Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pecahnya selaput ketuban merupakan bagian integral dari proses kelahiran


normal dan abnormal. Pecahnya selaput ketuban sebelum timbulnya kontraksi
(ketuban pecah dini/PROM dan ketuban pecah dini preterm/PPROM) menimbulkan
kesulitan pada 10% kehamilan, sebanyak 3% wanita hamil dengan usia kandungan
<37 minggu memiliki rieiko untuk mengalami pecah selaput ketuban dini. Ketuban
pecah dini atau Premature Rupture Of Membrane (PROM) adalah pecahnya
membran ketuban sebelum onset persalinan. Sebagian besar kasus ini terjadi pada
waktu mendekati kelahiran, tetapi saat ketuban pecah sebelum masa gestasi 37
minggu, maka disebut Preterm Premature Rupture Of Membrane (PPROM) atau
ketuban pecah dini preterm. PPROM lebih mungkin terjadi pada populasi dengan
status ekonomi yang rendah dan mempersulit seperempat sampai sepertiga dari
kelahiran premature (Medina, 2006; Komite, 1999).

Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling
sering dijumpai. Insiden ketuban pecah ini dilaporkan bervariasi dari 6% hingga
10%, di mana sekitar 20% dari kasus tersebut, atau sekitar 1% dari total kehamilan
merupakan PPROM. Sekitar 8 hingga 10% pasien PROM memiliki resiko tinggi
infeksi intrauterine akibat interval antara ketuban pecah dan persalinan yang
memanjang. PROM berhubungan dengan 30 hingga 40% persalinan preterm
dimana sekitar 75% pasien akan mengalami persalinan satu minggu lebih dini dari
jadwal (Danielsson, 2009; Mochtar, 1998).

Ketuban pecah dini premature (PPROM) terjadi pada usia gestasi 24-37
minggu yang pengelolaannya jauh lebih sulit dibandingkan dengan ketuban pecah
dini (PROM). Beberapa hal perlu diperhatikan dalam manajemen PPROM seperti
prematuritas. Prematuritas adalah resiko utama untuk janin, sementara morbiditas
infeksi dan komplikasinya merupakan resiko maternal yang utama. Semua rencana

1
2

pengelolaan PPROM jauh lebih panjang dan meliputi keluarga dan tim medis untuk
merawat kehamilan, termasuk tim medis neonatal dan ibu. PPROM harus dirawat di
mana fasilitas NICU tersedia karena kebanyakan ibu dengan PPROM melahirkan
setelah satu minggu ketubannya pecah sehingga transfer ibu hamil ke fasilitas yang
berkualitas sangat mendesak dan harus difasilitasi segera setelah diagnosis
ditegakkan.

Sindrom distress pernafasan adalah komplikasi yang paling umum terjadi


pada bayi yang lahir prematur. Morbiditas perinatal serius yang dapat menyebabkan
gejala sisa jangka panjang atau kematian yang umum ketika PROM menyebabkan
kelahiran prematur. Morbiditas neonatal akut seperti necrotizing enterocolitis,
perdarahan intraventricular (IVH), dan sepsis sering mempersulit kelahiran prematur
awal tetapi relatif jarang pada waktu awal. Telah ditetapkan bahwa kelahiran
prematur merupakan faktor resiko yang signifikan untuk jangka panjang gejala sisa
seperti penyakit paru-paru kronis, gangguan neurosensorik, cerebral palsy dan
keterlambatan perkembangan. Infeksi perinatal juga telah dikaitkan dengan
komplikasi neurologis. Cerebral palsy dan periventrikular leukomalacia telah
dikaitkan dengan amnionitis, yang umumnya terlihat pada PPROM.

Dengan terapi yang tepat dan manajemen konservatif, sekitar 50% dari
seluruh kehamilan dengan PPROM mengalami persalinan 1 minggu setelah ketuban
pecah. Dengan demikian sangat sedikit wanita hamil dengan PPROM mengalami
persalinan lebih dari 3-4 minggu setelah ketuban pecah. Penutupan secara spontan
dari selaput ketuban sangat jarang sekali terjadi (<10% dari semua kasus). Ada
beberapa kontroversi mengenai pendekatan medis yang terbaik untuk wanita hamil
dengan PPROM meliputi pilihan terapi dan perawatan yang tepat agar resiko
maternal dapat diminimalisir dan meningkatkan keuntungan bagi bayi yang akan
dilahirkan serta mengurangi sisi negatif dari prematuritasnya.

Oleh karena itu berdasarkan penjelasan diatas penulis tertarik melakukan


pembahasan mengenai kasus ketuban pecah dini yang terjadi di Rumah Sakit Saiful
Anwar Malang.
3

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara menegakkan diagnosa PPROM pada pasien ini?


2. Apakah ada tanda-tanda infeksi intrauterin pada kasus ini?
3. Apa etiologi PPROM pada pasien ini?
4. Apa saja faktor resiko PPROM pada pasien ini?
5. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan ketuban pecah dini preterm
pada pasien ini?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui cara menegakkan diagnosa ketuban pecah dini preterm pada


pasien ini.
2. Mengetahui apakah ada tanda-tanda infeksi intrauterine pada kasus ini.
3. Mengetahui etiologi ketuban pecah dini preterm pada pasien ini.
4. Mengetahui apa saja faktor resiko ketuban pecah dini preterm pada pasien
ini.
5. Mengetahui penatalaksanaan pasien dengan ketuban pecah dini preterm
pada pasien ini.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ketuban Pecah Dini (KPD) atau spontaneous/early/premature rupture of the


membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila
pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multi para kurang dari 5 cm dan
dalam 1 jam tidak diikuti tanda-tanda inpartu. Ketuban Pecah Dini Preterm atau
Preterm Premature Rupture of the Membran (PPROM) adalah pecahnya ketuban
sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu (Soewarto, 2010; Parry, 2006; Gibbs
2003).

2.2 Anatomi dan Fisiologi Selaput Amnion dan Cairan Amnion

2.2.1 Anatomi Selaput Amnion

Amnion manusia terdiri dari lima lapisan yang berbeda. Lapisan ini tidak
mengandung pembuluh darah maupun saraf, sehingga nutrisi disuplai melalui cairan
amnion. Lapisan paling dalam dan terdekat pada fetus ialah epitel amniotik. Epitel
amniotik ini mensekresikan kolagen tipe III dan IV serta glikoprotein non kolagen
(laminin, nidogen dan fibronectin) dari membrana basalis, lapisan amnion di
sebelahnya (Gjoni, 2006; Widjanarko, 2009).

