DISUSUN OLEH
Resty Tri Arini, S.Ked
G1A220111
PEMBIMBING
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga “Adenomiosis Uteri+Kista Ovarium” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Obstetri dan
Ginekologidi RSUD Raden Mattaher Jambi
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rudy Gunawan, Sp.OG, (K)-
ONK, DMAS, FICRS, yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Obstetri dan Ginekologi di RSUD Raden Mattaher Jambi
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup
semoga kiranya Case Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya
dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
1
Adenomiosis merupakan kelainan patologis yang sering ditemukan pada
wanita multipara usia 40 – 50 tahun, wanita premenopause dengan diagnosis
adenomiosis yaitu 70%. Adenomiosis berperan sebagai salah satu penyebab
subfertilitas bahkan infertilitas pada populasi wanita. Hanya saja diagnosis
adenomiosis saat itu masih berdasarkan spesimen histerektomi sehingga sangat sulit
mengevaluasi pengaruhnya terhadap fertilitas.4
Dalam berbagai penelitian, prevalensinya berkisar antara 5 hingga 70%.
Besarnya rentang ini mungkin di karenakan oleh banyak faktor termasuk klasifikasi
diagnostik yang beragam, perbedaan jumlah jaringan yang diambil sebagai sample
biopsy dan biasa yang mungkin timbul dari hal patologinya sendiri karena
mempertimbangkan perjalanan penyakit pasien. Secara umum, rata – rata frekuensi
kejadian adenomiosis pada histerektomi adalah sekitar 20-30%.4,5
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit ditegakan karena disebabkan oleh
gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan pada
fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu
histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI.5
Berikut ini akan disampaikan laporan kasus tentang diagnosis dan penatalaksanaan
adenomiosis.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2. ANAMESIS
Keluhan Utama:
Nyeri perut bagian bawah yang hebat sejak ± 2 minggu SMRS
2
3
b. Riwayat Perkawinan
- Status pernikahan : Menikah
- Jumlah : 1 kali
- Lama pernikahan : 3 tahun
- Usia saat menikah : Istri 23 tahun, Suami 29 tahun
7-8
1 2019 Abortus - - - - -
minggu
14-15 SC a/I
2 2020 Dokter - 40 hari LK -
minggu KET
5
1. Status Generalis
- Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut
- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokhor
- Mulut : bibir kering (-), stomatitis (+)
- Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Kelenjar Tiroid (-)
- Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
- Jantung : BJ I-II Regular, Murmur (-), Gallop (-)
- Abdomen : soepel, nyeri tekan perut bawah (+), bising usus (+),
hepar dan lien tidak teraba.
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-)
6
Pemeriksaan Genitalia
- Pemeriksaan inspekulo : Tampak fluksus darah (+) yang merah segar
dan banyak. Tampak cairan kental kecoklatan yang bercampur darah.
Tampak benjolan (+) yang tak beraturan. Porsio terlihat berdungkul di
sekelilingnya
- Vaginal touché : tidak dilakukan
Hematologi Rutin
Hasil Satuan Nilai rujukan
(09/06/2022)
RDW 11.3 %
Kesan :
Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo saat ini
POST OPERATIVE
1) Pemeriksaan Darah Rutin (13-06-2022)
Hematologi Rutin
Hasil Satuan Nilai rujukan
(13/06/2022)
RDW 11.2 %
Kesimpulan
Cervical basaloid squamous cell carcinoma yang telah bermetastasis ke corpus
uteri dan 2 KGB pelvik bilateral.
