PREEKLAMPSIA BERAT
Disusun Oleh :
dr. Rido Riandi
Pendamping :
dr. M.Alfian Nasion
dr. Dinaili Maili
Lembar Pengesahan
Sindrom Stevens-Johnson
i
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Internsip di RSUD Haji Abdoel Madjid Batoe Kabupaten Batanghari
Disusun Oleh :
dr. Rido Riandi
Pendamping :
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga laporan kasus yang berjudul “PREEKLAMPSIA
BERAT” ini dapat penulis selesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak
membantu menyusun laporan ini, khususnya kepada selaku pembimbing dr. M.
Alfian Nasion dan dr. Dinaili Maili selaku pendamping dan juga kepada rekan-
rekan dokter Internsip.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk
perbaikan demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dalam menambah pengetahuan dan pemahaman terutama tentang
PREEKLAMPSIA BERAT
Penulis
iii
BAB I
STATUS PASIEN
4
Keadaan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 37,0°C
Tekanan darah : 210/100 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Berat Badan : 67 kg
Tinggi Badan : 153 cm
Pemeriksaan Generalisata
1. Kepala : Normocephal
2. Mata : Konjunctiva anemis (-/-). Sklera ikterik (-/-). Pupil
isokor. Refleks cahaya (+/+)
3. THT : Tidak ada kelainan
4. Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
5. Thorax : Simetris, pergerakan dinding dada sama kanan dan kiri
Pulmo (Paru)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Gerakan dinding dada Gerakan dinding dada
simetris, retraksi (-) simetris, retraksi (-)
Palpasi Massa (-), krepitasi (-) Massa (-), krepitasi (-)
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (+), wheezing (-), Vesikuler (+), wheezing (-),
ronkhi (-) ronkhi (-)
Cor (Jantung)
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi Batas jantung atas: ICS II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan: ICS IV line parasternalis dextra
Batas jantung kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultas BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
i
5
6. Abdomen
Inspeksi Kontur cembung, sikatriks (-)
Palpasi Soepel, nyeri tekan (-), hati, lien dan ginjal tidak
teraba, massa (-), turgor cepat kembali
Perkusi Timpani
Auskultasi Bising usus (+) normal
6
1.11 Pemeriksaan Penunjang Anjuran
Lab
Hb : 12,9
WBC : 15,3
PLT : 290
Gds : 105
Urinalisa
Protein : + 3
1.12 Diagnosis
G2P1A0 gravida 37-38 minggu belum inpaartu JTH IU PK + preeklampsia berat
1.13 Penatalaksanaan
02 3-4 l/menit
IVFD RL
Rencana SC
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat
kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.1
Sedangkan untuk klasifikasi hipertensi pada kehamilan yang lain,
eklamsi adalah kelainan akut pada preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau
nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan
kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Ada pula istilah eclamsia sine
eclampsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa
kejang.1
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah
ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20
minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis yang
diperberat oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang
timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia.1
Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam
kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak
disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu
pascasalin.1
8
1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau
pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri.
- Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)
- Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)
- Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)
2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal
kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)
- Hipertensi kronis (without proteinuria)
- Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)
- Hipertensi kronis dengn superimposed
- Pre-eklamsi (proteinuria)
3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria
4. Eklampsia.
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the
NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :
1. Hipertensi gestasional
2. Preeklamsi
3. Eklamsi
4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis
5. Hipertensi kronis.2,3,4
9
2. Faktor risiko medikal maternal :
- Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti
hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis
arteri renalis
- Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan
komplikasi mikrovaskular
- Penyakit ginjal
- Systemic Lupus Erythematosus
- Obesitas
- Trombofilia
- Riwayat migraine
- Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester
I.4,5,7
3. Faktor risiko plasental atau fetal :
- Kehamilan multipel
- Hidrops fetalis
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.5,7
2.4 Etiologi
Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi
preeklamsi harus menerangkan pengamatan bahwa hipertensi yang disebabkan
oleh kehamilan jauh lebih memungkinkan terjadi pada wanita yang :
1. Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.
2. Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola hidatidosa.
3. Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.
Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang berkembang
selama kehamilan.5
2.5 Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti,
preeklamsi merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme.
