Anda di halaman 1dari 57

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A220111/Juni 2022


**Pembimbing/ dr. Rudy Gunawan, Sp.OG, (K)-ONK, DMAS, FICRS

ADENOMIOSIS UTERI + KISTA OVARIUM

Resty Tri Arini, S.Ked*


dr. Rudy Gunawan, Sp.OG, (K)-ONK, DMAS, FICRS**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
Case Report Session (CRS)

ADENOMIOSIS UTERI + KISTA OVARIUM

DISUSUN OLEH
Resty Tri Arini, S.Ked
G1A220111

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Raden Mattaher Jambi
Program Studi Pendidikan Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Juni 2022

PEMBIMBING

dr. Rudy Gunawan, Sp.OG, (K)-ONK, DMAS, FICRS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga “Adenomiosis Uteri+Kista Ovarium” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Obstetri dan
Ginekologidi RSUD Raden Mattaher Jambi
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rudy Gunawan, Sp.OG, (K)-
ONK, DMAS, FICRS, yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Obstetri dan Ginekologi di RSUD Raden Mattaher Jambi
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup
semoga kiranya Case Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya
dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Juni 2022

Resty Tri Arini


BAB I
PENDAHULUAN

Adenomyosis adalah kondisi ginekologi yang ditandai dengan jaringan


endometrium ektopik di dalam miometrium uteri. Pertama kali dijelaskan pada tahun
1860 oleh ahli patologi Jerman Carl von Rokitansky, temuan histopatologinya disebut
"cystosarcoma adenoids uterinum."  Tanda dan gejala yang muncul bervariasi, tetapi
yang paling umum adalah menstruasi yang menyakitkan dan/atau perdarahan
menstruasi yang banyak. Secara historis, kondisi ini merupakan diagnosis histologis
yang memerlukan biopsi atau lebih sering histerektomi. Saat ini, diagnosis dapat
dibuat secara non-invasif menggunakan ultrasound atau magnetic resonance imaging
(MRI). Perawatan definitif untuk wanita yang tidak lagi menginginkan kehamilan
adalah histerektomi, sementara berbagai terapi medis dan invasif minimal lainnya
tersedia bagi mereka yang ingin mempertahankan kesuburan atau ingin menghindari
operasi yang lebih luas.
Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna, merupakan
kelainan jinak uterus yang ditandai oleh adanya komponen epitel dan stroma jaringan
endometrium fungsional di miometrium.1,2 Adenomiosis terdiri dari adeno (kelenjar),
mio (otot) dan osis (suatu kondisi) yang secara tidak jelas didefinisikan sebagai
adanya atau tumbuhnya kelenjar (endometrium) di lapisan otot (miometrium).2
Pada keadaan normal, terdapat lapisan pembatas antara endometrium dan
miometrium yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap invasi dari jaringan
endometrium. Adenomiosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang
merupakan lapisan rahim, ada dan tumbuh di dalam dinding (otot) rahim.2,3
Adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan
miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus dengan gambaran
mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh
jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.2,3,4

1
Adenomiosis merupakan kelainan patologis yang sering ditemukan pada
wanita multipara usia 40 – 50 tahun, wanita premenopause dengan diagnosis
adenomiosis yaitu 70%. Adenomiosis berperan sebagai salah satu penyebab
subfertilitas bahkan infertilitas pada populasi wanita. Hanya saja diagnosis
adenomiosis saat itu masih berdasarkan spesimen histerektomi sehingga sangat sulit
mengevaluasi pengaruhnya terhadap fertilitas.4
Dalam berbagai penelitian, prevalensinya berkisar antara 5 hingga 70%.
Besarnya rentang ini mungkin di karenakan oleh banyak faktor termasuk klasifikasi
diagnostik yang beragam, perbedaan jumlah jaringan yang diambil sebagai sample
biopsy dan biasa yang mungkin timbul dari hal patologinya sendiri karena
mempertimbangkan perjalanan penyakit pasien. Secara umum, rata – rata frekuensi
kejadian adenomiosis pada histerektomi adalah sekitar 20-30%.4,5
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit ditegakan karena disebabkan oleh
gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan pada
fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu
histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI.5
Berikut ini akan disampaikan laporan kasus tentang diagnosis dan penatalaksanaan
adenomiosis.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. O Suami
Umur : 26 Tahun Nama : Tn.P
Suku/Bangsa : Melayu/Indonesia Umur : 29 tahun
Agama : Islam Suku/Bangsa : Melayu
Pendidikan : D3 Agama : Islam
Pekerjaan : Perawat Agama : Islam
Alamat : Talang Bakung Pendidikan : S1
MRS : 8 Juni 2022 Alamat : Talang Bakung

2.2. ANAMESIS
Keluhan Utama:
Nyeri perut bagian bawah yang hebat sejak ± 2 minggu SMRS

Riwayat Peyakit Sekarang


Sejak ± 9 tahun yang lalu pasien mengalami menstruasi untuk pertama
kalinya. Pasien mengeluh sejak saat itu dan setiap bulannya mengalami nyeri
perut dihari pertama menstruasi, nyeri juga dirasakan dibagian panggul pasien
namun tidak seberat saat nyeri dibagian perut. Keluhan disertai mual dan
terkadang sapai muntah. Keputihan 1 minggu setelah haid (+), tidak berwarna,
kental dan tidak berbau. Nafsu makan biasa, BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
Sejak ± 1 tahun pasien rutin periksa ke dokter kandungan setiap
bulannya, saat dilakukan pemeriksaan USG, kesan yang didapat selalu normal
kemudian pasien diberikan obat anti nyeri. Sejak saat itu, setiap mengalami
nyeri pasien rutin konsumsi obat anti nyeri setiap bulannya.

2
3

± 2 minggu SMRS, pasien dibawa keluarga ke IGD Klinik dengan


keluhan nyeri perut bagian bawah yang dirasakan lebih berat dari pada
biasanya. Saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter umum di IGD Klinik
tersebut, dokter mengatakan adanya pembekakan didaerah rahimnya dengan
ukuran ±6 cm. Lalu pasien dirujuk ke RS annisa saat di USG ukurannya ±8
cm. Keluhan disertai mual dan muntah dengan frekuensi muntah 4 kali dalam
sehari. Keputihan 1 minggu setelah haid (+), tidak berwarna, kental, dan tidak
berbau. Pasien juga mengeluhkan berat badan menurun dalam 2 bulan ini
(50kg  45 kg) namun nafsu makan baik.

Riwayat Penyakit Dahulu:


a. Riwayat Operasi Sectio Caesarea
b. Riwayat Hipertensi (-)
c. Riwayat Diabetes Melltus (-)
d. Riwayat Asma (-)
e. Riwayat Malaria (-)
f. Riwayat Penyakit Jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:


a. Riwayat hipertensi (-)
b. Riwayat diabetes mellitus (-)
c. Riwayat asma (-)
d. Riwayat malaria (-)
e. Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat Sosial Ekonomi


Riwayat kebiasaan merokok (-), mengkosumsi alkohol dan jamu (-). Pasien
bekerja sebagai perawat.
4

2.3. DATA KEBIDANAN


a. Haid
- Menarche usia : 17 tahun
- Haid : teratur
- Lama haid : 4 hari
- Siklus : 30 hari
- Dismenorrhea : Ya
- Warna : merah segar
- Bentuk perdarahan/haid : tidak bergumpal
- Bau haid : anyir
- Fluor albus :

b. Riwayat Perkawinan
- Status pernikahan : Menikah
- Jumlah : 1 kali
- Lama pernikahan : 3 tahun
- Usia saat menikah : Istri 23 tahun, Suami 29 tahun

c. Riwayat Kehamilan, Persalina dan Nifas yang lalu

Tahun Umur Jenis Anak


No Penolong Nifas ket
partus kehamilan persalinan Penyulit JK BB

7-8
1 2019 Abortus - - - - -
minggu
14-15 SC a/I
2 2020 Dokter - 40 hari LK -
minggu KET
5

2.4. DATA OBJEKTIF


- Keadaan Umum : Baik
- Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
- Tanda-tanda vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 86 kali/menit
Respiratory Rate : 20 kali/menit
Suhu : 36,5°C
Saturasi : 99%
Berat Badan : 45 kg
Tinggi badan : 160 cm
Lingkar lengan atas : 25 cm

1. Status Generalis
- Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut
- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokhor
- Mulut : bibir kering (-), stomatitis (+)
- Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Kelenjar Tiroid (-)
- Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
- Jantung : BJ I-II Regular, Murmur (-), Gallop (-)
- Abdomen : soepel, nyeri tekan perut bawah (+), bising usus (+),
hepar dan lien tidak teraba.
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-)
6

Pemeriksaan Genitalia
- Pemeriksaan inspekulo : Tampak fluksus darah (+) yang merah segar
dan banyak. Tampak cairan kental kecoklatan yang bercampur darah.
Tampak benjolan (+) yang tak beraturan. Porsio terlihat berdungkul di
sekelilingnya
- Vaginal touché : tidak dilakukan

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


PRE-OPERATIVE
1) Pemeriksaan USG (08-06-222)

- Massa kistik 8,7 x 8 cm


- RI 0.001 , papil (+)
- Massa multiple pada uteri dengan ukuran 3.2 cm, 1.6 cm, 2.2 cm, 3.3
cm.
Kesimpulan : Adenomiosis Uteri Multiple + Kista Ovarium Susp. Maligna

2) Pemeriksaan Darah Rutin (09-06-2022)

Hematologi Rutin
Hasil Satuan Nilai rujukan
(09/06/2022)

Hemoglobin 13.2 g/dL 13.4-15.5


7

Hematokrit 39.0 % 34,5-54

Eritrosit 4.77 x10^6/uL 4.0-5.0

MCV 81.8 fL 80-96

MCH 27.7 Pg 27-31

MCHC 33.9 g/dL 32-36

RDW 11.3 %

Trombosit 314. x10^3/uL 150-450

PCT .231 % 0.150-0.400

MPV 7.35 fL 7.2-11.1

PDW 20.2 fL 9-13

Leukosit 7.41 x10^3/uL 4.0-10.0

3) Pemeriksaan Kimia Darah (09-06-2022)


Jenis Pemeriksaan Hasil Normal
Glukosa Darah
Gula Darah Puasa 98 74-106 mg/dl
Gula Darah 2 Jam PP 89 <200 mg/dl
Faal Ginjal
Ureum 20 15-39 mg/dL
Kreatinin 0.64 0.55-1.3 mg/dL
Faal Hati
SGOT 19 15-37 u/l
SGPT 13 14-63 u/l
8

