Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP

Kehamilan Dengan infeksi sifilis dan hepatitis B


Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun Oleh :
dr. Awida Hidayati

Pembimbing :
dr. Fadli Rabbani, Sp.OG

Pendamping :
dr. Hj. Nanie Rosanty, M.Kes
dr. Neni Hartati, Sp.OG

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN BENGKALIS
2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

Sifilis merupakan salah satu IMS (infeksi menular seksual) yang menimbulkan
kondisi cukup parah misalnya infeksi otak (neurosifilis), kecacatan tubuh (gumma). Pada
populasi ibu hamil yang terinfeksi sifilis, bila tidak diobati dengan adekuat, akan
menyebabkan 67% kehamilan berakhir dengan abortus, lahir mati, atau infeksi neonatus
(sifilis kongenital).1 Sifilis dapat bermanifestasi lokal dan sistemik berbetuk bermacam-
macam dan dapat menyerupai banyak penyakit sehingga sering disebut sebagai “thegreat
imitator” atau “thegreatimpostor”. Dalam perjalanannya, sifilis kadang dapat dikenali
karena pada sebagain besar infeksi berlangsung silent, dapat diselingi dengan periode
laten tanpa gejala, dan dapat hilang sendiri walau tidak mendapat pengobatan.2Walaupun
telah tersedia teknologi yang relatif sederhana dan terapi efektif dengan biaya yang
sangat terjangkau, sifilis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas di
berbagai negara di dunia. Bahkan sifilis masih merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas perinatal di banyak negara1.
Heptitis merupakan penyait hepar yang paling sering mengenai wanita hamil.
Hepatitis virus merupakan komplikasi yang mengenai 0,2% dari selruh kehamilan.
Kejadian abortus, IUFD dan persalinan preterm merupakan komplikasi yang palingsering
terjadi pada wanita hamil dengan infeksi hepatitis. Hepatitis dapat disebabkan oleh virus,
obat-obatan dan bahan kimia toksik dengan gejala klinis yang hampir sama. Infeksi virus
hepatitis dapat menimbulkan masalah baik pada kehamilan, persalinan, maupun pada bayi
yang dilahirkan (vertikal transmission) yang nantinya dapat menjadi pengidap hepatitis
kronis dengan kemungkinan terjadinya kanker hati primer atau sirosis hepatis setelah
dewasa. Sampai saat ini telah diidentifikasi 6 tipe virus hepatitis yaitu virus hepatitis A,
B, C, D,E dan G. infeksi virus hepatitis yang aling seringmenimbulkan komplikasi dalam
kehamilan adalah virus Hepatitis Bdan E (VHB dan VHE).36,37,38
Infeksi VHB pada wanita hamil dapat ditularkan secara transplacental dan 20%
dari anak yang terinfeksi melalui jalur ini akan berkembang menjadikanker hati primer
dan sirosis hepatis pada usia dewasa. Oleh karena itu bayi yang lahir dari ibu carier

1
HbsAg harus diimunisasi dengan memberikan imunoglobulin dan vaksin hepatitis
B.36,37,38

2
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. YR
Usia : 26 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Kudap
No MR : 045958
Tanggal Masuk RS : 17 Juni 2019

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang pukul 03.00 wib melalui IGD dengan keluhan pnyeri pinggang
yang menjalar ke ari-ari yang dirasakan pasien sejak pukul 02.00 wib. Nyeri dirasakan
pasien semakin sering dan disertai keluar air-air beserta lendir dan darah dari jalan lahir.
Oleh keluarga pasien dibawa kerumah sakit. Saat tiba di IGD dilakukan pemeriksaan
dalam dan didapatkan pembukaan sudah lengkap dan oleh bidan dipimpin untuk proses
persalinan.
Tiga hari sebelumnya pasien post rawatan diruang kebidanan dengan keluhan
denyut jantung janin tidak normal. Oleh dokter spesialis kandungan pasien dianjurkan
rawat inap untuk mengobservasi denyut jantung janin. Selama perawatan pasien
dilakukan pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan pada ibu hamil dan didapatkan
hasil pasien TPHA (+) dan HbsAg (+). Kemudian dilakukan anamnesis ulang kepada
pasien dan didapatkan keluhan keputihan sejak 1 bulan yang lalu, bewarna putih
kekuningan dan berbau tidak sedap. Pada awalnya keputihan tersebut keluar hanya sedikit
tapi kemudian bertambah banyak. Pasien mengaku adanya timbul benjolan didaerah

3
kelamin yang tidak nyeri. Pasien juga mengatakan kadang merasa demam dan pegal-
pegal di seluruh badan sejak mengalami keluhan ini. Selain itu pasien juga sering
mengeluhkan badan lemas dan nyeri didaerah uluhati, untuk mengurangi keluhan pasien
hanya mengkonsumsi obat yag diberikan bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan.
Nyeri saat berkemih dan saat melakukan hubungan sexual disangkal. Pasien belum
pernah mendapat pengobatan untuk keluhan keluhannya tersebut. Selama hamil pasien
mengaku berhubungan suami istri normal seperti biasanya. Pasien menyangkal
berhubungan sexual selain dengan pasangan, suami pasien bekerja sebagai nelayan.
Ketika ditanyakan apakah suami punya keluhan serupa, pasien mengatakan tidak begitu
memperhatikan. sebelum hamil pasien pernah menggunakan alat kontrasepsi berupa pil
KB selama 5 tahun,saat berhungan sexual pasien tidak pernah menggunakan kondom.
Pasien mengatakan cukup menjaga kebersihan daerah kewanitaan dengan mengganti
celana dalam dua kali sehari.
Riwayat Antenatal Care
Pasien memeriksakan kehamilan di puskesmas 2-3 kai sebulan. Pada pemeriksaan
terakhir didapatkan denyut jantung janin cepat dan oleh dokter puskesmas pasien di rujuk
ke RSUD Bengkalis dan dilakukan pemeriksaan USG didapatkan presentasi kepala dan
Denyut jatung janin cepat.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, asma, alergi disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, asma, diabetes melitus, penyakit jantung dan riwayat keluhan yang
sama disangkal.
Riwayat Menstruasi
Pasien pertama kali datang haid saat pasien berusia 14 tahun, siklus haid teratur, siklus 28
hari, lama haid setiap bulannya 3-5 hari, ganti pembalut 2-3 kali setiap harinya, nyeri haid
(-), HPHT 14 Oktober 2018 dan perkiraan partus 21 Juli 2019.
Riwayat Perkawinan
 Kawin 2 kali
 Kawin pertama pada usia 19 tahun, lama perkawinan 2 tahun.
 Kawin kedua pada usia 25 tahun, lama perkawinan 1 tahun.

4
Riwayat Persalinan
G2P1A0H1
1. Laki-laki/aterm/persalinan normal/BBL 2800 gr/lahir tahun 2013/dibantu bidan/lahir
sehat dan langsung menangis.
2. Hamil ini.
Riwayat KB
Riwayat penggunaan KB suntik 3 bulan selama 1 tahun.
Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, suami pasien bekerja sebagai buruh. Pasien
tidak merokok, tidak minum alkohol.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
TB : 158 cm
BB : 60 kg
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
Status Generalisata
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Jantung : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop(-)
Paru : Vesikuler kedua lapang paru, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
Abdomen : Status obstretri
Genitalia : tampak perdarahan darah jalan lahir, tampak bekas jahitan episiotomi
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-) di kedua ekstremitas bawah .
Status Ginekologi :
Pemeriksaan Luar :
- Inspeksi : abdomen Tampak cembung, lemas
- Palpasi : FUT 2 jari dibawah pusuat, kontraksi uterus (+) baik.

5
- Perkusi : Timpani di seluruh lapangan abdomen
- Auskultasi: BU (+) normal
Pemeriksaan Dalam : tidak dilakukan
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin
 Hb : 9,6 g/dl
 Ht : 27,1 %
 Leukosit : 12.000/ul
 Trombosit : 171.000/ul
Faal Hemostatik
 CT : 4’30”
 BT : 2’30”
 Gol. Darah : O+
Faal Hemostatik
 TPHA : positif
 HbsAg : positif
 HIV : Non reaktif
2.5 RESUME
Seorang wanita berusia 26 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri pinggang
menjalar ke ari-ari yang dirasakan sejak 1 jam sebelum masuk RS. Nyeri dirasakan pasien
semakin lama semakin kuat. Selain itu pasien juga mengeluhkan keluar air-air berserta
lendir dan darah dari jalan lahir. Saat di IGD dilakukan pemeriksaan dalam dan
didapatkan pembukaan lengkap dan pasien segera dipersiapkan untuk dipimpin mengejan
pada proses persalinan.
Tiga hari sebelumnya pasien post rawatan dengan keluhan denyut jantung janin
cepat dan tidak teratur yang diketahui pasien saat pasien melakukan pemeriksaan ke
puskesmas, oleh dokter pukesmas pasien dirujuk ke RSUD Bengkalis untuk mendapatkan
pemeriksaan dan penangan yang lebih lanjut. Saat di RSUD Bengkalis pasien dilakukan
pemeriksaan USG dan didapatkan letak posisi janin dengan persentasi kepala dan Denyut
jantung janin tidak teratur. Oleh dokter spesialis pasien di anjurkan untuk rawat inap.

