Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN TUTORIAL

MODUL INTEGRATIF KLINIS II


SKENARIO 2

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3

TUTOR :
dr. Diyan Wahyu Kurniasari, Sp.PK

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2023
Kelompok Penyusun

Ketua Alvian Nugraha P 6130020021


: Maulidatul Jinani F 6130020049
Sekretaris Aalliyah Yusmadewi 6130020035
: Jamilatul Jannah 6130020017
Anggota Achmad Murottal 6130020019
: Siti Muifa 6130020003
Novanthy Nur Rohmadhani S 6130020068
LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN

No Materi yang Dinilai Presentas Nilai


. e
1. Ketetapan pemilihan kata kunci dalam peta konsep  25%
2. Kesesuaian hubungan kata kunci dengan peta konsep 25%
3. Kesesuaian jawaban learning objective dengan kasus skenario 25%
4. Pemilihan daftar pustaka dan sitasi 25%

Surabaya, 14 Maret 2023


Dosen Pembimbing

dr. Diyan Wahyu Kurniasari, Sp.PK


SKENARIO 2
Seorang wanita berusia 20 tahun diantar suaminya ke UGD RS dengan keluhan nyeri
perut bawah yang menjalar ke pinggang. Suami pasien meminta kepada dokter untuk
merahasiakan penyakit yang diderita oleh pasien terhadap pasien sendiri (istrinya).

STEP 1 : Seeking Information 


Kata Kunci
1. Wanita 20 tahun datang ke UGD
2. Nyeri perut bawah yang menjalar ke pinggang
3. Suami pasien meminta untuk merahasiakan penyakit

Diagnosis Banding :

1. Apendisitis Akut
2. Mola Hidatidosa
3. Kehamilan Ektopik

STEP 2 dan STEP 3 : Define Problem And Digging Information & Adding Information
Anamnesis :
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Wanita 20 tahun datang ke UGD dengan keluhan nyeri perut bawah yang
menjalar ke pinggang sejak 3 jam yang lalu, nyeri disertai perdarahan, pasien hamil
G2P0A1 dan usia kehamilan 12 minggu.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat abortus 1 tahun yang lalu
c. Riwayat Penyakit Keluarga
-
d. Riwayat Penyakit Sosial
Menikah di usia 19 tahun
Pemeriksaan Fisik : 
1. Tinggi Fundus Uterus (TFU) setinggi umbilicus
2. TD 120/70
3. Kesadaran compos mentis
Pemeriksaan Penunjang:
1. Bhcg (+)
2. USG (Snow Strom Apperance)
Hipotesis
Wanita 20 tahun G2P0A1 (usia kehamilan 12 minggu) dengan keluhan nyeri perut
bawah menjalar ke pinggang disertai perdarahan sejak 3 jam yang lalu, riwayat abortus (+) 1
tahun yang lalu. TFU setinggi umbilicus dan hasil USG Snow Strom Apperance mengarah ke
Mola Hidatidosa.

STEP 4 : Brainstorming Possible Explanation For The Problem


Tabel TPL- PPL

TPL PPL

Anamnesis - Perdarahan pervaginam


1. Wanita 20 tahun G2P0AI - Mola Hidatidosa
2. Usia kehamilan 12 minggu
3. Keluhan nyeri perut bawah menjalar
ke pinggang
4. Sejak 3 jam yang lalu
5. Perdarahan+
6. Abortus+ 1 tahun yang lalu

Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi Fundus Uterus setinggi
umbilicus
2. TD 120/70
3. Compos Mentis

Pemeriksaan Penunjang
1. Bhcg+
2. USG (Snow Strom Apperance)
Tabel POMR
Initial Assessment Planning
Pem. Penunjang Terapi Monitoring Edukasi
Mola Hidatidosa - Bhcg - Antinyeri - Monitoring - Disarankan ke
- USG - Multivitamin perdarahan Sp.OG untuk
- Pem. Darah dan nyeri tindakan
lengkap - Monitoring selanjutnya
anemia (kuretase)
- Konsumsi
makanan bergizi
- Istirahat yang
cukup

STEP 5: LEARNING OBJECTIVE


1. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosis banding dari kasus perdarahan pervaginam

A. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)


