atau pasca operasi.4 Bagian Obstetri dan Ginekologi
RS Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia, memperkenalkan teknik kompresi rahim yaitu
teknik B-Lynch Modifikasi Surabaya (Metode Surabaya) sebagai salah satu upaya
managemen konservatif dalam penanganan atonia uteri. Keunggulan Metode Surabaya
adalah teknik ini yang lebih sederhana dan lebih cepat, durasi pembedahan tidak lebih
dari 5 menit.6 Oleh karena itu, penulis tertarik menulis laporan kasus tentang
penanganan atonia uteri dengan teknik B-lynch.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien Identitas Suami


Nama : Ny. S Nama : Tn. G
Umur : 21 tahun Umur : 23 tahun
Pendidikan : Tamat SMA Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pekerjaan : Buruh Sawit
Alamat : Sitiung, Dharmasraya Alamat : Sitiung, Dharmasraya
Keluhan Utama
Seorang pasien wanita, usia 21 tahun, masuk ke PONEK IGD RSUD Sei Dareh
pada 16 November 2020 pukul 19.00, datang sendiri dengan keluhan nyeri pinggang
menjalar ari-ari semakin kuat dan sering sejak 2 jam yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
• Nyeri pinggang menjalar ari-ari semakin kuat dan sering sejak 2 jam yang lalu
• Keluar lendir campur darah dari kemaluan sejak 2 jam yang lalu
• Keluar air-air banyak dari kemaluan tidak ada
• Keluar darah banyak dari kemaluan tidak ada
• Gerak anak dirasakan sejak 4 bulan yang lalu
• Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu
• HPHT : 21/02/2020 TP : 28/11/2020
• Riwayat hamil muda : mual (+), muntah (-), perdarahan (-)
• ANC ke bidan teratur setiap bulan sejak usia kehamilan 2 bulan. Kontrol ke
Sp.OG 4x, usia kehamilan 2, 6, 8, dan 8,5 bulan. Pasien 2 minggu yang lalu
kontrol ke SpOG dan direncakan SC elektif ai panggul sempit + letak sungsang
dan dianjurkan untuk swab PCR COVID-19
• Demam (-), batuk (-), sesak nafas (-)
• Riwayat kontak dengan pasien terkonfirmasi COVID-19 disangkal

3
• Pasien sudah melakukan swab PCR COVID-19 di Puskesmas Sitiung pada
7/11/2020 dan dinyatakan negatif
• Riwayat mentruasi, menarche usia 13 tahun, siklus teratur 28 hari, lama 5- 7
hari, ganti pembalut 3-4x/hari, nyeri haid (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
• Tidak ada riwayat penyakit hipertensi, diabetes, jantung, paru, hati, dan ginjal
• Tidak ada riwayat alergi
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan penyakit keturunan, menular, dan kejiwaan
Riwayat Perkawinan : Menikah 1x, tahun 2019
Riwayat Kehamilan/Abortus/Persalinan
1. Kehamilan saat ini
Riwayat Kontrasepsi : Riwayat imunisasi TT1 tahun 2019
Riwayat Pendidikan : Tamat SMA
Riwayat Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Riwayat Kebiasaan : Konsumsi obat-obat (-), merokok (-), alkohol (-)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : CMC
Tinggi badan : 137 cm
Berat badan sebelum hamil : 36 kg
Berat badan saat hamil : 44 kg
IMT : 19.18 (Underweight)
Lila : 24 cm
Tanda vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, teratur
Nafas : 19x/menit, teratur
Suhu : 36,5 C

4
Status Generalis
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar
Toraks : Cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : Status obstetrikus
Genitalia : Status obstetrikus
Ekstremitas : Edema -/-

Status Obstetrikus
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak membuncit sesuai usia
kehamilan aterm, linea mediana
hiperpigmentasi, striae gravidarum (+).
Palpasi : L1 : Fundus uteri teraba 2 jari di bawah
processus xiphoideus. Teraba
bagian janin bulat, keras, melenting
L2 : Teraba tahanan terbesar janin di sisi
kiri
Teraba bagian-bagian kecil janin di
sisi kanan
L3 : Teraba bagian janin besar, lunak,
noduler
L4 : Konvergen
His : (-) TFU : 34 cm TBJ : 3.255 gram
Perkusi : Timpani
Auskultasi : DJJ 140-150x/i, bising usus (+) normal

Genitalia
Inspeksi : V/U tenang. PPV (-)

5
VT : Æ 1-2 cm, portio medial, effacement 100%,
selaput ketuban (+), teraba bokong floating
UPD : Promontorium teraba. Konjugata diagonalis
10 cm, konjugata vera 8,5 cm
Linea inominata teraba 2/3 bagian
Os sacrum cekung
Dinding samping panggul konvergen
Spina ischiadica tidak menonjol
Os coccygeus mudah digerakkan
Arcus pubis <90
UPL : DIT <10.5 cm tidak dapat dilalui tinju dewasa
Kesan : Panggul sempit

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 9.0 12.0 – 14.00
Leukosit 8.810 5.000 – 10.000
Trombosit 341.000 150.000 – 400.000
Hematokrit 29.3 37 - 43
PT 7.9 9.1 – 12.3
APTT 23.7. 20.1 – 27.1
Gula darah sewaktu 83 < 200
Basofil 0 0-1
Eosinofil 2 1-2
Neutrofil 64
Limfosit 28 20-40
Monosit 6 2.0 – 8.0
HBsAg Non reaktif
Anti HIV Non reaktif

6
USG

Janin hidup tunggal intra uterine letak memanjang, presentasi bokong


Aktivitas gerak janin baik
BPD : 8.97 cm
AC : 33,38 cm
FL : 6,68 cm
EFW : 3.019 gr
SDP : 2.10 cm
FHR : 148 bpm
Plasenta implantasi di fundus maturasi grade II
Kesan :
• Gravid 37-38 minggu sesuai biometri
• Janin hidup tunggal intra uteri letak memanjang, presentasi bokong
Diagnosis
• G1P0A0H0 parturien aterm 38-39 minggu kala I fase laten + panggul sempit +
anemia sedang
• Janin hidup tunggal intra uterin presentasi bokong
Rencana
SC
Sikap
• Kontrol KU, VS, DJJ

7
• Informed consent
• Konsul anestesi
• Konsul perina
• Persiapan operasi
• Crossmatch PRC 2 unit
• Inj. Ceftriaxone 1 gram
• Kateter urin