6
Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengeluhkan keputihan bewarna putih kekuningan
dan berbau tidak sedap. Pada awalnya keputihan tersebut keluar hanya sedikit tapi
kemudian bertambah banyak. Pasien mengaku adanya timbul benjolan didaerah kelamin
yang tida nyeri. Pasien juga mengatakan kadang merasa demam dan pegal-pegal di
seluruh badan sejak mengalami keluhan ini. Selain itu pasien juga sering mengeluhkan
badan lemas dan nyeri didaerah uluhati, untuk mengurangi keluhan pasien hanya
mengkonsumsi obat yag diberikan bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Nyeri
saat berkemih dan saat melakukan hubungan sexual disangkal. Pasien belum pernah
mendapat pengobatan untuk keluhan keluhannya tersebut. Selama hamil pasien mengaku
berhubungan suami istri normal seperti biasanya. Pasien menyangkal berhubungan sexual
selain dengan pasangan. Ketika ditanyakan apakah suami punya keluhan serupa, pasien
mengatakan tidak begitu memperhatikan. sebelum hamil pasien pernah menggunakan alat
kontrasepsi berupa pil KB selama 1 tahun,saat berhungan sexual pasien tidak pernah
menggunakan kondom. Pasien mengatakan cukup menjaga kebersihan daerah kewanitaan
dengan mengganti celana dalam dua kali sehari.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80
mmHg, Nadi 82 x/menit, Pernapasan 20 x/menit, Suhu 36,50C. Pada pemeriksaan mata
tampak anemis pada konjungtiva. Pemeriksaan penunjang laboratorium :
Darah Rutin
 Hb : 9,6 g/dl
 Ht : 27,1 %
 Leukosit : 12.000/ul
 Trombosit : 171.000/ul
Faal Hemostatik
 CT : 4’30”
 BT : 2’30”
 Gol. Darah : O+
Faal Hemostatik
 TPHA : positif
 HbsAg : positif

7
 HIV : Non reaktif
2.6 DIAGNOSIS
- P2A0 post partum patologis
- TPHA (+) dan HbsAg (+)
- Anemis
2.7 PENATALAKSANAAN
 Penatalaksanaan di PONEK IGD
- Acc rawat inap
- Misoprostol 3 tab
- Promavit 1 x 1
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
- Cefadroxil 2 x 500 mg
2.8 Follow Up

Tanggal Follow Up
18 juni 2019 S : Nyeri perut
O:
 kesadaran : Composmentis
 TD : 120/80 mmHg
 HR : 80 kali/menit
 RR : 22 kali/menit
 Mata : konjungtiva anemis +/+
Status ginekologis :
- Inspeksi : abdomen tampak datar, lemas, simetris
- Palpasi : FUT 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik.
- Perkusi : timpani seluruh abdomen
- Auskultasi : Bissing usus (+) normal
A:
- P2AO post partum patologis
- TPHA (+) dan HbsAg (+)
- Anemis
P:
- Transfusi PRC 2 labu
- IVFD RL 20 gtt/menit
- ASI on demand
- Vulva higyene pagi dan sore
- Mobilisasi
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Asam mefenamat 3 x 500 mg

8
- Promavit 2 x 1
- Inj. Benzatin penisilin 1,2 juta IU/boka-boki

19 juni 2019 S : Nyeri perut (-)


O:
 kesadaran : Composmentis
 TD : 120/80 mmHg
 HR : 80 kali/menit
 RR : 22 kali/menit
 Mata : konjungtiva anemis +/+
Status ginekologis :
- Inspeksi : abdomen tampak datar, lemas, simetris
- Palpasi : FUT 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik.
- Perkusi : timpani seluruh abdomen
- Auskultasi : Bissing usus (+) normal
A:
- P2AO post partum patologis
- TPHA (+) dan HbsAg (+)
- Anemis
P:
- Jika Hb 6  Transfusi PRC
- IVFD RL 20 gtt/menit
- ASI on demand
- Vulva higyene pagi dan sore
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
- Promavit 2 x 1

20 juni 2019 S : tidak ada keluhan


O:
 kesadaran : Composmentis
 TD : 120/80 mmHg
 HR : 80 kali/menit
 RR : 22 kali/menit
 Mata : konjungtiva anemis -/-
Status ginekologis :
- Inspeksi : abdomen tampak datar, lemas, simetris
- Palpasi : FUT 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik.
- Perkusi : timpani seluruh abdomen
- Auskultasi : Bissing usus (+) normal
A:
- P2AO post partum patologis
- TPHA (+) dan HbsAg (+)
- Anemis
P:
- Cefadroxil 2 x 500 mg

9
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
- Promavit 1 x 1
- Misoprostol 3 x 1
- Boleh pulang

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sifilis
3.1.1 Definisi Sifilis
Penyakit sifilis adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Treponemapallidum
(T.pallidum), yang terutama ditularkan melalui hubungan seksual. Sifilis secara khas
ditandai dengan periode aktif yang disela oleh periode infeksi laten. Tidak seperti penyakit
infeksi lainnya, sifilis jarang didiagnosis berdasarkan penemuan kuman penyebab dari
pemeriksaan langsung. Diagnosis sifilis terutama didasarkan pada reaksi serologis terhadap
treponema.2

3.1.2 Epidemiologi
Diseluruh belahan dunia hingga saat ini sifilis tetap merupakan masalah kesehatan
utama. Angka kejadian infeksi baru (insiden) diperkirakan 112 juta per tahun di seluruh
dunia, terutama di Afrika, Amerika Selatan, China, dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara
diperkirakan terjadi 4 juta infeksi baru per tahun. Kejadiannya akhir-akhir ini meningkat di
negara-negara Eropa terutama pada kelompok Lelaki Suka sama Lelaki (LSL). Penularan
sifilis dari ibu hamil ke bayinya menyebabkan sifilis kongenital yang merupakan 50%
penyebab bayi lahir mati. Tiap tahun diperkirakan terjadi 500 ribu dan 1,5 juta sifilis
kongenital3,4. Survey Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011 di Indonesia juga
melaporkan prevalensi sifilis masih cukup tinggi. Pada populasi waria, prevalensi sifilis
sebesar 25%, WPSL (wanita penjaja seks langsung) 10%, LSL (lelaki yang berhubungan
seks dengan lelaki) 9%, warga binaan lembaga pemasyarakatan 5%, pria berisiko tinggi
4%, WPSTL (wanita penjaja seks tidak langsung) 3% dan penasun (pengguna narkoba
suntik) 3%.1
3.1.3 Etiologi
T.pallidum merupakan anggota genus Spirochaetas memiliki 4 spesies yang
pathogen terhadap manusia dan hewan. Spesies Leptospira menyebabkan leptospirosis.
Spesies Borella menyebabkan relap sing fever dan lyme disease. Spesies Brachyspira
yang menyebabkan infeksi usus, serta spesies Treponema yang secara umum

11
menyebabkan segolongan penyakit yang disebut treponematoses. Spesies Treponema
terdiri lagi dari beberapa sub-spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia,
diantaranya : (1) Treponema pallidum sub sp.pallidum yang menyebabkan sifilis; (2)
Treponema pallidum sub sp.pertenue yang menyebabkan yaws; (3) Treponema pallidum
sub sp.endemicum yang menyebabkan endemic syphilis (bejel) dan (4) Treponema
pallidum sub sp.carateum yang menyebabkan penyakit pinta. Dari ke empat sub species
Treponema di atas, hanya sifilis yang merupakan peyakit kelamin.2
T.pallidumsubspeciespallidum berbentuk spiral tipis, mempunyai sel yang
dibungkus membranetrilaminarcytoplasmi, yang terdiri dari lapisan peptidoglikan serta
lipid-richoutermembrane yang hanya memiliki sedikit protein sehingga berguna untuk
menghindari deteksi sistem imun. Untuk mobilisasi organisme ini memiliki endoflagella.2
T.pallidum tidak dapat dikultur secara invitro. Memiliki beberapa gen yang
bertanggung jawab pada transport asam amino, karbohidrat dan elektrolit. Organisme ini
memiliki singlecirculargeome yang stabil tanpa elemen yang mudah berpindah-pindah
seperti bakteri lain. Hal ini menyebabkan organisme ini sulit bermutasi dan mungkin
dapat menjelaskan rendahnya kejadian resistensi antibiotika pada sifilis.2

Gambar 1 : T. Pallidum Gambaran mikroskop electron

12
Gambar 2 : Histopatologis T. pallidum (Gambaran mikroskop elektron dengan pengecatan
Steiner silver)
3.1.4 Pathogenesis
Sifilis terutama menular melalui kontak seksual baik melalui vaginal, anal, atau
oral. Metode penularan lainnya yang lebih jarang adalah berciuman, berbagi jarum suntik
yang tidak aman, transfusi darah, needle stick injury, dan cangkok organ. Secara
klasiksifilis menyebabkan penyakit yang terbagi dalam beberapa stadium : (1) masa
inkubasi tanpa gejala; (2) sifilis primer yaitu timbulnya lesi primer pada tempat inokulasi
pertama; (3) sifilis sekunder yang terjadi akibat penyebaran kuman ke seluruh tubuh
dengan berbagai manifestasi klinik; (4) Stadium klinis atau laten yang dapat berlangsung
hingga bertahun-tahun dan hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis; (5)
sifilis tersier, stadium akhir dari sifilis berupa penyakit progresif yang melibatkan
susunan saraf pusat, pembuluh darah besar, dana atau pembentukan gumma yang dapat
terjadi pada semua organ.2
Sifilis primer, sekunder, dan laten awal merupakan stadium yang sangat menular,
dengan resiko penularan sebesar 60%. Kontak langung dengan lesi kulit sifilis primer
atau sekunder merupakan penularan terbanyak. Pada stadium laten awal, kemungkinan
penularan menurun hingga sekitar 25%. Bayi baru lahir tertular sifilis akibat infeksi
dalam rahim, tetapi bayi dapat juga tertular akibat kontak dengan lesi genital ibu pada
saat persalinan. Risiko penularan dari wanita dengan sifilis primer atau sekunder yang
tidak mendapat pengobatan adalah sekitar 70-100%. Risiko ini menurun hingga 40% bila
ibu hamil berada pada stadium laten awal dan 10% pada stadium laten lanjut atau sifilis