Lapisan kompakta jaringan konektif yang melekat pada membrana basalis ini
membentuk skeleton fibrosa dari amnion. Kolagen dari lapisan kompakta
disekresikan oleh sel mesenkim dari lapisan fibroblast. Kolagen interstitial (tipe I dan
III) mendominasi dan membentuk parallel bundles yang mempertahankan integritas
mekanik amnion. Kolagen tipe V dan VI membentuk koneksi filamentosa antara
kolagen interstitial dan membrane basalis epithelial. Tidak ada interposisi dari materi
yang menyusun fibril kolagen pada jaringan konektif amniotik sehingga amnion
5

dapat mempertahankan tensile strength selama stadium akhir kehamilan normal


(Gjoni, 2006; Widjanarko, 2009).

Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotik yang paling tebal terdiri dari
sel mesenkim dan makrofag di antara matriks seluler. Kolagen pada lapisan ini
membentuk jaringan longgar dari glikoprotein non kolagenosa. Lapisan intermediate
(spongy layer atau zona spongiosa) terletak di antara amnion dan korion. Lapisan ini
banyak mengandung hydrated proteoglycan dan glikoprotein yang memberikan sifat
“spongy” pada gambaran histologi. Lapisan ini juga mengandung nonfibrillar
meshwork yang sebagian besar terdiri dari kolagen tipe III. Lapisan intermediate ini
mengabsorbsi stres fisik yang terjadi (Gjoni, 2006; Widjanarko, 2009).

Walaupun korion lebih tebal dari amnion, amnion memiliki tensile strength
yang lebih besar. Korion terdiri dari membran epithelial tipikal dengan polaritas
langsung menuju desidua maternal. Pada proses kehamilan, vili trofoblastik di antara
lapisan korionik dari membrana fetal mengalami regresi. Di bawah lapisan
sitotrofoblas (dekat janin) merupakan membrana basalis dan jaringan konektif
korionik yang kaya akan serat kolagen. Membran fetal memperlihatkan variasi
regional. Walaupun tidak ada bukti yang menunjukan adanya titik lemah di mana
membran akan pecah, observasi harus dilakukan untuk menghindari terjadinya
perubahan struktur dan komposisi membran yang memicu terjadinya ketuban pecah
dini (Gjoni, 2006).
6

Gambar 2.1 Anatomi Selaput Ketuban

Cairan amnion mengandung materi bakteriostatik tertentu sebagai pelindung


terhadap proses infeksi potensial. Penurunan volume cairan amnion dapat
menghambat kemampuan pasien dalam menghadapi infeksi. Penelitian oleh Borna
et al menunjukan bahwa pasien dengan oligohidramnion (AFI<5) memiliki resiko
tinggi menderita korioamnionitis dan sepsis pada neonatus (Gjoni, 2006).

Pada minggu-minggu pertama perkembangan, villi / jonjot meliputi seluruh


lingkaran permukaan korion.
Dengan berlanjutnya kehamilan :
1. Jonjot pada kutub embrional membentuk struktur korion lebat seperti semak-
semak (chorion frondosum) sementara
2. Jonjot pada kutub embrional mengalami degenerasi, menjadi tipis dan halus
disebut chorion laeve
Seluruh jaringan endometrium yang telah mengalami reaksi desidua,juga
mencerminkan perbedaan pada kutub embrional dan abembrional :
1. Desidua di atas chorion frondosum menjadi desidua basalis
7

2. Desidua yang meliputi embrioblas / kantong janin di atas chorion leave


menjadi desidua kapsularis.
3. Desidua di sisi / bagian uterus yang abembrional menjadi desidua parietalis.
Antara membran korion dengan membran amnion terdapat rongga korion .

Dengan berlanjutnya kehamilan, rongga ini tertutup akibat persatuan


membran amnion dan membran korion. Selaput janin selanjutnya disebut sebagai
membran korion-amnion (amniochorionic membrane). Kavum uteri juga terisi oleh
konsepsi sehingga tertutup oleh persatuan chorion leave dengan desidua parietalis
(Gjoni, 2006; Widjanarko, 2009).

2.2.2 Cairan Amnion

Mula–mula ruangan amnion merupakan rongga kecil saja, tapi kemudian


mengelilingi seluruh janin. Akhirnya amnion merapat pada korion dan melekat
dengannya. Ruangan amnion berisi air ketuban. Amnion ikut membentuk selaput
janin yang terdiri dari lapisan amnion, mesoderm, korion dan lapisan tipis dari
desidua (Anonymous, 2011; Widjanarko 2009).
Rongga yang diliputi selaput janin disebut sebagai rongga amnion.
Di dalam ruangan ini terdapat cairan amnion (likuor amnii). Asal cairan amnion
diperkirakan terutama disekresi oleh dinding selaput amnion/plasenta kemudian
setelah sistem urinarius janin terbentuk, urine janin yang diproduksi juga dikeluarkan
ke dalam rongga amnion. Rongga cairan amnion adalah kompartemen yang bersifat
metabolik aktif dan terjadi perubahan volume cairan yang fluktuatif. Jumlah cairan
amnion pada kehamilan 16 minggu kira – kira 250 ml dan 800 ml pada kehamilan 38
minggu dan setelah itu akan terus menurun sampai sekitar aterm (Anonymous,
2011; Widjanarko 2009).
8

Gambar 2.2 Jumlah Cairan Ketuban Selama kehamilan

Pada kehamilan aterm pertukaran cairan amnion secara lengkap


memerlukan waktu sekitar 3 jam. Cairan amnion terdiri dari urine (hipotonik) dan
sekresi cairan paru. Absorbsi cairan amnion terjadi melalui proses menelan dan
dibuang pada amniotic – chorionic interface serta ruang intervilous. Ruangan amnion
berisi 1 liter air ketuban. Terkadang jumlahnya sangat berbeda (Anonymous, 2011;
Widjanarko 2009).