10
Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti insufisiensi plasenta
akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta difus, inflamasi vaskulopati
desidua plasenta, dan invasi abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-hal
ini menjelaskan bahwa pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan
plasenta akibat mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan
ini.4,5,7
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme,
dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif
dibandingkan dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita hamil
menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida vasoaktif seperti
angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan
hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini merupakan gangguan
yang dapat terlihat bahkan sebelum hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan
tekanan darah pada level normal dalam kehamilan tergantung pada interaksi
antara curah jantung dan resistensi vaskular perifer, tetapi masing-masing secara
signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena
peningkatan nadi dan volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang
bersirkulasi meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk
menurun, menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi
diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh darah
terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. 4,5,7
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang
terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap
perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas menimbulkan
manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat,
hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan
kebocoran kapiler patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan
berat badan yang cepat, edema non dependen (muka atau tangan), edema
pulmonal, dan hemokonsentrasi. Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin
dapat terkena dampaknya akibat penurunan aliran darah utero-plasenta.
Penurunan perfusi ini menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung
janin yang non-reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan
11
pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.Selama kehamilan
normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit, sedangkan tekanan darah
diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan
naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan ruangan intervillair, yang
menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.4,5,7
Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan
spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai
etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun yang dengan jelas
terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari
konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi
ensefalopati, infark atau edema serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati
metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah penemuan ini merupakan
sebab atau efek akibat konvulsi.5,7,8
12
karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan
untuk mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan,
tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan
diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik
sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena
hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem
dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai.
Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun
eklamsi.3,4,5
Preeklamsi
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985)
menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya
proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24
jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick)
secara persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama
setiap periode 24 jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu
sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti.2
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah
hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang
abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan
kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus
gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan
kepastian tersebut.2
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat
nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul
Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik
transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri
kehamilan.2
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk,
dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta
hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti
adanya hemolisis yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia,
13
hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang
berat.2
Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi
jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang
nyata.5
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
- TD 160/110 mmHg.
- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.
- Trombosit <100.000/mm3.
- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
- peningkatan ALT atau AST.
- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
- Nyeri epigastrium persisten.5
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas
yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak ditemukan penyimpangan
tersebut, semakin besar kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan.
Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat dapat sulit dibedakan karena
preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.5
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat
keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda
mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85
mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120
mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan
diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau
gangguan visual.5
14
Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan 5
Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg
Tekanan darah diastolik Trace - 1+ Persisten ≥ 2+
Proteinuria Tidak ada Ada
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut bagian atas Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan enzim hati Minimal Nyata
Hambatan pertumbuhan janin Tidak ada Nyata
Oedem paru Tidak ada Ada
15
suplemen kalsium-CLA menurunkan kejadian hipertensi dalam kehamilan
dan meningkatkan fungsi endotel.5,8
2. Aspirin dosis rendah
Dahulu pemberian aspirin 60 mg digunakan untuk menurunkan insidensi
preeklamsi karena bekerja dalam mensupresi tromboksan dengan hasil
dominansi dari prostasiklin endotel. Sekarang ini, pemberian aspirin terbukti
tidak efektif dalam mencegah preeklamsi. Hal ini terbukti pada penelitian
yang dilakukan Caritis dan kawan-kawan terhadap wanita risiko tinggi dan
rendah. Hanya ada satu penelitian yang secara spesifik dilakukan untuk
menguji efek aspirin terhadap wanita hamil dengan hipertensi kronis.
Penelitian double blind placebo controlled trial dilakukan untuk melihat
efek aspirin pada hipertensi kronis yang dilakukan pada 774 wanita. Dosis
rendah aspirin, 60 mg sehari, yang dimulai sejak masa kehamilan 26 minggu
tidak menurunkan preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, perdarahan
post partum, dan perdarahan interventrikuler neonatal.5,7
3. Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi lipid
yang berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang dilakukan oleh
Schiff dan kawan-kawan menunjukkan bahwa konsumsi vitamin E tidak
berhubungan dengan preeklamsi. Mereka menemukan bahwa peninggian
plasma vitamin E pada wanita dengan preeklamsi dan menyatakan bahwa hal
ini merupakan respon terhadap stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi
kontroversi karena ada penelitian lain yang menyatakan terapi dengan
vitamin C / E dapat menurunkan aktivasi endotel yang pada akhirnya akan
menurunkan preeklamsi.6. Pada penelitian lain, dengan pemberian vitamin C
sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia kehamilan 16 –
22 minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi preeklamsi. Karena itu
masih perlu dilakukan penelitian sebelum menyarankan penggunaan Vitamin
C dan E untuk penggunaan secara klinis.3
4. Suplemen kalsium
Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan antara
asupan diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi. Dengan
16
pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 – 2 g/hari telah disarankan untuk
upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian Cochrane, diketahui
bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak dibutuhkan pada nulipara.