Konsul Perina
• Kami akan mendampingi persalinan dan menyiapkan fasilitas sesuai dengan
kondisi bayi saat dilahirkan
Konsul Anestesi
• Setuju untuk dilakukan tindakan operasi dalam spinal anestesi

Operasi 16 November 2020 pukul 20.30 WIB


S/ Dilakukan SCTPP, pukul 20.35 lahir bayi perempuan dengan meluksir bokong
BB : 3.200 gram
PB : 49 cm
A/S : 8/9
Dilakukan pemberian uterotonika (IV Oksitosin 10 IU) à Kontraksi tidak
adekuat à Perdarahan (+) à Plasenta dilahikan secara manual plasenta à
Plasenta lahir lengkap, ukuran 16x15x3 cm, 500 gram, panjang tali pusat 45
cm, insersi parasentralis à Uterus teraba lunak, perdarahan (+) à Atonia uteri
à Pemberian uterotonika (Drip Oksitosin 20 IU IV, bolus metergin 0,4 mg IV
, misoprostol 400 mcg sublingual) à Respon tidak adekuat à B-Lynch à
Evaluasi : Perdarahan (-) à B-lynch berhasil
Perdarahan intra operasi 600 cc. Intra operasi dilakukan tranfusi PRC 1 unit

8
O/ KU Kes TD Nd Nf T
Sedang CMC 120/80 98 21 36,7 C
Abdomen : Luka operasi tertutup verban. Fundus uteri teraba 2 jari bawah
pusat. Kontraksi baik
Genitalia : V/U tenang PPV (-), BAK terpasang kateter
A/ P1A0H1 post SCTPP ai panggul sempit + letak sungsang + anemia sedang
P/ • Kontrol KU, VS, kontraksi PPV
• IVFD RL 500 cc drip Oksitosin 10 IU + Metilergometrin 0.2 mg 28 tpm
• Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV
• Pronalges supp k/p
• Kateter urin 24 jam post tindakan
• Cek laboratorium 6 jam post tindakan

9
Laboratorium Post Tindakan
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 9.8 12.0 – 14.00
Leukosit 14.760 5.000 – 10.000
Trombosit 310.000 150.000 – 400.000
Hematokrit 34 37 - 43

Follow 17 November 2020 pukul 08.00 WIB


S/ Demam (-) Nyeri luka operasi (-) ASI (+)
Keluar darah banyak dari kemaluan (-)
BAK terpasang kateter
O/ KU Kes TD Nd Nf T
Sedang CMC 120/80 88 20 36,6 C
Abdomen : Luka operasi tertutup verban. Fundus uteri teraba 2 jari
bawah pusat. Kontraksi baik
Genitalia : V/U tenang PPV (-), BAK terpasang kateter
A/ P1A0H1 post SCTPP ai panggul sempit + letak sungsang + anemia sedang
NH-1
P/ • Kontrol KU, VS, kontraksi PPV
• Aff infus à Ganti inj. pump
• Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV
• Parasetamol tab 3 x 500 mg
• SF tab 2 x 180 mg po
• Vit C tab 3 x 50 mg po
• Aft kateter urin 24 jam post tindakan
Follow 18 November 2020 pukul 08.00 WIB
S/ Demam (-) Nyeri luka operasi (+) ASI (+)
Keluar darah banyak dari kemaluan (-) BAK (+) spontan
O/ KU Kes TD Nd Nf T

10
Sedang CMC 120/80 84 20 36,5 C
Abdomen : Luka operasi tertutup verban. Fundus uteri teraba 2 jari
bawah pusat.
Genitalia : V/U tenang PPV (-)
A/ P1A0H1 post SCTPP ai panggul sempit + letak sungsang + anemia sedang
NH-2
P/ • Kontrol KU, VS, kontraksi PPV
• Terpasang inj. pump
• Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV
• Parasetamol tab 3 x 500 mg
• SF tab 2 x180 mg po
• Vit C tab 3 x 50 mg po
Follow 19 November 2020 pukul 08.00 WIB
S/ Demam (-) Nyeri luka operasi (-) ASI (+)
Keluar darah banyak dari kemaluan (-) BAK (+) spontan

O/ KU Kes TD Nd Nf T
Sedang CMC 120/80 88 20 36,8 C
Abdomen : Luka operasi tertutup verban. Fundus uteri teraba 3 jari
bawah pusat.
Genitalia : V/U tenang PPV (-)
A/ P1A0H1 post SCTPP ai panggul sempit + letak sungsang + anemia sedang
NH-3
P/ • Aff inj. Pump
• Ganti verban à Luka operasi baik
• Acc rawat jalan
• Cefixime tab 2 x 200 mg po
• Parasetamol tab 3 x 500 mg po
• SF tab 2 x 180 mg po

11
• Vit C tab 3 x 50 mg po

Edukasi Pasien
• Kontrol Poli Kebidanan
• Diet tinggi kalori tinggi protein
• Konsumsi tablet FE
• Perawatan luka post operasi
• Vagina hygine
• Mobilisasi

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dahulunya perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan lebih dari
500 mL darah setelah kala III persalinan normal atau lebih dari 1000 ml pada operasi
caesar. Namun definisi ini menjadi permasalahan karena ternyata setengah wanita
dengan persalinan normal kehilangan darah lebih dari 500 ml tanpa gejala
hipovolemia.1 American College of Obstetricians and Gynecologists, perdarahan
postpartum didefinisikan sebagai kehilangan darah > 1000 mL disertai dengan tanda
dan gejala hipovolemia.5 Etiologi perdarahan post partum yang paling umum dibagi
menjadi primer atau sekunder. Perdarahan post partum primer terjadi dalam 24 jam
pertama kelahiran, sedangkan perdarahan postpartum sekunder didefinisikan sebagai
perdarahan setelah 24 jam melahirkan dan hingga 12 minggu post partum.5
Atonia merupakan penyebab tersering dari perdarahan post partum. Pada kala
III, darah dari tempat implantasi dapat segera keluar ke dalam vagina (mekanisme
Duncan) atau tetap tertahan di belakang plasenta dan selaput sampai plasenta keluar
(mekanisme Schultze). Atonia uteri didefinisikan sebagai kegagalan rahim
berkontraksi setelah melahirkan dan menghentikan perdarahan dari pembuluh darah di
tempat implantasi plasenta setelah plasenta lahir. 1
2.2 Anatomi dan Patofisiologi
Selama kehamilan, serabut miometrium telah teregang secara signifikan untuk
menampung uterus yang membesar dan isinya. Miometrium merupakan ikatan otot
polos yang disatukan oleh jaringan ikat dengan banyak serat elastis. Serabut
miometrium tersusun seperti jalin mengelilingi pembuluh darah miometrium dan dapat
berkontraksi untuk menekannya. Anatomi ini memungkinkan terjadinya hemostasis di
plasenta selama kala tiga persalinan.1
Selama kehamilan, terdapat hipertrofi pembuluh darah uterus yang terutama
disuplai dari arteri uterina dan arteri ovarika. Arteri uterina, cabang utama dari arteri
iliaka interna - sebelumnya disebut arteri hipogastrik, masuk melalu ligamentum latum