 Pada minggu ke-36 banyaknya : 1030 cc


 Pada minggu ke-40 banyaknya : 790 cc
 Pada minggu ke-43 sudah berkurang menjadi 240 cc.
 Kalau banyaknya lebih dari 2 liter dinamakan polyhydramnion atau
hydramnion.
 Kalau terlalu sedikit, kurang dari 500 cc, disebut oligohydramnion.
(Anonymous, 2011; Widjanarko 2009)
Fungsi cairan amnion :
o Proteksi : melindungi janin terhadap trauma dari luar
o Mobilisasi : memungkinkan ruang gerak bagi janin
o Homeostasis : menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam-basa (pH)
dalam rongga amnion, untuk suasana lingkungan yang optimal bagi janin.
9

o Mekanik : menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruangan intrauterin


(terutama pada persalinan).
o Pada persalinan : membersihkan / melicinkan jalan lahir, dengan cairan yang
steril, sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir.
(Anonymous, 2011; Widjanarko 2009)
Keadaan normal cairan amnion :
1. pada usia kehamilan cukup bulan, volume 1000-1500 cc.
2. keadaan jernih agak keruh
3. steril
4. bau khas, agak manis dan amis
5. terdiri dari 98-99% air, 1-2% garam-garam anorganik dan bahan organik
(protein terutama albumin), runtuhan rambut lanugo, vernix caseosa dan sel-
sel epitel.
6. sirkulasi sekitar 500 cc/jam
7. Air ketuban reaksinya alkalis, B.D.-nya 1.007 – 1.025.
(Anonymous, 2011; Widjanarko 2009)
Sifat – sifat air ketuban  harus kita ketahui untuk membedakan apakah  yang
keluar dari alat kemaluan itu air ketuban atau air kencing. Sifat air kencing asam
( dapat dibedakan dengan kertas lakmus atau nitrazine ), baunya pesing dan jernih
tidak mengandung vernix caseosa atau lanugo. Sifat – sifat air ketuban seperti jernih
atau keruhnya, banyaknya dan susunannya dapat dipergunakan untuk pengenalan
keadaan janin dengan cara amnioskopi atau amniocentesis (Anonymous, 2011;
Widjanarko 2009).
Amnioskopi :
Dengan amnioskopi air ketuban dapat berwarna kuning, hijau muda, hijau tua.
Warna hijau tua menunjukkan bayi dalam keadaan bahaya (distress). Dengan
amniocentesis dapat ditentukan umur janin dan sex janin.
(Anonymous, 2011; Widjanarko 2009)
10

Kelainan jumlah cairan amnion:


1. Hidramnion (polihidramnion)
Air ketuban berlebihan, di atas 2000 cc. Dapat mengarahkan kecurigaan
adanya kelainan kongenital susunan saraf pusat atau sistem pencernaan,
atau gangguan sirkulasi atau hiperaktifitas sitem urinarius janin.
2. Oligohidramnion
Air ketuban sedikit, di bawah 500 cc. Umumnya kental, keruh, berwarna
kuning kehijauan. Prognosis bagi janin buruk.
(Anonymous, 2011; Widjanarko 2009)

2.3 Mekanisme Pecahnya Selaput Amnion

2.3.1 Mekanisme Pecahnya Selaput Amnion Pada Persalinan Normal

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi


uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah
tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior
rapuh, bukan seluruh selaput ketuban. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan
degradasi ekstraseluler matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme
kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan selaput ketuban pecah
(Soewarto, 2010).
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang
dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dari inhibitor protease. Mendekati waktu
persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi
proteolitik dari matriks ekstraseluler dan membrane janin. Aktivitas degradasi ini
semakin meningkat seiring dengan semakin dekatnya waktu persalinan (Soewarto,
2010).

2.3.2 Mekanisme Pecahnya Selaput Amnion Dini

Ketuban pecah dini (PROM) selama kehamilan saat ini terutama disebabkan
infeksi sebelumnya. Lebih khusus, PROM disebabkan oleh rhexis atau pecah
11

amnion, terutama di daerah yang kontak dengan serviks uterus. Membran yang
mengalami rupture premature tampak memiliki defek fokal dibanding kelemahan
menyeluruh. Daerah dekat tempat pecahnya membrane ini disebut “ restricted zone
of extreme altered morphology” yang ditandai dengan adanya pembengkakan dan
kerusakan jaringan kolagen fibrilar pada lapisan kompakta, fibroblast maupun
spongiosa. Daerah ini akan muncul sebelum ketuban pecah dini dan merupakan
daerah breakpoint awal. Rhexis amnion dapat disebabkan oleh (1) melemahnya fisik
amnion, (2) peningkatan tekanan intrauterin, dan (3) dilatasi serviks. Infeksi dapat
menyertai masing-masing kondisi ini, yang semuanya berinteraksi satu sama lain
(Soewarto, 2010).

Telah ditemukan bahwa cairan ketuban mungkin tidak steril, bertentangan


dengan keyakinan sebelumnya. Misalnya, Miller dkk. (1980) menunjukkan bahwa
kolonisasi bakteri cairan ketuban mungkin ada meskipun membran utuh,
menunjukkan bahwa bakteri dapat melewati membran janin. Galask dkk. (1984)
menunjukkan secara in vitro bahwa kuman anaerob dan kelompok B streptokokus
(GBS) dengan mudah bisa menginvasi membran.
Subklinis korioamnionitis diyakini menjadi penyebab idiopatik kerja prematur. Banyak
bakteri kelamin dikenal menghasilkan fosfolipase A2 dan fosfolipase C, yang dapat
merangsang pelepasan asam arakidonat peningkatan dan produksi prostaglandin
dalam rahim. Bejar dkk. (1981) telah menunjukkan bahwa beberapa bakteri kelamin
mengeluarkan enzim fosfolipase, sehingga metabolisme asam arakidonat
mengaktifkan di membran janin dan merangsang komponen biokimia kerja.
Huddleston (1982) berpendapat bahwa pelepasan fosfolipase A2 dari membran
janin memicu sintesis prostaglandin dalam membran plasenta (Soewarto, 2010).

Satu penjelasan yang masuk akal untuk melemahnya membrane amnion


adalah kolonisasi flora vagina. Invasi bakteri dari membran janin menyebabkan
peradangan lokal, yaitu, korioamnionitis fokus, dengan hilangnya integritas membran
menyebabkan PROM. Enzim bakteri dan produk ibu disekresikan sebagai respon
terhadap infeksi dapat menambah melemahnya dan pecahnya membrane
(Soewarto, 2010).
12

Resistensi terhadap infeksi tergantung pada hambatan fisiologis dan mekanik


alam seperti sumbat lendir endoserviks, membran janin utuh dan sifat antimikroba
cairan ketuban. PROM menghancurkan hambatan-hambatan ini. Jika PROM tidak
diobati, akan terjadi persalinan, dan janin akan dilahirkan dengan fungsi organ yang
prematur. Misalnya, ketika bayi lahir dengan fungsi paru yang prematur, ia mungkin
akan mengalami sindrom gangguan pernapasan (RDS). Prematur berat dan lapisan
epitel yang belum matang dari matriks germinal di otak atau dari lapisan usus dapat
mempengaruhi antar neonatus untuk perdarahan intraventricular (IVH) dan
necrotizing enterocoliter (NEC). Oleh karena itu, diusahakan untuk memperpanjang
usia janin (Soewarto, 2010).

