PENDAHULUAN
Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling
sering dijumpai. Insiden ketuban pecah ini dilaporkan bervariasi dari 6% hingga
10%, di mana sekitar 20% dari kasus tersebut, atau sekitar 1% dari total kehamilan
merupakan PPROM. Sekitar 8 hingga 10% pasien PROM memiliki resiko tinggi
infeksi intrauterine akibat interval antara ketuban pecah dan persalinan yang
memanjang. PROM berhubungan dengan 30 hingga 40% persalinan preterm
dimana sekitar 75% pasien akan mengalami persalinan satu minggu lebih dini dari
jadwal (Danielsson, 2009; Mochtar, 1998).
Ketuban pecah dini premature (PPROM) terjadi pada usia gestasi 24-37
minggu yang pengelolaannya jauh lebih sulit dibandingkan dengan ketuban pecah
dini (PROM). Beberapa hal perlu diperhatikan dalam manajemen PPROM seperti
prematuritas. Prematuritas adalah resiko utama untuk janin, sementara morbiditas
infeksi dan komplikasinya merupakan resiko maternal yang utama. Semua rencana
1
2
pengelolaan PPROM jauh lebih panjang dan meliputi keluarga dan tim medis untuk
merawat kehamilan, termasuk tim medis neonatal dan ibu. PPROM harus dirawat di
mana fasilitas NICU tersedia karena kebanyakan ibu dengan PPROM melahirkan
setelah satu minggu ketubannya pecah sehingga transfer ibu hamil ke fasilitas yang
berkualitas sangat mendesak dan harus difasilitasi segera setelah diagnosis
ditegakkan.
Dengan terapi yang tepat dan manajemen konservatif, sekitar 50% dari
seluruh kehamilan dengan PPROM mengalami persalinan 1 minggu setelah ketuban
pecah. Dengan demikian sangat sedikit wanita hamil dengan PPROM mengalami
persalinan lebih dari 3-4 minggu setelah ketuban pecah. Penutupan secara spontan
dari selaput ketuban sangat jarang sekali terjadi (<10% dari semua kasus). Ada
beberapa kontroversi mengenai pendekatan medis yang terbaik untuk wanita hamil
dengan PPROM meliputi pilihan terapi dan perawatan yang tepat agar resiko
maternal dapat diminimalisir dan meningkatkan keuntungan bagi bayi yang akan
dilahirkan serta mengurangi sisi negatif dari prematuritasnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Amnion manusia terdiri dari lima lapisan yang berbeda. Lapisan ini tidak
mengandung pembuluh darah maupun saraf, sehingga nutrisi disuplai melalui cairan
amnion. Lapisan paling dalam dan terdekat pada fetus ialah epitel amniotik. Epitel
amniotik ini mensekresikan kolagen tipe III dan IV serta glikoprotein non kolagen
(laminin, nidogen dan fibronectin) dari membrana basalis, lapisan amnion di
sebelahnya (Gjoni, 2006; Widjanarko, 2009).
Lapisan kompakta jaringan konektif yang melekat pada membrana basalis ini
membentuk skeleton fibrosa dari amnion. Kolagen dari lapisan kompakta
disekresikan oleh sel mesenkim dari lapisan fibroblast. Kolagen interstitial (tipe I dan
III) mendominasi dan membentuk parallel bundles yang mempertahankan integritas
mekanik amnion. Kolagen tipe V dan VI membentuk koneksi filamentosa antara
kolagen interstitial dan membrane basalis epithelial. Tidak ada interposisi dari materi
yang menyusun fibril kolagen pada jaringan konektif amniotik sehingga amnion
5
Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotik yang paling tebal terdiri dari
sel mesenkim dan makrofag di antara matriks seluler. Kolagen pada lapisan ini
membentuk jaringan longgar dari glikoprotein non kolagenosa. Lapisan intermediate
(spongy layer atau zona spongiosa) terletak di antara amnion dan korion. Lapisan ini
banyak mengandung hydrated proteoglycan dan glikoprotein yang memberikan sifat
“spongy” pada gambaran histologi. Lapisan ini juga mengandung nonfibrillar
meshwork yang sebagian besar terdiri dari kolagen tipe III. Lapisan intermediate ini
mengabsorbsi stres fisik yang terjadi (Gjoni, 2006; Widjanarko, 2009).
