HELLP SYNDROME
Diajukan kepada :
dr.Himawan B. Ashadi Sp.OG
Disusun oleh :
dr. Sarah Maulina Oktavia
Disusun oleh :
dr.Sarah Maulina Oktavia
Pendamping I Pendamping II
Pembimbing
Presentan Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) atau preeklampsia sampai sekarang
masih merupakan masalah kebidanan yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas.
HDK adalah salah satu dari 3 penyebab kematian utama ibu disamping perdarahan
dan infeksi.1,2
Dari data statistik di negara maju menunjukkan bahwa 10 – 30% dari semua
kematian ibu disebabkan oleh preeklampsia, dan juga sebagai penyebab utama
morbiditas dan mortalitas perinatal. Mortalitas akan meningkat sesuai dengan berat
dan lamanya preeklampsia. Menurut Simanjuntak (1999) pada penelitian retrospektif
5 tahun (1993 – 1997) dijumpai 33 kasus (5,10%) kematian ibu dari 647 kasus
preeklampsia berat.3
Penanganan kasus preeklampsia masih tetap kontroversi, karena sampai saat ini
etiologi dan patofisiologi penyakit HDK masih belum jelas diketahui sehingga
penanganan dan pencegahannya yang baik dan sempurna belum bisa dilaksanakan
dan masih bersifat empiris.1,2,4
Penyebab dari preeklampsia sampai saat ini belum diketahui namun berada pada
uterus gravida. Kenaikan tekanan darah dan tanda- tanda maternal lainnya hanyalah
gambaran sekunder semata- mata yang merupakan refleksi dari suatu problema intra
uterin. Dengan demikian tanda- tanda preeklampsia harus benar-benar dipandang
sebagai konsekuensi dari suatu proses patologis yang lebih fundamental pada sistim
target maternal yang spesifik yaitu sistim arteri, hepar, ginjal dan sistim koagulasi. 1
Tiga kelainan sistim target maternal yang sering terjadi bersamaan pada kasus
Dikutip dari 1
preeklampsia dan eklampsia pertama sekali dilaporkan oleh Pritchard pada
tahun 1954 yaitu kelainan laboratorium berupa hemolisis intravaskuler, peninggian
kadar enzim- enzim hepar dan jumlah trombosit yang rendah.
1
Weinstein pada tahun 1982 menyebutnya sebagai varian preeklampsia berat
yang unik dan untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah SINDROMA HELLP
yang merupakan singkatan dari haemolysis (H), elevated liver enzymes (EL) dan low
platelet counts (LP).1
B. Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Sindroma HELLP merupakan komplikasi dari Preeklampsi yang harus dideteksi
sedini mungkin
2. Tingginya angka kejadian dan kematian Sindroma HELLP di Pekalongan
C. Tujuan
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai Sindroma HELLP
2. Mengetahui diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat untuk Sindroma HELLP
BAB II
LAPORAN KASUS
DATA PASIEN
Data Administrasi
Nama : Ny. T
No. RM : 253849
Tanggal Masuk : 6 Maret 2016
Status : Menikah
Data Demografis
Usia : 31 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Sastrodirjan 01/01 Wonopringgo Kab. Pekalongan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Bahasa Ibu : Jawa Pekalongan
Data Biologik
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 58 kg
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sesak
Kesadaran : Composmentis
VS Tekanan darah : 265/175 mmHg
Nadi : 110x/menit
Respirasi : 32x/menit
Suhu : 370C
A. Status generalis
1. Kepala : mesochepal, jejas (-), luka (-) rambut hitam, distribusi rambut
merata, rambut tidak mudah dicabut.
2. Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+) normal.
3. Hidung : deviasi septum (-), discharge (-)
4. Telinga : simetris, discharge (-), berdengung (-), darah (-)
5. Mulut : bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor, hiperemis
6. Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran kelenjar limfe (-)
7. Thorax
Pulmo
Inspeksi : Simetris, jejas (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler, Rbk(-), Rbh (+) Wheezing(-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuang angkat
Perkusi : Kiri atas SIC II LPSS, Kiri bawah SIC IV LMCS
Kanan atas SIC II LPSD, Kanan Bawah SIC III LPSD
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : Cembung gravid
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
9. Costovertebra
Inspeksi : Deformitas (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Nyeri ketok Costovertebra (-)
10. Ekstremitas
Superior
Regio brachium
Look Kanan Kiri
Simetris + +
Deformitas - -
Hematom - -
Vulnus ekskoriasi - -
Edema - -
Feel Deformitas - -
Penonjolan tulang - -
Krepitasi - -
Nyeri tekan - -
Move Nyeri gerak aktif. - -
Nyeri gerak pasif - -
Gerak terbatas - -
Regio antebrachium
Look Kanan Kiri
Simetris + +
Deformitas - -
Hematom - -
Vulnus ekskoriasi - -
Edema - -
Feel Deformitas - -
Penonjolan tulang - -
Krepitasi - -
Nyeri tekan - -
Move Nyeri gerak aktif. - -