Kehamilan ektopik merupakan masalah kesehatan bagi wanita pada usia
reproduktif karena merupakan penyebab utama kematian pada trimester pertama
kehamilan di Amerika Serikat, yaitu 9% dari seluruh kematian pada kehamilan.
Frekuensi kehamilan ektopik adalah 1% dari seluruh kehamilan dan 90% kasus
terjadi pada tuba fallopi. Selain di tuba fallopi, kehamilan ektopik dapat juga terjadi
di ovarium, serviks, atau rongga abdomen. Penyebab terjadinya kehamilan ektopik
melibatkan banyak faktor. Secara teoritis, semua faktor yang mengganggu migrasi
embrio ke dalam rongga endometrium dapat menyebabkan kehamilan ektopik.
Obstruksi merupakan penyebab dari separuh kasus kehamilan ektopik. Obstruksi
dapat terjadi karena inflamasi kronik, tumor intrauterin, dan endometriosis.
Komplikasi kehamilan ektopik sering terjadi karena salah diagnosis, keterlambatan
diagnosis, atau kesalahan terapi. Komplikasi terburuk kehamilan ektopik adalah
ruptur uteri atau tuba, yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan masif, syok,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), dan kematian.2,3 Diagnosis klinik
kehamilan ektopik dapat ditegakkan dari ditemukannya trias klinik klasik, yaitu
nyeri abdomen, amenore, dan perdarahan vagina. Akan tetapi pada kenyataanya
hanya 50% penderita yang menunjukkan trias klinik klasik. Nyeri abdomen dialami
oleh 75% penderita, sedangkan perdarahan vagina hanya didapatkan pada 40‐50%
penderita. Kehamilan ektopik harus didiagnosis banding dengan apendisitis,
salfingitis, ruptur kista korpus luteum atau kista folikel ovarium, aborsi spontan atau
aborsi iminens, torsi ovarium, dan gangguan traktus urinarius. Gejala kehamilan
ektopik hanya menyerupai gejala‐gejala hamil muda (Kurniawan, A., & Mutiara,
H.).
B. Abortus
Abortus atau miscarriage adalah dikeluarkannya hasil konsepsi sebelum
mampu hidup di luar kandungan dengan berat badan sekitar 500 atau gram kurang
dari 1000 gram, terhentinya proses kehamilan sebelum usia kehamilan kurang dari
28 minggu (Manuaba, 2010). Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara
apapun, spontan maupun buatan, sebelum janin mampu bertahan hidup dengan
batasan berdasar umur kehamilan dan berat badan. Diagnosis Tindakan klinik yang
dapat dilakukan untuk mengetahui terjadinya abortus antara lain :
- Terlambat haid atau amenorea kurang dari 20 minggu.
- Pemeriksaan fisik yang terdiri dari keadaan umum tampak lemah, tekanan darah
normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, dan suhu badan
normal atau meningkat (jika keadaan umum buruk, lakukan resusitasi dan
stabilisasi).
- Adanya perdarahan pervaginam yang dapat disertai keluarnya jaringan janin,
mual dan nyeri pinggang akibat kontraksi uterus (rasa sakit atau kram perut
diatas daerah sinopsis).
- Pemeriksaan ginekologi meliputi inspeksi vulva dengan melihat perdarahan
pervaginam, ada atau tidak jaringan janin, dan tercium atau tidak bau busuk dari
vulva inspekulo.
- Perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup, ada atau
tidak jaringan keluar dari ostium dan ada atau tidak cairan atau jaringan busuk
dari ostium.
- Pada periksa dalam dengan melihat porsio masih terbuka atau tertutup teraba
atau tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari
usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada saat perabaan
adneksa dan kavum douglas tidak menonjol dan tidak nyeri.
Pemeriksaan penunjang yang umumnya dilakukan antara lain :
a. Tes kehamilan akan menunjukkan hasil positif bila janin masih hidup bahkan
2-3 hari setelah abortus.
b. Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
c. Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion (Masjoer dalam
Maryunani, 2009).
C. Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa, lebih umum dikenal dengan sebutan hamil anggur, adalah
kehamilan yang ditandai dengan perkembangan trofoblas yang tidak wajar. Pada
mola hidatidosa, struktur yang dibentuk trofoblas yaitu vili korialis berbentuk
gelembung-gelembung seperti anggur. Berdasarkan perbedaan genetik dan patologi,
mola hidatidosa bisa dibagi menjadi dua subtype yaitu, mola hidatidosa komplit dan
parsial. Dibandingkan dengan penyakit trofoblas gestasional lainnya, mola
hidatidosa merupakan tipe yang paling umum terjadi.
Etiologi dari penyakit ini bermacam– macam termasuk berbagai kombinasi
dari faktor lingkungan dan genetik. Usia merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi dimana mola biasanya muncul pada pasien yang berusia muda (< 16
tahun) dan usia yang lebih tua yaitu >45 tahun. Penyakit ini biasanya diakibatkan
oleh banyak faktor diantaranya baik usia, jarak antara kehamilan, riwayat abortus
sebelumnya, sosial ekonomi, dan riwayat mola sebelumnya.
Untuk membedakan mola perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG),
pemeriksaan kadar ß-hCG, dan dapat pula dilakukan dengan melalui pengambilan
sampel vilus korionik, amniosintesis, atau darah fetus. Melalui pemeriksaan USG,
mola hidatidosa resiko tinggi dapat didiagnosa secara akurat pada minggu pertama
ketika pemeriksaan ß-hCG tidak dapat membantu. Melalui pemeriksaan USG,
untuk mola hidatidosa komplit biasanya ditemukan gambaran snowstorm, vesicular
pattern yang biasanya muncul pada trimester kedua kehamilan dari isi uterus dan
kista lutein fokal. Sementara itu untuk pasien dengan mola hidatidosa parsial sering
didiagnosa missed abortion biasanya terdapat gambaran janin, namun kista lutein
jarang muncul. Pemeriksaan histologis dari sampel konsepsi adalah gold standard
dari mola hidatidosa. Pemeriksaan histologis ini biasanya dilakukan. (Harjito,
Dkk.2017).
2. Mahasiswa mampu mengetahui definisi dan epidemiologi dari mola hidatidosa
Definisi
Mola hidatidosa dikenal dengan sebutan “hamil anggur” merupakan kehamilan yang ditandai
dengan perkembangan trofoblas yang tidak wajar. Kehamilan mola hidatidosa disebabkan
karena ketidakseimbangan kromosom pada kehamilan. Pada mola hidatidosa, struktur yang
dibentuk trofoblas yaitu vili korialis berbentuk gelembung-gelembung seperti anggur (Fisher
dan Sebire, 2013).
Epidemiologi
Insidensi Mola Hidatidosa :
- 1,1 – 1,57 dalam 1000 kehamilan di Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan
Eropa
- Asia Tenggara mencapai 2 kasus per 1000 kehamilan.
- Lebih sering ditemukan pada wanita dengan riwayat mola sebelumnya dan orang-
orang pada usia ekstrim.
- Terdapat 1,3 kali lipat peningkatan insiden pada remaja (<21 tahun) dan 10 kali lipat
peningkatan usia wanita (≥ 40 tahun) (Fisher dan Sebire, 2013).
3. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi, klasifikasi, dan patogenesis dari mola
hidatidosa
Etiologi
Penyebab terjadiya Mola Hidatidosa sampai sat ini belum diketahui secara pasti.
Namun faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keadaan ini adalah :
a. Faktor ovum, yang memang sudah patologik schingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan
b. Imunoselektif dari trofoblas
c. Kehamilan usia laniut (>35 tahun) atau terlalu muda (<20 tahun)
d. Paritas tinggi
e. Jarak kehamilan yang terlalu deka
f. Faktor infeksi
g. Sosial ekonomi rendah yang mempengaruhi hygiene, nutrisi dan pendidikan
h. Malnutrisi terutama apabila kekurangan protein. (Octiara & Sari, 2021)
Klasifikasi
Klasifikasi mola hidatidosa menurut Federation International of Gynecology
and Obstetrics (FIGO) terbagi menjadi :
a. Mola Hidatidosa Komplit
MHK merupakan kehamilan abnormal tampa embrio yang seluruh vili
korialisnya mengalami degenerasi hidrofik yang menyerupai anggur. Mikroskopik
tampak edema stroma vili tapa vaskularisasi disertai hiperplasia dari kedua lapisan
trofoblas (Sastrawinata S, 2004). Pada waktu yang lalu MHK rata-rata terjadi pada
usia kehamilan 16 minggu, tetapi pada saat ini dengan kemajuan teknologi
ultrasonografi, MHK dapat didetiksi pada usia kehamilan yang lebih muda. Secara
Klinis tampak pembesaran uterus yang lebih besar dari usia kehamilan dan pasien
melihatkan gejala toksik kehamilan. Abortus terjadi dengan perdarahan abnormal
dan disertai dengan keluarya jaringan mola. Pada pemeriksaan laboratorium terjadi
peningkatan tier serum B human Chorionic Gonadotropin (B hG) yang jumlahnya
diatas 82,350 mlU/ml (Lumongga, 2009).
- Gambaran makroskopis