13
dan bercabang sisi lateral supravaginal serviks. Arteri servikovaginal yang lebih kecil
memasok darah ke serviks bagian bawah dan vagina bagian atas. Cabang arteri uterina
utama bercabang sepanjang tepi lateral uterus membentuk arteri arkuata. Cabang arteri
radial berasal dari sudut kanan dari arteri arkuata dan berjalan ke dalam melalui
miometrium, memasuki endometrium / desidua, dan bercabang di sana menjadi arteri
basalis dan arteri spiralis. Arteri spiralis memasok lapisan fungsional dari endometrium,
sedangkan arteri basalis memasok di lapisan basal.

Gambar 2.1 Vaskularisasi Uterus pada kondisi hamil dan tidak hamil
Selain arteri uterina, uterus menerima dara suplai dari arteri ovarika. Arteri ini
merupakan cabang langsung dari aorta dan memasuki ligamentum latum melalui
ligamentum infundibulopelvikum. Di hilus ovarium, ia membelah menjadi cabang-
cabang kecil yang masuk ke ovarium. Arteri ovarika bercabang di mesosalpinx untuk
memasok darah tuba fallopi, dengan pembuluh darah utama berjalan melintasi seluruh
ligamentum latum menuju kornu uterus dan membentuk anastomosis cabang dari arteri
arteri uterina.1

14
Gambar 2.2 Vaskularisasi Uterus
Ketika bayi lahir, rahim berkontraksi, yang menyebabkan pemendekan yang
dramatis dari serat-serat miometrium. Pemendekan permanen miometrium dicapai
dengan retraksi. Pemisahan plasenta disebabkan oleh kontraksi dan retraksi uterus
mengurangi tempat implantasi plasenta. Dengan demikian, plasenta terlepas dari
7
dinding rahim. Mekanisme utama hemostasis segera setelah persalinan adalah
kontraksi miometrium yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah uterus. Otot
miometrium tersusun dalam pola berselang-seling, ketika otot uterus berkontraksi kisi-
kisi pada serabut miometrium ini secara efektif menekan pembuluh darah. Pola
miometrium disebut sebagai living ligatures atau physiological sutures dari uterus..7,8

Gambar 2.3 Pola Serabut Otot Miometrium

15
Pada kehamilan aterm, diperkirakan setidaknya 600 mL / menit darah mengalir
melalui ruang intervili. Aliran ini dibawa oleh arteri spiralis dan vena yang
menyertainya. Dengan pemisahan plasenta, pembuluh ini mengalami avulsi.
Hemostasis di tempat plasenta dicapai pertama kali dengan kontraksi miometrium yang
menekan pembuluh darah diikuti dengan pembekuan pada lumen. Perdarahan post
partum yang fatal dapat terjadi akibat atonia uteri meskipun koagulasi normal, dan
sebaliknya, jika miometrium di lokasi implantasi berkontraksi dengan kuat, perdarahan
yang fatal dari tempat implantasi plasenta tidak mungkin terjadi, bahkan dalam
keadaan ketika koagulasi dapat sangat terganggu.8

Gambar 2.4 Sistem Perdarahan Uterus Post Partum


2.3 Diagnosis
Penatalaksanaan awal pada setiap pasien dengan perdarahan post partum adalah
mengidentifikasi sumber perdarahan (uterus, serviks, vagina, periuretra, klitoris,
perineum, perianal, atau rektal). Diagnosis dilakukan dengan cepat dengan
16
pemeriksaan fisik yang cermat. Setelah sumber anatomi diidentifikasi, penting untuk
mengidentifikasi penyebabnya karena pengobatan dapat bervariasi. Perdarahan post
partum dibagi menjadi perdarahan primer dan sekunder, sesuai dengan tabel berikut:5
Tabel 2.1 Etiologi Perdarahan Post Partum
Primer Sekunder
• Atonia uterus • Subinvolusi uterus
• Laserasi • Sisa plasenta
• Penahanan plasenta • Infeksi
• Plasenta yang melekat secara • Defek koagulasi kongenital
abnormal (akreta) (misalnya, defisiensi faktor seperti
• Defek koagulasi (misalnya, koagulasi von Willebrand)
intravaskular diseminata)
• Inversi uterus

Karena perdarahan obstetrik relatif umum, tidak dapat diprediksi, dan


menyebabkan morbiditas dan mortalitas, semua anggota unit kebidanan, termasuk
dokter, bidan, dan perawat harus bersiap untuk menangani wanita yang mengalami
perdarahan post partum. Sejumlah faktor risiko perdarahan postpartum, namun banyak
wanita tanpa faktor risiko tersebut dapat mengalami perdarahan postpartum. Faktor
risiko perdarahan post partum dapat dilihat pada tabel berikut: 5
Tabel 2.2 Faktor Risko Perdarahan Post Partum
Etiologi Masalah Primer Faktor Risiko
Tonus Atonia uterus Penggunaan oksitosin
Paritas tinggi
Korioamnionitis
Anestesi umum
Anemia
Distensi uterus berlebihan Kehamilan multipel
Polihidramnion
Makrosomia
Mioma uteri Mioma uteri multipel
Inversio uteri Penarikan tali pusat
Tali pusat pendek
Implantasi plasenta di
fundus

17
Trama Episiotomi Kala II dengan instrumen
Laserasi serviks, vagina, Partus presipatus
perineum
Ruptur uteri
Tissue Sisa plasenta Plasenta suksenturiata
Plasenta akreta Riwayat operasi caesar
Trombin Gangguan pembekuan Pteki
IUFD
Infeksi Sepsis
Penggunaan antikoagulasi Riwayat pengobatan
tromboemboli