Nyeri gerak pasif - -
Gerak terbatas - -
Regio manus
Look Kanan Kiri
Simetris + +
Deformitas - -
Hematom - -
Vulnus ekskoriasi - -
Edema - -
Feel Deformitas - -
Penonjolan tulang - -
Krepitasi - -
Nyeri tekan - -
Move Nyeri gerak aktif. - -
Nyeri gerak pasif - -
Gerak terbatas - -
Inferior
Regio femur
Look Kanan Kiri
Simetris + +
Deformitas - -
Hematom - -
Vulnus ekskoriasi - -
Vulnus Laceratum - -
Edema - -
Feel Deformitas - -
Penonjolan tulang - -
Krepitasi - -
Nyeri tekan - -
Move Nyeri gerak aktif. - -
Nyeri gerak pasif - -
Gerak terbatas - -
Regio Cruris
Look Kanan Kiri
Simetris + +
Deformitas - -
Hematom - -
Vulnus ekskoriasi - -
Vulnus Laceratum - -
Edema - -
Tulang - -
Feel Deformitas - -
Penonjolan tulang - -
Krepitasi - -
Nyeri tekan - -
Move Nyeri gerak aktif. - -
Nyeri gerak pasif - -
Gerak terbatas - -
Regio pedis
Look Kanan Kiri
Simetris + -
Deformitas - -
Hematom - -
Vulnus ekskoriasi - -
Vulnus Laceratum - -
Edema + +
Feel Deformitas - -
Penonjolan tulang - -
Krepitasi - -
Nyeri tekan - -
Move Nyeri gerak aktif. - +
B. Status lokalis
Regio Abdomen :
Leopold I : Teraba bagian keras
Leopold II : Teraba tahanan di kanan
Leopold III : Teraba bagian lunak
Leopld IV : Belum masuk Panggul
TFU : 21 cm
DJJ : 160x/menit
Edema Tungkai : +/+
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah Lengkap dan Urin rutin
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium
PEMERIKSAAN 6/3/16 7/3/16 8/3/16 9/3/16 10/3/16 NILAI
DARAH NORMAL
Darah Lengkap
Hemoglobin 14.7 12.6 11.5 12-16 g/dl
Leukosit 18.170 16.080 14.920 4800-10.800/µl
Hematokrit 42 36 33 37-47 %
Eritrosit 4.980.000 4,2 – 5,4/ µl
Trombosit 68.000 47.000 69.000 84.000 113.000 150.000 –
450.000
Uji Koagulasi
CT 4’30”
BT 2’
Kimia Klinik
SGOT 166.7 15-37 U/L
SGPT 79 30-66 U/L
Ureum Darah 34.9 14,98-38,52
mg/dL
Kreatinin Darah 0,71 0,60-1,00
mg/dL
Glukosa Sewaktu 102 <200mg/dL
7 Maret Sesak nafas (+) KU : tampak sesak G2P1A0 usia Konsultasi dr.
2016 Kaki bengkak (+) Kes : composmentis 31 tahun UK 28 Himawan Sp.OG :
(00.00) Pusing (+) TV: minggu dengan - Cek Ureum
Pandangan TD: 240/145 HELLP kreatinin
Berkunang2(+) N : 105 x/menit Syndrome - Inj. Dexamethason
Mual (+) RR: 32 x/menit untuk peningkatan
Nyeri ulu hati (+) S : 37oC Trombosit
Muntah (-) Status Generalis - Anti hipertensi ikut
Mata: CA -/- SI -/- Sp.PD
Thoraks:
P/ SD ves +/+, Wh-/-
Rbh +/+ Rbk -/-
C/ S1>S2, reg, ST –
Ekstremitas :
edema tungkai +/+
Status Lokalis
Abdomen:
Pal: NT (+) epigastric
TFU 3 jari atas pusat
Laboratorium
Protenuri : +2
SGOT 166.7
SGPT 79
7 Maret Sesak nafas (+) KU : tampak sesak G2P1A0 usia Visit dr. Setyasno
2016 Kaki bengkak (+) Kes : composmentis 31 tahun UK 28 Sp.PD :
(10.00) Pusing (+) TV: minggu dengan +inj. Cefotaxime 2x1gr
Pandangan TD: 184/115 HELLP
Berkunang2(+) N : 100 x/menit Syndrome
Mual (+) RR: 32 x/menit - O2 kanul 2 lpm
Nyeri ulu hati (+) S : 37oC - Nifedipin 3x10 mg
Muntah (-) Status Generalis - Metildopa3x500mg
Mata: CA -/- SI -/- - ISDN 3x5mg
Thoraks: - Inj.Dexamethason
P/ SD ves +/+, Wh-/- 2x5mg
Rbh +/+ Rbk -/-
C/ S1>S2, reg, ST –
Ekstremitas :
edema tungkai +/+
Status Lokalis
Abdomen:
Pal: NT (+) epigastric
TFU 3 jari atas pusat
Laboratorium
Hb : 12.6
Leuko: 16.080
Trom : 47.000
Ht : 36
Ur: 34.9
Kr : 0.71
8 Maret Sesak nafas (+) KU : tampak sesak G2P1A0 usia - O2 kanul 2 lpm
2016 Kaki bengkak (+) Kes : composmentis 31 tahun UK 28 - Nifedipin 3x10 mg
(10.00) Pusing (+) TV: minggu dengan - Metildopa3x500mg
Pandangan TD: 163/102 HELLP - ISDN 3x5mg
Berkunang2(+) N : 98 x/menit Syndrome - Inj. Cefotaxime
Mual (+) RR: 28 x/menit 2x1gr
Nyeri ulu hati (+) S : 37oC
Muntah (-) Status Generalis
Mata: CA -/- SI -/-
Thoraks:
P/ SD ves +/+, Wh-/-
Rbh +/+ Rbk -/-
C/ S1>S2, reg, ST –
Ekstremitas :
edema tungkai +/+
Status Lokalis
Abdomen:
Pal: NT (+) epigastric
TFU 3 jari atas pusat
Laboratorium
Hb : 11.5
Leuko: 14.920
Trom : 69.000
Ht : 11.5
9 Maret Sesak nafas (+) KU : tampak sesak G2P1A0 usia - O2 kanul 2 lpm
2016 Kaki bengkak (+) Kes : composmentis 31 tahun UK 28 - Nifedipin 3x10 mg
(10.00) Pusing (-) TV: minggu dengan - Metildopa3x500mg
Pandangan TD: 163/127 HELLP - ISDN 3x5mg
Berkunang2(-) N : 98 x/menit Syndrome - Inj. Cefotaxime
Mual (-) RR: 24 x/menit 2x1gr
Nyeri ulu hati (-) S : 37oC
Muntah (-) Status Generalis
Mata: CA -/- SI -/-
Thoraks:
P/ SD ves +/+, Wh-/-
Rbh +/+ Rbk -/-
C/ S1>S2, reg, ST –
Ekstremitas :
edema tungkai +/+
Status Lokalis
Abdomen:
Pal: NT (+) epigastric
TFU 3 jari atas pusat
Laboratorium
Trom : 84.000
10 Maret Sesak nafas (+) KU : tampak sesak G2P1A0 usia - O2 kanul 2 lpm
2016 Kaki bengkak (+) Kes : composmentis 31 tahun UK 28 - Nifedipin 3x10 mg