2.4 Etiologi

Terdapat beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya


PPROM. Berdesarakan penelitian terhadap berbagai kasus PPROM, yang menjadi
faktor predisposisi adalah:

1. Penurunan tensile strength dari selaput ketuban secara generalisata


2. infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden
dari vagina. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama PPROM
3. Defek lokal pada selaput ketuban. Defek ini disebabkan oleh trauma didapat,
misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam maupun amniosintesis.
4. Penurunan kadar kolagen dalam cairan ketuban dan perubahan struktru
kolagen dalam selaput ketuban, meliputi degradasi dan apoptosis kolagen
5. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena
kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, kuretase).
6. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya tumor, hidramnion, gemelli.
7. Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah.
13

8. Keadaan sosial ekonomi yang berhubungan dengan rendahnya kualitas


perawatan antenatal dan penyebaran penyakit menular seksual seperti
Chlamydia trachomatis dan Neischeria gonorrhoe.
9. Faktor lain yaitu:
a. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu
b. Faktor multi gravidita, merokok dan perdarahan antepartum
c. Defisiensi gizi dari tembaga dan vitamin C

2.5 Faktor Resiko

Berbagai faktor resiko berhubungan dengan timbulnya PPROM. Ras kulit


hitam cenderung memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih.
Pasien dengan status sosio ekonomi rendah, perokok, riwayat penyakit menular
seksual, riwayat persalinan preterm sebelumnya, perdarahan pervaginam (solusio
plasenta, plasenta previa) atau distensi uteri (misal polihidramnion dan gemelli)
memiliki resiko tinggi. Tindakan prosedural seperti amniosentesis juga dapat memicu
PPROM (Medina, 2006).

Pada penyakit-penyakit infeksi yang menyebabkan meningkatnya MMP,


seperti periodontitis, dapat terjadi PPROM. Namun berdasarkan penelirian case
control skala besar, diantara semua faktor resiko diatas hanya ada 3 faktor utama
yang menyebabkan PPROM, yaitu riwayat melahirkan prematur sebelumnya, rwayat
merokok (baik merokok sebelum kehamilan, berhenti ketika hamil, dan masih
merokok ketika hamil), dan riwayat perdarahan pervaginam pada masa kehamilan
(Soewarto, 2010; Medina, 2006; Gibb, 2003)

Faktor resiko PPROM meliputi (Morgan, 2009):


1. Kehamilan multipel:
a. Kembar dua : 50%
b. Kembar tiga : 90%
2. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
3. Perdarahan pervaginam
14

4. pH vagina di atas 4,5


5. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
6. Flora vagina abnormal
7. Fibronektin >50 ng/ml
8. Kadar CRH (corticotrophin releashing hormone) maternal yang tinggi
misalnya pada stress psikologis, dapat menjadi stimulasi persalinan preterm
9. Inkompetensi serviks (leher rahim)
10. Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
11. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
12. Trauma
13. Serviks tipis/kurang dari 39 mm, serviks yang pendek (<25 mm) pada usia
kehamilan 23 minggu
14. Infeksi pada kehamilan seperti bacterial vaginosis.

Faktor-faktor yang dihubungkan dengan partus preterm (Manuaba, 2007):

1. Iatrogenik: hygiene kurang (terutama), tindakan traumatik

2. Maternal: penyakit sistemik, patologi organ reproduksi atau pelvis,


preeclampsia, trauma, konsumsi alcohol atau obat-obat terlarang, infeksi
intraamnion subklinik, korioamnionitis klinik, inkompetensia serviks,
servisitis/vaginitis akut, ketuban pecah pada usia kehamilan preterm.

3. Fetal: Malformasi janin, kehamilan multipel, hidrops fetalis, pertumbuhan


janin terhambat, gawat janin, kematian janin.

4. Cairan amnion: oligohidramnion dengan selaput ketuban utuh, ketuban pecah


pada preterm, infeksi intraamnion, korioamnionitis klinik.

5. Placenta: solution placenta, placenta previa (kehamilan 35 minggu atau lebih),


sinus marginalis, chorioangioma, vasa previa
15

6. Uterus: malformasi uterus, overdistensi akut, mioma besar, desiduositis,


aktivitas uterus idiopatik.

Ada hubungan antara PPROM dengan hal-hal berikut :


1. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah.
Penyakit-penyakit seperti pielonefritis, sistitis, servisitis, dan vaginitis
terdapat bersama-sama dengan hipermotilitas rahim ini.
2. Selaput ketuban terlalu tipis ( kelainan ketuban )
3. Infeksi ( amnionitis atau korioamnionitis )
4. Ketuban pecah dini artificial (amniotomi), di mana ketuban dipecahkan terlalu
dini
5. Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah:
a. Multipara
b. Malposisi
c. Disproporsi
d. Cervix incompetent, dan lain-lain

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis utama dari PPROM adalah amenorrhoe, yang pada


sebagian kasus diikuti dengan nyeri pelvis bagian bawah (35%) dan peningkatan
sekresi secket vagina (30%) (Gjoni, 2006).