Secara makroskopik ditandai dengan gelembung-gelembung putih, tembus


pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran yangbervariasi dari beberapa milimeter
sampai 1-2 centimeter. Massa tersebut dapat tumbuh besar sehingga memenuhi
uterus (Sudiono J, 2001).
- Gambaran Mikroskopis

Gambaran mikroskopis dari MHK adalah udem pada vili dengan pembentukan
sisterna. Sisterna adalah rongga aseluler yang terletak pada bagian tengah vilous
yang berisi cairan udem. Tetapi tidak semua vili terdapat sisterna. Pada vili dapat
dijumpai nekrosis dan kalsifikasi parsial. Pembuluh darah pada vili biasanya tidak
terlihat, oleh karena perkembangan fetus yang terhenti pada awal masa
pembentukan plasenta. Sel-sel trofoblas hiperplasia dan proliferasi abnormal yang
terdapat disekeliling vili korion (Lumongga, 2009). Gambaran histologi MHK :

1. Degenerasi hidrofobik dan pembengkakak Stroma Vilus

2. Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak

3. Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi

4. Tidak adanya ianin dan amnion.

- Hasil Pemeriksaan USG


MHK dicirikan ole pembengkakan vili korionik, pada ultrasonografi
ditemukan pola vesicular. MHK yang didiagnosis dalam trimester pertama
menunjukkan kavitas yang kurang dan vili yang lebih kecil. Pada pemeriksaan
utrasonografi terlihat sebuah uterus yang terisi oleh kista multipel dan area ekogenik
yang bervariasi ukuran dan bentuknya (snow-storm appearance) tapa adanya embrio
dan fetus. Dengan menggunakan pemeriksaan ini, 79% MHK dapat dideteksi
(Wladimiroff W, 2009).
b. Mola Hidatidosa Parsial
Merupakan keadaan dimana perubahan mola bersifat lokal serta belum begitu
jauh dan mash terdapat janin atau sedikitnya kantong amnion. Umumnya janin
mati pada bulan pertama (Sudiono J, 2001).
- Gambaran Makroskopis
Secara makroskopis tampak gelembung mola yang disertai janin atau bagian
dari janin (Sudiono J, 2001). Mola parsial tampak gambaran vili yang normal dan
dem. Pada mola parsial sering dijumpai komponen janin. Penderita sering dijumpai
pada usia kehamilan lebih tua, yaitu 18-20 minggu. Pada pemeriksaan
laboratorium, peningkatan kadar serum B hCG tidak terlalu tinggi (Lumongga,
2009).