Secara tradisional, perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan


darah lebih dari 500 cc pada persalinan pervaginam dan lebih dari 1.000 cc pada
persalinan caesar. Untuk tujuan klinis, setiap kehilangan darah yang berpotensi
menyebabkan gangguan hemodinamik harus dianggap sebagai perdarahan post
partum.3 Jumlah kehilangan darah akan menentukan derajat perubahan klinis.
Kehilangan darah akan mengakibatkan perubahan keadaan kesadaran, denyut nadi,
frekuensi pernafasan, suhu, tekanan darah, pengisian kapiler, dan keluaran urin.
Berdasarkan jumlah kehilangan darah, derajat hipovelemia dapat dibagi menjadi: 3
(a) Hipovolemia ringan terjadi saat kehilangan <20% volume darah, akan
menyebabkan takikardia ringan, ekstremitas dingin karena peningkatan
resistensi pembuluh darah sistemik dan pengisian kapiler yang berkepanjangan,
dan produksi urin dapat menurun.
(b) Hipovolemia sedang, terjadi saat kehilangan 20% hingga 40% volume darah.
Nadi akan menjadi sangat cepat dan lemah,> 110 / bpm (takikardia). Laju
pernapasannya akan meningkat hingga> 30 / bpm. Wajah, kelopak mata,
telapak tangan, dan selaput lendir akan sangat pucat. Tekanan darahnya
mungkin normal ketika dia dalam posisi terlentang. Namun, dapat terjadi
hipotensi postural yang signifikan.
(c) Hipovolemia berat tarjadi saat kehilangan > 40% dari volume darah, tanda-
tanda syok klasik akan muncul. Tekanan darah menurun dan menjadi tidak

18
stabil bahkan dalam posisi terlentang. Akan terjadi takikardia, oliguria atau
anuria, agitasi atau kebingungan, hingga penurunan kesadarana.
Transisi dari syok hipovolemik ringan ke parah dapat terjadi secara perlahan
selama beberapa jam atau sangat cepat, tergantung pada penyebab kehilangan darah.
Resusitasi agresif dapat memulihkan syok yang parah dan mencegah kerusakan
permanen pada organ atau kematian. Intervensi dini sangat penting karena semakin
lama waktu antara onset syok dan dimulainya resusitasi, persentase wanita yang
selamat dari perdarahan postpartum menurun. Untuk bertahan hidup maksimal,
resusitasi harus dimulai segera setelah tanda dan gejala syok terdeteksi. 3
2.4 Tatalaksana
Manajemen aktif kala III direkomendasikan sebagai metode untuk mengurangi
risiko kejadian perdarahan postpartum. Tiga komponen penatalaksanaan aktif adalah
pemberian oksitosin, masase uterus, dan traksi tali pusat terkendali. 5 Manajemen aktif
kala III dikaitkan dengan penurunan kehilangan darah ibu, penurunan perdarahan
pascapartum, penurunan anemia pascapartum, penurunan kebutuhan transfusi darah,
dan penurunan insidensi persalinan kala tiga yang berkepanjangan.3
Oksitosin profilaksis, dengan infus intravena (dosis bolus 10 unit) atau injeksi
intramuskular (10 unit) merupakan pengobatan yang efektif dengan efek samping
paling sedikit. Oksitosin plus metilergonovin atau oksitosin dalam kombinasi dengan
misoprostol tampaknya tidak lebih efektif dibanding regimen oksitosin saja untuk
profilaksis perdarahan post partum.5 Namun apabila 1 oksitosin tidak tersedia,
alternatif terapi adalah ergometrine 0,2 mg IM atau misoprostol 400–600 μg per oral. 3
Pada kasus perdarahan post partum, apabila didentifikasi uterus yang lunak dan
berkontraksi buruk maka dicurigai terjadinya atonia . Selanjutnya, kandung kemih
harus dikosongkan dan pemeriksaan panggul bimanual, bekuan darah intrauterin
5
dikeluarkan, dan masase uterus harus dilakukan. Sementara penyebab perdarahan
diidentifikasi, tindakan suportif umum harus dimulai. Tindakan tersebut termasuk
akses intravena lubang besar, infus kristaloid cepat, cross-match, pemberian darah atau
komponen darah sesuai kebutuhan, penilaian berkala hematokrit dan profil koagulasi,
dan pemantauan keluaran urin. Telah terjadi pergeseran filosofi mengenai transfusi

19
produk darah dalam kasus perdarahan aktif, intervensi lebih awal dan mencegah
koagulopati daripada menunda tranfusi sampai koagulopati didiagnosis. Penggunaan
pengukuran laboratorium untuk panduan transfusi plasma, kriopresipitat, dan
trombosit dapat dilakukan pada kondisi stabil Namun, dalam kondisi perdarahan yang
berat dan berkelanjutan dapat dilakukan protokol tranfusi masiv dengan 4 atau lebih
unit PRBC selama 1 jam atau 10 atau lebih unit selama 12-24 jam) rekomendasi saat
ini adalah untuk transfusi produk darah dalam rasio 1: 1 yaitu, untuk setiap unit PRBC
yang ditransfusikan dilakukan tranfusi.1 unit plasma beku segar.9
Algoritma penanganan perdarahan post partum menurut ALARM :3

Gambar 2.5 Algoritma Penanganan Perdarahan Post Partum ALARM

20
2.4.1 Agen Uterotonika
Setelah pemberian oksitosin pada majemen aktif kala II, agen uterotonika kedua
diperlukan pada 3-25% kasus perdarahan post partum, Uterotonik tambahan yang
paling sering diberikan adalah metilergometrin dan misoprostol. Belum ada bukti
penelitan yang menunjukkan agen uterotonik mana yang paling efektif. Penggunaan
uterotonik multipel lazim dilakukan, dengan syarat tidak ada kontraindikasi ketika
respon kontraksi uterus tidak adekuat dan perdarahan masih terjadi. Jika uterotonik
gagal mengontrol perdarahan postpartum maka harus segera dlakukan intervensi lain.5
Algoritma penanganan atonia uteri secara medikamentosa menurut FIGO adalah
sebagai berikut:

Gambar 2.6 Algoritma Regimen Uterotonika FIGO

21
(a) Oksitosin
Oksitosin adalah uterotonika yang paling umum digunakan. Oksitosisn
merangsang jaringan otot polos dari segmen atas rahim yang menyebabkannya
berkontraksi secara ritmis, menyempitkan pembuluh darah, dan mengurangi
aliran darah melalui rahim. Oksitosin dapat diberikan secara IV atau IM.
Okstiosin IV langsung bekerja untuk merangsang kontraksi segera setelah
diberikan, dan dalam 3 sampai 5 menit untuk suntikan IM. Untuk efek yang
berkelanjutan, infus IV lebih disarankan karena memberikan aliran obat yang
stabil. Dosis yang diberikan pada manajemen aktif kala III adalah 10 IU IM.
Dosis awal ini dapat diulangi setelah 15 sampai 20 menit jika perdarahan hebat
berlanjut. Oksitosin juga dapat diberikan melalui rute lain termasuk 5 unit bolus
IV atau 20–50 unit dalam 1L larutan fisiologis dengan 60 tetes / menit.3
(b) Alkaloid ergot
Alkaloid ergot, seperti ergometrine, methergine, atau syntometrine,
menyebabkan otot polos rahim atas dan bawah berkontraksi secara tetanik.
Dosis umum methergine atau ergometrine adalah 0,2 mg IM. Dosis awal ini
dapat diulangi setelah 15 menit, jika masih terjadi perdarahan. Setelah dosis
kedua ini, dosis berikutnya dapat diulang sesuai kebutuhan dengan interval dua
hingga empat jam hingga maksimum lima dosis atau total 1,0 mg per hari.
Diperlukan waktu lima hingga tujuh menit untuk efek obat bekerja saat
diberikan secara intramuskular, dan memiliki efek yang berlangsung sekitar 2
hingga 4 jam. 3
(c) Prostaglandin
Prostaglandin bekerja dengan menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan kontraksi otot-otot rahim. Misoprostol aman dan efektif baik
sebagai pengobatan maupun profilaksis pada manajemen aktif kala III.
Misoprostol tersedia dalam tablet 100 μg atau 200 μg yang dapat diberikan
secara oral, sublingual, atau rektal. Dosis pemberian adalah 400-600 μg. Kerja
obat akan lebih cepat jika diberikan secara oral atau sublingual; namun bila
digunakan rute rektal, obat bekerja dalam jangka waktu yang lebih lama.

22
Pemberian rektal diberikan jika pasien tersebut tidak dapat minum obat melalui
mulut. Misoprostol dapat digunakan sebagai tambahan pada uterotonik lainnya.
Efek samping misoprostol, menggigil dan demam, umumnya ringan. Namun
dosis ulangan misoprostol tidak direkomendasikan 3
2.4.2 Kompresi Uterus Bimanual
Jika perdarahan berlanjut setelah tindakan awal untuk atonia telah
dilaksanakan, maka langkah-langkah penatalaksanaan berikut dilakukan segera dan
secara bersamaan:1
1. Mulai kompresi uterus bimanual interna, dengan cara dinding rahim posterior
dipijat dengan satu tangan di perut, sementara tangan lainnya dibuat kepalan
tangan dan dimasukkan ke dalam vagina. tinjunya meremas dinding rahim
anterior melalui dinding vagina anterior dan rahim juga ditekan di antara kedua
tangan.


Gambar 2.7 Kompresi Bimanual Interna


2. Segera mobilisasi tim untuk kegawatdaruratan dan persiapan tranfusi darah
3. Minta bantuan segera dari tim anestesi.
4. Memasang dua jalur intravena lubang besar sehingga kristaloid dengan
oksitosin dapat diberikan secara bersamaan dengan produk darah. Masukkan
Foley kateter menetap untuk pemantauan output urin.
5. Melukakan resusitasi volume dengan infus kristaloid tetesan cepat

23
6. Lakukan evaluasi ulang dalam anestesi jika diperlukan untuk mentelusuri
rongga uterus secara manual dan mencari fragmen plasenta yang tertinggal dan
serta menilai kelainan uterus, termasuk laserasi atau ruptur.
7. Periksa kembali serviks dan vagina secara saksama untuk melihat adanya luka
yang mungkin luput dari perhatian.
8. Jika pasien masih tidak stabil maka diberikan transfusi darah.
Pada titik ini, setelah penyebab selain atonia disingkirkan dan setelah
hipovolemia distabilisasi, beberapa tindakan lain dipertimbangkan jika perdarahan
berlanjut. Penggunaannya bergantung pada beberapa faktor seperti paritas, keinginan
untuk sterilisasi, dan pengalaman operator dengan setiap metode.1
2.4.3 Kompresi Aorta
Kompresi aorta tidak mencegah atau menunda langkah-langkah intervesi lain
penanganan perdarahan pasca partum, namun untuk mempersiapkan intervensi yang
diperlukan, perdarahan dikurangan dengan memotong suplai darah aorta ke panggul
dengan kompresi.3

Gambar 2.8 Kompresi Aorta Abdominalis


2.4.4 Tamponade Balon Kateter
Ketika uterotonik dan kompresi uterus bimanual gagal mempertahankan
kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan, penggunaan tamponade intrauterin dapat
efektif dalam mengurangi perdarahan akibat atonia uteri. 5 Kateter Foley 24F sampai

24
30F dimasukkan ke dalam rongga rahim dan diisi dengan cairan saline. Dimasukkan
cairan 300-500 ml untuk menghentikan perdarahan.1 Studi keefektifan dari tamponade
balon kateter masih terbatas, namun dalam satu penelitian, 86% wanita yang memiliki
tamponade balon tidak memerlukan prosedur atau operasi lebih lanjut. Studi lain
menunjukkan bahwa 75% pasien tidak memerlukan perawatan lebih lanjut setelah
tamponade balon intrauterine.5
2.4.5 Ligasi Arteri Uterina dan Arteri Illiaka Interna
Teknik ligasi arteri uterina unilateral atau bilateral digunakan terutama untuk
laserasi di bagian lateral insisi histerotomi. Namun prosedur ini tidak terlalu membantu
untuk perdarahan akibat atonia uteri. Pengikatan salah satu atau kedua arteri iliaka
interna telah digunakan untuk mengurangi perdarahan pelvis, namun pada kasus atonia
hal ini tidak terlalu membantu untuk meredakan perdarahan. Mekanisme kerja yang
paling penting dengan ligasi arteri adalah penurunan tekanan nadi sebesar 85 persen di
arteri distal. Sehingga sistem tekanan arteri menjadi menjadi mendekati tekanan
sirkulasi vena. Hal ini menyebabkan pembuluh darah lebih mudah untuk hemostasis. 1
2.4.6 Jahitan Kompresi Uterus
Teknik jahitan kompresi uterus atau B-lynch adalah teknik mengkompresi
dinding uterus anterior dan posterior menggunakan jahitan seperti bretel/suspender.
Teknik ini diperkenalkan oleh Cristhoper B-Lynch pada tahun 1997. Tingkat
keberhasilan teknik ini sangat baik, penelitian mendapatkan jahitan B-lynch hanya
gagal pada 7 kasus dari total 948 kasus.1 Jahitan B-lynch dipasang dari serviks ke
fundus dan memberikan kompresi fisik pada uterus. Efektivitas jahitan kompresi uterus
sebagai pengobatan sekunder untuk atonia uteri yang tidak responsif terhadap
penatalaksanaan medis sekitar 60-75%.5 Jahitan dilakukan dengan benang chromic No.
2 digunakan untuk mencegah jahitan putus dan benang harus cepat diserap untuk
mencegah risiko herniasi usus melalui lingkar jahitan yang persisten setelah involusi
uterus. 5 Pada kebanyakan kasus, teknik kompresi B-lynch tidak memiliki komplikasi
dan pasien dapat hamil normal selanjutnya. Namun pada terdapat kasus ditemukannya
nekrosis uterus pasca tindakan. Komplikasi jangka panjang lainnya adalah
terbentuknya sinekia.1