Setelah ketuban pecah dini pada kondisi “term’, sekitar 70% pasien akan
memulai persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah
dini preterm, periode latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun terbalik
dengan usia gestasional, misalnya pada kehamilan minggu ke 20 hingga ke 26, rata-
rata periode latensi sekitar 12 hari. Pada kehamilan minggu ke 32 hingga ke 34,
periode latensi berkisar hanya 4 hari (Mercer, 2008).
16

Ketuban pecah dini dapat memberikan stress oksidatif terhadap ibu dan bayi.
Peningkatan lipid peroxidation dan aktivitas proteolitik dapat terlihat dalam
eritrosit.Bayi premature memiliki pertahanan antioksidan yang lemah. Reaksi radikal
bebas pada bayi premature menunjukan tingkat lipid preoxidation yang lebih tinggi
selama minggu pertama kehidupan. Beberapa komplikasi pada neonatus diperkirakan
terjadi akibat meningkatnya kerentanan neonatus terhadap trauma radikal oksigen
(Mercer, 2008).
17

2.7 Diagnosa

Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa


yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal
atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa
yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi
yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu
diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Pada pasien hamil yang datang dengan
keluhan “keluar cairan” harus dipikirkan diagnosa KPD. Tujuan umum diagnostik
awal adalah:
1. Konfirmasi diagnosa
2. Menilai keadaan janin

3. Menentukan apakah pasien dalam keadaan inpartu aktif

4. Menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi

(Soewarto, 2010; Gjoni, 2006; Jazayeri, 2006)

Tabel 2.1. Evaluasi Awal KPD Preterm


18

Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :

1. Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang
banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok. Cairan berbau khas,
dan perlu juga diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut tersebut his
belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2. Konfirmasi usia kehamilan

3. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina,
bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan
ini akan lebih jelas.

4. Pemeriksaan dengan Spekulum


Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari
orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus
uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover
valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari
ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior.
5. Pemeriksaan Dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi.
Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan,
pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu
diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari
pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina
yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen.
Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD yang sudah dalam
persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit
mungkin. Pemeriksaan vaginal (vaginal toucher) harus sangat dibatasi
termasuk untuk pemeriksaaan diagnostik awal:
19

a. VT sebelum persalinan meningkatkan kejadian infeksi neonatus dan


memperpendek periode laten.
b. Dengan menghindari VT , usaha mempertahankan kehamilan menjadi
semakin lama.

(Soewarto, 2010)

Pemeriksaan inspekulo harus terlebih dahulu dilakukan meskipun pasien


nampak sudah masuk fase inpartu oleh karena dengan pemeriksaan inspekulo
dapat dilakukan penentuan dilatasi servik. Oleh karena infeksi intra amniotik
subklinis juga sering terjadi dan keadaan ini adalah merupakan penyebab utama
dari morbiditas ibu dan anak, maka evaluasi gejala dan tanda infeksi pada
pasien harus dilakukan secara teliti Tanda infeksi yang jelas terdapat pada
infeksi lanjut antara lain : demam, takikardi, uterus tegang, getah vagina berbau
dan purulent (Soewarto, 2010).
Diagnosa dini infeksi intraamniotik dilakukan bila didapatkan gejala berupa
peningkatan temperatur pada ibu > 37,8°C, denyut jantung ibu > 100 x/menit,
denyut jantung janin > 169 x/menit, leukosit > 15.000, air ketuban yang berbau
dan terjadi perlunakan uterus. Berikut adalah tabel yang menunjukkan hubungan
antara gejala dengan infeksi intreuterin (Gjoni, 2006)

Tabel 2.2. Frekuensi gejala dihibungkan dengan infeksi intra uterin

NO. GEJALA FREKUENSI (%)


1. Temperatur >37,8 oC 100
2. Denyut jantung ibu >100 x/menit 20-80
3. Denyut jantung janin >169 x/menit 40-70
4. Hitung darah putih >15.000 70-90
5. Hitung darah putih >20.000 3-10
6. Air ketuban yang 5-22
berbau
7. Perlunakan uterus 4-25

(Gjoni, 2006)
20

6. Deteksi infeksi cairan amnion dilakukan dengan amniosentesis.


7. Pemeriksaan penunjang
a. Pemerksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau
dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban
mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5,
dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
 Tes lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah
menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air
ketuban 7-7.5. Darah dan infeksi vagina dapat meghasilkan tes
yang positif palsu
 Mikroskopis (tes pakis) dengan meneteskan air ketuban pada
gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan gambaran daun pakis
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit.
Namun sering terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion.Walaupun
pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun
pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan
pemeriksaan sedehana.

2.8 Komplikasi

Komplikasi PPROM:
1. Persalinan prematur
PPROM merupakan penyebab pentingnya persalinan premature dan
prematuritas janin. Setelah ketuban pecah biasanya diikuti dengan
persalinan. Pada kasus ketuban pecah dini preterm biasanya 50%
persalinan akan terjadi dalam kurun waktu 24 jam
2. Infeksi fetal/neonatal
Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia, omfalitis
3. Infeksi maternal
21

Resiko terjadinya ascending infection akan lebih tinggi jika persalinan


dilakukan setelah 24 jam onset pecahnya ketuban. Infeksi pada ketuban
pecah dini preterm lebih tinggi dibandingkan ketuban pecah dini aterm.
Infeksi pada ibu biasanya adalah korioamnionitis, sementara umumnya,
korioamnionitis terjadi sebelum janin terinfeksi
4. Kompresi tali pusat/ prolaps
Pecahnya ketuban dapat menyebabkan terjadinya oligohidramnion yang
menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Insiden prolaps tali
pusat (cord prolapse) akan meningkat bila dijumpai adanya malpresentasi.
Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dengan derajat
oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, semakin gawat janinnya
5. Failed induction resulting in cesarean section
6. Pulmonary hypoplasia (early, severeoligohydramnions)
7. Fetal deformation
Ketuban pecah dini yang terjadi pada kehamilan preterm atau aterm
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan yang disebabkan oleh
kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasia pulmonal.
Hipoplasia pulmonal janin sangat mengancam janin, khususnya pada kasus
oligohidramnion (Soewarto, 2010).

2.9 Penatalaksanaan

Tujuan utama dari penatalaksanaan PPROM adalah keselamatan neonates


pada usia gestational ketika selaput ketuban ruptur, karena itulah penatalaksanaan
PPROM tergantung pada usia kehamilan. Penanganan berdasarkan usia kehamilan
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Penanganan konservatif
Rawat di rumah sakit, berikan:
 Antibiotik (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila alergi terhadap
ampisilin) selama 7 hari
 Metronidazol 2x500 mg selama 7 hari (Soewarto, 2010)

Jika usia kehamilan:


22

 <32-34 minggu: Dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air
ketuban tidak keluar lagi.
 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif:
o Berikan steroid (deksametason) untuk menginduksi pematangan paru
janin
o Observasi tanda-tanda infeksi
o Observasi kesejahteraan janin
o Terminasi pada saat kehamilan mencapai usia 37 minggu (Soewarto,
2010)
 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada tanda-tanda infeksi:
o Berikan tokolitik (salbutamol)
o Berikan steroid (deksametason) untuk menginduksi pematangan paru
janin
o Lakukan induksi setelah 24 jam (Soewarto, 2010)
 32-37 minggu, ada infeksi:
o Antibiotik
o Berikan steroid (deksametason) untuk menginduksi pematangan paru
janin
o Lakukan induksi persalinan
o Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi
intrauterin) (Soewarto, 2010)