13
tersier. Empat puluh persen kehamilan pada wanita dengan sifilis menyebabkan kematian
janin. Secara teoritis, sifilis dapat menular melalui air susu ibu (ASI) dari ibu dengan
sifilis primer atau sekunder walaupun hal ini jarang ditemukan.2
Saat penularan T.pallidum dapat menembus membran mukosa mukosa utuh atau
kulit dengan mikroabrasi. Dalam beberapa jam pertama akan memasuki jaringan limfatik
dan aliran darah yang akan menimbulkan gejala infeksi sistemik dan fokus metastatik
sebelum timbulnya lesi primer. T.pallidum membelah diri setiap 30 hingga 33 jam. Darah
dari penderita dalam masa inkubasi dan sifilis stadium awal sangat menular. Lamanya
masa inkubasi berbanding terbalik dengan jumlah inoculumTreponema. Semakin banyak
jumlah Treponema yang terinokulasi, maka semakin pendek masa inkubasinya. Masa
inkubasi rata-rata berlangsung 3 minggu sejak inokulasi pertama dan jarang berlangsung
sampai lebih dari 6 minggu. 2
Menandai stadium sifilis primer, muncul lesi primer pada tempat inokulasi yang
disebut canchre. Canchre biasanya bertahan dalam waktu 4-6 minggu dan kemudian
sembuh sendiri. Pemeriksaan histopatologis pada Canchre menemukan infiltrasi masif
perivaskular terutama oleh sel limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag.
Ditemukan juga proliferasi endotel kapiler dan obliterasi pembuluh-pembuluh darah
kecil. Gejala-gejala konstitusi dan mukokutan sifilis sekunder muncul antara 6-8 minggu
setelah lesi primer menyembuh. Lima belas persen penderita mengalami sifilis sekunder
pada saat lesi primer masih ada. Tetapi pada beberapa penderita paska lesi primer, sifilis
sekunder tidak ditemukan dan penderita langsung masuk dalam stadium sifilis laten.
Gambaran histopatologis lesi sifilis sekunder meliputi hiperkeratosis epidermis,
proliferasi kapiler disertai dengan pembengkakkan endotel dan infiltrasi perivaskular oleh
limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag. Treponema dapat ditemukan pada
jaringan termasuk cairan serebrospinal dan humor aquespada mata. Invasi Treponema
pada susunan saraf pusat (SSP) terjadi pada minggu pertama infeksi dan kelainan pada
SSP ditemukan pada 40% penderita sifilis sekunder.2
Hepatitis dan glomerulonephritis dapat terjadi pada sifilis sekunder walaupun
jarang. Gangguan fungsi hati ditemukan hingga 25% pada penderita sifilis primer.
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) generalisata terjadi pada 85% penderita sifilis
sekunder. Lesi sifilis sekunder biasanya hilang sendiri dalam 2-6 minggu dan sifilis

14
memasuki stadium laten yang hanya dapat dikenali dengan menggunakan tes serologis.
Stadium laten dapat diselang-seling oleh beberapa episode kekambuhanmukokutan pada
tahun-tahun pertama. Sekitar satu dari tiga penderita sifilis yang tidak diobati dan
melewati masa laten akan memasuki stadium sifilis tersier. Pada stadium akhir ini
manifestasi yang sering ditemukan adalah gumma, sifilis pada sistem kardiovaskular, dan
neorosifilis lanjut. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sifilis tersier hingga saat
ini belum banyak diketahui. Kematian akibat sifilis terutama terjadi sifilis tersier.2
3.1.5 Gejala klinis
Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang kemudian
menjadi papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak nyeri, dasar bersih
dan relatif tidak memiiki pembuluh darah, meskipun kaang dapat multipel. Dapat terjadi
limfadenopati inguinal bilateral. Pada pria, lesi umumnya ditemukan di sulkus koronal
pada glan penis atau batang penis, sedangkan pada wanita lesi ditemukan pada vulva,
dinding vagina, atau pada servik. Lesi ekstragenital jarang terjadi. Apabila tidak diobati,
ulkus akan menghilang secara spontan dalam waktu 3-8 minggu tanpa meninggalkan
bekas luka.10
Pada pasien yang tidak mendapat pengobatan, onset tahap sekunder penyakit
dapat terjadi pada 6 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi awal. Lesi primer mungkin
masih tetap ada ketika lesi sekunder secara klinis terjadi. Bentuk utama dari sifilis
sekunder adalah ruam kulit dapat berbentuk makula, papular atau papulo-skuamosa yang
terlihat pada telapak tangan dan telapak kaki, namun dapat tersebar pada seluruh tubuh.
Ruam bisa disertai dengan limfadenopati generalisata dan demam, sakit kepala, serta
malaise. Pada sifilis sekunder juga dapat ditemukan kondilomata lata. Gejala tersebut
dapat mengalami remisi spontan dan menghilang dalam 2 – 6 miggu.10
Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan,
seluruh manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan dan pasien akan
masuk ke periode laten yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Sifilis laten
dibagi menjadi infeksi laten awal dan laten akhir, dengan garis pembagi yaitu 1 tahun
setelah terjadinya infeksi. Selama tahap laten dari penyakit, tidak ada lesi kulit atau
selaput lendir untuk sampel. Oleh karena itu, diagnosis harus berdasarkan hasil pengujian
serologis dan tidak adanya tanda-tanda dan gejala sifilis tersier.10

15
Gambar 3: Perjalanan Penyakit Sifilis Yang Tidak Diobati

3.1.6 Diagnosis Sifilis


Diagnosis sifilis didasarkan pada evaluasi klinis, deteksi organisme penyebab, dan
konfirmasi dari penyakit dengan pemeriksaan laboratorium. Treponema pallidum tidak
dapat dilakukan kultur di laboratorium, tetapi dapat diidentifikasi pada lesi menggunakan
pemeriksaan lapangan gelap atau mikroskop fluoresensi atau dengan teknik molekuler.
Pada individu yang asimtomatis, dapat dilakukan tes serologi untuk skrining terhadap
infeksi. Serologi masih merupakan metode yang paling reliabel untuk diagnosis
laboratorium sifilis.7
Uji serologis dibagi menjadi tes nontreponemal dan treponemal. Diagnosis
serologi konvensional menggunakan pendekatan dua langkah, yaitu skrining pertama
dengan metode nontreponemal, dan kemudian menggunakan tes konfirmasi yang
menggunakan metode antigen treponema untuk mengkonfirmasi hasil tes skrining positif.
Uji nontreponemal juga dapat digunakan untuk memonitor respon pengobatan.7
Pemeriksaan histologis dapat dilakukan pada individu dengan lesi yang tidak
khas, dimana pemeriksaan ini ditandai dengan ditemukannya infiltrat perivaskuler yang
terdiri dari limfosit dan plasma sel. Selain itu dapat ditemukan endarteritis obliterans dan
endoplebitis, proliferasi endothelial serta penebalan dinding pembuluh darah yang
dikelilingi sel infiltrat. Selanjutnya dapat terjadi obliterasi dan trombosis pembuluh darah
yang menyebabkan nekrosis. Pada sifilis sekunder dapat ditemukan spirochaetes pada

16
sayatan yang diberi pewarnaan Levaditi. Sedangkan pada sifilis tersier yang berbentuk
gumma dapat dijumpai vaskulitis granulomatosa.9
3.1.7 Perubahaan pada Kehamilan
Kehamilan berhubungan dengan adanya perubahan pada anatomi, fisiologis,
biokimia, dan endokrin yang mempengaruhi beberapa organ dan sistem organ. Perubahan
ini sangat penting untuk membantu ibu dalam beradaptasi dengan keadaan hamil serta
untuk membantu pertumbuhan dan kelangsungan hidup janin.12
a. Perubahan pada Hematologi dan Sistem Kardiovaskuler
Selama proses kehamilan, terjadi berbagai perubahan fisiologis pada hematologi
dan sistem kardiovaskuler ibu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
ibu dan janin. Perubahan fisiologis ini berperan dalam memfasilitasi peningkatan suplai
darah yang teroksigenisasi ke jaringan perifer dan janin yang dikandungnya. Berbagai
perubahan tersebut mencakup volume sirkulasi darah (mempengaruhi beban awal),
ketahanan dan resistensi pembuluh darah perifer (mempengaruhi beban akhir), fungsi dan
kontraktilitas miokard, denyut jantung, dan terkadang irama jantung serta sistem
neurohormonal.13
b. Volume Darah
Kehamilan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan volume plasma, sel darah
merah, dan total volume darah. Volume plasma meningkat sebanyak 15% selama
trimester pertama. Pada trimester kedua kehamilan, terjadi akselerasi volume plasma dan
puncaknya terjadi pada sekitar usia kehamilan 32 minggu yang mencapai hingga 50%
lebih tinggi dari volume plasma ibu yang tidak hamil, dan tetap tinggi sampai kehamilam
matur.12,13 Volume plasma akan kembali ke tingkat seperti dalam kondisi tidak hamil
setelah 6 hari pasca persalinan. Seringkali terdapat kenaikan volume plasma yang
mencapai 1 liter volume plasma dalam sirkulasi maternal, 24 jam setelah melahirkan.12

17
Gambar 4 : perubahan volume plasma Selama kehamilan

c. Volume Sel Darah Merah


Volume sel darah merah akan menurun selama 8 minggu pertama kehamilan,
peningkatan kembali seperti saat tidak hamil terjadi pada usia kehamilan 16 minggu dan
kemudian meningkat hingga 30 % lebih tinggi dari saat tidak hamil ketika kehamilan
matur. Peningkatan sel darah merah yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan plasma
menyebabkan terjadinya hemodilusi dan anemia fisiologis kehamilan.12,13
d. Koagulasi dan Fibrinolisis dalam Kehamilan
Faktor VII, VIII, IX, XIII bersama dengan fibrinogen dan fibrin ditemukan
meningkat selama kehamilan. Fibrinogen meningkat dari 2,5 g/l menjadi 4 g/l. Sementara
itu, faktor XI dan III mengalami penurunan. Kondisi perubahan secara keseluruhan
menyebabkan peningkatan koagulabilitis dan membuat kehamilan menjadi kondisi
‘hiperkoagulasi’. 12,13
e. Platelet
Trombositopenia merupakan kondisi yang relatif sering terjadi dalam kehamilan.
Jumlah platelet <150 g/l telah dilaporkan terjadi pada 6% sampai 15% pada ibu hamil and
1% dari ibu hamil memiliki platelet <100 g/l. Pada sebagian besar kasus, penurunan
platelet terjadi semala trimester ketiga.14
f. Jantung
Murmur pada ejeksi sistolik merupakan kondisi yang normal pada ibu hamil. Hal
ini disebabkan karena adanya turbulensi sekunder terhadap peningkatan aliran darah
melalui katup jantung yang normal. Murmur diastolik dapat terdengar sesekali. Curah
jantung dapat meningkat akibat dari peningkatan denyut jantung, penurunan resistensi