(06.00) Pusing (-) TV: minggu dengan - Metildopa3x500mg
Pandangan TD: 160/109 HELLP - ISDN 3x5mg
Berkunang2(-) N : 90 x/menit Syndrome - Inj. Cefotaxime
Mual (-) RR: 24 x/menit 2x1gr
Nyeri ulu hati (-) S : 37oC
Muntah (-) Status Generalis
Mata: CA -/- SI -/-
Thoraks:
P/ SD ves +/+, Wh-/-
Rbh +/+ Rbk -/-
C/ S1>S2, reg, ST –
Ekstremitas :
edema tungkai +/+
Status Lokalis
Abdomen:
Pal: NT (+) epigastric
TFU 3 jari atas pusat
Laboratorium
Trom : 113.000
PASIEN
APS
Tabel 3. Catatan Perkembangan Pasien di ICU RSUD KAJEN
Tanggal S O A P
11 Maret Sesak nafas (+) KU : tampak sesak G2P1A0 usia 31 Perbaikan KU
2016 Kaki bengkak (+) Kes : composmentis tahun UK 28
Pusing (-) TV: minggu dengan
Pandangan TD: 160/100 HELLP
Berkunang2(-) N : 90 x/menit Syndrome
Mual (-) RR: 32 x/menit
Nyeri ulu hati (-) S : 37oC
Muntah (-) Status Generalis
Mata: CA -/- SI -/-
Thoraks:
P/ SD ves +/+, Wh-/-
Rbh +/+ Rbk -/-
C/ S1>S2, reg, ST –
Ekstremitas :
edema tungkai +/+
Status Lokalis
Abdomen:
Pal: NT (+)
epigastric TFU 3 jari
atas pusat
Laboratorium
Protenuri : +2
Hb : 11.5
Leuko: 14.500
Trom : 117.000
Ht : 32.6
Eri : 3.730.000
MCV: 97
MCH: 30
MCHC: 35
CT : 8’30’’
BT : 3’45’’
GolDar : AB
SGOT 46
SGPT 53
Ur 51
Kr 0.63
12 Maret
2016
13 Maret Program SC
2016
14 Maret SC dilakukan
2016 Bayi < 1kg
Asites +
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Definisi dari sindroma HELLP sampai saat ini masih kontroversi. Menurut
Dikutip dari 5
Godlin (1982) sindroma HELLP merupakan bentuk awal dari preeklampsia
Dikutip dari 5
berat. Weinstein (1982) melaporkan sindroma HELLP merupakan varian yang
unik dari preeklampsia tetapi Mackenna dkk (1983) Dikutip dari 5 melaporkan bahwa sindroma
ini tidak berhubungan dengan preeklampsia. Dan dilain pihak banyak penulis melaporkan
bahwa sindroma HELLP merupakan bentuk yang ringan dari Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) yang terlewatkan karena pemeriksaan laboratorium yang tidak
adekwat. 5
Salah satu alasan yang menyebabkan kontroversi terhadap sindroma ini, karena
adanya perbedaan dalam kriteria diagnostik dan metode yang digunakan pada waktu
penelitian. Walaupun hampir semua peneliti sepakat bahwa sindroma ini merupakan
petanda keadaan penyakit yang berat dan dengan prognosa yang jelek.5,9
Gambar 6. Sel hepatosit yang mengandung gumpalan lemak yang kecil, disebut lemak
mikrovaskuler (Dikutip dari Barton 21)
Pada sindroma HELLP terjadi perubahan pada hepar dimana gambaran
histopatologisnya berupa nekrosis parenkhim periportal dan atau fokal yang disertai
dengan deposit hialin yang besar dari bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid.
Pada penelitian dengan imunoflourescen dijumpai mikrotrombi fibrin dan deposit
fibrinogen pada sinusoid dan daerah hepatoselular yang nekrosis. Adanya mikrotrombi
dan deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar
yang merupakan dasar dari terjadinya peningkatan enzim hepar dan terdapatnya nyeri
perut kuadran kanan atas. Gambaran nekrosis selular dan perdarahan dapat terlihat
dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat dijumpai adanya perdarahan intrahepatik
dan hematom subkapsular atau ruptur hepar.5,8,19,20
Barton dkk (1992) melaporkan pada penelitian terhadap 11 pasien sindroma
HELLP yang dilakukan biopsi pada heparnya didapati perdarahan periportal 8 orang
(73%) yang 25%- nya terdapat nekrosis lobular. Deposit fibrin periportal didapati pada 6
orang (55%), dengan satu orang tanpa perdarahan periportal. Gambaran perdarahan
periportal dan deposit fibrin mempunyai hubungan bermakna dengan tingkat keparahan
dari sindroma HELLP. 20
Oosterhof dkk (1994) melaporkan pada penelitian mengukur indeks pulsasi
(pulsatility index) dengan USG Doppler didapati peningkatan resistensi pada arteri
hepatika. Hal ini menunjukkan terdapatnya vasokonstriksi pada arteri hepatika yang
bertanggung jawab untuk terjadinya sindroma HELLP nantinya. 21
Perubahan histopatologis pada hepar yang terdapat pada sindroma HELLP dapat
dibedakan dari penyakit perlemakan hepar yang akut. Hal ini dilaporkan oleh Usta dkk
(1994) pada perlemakan hepar yang akut dengan pemeriksaan mikroskop elektron
didapatinya gambaran steatosi (perlemakan mikrovaskular) derajat rendah yang difus
pada daerah sentrilobular. Gambaran ini berbeda bermakna terhadap perubahan
histopatologi hepar pada sindroma HELLP. 22
Penurunan jumlah trombosit pada sindroma HELLP disebabkan oleh
meningkatnya konsumsi atau destruksi dari trombosit. Meningkatnya konsumsi trombosit
disebabkan oleh agregasi trombosit. Hal ini akibat dari kerusakan endotel, penurunan
produksi prostasiklin, proses imunologis maupun peningkatan jumlah radikal bebas.