Total Protein 7.8 6.4-8.2 g/dl


Albumin 5.0 3.4-5.0 g/dl
Globulin 2.8 2.5-3.5 g/dl

4) Pemeriksaan Rontgen Thoraks PA (09-06-2022)

Kesan :
Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo saat ini

POST OPERATIVE
1) Pemeriksaan Darah Rutin (13-06-2022)

Hematologi Rutin
Hasil Satuan Nilai rujukan
(13/06/2022)

Hemoglobin 11.1 g/dL 13.4-15.5

Hematokrit 32.7 % 34,5-54


9

Eritrosit 4.00 x10^6/uL 4.0-5.0

MCV 81.8 fL 80-96

MCH 27.8 Pg 27-31

MCHC 34.0 g/dL 32-36

RDW 11.2 %

Trombosit 224. x10^3/uL 150-450

PCT .154 % 0.150-0.400

MPV 6.85 fL 7.2-11.1

PDW 19.5 fL 9-13

Leukosit 17.9 x10^3/uL 4.0-10.0

2) Pemeriksaan Patologi Anatomi (13-04-2021)


Makroskopik
Diterima dua buah kantong jaringan tanpa E-Tiket keterangan:
Sebuah jaringan uterus yang sudah terbelah berporsio tidak rata berdungkul-
dungkul dengan kedua adneksaa menempel Uterus berukuran 92 x 61 x 40
mm. Pada lamelasi, pada dinding kanalis servikalis tampak masa putih kusam
padat sebagian rapuh, ukuran 57 x 20 mm, kavum uteri isi kosong. Tebal
dinding corpus 18 - 22 mm. Adneksa 1; Tuba Panjang 70 mm, diameter l5
mm. Ovarium berukuran 33 x 21 x 7 mm. Pada lamelasi ovarium tampak
padat putih kecoklatan. Adneksa 2; Tuba Panjang 79 mm, diameter 9 mm.
Pada ujung Tuba tampak struktur kista ukuran 36 x 35 mm. Pada irisan
penampang berongga satu berisi Jelly bening. Ovarium 2; keeping-keping
jaringan sebanyak 8,61 gram ; padat putih kecoklatan
Mikroskopik
10

Sampel jaringan operasi memperlihatkan gambaran sebagai berikut :


1. – Vagina: dilapisi epitel gepeng berlapis, dengan inti sel dalam batas
normal. Subepitelial tampak stroma jaringan ikat fibrokolagen bersebukan
massif sel radang limfosit terutama di dekat lapisan epithelial, disertai
dilatasi pembuluh darah. Tidak tampak invasi sel tumor tersebut di bawah.
- serviks : ektoserviks dilapisi epitel berlapis gepeng yang Sebagian
telah berubah jadi massa tumor. Massa tuor terdiri dari sel-sel bentuk
bulat, oval polygonal yang tumbuh hiperplastis, memadat. Pada bagian
tepi kelompokan sel tumor tersusun membentuk palisading. Inti sel
pleomorfik, hiperkromatis, Sebagian vesikuler dengan anak inti jelas,
mitosis ditemukan. Tampak area nekrosis dan banyak kelompokkan
sel tumor dengan ‘central necrosis’ serta pembentukan Mutiara
keratin. Beberapa sel tumor sebagian tampak bersitoplasma
eosinofilik. Stroma jaringan ikat fibrokolagen di sekitarnya
berserbukan sel radang limfosit dan sel plasma. Tampak sel tumor
telah menginvasi pembuluh limfovaskular.
- Corpus; endometrium dilapisi epitel torak dengan inti sel dalam batas
normal. Subepitelial tampak kelenjar endometrium bentuk tubuler
dilapisi epitel torak, inti sel dalam batas normal. Myometrium terdiri
dari sel myosit dan fibrosit yang tersusun fasciculus, inti dalam batas
normal. Tampak invasi sel ganas tersebut di atas.
- Adneksa 1; tuba mukosa berugae, dilapisi epitel torak bersilia, inti
dalam batas normal.subepitelial tampak jaringan ikat fibromaskuler.
Ovarium berupa stroma padat ovari dengan corpus albicantes disertai
dilatasi pembuluh darah. Tidak tampak invasi sel ganas tersebut di
atas.
- Adneksa 2; tuba mukosa berugae, dilapisi epitel torak bersilia, inti
dalam batas normal. subepitelial tampak jaringan ikat fibromaskuler.
Struktur kista tampak dengan permukaan dalam dilapisi selapis epitel
11

kuboid-pipih dengan inti sel dalam batas normal. Subepitelial tampak


jaringan ikat fibrokolagen. Ovarium berupa stroma padat ovari dengan
corpus albicantes serta corpus luteum. Tidak tampak invasi sel ganas
tersebut di atas
2. Sedian berupa 6 buah struktur kelenjar getah bening. Kelenjar getah
bening tapak dilatasi kapsul jaringan ikat fibrokolagen. Subcapsular
tampak folikel limfoid, beberapa dengan centrum germinativum. Tampak
sinus-sinus yang melebar berisi histosit. Pada dua buah KGB tampak sel-
sel tumor tersebut diatas.

Kesimpulan
Cervical basaloid squamous cell carcinoma yang telah bermetastasis ke corpus
uteri dan 2 KGB pelvik bilateral.

2.6. DIAGNOSIS
Diagnosa:
Pre-Operative : Adenomiosis Uteri + Kista Ovari +Adhesi Colon
Post Operasi : Post Op Miomektomi + Salpingektomi dextra + Adhesiolisis
Colon a/i Mioma Uteri + Kista Ovari Dextra + Adhesi Colon

2.7. PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa
o IVFD RL + D5% (1:3) 30 tpm
o Inj. Ceftriaxone 3x1gr
o Inj. Metronidazole 3x1 Flash
o Inj. Keterolac 3x30mg
Terapi Bedah
Miomektomi + Salpingektomi dextra + Adhesiolisis Colon
12

Non Medikamentosa
- Observasi Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital

2.8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

2.9. FOLLOW UP
Tanggal Follow up
13/06/2022 S : - Nyeri dibekas operasi (+)
O : - KU :Tampak sakit sedang
- TD : 130/80 mmHg
- N : 88 x/i
- RR : 22x/i
- T : 36,4ºC
A : Post Op Miomektomi + Salpingektomi dextra + Adhesiolisis +
Colon Hr-1 a/i Mioma Uteri + Kista Ovari Dextra + Adhesi Colon

P:
- IVFD RL + D5% (1:3) 30 tpm
- Inj. Ceftriaxone 3x1gr
- Inj. Metronidazole 3x1 Flash
- Inj. Keteolac 3x30mg
14/06/2022 S : - Nyeri dibekas operasi (+)
O : - KU :Tampak sakit sedang
- TD : 104/67 mmHg
- N : 96 x/i
13

- RR : 18x/i
- T : 36,5ºC
A : Post Op Miomektomi + Salpingektomi dextra + Adhesiolisis +
Colon Hr-1 a/i Mioma Uteri + Kista Ovari Dextra + Adhesi Colon

P:
- IVFD RL + D5% (1:3) 30 tpm
- Inj. Ceftriaxone 3x1gr
- Inj. Metronidazole 3x1 Flash
- Inj. Keteolac 3x30mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adenomiosis Uteri


2.1.1 Anatomi
Serviks merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris,
menonjol dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum. Serviks
dibagi atas porsio yang menonjol ke dalam vagina (porsio vaginalis) dan di atas
vagina (porsio supravaginal). Kanalis servikalis yang bermuara ke dalam uterus
adalah orifisium internum, dan yang bermuara ke dalam vagina adalah orifisium
eksternum. Permukaan luar dari porsio vaginalis dikenal sebagai ektoserviks dan
porsio yang berhubungan dengan kanal servikalis adalah endoserviks.5,6
Berbeda dengan stratum fungsional endometrium, mukosa servikal
mengalami sedikit sekali perubahan dan tidak dilepaskan selama masa menstruasi.
Namun serviks mengandung banyak kelenjar bercabang, dan kelenjar ini
menampakkan perubahan aktifitas sekretoris selama fase-fase siklus menstruasi yang
berbeda. Jumlah dan jenis mukus yang disekresi kelenjar-kelenjar servikal berubah
selama siklus menstruasi karena dipengaruhi hormon ovarium berbeda. 6,7

Gambar 3.1. Anatomi Servik1

11
12

Serviks terdiri dari epitel selapis silindris penghasil mukus. Serviks memiliki
sedikit serat otot polos dan banyak jaringan ikat padat (85%). Bagian luar serviks
yang menonjol ke dalam lumen vagina ditutupi oleh epitel berlapis gepeng. 6,7
Mukosa serviks mengandung kelenjar yang bercabang banyak. Mukosa ini
tidak mengelupas selama menstruasi, meskipun kelenjar-kelenjarnya mengalami
sedikit perubahan struktur. Bila saluran kelenjar ini tersumbat, sekret tertahan
menyebabkan pelebaran yang membentuk kista nabothi. Selama kehamilan, kelenjar
mukosa serviks berproliferasi dan mengeluarkan banyak mukus yang lebih kental.6,7
Kanalis servikalis terdiri dari endoserviks yang secara histologi terdiri dari
banyak lapisan mukosa longitudinal dan oblik yang membentuk pola seperti pohon.
Endoserviks dilapisi epitel toraks yang menghasilkan sekret dengan inti berbentuk
oval terletak di basal. Mukosa endoserviks terdiri dari satu lapisan kolumner yang
memproduksi musin. Lamina propria merupakan stroma padat, memisahkan kelenjar
–kelenjar berbentuk tubuler dan bercabang-cabang.6,7
Ektoserviks ditutupi oleh epitel berlapis gepeng tidak berkeratin yang terdiri
dari tiga lapisan yaitu stroma basal, stratum dan daerah superfisial. Proliferasi dan
maturasi dari sel-sel ektoserviks distimulasi oleh estrogen dan diinhibisi oleh
progesterone.6,7
Batas antara epitel skuamosa dan kolumner dari serviks disebut dengan
squamocolumnar conjunction, dan letaknya bervariasi tergantung pada status
hormonal wanita. Pada bayi, wanita yang belum pubertas, dan wanita yang sudah
menopause, squamocolumnar conjunction ini terletak di endoserviks di dalam kanalis
servikali, sedangkan pada wanita usia produktif terletak di ektoserviks, di luar kanalis
servikalis.
13

Gambar 3.2. Histologi Serviks 1

2.1.2 Definisi
Adenomiosis adalah suatu kondisi dimana terdapat jaringan mukosa
endometrium ( kelenjar - kelenjar dan stroma ) pada miometrium yang
hipertrofi dan reaktif. Terdapat jaringan endometrium di lapisan miometrium
tersebut dapat menyebabkan pembesaran uterus.5
Adenomiosis didefinisikan sebagai invasi jinak jaringan endometrium
ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus
dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non
neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.
Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi.
Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada
sembarang lokasi di kedalaman miometrium.
Adenomiosis secara relatif sering ditemukan pada spesimen
histerektomi dari perempuan yang mengalami menorrhagia yang tidak
berkaitan denggan mioma uterus atau patoligi endometrium. Hipertrofi dan
hiperplasia disekitar miometrium umumnya terjadi pada pembesaran uterus
difus. Pada adenomioma, terjadi proliderasi miometrium yang berlebihan di
sekitar fkus endometrium ektopik yang menyerupai leiomioma secara klinis.
14

Patogenesis pasti adenomiosis masih belum diketahui. Lesi


adenomiosis dapat berasal dari proses invaginasi lapisan endometrium ke
miometrium atau berkembang secara de novo dari sisa mullerian.