18
pembuluh darah sistemik dan peningkatan stroke volume. Denyut jantung meningkat
15% lebih tinggi dari kondisi tidak hamil pada akhir trimester pertama. Denyut jantung
dapat meningkat sampai 25% pada akhir trimester kedua, namun tidak ada perubahan
lebih lanjut pada trimester ketiga. Stroke volume meningkat sekitar 20% pada usia 8
minggu kehamilan dan meningkat hingga 30% pada akhir trimester kedua, dan kemudian
menetap hingga kehamilan matur.12
Pada kehamilan normal, terdapat peningkatan pada volume diastolik akhir pada
ventrikel kiri yang terjadi pada usia kehamilan 10 minggu dan puncaknya terjadi selama
trimester ketiga. Selain itu, dimensi atrium kiri dan kanan serta diastolik ventrikel kanan
juga mengalami peningkatan. Beban awal dipengaruhi oleh posisi maternal, posisi supine
menyebabkan kompresi pada vena cava inferior dan menyebabkan obstruksi dari aliran
balik vena serta penurunan curah jantung.13
g. Perubahan pada Sistem Respirasi
Pada awal trimester pertama kehamilan, terjadi pembengkakan kapiler pada
mukosa hidung, faring, dan laring yang menyebabkan ibu menjadi kesulitan bernapas
menggunakan hidung dan dapat mengalami epistaksis serta perubahan suara. Selama
hamil, ventilasi permenit mengalami peningkatan sekitar 40% yaitu dari 7,5 l/menit
smpai 10,5 l/menit dan konsumsi oksigen meningkat hingga 18% yaitu dari 250 sampai
300 ml/menit. Volume tidal meningkat secara bertahap mulai dari trimester pertama
hingga keamilan matur.12
Pada ibu hamil, diafragma akan naik 4 cm yang menyebabkan tekanan negatif
intratorakal menjadi sedikit, penurunan kapasitas residu fungsional, penurunan volume
cadangan ekspirasi, penurunan volume residu.15

19
Gambar 5 : Perubahan Kapasitas Paru Pada Ibu Hamil
Pada ibu hamil PaCO2 mengalami penurunan pada akhir trimester pertama,
kondisi ini menimbulkan terjadinya alkalosis respiratorik. Alkalosis respiratorik
menyebabkan terjadinya kompensasi metabolic sehingga terjadi penurunan serum
bikarbonat dan kelebihan basa.12
h. Perubahan pada Sistem Renal
Kehamilan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan ukuran ginjal sepanjang 1
cm, dilatasi kaliks renal, pelvis, dan ureter, serta penurunan peritalsis. Pada akhir
trimester pertama, Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) meningkat hingga 50 %, kondisi ini
terjadi setidaknya hingga usia kehamilan 36 minggu. Kreatinin klirens 24 jam meningkat
hingga 25% setelah 4 minggu periode menstrual akhir dan meningkat hingga 45% setelah
9 minggu.12,16 Pada ibu hamil, reabsorpsi tubular terhadap sodium meningkat. Glukosa
dan asam amino mungkin tidak di absorpsi secara efisien, sehingga dapat terjadi
glukosuria (hingga 300mg/hari) dan aminoaciduria pada kehamilan normal.16
i. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Pembesaran uterus menyebabkan pergeseran dan gangguan pada sfingter esofagus
bagian bawah, dan progesteron menyebabkan terjadinya relaksasi esofagus. Hal ini
kemudian mengakibatkan peningkatan kejadian refluks hingga 80% sampai kehamilan

20
matur. Peningkatan tekanan pada gaster akibat kompresi mekanik juga memberikan
kontribusi terhadap kejadian nyeri ulu hati dan refluks.15,16 Tekanan pada sfingter
esofagus bagian bawah akan kembali normal saat 48 jam setelah kelahiran.12
j. Perubahan pada Sistem Endokrin
Kehamilan berhubungan dengan kondisi resistensi insulin. Hal ini serupa dengan
diabetes tipe 2. Pada awal kehamilan, peningkatan estrogen dan progesteron memicu
terjadinya hipertrofi pada sel pankreas dan peningkatan ekstresi insulin dapat
mengganggu metabolisme karbohidrat maternal. Sekresi hormon lain pada ibu hamil
seperti human placental lactogen, prolaktin, kortisol, estrogen dan progesteron dapat
menginduksi resistensi insulin.12
Selain itu, selama kehamilan juga terjadi peningkatan sintesis dari Thyroxin
Binding Globulin (TBG) oleh hati. TBG ini dapat memicu peningkatkan konsentrasi total
serum T3 dan T4. Meskipun demikian tidak terjadi perubahan dalam jumlah hormon
tiroid bebas. Defisiensi yodium dapat terjadi sebagai hasil dari proses ekskresi yang
berlebihan akibat peningkatan GFR dan penurunan absorpsi tubular. Transport aktif dari
yodium menuju fetoplasental unit serta aktivitas fetal tiroid juga menurunkan yodium
maternal.12
Pembesaran yang signifikan pada kelenjar pituitari juga dapat terjadi selama
kehamilan. Pertumbuhan ini terjadi akibat peningkatan jumlah dari prolactin-secreting
cells dengan proporsi lactotroph meningkat dari 1% hingga 40%. Kondisi ini akan
meningkatkan prolaktin hingga 10 sampai 20 kali dari kondisi tidak hamil. Hormon
gonadotropin ditekan oleh tingginya konsentrasi estrogen dan progesterone. Konsentrasi
plasma Corticosteroid Binding Globulin (CBG) juga meningkat selama kehamilan.12
k. Perubahan pada Sistem Integumen
Selama kehamilan kulit mengalami sejumlah perubahan akibat terjadinya
perubahan hormonal. Hiperpigmentasi terjadi pada lebih dari 90% perempuan selama
kehamilan. Hal ini dimulai pada trimester pertama kehamilan. Hiperpigmentasi dapat
terjadi pada puting, areola, perineum, dan vulva. Hiperpigmentasi terjadi akibat
peningkatan hormone estrogen dan progesterone terinfeksi sifilis yang berada pada
stadium laten, tetap berpotensi untuk menularkan infeksi pada fetus.19

21
Gambar 6 : Transmisi Sifilis Dari Ibu Ke Fetus

3.1.8 Manifestasi Klinis Infeksi Sifilis pada Kehamilan


Sifilis pada kehamilan memberikan manifestasi yang sama dengan infeksi sifilis
secara umum, hanya saja mayoritas wanita hamil yang didiagnosis dengan sifilis masih
berada dalam tahap asimptomatis. Adapun gejalanya dapat dibedakan berdasarkan tingkat
sifilis, yaitu:19
a. Primer
Lesi awal sifilis adalah papul yang muncul di area kelamin pada 10-90 hari (rata-
rata 3 minggu) setelah terpapar. Papul berkembang sampai berdiameter 0,5-1,5 cm dan
setelah kira-kira satu minggu terjadi ulserasi yang menghasilkan chancre tipikal dari
sifilis primer (ulkus bulat atau sedikit memanjang, dengan tepi yang mengeras sebanyak
1-2 cm).

Gambar 7: Chancre pada sifilis primer19

22
Ulkus tersebut memiliki dasar yang bersih dengan diameter 1-2 cm, tanpa disertai
rasa nyeri. Selain itu, pada ulkus genital juga ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening inguinal dan seringkali terjadi secara bilateral. Pada sifilis primer, biasanya
ditemukan lesi soliter tetapi lesi multipel juga dapat terjadi. Lesi primer pada area non-
genital dapat terjadi, namun gambarannya dapat berupa lesi atipikal, khususnya pada area
anal. Chancre sifilis primer pada umumnya terjadi di area genital, perineal atau anal.
Walaupun demikian, beberapa bagian tubuh yang lainnya juga dapat terkena.
Kebanyakan chancre ditemukan pada penis (untuk pria), dan labia atau servik (untuk
wanita). Chancre pada wanita ini cenderung tidak mudah terlihat dan tidak nyeri.
Akibatnya, sifilis primer pada wanita tidak mudah terdiagnosis hingga berkembang
menjadi sifilis sekunder. Di lain pihak, chancre dapat sembuh secara spontan dalam 3-6
minggu melalui mekanisme imun tubuh, walaupun tanpa mendapatkan pengobatan.19
b. Sekunder
Dalam beberapa minggu atau bulan, penyakit dapat berkembang disertai beberapa
perubahan seperti demam dengan suhu rendah, malaise, radang tenggorokan, nyeri
kepala, adenopati, dan ruam pada kulit ataupun mukosa. Pada tahap ini terjdi penyebaran
T.Pallidum secara luas melalui sistem hematogen dan limpatik, hal ini dibuktikan melalui
temuan pada darah, kelenjar limfa, biopsi hati, dan cairan serebrospinal. Sekitar 25%
pasien sifilis sekunder memiliki kelainan pada cairan serebrospinal, dengan adanya
peningkatan jumlah sel, protein, dan temuan T.Pallidum.
Temuan awal pada stadium ini berupa ruam berwarna tembaga yang hilang
dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak disadari pasien sehingga terlewatkan
saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul erupsi makulopapular yang simetris
pada daerah badan dan ekstrimitas, termasuk telapak tangan dan kaki. Lesi berwarna
merah kecoklatan, menyebar, dan berdiameter 0,5-2 cm. Biasanya ruam disertai sisik,
walau terkadang halus, folikular, ataupun pada kasus jarang bisa disertai pustula, kecuali
pada bagian telapak tangan dan kaki.
Lesi pada mukosa dapat berupa lesi kecil yang superfisial, ulkus dengan tepi
keabuan yang tidak nyeri (biasanya dianggap sebagai sariawan/apthous ulcer yang tidak
nyeri), ataupun dapat juga berupa sebagai plak keabuan yang lebih besar. Gastritis erosiva
juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus.

23
Kondiloma lata merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk lesi putih atau
keabuan yang besar, meninggi, dan biasa ditemukan di daerah yang hangat dan lembab.
Lesi ini merupakan manifestasi dari sifilis sekunder yang mengalami perubahan kulit
pada area yang hangat dan lembab, seperti aksila dan daerah lipat paha. Saat ini
kondiloma lata seringkali ditemukan di daerah sekitar chancre primer, utamanya daerah
perineum dekat anus, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh penyebaran secara langsung
treponema dari lesi primer. Sifilis sekunder merupakan penyakit sistemik, sehingga
dokter tidak boleh lalai hanya memperhatikan manifestasi dermatologisnya saja.
Sifilis laten merupakan infeksi sifilis yang tanpa gejala klinis, namun hasil tes
serologisnya positif. Selain pemeriksaan serologis, dapat juga dilakukan pemeriksaa
cairan serebrospinal untuk mengeksklusi neurosifilis asimptomatis, walaupun
kebanyakan dokter tidak melakukan pungsi lumbal pada semua pasien dengan
kemungkinan sifilis laten.