Penyebab dari destruksi trombosit sampai saat ini belum diketahui. Dijumpainya
peningkatan megakaryosit pada biopsi sumsum tulang menunjukkan pendeknya life span
dari trombosit dan cepatnya proses daur ulang. 5,8
Gambar 7. Patofisiologi HELLP Syndrome
Beberapa peneliti terdahulu beranggapan bahwa DIC merupakan proses primer
yang terjadi pada sindroma HELLP. Walaupun didapatinya gambaran histologis dari
mikrotrombi yang mirip antara sindroma HELLP dan DIC tetapi pada sindroma HELLP
tidak dijumpai koagulopati intravaskular. Pada sindroma HELLP terjadi mikroangiopati
5,8,19
dengan kadar fibrinogen yang normal (Tabel. 2). Jadi DIC yang terjadi pada
sindroma ini bukan merupakan proses primer tetapi merupakan kelanjutan dari proses
patofisiologis sindroma HELLP itu sendiri (sekunder) . 5,8,19
Van Dam dkk (1989) melaporkan dari 18 pasien dengan sindroma HELLP pada
pemeriksaan laboratorium saat masuk rumah sakit, didapati 7 orang dengan DIC yang
manifes. Tetapi pada saat melahirkan dilakukan pemeriksaan laboratorium lagi maka
didapati 10 orang dengan DIC manifes. Setelah 72 jam post partum hanya 4 orang yang
tidak terbukti DIC. Hal ini menunjukkan bahwa DIC terjadi sejalan dengan progresivitas
penyakit. Dan DIC merupakan petunjuk dari derajat keparahan dari sindroma HELLP. 23
Tabel 5. Perbedaan DIC dan Mikroangiopati
DIC Mikroangiopati
C. KLASIFIKASI
Ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindroma HELLP, yaitu :
1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang didapati.
Audibert dkk (1996) 24 melaporkan pembagian sindroma HELLP berdasarkan jumlah
keabnormalan parameter yang di dapati yaitu : sindroma HELLP Murni bila didapati
ketiga parameter di bawah ini, yaitu : hemolisis, peningkatan enzim hepar dan
penurunan jumlah trombosit dengan karakteristik : gambaran darah tepi dijumpainya
burr cell, schistocyte atau spherocytes ; LDH > 600 IU/L ; SGOT > 70 IU/L ;
bilirubin > 1,2 ml/dL dan jumlah trombosit < 100.000/ mm 3 . Sedangkan sindroma
HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih tetapi tidak ketiga parameter
sindroma HELLP. Lebih jauh lagi sindroma HELLP Parsial dapat dibagi beberapa
sub grup lagi yaitu Hemolysis (H), Low Trombosit counts (LP), Hemolysis + low
trombosit counts (H+LP), hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL). 24 ,25
D. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
1. KARAKTERISTIK PENDERITA
Weinsten (1982) melaporkan sindroma HELLP didapati pada nulipara 68%
dan pada multipara 34%. Pada nulipara umur rerata 24,0 tahun (16 – 40 tahun),
dengan usia kehamilan rerata 32,5 minggu (24 – 36,5 minggu). Sedangkan pada
multipara umur rerata 25,6 tahun (18 – 38 tahun) dengan usia kehamilan rerata
33,3 minggu (25 – 39 minggu).7
Sibai (1990) melaporkan karakteristik penderita sindroma HELLP berkulit
putih, multipara dengan riwayat luaran kehamilan yang jelek, usia ibu > 25 tahun,
dan gejala muncul sebelum kehamilan aterm ( < 36 minggu). Gejala dapat muncul
antepartum dan postpartum. Gejala sindroma HELLP pada antepartum dijumpai
69%, dimana 4% pada usia kehamilan 17- 20 minggu, 11% pada usia kehamilan
21 –26 minggu, dan selebihnya muncul pada pertengahan trimester ketiga. 31%
gejala timbul pada postpartum. 5,8
Pada kasus postpartum timbulnya bervariasi antara beberapa jam sampai 6
hari setelah persalinan. Sebahagian besar muncul pada 48 jam postpartum. Pada
kelompok ini, 79% penderita sindroma HELLP telah menderita preeklampsia
sebelum persalinan. Namun 21% tidak menderita preeklampsia baik sebelum
maupun pada saat persalinan. 8,26
2. GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium
atau kwadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari
5,7,8
sebelum dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%).