2. Penanganan aktif
Penanganan aktif dilakukan dengan menterminasi kehamilan. Terminasi
kehamilan dipertimbangkan jika resiko dari infeksi jauh lebih besar dibandingkan
dengan resiko prematuritas. Yang juga dipertimbangkan dalam terminasi kehamilan
adalah survivalitas janin, usia ibu, BOH, IUGR, diabetes, dan sebagainya. Berikut ini
adalah hasil studi yang dapat membantu klinisi dalam membuat keputusan
terminasi kehamilan:
 Usia kehamilan 20-24 minggu:
Survivalitas janin sangat rendah (< 20-25%), resiko infeksi sangat tinggi,
komplikasi jangka panjang sering terjadi, dan dibutuhkan follow-up yang
23

mahal. Pada usia kehamilan ini terminasi kehamilan sangat dianjurkan


kepada pasangan (Gjoni, 2006).
 Usia kehamilan 24-24 minggu:
Sebagian besar studi menyarankan manajemen aktif, menentukan dan
memanajemen infeksi, serta mengecek fetal distress. Jika terdapat gejala
klinis dan hasil laboratorium yang menunjukkan korioamnionitis, maka
disarankan untuk menterminasi kehamilan dengan induksi persalinan. Seksio
sesaria lebih baik dihindari jika memungkinkan, karena tingginya angka infeksi
selama nifas (Gjoni, 2006).
 Usia kehamilan 26-30 minggu:
Disarankan untuk melakukan observasi dan follow up. Berikan antibiotic
profilaksis dan steroid untuk maturasi paru. Resiko prematuritas lebih tinggi
dibandingkan dengan resiko infeksi janin/neonatus. Berikan tokolitik jika ibu
akkan dipindahkan ke pusat kesehatan lainnya (Gjoni, 2006).
 Usia kehamilan 30-36 minggu:
Angka survivalitas neonatus sangat tinggi (95%). Disarankan untuk
memberikan steroid untuk maturasi paru. Antibiotik disarankan jika periode
latennya memanjang. Jika diagnosis infeksi intera uterin ditegakkan pada usia
kehamilan ini, lebih baik memberikan antibiotik terlebih dahulu sebelum
induksi persalinan dibandingkan dengan langsung menterminasi kehamilan.
Pada usia kehamilan ini, persentasi kegagalan induksi persalinan rendah dan
kebutuhan untuk dilakukan seksio sesaria beserta resiko komplikasi masa
nifasnya juga sangat jarang (Gjoni, 2006).
 Kehamilan ≥37 minggu
Induksi dengan oksitosin. Bila gagal, kita lakukan seksio sesaria. Dapat pula
diberikan misoprostol 25µg-50µg intravaginal setiap 6 jam sebanyak
maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi
dan terminasi persalinan (Gjoni, 2006).
Bila skor pelvic < 5:
o Lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri
persalinan denngan seksio sesaria.
o Bila skor pelvis > 5: Induksi persalinan (Soewarto, 2010)
24

2.10 Medikasi

1. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas perinatal
pasca ketuban pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan resiko terjadinya
sindrom distress pernafasan (20–35,4%), hemoragi intraventrikular (7,5–15,9%),
enterokolitis nekrotikans (0,8–4,6%). Rekomendasi sebagian besar menggunakan
betamethason (celestone) intramuscular 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari.
National Institute of Health merekomendasikan pemberian kortikosteroid
sebelum masa gestasi 30–23 minggu, dengan asumsi viabilitas fetus dan tidak ada
infeksi intra amniotik.Pemberian kortikosteroid setelah masa gestasi 34 minggu
masih kontroversial dan tidak direkomendasikan kecuali ada bukti immaturitas paru
melalui pemeriksaan amniosentesis (Danielsson, 2009; Medina, 2006)

2. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi
neonatal dan memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan
meliputi ampisilin 2 gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam selama
48 jam, diikuti pemberian amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam
untuk lima hari. Pasien yang mendapat kombinasi ini dimungkinkan dapat
mempertahankan kandungan selama 3 minggu setelah penghentian pemberian
antibiotik setelah 7 hari (Medina, 2006).

3. Agen Tokolitik
Pemberian agen tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi
namun tidak memperbaiki luaran neonatal. Tidak banyak data yang tersedia
mengenai pemakaian agen tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen
tokolitik jangka panjang tidak diperkenankan dan hingga kini masih menunggu hasil
penelitian lebih jauh (Medina, 2006).
25

(Medina, 2006)
Gambar 2.2 Algoritma penatalaksanaan ketuban pecah dini preterm
26

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


 Nama Pasien : Ny. S. A.
 No Register : 11182xx
 Usia : 30 tahun
 Alamat : Jl. MT. Haryono Gg XII N/8 Lowokwaru
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Pendidikan terakhir : 12 tahun
 Tanggal MRS : 19 Juli 2011 jam 11.30 WIB.
 Status obstetric : Wanita/30 tahun/ menikah 1x, 6 tahun/ G 3 P2002 Ab000
gr 28-30 minggu T-H / AT 12 th / HPHT: 30 Desember 2010.

3.2 Subjektif
 Keluhan utama : Kenceng-kenceng dan keluar cairan dari jalan lahir
 18 Juli 2011 jam 16.30, pasien merasa keluar cairan dari jalan lahir disertai
kenceng-kenceng. Pada jam 17.30, pasien pergi ke RSI dan dikonsulkan ke
Sp. OG dan di-AP konservatif.
 19 Juli 2011 jam 09.00, pasien merasa kenceng-kenceng dan dilakukan USG,
ternyata didapatkan ketuban minimal setelah itu dilakukan VT, didapatkan
pembukaan 2 cm dan direncanakan dilahirkan karena pasien ikut jampersal
lalu pasien dirujuk ke RSSA untuk melahirkan.
 Riwayat keputihan (+) selama masa kehamilan, fluor berwarna putih kental,
gatal dan berbau
 Riwayat anyang-anyangan (-),
 Alasan dirujuk: G3 P2002 Ab000 hamil 28-30 minggu + KPD + 12 jam
 Pengobatan pendahuluan di luar RSSA dilakukan pada tanggal 18 Juli 2011
dengan medikasi:
27