Gambar 8: manifestasi kutaneus dan mukosa sifilis sekunder


c. Tersier

Kejadian morbiditas dan mortalitas dari sifilis utamanya diakibatkan oleh manifestasi
dan keterlibatan penyakit pada kulit, tulang, sistem saraf pusat (SSP), ataupun organ viscera,
utamanya jantung dan pembuluh darah besar. Interval waktu dari awal infeksi hingga
manifestasi stadium tersier dari penyakit ini bervariasi dari 1 hingga 20 tahun. Penelitian
pada era sebelum penggunaan antibiotik menyatakan sepertiga kasus infeks sifilis yang tidak
diobati akan berkembang menjadi komplikasi tersier, dimana neurosifilis merupakan
komplikasi tersering. Sifilis tersier secara umum dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan late benign syphilis.

24
Setelah invasi spirocheta pada SSP saat sifilis stadium awal, infeksi yang tidak
diobati dapat sembuh sendiri, atau berkembang menjadi meningitis sifilis asimtomatik,
ataupun berkembang menjadi meningitis sifilis simptomatik. Perkembangan selanjutnya
dapat menuju sifilis meningovaskular (biasanya 5-12 tahun pasca infeksi primer) atau terus
berkembang menjadi paresis (18-25 tahun).
Sifilis meningovaskular dapat melibatkan beberapa bagian pada SSP. Manifestasinya
berupa hemiparesis atau hemiplegia (83% kasus), afasia (31%), and kejang (14%). Sekitar
50% pasien lainnya mengalami gejala umum seperti pusing, nyeri kepala, insomnia,
gangguan memori dan mood selama beberapa minggu hingga bulan, yang diakibatkan
gangguan perfusi.
Late benign syphilis atau gumma merupakan proses inflamasi granulomatosa
proliferatif yang bersifat destruktif pada jaringan. Kebanyakan terjadi pada kulit dan tulang,
dengan frekuensi yang lebih jarang pada mukosa dan viscere seperti otot, dan struktur
okular. Manifestasi pada kulit dapat berupa nodular atau nodul ulseratif dan lesi soliter.

3.1.9 Dampak Infeksi Sifilis Pada Kehamilan


Sifilis primer maupun sekunder yang tidak mendapat penatalaksanaan selama
kehamilan akan 100% berefek pada janin, dimana 50% dari kehamilan dalam kondisi ini
akan menghasilkan kelahiran prematur atau kematian perinatal. Sifilis laten dini pada
kehamilan yang tidak diterapi dapat menyebabkan angka prematuritas atau kematian
perinatal sekitar 40%. Sepuluh persen janin yang lahir dari ibu dengan sifilis lanjut yang
tidak diterapi menunjukkan tanda-tanda infeksi kongenital, dan angka kematian perinatal
meningkat hingga sepuluh kali lipat.Kendati sifilis jarang dapat ditularkan secara seksual
setelah lebih dari dua tahun terinfeksi, wanita dengan sifilis yang tidak diterapi dapat tetap
infeksius terhadap janin yang dikandungnya hingga beberapa tahun lamanya. Sejumlah
penelitian terbaru telah mengkonfirmasi prognosis sifilis pada kehamilan yang tidak
mendapat terapi. Pada 56 kasus yang dilaporkan, hanya 7 di antaranya yang mendapat terapi
selama kehamilan, dimana 34% dari kasus tersebut mengalami stillbirth, dan angka rerata
usia kehamilan saat kelahiran adalah 32.3 minggu. Penelitian lain menunjukkan adanya
insiden kelahiran prematur sebesar 28% pada kelompok wanita penderita sifilis yang
mendapat terapi selama masa kehamilan. Bukti presumtif adanya sifilis kongenital tampak

25
pada 15 (26%) kasus dari 57 wanita yang diterapi (tidak selalu adekuat) yang ditemukan
pada usia kehamilan 24 minggu dan pada 41 (60%) wanita dari 70 wanita yang mendapat
terapi pada trimester ketiga.19
Berdasarkan penelitian meta analisis yang dilakukan terhadap 6 artikel mengenai
adverse pregnancy outcomes pada wanita dengan sifilis, didapatkan kematian janin,
kematian neonatus, kelahiran prematur, serta berat badan lahir rendah merupakan
manifestasi yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sifilis ditemukan pada 15% bayi
yang lahir dari ibu sifilis yang tidak mendapatkan terapi.27

Gambar 9: Kelahiran prematur sebagai salah satu dampk infeksi sifilis pada kehamilan

3.1.10 Dampak Infeksi Sifilis Pada Bayi


Infeksi sifilis pada kehamilan meningkatkan risiko infeksi transplasenta pada
janin sebesar 60-80%. Risiko infeksi tersebut semakin meningkat terutama pada trimester
kedua kehamilan. Transmisi dari ibu ke bayi semakin tinggi pada infeksi sifilis primer atau
sekunder yang tidak mendapatkan terapi (risiko sebesar 60-90%), pada sifilis laten dini
risiko penularan mencapai 40% dan 10% pada sifilis laten lanjut. Sebanyak 2/3 kehamilan
dengan sifilis memberikan gejala asimtomatis saat bayi lahir, namun infeksi tetap ada dan
dapat bermanifestasi segera setelah lahir ataupun bertahun-tahun paska kelahiran. Adapun
manifestasinya dapat diklasifikasikan menjadi sifilis kongenital dini dan sifilis kongenital
lanjut. Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh namun meninggalkan jaringan
parut dan beberapa kelainan, disebut juga stigmata sifilis kongenital.28,29
a. Sifilis Kongenital Dini
Pada stadium ini, gejala klinis muncul pada 3 bulan awal kehidupan hingga
sebelum usia 2 tahun. Adapun gejala yang muncul dapat berupa hepatosplenomegali
(70%), lesi kulit (70%), demam (40%), neurosifilis (20%), pneumonitis (20%), serta

26
limpadenopati menyeluruh. Lesi kulit dapat ditandai dengan adanya vesikel, bula atau
ruam kulit berwarna merah tembaga atau lesi ptekie pada telapak tangan, telapak kaki,
sekitar hidung dan mulut, serta area popok. Dapat terjadi gangguan pertumbuhan, lesi pada
selaput lendir hidung dan faring yang bersekresi disertai darah, meningitis, osteokondritis
pada tulang panjang hinga mengakibatkan pseudoparalisis.25,28,29

Gambar 10 : Manifestasi sifilis kongenital dini


b. Sifilis Kongenital Lanjut
Pada stadium ini, manifestasi klinis muncul setelah usia 2 tahun, meski dapat pula
asimtomatis. Titer serologis sering berfluktuasi. Adapun gejala klinisnya dapat berupa
keratitis interstitialis, gigi Hutchinson, gigi mulberry, gangguan syaraf pusat VIII yang
mengakibatkan ketulian, Neurosifilis, skeloris pada tulang hingga tulang kering
menyerupai pedang (saber sign), perforasi palatum durum dan septum nasi akibat
destruksi dari gumma, tulang frontal yang menonjol, fisura di sekitar rongga mulut dan
hidung disertai ragade (sifilis rinitis infantil).28,29

Gambar 11 : Manifestasi sifilis kongenital lanjut


Dari kiri : gigi Mullbery, gigi Hutchinson’s, saber shins

27
3.1.11 Skrining Sifilis pada Kehamilan
Skrining sifilis pada kehamilan merupakan aspek penting yang harus dilakukan
selama masa kehamilan. Deteksi dini yang memadai pada masa kehamilan, berperen
secara efektif dalam mengobati dan mencegah transmisi sifilis. Skrining sifilis pada
kehamilan mencakup:23
a. Semua wanita hamil harus diskrining sifilis pada kunjungan pertama pelayanan
antenatal.
b. Wanita yang berisiko tinggi mengalami sifilis dan wanita yang tinggal di daerah
dengan morbiditas sifilis yang tinggi harus melakukan pemeriksaan ulang antara
minggu ke-28 dan 32 kehamilan serta saat melahirkan.
c. Pada ibu yang tidak mendapatkan pemeriksaan adekuat selama masa kehamilan,
pemeriksaan Rapid Plasma Reagin (RPR) harus dilakukan pada saat melahirkan.
d. Setiap ibu dan bayi yang tidak memiliki status sifilis maternal terdokumentasi, tidak
dapat meninggalkan rumah sakit tanpa dilakukannya skrining.
e. Setiap ibu yang mengalami kematian janin setelah usia 20 minggu kehamilan harus
dilakukan pemeriksaan sifilis.
f. Ibu hamil yang seropositif harus mendapatkan terapi, kecuali mereka memiliki
dokumentasi pengobatan yang adekuat dengan respon serologis yang tepat sesuai
dengan pengobatan dan titers dinyatakan rendah serta stabil.
g. Ibu paska terapi sifilis, apabila memiliki respon yang baik terhadap pengobatan dan
memiliki titer serofast rendah (Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) < 1:
2 dan RPR < 1:4), tidak memerlukan terapi ulang.
h. Wanita dengan titer antibodi yang persisten dan lebih tinggi dapat mengindikasikan
terjadinya infeksi ulang.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 2015, rekomendasi
skrining sifilis pada ibu hamil meliputi:24
a. Skrining dilakuan pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama prenatal.

b. Jika ibu hamil memiliki risiko tinggi, maka tes ulang secara dini dilakukan pada
trimester ketiga kehamilan dan pada saat persalinan.