2.6. DIAGNOSIS
Diagnosa:
Pre-Operative : Adenomiosis Uteri + Kista Ovari +Adhesi Colon
Post Operasi : Post Op Miomektomi + Salpingektomi dextra + Adhesiolisis
Colon a/i Mioma Uteri + Kista Ovari Dextra + Adhesi Colon
2.7. PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa
o IVFD RL + D5% (1:3) 30 tpm
o Inj. Ceftriaxone 3x1gr
o Inj. Metronidazole 3x1 Flash
o Inj. Keterolac 3x30mg
Terapi Bedah
Miomektomi + Salpingektomi dextra + Adhesiolisis Colon
12
Non Medikamentosa
- Observasi Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital
2.8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
2.9. FOLLOW UP
Tanggal Follow up
13/06/2022 S : - Nyeri dibekas operasi (+)
O : - KU :Tampak sakit sedang
- TD : 130/80 mmHg
- N : 88 x/i
- RR : 22x/i
- T : 36,4ºC
A : Post Op Miomektomi + Salpingektomi dextra + Adhesiolisis +
Colon Hr-1 a/i Mioma Uteri + Kista Ovari Dextra + Adhesi Colon
P:
- IVFD RL + D5% (1:3) 30 tpm
- Inj. Ceftriaxone 3x1gr
- Inj. Metronidazole 3x1 Flash
- Inj. Keteolac 3x30mg
14/06/2022 S : - Nyeri dibekas operasi (+)
O : - KU :Tampak sakit sedang
- TD : 104/67 mmHg
- N : 96 x/i
13
- RR : 18x/i
- T : 36,5ºC
A : Post Op Miomektomi + Salpingektomi dextra + Adhesiolisis +
Colon Hr-1 a/i Mioma Uteri + Kista Ovari Dextra + Adhesi Colon
P:
- IVFD RL + D5% (1:3) 30 tpm
- Inj. Ceftriaxone 3x1gr
- Inj. Metronidazole 3x1 Flash
- Inj. Keteolac 3x30mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
12
Serviks terdiri dari epitel selapis silindris penghasil mukus. Serviks memiliki
sedikit serat otot polos dan banyak jaringan ikat padat (85%). Bagian luar serviks
yang menonjol ke dalam lumen vagina ditutupi oleh epitel berlapis gepeng. 6,7
Mukosa serviks mengandung kelenjar yang bercabang banyak. Mukosa ini
tidak mengelupas selama menstruasi, meskipun kelenjar-kelenjarnya mengalami
sedikit perubahan struktur. Bila saluran kelenjar ini tersumbat, sekret tertahan
menyebabkan pelebaran yang membentuk kista nabothi. Selama kehamilan, kelenjar
mukosa serviks berproliferasi dan mengeluarkan banyak mukus yang lebih kental.6,7
Kanalis servikalis terdiri dari endoserviks yang secara histologi terdiri dari
banyak lapisan mukosa longitudinal dan oblik yang membentuk pola seperti pohon.
Endoserviks dilapisi epitel toraks yang menghasilkan sekret dengan inti berbentuk
oval terletak di basal. Mukosa endoserviks terdiri dari satu lapisan kolumner yang
memproduksi musin. Lamina propria merupakan stroma padat, memisahkan kelenjar
–kelenjar berbentuk tubuler dan bercabang-cabang.6,7
Ektoserviks ditutupi oleh epitel berlapis gepeng tidak berkeratin yang terdiri
dari tiga lapisan yaitu stroma basal, stratum dan daerah superfisial. Proliferasi dan
maturasi dari sel-sel ektoserviks distimulasi oleh estrogen dan diinhibisi oleh
progesterone.6,7
Batas antara epitel skuamosa dan kolumner dari serviks disebut dengan
squamocolumnar conjunction, dan letaknya bervariasi tergantung pada status
hormonal wanita. Pada bayi, wanita yang belum pubertas, dan wanita yang sudah
menopause, squamocolumnar conjunction ini terletak di endoserviks di dalam kanalis
servikali, sedangkan pada wanita usia produktif terletak di ektoserviks, di luar kanalis
servikalis.
13
2.1.2 Definisi
Adenomiosis adalah suatu kondisi dimana terdapat jaringan mukosa
endometrium ( kelenjar - kelenjar dan stroma ) pada miometrium yang
hipertrofi dan reaktif. Terdapat jaringan endometrium di lapisan miometrium
tersebut dapat menyebabkan pembesaran uterus.5
Adenomiosis didefinisikan sebagai invasi jinak jaringan endometrium
ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus
dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non
neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.
Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi.
Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada
sembarang lokasi di kedalaman miometrium.
Adenomiosis secara relatif sering ditemukan pada spesimen
histerektomi dari perempuan yang mengalami menorrhagia yang tidak
berkaitan denggan mioma uterus atau patoligi endometrium. Hipertrofi dan
hiperplasia disekitar miometrium umumnya terjadi pada pembesaran uterus
difus. Pada adenomioma, terjadi proliderasi miometrium yang berlebihan di
sekitar fkus endometrium ektopik yang menyerupai leiomioma secara klinis.
14
2.1.3 Epidemiologi
Karena diagnosis adeniomiosis ditegakkann secara histologis, angka
insidensi yang pasti tidaklah dapat ditentukan. Dalam berbagai penelitian,
prevalensinya berkisar antara 5 hingga 70 %. Besarnya rentang ini mungkin
dikarenakan oleh banyak faktor termasuk klasifikasi diagnostik yang beragam,
perbedaan jumlah jaringan yang diambil sebagai sampel biopsi dan bias yang
mungkin timbul dari hali patologinya sendiri karena mempertimbangkan
perjalanan penyakit pasien. Secara umum, rata rata frekuensi kejadian
adenomiosis pada histerektomi adalah sekitar 20 hingga 30 % .6
Penelitian klinis berkala telah menunjukkan peningkatan frekuensi
kejadian adenomiosis pada pasien multipara. Kehamilan mungkin akan
meningkatkan resiko kejadian adenomiosis karena terjadi invasi alamiah
trofoblas ke miometrioum saat implantasi. Sebagai tambahan, jika
dibandingkan dengan jaringan eutpik, jaringan adenomiosis memiliki rasio
jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak, yang mana peningatan hormon
selama kehamilan mungkin akan mengiduksi adenomiosis. Vercellini dkk
mengamati bahwa kejadian adenomiosis memang secara langsuing sangat
berkaitan dengan kehamilan. Selain itu Levgur dkk melaporkan pasien yang
telah menjalani terminasi kehamilan melalui diatasi dan kuretase mengalami
angka kejadian yang tinggi dalam hal adenomiosis jika dibandingkan dengan
wanita yang tidak pernah menjalani terminasi kehamilan. Penelitian ini
membuka kemungkinan bahwa efek dari kehamilan terdahulu dalam hal
patogenesis penyakit ini tidak adapat diabaikan , namun angka pastinya masih
belum dapat ditentukan. Beberapa studi menyatakan bahwa trauma akibat
operasi di pelvis dapat memicu invaginasi jaringan adenomiosis.
15
2.1.4 Etiologi
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis
antara lain usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia
endometrium, riwayat abortus spontan, dan polimenore . Sedangkan usia
menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus provokatus, riwayat
seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause, panjang siklus dan lama
haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan tidak berkaitan dengan
adenomiosis.5
16
dari hubungan ini. Lebih lanjut, adalah mungkin bahwa depresi mungkin
memiliki faktor patogenik yang umum dengan adenomiosis (mis.,
Peradangan). Penelitian telah menunjukkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan endometriosis dan adenomiosis berlanjut bahkan pada
hewan yang mengalami ovariektomi. Ini menunjukkan bahwa, di samping
hormon steroid ovarium, pertumbuhan endometriosis dapat diatur oleh
sistem imun bawaan di lingkungan pelvis.7
7) Pengobatan Tamoxifen
Adenomiosis relatif jarang terjadi pada wanita pascamenopause
tetapi insiden adenomiosis yang lebih tinggi telah dilaporkan pada wanita
yang diobati dengan tamoxifen untuk kanker payudara. Tamoxifen adalah
antagonis dari reseptor estrogen dalam jaringan payudara melalui
metabolit aktifnya, hydroxytamoxifen. Dalam jaringan, termasuk
endometrium, ia berperilaku seperti agonis, dan adenomiosis dapat
berkembang atau diaktifkan kembali. Dengan demikian, adenomiosis
mungkin lebih umum daripada yang disadari pada wanita yang memakai
tamoxifen dan dapat menjelaskan perdarahan pascamenopause pada
pasien ini.