 IVFD RL
 Inj. Gentamycin 2 x 80 mg (18.00 dan 06.00)
 Profenid supp.
 Inj. Dexametason 16 mg I.V (19.00)
 Riwayat Persalinan:
1. Aterm/?/ Sptb/ dukun/ perempuan/ 15 tahun/ hidup
2. Aterm/2500 gram/ Sptb/ RSSA/ Laki-laki/ 12 tahun/ hidup
3. Hamil ini
 Riwayat kehamilan sekarang
 ketuban pecah tanggal 18 Juli 2011 jam 16.30
 Kontrasepsi sebelum hamil ini: (-)

3.3 Objektif
3.3.1 Status interna
 KU : baik, compos mentis
 TB : 155 cm
 BB : 50 kg
 TD : 120/80
 Nadi : 88 x/menit
 Tax : 36,6 oC
 Trec : 36,8 oC
 K/L : an (-), ict (-)
 Cor/pulmo : S1S2 single murmur (-) gallop (-) / vesicular, rh (-), wh (-)
 Abdomen : BU (+) N
 Ekstirimitas : edema (-) cyanosis (-)

3.3.2 Status Obstetri


 TFU : 29 cm
 Letak janin : bujur
 BJA : 12.12.11
 TBJ : 1085 gram
28

 His : 10.3.30
 Pembukaan : 2 cm, efficement: 100%, Hodge I,
 Ketuban : jernih
 Presentasi kepala, denominator UUK jam 3, UPD: dbn

3.3.3 NST ± normal


 Baseline rate : 130 bpm
 Variabilitas : 5-10
 Akselerasi : (+)
 Deselerasi : (-)

3.3.4 Hasil laboratorium:


DL: 9600/11,8/ 35,1/ 185.000

3.4 Assesment
G3 P2002 Ab000 part 28-30 mgg T/H + Kala I fase laten + Partus prematurius +
Riwayat PPROM + Primi tua sekunder

3.5 Planning
 PDx : DL admission test
 PTx : evaluasi 6 jam lagi (18.00) pro expectative pervaginam
 PMo : VS, keluhan, DJJ, kemajuan persalinan
 PEd : KIE (Kemungkinan bayi hidup setelah lahir sangat kecil karena
kondisi bayi yang masih sangat kecil)
 Kelahiran bayi
Bayi lahir hidup pada tanggal 19 Juli 2011 jam 20.09 dengan jenis kelamin
perempuan, berat badan janin 1320 gram, panjang badan 37 cm, dan Apgar
Score: 6-8

Tabel 3.5 Laporan Kemajuan Persalinan

Tgl Jam Subjective Objective Assessment Planning


29

19-7- 12.00 Kenceng-  KU baik, CM G3P2002Ab000 PDx : DL


2011 kenceng dan  TB 155 cm part 28-30 admission test
keluar cairan  BB 50 kg mgg T/H + PTx :
dari jalan lahir  TD 120/80 Kala I fase evaluasi 6 jam
laten + Partus lagi (18.00)
 Nadi 88x/mnt
prematurius + pro
 Tax 36,6oC
Riwayat expectative
 Trect 36,8oC
PPROM + pervaginam
 K/L ed -|- ict -|-
Primi tua PMo : VS,
 Cor/pulmo dbN
sekunder keluhan, DJJ,
 Ekstremitas ed =|
kemajuan
= ict =|=
persalinan
 TFU 29 cm
PEd : KIE
 Letak janin bujur (Kemungkinan
U bayi hidup
 BJA 12.12.11 setelah lahir
 TBJ 1085 gram sangat kecil
 His 10.3.30/sk karena kondisi
 Pembukaan 2 bayi yang
cm, efficement masih sangat
100%, H I kecil)
 Presentasi
C
/senior
kepala,
denominator
UUK jam 3, UPD
dbN
 NST ± normal:
Baseline rate:
130 bpm
Variabilitas : 5-
10
Akselerasi :+
30

Deselerasi :-
 Hasil
laboratorium:
DL: 9600/11,8/
35,1/ 185.000

18.00 Kenceng-  KU baik, CM G3P2002Ab000 PDx :-


kenceng  TB 155 cm part 28-30 PTx :
teratur  BB 50 kg mgg T/H + evaluasi 2 jam

 TD 120/80 Kala I fase lagi (20.00)


aktif + Partus pro
 Nadi 88x/mnt
prematurius + expectative
 Tax 36,6oC
Riwayat pervaginam
 Trect 36,8oC
PPROM + PMo :
 K/L ed -|- ict -|-
Primi tua Observasi VS,
 Cor/pulmo dbN
sekunder keluhan, DJJ,
 Ekstremitas ed =|
his, kemajuan
= ict =|=
persalinan
 TFU 29 cm
PEd : KIE
 Letak janin bujur (Kemungkinan
Ʉ bayi hidup
 BJA 12.11.12 setelah lahir
 TBJ 1085 gram sangat kecil
 His 10.3.30/sk karena kondisi
 Pembukaan Ǿ 4 bayi yang
cm, efficement masih sangat
100%, H I-II kecil)
C
 Presentasi /senior
kepala,
denominator
UUK jam 2, UPD
dbN
31

20.00 Ibu ingin  KU baik, CM G3P2002Ab000 PDx :-


mengejan  TB 155 cm part 28-30 PTx : Ibu
Kenceng-  BB 50 kg mgg T/H + dipimpin
kenceng  TD 120/80 Kala II + mengejan
teratur Partus PMo :
 Nadi 88x/mnt
prematurius + Observasi VS,
 Tax 36,6oC
Riwayat keluhan, DJJ,
 Trect 36,8oC
PPROM + his, kemajuan
 K/L ed -|- ict -|-
Primi tua persalinan
 Cor/pulmo dbN
sekunder PEd : KIE
 Ekstremitas ed =|
(Kemungkinan
= ict =|=
bayi hidup
 TFU 29 cm
setelah lahir
 Letak janin bujur sangat kecil
Ʉ karena kondisi
 BJA 12.11.12 bayi yang
 TBJ 1085 gram masih sangat
 His 10.3.40/sk kecil)
 Pembukaan Ǿ C
/senior
lengkap,
efficement 100%,
H III+, ketuban
(-) jernih,
presentasi
kepala,
denominator
UUK jam 1, UPD
dbN
20.04 Lahir bayi
perempuan/BB
1120 gr/37 cm/AS
32