Walaupun korion lebih tebal dari amnion, amnion memiliki tensile strength
yang lebih besar. Korion terdiri dari membran epithelial tipikal dengan polaritas
langsung menuju desidua maternal. Pada proses kehamilan, vili trofoblastik di antara
lapisan korionik dari membrana fetal mengalami regresi. Di bawah lapisan
sitotrofoblas (dekat janin) merupakan membrana basalis dan jaringan konektif
korionik yang kaya akan serat kolagen. Membran fetal memperlihatkan variasi
regional. Walaupun tidak ada bukti yang menunjukan adanya titik lemah di mana
membran akan pecah, observasi harus dilakukan untuk menghindari terjadinya
perubahan struktur dan komposisi membran yang memicu terjadinya ketuban pecah
dini (Gjoni, 2006).
6
Ketuban pecah dini (PROM) selama kehamilan saat ini terutama disebabkan
infeksi sebelumnya. Lebih khusus, PROM disebabkan oleh rhexis atau pecah
11
amnion, terutama di daerah yang kontak dengan serviks uterus. Membran yang
mengalami rupture premature tampak memiliki defek fokal dibanding kelemahan
menyeluruh. Daerah dekat tempat pecahnya membrane ini disebut “ restricted zone
of extreme altered morphology” yang ditandai dengan adanya pembengkakan dan
kerusakan jaringan kolagen fibrilar pada lapisan kompakta, fibroblast maupun
spongiosa. Daerah ini akan muncul sebelum ketuban pecah dini dan merupakan
daerah breakpoint awal. Rhexis amnion dapat disebabkan oleh (1) melemahnya fisik
amnion, (2) peningkatan tekanan intrauterin, dan (3) dilatasi serviks. Infeksi dapat
menyertai masing-masing kondisi ini, yang semuanya berinteraksi satu sama lain
(Soewarto, 2010).
2.4 Etiologi
Setelah ketuban pecah dini pada kondisi “term’, sekitar 70% pasien akan
memulai persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah
dini preterm, periode latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun terbalik
dengan usia gestasional, misalnya pada kehamilan minggu ke 20 hingga ke 26, rata-
rata periode latensi sekitar 12 hari. Pada kehamilan minggu ke 32 hingga ke 34,
periode latensi berkisar hanya 4 hari (Mercer, 2008).
16
Ketuban pecah dini dapat memberikan stress oksidatif terhadap ibu dan bayi.
Peningkatan lipid peroxidation dan aktivitas proteolitik dapat terlihat dalam
eritrosit.Bayi premature memiliki pertahanan antioksidan yang lemah. Reaksi radikal
bebas pada bayi premature menunjukan tingkat lipid preoxidation yang lebih tinggi
selama minggu pertama kehidupan. Beberapa komplikasi pada neonatus diperkirakan
terjadi akibat meningkatnya kerentanan neonatus terhadap trauma radikal oksigen
(Mercer, 2008).
17
2.7 Diagnosa
1. Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang
banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok. Cairan berbau khas,
dan perlu juga diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut tersebut his
belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2. Konfirmasi usia kehamilan
3. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina,
bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan
ini akan lebih jelas.
(Soewarto, 2010)
(Gjoni, 2006)
20
2.8 Komplikasi
Komplikasi PPROM:
1. Persalinan prematur
PPROM merupakan penyebab pentingnya persalinan premature dan
prematuritas janin. Setelah ketuban pecah biasanya diikuti dengan
persalinan. Pada kasus ketuban pecah dini preterm biasanya 50%
persalinan akan terjadi dalam kurun waktu 24 jam
2. Infeksi fetal/neonatal
Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia, omfalitis
3. Infeksi maternal
21
2.9 Penatalaksanaan
<32-34 minggu: Dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air
ketuban tidak keluar lagi.