- Gambaran Mikroskopis
Gambaran mikroskopis yang tampak adalah sebagian vili immatur yang relatif
normal dan sebagian lagi vili yang membesar dengan degenerasi hidrofik. Pada
tepi vili terdiri dari sel-sel sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang tersusun ireguler
berbentuk scalloping. Sisterna jarang dijumpai. Dapat terlihat pseudoinklusi
trofoblas yang disebabkan oleh pemotongan tangensial vili pada tepi vili yang
irregular. Pada vili dapat terjadi fibrosis yang fokal. Derajat atipia dan proliferasi
trofoblas tidak terlalu banyak bila dibandingkan dengan MHK. Pembuluh darah
pada vili sering dijumpai (Lumongga, 2009).
Pada gambaran histologi tampak bagian vili yang avaskuler, terjadi
pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat, sementara vili yang vaskuler dari
sirkulasi darah fetus. Plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami perubahan
(Sudiono J, 2001).
- Hasil Pemeriksaan USG

Pada pemeriksaan ultrasonografi, MHP dicirikan dengan pembesaran plasenta,


lebih tebal 4 cm dari insersi corda pada trimester kedua dan terdiri dari banyak area
kista (swiss cheese appearance). Diagnosis MHP lebih sulit daripada MHK, dengan
pemeriksaan ini hanya 29% yang dapat dideteksi dalam penelitian skala besar
(Wladimiroff W, 2009).