2.1.3 Epidemiologi
Karena diagnosis adeniomiosis ditegakkann secara histologis, angka
insidensi yang pasti tidaklah dapat ditentukan. Dalam berbagai penelitian,
prevalensinya berkisar antara 5 hingga 70 %. Besarnya rentang ini mungkin
dikarenakan oleh banyak faktor termasuk klasifikasi diagnostik yang beragam,
perbedaan jumlah jaringan yang diambil sebagai sampel biopsi dan bias yang
mungkin timbul dari hali patologinya sendiri karena mempertimbangkan
perjalanan penyakit pasien. Secara umum, rata rata frekuensi kejadian
adenomiosis pada histerektomi adalah sekitar 20 hingga 30 % .6
Penelitian klinis berkala telah menunjukkan peningkatan frekuensi
kejadian adenomiosis pada pasien multipara. Kehamilan mungkin akan
meningkatkan resiko kejadian adenomiosis karena terjadi invasi alamiah
trofoblas ke miometrioum saat implantasi. Sebagai tambahan, jika
dibandingkan dengan jaringan eutpik, jaringan adenomiosis memiliki rasio
jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak, yang mana peningatan hormon
selama kehamilan mungkin akan mengiduksi adenomiosis. Vercellini dkk
mengamati bahwa kejadian adenomiosis memang secara langsuing sangat
berkaitan dengan kehamilan. Selain itu Levgur dkk melaporkan pasien yang
telah menjalani terminasi kehamilan melalui diatasi dan kuretase mengalami
angka kejadian yang tinggi dalam hal adenomiosis jika dibandingkan dengan
wanita yang tidak pernah menjalani terminasi kehamilan. Penelitian ini
membuka kemungkinan bahwa efek dari kehamilan terdahulu dalam hal
patogenesis penyakit ini tidak adapat diabaikan , namun angka pastinya masih
belum dapat ditentukan. Beberapa studi menyatakan bahwa trauma akibat
operasi di pelvis dapat memicu invaginasi jaringan adenomiosis.
15

Parazzini dkk juga mengamati tingginya angka kejadian adenomiosis


pada mereka yang telah menjalani dilatasi dan kuretase. Meski demikian ,
masih terdapat bias dalam penelitian tersebut, apakah memang peningkatan
resiko adenomiosis itu disebabkan oleh prosedur dilatasi kuretasenya ataukah
adenomiosisnya disebabkan oleh fakta bahwa wanita yang menjalani dilatasi
kuretase biasanya mengalami hiperplasia jaringan nakiobat keadaan
hipoestrogen, yang pada pada akhirnya menyebabkan adenoimiosis.
Studi lain mentebuitkan tidak ada hubungan antara adenomiosis
dengan riwayat operasi transpelvic sebelumnya, ataupun Seksio Sesarea. Oleh
karena itu, masih belum jelas apakah riwayat operasi terdahulu merupakan
faktor resiko signifikan untuk adenoimiosis.
Tujuh puluh persen hingga 80 % adenomiosis dilaporkan pada wanita
umur 40 tahuna atau 50 tahunan. Karena diagnosis adenomiosis ditegakkan
secara histologis, pervalensi akan meningkat pada wanitya yang lebih tua,
mungkin karena tingginya riwayat prosedur histerektomi pada kelompok
wanita tersebut. Mungkin juga hal ini dikarenakan paparan estrogen yang
semakin meningkat seiring dengan pertmabhan usia. Lima hingga 25 persen
kasus adenomiosis dijumpai pada pasien berumur kurangt dari 39 tahun dan
hanya 5 persen hiungga 10 % saja yang dijumpai pada wanita usia lebih dari
60 tahun .

2.1.4 Etiologi
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis
antara lain usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia
endometrium, riwayat abortus spontan, dan polimenore . Sedangkan usia
menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus provokatus, riwayat
seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause, panjang siklus dan lama
haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan tidak berkaitan dengan
adenomiosis.5
16

2.1.5 Faktor Risiko


1) Usia
70 hingga 80 % wanita yang menjalani histerektomi untuk
adenomiosis berada pada dekade keempat dan kelima kehidupan mereka
dan multipara, beberapa penelitian telah melaporkan usia rata - rata di atas
50 tahun untuk wanita yang menjalani histerektomi untuk adenomiosis.
Namun, laporan yang lebih baru menggunakan kriteria MRI untuk
diagnosis, menunjukkan bahwa penyakit ini mungkin menyebabkan
dismenore dan nyeri panggul kronis pada remaja dan wanita usia
reproduksi yang lebih muda dari yang sebelumnya. Laporan - laporan ini
menunjukkan bahwa usia klinis pada presentasi adenomiosis mungkin
jauh lebih awal daripada yang diperkirakan sebelumnya dan bahwa
adenomiosis tahap awal mungkin menghadirkan klinis yang berbeda
fenotip dibandingkan dengan penyakit stadium akhir.
2) Multiparitas
Persentase tinggi wanita dengan adenomiosis adalah multipara.
Kehamilan dapat memfasilitasi pembentukan adenomiosis dengan
memungkinkan fokus adenomiotik dimasukkan dalam miometrium karena
sifat invasif trofoblas pada ekstensi serat miometrium. Selain itu , jaringan
adenomiotik mungkin memiliki rasio reseptor estrogen yang lebih tinggi
dan lingkungan hormonal kehamilan dapat mendukung perkembangan
pulau endometrium ektopik.7
3) Operasi Uterus Sebelumnya
Bukti mengenai peningkatan risiko yang signifikan dari operasi
rahim sebelumnya pada wanita dengan adenomiosis tidak konsisten. Data
klinis telah mendukung hipotesis bahwa adenomiosis terjadi ketika
kelenjar endometrium menyerang lapisan miometrium, dengan gangguan
17

bedah pada batas endometrium miometrium meningkatkan risiko


adenomiosis dalam beberapa penelitian.
Levgur et al . dan Parazzini et al . melaporkan bahwa pasien yang
telah menjalani penghentian kehamilan melalui pelebaran dan kuretase
menunjukkan tingkat adenomiosis yang lebih tinggi daripada wanita tanpa
penghentian kehamilan. Selanjutnya, Parazzini et al. dan Taran et al. juga
mengamati tingkat yang lebih tinggi dari adenomiosis pada pasien yang
tidak hamil yang telah mengalami pelebaran dan kuretase. Whitted et al.
mengamati peningkatan prevalensi adenomiosis pada subjek yang pernah
menjalani operasi caesar sebelumnya. Namun, penelitian lain melaporkan
tidak ada peningkatan tingkat operasi caesar atau prosedur bedah uterus
lainnya pada wanita dengan adenomiosis.
Dengan demikian, tidak jelas apakah riwayat operasi rahim
sebelumnya merupakan faktor risiko adenomiosis. Selain itu,
menempatkan hubungan antara riwayat bedah dan kejadian adenomiosis
berisiko ketika mempertimbangkan pemilihan pasien bedah. Para pasien
yang termasuk dalam mayoritas penelitian dirawat di era ketika laparatomi
biasa dilakukan; hasil dari studi ini mungkin berbeda ika dilakukan hari
ini.7
4) Merokok
Bukti mengenai hubungan antara merokok dan adenomiosis masih
kontroversial. Di satu sisi, dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah
merokok, perokok tampaknya memiliki kemungkinan lebih kecil untuk
mengalami adenomiosis. Temuan ini dapat dijelaskan dengan mekanisme
yang diinduksi hormon : penurunan kadar serum estrogen telah dilaporkan
pada perokok, dan adenomiosis telah disarankan untuk menjadi gangguan
estrogen-dependen. Namun, ada juga bukti bahwa tidak ada hubungan
antara adenomiosis dan merokok. Selain itu, dua penelitian bahkan
melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari riwayat merokok pada wanita
18

dengan adenomiosis dibandingkan pada kontrol. Dengan demikian,


hubungan antara adenomiosis dan merokok perlu diselidiki lebih lanjut.
5) Kehamilan Ektopik
Implantasi dalam fokus adenomiosis dapat mengakibatkan
kehamilan berkembang dalam miometrium. Selain itu, merokok telah
terbukti sebagai faktor risiko independen terkait dosis untuk kehamilan
ektopik. Dengan demikian, telah dihipotesiskan bahwa wanita dengan
adenomiosis lebih mungkin memiliki riwayat kehamilan ektopik , karena
adenomiosis dapat menjadi faktor risiko untuk perkembangan kehamilan
ektopik intramural. Penjelasan lain yang mungkin untuk tingkat kehamilan
ektopik yang lebih tinggi pada wanita dengan adenomiosis adalah tingkat
yang lebih tinggi dari wanita dengan riwayat merokok. Namun demikian,
asumsi mengenai peningkatan kemungkinan riwayat merokok dan
kehamilan ektopik dalam hubungannya dengan adenomiosis adalah
hipotesis yang membutuhkan bukti tambahan.
6) Depresi dan penggunaan antidepresan
Asosiasi baru dengan adenomiosis yang ditemukan pada penelitian
pada manusia dan hewan termasuk peningkatan risiko depresi, dan
penggunaan antidepresan yang lebih tinggi. Hubungan ini mungkin
disebabkan oleh kelainan dalam dinamika prolaktin. Paparan uterus
murine terhadap peningkatan prolaktin nampaknya cukup untuk
menyebabkan adenomiosis histologis dan berhubungan dengan pengaturan
dari kurir reseptor prolaktin uterus RNA.
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa prolaktin diproduksi oleh
jaringan rahim manusia termasuk endometrium, miometrium, dan
leiomioma dan bahwa reseptor prolaktin fungsional hadir di dalam rahim
dan mampu bertindak sebagai mitogen sel otot polos. Namun, dalam
penelitian oleh Taran et al., terlalu sedikit wanita dengan adenomiosis
memiliki hasil prolaktin serum untuk memungkinkan analisis langsung
19

dari hubungan ini. Lebih lanjut, adalah mungkin bahwa depresi mungkin
memiliki faktor patogenik yang umum dengan adenomiosis (mis.,
Peradangan). Penelitian telah menunjukkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan endometriosis dan adenomiosis berlanjut bahkan pada
hewan yang mengalami ovariektomi. Ini menunjukkan bahwa, di samping
hormon steroid ovarium, pertumbuhan endometriosis dapat diatur oleh
sistem imun bawaan di lingkungan pelvis.7
7) Pengobatan Tamoxifen
Adenomiosis relatif jarang terjadi pada wanita pascamenopause
tetapi insiden adenomiosis yang lebih tinggi telah dilaporkan pada wanita
yang diobati dengan tamoxifen untuk kanker payudara. Tamoxifen adalah
antagonis dari reseptor estrogen dalam jaringan payudara melalui
metabolit aktifnya, hydroxytamoxifen. Dalam jaringan, termasuk
endometrium, ia berperilaku seperti agonis, dan adenomiosis dapat
berkembang atau diaktifkan kembali. Dengan demikian, adenomiosis
mungkin lebih umum daripada yang disadari pada wanita yang memakai
tamoxifen dan dapat menjelaskan perdarahan pascamenopause pada
pasien ini.