32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif:
o Berikan steroid (deksametason) untuk menginduksi pematangan paru
janin
o Observasi tanda-tanda infeksi
o Observasi kesejahteraan janin
o Terminasi pada saat kehamilan mencapai usia 37 minggu (Soewarto,
2010)
32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada tanda-tanda infeksi:
o Berikan tokolitik (salbutamol)
o Berikan steroid (deksametason) untuk menginduksi pematangan paru
janin
o Lakukan induksi setelah 24 jam (Soewarto, 2010)
32-37 minggu, ada infeksi:
o Antibiotik
o Berikan steroid (deksametason) untuk menginduksi pematangan paru
janin
o Lakukan induksi persalinan
o Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi
intrauterin) (Soewarto, 2010)
2. Penanganan aktif
Penanganan aktif dilakukan dengan menterminasi kehamilan. Terminasi
kehamilan dipertimbangkan jika resiko dari infeksi jauh lebih besar dibandingkan
dengan resiko prematuritas. Yang juga dipertimbangkan dalam terminasi kehamilan
adalah survivalitas janin, usia ibu, BOH, IUGR, diabetes, dan sebagainya. Berikut ini
adalah hasil studi yang dapat membantu klinisi dalam membuat keputusan
terminasi kehamilan:
Usia kehamilan 20-24 minggu:
Survivalitas janin sangat rendah (< 20-25%), resiko infeksi sangat tinggi,
komplikasi jangka panjang sering terjadi, dan dibutuhkan follow-up yang
23
2.10 Medikasi
1. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas perinatal
pasca ketuban pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan resiko terjadinya
sindrom distress pernafasan (20–35,4%), hemoragi intraventrikular (7,5–15,9%),
enterokolitis nekrotikans (0,8–4,6%). Rekomendasi sebagian besar menggunakan
betamethason (celestone) intramuscular 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari.
National Institute of Health merekomendasikan pemberian kortikosteroid
sebelum masa gestasi 30–23 minggu, dengan asumsi viabilitas fetus dan tidak ada
infeksi intra amniotik.Pemberian kortikosteroid setelah masa gestasi 34 minggu
masih kontroversial dan tidak direkomendasikan kecuali ada bukti immaturitas paru
melalui pemeriksaan amniosentesis (Danielsson, 2009; Medina, 2006)
2. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi
neonatal dan memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan
meliputi ampisilin 2 gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam selama
48 jam, diikuti pemberian amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam
untuk lima hari. Pasien yang mendapat kombinasi ini dimungkinkan dapat
mempertahankan kandungan selama 3 minggu setelah penghentian pemberian
antibiotik setelah 7 hari (Medina, 2006).
3. Agen Tokolitik
Pemberian agen tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi
namun tidak memperbaiki luaran neonatal. Tidak banyak data yang tersedia
mengenai pemakaian agen tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen
tokolitik jangka panjang tidak diperkenankan dan hingga kini masih menunggu hasil
penelitian lebih jauh (Medina, 2006).
25
(Medina, 2006)
Gambar 2.2 Algoritma penatalaksanaan ketuban pecah dini preterm
26
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Subjektif
Keluhan utama : Kenceng-kenceng dan keluar cairan dari jalan lahir
18 Juli 2011 jam 16.30, pasien merasa keluar cairan dari jalan lahir disertai
kenceng-kenceng. Pada jam 17.30, pasien pergi ke RSI dan dikonsulkan ke
Sp. OG dan di-AP konservatif.
19 Juli 2011 jam 09.00, pasien merasa kenceng-kenceng dan dilakukan USG,
ternyata didapatkan ketuban minimal setelah itu dilakukan VT, didapatkan
pembukaan 2 cm dan direncanakan dilahirkan karena pasien ikut jampersal
lalu pasien dirujuk ke RSSA untuk melahirkan.
Riwayat keputihan (+) selama masa kehamilan, fluor berwarna putih kental,
gatal dan berbau
Riwayat anyang-anyangan (-),
Alasan dirujuk: G3 P2002 Ab000 hamil 28-30 minggu + KPD + 12 jam
Pengobatan pendahuluan di luar RSSA dilakukan pada tanggal 18 Juli 2011
dengan medikasi:
27
IVFD RL
Inj. Gentamycin 2 x 80 mg (18.00 dan 06.00)
Profenid supp.