2.1.7 Patofisiologi
Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di
jaringan otot (miometrium) uterus . Meskipun etiologi yang pasti masih belum
diketahui, setidak tidaknya 3 teori sudah pernah diajukan.
Teori yang pertama dan yang paling populer adalah bahwa
adenomiosis dapat berkembang dari invaginasi jaringan endometrium di
miometrium . Pendapat yang paling lazim diterima adalah adenomiosis terjadi
sebagai akibat invaginasi dari endometrioum basal ke miometrium. Invaginasi
dapat terjadi karena lapisan miometrium mengalami perlunakan akibat
riwayat trauma misalnya pada riwayat operasi pelvis sebelumnya yang
memungkinkan jaringan endometrium aktif untuk tumbuh subur di tempat sel-
sel yang sudah mengalami cedera.
Invaginasi sendiri juga dapat terjadi akibat adanya fenomena immun
menyimpang pada jaringan yang terlibat. Prosedur imunohistokimia
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah makrofag akan mengaktivasi sel T
dan sel B yang kemudian akan meghasilkan antibodi dan menstimulasi
keluarnya sitokin, yang pada akhirnya sitokin ini akan merubah struktur
endomiometrial junction. Pencetus yang pasti dari proses invaginasi itu
sendiri tidaklah diketahui, meski demikian, diperkirakan pengaruh dari
hormon yang mungkin terlibat dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari
lapisan basal endometrium tersebut. Studi mengenai reseptor steroid berkaitan
dengan hal ini ternyata menunjukkan hasil yang beragam, namun begitu,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa jaringan adenomiosis memiliki
ekspresi reseptor estradiol yang lebih tinggi dibandingkan endometrium yang
memang berada di endometrium sebenarnya. Peningkatan respons terhadap
estrogen ini mempermudah terjaidnya proses invaginasi dan perluasan
21
2.1.8 Klasifikasi
2.1.9 Penapisan
Pap smear merupakan salah satu pemeriksaan sitologi yang dapat mendeteksi
adanya perubahan-perubahan sel serviks yang abnormal, yaitu suatu pemeriksaan
dengan mengambil lendir pada serviks dengan spatula kemudian dilakukan
pemeriksaan dengan mikroskop.
Saat ini telah ada teknik thin prep (liquid base cytology), merupakan metoda
pap smear yang dimodifikasi yaitu sel usapan serviks dikumpulkan dalam cairan
dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran, darah, lendir serta memperbanyak sel
serviks yang dikumpulkan sehingga akan meningkatkan sensitivitas. Pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan semacam sikat (brush) kemudian sikat
dimasukkan ke dalam cairan dan disentrifuge, sel yang terkumpul diperiksa dengan
mikroskop.
24
Pap smear hanyalah sebatas skrining, bukan diagnosis adanya kanker serviks.
Jika ditemukan hasil pap smear yang abnormal, maka dilakukan pemeriksaan standar
berupa kolposkopi. Kolposkopi merupakan pemeriksaan dengan pembesaran (4-10x)
yang digunakan untuk mengamati secara langsung permukaan serviks dan bagian
serviks yang abnormal. Dengan kolposkopi akan tampak jelas lesi-lesi pada
permukaaan servik, kemudian dilakukan biopsi terarah pada lesi-lesi tersebut.
IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) tes merupakan alternatif skrining untuk
kanker serviks. Tes sangat mudah dan praktis dilaksanakan, sehingga dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan non dokter ginekologi, bidan praktek dan tenaga kesehatan
yang terlatih dan berkompeten. Prosedur pemeriksaannya sangat sederhana,
permukaan serviks diolesi dengan asam asetat 3-5%, sehingga akan tampak bercak-
bercak putih pada permukaan serviks yang abnormal (acetowhite positif).