2.1.6 Gambaran Makroskopis dan Histologis


Adenomiosis menyebabkan pembesaran miometrium yang globuler &
kistik dengan beberapa kista yang berisi dengan extravasasi atau hemolisis
dari sel - sel darah merah & siderofag. Gambaran mikroskopis adenomiosis
dikelilingi secara melingkar oleh sel-sel otot polos yang hipertrofi (collar)
sehingga adenomiosis fokal terlihat > 2 mm lebih dalam dari miometrium atau
lebih dari 1 lapangan pandang dengan pembesaran 10X dari endomyometrial
junction. Adenomiosis ( difus ) berbeda dengan adenomioma. Adenomioma
biasanya melingkar, agregasi noduler otot polos, jaringan endometrium dan
biasanya dengan stroma endometrium. Lokasi adenomioma bisa di dalam
20

miometrium atau tumbuh sebagai polip, 2 % polip endometrium merupakan


adenomioma.8

2.1.7 Patofisiologi
Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di
jaringan otot (miometrium) uterus . Meskipun etiologi yang pasti masih belum
diketahui, setidak tidaknya 3 teori sudah pernah diajukan.
Teori yang pertama dan yang paling populer adalah bahwa
adenomiosis dapat berkembang dari invaginasi jaringan endometrium di
miometrium . Pendapat yang paling lazim diterima adalah adenomiosis terjadi
sebagai akibat invaginasi dari endometrioum basal ke miometrium. Invaginasi
dapat terjadi karena lapisan miometrium mengalami perlunakan akibat
riwayat trauma misalnya pada riwayat operasi pelvis sebelumnya yang
memungkinkan jaringan endometrium aktif untuk tumbuh subur di tempat sel-
sel yang sudah mengalami cedera.
Invaginasi sendiri juga dapat terjadi akibat adanya fenomena immun
menyimpang pada jaringan yang terlibat. Prosedur imunohistokimia
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah makrofag akan mengaktivasi sel T
dan sel B yang kemudian akan meghasilkan antibodi dan menstimulasi
keluarnya sitokin, yang pada akhirnya sitokin ini akan merubah struktur
endomiometrial junction. Pencetus yang pasti dari proses invaginasi itu
sendiri tidaklah diketahui, meski demikian, diperkirakan pengaruh dari
hormon yang mungkin terlibat dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari
lapisan basal endometrium tersebut. Studi mengenai reseptor steroid berkaitan
dengan hal ini ternyata menunjukkan hasil yang beragam, namun begitu,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa jaringan adenomiosis memiliki
ekspresi reseptor estradiol yang lebih tinggi dibandingkan endometrium yang
memang berada di endometrium sebenarnya. Peningkatan respons terhadap
estrogen ini mempermudah terjaidnya proses invaginasi dan perluasan
21

adenomiosis. Sebagai tambahan, jaringan adenomiosis juga mengandung


enzim aromatase dan enzim estrogen sulfat yang menghasilkan estrogen untuk
menstimulasi pertumbuhan dan ekspansi jaringan endometrium abnormal dan
stromanya ke miometrium.8
Teori kedua menyebutkan bahwa adenomiosis dapat berkembang
secara de novo akibat sisa sisa dari jaringan mullerian pluripotent. Teori
kedua menyatakan bahwa adenomiosis terbentuk dari jalur perubahan de novo
sisa sisa jaringan mullerian. Titik titik adenomiosis ekstrauterine sebagaimana
yang dijumpai di septum rektovaginal mendukung teori tersebut. Terlebih lagi
penelitian mengenai properti biologik dan proliveratif dari endometrium
ektopik dan eutopik, masing masing memiliki karakteristik tersendiri .
Matsumoto dkk mengamati bahwa endometrium ektopik yang dijumpai pada
kasus adenomiosis tidak memberikan respon terhadap perubahan hormonal
sebagaimana endomnterium eutopik. Perubahan sekretorik sangat jarang
dijumpai, bahkan sekalipun lapisan basalis dari endometrium yang sebenarnya
tengah berada di fase sekretorik. Jika dibandingkan dengan endometrium
eutopik, jaringan ektopik tidak menunjukkan adanya properti perubahan siklik
yang menginduksi regulasi apopotosis protein seperti ekspresi bel-2. Temuan
ini menunjukkan adanya proliferasi konstan dari jaringan ektopik di dalam
miometrium, dan juga menunjukkan karakteristik biologik yang berbeda
dibandingkan endometrium eutopik. Penelitian lain juga membandingkan
beragam faktor pertrumbuhan dan sitokin seperti misalnya angiogenik growth
factor, basic fibroblast growth factor, yang mana mungkin memiliki
kontribusi dalam patogenesis perdarahan uteris abnormal pada kasus
adenomiosis . Hasil penelitian menunjukkan ekspresi yang berbeda beda pada
jaringan adenomiosis dibandingkan dengan jaringan endometrium eutopik,
dan hal ini berarti sejalan dengan teori bahwa adenomiosis bukanlah berasal
dari endopmetrium lapisan basal, melainkan dari jalur de novo sendiri.
22

Teori ketiga menyebutkan bahwa adenomiosis terjadi karena


invaginasi dari lapisan basalis pada sistem limfatik intreamiometrium. Teori
ketiga, teori stem cell, didukung oleh fakta bahwa regenerasi endometrium
dapat diinduksi oleh stem cell yang berasal dari sumsum tulang. Temuan ini
memiliki implikasi yang potensial dalam hal menentukan etiologi
endmetriosis dan adenomiosis. Studi imunohistokimia terkini mengungkapkan
adanya jaringan endometrium tambahan di 4 wanita yang menjalani prosedur
transplantasi sumusm tulang dengan ketidaksesuaian antigen HLA tunggal.
Data ini menunjukkan stem sel yang berasal dari sumsum tulang memiliki
peranan dalam pertumbuhan jaringan endometrium yang baru. Maka dari itu,
mungkin saja stem cell tadi juga dapat menginduksi pertumbuhan
endometrium di jaringan otot miometrium, dan menyebabkan adenomiosis
dengan proliferasi lokal kelenjar endmetrium dan stroma nya di miometrium.
Teori yang diterima secara luas terkait dengan perkembangan
adenomiosis adalah invaginasi lapisan basal endometrium ke dalam lapisan
miometrium. Daerah perbatasan antara lapisan endometrium dan miometrium
bersifat unik dibandingkan dengan daerah perbatasan mukosa-muskular
lainnya. Pada daerah perbatasan lapisan endometrium dan miometrium hanya
terdapat sedikit jaringan submukosa di antaranya. Kondisi ini menyebabkan
pada uterus yang normal pun lapisan endometrium umumnya mampu
menginvasi lapisan miometrium secara superfisial. Perluasan jaringan
endometrium ke dalam lapisan miometrium kadang dapat mencapai ke lapisan
serosa uterus. Adenomiosis subserosa sering dikaitkan dengan kejadian
endometriosis pelvik dan penyebaran secara limfogen.
Mekanisme apa yang akan memicu kedalaman invasi ke lapisan
miometrium hingga saat ini belum diketahui. Kondisi kehamilan sebelumnya
atau tindakan pembedahan pada uterus dapat memicu kelemahan pada daerah
perbatasan antara endometrium dan miometrium. Adenomiosis layaknya lesi
endometriosis ternyata dipengaruhi pula oleh keberadaan hormon esterogen
23

dan progesteron yang berperan dalam perkembangan adenomiosis. Hal


tersebut mengakibatkan adenomiosis umumnya berkembang di masa
reproduksi dan akan mengalami regresi di masa pasca menopause.9
Multiparitas dan usia merupakan faktor resiko terjadinya adenomiosis.
Secara spesifik, hampir 90 % kasus terjadi pada perempuan yang pernah
melahirkan dan hampir 80 % adenomiosis berkembang pada usia 40 dan 50
tahun ke atas. Jaringan adenomiosis ternyata terbukti pula memiliki ekspresi
enzim aromatase dan memiliki kadar esterogen jaringan yang lebih tinggi.
Meski demikian penggunaan kontrasepsi oral tidak berkaitan dengan kejadian
adenomiosis. Akan tetapi, adenomiosis ditemukan lebih banyak pada
perempuan yang mengkonsumsi modulator reseptor esterogen selektif,
tamoxifen. Dikaitkan dengan ketergantungannya terhadap hormon esterogen,
maka adenomiosis, endometriosis dan leiomioma uterus dapat ditemukan
secara bersamaan.