Inj. Dexametason 16 mg I.V (19.00)
Riwayat Persalinan:
1. Aterm/?/ Sptb/ dukun/ perempuan/ 15 tahun/ hidup
2. Aterm/2500 gram/ Sptb/ RSSA/ Laki-laki/ 12 tahun/ hidup
3. Hamil ini
Riwayat kehamilan sekarang
ketuban pecah tanggal 18 Juli 2011 jam 16.30
Kontrasepsi sebelum hamil ini: (-)
3.3 Objektif
3.3.1 Status interna
KU : baik, compos mentis
TB : 155 cm
BB : 50 kg
TD : 120/80
Nadi : 88 x/menit
Tax : 36,6 oC
Trec : 36,8 oC
K/L : an (-), ict (-)
Cor/pulmo : S1S2 single murmur (-) gallop (-) / vesicular, rh (-), wh (-)
Abdomen : BU (+) N
Ekstirimitas : edema (-) cyanosis (-)
His : 10.3.30
Pembukaan : 2 cm, efficement: 100%, Hodge I,
Ketuban : jernih
Presentasi kepala, denominator UUK jam 3, UPD: dbn
3.4 Assesment
G3 P2002 Ab000 part 28-30 mgg T/H + Kala I fase laten + Partus prematurius +
Riwayat PPROM + Primi tua sekunder
3.5 Planning
PDx : DL admission test
PTx : evaluasi 6 jam lagi (18.00) pro expectative pervaginam
PMo : VS, keluhan, DJJ, kemajuan persalinan
PEd : KIE (Kemungkinan bayi hidup setelah lahir sangat kecil karena
kondisi bayi yang masih sangat kecil)
Kelahiran bayi
Bayi lahir hidup pada tanggal 19 Juli 2011 jam 20.09 dengan jenis kelamin
perempuan, berat badan janin 1320 gram, panjang badan 37 cm, dan Apgar
Score: 6-8
Deselerasi :-
Hasil
laboratorium:
DL: 9600/11,8/
35,1/ 185.000
6-8
.
33
BAB IV
PEMBAHASAN
Pemeriksaan Penunjang:
o Tes Lakmus: +
o USG: Maturasi grade I-II
Etiologi: Riwayat Infeksi saluran kemih
o Infeksi langsung atau ascenden (demam, anyang-anyangan, nyeri
o Inkompeten serviks supra/retropubik, dysuria): -
o Tekanan intrauterine yang Riwayat infeksi genitalia: (+) ditandai
berlebihan denga adanya riwayat keputihan
multigravida, defisiensi gizi. TB: 155 cm, BB: 50 kg. ibu hamil
underweight.
Riwayat gizi: jarang makan daging dan
jarang minum susu.
Dalam kasus ini faktor penyebab dari
PPROM diduga adalah infeksi
asenden dari vagina (riwayat
keputihan +). Hal ini juga diperberat
dengan faktor sosioal ekonomi dan
gizi dimana pasien tergolong
underweight
Faktor resiko:
o Kehamilan multipel o Riwayat kehamilan multipel: -
o Riwayat persalinan preterm o Riwayat persalinan sebelumnya:
sebelumnya aterm
o Perdarahan pervaginam o Perdarahan pervaginam: -
o pH vagina di atas 4,5 o Riwayat ketuban pecah dini
o Kelainan atau kerusakan selaput sebelumnya : -
ketuban o Riwayat trauma: -
o Flora vagina abnormal
o Fibronektin >50 ng/ml
o Kadar CRH (corticotrophin
releashing hormone) maternal
yang tinggi misalnya pada stress
psikologis, dapat menjadi stimulasi
persalinan preterm
o Inkompetensi serviks (leher rahim)
o Polihidramnion (cairan ketuban
berlebih)
o Riwayat ketuban pecah dini
sebelumnya
35
o Trauma
o Serviks tipis/kurang dari 39 mm,
serviks yang pendek (<25 mm)
pada usia kehamilan 23 minggu
o pada kehamilan seperti bacterial
vaginosis.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
1. Pada pasien ini belum ditemukan etiologi yang jelas, oleh karena itu diperlukan
pemeriksaan penunjang lainnya untuk mengetahui etiologinya. Pemeriksaan
yang disarankan antara lain VVP, UL, dan kultur cairan amnion.
38