Pemeriksaan HPV DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) baik secara Hybrid
capture atau genotyping dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus HPV
terutama yang high risk. Pemeriksaan HPV memiliki beberapa peran dalam penapisan
kanker serviks, antara lain: meningkatkan negative predictive value, memberikan
hasil prediksi lesi pra kanker lebih baik, dan lebih obyektif dibanding pemeriksaan
sitologi saja (sebagai penapisan kanker serviks).
Vaksin pada wanita yang telah terpapar HPV terbukti menurunkan insiden kanker
terkait HPV
Bukan untuk terapi lesi pra kanker atau kanker
Tidak menggantikan/ mengubah jadwal penapisan
2) Pendarahan menstruasi yang lebih lama dan lebih berat dari biasanya
3) Pendarahan setelah hubungan seksual, douching, atau pemeriksaan panggul
4) Peningkatan keputihan
5) Nyeri saat berhubungan seksual
6) Pendarahan setelah menopause
7) Nyeri panggul dan / atau punggung yang tidak dapat dijelaskan, persisten
Diagnosis stadium IA1 dan IA2 didasarkan dari pemeriksaan mikroskopis jaringan
konisasi, atau spesimen histerektomi atau trakelektomi yang mencakup semua lesi.
Status LVSI (Lymph Vascular Space Involvement) tidak mengubah stadium tetapi
dicatat secara spesifik karena dapat mempengaruhi terapi. Perluasan kanker ke corpus
uteri tidak mempengaruhi stadium. Pada kasus dimana tindakan dilakukan tindakan
operasi, spesimen patologi dapat menilai luas penyakit, tetapi tidak dapat mengubah
stadium klinis. Stadium ditentukan saat diagnosis primer dan tidak berubah bahkan
saat terjadi kekambuhan.
Pap pada saat ini merupakan alat skrining yang dandalkan. Lima puluh persen
pasien baru kanker serviks tidak pernah melakukan tes Pap. Tes Pap
direkomendasikan pada saat mulai melakukan aktivitas seksual atau setelah menikah.
Setelah tiga kali pemeriksaan tes Pap tiap tahun, interval pemeriksaan dapat lebih
lama (tiap 3 tahun sekali). Bagi kelompok perempuan yang berisiko tinggi (infeksi
30
hPV, HIV, kehidupan seksual yang berisiko) dianjurkan pemeriksaan tes Pap setiap
tahun. Pemastian diagnosis dilaksanakan dengan bropsi serviks.
Diagnosis kanker serviks diperoleh melalui pemeriksaan klinis berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologik, termasuk evaluasi kelenjar getah
bening, pemeriksaan panggul dan pemeriksaan rektal. Biopsi serviks merupakan cara
diagnosis pasti dari kanker serviks, sedangkan tes Pap dan/atau kuret endoserviks
merupakan pemeriksaan yang tidak adekuat. Pemeriksaan radiologic berupa foto
paru-paru, pelografi intravena atau CT-scan merupakan pemeriksaan penunjang untuk
melihat perluasan penyakit, serta menyingkirkan adanya obstruksi ureter.
Pemeriksaan laboratorium klinik berupa pemeriksaan darah tepi, tes fungsi ginjal, dan
tes fungsi hati duperlukan untuk mengevaluasi fungsi organ serta menentukan jenis
pengobatan yang akan diberikan.1
Tabel 2 Sistem Penetapan Stadium Klinik Kanker Serviks berdasarkan FIGO 2009
Stadium Kriteria
I Kanker terbatas pada serviks, penyebaran ke korpus uteri tidak
32
IB Secara klinis lesi tampak terbatas pada cervix uteri atau lesi
mikroskopis yang lebih dari stadium IA
IB1 Ukuran tumor < 4 cm
IB2 Ukuran tumor > 4 cm
II
Kanker invasi keluar uterus tetapi tidak mencapai 1/3 vagina
IIA distal, dan tidak mencapai dinding panggul
Kanker invasi keluar uterus tetapi tidak mencapai 1/3 vagina
IIA1 distal dan tanpa keterlibatan parametrium.