c. Mola Invasif
Mola invasif sering terjadi pasca evakuasi kehamilan mola. Walaupun kedua
mola dapat berubah menjadi mola invasif, tetapi hal ini lebih sering terjadi pada
mola komplit. Insiden terjadinya mola invasif pasca evakuasi mola komplit sebesar
10 hingga 15%. Karakteristik pada mola invasif terdapat proliferasi trofoblas yang
menginvasi miometrium. Gambaran histopatologi mola invasif yang berbeda
dengan kariokarsinoma yaitu adanya vili korialis.
Patogenesis
a. Teori Missed Abortion
Kematian janin pada usia kehamilan 3-5 minggu saat dimana seharusnya
sirkulasi fetomaternal terbentuk menyebabkan gangguan peredaran darah. Sekresi
dari sel-sel yang mengalami hiperplasia dan menghasilkan substansi-substansi
yang berasal dari sirkulasi ibu diakumulasikan ke dalam stroma villi sehingga
terjadi kista villi yang kecil-kecil. Cairan yang terdapat dalam kista tersebut
menyerupai cairan asites atau edema tetapi kaya akan HCG.
b. Teori Neoplasma dari Park
Teori ini mengemukakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas yang
mempunyai fungsi yang abnormal pula dimana terjadi resorpsi cairan yang
berlebihan ke dalam vili sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan
gangguan peredaran darah dan kematian janin. Sebagian dari vili berubah menjadi
gelembung-gelembung yang berisi cairan jernih. Biasanya tidak ada janin, hanya
pada mola parsial kadang-kadang ditemukan janin. Gelembung- gelembung ini
sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat
mengisi seluruh kavum uterus.
c. Studi dari Hertig
Studi dari Hertig lebih menegaskan lagi bahwa mola hidatidosa semata-mata
akibat akumulasi cairan yang menyertai degenerasi awal atau tiak adanya embrio
komplit pada minggu ke tiga dan ke lima. Adanya sirkulasi maternal yang terus
menerus dan tidak adanya fetus menyebabkan trofoblast berproliferasi dan
melakukan fungsinya selama pembentukan cairan (Nurhayati, 2020).
4. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi dari mola hidatidosa
Patofisiologi mola hidatidosa berkaitan dengan gangguan proliferasi trofoblas
saat pembentukan plasenta. Mola hidatidosa merupakan bentuk hiperplasia trofoblas
difus, dimana vili-vili yang terbentuk sebagian besar bersifat hidropik. Bagaimana
terjadinya masalah saat proliferasi hingga kini belum dapat dijelaskan secara pasti,
tetapi faktor mutasi genetik diduga berperan (Candelier, 2016).
Sekitar 5-6 hari setelah konsepsi pada manusia, zigot yang terbentuk akan
berkembang menjadi blastosis. Sel perifer dari blastosis ini akan berdiferensiasi
menjadi dua lapisan yaitu trofoblas seluler (sitotrofoblas) dan sinsitiotrofoblas yang
kemudian menginvasi endometrium dan pembuluh darah uterus. Kedua jaringan yang
berkaitan dengan mesoderm ekstraembrional ini merupakan awal mula terbentuknya
plasenta. Ketika proliferasi yang terjadi tidak terkontrol, sel-sel trofoblas dapat menjadi
mola hidatidosa (Candelier, 2016).
Mola merupakan hiperplasia trofoblas difus, dimana vili yang terbentuk bersifat
hidropik. Trofoblas yang mengalami disorganisasi ini juga ditambah dengan gangguan
pematangan struktur vaskular, sehingga muncul banyak pembuluh darah imatur pada
vili korionik yang kemudian membentuk vili hidropik. Hal inilah yang terjadi pada
mola hidatidosa komplit. Sedangkan pada mola hidatidosa parsial, anomali trofoblas
lebih jarang muncul dan biasanya terdapat jaringan janin maupun embrionik yang
masih dapat diidentifikasi (Candelier, 2016).
5. Mahasiswa mampu mengetahui alur diagnosis dari mola hidatidosa
Diagnosis mola hidatidosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan ultrasonografi, kadar hCG, pemeriksaan histopatologi serta pemeriksaan
sitogenetik dan biologi molekular (jika terdapat indikasi) (Susanto, 2018).
Pasien mola komplit dan mola parsial memiliki riwayat terlambat haid dan hasil
pemeriksaan tes kehamilan positif. Hasil pemeriksaan urin negatif tidak menyingkirkan
kehamilan mola, petugas kesehatan sebaiknya tetap memikirkan kehamilan mola
terutama ada gejala keluar darah dari kemaluan dan hiperemesis. Hasil negatif pada
pemeriksaan urin disebabkan kadar hCG yang terlampau tinggi, fenomena ini dikenal
dengan sebutan hook effect (Cormano, 2015).
Secara klinis kedua tipe mola memiliki gejala klinis, laboratorium dan prognosis
yang berbeda. Mola komplit datang dengan gejala keluar darah dari kemaluan sebanyak
84%, pembesaran uterus melebihi usia kehamilan sebanyak 50%, dan peningkatan hCG
sebanyak 50%. Mola parsial datang dengan keluhan seperti gejala abortus / keluar
darah dari kemaluan (1, 5) atau missed abortion, tanpa pembesaran uterus melebihi usia
kehamilan (Shanbhogue, 2013). Karateristik gambaran USG pada mola komplit adalah
snowstorm, tanpa gambaran janin (Seckl, 2013).
A. Anamnesis
- Perdarahan pervaginam, paling sering biasanya terjadi pada usia kehamilan 6-16
minggu.
- Terdapat gejala hamil muda yang sering lebih nyata dari kehamilan biasa
(hiperemesis gravidarum)
- Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) yang
merupakan diagnosa pasti.
- Perdarahan bisa sedikit atau banyak, tidak teratur, berwarna merah kecoklatan.
- Kadang kala timbul gejala preeklampsia (Mochtar, 2013)
B. Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi: muka dan kadang-kadang badan terlihat pucat kekuning kuningan,
yang disebut muka mola (mola face). Selain itu, kalau gelembung mola keluar,
dapat terlihat jelas.
- Palpasi: uterus membesar ridak sesuai dengan usia kehamilannya, teraba
lembek. Tidak teraba bagian janin dan ballotement, juga gerakan janin. Adanya
fenomena harmonika, darah dan gelembung mola keluar, fundus uteri turun, lalu
naik lagi karena terkumpulnya darah baru.
- Auskultasi: tidak terdengar bunyi denyut jantung janin, terdengar bising dan
bunyi khas (Mochtar, 2013).
C. Pemeriksaan Penunjang
- Uji biologik dan uji imunologik (Galli Mainini dan Planotest) akan positif
setelah pengenceran (titrasi).
- Galli Mainini 1/300 (+), maka suspek mola hidatidosa.
- Galli Mainini 1/200 (+), maka kemungkinan mola hidatidosa atau kehamilan
kembar.
- Uji Sonde: Sonde dimasukkan ke dalam kanalis servikalis secara pelan dan hati-
hati, kemudian sonde diputar. Jika tidak ada tahanan, kemungkinan mola.
- Foto Rontgen Abdomen Tidak terlihat adanya tulang-tulang janin (pada
kehamilan 3-4 bulan).
- Atreriogram khusus pelvis.
- Ultrasonografi Pada mola akan terlihat bayangan badai salju dan tidak terlihat
janin (Mochtar, 2013).
6. Mahasiswa mampu mengetahui faktor risiko, komplikasi, dan prognosis dari
mola hidatidosa
A. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko seperti gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetik. Faktor
risiko yang menyebabkan terjadinya kehamilan mola hidatidosa ini menjadi hal yang
penting untuk diketahui. Terutama oleh kalangan wanita dengan usia predileksi (15-45
tahun) dan multipara. Namun, pada kenyataannya pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat tentang faktor risiko tersebut masih sangat rendah (Martaadisoebrata, 2005).
Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dimana mola biasanya muncul
pada pasien yang berusia muda (< 16 tahun) dan usia yang lebih tua yaitu >45 tahun.
Penyakit ini biasanya diakibatkan oleh banyak faktor yakni jarak antara kehamilan, riwayat
abortus sebelumnya, sosial ekonomi, dan riwayat mola sebelumnya (Olivia, 2016).
B. Komplikasi