Penambahan berat badan dan edema (60%), hipertensi dapat tidak dijumpai sekitar
20% kasus, didapatinya hipertensi ringan (30%) dan hipertensi berat (50%). 5,8
Magann dkk (1993) melaporkan hubungan antara kenaikan tekanan darah
dengan jumlah trombosit. Dimana didapatinya tekanan darah sistolik berbeda
secara bermakna pada ketiga kelompok pasien. Pasien dengan Kelas I (jumlah
trombosit ≤ 50.000/mm3 ) ternyata lebih sering dengan tekanan darah ≤ 150
mmHg dibanding dengan pasien kelas II (jumlah trombosit > 50.000 - ≤
100.000/mm3 ) dan kelas III (jumlah trombosit > 100.000 - ≤ 150.000/mm 3),
walaupun rerata puncak tekanan sistolik postpartum tidak berbeda secara
bermakna. Hipertensi berat ternyata tidak dijumpai pada semua penderita dengan
sindroma ini. 10,26
Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang- kejang, jaundice,
perdarahan gastrointestinal dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai
hipoglikemia, koma, hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal dan diabetes
insipidus yang nefrogenik. Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasanya
dijumpai pada kasus sindroma HELLP yang timbulnya postpartum atau
antepartum yang ditangani secara konservatif. 26
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Proses yang dinamis dari sindroma ini, sangat mempengaruhi gambaran
parameter dari laboratorium. Gambaran parameter ini tidak konstan dipengaruhi
oleh pola penyakit yang menunjukkan perbaikan atau kemunduran. Pemeriksaan
laboratorium pada sindroma HELLP sangat diperlukan, karena diagnosa
ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun sampai saat ini belum ada
batasan yang tegas mengenai nilai batas untuk masing- masing parameter. Hal ini
terlihat dari banyaknya penelitian terhadap sindroma HELLP yang bertujuan untuk
membuat suatu keputusan nilai batas dari masing- masing parameter. (Tabel. 1) 9
a. Hemolisis
Gambaran hapusan darah tepi sebagai parameter terjadinya hemolisis,
adalah dengan didapatinya burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet cell.
Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini merupakan gambaran
yang spesifik terjadinya hemolisis pada sindroma HELLP. 7, 26
Proses hemolisis pada sindroma HELLP oleh karena kerusakan dari sel
darah merah intravaskuler, menyebabkan hemoglobin keluar dari intravaskuler.
Lepasnya hemoglobin ini akan terikat dengan haptoglobin, dimana kompleks
hemaglobin- haptoglobin akan dimetabolisme di hepar dengan cepat.
Hemoglobin bebas pada sistim retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin.
18
Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. Pada wanita
hamil normal kadar bilirubin berkisar 0,1 – 1,0 mg/ dL. Dan pada sindroma
HELLP kadar ini meningkat yaitu > 1,2 mg/dL. 5,27
Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan
mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya sel darah
merah yang imatur. Sel darah merah imatur ini mudah mengalami destruksi,
dan mengeluarkan isoenzim eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan plasma
lactic dehidrogenase (LDH). Kadar LDH yang tinggi juga menunjukkan
terjadinya peroses hemolisis. 18
Pada wanita hamil normal kadar LDH berkisar 340 – 670 IU/L. Dan pada
sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu > 600 IU/L. 5,27
b. Peningkatan Kadar Enzim Hepar.
Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (serum glutamat
oksaloasetat transaminase/SGOT) dan alanine aminotranferase ( serum
glutamat piruvat transaminase/SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar.
Pada Preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima kasus, dimana
50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Menurut penelitian Martin dkk
10
(1991) kadar SGOT lebih tinggi dari SGPT pada sindroma HELLP.
Peninggian ini menunjukkan fase akut dan progresivitas dari sindroma ini.
Peningkatan SGOT dan SGPT juga merupakan tanda terjadinya ruptur kapsul
hepar.13 Pada wanita hamil normal kadar SGOT berkisar 0 – 35 IU/L . Dan pada
sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu >70 IU/L. 5,27
Lactat Dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung
jawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. Peningkatan LDH
menggambarkan terjadinya kerusakan pada sel hepar, walaupun peningkatan
kadar LDH juga merupakan tanda terjadinya hemolisis. Peningkatan kadar
LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan
terjadinya hemolisis. Martin dkk (1991)10 melaporkan pada sindroma HELLP
kadar puncak LDH 581 –2380 IU/L dengan rerata 1369 IU/L, dimana kadar
puncak inididapatkan pada 24 – 48 jam post partum. LDH dapat dipergunakan
untuk mendeteksi hemolisis dan kerusakan hepar. Oleh sebab itu parameter ini
sangat berguna dalam mendiagnosa sindroma HELLP.13,28
Peningkatan bilirubin pada Preeklampsia sangat jarang, pada kasus
eklampsia hanya 4 – 20%. Dan peningkatan ini jarang sampai lima kali lipat.
Hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi menunjukkan hemolisis intra
vaskuler. Hiperbilirubinemia yang terkonjugasi menunjukkan kerusakan pada
perenkhim hepar. 13
c. Jumlah Trombosit yang Rendah
Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah trombosit yang
spesifik. Sebagian besar laporan mengatakan jumlah trombosit rerata menurun
18
selama kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan. Pada wanita
hamil normal kadar trombosit berkisar > 150.000/ mm 3. Dan pada sindroma
HELLP kadar ini menurun sampai < 100.000/ mm3 . 5,27
Martin dkk (1991) melaporkan dari 158 preeklampsia berat dengan
sindroma HELLP didapati kadar trombosit berbeda- beda. Didapatinya 19%
pasien pada saat masuk rumah sakit dengan jumlah trombosit > 150.000/mm 3 ,
35% antara 100.000 – 150.000/mm3 , 31% antara 50.000 – 100.000/mm 3 dan
15% < 50.000/mm3 . (Gambar 6) 10,28
E. PENANGANAN
Sampai saat ini penanganan sindroma HELLP masih kontroversi. Beberapa
peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia
kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila
kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang konservatif
untuk mematangkan paru- paru janin dan atau memperbaiki gejala klinis ibu . Namun
semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi
defenitif. 30-33
Visser W dkk (1995) pada penelitian terhadap 128 pasien Preeklampsia dengan
sindroma HELLP melaporkan bahwa dengan menunda terminasi kehamilan pada
sindroma HELLP lebih aman dan berguna untuk ibu dan janin.32
Pendekatan konservatif dengan mematangkan paru-paru janin dan atau
memperbaiki gejala klinis ibu dengan mempergunakan kortikosteroid. Tompkins dan
Thigarajah (1999) melaporkan pemberian kortikosteroid baik Betametason maupun
Deksametason meningkatkan pematangan paru, meningkatkan jumlah trombosit,
mempengaruhi fungsi hepar (kadar SGOT,SGPT dan LDH menurun) serta
memungkinkan untuk pemberian anastesia regional.33
Amorim dkk (1999) melaporkan pemberian kortikosteroid antepartum,
Betametason 12 mg / IM yang diulang 24 jam kemudian dan diberikan tiap minggu
sampai persalinan pada kehamilan 26 sampai 34 minggu dapat meningkatkan pematangan
paru janin.34
Magan dkk (1994) melaporkan pemberian kortikosteroid antepartum,
Deksametason 10 mg / IV / 12 jam diberikan sampai persalinan pada kehamilan < 32
minggu, mendapatkan persalinan terjadi 41 ± 15 jam setelah pemberian kortikosteroid.
Mereka berpendapat dengan pemberian kortikosteroid dapat menunda persalinan,
memaksimumkan status hematologis ibu, memaksimumkan sistim organ pada janin dan
ibu dapat dirujuk ke pusat pelayanan dengan aman. 35
Magann dkk (1994) melaporkan pemberian kortikosteroid post partum,
Deksametason 10 mg / 12 jam 2 kali pemberian, dilanjutkan dengan 5 mg / 12 jam pada
24 jam dan 36 jam post partum, mendapatkan penurunan tekanan darah dan peningkatan
jumlah trombosit pada 24 jam post partum serta penurunan LDH dan SGOT pada 36 jam
post partum. 36
Isler dkk (2001) melakukan penelitian prospektif tentang efikasi dari
Deksamethason dan Betametason. Dilaporkan bahwa pemberian Deksametason 10 mg/12
jam/IV lebih efektif dibandingkan dengan pemberian Betametason 12 mg/24 jam /IM.
Pemberian Deksametason dapat diberikan langsung kedaerah intravaskular, dimana
Betametason (tidak dapat diberikan secara intravena) harus diabsorbsi terlebih dahulu
setelah pemberian secara intramuskuler. Hal ini menyebabkan terlambatnya onset of
action atau berkurangnya efektifitas obat waktu sampai di pembuluh darah. 37
Adanya sindroma HELLP ini tidak merupakan indikasi untuk melahirkan segera
dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan bayi. Ibu
yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada kontra
indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua kehamilan >
32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah matang untuk
diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum matang, seksio
sesarea elektif merupakan pilihan. Penatalaksanaan seksio sesarea pada sindroma HELLP
dapat dilihat pada tabel 4. 13
Magann dkk (1994) melaporkan pada usia kehamilan < 30 minggu dengan serviks
yang matang lebih aman dilakukan persalinan pervaginam. Resiko untuk terjadinya
perdarahan intraventrikuler pada bay i hampir 80% didapati pada persalinan dengan
seksio sesarea. Selain itu juga didapati stress yang terjadi pada ibu dan bayi serta
peningkatan komplikasi pada seksio sesarea. Hal ini merupakan alasan mengapa
persalinan pervaginam merupakan pilihan. 38
Jika usia kehamilan > 35 minggu, setelah kondisi ibu stabil, segera lahirkan
(Dikutip dari Walker 13)
F. PROGNOSA
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19 – 27 % untuk mendapat
resiko sindroma ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai resiko sampai 43%
untuk mendapat preeklampsia pada kehamilan berikutnya. sindroma HELLP kelas I
merupakan resiko terbesar untuk berulangnya sindroma ini pada kehamilan selanjutnya.8
Sibai dkk (1995) melaporkan penderita dengan normotensif sebelum menderita
sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya preeklampsia, 27%
terjadi kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi sindroma HELLP pada kehamilan
berikutnya. Tetapi bila penderita sindroma HELLP dengan riwayat kronik hipertensi
sebelumnya, maka 75% akan terjadi preeklampsia dan 5% kemungkinan terjadi sindroma
HELLP pada kehamilan berikutnya. 41
Sibai dkk (1993) melaporkan angka kematian ibu pada sindroma HELLP 1,1 %.
Dengan komplikasi seperti DIC (21%), solusio plasenta (16%),gagal ginjal akut ( 7,7 %),
edema pulmonum (6%), hematom hepar subkapsular (0,9%) dan ablasi retina (0,9%). 42,43
Isler dkk (1999) melaporkan penyebab kematian ibu pada sindroma HELLP
adalah perdarahan intrakranial atau stroke ( 45%), gagal jantung paru (40%), DIC (39%),
sindroma gagal nafas (28%), gagal ginjal (28%), perdarahan hepar atau ruptur (20%) dan
ensefalopati hipoksia (16%). 60% dari kematian ibu dengan sindroma HELLP kelas I. 44
Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi berkisar 10 – 60% tergantung dari
keparahan penyakit ibu. Bayi yang ibunya menderita sindroma HELLP akan mengalami
pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan sindroma kegagalan pernafasan. 8,43
Abramovici dkk (1999) melaporkan angka kematian bayi 5,5 %, dari 269 bayi
dengan ibu sindroma HELLP. Hampir 90% penyebab kematian karena sindroma gagal
nafas. Morbiditas dan mortalitas bayi tergantung dari usia kehamilan dari pada ada atau
tidaknya sindroma HELLP.45
BAB III
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan pasien sesak nafas sejak 3 hari terakhir dan sesak
bertambah berat. Sesak dirasakan terutama saat berbaring dan berkurang saat posisi
duduk. Sesak membuat pasien tidak bisa tidur karena berlangsung sepanjang hari. Selain
sesak pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak sejak 2 hari yang lalu, namun tidak
terlalu besar. Selain itu pasien mengeluh pusing akhir-akhir ini. Pandangan kabur dan
berkunang baru saja terjadi saat perjalanan ke rumah sakit, disertai mual dan nyeri ulu
hati.