IIB Ukuran tumor ≤ 4 cm IIA2 Ukuran tumor > 4 cm
Kanker invasi ke parametrium tetapi belum mencapai dinding
panggul
III
Kanker invasi ke dinding pelviks dan atau mencapai 1/3 distal
IIIA vagina
IIIB Kanker invasi ke 1/3 distal vagina
Kanker invasi ke dinding lateral panggul, atau menyebabkan
hidronefrosis/ gangguan ginjal
IV
Kanker invasi ke luar pelvis mayor dan atau invasi ke mukosa
IVA kandung kemih dan/atau mukosa rektum
33
2.1.14 Tatalaksana
A. Kanker Serviks mikroinvasif
Stadium IA1
Konisasi adalah pilihan terapi utama pada stadium IA1. Bila pasien tidak
menghendaki untuk hamil lagi, maka dapat dipertimbangkan histerektomi total
(secara laparotomi, vaginal maupun laparoskopi).3
Follow up pasca terapi dengan Pap smear dilakukan setiap 3 bulan selama 2
tahun, kemudian setiap 6 bulan pada 3 tahun berikutnya. Bila follow up normal
selama 5 tahun, maka tidak lagi diperlukan tindakan deteksi adanya kekambuhan.
Stadium IA2
Pada stadium ini, angka kejadian metastasis kelenjar getah bening pelvis
meningkat (3,2%) oleh karena itu harus dilakukan diseksi kelenjar getah bening
pelvis. Terapi yang direkomendasikan adalah histerektomi radikal tipe 2 dengan
limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis. Bila fungsi reproduksi masih
diperlukan, pilihan terapi adalah :3
1. Konisasi serviks dengan limfadenektomi pelvik, atau
2. Trakhelektomi radikal (abdominal, vaginal atau laparoskopi) dan
limfadenektomi pelvik.
Follow up pasca terapi sama dengan stadium IA1
35
Stadium IIB
Kemoradiasi merupakan terapi standar pada stadium IIB. Kemoradiasi
konkuren yang standar termasuk radiasi eksternal dan brakiterapi intrakaviter.
Pada kondisi dimana brachytherapy tidak tersedia, pemberian booster radiasi
eksternal merupakan pilihan yang dapat diberikan untuk mencapai kontrol lokal.
Dosis radiasi eksternal yang disarankan adalah 45-50 Gy pada 180-200 cGy
per fraksi. Pemberian rangkaian radiasi dengan tepat waktu sangatlah penting
untuk hasil akhir yang optimal, direkomendasikan bahwa pemberian radiasi
eksternal dan brakiterapi diselesaikan dalam 56 hari.3
Pemberian kemoradiasi (menggunakan chemosensitizer) memberikan overall
survival dan disease-free survival yang lebih baik, menurunkan angka rekurensi
lokal dan jauh dibandingkan dengan pemberian radiasi saja.