Menurut Yulaikhah (2008), Pada penderita mola yang lanjut dapat terjadi
beberapa komplikasi sebagai berikut :
1. Syok hipovolemik akibat perdarahan hebat dapat terjadi jika tidak segera
ditangani, bahkan dapat berakibat fatal
2. Anemia terjadi karena perdarahan berulang
3. Preeklamsia dan eklamsia
4. Infeksi sekunder
5. Tirotoksikosis, prognosis lebih buruk, biasanya meninggal akibat tiroid
6. Emboli sel trofoblas ke paru
7. Sering disertai kista, baik multilateral maupun bilateral namun biasanya kista
akan hilang jika mola di evakuasi
C. Prognosis

Setelah dilakukan evakuasi mola secara lengkap, sebagian besar penderita


MHK akan sehat kembali, kecuali 15%-4% yang mungkin akan mengalami
keganasan. Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan
resiko tinggi, seperti:
1. Usia diatas 35 tahun
2. Besar uterus diatas 30 minggu
3. Gambaran PA mencurigakan
Saat ini, sudah hampir tidak ada kematian karena MHK. Dibanding MHK,
prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan
derajat keganasannya rendah (4%). Walaupun demikian, dalam kepustakaan
ditemukan laporan tentang kasus MP yang disertai metastasis ke tempt lain .
penderita MHP harus di follow up sama ketatnya seperti MHK (Martaadisoebrata,
2005).

7. Mahasiswa mampu mengetahui tatalaksana komprehensif dari mola hidatidosa


Tatalaksana
Karena mola hidatidosa adalah suatu kehamilan patologi dan tidak jarang disertai
penyulit yang membahayakan jiwa, pada prinsipnya harus segera dikeluarkan.
Terapi mola hidatidosa terdiri dari tiga tahap, yaitu :
d. Perbaikan Keadaan Umum  transfusi darah untuk mengatasi syok hipovolemik
atau anemia, pengobatan terhadap penyulit, seperti pre eklampsi berat atau
tirotoksikosis.
- Koreksi dehidrasi
- Transfusi darah bila ada anemia ( Hb kurang dari 8 g/dL )
- Bila ada gejala pre eklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati sesuai dengan
protokol penangan dibagian obstetrik dan gynekologi
- Bila ada gejala-gejala tirotoksikosis, dikonsultasikan ke bagian penyakit dalam.
e. Pengeluaran jaringan mola dengan cara kuretase dan histerektomi
- Kuretase pada pasien mola hidatidosa  Karena risiko perdarahan meningkat
dengan peningkatan ukuran uterus, transfusi darah harus tersedia ketika uterus
lebih besar dari 16 minggu dalam usia kehamilan. Seluruh jaringan mola dikirim
ke laboratorium untuk diperiksa.
- Histerektomi  Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur
dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi adalah
karena umur tua dan paritas tinggi merupan faktor predisposisi untuk terjadinya
keganasan. Batasan yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga.
- Evakuasi  Pengawasan dan evaluasi setelah evakuasi kehamilan mola selama
1-2 tahun. Selama pengawasan ini dipantau kadar hCG setiap minggu sampai
kadar hCG normal 3 kali berturut-turut. Kemudian pantau hCG setiap bulan
sampai 6 bulan berturut-turut kadar hCG normal.(Pramana,C.dkk.2021).
8. Mahasiswa mampu mengetahui kode etik tentang kerahasiaan penyakit pasien
Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu :
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination),
2. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien;
3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere”
atau “above all do no harm”,
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam mendistribusikan sumberdaya (distributive justice) (Suryadi, 2009).

Prinsip Autonomy
Otonomi (autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang berarti sendiri dan
”nomos” yang berarti peraturan atau pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi
dikaitkan dengan suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri
atau hukum sendiri. Namun kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu kondisi
individu yang maknanya bermacam macam seperti memerintah sendiri, hak untuk
bebas, pilihan pribadi, kebebasan berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama
otonomi individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri sendiri yang bebas,
baik bebas dari campur tangan orang lain maupun dari keterbatasan yang dapat
menghalangi pilihan yang benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup.
Seseorang yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang
lain atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan rencananya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi. Meskipun demikian,
secara umum ada beberapa cara menerapkan prinsip otonomi, khususnya dalam praktek
kedokteran. Cara-cara tersebut antara lain:

1. Menyampaikan 1.kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the truth)


2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others)
3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential information)
4. Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien (obtain
consent for interventions with patients)
5. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when ask, help others
make important decision)

Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai kompetensi


pasien. (Suryadi, 2009).