2.1.8 Klasifikasi
2.1.9 Penapisan
Pap smear merupakan salah satu pemeriksaan sitologi yang dapat mendeteksi
adanya perubahan-perubahan sel serviks yang abnormal, yaitu suatu pemeriksaan
dengan mengambil lendir pada serviks dengan spatula kemudian dilakukan
pemeriksaan dengan mikroskop.
Saat ini telah ada teknik thin prep (liquid base cytology), merupakan metoda
pap smear yang dimodifikasi yaitu sel usapan serviks dikumpulkan dalam cairan
dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran, darah, lendir serta memperbanyak sel
serviks yang dikumpulkan sehingga akan meningkatkan sensitivitas. Pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan semacam sikat (brush) kemudian sikat
dimasukkan ke dalam cairan dan disentrifuge, sel yang terkumpul diperiksa dengan
mikroskop.
24

Pap smear hanyalah sebatas skrining, bukan diagnosis adanya kanker serviks.
Jika ditemukan hasil pap smear yang abnormal, maka dilakukan pemeriksaan standar
berupa kolposkopi. Kolposkopi merupakan pemeriksaan dengan pembesaran (4-10x)
yang digunakan untuk mengamati secara langsung permukaan serviks dan bagian
serviks yang abnormal. Dengan kolposkopi akan tampak jelas lesi-lesi pada
permukaaan servik, kemudian dilakukan biopsi terarah pada lesi-lesi tersebut.
IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) tes merupakan alternatif skrining untuk
kanker serviks. Tes sangat mudah dan praktis dilaksanakan, sehingga dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan non dokter ginekologi, bidan praktek dan tenaga kesehatan
yang terlatih dan berkompeten. Prosedur pemeriksaannya sangat sederhana,
permukaan serviks diolesi dengan asam asetat 3-5%, sehingga akan tampak bercak-
bercak putih pada permukaan serviks yang abnormal (acetowhite positif).
Pemeriksaan HPV DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) baik secara Hybrid
capture atau genotyping dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus HPV
terutama yang high risk. Pemeriksaan HPV memiliki beberapa peran dalam penapisan
kanker serviks, antara lain: meningkatkan negative predictive value, memberikan
hasil prediksi lesi pra kanker lebih baik, dan lebih obyektif dibanding pemeriksaan
sitologi saja (sebagai penapisan kanker serviks).

Algoritma Diagnosis Deteksi Dini dan Tata Laksana (Program Skrining)


25
26

Tabel 1 Rekomendasi skrining serviks (ACOG/ American College of


Ostetriciansand Gynecologists)
JENIS PEMERIKSAAN DAN USIA FREKUENSI
Pap smear untuk wanita > 20 Tahun Setiap 1-3 tahun sekali
Pemeriksaan HPV DNA untuk wanita > Setiap 1-3 tahun sekali
30 tahun
Pemeriksaan co testing Pap smear + Setiap 1-3 tahun sekali
HPV DNA untuk wanita > 30 tahun
IVA untuk wanita > 20 tahun Setiap 1-3 tahun sekali
> 65 tahun tidak memerlukan skrining, jika hasil 2 kali pemeriksaan skrining
sebelumnya negatif

Rekomendasi tentang vaksinasi HPV:3


 Vaksin dapat diberikan mulai usia 10-55
 Jadwal pemberian : 0, 1, 6 bulan (Bivalent); 0, 2, 6 bulan (Quadrivalent),
pemberian ketiga bisa bulan 6-12. Interval minimum antara dosis pertama dan
kedua adalah 4 minggu, interval minimum antara dosis kedua dan ketiga adalah
12 minggu.
 Pada usia 9-13 tahun, kedua vaksin dapat diberikan pada 0, 6 bulan (2 kali
pemberian)
 Kontra indikasi: Hamil, Terkena Lesi Pra kanker atau kanker terkait HPV,
Demam tinggi, Hipersensitivitas thd vaksin
 Boleh diberikan saat laktasi
 Penyimpanan Vaksin : pada suhu 2-8°C (tidak boleh dibekukan) • Cara
pemberian IM (Deltoid)
 Booster : belum diperlukan
 Vaksin pada pria terbukti menurunkan insiden kanker terkait HPV (10-26 th)
27

 Vaksin pada wanita yang telah terpapar HPV terbukti menurunkan insiden kanker
terkait HPV
 Bukan untuk terapi lesi pra kanker atau kanker
 Tidak menggantikan/ mengubah jadwal penapisan

2.1.10 Gejala dan Tanda


Tanda-tanda dini kanker serviks mungkin tidak menimbulkan gejala. Tanda-
tanda dini yang tidak spesifik seperti sekret vagina yang agak berlebihan dan kadang-
kadang disertai dengan bercak perdarahan. Gejala umum yang sering teradi berupa
perdarahan pervaginam (pascasanggama, perdarahan di luar haid) dan keputihan.
Pada penyakit lanjut keluhan berupa keluar cairan pervaginam yang berbau
busuk, nyeri panggul, nyeri pinggang dan pinggul, sering berkemih, buang air kecil
atau buang air besar yang sakit. Gejala penyakit yang residif berupa nyeri pinggang,
edema kaki unilateral, dan obstruksi ureter.1
Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya
dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan
bahwa sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali. 8 Jika sudah terjadi
kanker akan timbul gejala yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, yaitu dapat lokal
atau tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca sanggama atau dapat
juga terjadi perdarahan diluar masa haid dan pasca menopause. Jika tumornya besar,
dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan berbau yang mengalir keluar dari
vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan timbul nyeri panggul, gejala yang
berkaitan dengan kandung kemih dan usus besar.7,9 Gejala lain yang timbul dapat
berupa gangguan organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan
kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut
kanan atas, kuning, atau pembengkakan) dan lain-lain. 10,14,15
Salah satu dari berikut ini bisa menjadi tanda atau gejala kanker serviks: 21
1) Bintik-bintik darah atau pendarahan ringan antara atau setelah periode
28

2) Pendarahan menstruasi yang lebih lama dan lebih berat dari biasanya
3) Pendarahan setelah hubungan seksual, douching, atau pemeriksaan panggul
4) Peningkatan keputihan
5) Nyeri saat berhubungan seksual
6) Pendarahan setelah menopause
7) Nyeri panggul dan / atau punggung yang tidak dapat dijelaskan, persisten

2.1.11 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis kanker serviks ditegakkan atas dasar histopatologi spesimen biopsi
serviks. Pada stadium awal biasanya belum timbul gejala klinis yang spesifik.
Sebagian besar mengeluh keputihan berulang berbau dan bercampur darah. Selain itu,
perdarahan sesudah bersenggama yang kemudian berlanjut dalam bentuk perdarahan
abnormal. Pada stadium lanjut, sel kanker invasif ke parametrium dan jaringan di
rongga pelvis. Hal ini dapat menimbulkan gejala perdarahan spontan dan nyeri
panggul; bahkan menjalar ke pinggul dan paha. Beberapa penderita mengeluh nyeri
berkemih, kencing berdarah dan perdarahan dari dubur. Metastasis ke KGB inguinal
dapat menimbulkan edema tungkai bawah. Invasi dan metastasis dapat menimbulkan
penyumbatan ureter distal yang mengakibatkan gejala uremia dan gagal ginjal.
Apabila diagnosis kanker serviks invasif telah ditegakkan melalui
pemeriksaan histopatologi maka tahap selanjutnya adalah penentuan stadium (clinical
staging). Tujuan penetapan stadium adalah untuk menentukan jenis pengobatan dan
prognosis. Penentuan stadium kanker serviks ditentukan berdasarkan pemeriksaan
klinis (palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuret endoserviks, histerokopi, sistoskopi,
proktoskopi/ sigmodoskopi, urografi intravena serta foto X paru dan tulang). Evaluasi
penentuan stadium dapat juga dilakukan di bawah pengaruh anestesi (EUA/
Evaluation Under Anesthesia). CT scan, MRI dan PET scan sangat bernilai untuk
perencanaan terapi, dilakukan pada senter tersier agar penatalaksanaan lebih akurat.
Jika ada kecurigaan metastasis ke kandung kemih dan rektum dapat dilakukan
pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi (clinical staging), dan dilakukan biopsi untuk
29

membuktikan adanya keterlibatan organ tersebut. Bila didapatkan pembesaran KGB


inguinal atau supraklavikula, dapat dilakukan FNAB. Pemeriksaan darah lengkap,
fungsi ginjal dan liver juga dilakukan. Berdasarkan literatur yang ada dan terkini serta
level of evidence masing-masing pernyataan, direkomendasikan penatalaksanaan
kanker serviks sebagai berikut :
1. MRI merupakan pencitraan radiologik terbaik untuk tumor primer lebih dari 10
mm.
2. CT dan/ atau MRI dan/ atau PET dapat memberikan informasi tentang status
KGB dan penyebaran sistemik. Adanya lesi yang tampak pada pemeriksaan PET
harus dibuktikan dengan pemeriksaan histologi untuk membuktikan adanya
metastasis.
3. Bila dibandingkan dengan evaluasi secara radiologik, maka diseksi kelenjar
paraaorta lebih akurat dalam menilai adanya keterlibatan KGB para aorta tersebut.
Evaluasi status KGB para aorta dapat memberikan informasi tentang prognosis
dan menjadi acuan seberapa luas area radioterapi.

Diagnosis stadium IA1 dan IA2 didasarkan dari pemeriksaan mikroskopis jaringan
konisasi, atau spesimen histerektomi atau trakelektomi yang mencakup semua lesi.
Status LVSI (Lymph Vascular Space Involvement) tidak mengubah stadium tetapi
dicatat secara spesifik karena dapat mempengaruhi terapi. Perluasan kanker ke corpus
uteri tidak mempengaruhi stadium. Pada kasus dimana tindakan dilakukan tindakan
operasi, spesimen patologi dapat menilai luas penyakit, tetapi tidak dapat mengubah
stadium klinis. Stadium ditentukan saat diagnosis primer dan tidak berubah bahkan
saat terjadi kekambuhan.
Pap pada saat ini merupakan alat skrining yang dandalkan. Lima puluh persen
pasien baru kanker serviks tidak pernah melakukan tes Pap. Tes Pap
direkomendasikan pada saat mulai melakukan aktivitas seksual atau setelah menikah.
Setelah tiga kali pemeriksaan tes Pap tiap tahun, interval pemeriksaan dapat lebih
lama (tiap 3 tahun sekali). Bagi kelompok perempuan yang berisiko tinggi (infeksi
30

hPV, HIV, kehidupan seksual yang berisiko) dianjurkan pemeriksaan tes Pap setiap
tahun. Pemastian diagnosis dilaksanakan dengan bropsi serviks.
Diagnosis kanker serviks diperoleh melalui pemeriksaan klinis berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologik, termasuk evaluasi kelenjar getah
bening, pemeriksaan panggul dan pemeriksaan rektal. Biopsi serviks merupakan cara
diagnosis pasti dari kanker serviks, sedangkan tes Pap dan/atau kuret endoserviks
merupakan pemeriksaan yang tidak adekuat. Pemeriksaan radiologic berupa foto
paru-paru, pelografi intravena atau CT-scan merupakan pemeriksaan penunjang untuk
melihat perluasan penyakit, serta menyingkirkan adanya obstruksi ureter.
Pemeriksaan laboratorium klinik berupa pemeriksaan darah tepi, tes fungsi ginjal, dan
tes fungsi hati duperlukan untuk mengevaluasi fungsi organ serta menentukan jenis
pengobatan yang akan diberikan.1