Hal tersebut di atas cocok dengan gejala-gejala preeklampsia berat yang mengarah
kepada eklampsia ataupun menjadi HELLP Syndrome. Menurut Sibai, Gejala yang paling
sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau kwadran kanan atas (90%),
nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum dibawa ke rumah sakit (90%), serta
5,7,8
mual dan muntah (45 – 86%). Penambahan berat badan dan edema (60%), hipertensi
5,8
dapat tidak dijumpai sekitar 20% kasus. Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali,
pulmonum dan gagal ginjal akut biasanya dijumpai dengan sesak nafas. 26
Gambar 8. Tanda dan Gejala Preeklampsia Berat
(265/175), takipneu dan takikardi. Pada pemeriksaan pulmo ditemukan ronkhi jantung tak
ada kelainan. Pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri ulu hati. Terdapat edema minimal
pada kedua tungkai. Menurut Barton dkk, pemeriksaan meyeluruh pada penderita HELLP
Syndrome data ditemukan tanda-tanda dehidrasi, seperti mukosa membran kering, mata
Tanda dan gejala pada HELLP Syndrome mirip dengan pasien preeklampsia.
Terdapat proteinuri 86-100% pasien dan hipertensi 80%. 55%-67% pasien ditemukan
bengkak yang berubah-ubah tempatnya, bisa ditemuka di daerah periorbita, atau di daerah
ekstremitas atas maupun bawah. RUQ tenderness ditemukan pada 65%-90% pasien.
Jaundice hanya ditemukan sekitar 5%. Pemeriksaan paru ditemukan ronkhi yang
Magann dkk (1993) melaporkan hubungan antara kenaikan tekanan darah dengan
jumlah trombosit. Dimana didapatinya tekanan darah sistolik berbeda secara bermakna
pada ketiga kelompok pasien. Pasien dengan Kelas I (jumlah trombosit ≤ 50.000/mm 3 )
ternyata lebih sering dengan tekanan darah ≤ 150 mmHg dibanding dengan pasien kelas II
(jumlah trombosit > 50.000 - ≤ 100.000/mm3 ) dan kelas III (jumlah trombosit > 100.000
secara bermakna. Hipertensi berat ternyata tidak dijumpai pada semua penderita dengan
Pada hasil laboratorium pasien ini menunjukkan peningkatan enzim hati dan
(LDH) ataupun gambaran darah tepi untuk melihat bentuk eritrosit. Oleh karena itu, tidak
dapat ditentukan terdapat hemolisis atau tidak. Jika pasien ini diklasifikasikan, maka akan
Setelah operasi SC dilakukan pada pasien ini ditemukan asites. Asites dapat terjadi
pada pasien HELLP Syndrome karena terdapat mikrotrombi dan deposit fibrin pada
sinusoid. Hal tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar yang merupakan
dasar dari terjadinya nekrosis sel hati sehingga terjadi peningkatan enzim hepar dan
terdapatnya nyeri perut kuadran kanan atas. Nekrosis sel hati menyebabkan produksi
albumin menurun, sehingga tekanan onkotik plasma juga turun, cairan plasma keluar ke
jaringan intersisil. Pada kasus yang berat dapat dijumpai adanya perdarahan
1. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, etal. Hypertensive Disorders in Pregnancy.
William Obstetrics . Ed. 20th. Conecticut : Appleton & Lange 1997 : 693-744
2. Mabie WC, Sibai BM. Hypertensive State of Pregnancy. In : De Cherney AH, Pernoll
ML. Current Obstetrics & Gynecologyc Diagnosis & Treament. Appelton & Lange,
1996 : 380- 97.
4. Tim Standard Terapi Bagian OBGIN FK – USU/ RS Dr. Pirngadi Medan. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi RS. Dr. Pirngadi Medan: Bagian/UPF
Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK- USU RS. Dr. Pirngadi Medan, 1996 :
1-18
5. Sibai BM. The HELLP Syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes and low
trombosit counts) : Much ado About Nothing ?. AmJ Obstet Gynecol 1990 ; 162 : 311-
6
10. Martin JN, Blakes PG, Perry KG, etal. The Natural Hystory of HELLP Syndrome :
Patern of Disease Progression and Regression. AmJ Obstet Gynecol 1991; 164 : 1500
–13.
11. Siregar MF. Luaran Janin dan Ibu pada Penderita Preeklampsiaa di RSUD Dr.
Pirngadi Medan. Medan : Universitas Sumatera Utara. Tesis. 1997.
12. Sofoewan S. Pregnancy Outcome of Women with Severe Preeclampsia With and
Without HELLP Syndrome. Dalam : AUFOG Accredited Ultrasound and Workshop.
Bandung. 2001.
13. Dekker GA, Walker JJ. Maternal Assesment in Pregnancy Induced Hypertensive
Disorder : Special Investigation and Their Pathophysiological Basis. In : Walker JJ,
Gant NF. Hypertension in pregnancy. London : Chapman&Hall. 1997 :107 – 62.
14. Lockwood CJ, Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. In : Cohen WR.
Complication in Pregnancy. Ed. 5th. Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins. 2000
: 207 – 26.