25
Langkah-langkah jahitan uterus dengan teknik B-Lynch adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan insisi pada dinding abdomen hingga mencapai peritoneum
2. Uterus dikeluarkan dan diperiksa ulang untuk mengidentifikasi titik perdarahan,
Jika tidak ada titik perdarahan yang terlihat jelas, maka kompresi manual
dilakukan pertama kali mencoba menilai peluang potensial keberhasilan teknik
penjahitan B-Lynch. Dilakukan evaluasi perdarahan pervaginam untuk untuk
menilai keberhasilan tindakan kompresi
3. Jika perdarahan terkontrol, maka dapat dilakukan penjahitan B-Lynch
4. Jarum ujung bulat (round) 70 mm deggan benang chromic catgut nomor 2
digunakan untuk menusuk uterus 3 cm dari tepi kanan bawah insisi uterus dan
3 cm dari batas lateral kanan menembus 3 cm di atas inisisi uterus dan sekitar
4 cm dari batas lateral.
5. Benang diteruskan ke fundus hingga bagian posterior uterus. Dilakukan
penjahitan horizonta di corpus posterior setinggi jahitan di anterior
6. Dari sisi kiri posterior benang diteruskan ke fundus hingga bagian anterior
7. Jarum dimasukkan dengan cara yang sama di sisi kiri melalui rongga rahim dan
keluar kira-kira 3 cm di anterior dan di bawah margin sayatan bawah di sisi kiri.
8. Dua panjang catgut ditarik dengan bantuan kompresi bi-manual untuk
membantu kompresi. Selama kompresi, dilakukan evaluasi perdarahan
9. Sementara uterus dikompresi oleh asisten, benang disimpul

Gambar 2.9 Jahitan Kompresi B-Lynch


26
Di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, diperkenalkan teknik kompresi uterus
yang lebih sederhana dan lebih cepat, yaitu teknik Modifikasi B-Lynch Surabaya
(Metode Surabaya). Metode Surabaya dilakukan dengan teknik jahitan dengan jahitan
longitudinal paralel menggunakan chromic catgut no 2 dengan langkah sebagai
berikut:6
1. Setelah uterus dikeluarkan dari rongga abdomen. Asisten meregangkan rahim
untuk membuat segmen bawah rahim lebih tipis.
2. Jahitan pertama ditempatkan ± 2 cm di bawah insisi SBR dan ± 2 cm batas
lateral, jarum dimasukkan dari ventral ke dinding dorsal
3. Jahitan ke-2 dilakukan seperti jahitan pertama secara kontra lateral di sisi
lainnya.
4. Jahitan ke-3 dilakukan antara jahitan pertama dan kedua
5. Asisten menekan uterus secara anterior-inferior untuk membuat uterus dalam
posisi ante-flexi.
6. Operator mengikat benang ke-1, ke-2 dan ke-3 di fundus sementara asisten
terus mengkompresi uterus.

Gambar 2.10 Teknik Modifikasi B-Lynch Surabaya


Alternatif lain dari teknik B-lynch adalah jahitan kompresi Gilstrap yaitu teknik
jahitan kompresi secara vertikal. Dilakukan penjahitan dengan benang chromic 1 di
dinding uterus anterior, dimulai dari fundus lalu ke kaudal dengaan interval 3 sampai
4-cm. Ketika jahitan individu ini diikat, rahim akan terkompresi. Perlu diperhatikan
untuk tidak menutup rongga uterus atau menghalangi orifisium tuba. Meskipun jahitan

27
menembus seluruh ketebalan dinding rahim, jahitan tidak melawati endometrium.
Teknik ini juga dapat digunakan secara selektif di segmen bawah untuk pendarahan
dari plasenta previa. 10

Gambar 2.10 Jahitan Kompresi Vertikal Gilstrap


Dalam kasus uterus asimetris, seperti pada anomali uterus kongenital atau
dengan adanya fibroid uterus yang besar, sering ditemukan bahwa salah satu jahitan
penyangga vertikal dari teknik B-Lynch tidak dapat dikompresi dengan baik dan
cenderung tergelincir ke lateral. Untuk mengatasi selip ini, operator dipaksa untuk
mengencangkan jahitan kompresi. Pengetatan yang berlebihan ini dapat menyebabkan
putusnya jahitan, atau robekan dinding oleh benang rahim dan tertanam di miometrium
dan kemungkinan menyebabkan nekrosis iskemik. Untuk kasus ini diperkenalkan

28
modifikasi B-lynch plus yaitu dengan memberikan jahitan tambahan antara kedua
jahitan B-lynch konvensional.11