2.1.12 Stadium Kanker serviks


Amandemen berikut untuk klasifikasi stadium karsinoma serviks uteri dibuat
oleh Komite FIGO untuk Onkologi Ginekologi pada tahun 2018:19
1. Mengizinkan penggunaan modalitas pencitraan dan/atau temuan patologis apa
pun untuk mengalokasikan stadium.
2. Pada stadium I, perubahan temuan patologis mikroskopis dan penunjukan
ukuran, memungkinkan penggunaan pencitraan dan/atau penilaian patologis
dari ukuran tumor serviks.
3. Pada stadium II, memungkinkan penggunaan pencitraan dan/atau penilaian
patologis dari ukuran dan luasnya tumor serviks.
4. Pada stadium I sampai III, memungkinkan penilaian kelenjar getah bening
retroperitoneal dengan pencitraan dan/atau temuan patologis dan, jika
dianggap metastasis, kasus tersebut ditetapkan sebagai stadium IIIC (dengan
notasi metode yang digunakan untuk alokasi stadium).
5. Tidak ada rekomendasi untuk pemeriksaan rutin, yang harus diputuskan
berdasarkan temuan klinis dan standar perawatan.
31

Gambar 3.8. International Federation of Gynecologists and Obstetricians Staging


System for Cervical Cancer ( FIGO staging of cancer of the cervix uteri (2018).11

Sistem penetapan stadium FIGO 2009 (Tabel 1) dinilai berdasarkan pemeriksaan


klinis.3 Pemeriksaan ginekologi yang menyeluruh sangat penting dalam menentukan
stadium FIGO, pemakaian anestesi selama pemeriksaan dapat dilakukan bila terjadi
keraguan dalam penentuan stadium

Tabel 2 Sistem Penetapan Stadium Klinik Kanker Serviks berdasarkan FIGO 2009
Stadium Kriteria
I Kanker terbatas pada serviks, penyebaran ke korpus uteri tidak
32

dinilai secara khusus


IA Mikroskopik karsinoma invasif, kedalaman invasi stroma < 5 mm
dan lebar < 7 mm.
IA1 Invasi stroma kedalaman ≤ 3 mm dan lebar < 7 mm
IA2 Invasi stroma kedalaman antara 3 -5 mm dan lebar < 7 mm.

IB Secara klinis lesi tampak terbatas pada cervix uteri atau lesi
mikroskopis yang lebih dari stadium IA
IB1 Ukuran tumor < 4 cm
IB2 Ukuran tumor > 4 cm

II
Kanker invasi keluar uterus tetapi tidak mencapai 1/3 vagina
IIA distal, dan tidak mencapai dinding panggul
Kanker invasi keluar uterus tetapi tidak mencapai 1/3 vagina
IIA1 distal dan tanpa keterlibatan parametrium.
IIB Ukuran tumor ≤ 4 cm IIA2 Ukuran tumor > 4 cm
Kanker invasi ke parametrium tetapi belum mencapai dinding
panggul
III
Kanker invasi ke dinding pelviks dan atau mencapai 1/3 distal
IIIA vagina
IIIB Kanker invasi ke 1/3 distal vagina
Kanker invasi ke dinding lateral panggul, atau menyebabkan
hidronefrosis/ gangguan ginjal
IV
Kanker invasi ke luar pelvis mayor dan atau invasi ke mukosa
IVA kandung kemih dan/atau mukosa rektum
33

IVB Kanker invasi ke kandung kemih dan/atau mukosa rektum


Kanker menyebar ke organ jauh

Gambar 3.9. Gambaran Staging kanker Serviks dan penyebarannya 10

2.1.13 Diagnosis Banding


34

 Kanker endometrium (terutama stadium II)


 Servisitis kronis
 Semua kanker harus diverifikasi secara mikroskopis, kasus kanker
diklasifikasikan sebagai kanker serviks bila pertumbuhan primernya berasal dari
serviks (Pemeriksaan imunohistokimia dapat dilakukan untuk memastikan asal
kanker).

2.1.14 Tatalaksana
A. Kanker Serviks mikroinvasif
Stadium IA1
Konisasi adalah pilihan terapi utama pada stadium IA1. Bila pasien tidak
menghendaki untuk hamil lagi, maka dapat dipertimbangkan histerektomi total
(secara laparotomi, vaginal maupun laparoskopi).3
Follow up pasca terapi dengan Pap smear dilakukan setiap 3 bulan selama 2
tahun, kemudian setiap 6 bulan pada 3 tahun berikutnya. Bila follow up normal
selama 5 tahun, maka tidak lagi diperlukan tindakan deteksi adanya kekambuhan.

Stadium IA2
Pada stadium ini, angka kejadian metastasis kelenjar getah bening pelvis
meningkat (3,2%) oleh karena itu harus dilakukan diseksi kelenjar getah bening
pelvis. Terapi yang direkomendasikan adalah histerektomi radikal tipe 2 dengan
limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis. Bila fungsi reproduksi masih
diperlukan, pilihan terapi adalah :3
1. Konisasi serviks dengan limfadenektomi pelvik, atau
2. Trakhelektomi radikal (abdominal, vaginal atau laparoskopi) dan
limfadenektomi pelvik.
Follow up pasca terapi sama dengan stadium IA1
35

B. Kanker Serviks makroskopis


Stadium IB-IIA
Terapi pembedahan untuk stadium IB-IIA adalah modified histerektomi
radikal tipe 2 atau histerektomi radikal tipe 3 (laparotomi atau laparoskopi) dan
limfadektomi pelvis. Resiko kekambuhan setelah operasi radikal meningkat
dengan adanya KGB positif, parametrium positif, atau tepi irisan positif.
Pemberian kemoradiasi/ radiasi sebagai terapi ajuvan (golongan platinum) akan
memperbaiki “overall survival”, “progression-free survival” dan rekurensi baik
lokal maupun jauh dibandingkan dengan pemberian radiasi pelvik saja.3
Terapi ajuvan dengan radiasi (dengan/ tanpa kemoterapi) dapat memberikan
keuntungan pada kasus adenokarsinoma atau adenoskuamosa, karena tingginya
angka kekambuhan. Pasien dengan KGB iliaka komunis atau para aorta yang
positif sebaiknya diterapi dengan radiasi dengan lapangan radiasi yang lebih luas
baik dengan atau tanpa kemoterapi.3

Stadium IIB
Kemoradiasi merupakan terapi standar pada stadium IIB. Kemoradiasi
konkuren yang standar termasuk radiasi eksternal dan brakiterapi intrakaviter.
Pada kondisi dimana brachytherapy tidak tersedia, pemberian booster radiasi
eksternal merupakan pilihan yang dapat diberikan untuk mencapai kontrol lokal.
Dosis radiasi eksternal yang disarankan adalah 45-50 Gy pada 180-200 cGy
per fraksi. Pemberian rangkaian radiasi dengan tepat waktu sangatlah penting
untuk hasil akhir yang optimal, direkomendasikan bahwa pemberian radiasi
eksternal dan brakiterapi diselesaikan dalam 56 hari.3
Pemberian kemoradiasi (menggunakan chemosensitizer) memberikan overall
survival dan disease-free survival yang lebih baik, menurunkan angka rekurensi
lokal dan jauh dibandingkan dengan pemberian radiasi saja.
Pilihan lain adalah pemberian kemoterapi neoajuvan adalah mengecilkan
masa tumor sehingga sehingga menjadi operabel. Tujuan lainnya adalah untuk
36

mensterilkan kelenjar getah bening dan parametrium, sehingga dapat mengurangi


faktor risiko untuk penggunaan terapi ajuvan setelah pembedahan.
Pada daerah dengan fasilitas radioterapi yang kurang memadai, dapat
diberikan kemoterapi neoajuvan sebelum terapi utama. Regimen kemoterapi yang
dapat digunakan antara lain kemoterapi kombinasi golongan platinum based,
taxan, ifosfamide + uromitexane.3

Stadium IIIA – IVA


Standar terapi adalah radiasi atau kemoradiasi : radiasi eksternal yang
disarankan adalah 45-50 Gy + brachytherapy 2100 cGy atau modifikasi box
system (bila brachytherapy tidak tersedia) dengan radiosensitizer Eksenterasi
pelvik primer dapat dipertimbangkan pada stadium IVA yang belum mengalami
perluasan ke dinding pelvik atau ekstra-pelvik.3

Stadium IVB
1. Terapi Sistemik
Kemoterapi merupakan terapi suportif terbaik untuk kanker serviks stadium
IVB. Beberapa bukti menyatakan bahwa kemoradiasi konkuren memberikan
respons lebih baik daripada kemoterapi sistemik saja. Rencana terapi harus
mempertimbangkan fakta bahwa median lama ketahanan hidup untuk stadium
IVB adalah 7 bulan.3
Walaupun dengan respon yang kurang baik, kemoterapi yang menjadi standart
adalah cisplatin. Cisplatin bisa dikombinasikan dengan golongan taxane,
topotecan, 5- FU, gemcitabine atau vinorelbine. Kombinasi carbolatin-paclitaxel
memberikan hasil yang baik pada beberapa kasus.3
Beberapa studi menunjukkan dengan penambahan bevacizumab 15 mg/kgBB
pada kemoterapi cisplatin-pactlitaxel atau topotecan-paclitaxel, terjadi
peningkatan overall survival (17 bulan vs 13,3 bulan) dan respon yang lebih baik
(48% vs 36%). Pemberian bevacizumab juga dapat meningkatkan insidens
37

hipertensi tingkat 2 atau lebih (25% vs 2%), kejadian tromboemboli tingkat 3 atau
lebih (8% vs 1%) dan fistula gastrointestinal tingkat 3 atau lebih (3% vs 0%))3

2. Radiasi paliatif untuk gejala local


Radiasi lokal bisa diberikan pada area metastasis yang memberikan gejala,
misalnya nyeri yang ditimbulkan akibat pembesaran kelenjar getah bening
paraaorta atau supraklavikuler, metastasis tulang dan gejala yang terkait
metastasis otak. Biasanya digunakan fraksi tunggal besar, 20 Gy dalam lima
fraksi dan 30 Gy dalam 10 fraksi.3

3. Penanganan paliatif yang komprehensif


Pasien kanker serviks yang tak terobati biasanya mengalami gangguan terkait
nyeri, gagal ginjal akibat obstruksi ginjal, perdarahan, keputihan yang berbau
menyengat, limfedema dan fistula. Penanganan pasien sangat individual
tergantung keluhan yang timbul, demikian pula aspek psikologis dan dukungan
pada pasien itu sendiri dan keluarganya. Pemberian morfin oral dapat dijadikan
sebagai bagian penting dalam penanganan paliatif.3