15. Churchill D, Beevers DG. Hypetension in Pregnancy. London: BMJ Books. 1999.
17. Martin JN, Rinehart BK, May WL, etal. The Spectrum of Severe Preeclampsia :
Comparative Analysis by HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low
trombosit counts) Syndrome Classification. AmJ Obstet Gynecol 1999 ; 180 : 1373 –
84.
18. Arias F. Practical Guide to Highrisk Pregnancy and Delivary. Ed.2 St. Louis : Mosby
Year Book. 1999 : 183 – 279.
21. Barton JR, Riely CA, Adamec TA, etal. Hepatic Hispatologic in Condition does not
Correlate with Laboratory Abnormalities in HELLP Syndrome (hemolysis, elevated
liver enzymes and low trombosit counts). AmJ. Obstet Gynecol 1992 ; 167 : 1538 -43
23. Usta IM, Barton JR, Amon EA, etal. Acute Fatty Liver of Pregnancy : An
Experience in Diagnosis and Management of Cases. AmJ Obstet Gynecol 1994 : 171 :
1342- 7.
25. Audibert F, Friedmman SA, Frangieh AY, etal. Clinical Utility of Strict Diagnostic
Criteria for the HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts)
Syndrome. AmJ Obstet Gynecol 1996; 175; 460 – 4.
27. Martin JN, May WL, Magann EF, etal. Early risk assesment of severe preeclampsia:
admission baterry of symptom and laboratory test to predict likelihood of subsequent
significant maternal morbidity. AmJ Obstet Gynecol 1999 ; 180 : 1407 – 14.
28. Maggan EF, Cauhan SP, Naef RW, etal. Standar Parameters of Preeclampsia : Can the
Clinican Depand Upon Them to Reliably Identifythe Patientwith The Hellp
Syndrome? Aust NZ Obstet Gynecol 1993 ; 32 : 122 - 26
29. Sibai BM, Taslimi MM, El- Nazer A, etal. Maternal and Perinatal Outcome Associated
with the Syndrome of hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts in
Severe Preeclampsia. AmJ Obstet Gynecol 1986 ; 155 : 501 – 9.
30. Martin JN, May WL, Magann EF, etal. Early Risk Assesment of Severe Preeclampsia:
Admission Baterry of Symptom and Laboratory Test to Predict Llikelihood of
Subsequent Significant Maternal Morbidity. AmJ Obstet Gynecol 1999 ; 180 : 1407 –
14.
31. Bowers D, Wenk RE. Clinical Laboratory Referent Values. In : Cohen WR.
Complication in Pregnancy. Ed. 5th. Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins. 2000
: 873 – 81.
32. Roberts WE, Perry KG, Woods JB, etal. The Intrapartum Trombosit Count in Patient
with HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) Syndrome
: Is It Predictive of Later Hemorrhagic Complication ?. AmJ Obstet Gynecol 1994 ;
171 : 799 – 804.
33. Poole JH. Aggressive Management of HELLP Syndrome and Eclampsia. AACN
Clinical Issues Advanced Practice in Acute & Critical Care 1997 : 8 (4).
34. Queenan JT. Management of High Risk Pregnancy. Blackwell Scientific Publication,
1994 : 378 – 85.Gleeson R, Wlshe JJ. HELLP Syndrome Continues to be A
Diagnostic and Management Dilemma. ImJ Edit orials, 1997;90 (8). Available et :
http://www.imj.ie/issue07/editorial5.htm
36. Tompkins MJ, Thiagarajah S. HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low
trombosit counts) Syndrome : The Benefit of Corticosteroids. AmJ Obstet Gynecol
1999 ; 181 : 304 – 9.
39. Magann EF, Perry KG, Meyderch EF, etal. Post Partum Corticosteroid : Accelarated
Recovery from The Syndrome of HELLP. AmJ Obstet Gynecol 1994 ;171 : 1154 – 8.
40. Isler CM, Barrileux S, Magann EF, etal. A Prospective, Randomized Trial Comparing
The Efficacy of Dexamethasone and Bethamethasone for The Treatment of
Antepartum HELLP Syndrome. AmJ Obstet Gynecol 2001; 184 : 1332 – 9.
41. Magann EF, Roberts WE, Perry KG, etal. Factor Relevant to Mode of Pretem
Delivary with Syndrome of HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low
trombosit counts). AmJ Obstet Gynecol 1994; 170 : 1828 – 34.
42. Brings R, Chari RS, Mercer B, etal. Post Operative Incission Complication after
Caserean Section in Patient with Antepartun Syndrome of HELLP ; Does Delayed
Primary Closure Make a Diffrence?. AmJ Obstet Gynecol 1996; 175 : 893- 6.
43. Schorr JS, Sullivan CA, Calfee E, etal. Wound Complication Following Caserean
Delivary of Patient with HELLP Syndrome : Pfaneinsteil Versus Vertical Skin
Incision. Hypertension in Pregnancy 1998; 17(3) ; 265 – 70.
44. Sibai BM, Ramadhan MK, Chari RS, etal. Pregnancies Complicated by HELLP
Syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) :
Subsequent Pregnancy Outcome and Longterm Prognosis. AmJ Obstet Gynecol
1995 ; 172 : 125 – 9.
45. Sibai MD, Ramadhan MK, Usta I, etal. Maternal Morbidity and Mortality in 442
Pregnancies with Hemolysis, Elevated Liver enzymes and Low Platelet counts
(HELLP Syndrome). AmJ Obstet Gynecol 1993 ; 169 : 1000 – 6.
46. Barton JR, Sibai BM. Diagnosis and management of hemolysis, elevated liver
enzymes, and low platelets syndrome. Clin Perinatol. 2004. 31:807-33