Walaupun demikian, mungkin pemberiannya bisa menguntungkan untuk
mereka yang termasuk kelompok dengan asupan kalsium yang memang
kurang atau pada kelompok risiko tinggi, seperti mereka dengan riwayat
preeklamsi berat.6
5. N-Acetylcystein
Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti radikal
bebas atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan dapat
mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah yang diakibatkan kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian obat ini masih kontroversi.
Meskipun demikian beberapa ahli sudah mencoba menggunakan obat ini.6
17
obat anti hipertensi untuk menjaga tekanan darah maternal melebihi nilai
normal, waktu persalinan, dan profilaksis magnesium sulfat selama persalinan
dan segera postpartum pada pasien yang dicurigai mengalami preeklamsi.7
Semua wanita dengan hipertensi gestasional ringan dapat ditangani
secara aman dengan rawat jalan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa tidak
direkomendasikan penggunaan anti hipertensi pada wanita dengan hipertensi
gestasional ringan atau preeklamsi. Profilaksis magnesium sulfat hanya
direkomendasikan pada wanita yang dirawat dengan diagnosis preeklamsi.
Magnesium sulfat diberikan selama persalinan dan 12-24 jam postpartum.
Namun tidak ada data yang mendukung pemberian profilaksis magnesium sulfat
pada wanita dengan hipertensi ringan.7
18
tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin dan protein total
seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin
setiap minggu. Pada pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi pembekuan
seperti protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung
trombosit. Perkiraan berat badan janin diperoleh melalui USG saat masuk
rumah sakit dan setiap 2 minggu. Perawatan jalan dipertimbangkan bila
ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan keadaan janin baik.
Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat tekanan darah,
berat badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu
pula keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai
tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti
nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada tanda-
tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan. Pasien yang dirawat di
rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan umum tentang
induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang
(skor Bishop >6) untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan
tetapi ada pula yang tidak menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan
pada kehamilan muda. Saat ini tidak ada ketentuan mengenai tirah baring,
hospitalisasi yang lama, penggunaan obat anti hipertensi dan profilaksis anti
konvulsan.
Tirah baring umumnya direkomendasikan terhadap preeklamsi ringan.
Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi edema, peningkatan
pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan meningkatkan
outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan
darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian
sedatif dahulu digunakan, tatapi sekarang tidak dipakai lagi karena
mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan karena salah satunya yaitu
fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang tergantung vitamin K
dalam janin..5,10
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan
NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif
memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik dan oksitosin
19
challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio lesitin:sfingomielin
(L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan awal akibat indikasi ibu,
tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat kematangan janin. Pemberian
kortikosteroid dilakukan untuk mematangkan paru janin jika persalinan
diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit
preeklamsi, maka monitor terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan
karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.5
2. Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah
konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan.
Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36
minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau terjadi bahaya
terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu
dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU yang baik.5
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan
progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh
karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia
kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat gejala impending
eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi terjadi
sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun
juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan
untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas
neonatal jangka pendek dan jangka panjang.5,10
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif
pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita yang
menjalani terapi konservatif pada penelitian ini dan karena terapi seperti itu
mengundang risiko bagi ibu dan janin, penatalaksanaan konservatif hanya
dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan melaksanakan observasi bagi ibu
dan janin. Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita
preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu,
20
wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus
diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan
preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi
kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang
menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan < 23
minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan.5
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat
adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan
perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam
setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan medikasi dan
pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Batasan terapi
biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi.
Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg ,
sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125
mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah
126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik <
105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg).
Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama
peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat
diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis
tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika
ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual,
labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi
adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin, beberapa peneliti
merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada
9 penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan obat lain, hanya
satu penelitian yang menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih
sering didapatkan pada hidralazin.10
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi
berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal
puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran
21
tekanan darah mendekati normal, maka pemberian hidralazin dihentikan. Jika
hipertensi kembali muncul pada wanita post partum, labetalol oral atau
diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan.5,7,10
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml
perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis,
atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa
terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal
mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih
banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita
eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan
benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan
yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga
meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.10
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan
pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena
adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade simpatis. Ada juga
pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena blokade simpatis dapat
menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta. Ketika teknik
analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural
digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan darah
pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih
menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat
terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea
dan dapat menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan perdarahan
intrakranial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik metode anestesi umum
maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea
pada wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan
pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan
tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam
mencegah hipertensi setelah persalinan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah
anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada wanita dengan
22
hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap
hipertensi.4,5,10
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan ≥ 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.9
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena kontinu
untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan dalam
100 mL cairan infus sekitar 15-20 menit.
2. Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus pemeliharaan.
3. Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk
menjaga level plasma 4-7 mEq/L.
4. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan.5
23
mengurangi nyeri). Jika konvulsi teteap terjadi setelah 15 menit, berikan
tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan
kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit.
3. Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang
diinjeksikan pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian kanan
dan kiri. Hal yang harus diperhatikan : reflek patella, tidak ada depresi
pernafasan, output urine dalam 4 jam lalu mencapai 100 mL.
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan.5
24
1. Hidralazine
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol
mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari
160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit
sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun
sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek
puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping
seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti
dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam
menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi.5
2. Labetalol
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non
selektif β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada
kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan
hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih
cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan
arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena.
Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg
labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg,
pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg
atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek
puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol
secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter.
Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220
mg tiap episode pengobatan.5
25
hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan
IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak
lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
digunakan dalam kehamilan.5
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg
per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%.
Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli
anestesi dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan
intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus
mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator
vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi
potensi sedang.5
4. Metil dopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti
hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu.
Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan
pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah
dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang
merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi
sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika
metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti
hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil.
Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak
plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek
maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi
lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan
hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat
menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.3,5
5. Klonidin
26
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan
dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2
mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek
maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun namun tetap
berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi.
Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat
diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada
penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.5
6. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah
jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular
akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular,
dimana volume tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan
dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk
menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi
darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian
furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat
edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena
merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek
janin.9,5
8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang
mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten),
tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga
meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi
bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril,
dam lisinopril.3
Tabel 2.2 Panduan Obat Anti Hipertensi 5
27
OBAT REKOMENDASI
Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam
terapi hipertensi
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon
nitroprussid terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
µg/kg/menit sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.
28
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti
hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan
penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin.
Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR.3
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
- Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi
ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi.
- Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat
plasma yang rendah ditemukan pada janin.
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam
susu ibu daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat
pada ACE inhibitor.5
DAFTAR PUSTAKA
29
3. Branch D, Porter T, Hypertensive Disorders of Pregnancy, dalam Danforth’s
Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-8, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W,
penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 1999: 309-326
4. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,
Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New
York: McGraw-Hill, 2005 : 761-808
5. Eger R, Hypertensive Disorders during Pregnancy, dalam Obstetrics&Gynecology
Principles for Practice, Ling F, Duff P, penyunting, New York : McGraw-Hill, 2001
: 224-252
6. Kaplan N, Lieberman E, Hypertension with Pregnancy and the Pill, dalam Kaplan’s
Clinical hypertension, edisi ke-8, Neal W, penyunting, Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins, 2002: 404-433
7. Kelompok Kerja Penyusunan Hipertensi dalam Kehamilan-Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di
Indonesia, edisi ke-2, Angsar M, penyunting, 2005: 1-27
8. Mose J, Gestosis, dalam Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi ke-2,
Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah F, penyunting, Jakarta : EGC,
2003 : 68-82
9. Scott J, Disaia P, Hammond C, Spellacy W, Gordon J, Danforth Buku Saku
Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Obstetri dan Ginekologi, edisi ke-1,
Koesoema H, penyunting, Jakarta : Widya Medika, 2002: 202-213
10. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam Current
Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9, New York :
McGraw-Hill, 2003: 338-353
30