28
3.1.12 Diagnosis Sifilis pada Kehamilan
Metode paling spesifik dan sensitif dalam mendiagnosis sifilis primer ialah
dengan menemukan treponema dari sediaan cairan yang diambil dari permukaan chancre
yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop lapangan gelap. Ruam sifilis primer
dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis, kemudian tekan bagian dalam/dasar lesi
hingga didapatkan serum. Serum diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap, dengan
menggunakan minyak emersi. Treponema pallidum berbentuk ramping, bergerak lambat
dan berangulasi. Hasil yang baik dapat diperoleh selama tidak ada riwayat terapi atibiotik
ataupun penggunaan obat topikal di daerah pengambilan spesimen sebelumnya. Bahan
apusan juga dapat diperiksa menggunakan mikroskop fluoresensi, dimana bahan apusan
dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, diberi fluoresen. Namun hasilnya
tidak sebaik mikroskop lapangan gelap dan tidak spesifik.
Beberapa pemeriksaan antibodi non spesifik yang dapat dilakukan :
1. Tes Non-treponemal (RPR, VDRL)
Kedua tes RPR dan VDRL dapat mendeteksi antibodi terhadap kardiolipin, yang
merupakan komponen membran sel dari T.pallidum. Hasil tes yang positif perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan treponema. Tes non-treponemal berfungsi untuk
menentukan aktifitas penyakit dan respon terhadap terapi. Contohnya peningkatan empat
kali lipat dari titer dari hasil sebelumnya (1:2 menjadi 1:8) mengindikasikan re-infeksi;
penurunan titer empat kali lipat pasca pengobatan (1:32 menjadi 1:8) mengindikasikan
respon yang baik terhadap pengobatan.
2. Tes Treponemal (TPHA, Elisa, FTA-Abs)
Hasil tes yang reaktif akan tetap reaktif seumur hidup bahkan sesudah diterapi
secara tepat. Hasil ini mengindikasikan adanya paparan infeksi sifilis dan tidak menjadi
indikator aktifitas penyakit.

29
30
Gambar 13: algoritma diagnosis dan pengobatan sifilis pada kehamilan

31
3.1.13 Penatalaksanaan Sifilis pada Kehamilan
Penisilin merupakan terapi baku emas untuk infeksi sifilis pada ibu hamil. Hingga
saat ini belum ditemukan adanya strain T. pallidum yang resisten terhadap penisilin
secara signifikan. Tujuan terapi penisilin pada ibu hamil adalah untuk menangani
penyakit ibu, mencegah transmisi pada janin dan menangani penyakit sifilis yang telah
terjadi pada janin. Penanganan sifilis pada ibu hamil mengikuti regimen yang sesuai
dengan stadium penyakitnya (tabel 3).23,26
Tabel 3. Terapi Sifilis pada Kehamilan.23,26
Stadium sifilis Penanganan
Primer/sekunder/laten awal Benzatin penisilin G 2,4 juta unit IM dosis
tunggal
Laten akhir/tersier/durasi tidak Benzatin penisilin G 7,2 juta unit,
diketahui diadministrasikan dalam tiga dosis 2,4 juta
unit IM dalam interval 1 minggu
Neurosifilis Aqueous crystalline penisilin G, 18 hingga
24 juta unit perhari, diadministrasikan
dalam 3 – 4 juta unit IV setiap 4 jam atau
sebagai infus kontinius selama 10-14 hari
Atau
Procaine penisilin G, 2.4 juta unit IM
1x/hari ditambah probenecid 500 mg PO
4x/hari selama 10-14 hari

Beberapa kepustakaan merekomendasikan dosis kedua benzatin penisilin


diberikan setelah satu minggu setelah dosis awal untuk memperbaiki kemungkinan
respon serologis.26
Alergi penisilin dilaporkan pada 5 hingga 10 persen wanita hamil. Pada ibu hamil
dengan alergi penisilin, pengunaan antibiotika lain tidak direkomendasikan. Pasien
perempuan yang tidak hamil dengan riwayat alergi penisilin dapat diterapi dengan
antibiotika lain, namun pada ibu hamil regimen lain tidak efektif. Antibiotika golongan
eritromisin dan azitromisin tidak ditemukan efektif, tetrasiklin dikontraindikasikan pada
ibu hamil, sementara pengunaan ceftriaxone belum diketahui secara pasti karena
kurangnya data mengenai efikasi.26
Terapi yang direkomendasikan pada ibu hamil dengan alergi penisilin adalah
desensitisasi penisilin. Desensitisasi penisilin merupakan prosedur dimana pasien
dipaparkan penisilin dengan dosis bertahap hingga mencapai dosis efektif. Setelah itu

32
pasien diberikan terapi penisilin yang sesuai. Prosedur desensitisasi harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang terlatih dengan ketersediaan alat untuk menangani reaksi
anafilatik. Desensitisasi oral umumnya lebih sederhana dan aman.26
Terapi siflilis pada ibu hamil dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer. Reaksi ini
merupakan reaksi febril akut yang disertai dengan nyeri kepala, mialgia, bercak dan
hipotensi. Gejala-gejala ini diperkirakan terjadi akibat pelepasan liposakarida treponema
dari spirosit yang mati. Umumnya reaksi mulai muncul satu hingga dua jam setelah
terapi, mencapai puncak pada delapan jam dan berkurang dalam 24 hingga 48 jam.
Reaksi ini dapat memicu kontraksi uterus, kelahiran pre-term, dan gangguan irama
jantung fetus. Namun resiko terjadinya reaksi Jarisch-Herxheimer bukan merupakan
kontraindikasi pemberian penisilin pada ibu hamil. Reaksi Jarisch-Herxheimer ditangani
secara suportif.26
Evaluasi titer serologis antibodi nontreponemal harus dilakukan dalam 1, 3, 6, 12,
dan 24 bulan setelah terapi. Jika terapi efektif, maka dapat diharapkan titer berkurang 4-6
kali dalam 6 bulan pasca terapi dan menjadi non reaktif dalam 12 hingga 24 bulan. Titer
yang meningkat hingga 4x atau tidak berkurang menunjukan kegagalan terapi atau
reinfeksi.26
3.1.14 Pencegahan Transmisi Infeksi Sifilis dari Ibu ke Bayi
Sifilis kongenital sebagai satu manifestasi transmisi infeksi sifilis dari ibu ke bayi,
terjadi akibat kurang adekuatnya skrining terhadap infeksi menular seksual pada masa
kehamilan. Hal tersebut mengakibatkan penanganan infeksi sejak dini tidak dapat
dilakukan.27
Pencanangan program penatalaksanaan prenatal pada semua wanita hamil tetap
menjadi dasar program pencegahan sifilis transmisi sifilis dari ibu ke bayi. World Health
Organization telah mencanangkan Global Strategic Plan untuk mengeliminasi sifilis
kongenital, yang terdiri dari 4 pilar, yaitu a) memastikan komitmen politik yang
berkelanjutan dan advokasi; b) meningkatkan akses, kualitas serta pelayanan kesehatan
maternal dan bayi baru lahir; c) melakukan skrining dan pengobatan pada wanita hamil
dan pasangannya; seta d) membangun pengawasan, pemantauan dan system evaluasi.
Selain itu, WHO bersama-sama dengan Program for Appropriate Technology and Health
(PAHO) menginisisasi dual testing project untuk mengeliminasi sifilis kongenital.

33
Metode pada program tersebut adalah dengan melakukan tes untuk menemukan
T.pallidum dan HIV secara bersamaan, dengan sampel dan peralatan yang sama, sehingga
seluruh wanita hamil akan mendapatkan tes skrining untuk HIV dan sifilis secara
bersamaan. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa skrining sejak awal
kehamilan merupakan poin yang penting untuk mencegah transmisi sifilis dari ibu ke
bayi.28,29

3. 2. HEPATITIS B
3.2.1 Sejarah
Virus Hepatitis B pertama kali ditemukan pada tahun 1965 oleh DR. Blumberg
ketika sedang mempelajari tentang Hemophilia. VHB merupakan Double Stranded DNA
a42nm dari kelas Hepadnaviridae. Permukaan paling luar dari membrannya mengandung
antigen yang disebut yang disebut HBsAg yang bersirkulasi dalam darah sebagai partikel
spheris dan tubuler dengan ukuran 22 nm. Inti paling dalam dari virung mengandung
HBcAg. VHB (partikel dane), antigen inti (HBcAg), dan antigen permukaan (HBsAg)
serta semua jenis antibody yang bersesuaian dapat dideteksi melalui berbagai cara
pemeriksaan.31,33
3.2.2 Penularan dan Gejala Klinik
Masa inkubasi infeksi hepatitis B adalah 45-180 hari (rata-rata 60-90 hari). Onset
penyakit ini sering tersembunyi dengan gejala klinik yang tergantung usia penderita.
Kasus yang fatal dilaporkan di USA sebesar 0,5-1 %. Sebagian infeksi akut VHB pada
orang dewasa menghasilkan penyembuhan yang sempurna dengan pengeluaran HBsAg
dari darah dan produksi anti HBs yang dapat memberikan imunitas untuk infeksi
berikutnya.31,33
Diperkirakan 2-10 % infeksi VHB menjadi kronis dan sering bersifat
asimptomatik dimana 15-25 % meninggal sebelum munculnya sirosis hepatis atau kanker
hati. Gejala akut dapat berupa mual, muntah, nafsu makan menurun, demam, nyeri perut
dan ikterik.31,33
Dibawah ini grafik gambaran serologic infeksi akut VHB.

34
Gambar 12: kurva serologic infeksi akut VHB
Konsentrasi VHB dalam berbagai cairan tubuh dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu :
 Konsentrasi tinggi (darah, serum, eksudat luka )
 Sedang (semen, cairan vagina, saliva)
 Rendah (urin, feses, keringat, air mata, susu)

VHB 100 kali lebih infeksius daripada HIV dan paling sering mengenai usia 15-39
tahun. Penularan VHB dapat melalui kontak seksual (± 25 %), parenteral seperti jarum
suntik, dan penularan perinatal melalui kontak darah ibu penderita kronis dengan membrane
mucus janin.31,33 Secara umum penularan VHB melalui jalur sebagai berikut :
 Kontak seksual yang tidak aman baik pervaginal ataupun anal dengan penderita dengan
HBsAg positif.
 Melalui oral seks dengan penderita HBsAg positif yaitu melalui saliva yang sama
infeksiusnya dengan cairan alat genital.
 Kontak darah dengan penderita HBsAg positif seperti : jarum suntik, transfuse dara dan
lain sebagainya.