C. Kanker serviks dengan kondisi khusus


1. Kanker serviks yang terdiagnosa pasca operasi
Kanker serviks yang terdiagnosis pasca histerektomi atas indikasi lain maka
PET/ CT atau CT atau MRI dan foto thoraks sebaiknya dilakukan untuk menilai luas
dari penyakit. Dapat dilakukan parametrektomi dan limfadenektomi kelenjar getah
bening pelvis bilateral sebagai terapi kuratif . Bila terdapat KGB yang sangat
dicurigai positif dan infiltrasi parametrium maka radioterapi atau kemoradiasi
merupakan pilihan utama.3

2. Kanker serviks selama kehamilan


38

Suatu tim multidisiplin melibatkan ahli obstetri, neonatologi, ahli Jiwa dan
penasehat agama disarankan untuk membuat perencanaan terapi individual. Semua
rencana harus didiskusikan dengan pasien dan suaminya, dan keinginan pasien harus
dihormati.3
Secara umum, manajemen kanker serviks selama kehamilan mengikuti prinsip
yang sama dengan wanita tidak hamil. Kasus yang didiagnosa sebelum 16-20 minggu
harus segera mendapatkan terapi dengan operasi atau kemoradiasi.3
Sejak kehamilan trimester kedua dan setelahnya, operasi dan kemoterapi
dapat diberikan pada kasus tertentu dengan tetap mempertahankan kehamilannya.
Jika diagnosa dibuat diatas 20 minggu, penundaan terapi merupakan salah
satu pilihan pada stadium IA2 dan IB1 tanpa adanya gangguan prognosis dibandingan
dengan wanita tidak hamil. Saat janin dinyatakan viabel, terapi dengan SC klasik dan
diikuti radikal histerektomi dapat dilakukan (secara umum < 34 mgg kehamilan).
(Rekomendasi C). Pada stadium yang lebih lanjut, belum diketahui apakah
penundaan terapi akan mempengaruhi survival. Jika penundaan terapi direncanakan
pada wanita dengan locally advanced disease, kemoterapi neoajuvan dapat diberikan
untuk mencegah.3

2.1.15 Prognosis
Faktor utama yang menimbulkan residif termasuk invasi limfo-vaskuler,
metastasis ke kelenjar getah bening, kedalaman invasi stroma, batas sayatan operasi,
dan ukuran tumor. Jenis karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma tidak berbeda
prognosisnya.1
Faktor lain untuk timbulnya residif termasuk ploidi DNA tumor dan ekspresi
onkogen khusus (HER2/neu).1
Angka kesintasan 5 tahun, berdasarkan AJCC tahun 201012 adalah sebagai
berikut.
39

Rute penyebaran
Perluasan kanker serviks dapat secara langusung, melalui aliran getah bening
sehingga bermetastasis ke kelenjar getah bening iliaka interna/eksterna, obturator,
para aorta, ductus thoracicus, sampai ke skalen kiri; penyebaran ke kelenjar getah
bening inguinal melalui ligamentum rotundum. Penyebarannya juga melalui
pembuluh darah/hematogen.1

2.1.16 Pengamatan lanjut


Sebagian besar residif terjadi dalam waktu 2 tahun setelah diagnosis. Dalam 2
tahun pertama, pasien dianjurkan melakukan pemeriksaan setiap 3 bulan. Pada tahun
ketiga sampai tahun ke lima, pemeriksaan dianjurkan setiap 6 bulan, dan selanjutnya
setiap 1 tahun.1
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan kelenjar getah bening, pemeriksaan pelvis,
rektal dan tes pap. Pemeriksaan foto paru-paru atau CT-scan hanya dilakukan atas
indikasi dari pemeriksaan klinis atau gejalayang timbul.1

2.1.17 Pencegahan
1. Hindari merokok dan hindari penggunaan kontrasepsi oral dalam waktu lama
40

2. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan menghindari faktor hazard dan


dengan melakukan tes pap secara teratur (papnicolaou test) yang disebut juga
dengan Pap smear.
3. Vaksin adalah pencegahan yang paling penting untuk kanker serviks.
4. Hindari banyak pasangan seksual saat berhubungan seks.
5. Perubahan gaya hidup atau kebiasaan makan.
6. Menghindari faktor risiko lain seperti pernikahan dini/melahirkan anak dan
merokok.12

Kanker serviks seringkali dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan rutin


dengan tes Pap dan tes HPV untuk menemukan prakanker dan mengobatinya. Hal ini
juga dapat dicegah dengan menerima vaksin HPV.21
Vaksin HPV Gardasil disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) AS
untuk pencegahan kanker serviks yang disebabkan oleh HPV (lihat Faktor Risiko)
untuk orang antara usia 9 dan 45 tahun. Gardasil 9 tersedia di Amerika Serikat untuk
mencegah infeksi dari HPV16 , HPV18, dan 5 jenis HPV lain yang terkait dengan
kanker. Ada 2 vaksin lain yang sebelumnya tersedia di Amerika Serikat: Cervarix dan
Gardasil asli. Namun, karena vaksin yang lebih baru tersedia, 2 vaksin ini tidak lagi
tersedia di Amerika Serikat. Namun, vaksin ini mungkin masih digunakan di luar
Amerika Serikat.21
Untuk membantu mencegah kanker serviks, ASCO merekomendasikan agar
anak perempuan menerima vaksinasi HPV. Bicarakan dengan penyedia layanan
kesehatan tentang jadwal yang tepat untuk vaksinasi karena dapat bervariasi
berdasarkan banyak faktor, termasuk usia, jenis kelamin, dan ketersediaan vaksin.21
Vaksin HPV diberikan mulai dari usia 9 tahun hingga 45 tahun. Kebanyakan orang
yang berusia di atas 26 tahun tidak akan mendapat manfaat dari vaksinasi HPV. Di
bawah usia 15 tahun anak-anak, mereka membutuhkan 2 dosis vaksin HPV.20
41

A. Diagnosis dan pemeriksaan Pre-terapi


 MRI merupakan pencitraan radiologik terbaik untuk tumor primer lebih dari 10
mm.
 CT dan/ atau MRI dan/ atau PET dapat memberikan informasi tentang status
KGB dan penyebaran sistemik. Adanya lesi yang tampak pada pemeriksaan PET
harus dibuktikan dengan pemeriksaan histologi untuk membuktikan adanya
metastasis.
 Bila dibandingkan dengan evaluasi secara radiologik, maka diseksi kelenjar
paraaorta lebih akurat dalam menilai adanya keterlibatan KGB para aorta tersebut.

B. Tatalaksana Kanker Serviks


 Follow up pasca terapi dengan Pap smear dilakukan setiap 3 bulan selama 2
tahun, kemudian setiap 6 bulan pada 3 tahun berikutnya. Bila follow up normal
selama 5 tahun, maka tidak lagi diperlukan tindakan deteksi adanya kekambuhan.
 Terapi pembedahan untuk stadium IB-IIA adalah modified histerektomi radikal
tipe 2 atau histerektomi radikal tipe 3 (laparotomi atau laparoskopi) dan
limfadektomi pelvis
 Resiko kekambuhan setelah operasi radikal meningkat dengan adanya KGB
positif, parametrium positif, atau tepi irisan positif. Pemberian kemoradiasi/
radiasi sebagai terapi ajuvan (golongan platinum) akan memperbaiki “overall
survival”, “progression-free survival” dan rekurensi baik local maupun jauh
dibandingkan dengan pemberian radiasi pelvik saja.
 Terapi ajuvan dengan radiasi (dengan/ tanpa kemoterapi) dapat memberikan
keuntungan pada kasus adenokarsinoma atau adenoskuamosa, karena tingginya
angka kekambuhan.
 Pasien dengan KGB iliaka komunis atau para aorta yang positif sebaiknya diterapi
dengan radiasi dengan lapangan radiasi yang lebih luas baik dengan atau tanpa
kemoterapi.
42

 Kemoradiasi merupakan terapi standar pada stadium IIB. Kemoradiasi konkuren


yang standar termasuk radiasi eksternal dan brakiterapi intrakaviter. Pada kondisi
dimana brachytherapy tidak tersedia, pemberian booster radiasi eksternal
merupakan pilihan yang dapat diberikan untuk mencapai kontrol lokal.
 Eksenterasi pelvik primer dapat dipertimbangkan pada stadium IVA yang belum
mengalami perluasan ke dinding pelvik atau ekstra-pelvik.

C. Tatalaksana Kanker Serviks dengan kondisi khusus


 Kanker serviks yang terdiagnosis pasca histerektomi atas indikasi lain maka PET/
CT atau CT atau MRI dan foto thoraks sebaiknya dilakukan untuk menilai luas
dari penyakit. Dapat dilakukan parametrektomi dan limfadenektomi kelenjar
getah bening pelvis bilateral sebagai terapi kuratif. Bila terdapat KGB yang
sangat dicurigai positif dan infiltrasi parametrium maka radioterapi atau
kemoradiasi merupakan pilihan utama.
 Sejak kehamilan trimester kedua dan setelahnya, operasi dan kemoterapi dapat
diberikan pada kasus tertentu dengan tetap mempertahankan kehamilannya.
 Jika diagnosa dibuat diatas 20 minggu, penundaan terapi merupakan salah satu
pilihan pada stadium IA2 dan IB1 tanpa adanya gangguan prognosis dibandingan
dengan wanita tidak hamil. Saat janin dinyatakan viabel, terapi dengan SC klasik
dan diikuti radikal histerektomi dapat dilakukan (secara umum < 34 mgg
kehamilan).
D. Follow up dan rekurensi
 Pada Follow Up dilakukan anamnesa tentang keluhan pasien, pemeriksaan fisik
dan ginekologi rutin untuk mendeteksi adanya kekambuhan, efek samping terapi
dan juga morbiditas psikoseksual yang mungkin terjadi. Pemeriksaan biopsi
jaringan, foto thorax, USG, CT scan, MRI, PET dapat dilakukan apabila
didapatkan kecurigaan kekambuhan.
43