Gambar 2.11 Teknik jahitan B-lynch plus


2.4.7 Pelvic Packing
Untuk perdarahan yang signifikan yang refrakter terhadap jahitan atau hemostat
topikal, balutan pelvis dengan kain kasa dan penghentian operasi dapat
dipertimbangkan. Gulungan kain kasa dikemas untuk memberikan tekanan lokal yang
konstan. Packing dapat dibiarkan selama 24 hingga 48 jam. Jika pasien stabil dan
perdarahan telah berhenti, packing dilepas.1
2.4.8 Histerektomi
Ketika terapi konservatif gagal, histerektomi dianggap sebagai pengobatan
definitif. Histerektomi peripartum atau adalah pengangkatan korpus uteri pada saat
operasi caesar, atau segera setelah persalinan pervaginam.. Pengangkatan rahim pada
operasi caesar disebut sebagai caesarean histerektomi sedangkan pengangkatan setelah
persalinan pervaginam disebut histerektomi postpartum.12 Prosedur ini merupakan
pilihan terakhir namun pertimbangan awal harus diberikan pada kasus tertentu
terutama ketika kesuburan kurang diperhatikan dan pada gangguan implentasi plasenta.
Insiden bervariasi hingga 8 per 1.000 kelahiran dengan angka angka morbiditas 30-40%

29
Komplikasi termasuk cedera ureter dan kandung kemih, perdarahan persisten yang
membutuhkan eksplorasi, dan fistula urin. Histerektomi peri-partum dapat dilakukan
sebagai histerektomi total atau subtotal (supravaginal). Histerektomi total mengurangi
risiko keganasan puntung serviks tetapi membutuhkan waktu operasi yang lebih lama
dan memiliki tingkat cedera saluran kemih yang lebih tinggi. Histerektomi subtotal
lebih cepat dan lebih aman tetapi pemeriksaan serviks secara teratur wajib dilakukan.4

30
BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang perempuan usia 21 tahun dengan atonia uteri.
Atonia uteri ditemukan intraoperatif saat dilakukannya SC ai panggul sempit + letak
sungsang. Meskipun sebagian besar kasus perdarahan post partum tidak memiliki
faktor risiko yang bermakna, namun dianjurkan melakukan penilaian risiko pada
maternal selama periode antenatal dan antepartum. Faktor risiko atonia uteri yang
ditemukan pada kasus ini adalah anemia. Pada pasien ditemukan Hb pre operasi adalah
9.0 gr/dl. WHO mendefinisikan anemia pada kehamilan sebagai kadar hemoglobin di
bawah 11g / dL. Anemia defisiensi zat besi adalah penyebab paling umum dari anemia
pada kehamilan. Di negara berkembang, anemia biasanya dikaitkan dengan
malnutrisi.4 Hal ini kemungkinan juga berkaitan dengan pasien ini memiliki
perawatakan pendek atau stunting yang menunjukkan kekurangan energi yang
berlangsung kronis.
Untuk memastikan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dilakukan
pemeriksaan MCV, MCH, MCHC, dan feritin. Diagnosis anemia defisiens besi
ditegakkan apabila didapatkan kadar Hb >11 dengan gambaran eritrosit mikrositik
hipokrom dan kadar feritin <30 μg/L. Terapi zat besi oral adalah pengobatan lini
pertama untuk anemia defisiens besi. Meskipun data saat ini terbatas, terapi besi
intravena (IV) merupakan pilihan terapi alternatif pada pasien yang tidak merespon
terapi besi oral, memiliki konsentrasi Hb yang sangat rendah, dan membutuhkan
pengobatan yang cepat.13
Faktor risiko lain yang mungkin berkaitan dengan atonia pada kasus ini adalah
distensi berlebihan pada uterus. Ibu memiliki perawakan pendek dengan janin dengan
berat badan yang normal, sehingga uterus ibu dapat teregang secara berlebihan. Penulis
tidak mendapatkan kepustakaan yang mendukung hipotesis ini, namun terdapat studi
yang menemukan bahwa tinggi ibu berkaitan dengan lamanya kehamilan, dimana ibu
dengan perawakan pendek berisiko tinggi melahirkan bayi prematur dan beriko rendah
mengalami kehamilan post term.14

31
Operasi pada kasus ini bersifat emergensi atas indikasi inpartu fase laten +
panggul sempit + letak sungsang. Seksio sesaria emergensi/tidak terencana memiliki
risiko kejadian perdarahan post partum yang lebih tinggi dibandingkan seksio elektif,
operasi pervaginam, dan persalinan spontan. 15
Tabel 4.1 Risiko Perdarahan Post Partum berdasarkan Metode Persalinan

Setelah bayi lahir, dilakukan manajemen aktif kala III. Setelah tim anestesi
melakukan injeksi uterotonika profilaksis, operator memeriksa kontraksi uterus
didapatkan kesan uterus tidak adekuat, karena terjadi perdarahan yang disebabkan oleh
terlepasnya sebagian plasenta dilakukan manual plasenta. Pasca manual plasenta
dilakukan evaluasi, didapatkan kesan atonia uteri dan diberikan uterotonika tambahan.
Uterotonika yang diberikan secara bertahap yaitu drip Oksitosin 20 IU IV tetesan cepat,
bolus metergin 0,4 mg IV , misoprostol 400 mcg sublingual. Namun didapatkan respon
uterotonika tidak adekuat dan diputuskan dilakukan B-Lynch.
Berdasarkan kepustakaan dosis uterotonika yang diberikan pada kasus ini
belum maksimal. Apabila dosis awal yang diberikan sebagai terapi perdarahan post
partum belum mendapatkan respon adekuat dapat diberikan dosis tambahan, Untuk
misoprostol dosis yang direkomendasikan untuk penanganan perdarahan post partum
adalah 800 mcg dan dosis ulangan tidak direkomendasikan. Sedangkan dosis maksimal
oksitosin dan ergometrin dapat dilihat pada tabel berikut :15

32
Tabel 4.2 Rekomendasi Dosis Uterotonika POGI

Pada kasus ini dilakukan B-lynch dengan metode Surabaya, teknik kompresi
ini dipilih karena tekniknya lebih sederhana dan lebih cepat dibandingkan teknik B-
lynch konvensional. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah teknik kompresi
vertikal, namun penulis tidak mendapatkan studi yang menjelaskan perbandingan
teknik B-lynch Surabaya, teknik konvensional, dan teknik alternatif lainnya. Pasca
tindakan dilakukan evaluasi perdarahan pervaginam, tidak didapatkan adanya
perdarahan aktif yang menunjukkan tindakan berhasil. Pada kebanyakan kasus, teknik
kompresi B-lynch tidak memiliki komplikasi dan pasien dapat hamil normal
selanjutnya. 1
Intraoperasi dilakukan tranfusi PRC 1 unit. Transfusi produk darah diperlukan
bila jumlah darah yang hilang cukup masif dan masih terus berlanjut, terutama jika
tanda vital tidak stabil. Keputusan klinis bersifat penting karena perkiraan darah yang
hilang sering tidak akurat, penentuan menggunakan konsentrasi hemoglobin atau
hematokrit mungkin tidak akurat dalam merefleksikan status hematologis pasien,
sedangkan tanda dan gejala mungkin belum muncul sampai kehilangan darah melebihi
batas toleransi fisiologis tubuh. Tujuan dari transfusi produk darah adalah untuk
mengganti faktor koagulasi dan sel darah merah yang berkapasitas membawa oksigen,
bukan sebagai pengganti volume.15 Pada kasus ini indikasi tranfusi adalah adanya
atonia uteri dengan anemia sedang yang sudah diketahui pre operatif.