35
 Transmisi ibu – anak baik selama kehamilan, saat persalinan maupun waktu menyusui.
Transmisi dapat diturunkan dengan memberikan vaksinasi, dimana bayi yang dilahirkan
dari ibu yang infeksius diberikan immunoglobulin dalam 24 jam pertama sebelum
disusui. Hanya bayi yang dapat vaksinasi yang boleh disusui oleh ibu yang
infeksius.31,33

3.2.3 Pengaruh Terhadap Kehamilan dan Bayi


Dilaporkan 10-20% ibu hamil dengan HBsAg positif yang tidak mendapatkan
imunoprofilaksis menularkan virus pada neonatusnya dan ± 90% wanita hamil dengan
seropositive untuk HBsAg dan HBeAgmenularkan virus secara vertical kepada janinnya
dengan insiden ± 10% pada trimester I dan 80-90% pada trimester III. Adapun factor
predisposisi terjadinya transmisi vertical adalah32 :
1. Titer DNA VHB yang tinggi
2. Terjadinya infeksi akut pada trimester III
3. Pada partus memanjang yaitu lebih dari 9 jam

Sedangkan ± 90 % janin yang terinfeksi akan menjadi kronis dan mempunyai


resiko kematian akibat sirosis atau kanker hati sebesar 15-25 % pada usia dewasanya nanti.
Infeksi VHB tidak menunjukkan efek teratogenik tapi mengakibatkan insident Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) dan Prematuritas yang lebih tinggi diantara ibu hamil yang terkena
infeksi akut selama kehamilan. Dalam satu studi pada infeksi hepatitis akut pada ibu hamil
(tipe B atau non B) menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap kejadian malformasi
kongenital, lahir mati atau stillbirth, abortus, ataupun malnutrisi intrauterine. Pada wanita
dengan karier VHB tidak akan mempengaruhi janinnya, tapi bayi dapat terinfeksi pada saat
persalinan (baik pervaginam maupun perabdominan) atau melalui ASI atau kontak dengan
karier pada tahun pertama dan kedua kehidupannya. Pada bayi yang tidak divaksinasi
dengan ibu karier mempunyai kesempatan 40% terinfeksi VHB selama 18 bulan pertama
kehidupannya dan sampai 40% menjadi karier jangka panjang dengan resiko sirosis dan
kanker hepar dikemudian harinya.32
VHB dapat melalui ASI sehingga wanita yangkarier dianjurkan mendapatkan
immunoglobulin hepatitis B sebelum ayinya disusui. Penelitian yang dilakukan Hill JB,dkk
di USA mengenai resiko resiko transmisi VHB melalui ASI pada ibu penderita kronis

36
karier menghasilkan kesimpulan dengan imunoprofilaksis yang tepat termasuk Ig hepatitis
B dengan vaksin VHB akan menurunkan resiko penularan. Sedangkan penelitian WangJS,
dkk mengenai resiko dan kegagalan imunprofilaksis pada wanita karier yangmenyusui
bayonya menghasilkan kesimpulan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara ASI
dengan susu botol. Hal ini mengindikasikan bahwa ASI tidak mempunyai pengaruh
negative dalam merespon anti HBs. Sedangkan transmisi VHB dari bayi selama perawatan
sangat rendah.34
Ibu hamil yang karier VHB dianjurkan untuk memberikan bayinya
Immunoglobulin Hepatitis B (HBIg) sesegera mungkin setelah lahir dalam waktu 12 jam
sebelum disusui untuk pertama kalinyadan sebaiknya vaksinasi VHB diberikan dalam 7
hari setelah lahir. Immunoglobulin merupakan produk darah yang diambil dari darah donor
yang memberikan imunitas sementara terhadap VHB sampai vaksinasi VHB memberikan
efek. Vaksin hepatitis B kedua diberikan sekitar 1 bulan kemudian dan vaksinasi ketiga
setelah 6 bulan dari vaksinasi pertama. Penelitian yang dilakukan Lee SD, dkk mengenai
peranan seksio sesarea dalam mencegah transmisi VHB dari ibu kejanin menghasilkan
kesimpulan bahwa SC yang dikombinasikan dengan imunisasi Hepatitis B dianjurkan pada
bayi yang ibunya penderita kronis karier HbsAg dengan level DNA – VHB serum yang
tinggi.35
Tes hepatitis B terhadap HBsAg dianjurkan pada semua wanita hamil pada saat
kunjungan antenatal pertama atau pada wanita yang akan melahirkan tapi belum pernah
diperiksa HBsAg-nya. Lebih dari 90% wanita ditemukan HBsAg positif pada skreening
rutin yang menjadi karier VHB. Tetapi pemeriksaan rutin wanita hamil tua untuk screening
tidak dianjurkan kecuali pada kasus – kasus tertentu seperti pernah menderita hepatitis
akut, riwayat tereksposure dengan hepatitis, atau mempunyai kebiasaan yang beresiko
tinggi untuk tertular seperti penyalahgunaan obat-obatan parenteral selama hamil, maka
test HBsAg dapat dilakukan pada trimester III kehamilan. HBsAg positif tanpa IgM anti
HBc menunjukkan infeksi kronis sehingga bayinya harus mendapat HBIg dan vahsin
VHB.31
3.2.4. Pencegahan
Pencegahan penularan VHB dapat dilakukan dengan melakukan aktifitas seksual
yang aman, tidak menggunakan bersama obat-obatan yang mempergunakan jarum suntik,

37
siringe, filter, spons, air dan tourniquite, dsb. Tidak memakai bersama alat-alat yang bisa
terkontaminasi darah seperti sikat gigi, gunting kuku, dsb. Memakai pengaman waktu kerja
kontak dengan darah, dan melakukan vaksinasi untuk mencegah penularan. 31,33
Profilaksis pada wanita hamil yang tereksposure dan rentan terinfeksi adalah
sebagai berikut 33:
1. Ketika kontak seksual dengan penderita hepatitis Bterjadi dalam 14 hari.
 Berikan vaksin VHB kedalam musculus deltoideus. Tersedia 2 monovalen vaksin
VHB untuk imunisasi pre-post eksposure yaitu recombivax HB dan Engerix-B.
dosis HBIg yang diberikan 0,06 ml/kgBB IM pada lengan kontralateral.
 Untuk profilaksis stetlah tereksposure melalui perkutan atau luka mukosa,dosis
kedua HBIg dapat diberikan 1 bulan kemudian.
2. Ketika tereksposure dengan penderita kronis VHB
Pada kontak seksual, jarum suntik dan kontak nonseksual dalam rumah degan
penderita kronis VHB dapat diberikan profilaksis post eksposure dengan vaksin
Hepatitis B dengan dosis tunggal.
Wanita hamil dengan karier VHB dianjurkan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
 Tidak mengkonsumsi alcohol dan obat-obatan hepatotoksik seperti asetaminophen
 Jangan mendonorkan darah, organ tubuh, jaringan tubuh lain atau semen
 Tidak memakai bersama alat-alat yang dapat terkontaminasi darah seperti sikat
gigi, dls.
 Memberikan informasi kepada ahli anak, kebidanandan laboratorium bahwa
dirinya penderita Hepatitis B karier.
 Pastikan bayinya mendapatkan HBIg sejak lahir, vaksin Hepatitis B dalam 1
minggu setelah lahir, 1 bulan dan 6 bulan kemudian.
 Konsul teratur kedokter
 Periksa fungsi hati

Rekomendasi dari SOGC (The Society Obstetric and Gynecologic Of


Canada)mengenai amniosintesis sebagai berikut33 :

38
 Resiko infeksi VHB pada bayi melalui amniosintesis adalah rendah. Pengetahuan
tentang status antigenHBc pada ibu sangat berharga dalam konseling tentang
resiko penularan melalui amniosintesis.
 Untuk wanita yang terinfeksi dengan VHB, VHC dan HIV yang memerlukan
amniosintesis diusahakan setiap langkah-langkahyang dilakukan jangan sampai
jarumnya mengenai plasenta.

Pilihan Persalinan
Pilihan persalinan dengan seksio sesaria telah diusulkan dalam menurunkan
resiko transmisi VHB dari ibu kejanin. Walaupun dari penelitian para ahli cara persalinan
tidak menunjukkan pengaruh yang bermaknadalam transmisi VHB dari ibu ke jani yang
mendapatkan imunoprofilaksis. ACOG tidak merekomendaikan SC untuk menurunkan
transmisi VHB dari ibu ke janin. Pada persalinan ibu hamil dengan titer VHB tinggi (>3,5
pg/ml atau HBeAg positif ) lebih baik SC sebagai pilihan persalinan.33

3.2.5 Terapi
Terapi infeksi akut VHB adalah supportif. Terdapat 4 jenis obat dalam mengobati
hepatitis B kronik yaitu interferon (IFN), Pegylated interferon, lamivudine (3TC) dan
adefovir. Obat-obatan ini efektif pada 40-45% pasien. Jika infeksi terjadi dalam fase inisial
dapat diberikan immunoglobulin Hepatitis B sebagai profilaksispost eksposure. Interferon
tidak diketahui mempunyai efeksamping terhadap embrio atau fetus. Data yang ada sangat
terbatas tapi penggunaan interferon dalam kehamlan mempunyai resiko yang lebih berat.
Tidak ada data yang mendukung fakta efek teratogenik lamivudine. Lamivudine
telah digunakan pada kehamilan lanjut sebagai usaha mencegah transmisi perinatal VHB.33

39
BAB IV
PEMBAHASAN

Sifilis merupakan salah satu penyakit Sexually Transmitted Diseases (STDs) yang
dapat menginfeksi ibu hamil. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Treponema Pallidum.
Sifilis pada kehamilan diperoleh melalui kontak seksual. Penularan melalui kontak seksual
membutuhkan paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit pada sifilis primer atau
sekunder. Transmisi treponema pada ibu hamil telah didokumentasikan secara dini pada
minggu kesembilan kehamilan, maka dari itu perlu adanya skrining semua wanita hamil
pada kunjungan pertama antenatal.
Secara klinis sifilis pada kehamilan bermanifestasi sesuai dengan stadium klinis.
Pada sifilis primer dicirikan dengan papul yang berulserasi menjadi chancre klasik. Sifilis
sekunder dicirikan dengan makulopapular kemerahan pada kulit pada telapak tangan, kaki,
dan membran mukosa dengan menyisakan wajah. Pembentukan gumma, gejala
kardiovaskular, dan neurosifilis umumnya merupakan manifestasi sifilis tersier. Diagnosis
sifilis dapat ditegakan dengan mikroskop lapang gelap, tes antibodi treponemal (TPHA,
FTA-ABS), dan tes antibodi non treponemal (VDRL, RPR). Sesuai dengan data yang
didapat anamnesis yang dilakukan pada pasien dan didapatkan keluhan berupa keputihan
yang berwarna kuning, awalnya sedikit dan lama kelamaan semakin banyak sejak 1 bulan
yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluhkan munculnya benjolan yang tidak nyeri dan
pasien ini tergolong dalam stadium sifilis primer. Diagnosis sifilis ditegarkan berdasarkan
hasil laboratorium tes serologi TPHA (+) pada saat pemeriksaan skrining dirumah sakit.
Terapi yang diberikan pada pasien berupa Benzatin penisilin 1,2 juta IU yang
diberikan melalui injeksi di bokong kanan dan kiri. Sesuai dengan teori Penisilin
merupakan baku emas terapi sifilis ibu hamil hingga saat ini. Regimen penisilin
disesuaikan dengan stadium infeksi ibu. Pada pasien dengan alergi penisilin sebaiknya
dilakukan desensitasi karena pengunaan antibiotik lain belum menunjukan efikasi yang
baik. Terapi siflilis pada ibu hamil dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer, namun bukan
merupakan kontraindikasi pemberian penisilin pada ibu hamil. Evaluasi titer serologis
antibodi nontreponemal harus dilakukan dalam 1, 3, 6, 12, dan 24 bulan setelah terapi.