6-8
.
33

BAB IV
PEMBAHASAN

Teori Data Kasus


Penegakan diagnosis ketuban pecah Anamnesis:
dini preterm diperoleh dari anamnesis, o tanggal 18 Juli 2011 jam 16.30,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pasien merasa keluar cairan dari
penunjang. jalan lahir disertai kenceng-
Ketuban Pecah Dini Preterm atau kenceng.
Preterm Premature Rupture of the o HPHT: 30 Desember 2010,
Membran (PPROM) adalah pecahnya taksiran persalinan 6 Oktober 2011
ketuban sebelum usia kehamilan ~ umur kehamilan 28-30 minggu.
mencapai 37 minggu.
Pemeriksaan Fisik:
o Pemeriksaan dalam: pada VT
didapatkan cairan ketuban jernih

Pemeriksaan Penunjang:
o Tes Lakmus: +
o USG: Maturasi grade I-II
Etiologi: Riwayat Infeksi saluran kemih
o Infeksi langsung atau ascenden (demam, anyang-anyangan, nyeri
o Inkompeten serviks supra/retropubik, dysuria): -
o Tekanan intrauterine yang Riwayat infeksi genitalia: (+) ditandai
berlebihan denga adanya riwayat keputihan

o Trauma selama masa kehamilan, fluor putih,

o Kelainan letak lintang kental, berbau dan gatal.


Riwayat trauma: -
o Keadaan sosial ekonomi
Pemeriksaan fisik dan USG: letak
o Factor lain: disproporsi antara
bujur
kepala janin dengan panggul ibu,
34

multigravida, defisiensi gizi. TB: 155 cm, BB: 50 kg.  ibu hamil
underweight.
Riwayat gizi: jarang makan daging dan
jarang minum susu.
Dalam kasus ini faktor penyebab dari
PPROM diduga adalah infeksi
asenden dari vagina (riwayat
keputihan +). Hal ini juga diperberat
dengan faktor sosioal ekonomi dan
gizi dimana pasien tergolong
underweight
Faktor resiko:
o Kehamilan multipel o Riwayat kehamilan multipel: -
o Riwayat persalinan preterm o Riwayat persalinan sebelumnya:
sebelumnya aterm
o Perdarahan pervaginam o Perdarahan pervaginam: -
o pH vagina di atas 4,5 o Riwayat ketuban pecah dini
o Kelainan atau kerusakan selaput sebelumnya : -
ketuban o Riwayat trauma: -
o Flora vagina abnormal
o Fibronektin >50 ng/ml
o Kadar CRH (corticotrophin
releashing hormone) maternal
yang tinggi misalnya pada stress
psikologis, dapat menjadi stimulasi
persalinan preterm
o Inkompetensi serviks (leher rahim)
o Polihidramnion (cairan ketuban
berlebih)
o Riwayat ketuban pecah dini
sebelumnya
35

o Trauma
o Serviks tipis/kurang dari 39 mm,
serviks yang pendek (<25 mm)
pada usia kehamilan 23 minggu
o pada kehamilan seperti bacterial
vaginosis.

Tanda-tanda infeksi intrauterin:


o Temperatur : >37,8oC o Temperatur :
o Denyut jantung ibu: >100x/menit Tax: 36,6oC, Trec: 36,8oC
o Denyut jantung janin: >169x/menit o Denyut jantung ibu : 88x/menit
o Hitung sel darah putih: >15.000 o Denyut jantung janin: 130 dengan
o Air ketuban yang berbau variabilitas 5-10.

o Perlunakan uterus o Hitung sel darah putih: 9600


o Air ketuban tidak berbau
o Perlunakan uterus : -
Kesimpulan: tidak didapatkan tanda-
tanda infeksi intrauterine.
Penatalaksanaan:  IVFD RL
Penanganan berdasarkan usia  Inj. Gentamycin 2 x 80 mg
kehamilan dapat dibagi menjadi dua, (18.00 dan 06.00)
yaitu:  Profenid supp.
Penanganan konservatif  Inj. Dexametason 16 mg I.V
Rawat di rumah sakit, berikan: (19.00)
 Antibiotik (ampisilin 4x500
mg atau eritromisin bila Pada kasus ini dilakukan penanganan
alergi terhadap ampisilin) aktif karena adanya tanda-tanda
selama 7 hari inpartu:
 Metronidazol 2x500 mg 3.4 His : 10.3.30 (ibu
selama 7 hari mengalami kontraksi His yang
Jika usia kehamilan: semakin sering dan lama)
 <32-34 minggu: Dirawat 3.5 Pembukaan: 2 cm, effacement:
36

selama air ketuban masih 100%, Hodge I.


keluar, atau sampai air
ketuban tidak keluar lagi.
Penanganan aktif
Penanganan aktif dilakukan dengan
menterminasi kehamilan.
 Usia kehamilan 26-30 minggu:
Disarankan untuk melakukan
observasi dan follow up.
Berikan antibiotik profilaksis
dan steroid untuk maturasi
paru. Resiko prematuritas lebih
tinggi dibandingkan dengan
resiko infeksi janin/neonatus.
Berikan tokolitik jika ibu akan
dipindahkan ke pusat
kesehatan lainnya.
37

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Diagnosa PPROM pada pasien ini ditegakkan berdasarkan:


 Anamnesa
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi intra uterin pada pasien ini.
3. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
etiologi PPROM pada pasien ini kemungkinan adalah infeksi asenden yang
bermula dari riwayat keputihan yang pernah dialami pasien sebelumnya,
diperburuk dengan kondisi gizi pasien yang kurang.
4. Faktor resiko PPROM pada pasien ini di antaranya adalah riwayat keputihan
sebelumnya dan kondisi gizi pasien yang kurang.
5. Penatalaksanaan pasien PPROM pada kasus ini adalah penanganan aktif yaitu
berupa terminasi kehamilan pro ekspectative per vaginam karena adanya tanda-
tanda inpartu, yaitu adanya kontraksi His yang semakin sering dan lama serta
diikuti pembukaan dan dilatasi dari serviks.

5.2 Saran

1. Pada pasien ini belum ditemukan etiologi yang jelas, oleh karena itu diperlukan
pemeriksaan penunjang lainnya untuk mengetahui etiologinya. Pemeriksaan
yang disarankan antara lain VVP, UL, dan kultur cairan amnion.
38

Anda mungkin juga menyukai