33
Pasca operasi didapatkan Hb pasien 9,8 gr/dl atau anemia sedang. Kombinasi
anemia defisiensi besi dan anemia hemoragik menyebabkan anemia pascapartum.
Anemia pascapartum telah dikaitkan dengan depresi, stres, kecemasan, gangguan
kognitif, penurunan keterikatan ibu-bayi, dan retardasi perkembangan bayi.
Konsentrasi Hb harus diperiksa pada pasien dengan kehilangan darah yang berlebihan
selama persalinan dan / atau pada pasien dengan gejala anemia nifas. Konsentrasi Hb
postpartum ≤10 g / dL menunjukkan anemia yang signifikan secara klinis. Anemia
sedang hingga berat dipertimbangkan jika Hb antara 9-10 g / dL dan konsentrasi Hb ≤
9 g / dL dianggap anemia berat. Pada pasien post partum dengan anemia namun Hb >9
direkomendasikan pemberian supelmentasi zat besi selama 3 bulan post partum. 13

34
BAB V
KESIMPULAN

1. Perdarahan post partum merupakan salah satu dari triad kematian ibu terutama
di negara berkembang dengan atonia uteri sebagai penyebab tersering
2. Perdarahan post partum tidak memiliki faktor risiko yang bermakna, namun
dianjurkan melakukan penilaian risiko pada maternal selama periode antenatal
dan antepartum.
3. Perdarahan obstetrik relatif umum, tidak dapat diprediksi, dan menyebabkan
morbiditas dan mortalitas, semua anggota unit kebidanan, termasuk dokter,
bidan, dan perawat harus bersiap untuk menangani wanita yang mengalami
perdarahan post partum.
4. Penatalaksanaan awal pada setiap pasien dengan perdarahan post partum adalah
mengidentifikasi sumber perdarahan dan terapi suportif resusitasi cairan
5. Manajemen penanganan atonia uteri meliputi manajemen konservatif dan
operatif. Manajemen konservatif antara lain pemberian uterotonika, kompresi
bimanual, kompresi aorta, dan tamponade balon kateter. Manajemen operatif
meliputi jahitan kompresi, ligasi arteri, pelvic packing, dan histerektomi.
6. Teknik jahitan kompresi uterus adalah teknik mengkompresi dinding uterus
anterior dan posterior menggunakan jahitan seperti bretel/suspender dengan
tingkat keberhasilan yang sangat baik dan umumnya tanpa komplikasi. Teknik
kompresi uterus terdiri dapat berupa teknik B-lynch, teknik kompresi vertikal
Gilstrap, dan teknik Surabaya.
7. Teknik Surabaya adalah teknik modifikasi B-lynch yang relatif sederhana dan
dapat dikerjakan dengan cepat sehingga dapat dijadikan metode untuk
penganganan atonia uteri.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe JS, Hoffman BL, Casey BM, et
al. Williams Obstetrics. Vol. 25, McGraw-Hill Education. 2018.
2. Badan Pusat Statistik. Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS). 2015;2015.
Available from: https://bps.go.id/website/pdf_publikasi/Penduduk-Indonesia-
hasil-SUPAS-2015_rev.pdf
3. Saxena R, Saxena R. Chapter-6.9 Postpartum Hemorrhage. Evid Based Color
Atlas Obstet Gynecol Diagnosis Manag. 2013;270–5.
4. Lim PS. Uterine Atony : Management Strategies. 2010;97–128.
5. American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG Practice Bulletin:
postpartum hemorrhage. Am Coll Obstet Gynecol [Internet]. 2017;130(4):168–
86. Available from:
http://www1.health.nsw.gov.au/pds/ActivePDSDocuments/%0Ahttp://www.nc
bi.nlm.nih.gov/pubmed/17012482
6. Sulistyono A, Saur E, Gultom M, Dachlan EG, Prabowo P. Conservative
Surgical Management of Postpartum Hemorrhage ( PPH ) Using ’ Surabaya
Method ’ ( Modified B-Lynch Compression Suture ). :108–13.
7. Baskett T, Calder A, Arulkumaran S. Munro Kerr’s Operative Obstetrics. 12th
ed. Elsevier, editor. 2017.
8. Lalonde A. Prevention and treatment of postpartum hemorrhage in low-resource
settings. Int J Gynecol Obstet. 2012;117(2):108–18.
9. Casanova R, Chuang A, Gopefert A, Hueppchen N, Weiss P. Beckmann and
Ling’s Obstetrics and Gynecology. Vol. 8, Wolters Kluwer. 2012.
10. Yeomans E, Hoffman B, Gilstrap L, Cunningham F. Cunningham and Gilstrap’s
Operative Obstetrics. 3rd ed. McGraw-Hill Education; 2017.
11. Kaveh M, Tahermanesh K, Hanjani S, Abed SM. B-Lynch plus technique for
uterine conservative surgery in an asymmetric atonic uterus. Int J Gynecol
Obstet. 2018;142(3):370–1.
12. Al-Hendry A, Sabry M. Hysterectomy. Intech; 2012.
13. Api O, Breyman C, Çetiner M, Demir C, Ecder T. Diagnosis and treatment of
iron deficiency anemia during pregnancy and the postpartum period. Turk
Jinekoloji ve Obstet Dern Derg. 2015;12(3):173–81.
14. Myklestad K, Vatten LJ, Magnussen EB, Salvesen KÅ, Romundstad PR. Do
parental heights influence pregnancy length?: A population-based prospective
study, HUNT 2. BMC Pregnancy Childbirth. 2013;13.
15. POGI Himpunan Kedokteran Feto Maternal. Perdarahan Pasca-Salin. Pedoman
Nas Pelayanan Kedokt POGI. 2016;

36

Anda mungkin juga menyukai