40
Transmisi infeksi sifilis dari ibu ke bayi dapat dicegah dengan program skrining sifilis
sejak dini pada awal kehamilan.
Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium pada pasien didapatkan hasil
serologi HBsAg (+) yang menandakan jika pasien terinfeksi virus hepatitis B. VHB
merupakan double stranded DNA a42nm dari kelas Hepadnaviridae. Permukaan paling
luar dari membrannya mengandung antigen yang disebut yang disebut HBsAg yang
bersirkulasi dalam darah sebagai partikel spheris dan tubuler dengan ukuran 22 nm. Inti
paling dalam dari virung mengandung HBcAg. VHB (partikel dane), antigen inti (HBcAg),
dan antigen permukaan (HBsAg) serta semua jenis antibody yang bersesuaian dapat
dideteksi melalui berbagai cara pemeriksaan.
Diperkirakan 2-10 % infeksi VHB menjadi kronis dan sering bersifat
asimptomatik dimana 15-25 % meninggal sebelum munculnya sirosis hepatis atau kanker
hati. Gejala akut dapat berupa mual, muntah, nafsu makan menurun, demam, nyeri perut
dan ikterik. Sesuai dengan keluhan pasien yang didapat ari anamneis pasien sering
mengeluhkan nyeri ulu hati dan merasakan mual muntah, nafsu makan yang menurun.

41
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Santis, M.D., Luca, C.D., Mappa, I., Spagnuolo, T., Licameli, A., Straface, G., &
Scambia1, G. Syphilis infection during pregnancy: Fetal risks and clinical
management. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology. 2012.
doi:10.1155/2012/430585

2. Casal, C., Araujo, E. C., & Corvelo, T.C.O. Risk factors and pregnancy outcomes in
women with syphilis diagnosed using a molecular approach. Sex Transm Infect.
2013;89:257–261.

3. Newman, L., Kamb, M., Hawkes, S., Gomez, G., Say, L., Seuc, A., & Broutet, N.
Global estimates of syphilis in pregnancy and associated adverse outcomes: Analysis
of multinational antenatal surveillance data. PLoS Med. 2013;10(2):e1001396.

4. Hawkes, S. J., Gomez, G.B., & Broutet, N. Early antenatal care: does it make a
difference to outcomes of pregnancy associated with syphilis? A systematic review
and meta-analysis. PLOS ONE. 2013;8(2): e56713.

5. Hawkes S, Matin N, Broutet N, Low N. Effectiveness of interventions to improve


screening for syphilis in pregnancy: a systematic review and metaanalysis. Lancet
Infect Dis. 2011;11: 684–691.

6. World Health Organization. Over a million pregnant women infected with syphilis
worldwide. 2012. Retrieved from:
http://www.who.int/reproductivehealth/topics/rtis/syphilis/pregnancy/en/

7. Sato, N. S. Syphilis – recognition, description and diagnosis. Croatla: InTech. 2011.

8. Braccio, S., Sharland, M., & Ladhani, S. N. Prevention and treatment of mother-to-
child transmission of syphilis. Paediatric and Neonatal Infections. 2016;23:3. p268-
274.

9. Cohen, S. E., Klausner, J. D., Engelman, J., & Philip, S. Syphilis in the modern era:
An update for physicians. Infect Dis Clin N Am. 2013:27:705–722

42
10. Ballard R, Hook EW. Syphilis In: Unemo M, Ballard R, Ison C, Lewis D, Ndowa F,
Peeling R. Laboratory diagnosis of sexually transmitted infections, including human
immunodeficiency virus. World Health Organization. Switzerland:Geneva.
2013.p107-130

11. Workowski KA, Bolan GA. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines.
Centers for Disease Control and Prevention Recommendation and Reports. 2015; 64:
3.p34-9

12. Yanamandra N Chand, Raharan E. Anatomical and physiological changes in


pregnancy and their implications in clinical practice. Cambridge University Press.
2012.p1-8

13. Bartling, S. J., & Zito, P. M. Dermatologic changes in pregnancy. International


Journal of Childbirth Education. 2016; 31.p38-40

14. Valera M, Parant O, Vayssiere C, Arnal J, Payrastre B. Physiologic and pathologic


changes of platelets in pregnancy. Platelets. 2010;21:8.p587-595.

15. Pillay PS, Catherine NP, Tolppanen H, Mebazaa A.Physiologic Changes in Pregnancy.
Cardiovascular Journal of Africa. 2016 Mar-Apr; 27(2): 89–94

16. Datta, S. Maternal Physiological Changes during Pregnancy, Labor, and the
Postpartum Period in Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetric Anesthesia Handbook.
4th Eds. Nottingham University Hospital. 2010. P1-14

17. Bartling, S. J., & Zito, P. M. (2016). Dermatologic changes in pregnancy.


International Journal of Childbirth Education. 2016;31:38-40

18. Geraghty, L. N., & Pomeranz, M. K. Physiologic changes and dermatoses of


pregnancy. International Journal of Dermatology. 2011;50:7.p771-782

19. Hitti J, Watts DH. Bacterial Sexually Transmitted Infections in Pregnancy In: Holmes,
K.K, Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S.,
Watts, D.H, eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th Ed. New York: McGraw-Hill.
2008.p.1542-55

43
20. Berman, S.M. (2004). Maternal syphilis: Pathophysiology and treatment. Bulletin of
the World Health Organization. 2004;82:6

21. Fraser CM, Norris SJ, Weinstock GM, White O, Sutton GG, Dodson R, et al.
Complete genome sequence of Treponema pallidum, the syphilis spirochete. Science.
1998;281:375-88.

22. Radolff JD, Steiner B, Shevchenko D. Treponema pallidum: doing a remarkable job
with what it's got. Trends in Microbiology.1999;7:7-9.

23. Centers for Disease Control and Prevention. Syphilis in Pregnancy in Sexually
Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015. MMWR Recomm Rep
2015;64(No. RR-3): 43-4

24. Centers for Disease Control and Prevention. Screening Recommendations Referenced
in in Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015. MMWR Recomm
Rep 2015;64(No. RR-3): 45-7

25. Women and Newborn Health Service. Infections in Pregnancy: Syphillis in Pregnancy
and The Newborn, Diagnosis and Treatment. 2015.p1-8

26. Norwitz E., Lockwood C., Bartlett J., Barss V. Syphilis in Pregnancy. Uptodate Mar
2016. Available from: http://www.uptodate.com/contents/syphilis-in-pregnancy#H1
Last update: Nov 23, 2016

27. Gomez GB, Kamb ML, Newman LM, Mark J, Broutet N, Hawkes SJ. Untreated
Maternal Syphilis and Adverse Outcomes of Pregnancy: A Systematic Review and
Meta-Analysis. Bull World Health Organ. 2013;91:217-26

28. Moline HR, Smith JF. The Continuing Threat of Syphilis in Pregnancy. Current
Opinion Obstetric and Gynocology. 2016;28:101-4

29. Braccio S, Sharland M, Landhani SN. Prevention and Treatment of Mother-to-Child


Transmission of Syphilis. Current Opinion Infectious Disease. 2016;29:268-74

30. Herberts C, Melgert B, Laan JWV, Faas M. New Adjuvanted Vaccines in Pregnancy:
What is Known About Their Safety? Expert Review of Vaccines. 2010;9(12):1411-22

44
31. National centre for infectious disease. Hepatitis A virus. Division of viral hepatitis.
Last update July 9, 2003. Diaskes dari http://www.CDC.com

32. MMWR. Apendix. Hepatitis A dan B vaccines. January 24, 2003;34-36. Diaskes dari
http://www.MMWRq@CDC.gov

33. Perinatology. Infection During Pregnancy. Diaskes dari http://www.perinatology.com

34. Birth net Australia 2. Hepatitis During Pregnancy:2004. Diaskes dari


http://www.Birth.com.au

35. Wang JS, hu QR, Wang XH. Beast Feeding Does not Pose Any Additional Risk of
Imunoprophylaxis Failure on infants of HBV Carriers Mothers. Int J Clin Pract.2003
March;57(2):100-2. Diaskes dari http://www. Pub.Med.gov

36. Cunningham FG, Gant NF, leveno KJ, Gilstrap LC.Gastrointestinal disorder. Viral
hepatitis. Williams obstetric. 23nd Ed. Mc Graw Hill Publishing Division New
York,2010.

37. Dechemey AH, Pemoll ML. General Medical Disorder during Pregnancy. Viral
hepatitis. Current obstetric and gynecologic diagnosis and treatment. 10th ed.
USA.2007;479-480.

38. Putu Surya IG. Infeksi virus Hepatitis pada kehamilan ilmu kedokteran fetomaternal.
Ed perdana. Himpunan kedokteran fetomaternal POGI.2004.

45

Anda mungkin juga menyukai