Pilihan lain adalah pemberian kemoterapi neoajuvan adalah mengecilkan
masa tumor sehingga sehingga menjadi operabel. Tujuan lainnya adalah untuk
36
Stadium IVB
1. Terapi Sistemik
Kemoterapi merupakan terapi suportif terbaik untuk kanker serviks stadium
IVB. Beberapa bukti menyatakan bahwa kemoradiasi konkuren memberikan
respons lebih baik daripada kemoterapi sistemik saja. Rencana terapi harus
mempertimbangkan fakta bahwa median lama ketahanan hidup untuk stadium
IVB adalah 7 bulan.3
Walaupun dengan respon yang kurang baik, kemoterapi yang menjadi standart
adalah cisplatin. Cisplatin bisa dikombinasikan dengan golongan taxane,
topotecan, 5- FU, gemcitabine atau vinorelbine. Kombinasi carbolatin-paclitaxel
memberikan hasil yang baik pada beberapa kasus.3
Beberapa studi menunjukkan dengan penambahan bevacizumab 15 mg/kgBB
pada kemoterapi cisplatin-pactlitaxel atau topotecan-paclitaxel, terjadi
peningkatan overall survival (17 bulan vs 13,3 bulan) dan respon yang lebih baik
(48% vs 36%). Pemberian bevacizumab juga dapat meningkatkan insidens
37
hipertensi tingkat 2 atau lebih (25% vs 2%), kejadian tromboemboli tingkat 3 atau
lebih (8% vs 1%) dan fistula gastrointestinal tingkat 3 atau lebih (3% vs 0%))3
Suatu tim multidisiplin melibatkan ahli obstetri, neonatologi, ahli Jiwa dan
penasehat agama disarankan untuk membuat perencanaan terapi individual. Semua
rencana harus didiskusikan dengan pasien dan suaminya, dan keinginan pasien harus
dihormati.3
Secara umum, manajemen kanker serviks selama kehamilan mengikuti prinsip
yang sama dengan wanita tidak hamil. Kasus yang didiagnosa sebelum 16-20 minggu
harus segera mendapatkan terapi dengan operasi atau kemoradiasi.3
Sejak kehamilan trimester kedua dan setelahnya, operasi dan kemoterapi
dapat diberikan pada kasus tertentu dengan tetap mempertahankan kehamilannya.
Jika diagnosa dibuat diatas 20 minggu, penundaan terapi merupakan salah
satu pilihan pada stadium IA2 dan IB1 tanpa adanya gangguan prognosis dibandingan
dengan wanita tidak hamil. Saat janin dinyatakan viabel, terapi dengan SC klasik dan
diikuti radikal histerektomi dapat dilakukan (secara umum < 34 mgg kehamilan).
(Rekomendasi C). Pada stadium yang lebih lanjut, belum diketahui apakah
penundaan terapi akan mempengaruhi survival. Jika penundaan terapi direncanakan
pada wanita dengan locally advanced disease, kemoterapi neoajuvan dapat diberikan
untuk mencegah.3
2.1.15 Prognosis
Faktor utama yang menimbulkan residif termasuk invasi limfo-vaskuler,
metastasis ke kelenjar getah bening, kedalaman invasi stroma, batas sayatan operasi,
dan ukuran tumor. Jenis karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma tidak berbeda
prognosisnya.1
Faktor lain untuk timbulnya residif termasuk ploidi DNA tumor dan ekspresi
onkogen khusus (HER2/neu).1
Angka kesintasan 5 tahun, berdasarkan AJCC tahun 201012 adalah sebagai
berikut.
39
Rute penyebaran
Perluasan kanker serviks dapat secara langusung, melalui aliran getah bening
sehingga bermetastasis ke kelenjar getah bening iliaka interna/eksterna, obturator,
para aorta, ductus thoracicus, sampai ke skalen kiri; penyebaran ke kelenjar getah
bening inguinal melalui ligamentum rotundum. Penyebarannya juga melalui
pembuluh darah/hematogen.1
2.1.17 Pencegahan
1. Hindari merokok dan hindari penggunaan kontrasepsi oral dalam waktu lama
40
Wanita 48 tahun datang ke poli RSUD Raden Mataher Jambi dengan keluhan
keluar darah dari kemaluan sejak ±1 bulan SMRS bulan yang lalu. Sejak ± 1 tahun
yang lalu pasien mengeluh sering keluar darah dari kemaluan, sedikit-sedikit, tidak
terus menerus, terjadi terutama setelah berhubungan suami istri. Pasien juga
mengeluh nyeri panggul, keputihan (+), kental dan berbau. Nafsu makan biasa, BAB
dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian pasien berobat ke dokter kandungan di
sarolangun, di USG normal lalu hanya di berikan obat anti nyeri. ± 1 bulan SMRS,
pasien mengatakan timbul perdarahan lebih sering dan lebih banyak, dengan warna
merah segar dari kemaluan pasien. Dengan jumlah pembalut penuuh 5x dalam sehari.