Selain itu , seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia,
terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir
secara logis dan membuat keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri. Autonomy
pasien harus dihormati secara etik, dan di sebagain besar negara dihormati secara legal.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan
pasien yang sudah dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis.
Melalui informed consent, pasien menyetujui suatu tindakan medis secara tertulis.
Informed consent menyaratkan bahwa pasien harus terlebih dahulu menerima dan
memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka, jenis tindakan medik yang
diusulkan, resiko, dan juga manfaat dari tindakan medis tersebut. Dokter wajib menjaga
kerahasiaan dari seorang pasien itu sendiri karena sudah tertuang di dalam panduan
kode etik kedokteran Indonesia,yang tertulis "KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP
PASIEN : Pasal 16 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien,bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia". Penjelasan
dari pasal tersebut adalah Cakupan Pasal:

1. Seorang dokter 1.wajib merahasiakan apa yang dia ketahui tentang pasien yang
ia peroleh dari diri pasien tersebut dari suatu hubungan dokter - pasien sesuai
ketentuan perundang-undangan.
2. Seorang dokter tidak boleh memberikan pernyataaan tentang diagnosis dan /atau
pengobatan yang terkait diagnosis pasien kepada pihak ketiga atau kepada
masyarakat luas tanpa persetujuan pasien.
3. Seorang dokter tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk merugikan
pasien, keluarga atau kerabat dekatnya dengan membukanya kepada pihak
ketiga atau yang tidak berkaitan.
4. Dalam hal terdapat dilema moral atau etis akan dibuka atau dipertahankannya
rahasia pasien, setiap dokter wajib berkonsultasi dengan mitra bestari atau
organisasi profesinya terhadap pilihan keputusan etis yang akan diambilnya.
5. Setiap dokter wajib hati-hati dan mempertimbangkan implikasi sosial ekonomi-
budaya dan legal terkait dengan pembukaan rahasia pasiennya yang
diduga/mengalami gangguan jiwa,penyakit infeksi menular seksual dan
penyakit lain yang menimbulkan stigmatisasi masyarakat
6. Setiap dokter pemeriksa kesehatan untuk kepentingan hukum dan
kemasyarakatan wajib menyampaikan hasil pemeriksaaan kepada pihak
berwewenang yang memintanya secara tertulis sesuai ketentuan perundang
undangan.
7. Seorang dokter dapat membuka rahasia medis seorang pasien untuk kepentingan
pengobatan pasien tersebut, perintah undang-undang, permintaan pengadilan,
untuk melindungi keselamatan dan kehidupan masyarakat setelah berkonsultasi
dengan organisasi profesi,sepengetahuan/ijin pasien dan dalam dugaan perkara
hukum pihak pasien telah secara sukarela menjelaskan sendiri
diagnosis/pengobatan penyakitnya di media massa/elektronik/internet.
8. Seorang dokter wajib menyadari bahwa membuka rahasia jabatan dokter dapat
membawa konsekuensi etik, disiplin dan hukum. Selain itu menyimpan
kerahasiaan pasien juga tertuang pada sumpah dokter , "Saya akan
merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya"
(IDI ,2012)
9. Mahasiswa mampu mengetahui aspek islam tentang perdarahan pervaginam
Nifas secara etimologi adalah persalinan, secara terminologi nifas keluarnya
darah dari kemaluan perempuan dewasa, yang keluar selama atau setelah melahirkan.
Nifas adalah darah yang keluar dari qubul perempuan sesudah melahirkan. Jika dia
melahirkan melalui operasi, yaitu dengan cara membedah perut wanita hamil dan
mengeluarkan bayinya, perempuan tersebut tidak ada darah nifas. Jika seorang wanita
mengalami keguguran, janinnya sudah memiliki jari, kuku, atau rambut, dan lain-lain,
maka janin sama dengan bayi yang menyebabkan pendarahan. Jika janin tidak memiliki
apa-apa, masih segumpal darah atau daging, darah yang keluar itu bisa dianggap
sebagai darah haid, jika itu keguguran bertepatan dengan haid, dan jika tidak darah
tersebut adalah darah penyakit.Dari penjelasan di atas, masa nifas adalah keluarnya
darah dari rahim saat melahirkan. Ini dapat terjadi sebelum atau sesudah, dan dapat
berlangsung selama 2-3 hari dengan rasa sakit. “Darah yang dilihat seorang wanita
ketika dia mulai merasakan sakit adalah persalinan,” kata Syekhul Islam Ibn Taimiyah,
tidak memberi batasan 2 atau 3 hari. Ini berarti rasa sakit yang datang dengan kelahiran.
Ini berarti rasa sakit yang datang dengan kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan masa
nifas. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama ketika menentukan batas lama dan
cepatnya masa nifas. Menurut Syaikh Taqiyuddin tentang sebutan yang digunakan oleh
pemegang hukum syariah tidak ada batasan minimal atau maksimal pasca melahirkan.
Setidaknya masa nifas tidak dibatasi. Masa nifas hanya berlangsung sesaat. Jika
seorang wanita melahirkan dan pendarahannya segera berhenti, atau dia dilahirkan
tanpa darah, masa nifasnya berakhir, dia berkewajiban untuk melakukan tugas setiap
wanita suci. Sebut saja Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah yang melahirkan di waktu
senja ketika hilangnya cahaya merah. Beberapa saat kemudian, dia telah kembali suci
dari nifas, lalu dia mandi dan shlalat Isya ketika sudah mulai waktunya. Karena itulah
dikatakan, paling tidak masa nifas itu sebentar. Dan selama masa nifas adalah empat
puluh hari. Seorang wanita yang sedang nifas tahu bahwa dia sudah suci, yaitu melihat
tanda putih muncul, darah telah berhenti, tidak ada bekas di kapas, dia harus mandi dan
shalat. Seorang wanita yang sedang nifas tahu bahwa dia sudah suci, yaitu melihat
tanda putih muncul, darah telah berhenti, tidak ada bekas di kapas, dia harus mandi dan
shalat.
Dari Ummu Salamah, ia berkata: "Di masa Rasulullah, wanita-wanita yang
sedang nifas tidak melaksanakan shalat selama empat puluh hari (sejak darah nifasnya
keluar). Diriwayatkan oleh Imam Lima kecuali Nasa’i dan lafalnya milik Abu Daud.
Dalam lafal lain menurut riwayat Abu Daud, disebutkan: Dan Rasulullah tidak
memerintahkan mereka untuk mengganti shalat yang mereka tinggalkan saat nifas".
Hukum yang berlaku bagi nifas sama dengan hukum haid, tentang hal-hal yang
diizinkan, dilarang, dan wajib maupun yang dihapus. Karena masa nifas merupakan
retensi darah menstruasi akibat proses kehamilan (Efnika, 2022).