 Kekambuhan di panggul pasca operasi dapat diterapi dengan kemoradiasi atau


eksenterasi panggul. Luas dari penyakit dan keterlibatan KGB pelvis adalah
faktor prognostik utama ketahanan hidup.
 Eksenterasi panggul dapat menjadi pilihan terapi yang memungkinkan pada
pasien yang mengalami kekambuhan pasca radiasi. Kandidat untuk tindakan
tersebut adalah pasien tanpa adanya penyebaran intra peritoneal maupun di luar
panggul, dan mereka yang memiliki ruangan bebas tumor di sepanjang dinding
panggul.
 Setelah panggul, KGB para aorta merupakan lokasi rekurensi kedua yang cukup
sering terjadi. Kemungkinan kesembuhan jangka lama dapat dicapai dengan
radiasi atau kemoradiasi pada 30% pasien dengan rekurensi yang terisolir KGB
para aorta. Pasien yang tidak memiliki gejala dan mengalami kekambuhan > 24
bulan dari terapi utama memiliki hasil akhir yang lebih baik
2.3.1 Definisi
Kista ovarium merupakan perbesaran sederhana ovarium normal,
folikel de graff atau korpus luteum atau kista ovarium dapat timbul akibat
pertumbuhan dari epithelium ovarium (Dorland,2002). Kista ovarium
merupakan suatu tumor, baik kecil maupun yang besar, kistik atau padat, jinak
atau ganas yang berada di ovarium. Dalam kehamilan, tumor ovarium yang
dijumpai paling sering ialah kista dermoid, kista coklat atau kista lutein.
Tumor ovarium yang cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin
dalam rahim atau dapat menghalang – halangi masuknya kepala ke dalam
panggul (Wiknjosastro et al, 2009).
Kistoma ovari adalah kista yang permukaannya rata dan halus,
biasanya bertangkai, bilateral dan dapat menjadi besar. Dinding kista tipis
berisi cairan serosa dan berwarna kuning. Pengumpulan cairan tersebut terjadi
pada indung telur atau ovarium (Mansjoer, 2000). Jadi, dapat disimpulkan
44

kista ovarium adalah kantong abnormal yangberisi cairan atau neoplasma


yang timbul di ovarium yang bersifat jinak juga
dapat menyebabkan keganasan.
BAB IV
ANALISA KASUS

Wanita 48 tahun datang ke poli RSUD Raden Mataher Jambi dengan keluhan
keluar darah dari kemaluan sejak ±1 bulan SMRS bulan yang lalu. Sejak ± 1 tahun
yang lalu pasien mengeluh sering keluar darah dari kemaluan, sedikit-sedikit, tidak
terus menerus, terjadi terutama setelah berhubungan suami istri. Pasien juga
mengeluh nyeri panggul, keputihan (+), kental dan berbau. Nafsu makan biasa, BAB
dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian pasien berobat ke dokter kandungan di
sarolangun, di USG normal lalu hanya di berikan obat anti nyeri. ± 1 bulan SMRS,
pasien mengatakan timbul perdarahan lebih sering dan lebih banyak, dengan warna
merah segar dari kemaluan pasien. Dengan jumlah pembalut penuuh 5x dalam sehari.
Dan os merasakan nyeri panggul (+) terus memberat. Pasien dibawa ke RS
Bhayangkara, dan pasien didiagnosa kanker mulut rahim. Kemudian pasien di rujuk
untuk penanganan lebih lanjut. Kemudian ± 1 minggu yang lalu, pasien berobat ke
poli RSUD raden mattaher, dan direncanakan untuk kemoterapi. Saat ini pasien telah
dirawat dibangsal untuk kemoterapi dan perawatan lebih lanjut.
Keluhan pada pasien ini sesuai dengan keluhan yang sering dijumpai pada
pasien karsinoma cervix yaitu terdapat perdarahan abnormal, contact bleeding, fluor
abnormal, dan nyeri perut di bagian bawah. Contact bleeding terjadi pada 75-80%
kasus carcinoma cerviks uteri. Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh
darah, makin lama makin sering terjadi, bahkan terjadi perdarahan spontan.
Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat klinik yang lebih lanjut, terutama
pada kanker yang bersifat eksofitik dan dapat menyebabkan anemia.
Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan, berbau busuk
akibat infeksi dan nekrosis dan nekrosis jaringan. Rasa nyeri pada panggul terjadi
akibat infiltrasi sel kanker ke serabut saraf. Pada pasien karsinoma cervix biasanya
juga disertai gangguan kencing (disuria) dikarenakan adanya infiltrasi kanker ke
ureter sehingga menyebabkan obstruksi total dan terjadi gangguan kencing namun

38
39

karena pasien ini tidak didapatkan gangguan BAK sehingga kemungkinan tidak
terdapat metastasis ke ureter.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign dan pemeriksan head to toe
dalam batas normal. Pada pemeriksaan ginekologi yaitu, Pemeriksaan inspekulo
tampak fluksus darah (+) yang merah segar dan banyak. Tampak cairan kental kuning
kecoklatan yang bercampur darah. Tampak benjolan (+) yang tak beraturan. Portio
berdungkul-dungkul tidak rata.
Pada pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil Cervical basaloid
squamous cell carcinoma yang telah bermetastasis ke corpus uteri dan 2 KGB pelvik
bilateral. Menurut literatur, Jenis histologik Squamous cell carcinoma membentuk
sekitar 80% hingga 90% dari semua kanker serviks. Kanker ini dimulai pada sel-sel
di permukaan luar yang menutupi leher rahim. Pada sediaan biopsi adalah karsinoma
sel squamosa dan sekitar 10-20 % adalah jenis adenokarsinoma.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
tersebut didiagnosa ca cerviks stadium IIB. Kanker leher rahim adalah kanker primer
yang terjadi pada jaringan leher rahim (serviks), Sementara lesi prakanker adalah
kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya perubahan sel-sel epitel, namun
kelainannya belum menembus lapisan basal (membrana basalis). Pada stadium II,
kanker invasi keluar uterus tetapi tidak mencapai 1/3 vagina distal, dan tidak
mencapai dinding panggul. Pada stadium IIB, Kanker invasi ke parametrium tetapi
belum mencapai dinding panggul
Kemoradiasi merupakan terapi standar pada stadium IIB. Kemoradiasi
konkuren yang standar termasuk radiasi eksternal dan brakiterapi intrakaviter. Pada
kondisi dimana brachytherapy tidak tersedia, pemberian booster radiasi eksternal
merupakan pilihan yang dapat diberikan untuk mencapai kontrol lokal. Pilihan lain
adalah pemberian kemoterapi neoajuvan adalah mengecilkan masa tumor sehingga
sehingga menjadi operabel. Tujuan lainnya adalah untuk mensterilkan kelenjar getah
bening dan parametrium, sehingga dapat mengurangi faktor risiko untuk penggunaan
terapi ajuvan setelah pembedahan. Pada daerah dengan fasilitas radioterapi yang
40

kurang memadai, dapat diberikan kemoterapi neoajuvan sebelum terapi utama.


Regimen kemoterapi yang dapat digunakan antara lain kemoterapi kombinasi
golongan platinum based, taxan, ifosfamide + uromitexane
Pasien mendapatkan pengobatan berupa kemoterapi. Menurut literatur,
kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus,
tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh
sel kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi
tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat didiagnosis. Kemoterapi kombinasi
telah digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis
tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan. Kemoterapi dilakukan bila
terapi radiasi tidak mungkin diberikan karena metastase sudah sangat jauh. Umumnya
diberikan pada Stadium klinis ІV B dan hanya bersifat paliatif. Jika kanker telah
menyebar ke luar panggul juga kadang dianjurkan untuk menjalani kemoterapi. Pada
kemoterapi digunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker. Obat anti-kanker
bisa diberikan melalui suntikan intravena atau peroral. Kemoterapi diberikan dalam
suatu siklus, artinya suatu periode pengobatan diselingi dengan periode pemulihan,
lalu dilakukan pengobatan, diselingi dengan pemulihan, begitu seterusnya. Contoh
obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide
Adremycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain –lain.
Contoh agen Platinum yang digunakan untuk kemoterapi kanker ovarium
antara lain Carboplatin, Cisplatin dan Oxaliplatin. Taxane menghentikan beberapa sel
tertentu dari pembelahan menjadi 2 sel. Contoh agen Taxanes yang digunakan untuk
kemoterapi kanker ovarium antara lain Paclitaxel, Paclitaxel yang terikat albumin dan
Docetaxel
BAB V
KESIMPULAN

Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Penyebab


primer kanker serviks adalah infeksi kronik serviks oleh satu atau lebih virus HPV
(Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi menyebabkan kanker
serviks yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted disease).
Tanda-tanda dini kanker serviks mungkin tidak menimbulkan gejala. Tanda-
tanda yang tidak spesifik seperti sekret vagina yang agak berlebihan dan kadang-
kadang disertai dengan bercak perdarahan. Gejala umum yang sering teradi berupa
perdarahan pervaginam (pascasanggama, perdarahan di luar haid) dan keputihan.
Diagnosis kanker serviks diperoleh melalui pemeriksaan klinis berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologik, termasuk evaluasi kelenjar getah
bening, pemeriksaan panggul dan pemeriksaan rektal. Biopsi serviks merupakan cara
diagnosis pasti dari kanker serviks.
Tatalaksana pada kanker serviks dapat dilakukan dengan pembedahan, terapi
penyinaran, kemoterapi, dan terapi biologis.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar M. Ilmu Kandungan Edisi ketiga. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo. 2017. Anwar M. Ilmu Kandungan Edisi ketiga. Jakarta. PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2017.
2. Torre LA, Bray F, Siegel RL, Ferlay J, Lortet-Tieulent J, Jemal A. Global cancer
statis- tics, 2012. CA Cancer J Clin 2015;65(2):87–108.
3. Perkumpulan Obstetri Ginekologi (POGI) & Himpunan Kedokteran Feto
Maternal (HKFM). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK): Kanker
Endometrium: POGI & HKFM. 2016;36-74
4. Ries LAG, Melbert D, Krapcho M, et al. SEER Cancer Statistics Review, 1975-
2004. National Cancer Institute; Bethesda, MD 2007.
5. Kemenkes, RI. 2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Serviks.
Jakarta
6. Wiknjosastro H. Ilmu Kandungan. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2011
7. Andrijono, Kanker Leher rahim, Divisi Onkologi, Dep.Obstetri-Ginekologi
FKUI.2007.
8. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control 2rd
Editions. A Guide to Essential Practice. Geneva: WHO, 2014.
9. Prawirohardjo, Sarwono.. Onkologi Ginekologi. Cetakan pertama. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka. 2006
10. American Cancer Society's (ACS) publications, Cancer Facts & Figures 2021,
Cancer Facts & Figures 2020, and Cancer Facts & Figures 2018, and the ACS
website (sources accessed January 2021). Diakses pada 29 Mei 2022.
https://www.cancer.net/cancer-t%C3%BDpes/cervical-cancer/statistics
11. Bhatla, N., Aoki.D., Sharma DN., Sankaranarayanan, R. (2021). Cancer of the
cervix uteri: 2021 update. Int J Gynecol Obstet. 2021;155(Suppl. 1):28–44.
https://doi.org/10.1002/ijgo.13865

42
43

12. Kunkule, Rakhi & Pakale, Ruchita & Jadhav, Swati & Nerkar, Amit. (2020).
Review on Cervical Cancer. 2(2), 2020, 39-44

Anda mungkin juga menyukai