Dan os merasakan nyeri panggul (+) terus memberat. Pasien dibawa ke RS
Bhayangkara, dan pasien didiagnosa kanker mulut rahim. Kemudian pasien di rujuk
untuk penanganan lebih lanjut. Kemudian ± 1 minggu yang lalu, pasien berobat ke
poli RSUD raden mattaher, dan direncanakan untuk kemoterapi. Saat ini pasien telah
dirawat dibangsal untuk kemoterapi dan perawatan lebih lanjut.
Keluhan pada pasien ini sesuai dengan keluhan yang sering dijumpai pada
pasien karsinoma cervix yaitu terdapat perdarahan abnormal, contact bleeding, fluor
abnormal, dan nyeri perut di bagian bawah. Contact bleeding terjadi pada 75-80%
kasus carcinoma cerviks uteri. Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh
darah, makin lama makin sering terjadi, bahkan terjadi perdarahan spontan.
Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat klinik yang lebih lanjut, terutama
pada kanker yang bersifat eksofitik dan dapat menyebabkan anemia.
Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan, berbau busuk
akibat infeksi dan nekrosis dan nekrosis jaringan. Rasa nyeri pada panggul terjadi
akibat infiltrasi sel kanker ke serabut saraf. Pada pasien karsinoma cervix biasanya
juga disertai gangguan kencing (disuria) dikarenakan adanya infiltrasi kanker ke
ureter sehingga menyebabkan obstruksi total dan terjadi gangguan kencing namun
38
39
karena pasien ini tidak didapatkan gangguan BAK sehingga kemungkinan tidak
terdapat metastasis ke ureter.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign dan pemeriksan head to toe
dalam batas normal. Pada pemeriksaan ginekologi yaitu, Pemeriksaan inspekulo
tampak fluksus darah (+) yang merah segar dan banyak. Tampak cairan kental kuning
kecoklatan yang bercampur darah. Tampak benjolan (+) yang tak beraturan. Portio
berdungkul-dungkul tidak rata.
Pada pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil Cervical basaloid
squamous cell carcinoma yang telah bermetastasis ke corpus uteri dan 2 KGB pelvik
bilateral. Menurut literatur, Jenis histologik Squamous cell carcinoma membentuk
sekitar 80% hingga 90% dari semua kanker serviks. Kanker ini dimulai pada sel-sel
di permukaan luar yang menutupi leher rahim. Pada sediaan biopsi adalah karsinoma
sel squamosa dan sekitar 10-20 % adalah jenis adenokarsinoma.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
tersebut didiagnosa ca cerviks stadium IIB. Kanker leher rahim adalah kanker primer
yang terjadi pada jaringan leher rahim (serviks), Sementara lesi prakanker adalah
kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya perubahan sel-sel epitel, namun
kelainannya belum menembus lapisan basal (membrana basalis). Pada stadium II,
kanker invasi keluar uterus tetapi tidak mencapai 1/3 vagina distal, dan tidak
mencapai dinding panggul. Pada stadium IIB, Kanker invasi ke parametrium tetapi
belum mencapai dinding panggul
Kemoradiasi merupakan terapi standar pada stadium IIB. Kemoradiasi
konkuren yang standar termasuk radiasi eksternal dan brakiterapi intrakaviter. Pada
kondisi dimana brachytherapy tidak tersedia, pemberian booster radiasi eksternal
merupakan pilihan yang dapat diberikan untuk mencapai kontrol lokal. Pilihan lain
adalah pemberian kemoterapi neoajuvan adalah mengecilkan masa tumor sehingga
sehingga menjadi operabel. Tujuan lainnya adalah untuk mensterilkan kelenjar getah
bening dan parametrium, sehingga dapat mengurangi faktor risiko untuk penggunaan
terapi ajuvan setelah pembedahan. Pada daerah dengan fasilitas radioterapi yang
40
41
DAFTAR PUSTAKA
42
43
12. Kunkule, Rakhi & Pakale, Ruchita & Jadhav, Swati & Nerkar, Amit. (2020).
Review on Cervical Cancer. 2(2), 2020, 39-44