Kesimpulan

Mola hidatidosa atau hamil anggur merupakan salah satu penyakit trofoblas pada
kehamilan yang paling banyak terjadi dan biasanya ditandai dengan adanya perdarahan
pervaginam. Pada kasus di atas, pasien wanita tersebut mengalami mola hidatidosa karena
adanya perdarahan pervaginam dan pada pemeriksaan USG juga ditemukan gambaran khas
yaitu snowstorm appearance. Oleh karena itu, penatalaksanaan pada kasus mola hidatidosa
sebaiknya sesegera mungkin dilakukan untuk mengurangi atau menghindari terjadinya
komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi. Untuk penegakan diagnosis awal dalam hal ini
adalah anamnesis terpimpin, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang ada.
Mind Maping
DAFTAR PUSTAKA

Arri kurniawan, dan Hanna mutiara. (2016). Kehamilan Ektopik Di Abdomen. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
Candelier JJ. The Hydatidiform mole. Cell Adh Migr. 2016; 10(1-2): 226–235.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4853053/
Cormano J, Mackay G, Holschneider C. 2015. Gestational Trophoblastic Disease Diagnosis
Delayed by the Hook Effect. Obstetrics and gynecology. 126(4):811-4.
Efnika, Yuyun. 2022. HUKUM DARAH YANG KELUAR PADA MASA KEHAMILAN
(Studi Perbandingan Pendapat As-Sarakhsī dan Imam An-Nawawi). Skripsi.
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-
RANIRY BANDA ACEH. Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Hal. 24-26.
Fisher, R. A. dan Sebire, N. J. (2013). “Hydatidiform Moles,” Brenner’s Encyclopedia of
Genetics: Second Edition, 5, hal. 598–601. doi: 10.1016/B978-0-12-374984-0.00760-9.
Harjito, V. N., Hidayat, Y. M., & Amelia, I. (2017). Hubungan antara Karakteristik Klinis
Pasien Mola Hidatidosa dengan Performa Reproduksi Pascaevakuasi di Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Sistem Kesehatan, 3(1).
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia
Lubis, Namora Lumongga. 2009. Depresi : Tinjauan Psikologis. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Mansjoer. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ke 3. Jakarta : FK UI.
Martaadisoebrata. D. dkk. 2005. Bunga rampai obstetrik dan ginekologi sosial. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 259
Martaadisoebrata D. Mola hidatidosa. In: Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas
Gestasional. Jakarta: EGC, 2005; p. 7-41.
Nurhayati E., 2020. PENYAKIT PADA MASA KEHAMILAN. Modul : UNIVERSITAS
ESA UNGGUL
Olivia FC, Kedokteran F, Lampung U. Seorang Wanita 30 Tahun Dengan Mola Hidatidosa
Komplet A 30 Years Old Woman with Complete Hydatidiform Mole. 2016;5(April).
Pramana,C.dkk.2021.Mola Hidatidosa Kehamilan 11 Minggu pada Wanita Usia 43
Tahun.Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, Jakarta, IndonesiaFakultas
Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung, Semarang,Indonesia.Jurnal Kedokteran
Unram,10(3):527-530ISSN2301-5977,e-ISSN2527-7154 jku.unram.ac.id
Sastrawinata, Sulaiman. 2005. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC.
Sastrawinata. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi : Edisi2. Jakarta: EGC.
Suryadi , Taufik. 2009. PRINSIP-PRINSIP ETIKA DAN HUKUM DALAM PROFESI
KEDOKTERAN. Tim Bioetika dan Humaniora FK Unsyiah Banda Aceh : Pertemuan
Nasional V JBHKI dan Workshop III Pendidikan Bioetika dan Medikolegal di Medan
Sudiono J, 2001, Penuntun Praktikum Patologi Anatomi, EGC, Jakarta, pp. 9-10.
Wladimiroff W, 2009, Ultrasound in Obstetrics and Gynaecology, Elsevier Health Sciences,
USA, pp. 71-72.

Anda mungkin juga menyukai