Oleh:
G1A218088
Pembimbing:
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS)
ini dengan judul “penurunan kesadaran ec eklampsia pada kehamilan G6P5A0”.
Laporan ini merupakan bagian dari tugas Program Studi Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Andi Hasyim, Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik dan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Case Report Session
ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan Case
Report Session ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan laporan Case Report Session ini. Sebagai penutup semoga
kiranya Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi
dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara
yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesi. Rees dan Gray membagi anestesi umum menjadi tiga komponen yaitu
hipnotika, anelgesia dan relaksasi. Ketiga komponen anestesia ini sering disebut
dengan trias anestesia
5
BAB II
LAPORAN KASUS
6
2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
a. Vital Sign
Kesadaran : GCS 7 (E2M3V2)
3
h. Abdomen
Inspeksi : Tampak membesar, striae (-), luka bekas operasi (-)
Palpasi : TFU (-) cm, letak punggung (-), taksiran berat janin (-) gram,
HIS (-) nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : DJJ 180 x/menit, bising usus (+) normal
i. Genital : (-)
j. Ekstremitas : (-)
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kimia Darah
Faal Hati
Bilirubin total : - mg/dl
Bilirubin direct : - mg/dl
Bilirubin indirect : - mg/dl
SGOT : 28 U/L
SGPT : 30 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 80 mg/dl
Kreatinin : 0,9 mg/dl
4
Pemeriksaan Elektrolit
Natrium (Na) : 132
Kalium (K) : 3,7
Clorida (Cl) :-
Calsium (Ca) : 1,08
4. STATUS ASA : 4
Nama : Ny. N
Umur : 28 tahun Jenis
Kelamin : Perempuan
TB/BB : 148cm/90 kg
Alamat : (-)
Ruangan : (-)
Diagnosa : Penurunan Kesadaran ec Eklampsia pada G6P5A0
Tindakan : Resusitasi dan Intubasi,
Ahli Anestesi : dr. Andi Hasyim, Sp.An
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10
10
10
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.3,4
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
11
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.5
12
8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional.5
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-
pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari
masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa
umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis
sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anestesi. 5
13
3.2. Premedikasi
3.3. Intubasi
3.4.1 Definisi
3.4.2 Tujuan
Intubasi bertujuan untuk:8
1. Mempermudah pemberian anestesi.
14
2. Mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran jalan napas.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung.
4. Mempermudah pengisapan secret trakeobronkial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
15
3.4.4 Kesulitan Intubasi
Klasifikasi Mallampati :
16
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan
mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit. Selain sistem klasifikasi
Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi prediktor yang baik dari
kesulitan saluran nafas.9,10
STATICS
Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara
langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis
besar, dikenal dua macam laringoskop:
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu
pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
17
Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil klorida. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D.
Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff)
sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain
adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir
trakea dan postintubation croup.10
18
Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar
lidah tidak menyumbat jalan napas.10
Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anesthesia.
19
Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.
Intubasi Endotrakeal
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
20
intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara nafas
kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara wheezing, sekret
lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi
seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi
intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang,
terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut
pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.6
3.4. Medikasi
Pada kasus ini digunakan medikasi :
Fentanil
Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai
tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik. Fentanil
21
menyediakan stabilitas jantung dan stress yang berhubungan dengan hormonal, yang
berubah pada dosis tinggi. Dosis 100 mg (w.o ml) setara dengan aktifits analgesik 10
mg morfin. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit
setelah dosis tunggal IV 100mg. Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan
pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis dan bradikardi. Seluruh
efek dari kerja fentanil secara cepat dan secara penuh teratasi dan hilang dengan
menggunakan narkotik antagonis seperti Naloxone.
Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat dan durasi yang
lebih singkat dibanding morfin. Semakin tinggi potensi dan onset yang lebih cepat
mengakibatkan Lipid solubility meningkat lebih baik daripada morfin, yang
memudahkan perjalanan obat menuju sawar darah otak. Dikarenakan durasi dan kerja
dosis tunggal fentanil yang cepat, mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif
menjadi lebih cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi dasar
penurunan konsentrasi obat dalam plasma.
Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi dari paruh waktu
lebih panjang dari morfin. Ini dikarenakan fentanil mempunyai Lipid solubility yang
lebih baik yang menyebabkan perjalanan cepat menuju jaringan. Eliminasi paruh waktu
pada orang tua lebih panjang , dikarenakan klirens opiodi berkurang, disebabkan
menurunnya aliran darah hepatik, aktifitas enzym microsome atau produksi albumin (
fentanyl 79 % - 87% terikat kepada protein).
22
premedikasi,untuk induksi, sebgai tambahan pemeliharaan general anestesi maupun
regional anestesi.
23
kembali ke sirkulasi dan meningkatkan konsentrasi plasma menyebabkan depresi
ventilasi.
Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol
memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun
pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi
umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena
propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi.
24
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah
2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-
obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran
darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Atracurium
25
alkali sebelum masuk ke sirkulasi secara teori akan mengakibatkan kerusakan dini pada
obat. Potensi atracurium yang disimpan di temperatur ruangan akan menurun sekitar
5% setiap 30 hari.
Antiemetik
3.5.1 Pemeliharaan
26
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini
terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
b. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna tanpa
stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa. Tidak terlihat adanya
degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun panas.
Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat serta
pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan. Daerah otak yang spesifik dipengaruhi
oleh obat anestesi inhalasi termasuk reticulat activating system, cerebral cortex,
cuneate nucleus, olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level dorsal horn
interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmissi rasa sakit.
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi,
mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.10
27
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah
10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
3.6 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
28
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage
3.7 Eklampsia
3.7.1 Definisi
30
sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak
dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini
dapat berlangsung sampai satu menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot
menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak.
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti. Selama
beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian
penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal.
Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang-
kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang yang
berkelanjutan yang disebut status epileptikus.
Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat.
Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi
jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun,
pada kasus-kasus yang berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan penderita dapat
mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang
yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama bahkan
kematian.
Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat
mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis
laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis.
Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla hal tersebut terjadi maka
penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang
– kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah
persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi
penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai dua
minggu setelah persalinan apabila keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka
hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis.
31
3.7.3 Insiden dan Faktor Risiko
Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2% - 0,5% dari seluruh persalinan dan
lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan negara
maju (0,05%-0,1%).8-9 Insiden yang bervariasi dipengaruhi antara lain oleh paritas,
gravida, obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan yang
merupakan faktor risikonya.
Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di Indonesia.
Menurut laporan KIA Provinsi tahun2011, jumlah kematian ibu yang dilaporkan
sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu terbanyak masih didominasi Perdarahan
(32%), disusul hipertensi dalam kehamilan (25%), infeksi (5%), partus lama (5%) dan
abortus (1%)
Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko
preeklampsia dan eklampsia dan mengontrolnya, sehingga memungkinkan dilakukan
pencegahan primer.
Dari beberapa studi dikumpulkan ada beberapa fakto risiko preeklampsia, yaitu
:23
1) Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia dan eklampsia hampir
dua kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih pada primipara maupun
multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko secara bermakna.
Robillard dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia dan eklampsia pada
kehamilan kedua meningkat dengan peningkatan usia ibu. Choudhary P dalam
penelitiannya menemukan bahwa eklampsia lebih banyak (46,8%) terjadi pada ibu
dengan usia kurang dari 19 tahun.
2) Nulipara
Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada wanita nulipara. Duckitt
melaporkan nulipara memiliki risiko hampir tiga kali lipat.
3) Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,
walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki
paparan rendah terhadap sperma.
32
4) Jarak antar kehamilan
Studi melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa wanita
multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko
preeklampsia dan eklampsia hampir sama dengan nulipara.
5) Riwayat preeklampsia eklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko
utama. Menurut Duckitt risiko meningkat hingga tujuh kali lipat (RR 7,19 95% CI
5,85-8,83). Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia dan eklampsia
sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia
onset dinin dan dampak perinatal yang buruk.
6) Riwayat keluarga preeklampsia eklampsia
Riwayat preeklampsia dan eklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko
hampir tiga kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko
sebanyak 3,6 kali lipat.
7) Kehamilan multifetus Studi melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan,
kehamilan kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir tiga kali lipa
33
3.8 Etiologi dan Patofisiologi Eklampsia
Hingga saat ini etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan masih
belum diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari
etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga kini belum
memuaskan sehinggan Zweifel menyebut preeklampsia dan eklampsia sebagai “the
disease of theory”.
Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya adalah :
1) Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan
dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya
peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang
dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia preeklampsia dan eklampsia.
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian
preeklampsia dan eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene
(HLA) pada penderita preeklampsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan
antara histokompatibilitas antigen HLADR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-
ibu dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi
terhadap perkembangan preeklampsia eklampsia dan intra uterin growth restricted
(IUGR) daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut. Peneliti lain menyatakan
kemungkinan preeklampsia eklampsia berhubungan dengan gen resesif tunggal.
Meningkatnya prevalensi preeklampsia eklampsia pada anak perempuan yang
lahir dari ibu yang menderita preeklampsia eklampsia mengindikasikan adanya
pengaruh genotip fetus terhadap kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik
nampaknya berperan pada preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya pada
penyakit ini secara jelas belum dapat diterangkan.
2) Iskemia Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi
arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika
media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan
34
material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses
tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction.
Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel
trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih
dalam hingga kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap
pertama yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta
perubahan material fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh
darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang
memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan
aliran darah yang meningkat pada kehamilan.
Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana
mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri spiralis mengalami
invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi
tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak
berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetapi
mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang berarti masih terdapat
resistensi vaskuler.
4) Imunologis
Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri
spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi
oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal
bebas oleh desidua.22 Sitokin TNF-α dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang
berhubungan dengan preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah
sebagian aliran elektron untuk melepaskan radikal bebasoksigen yang selanjutkan akan
membentuk lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan
37
Gambar 4. Mekanisme patofisiologi preeklampsia eklampsia.
38
Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan kerusakan
sel endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida
yang akan membuat radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan
menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan
mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana terjadi peningkatan
produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel
vaskuler.
Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid
laden, aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta
peningkatan permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria).
Zat antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan perusakan sel akibat
pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.
39
3.9 Etiologi dan Patofisiologi Kejang Eklamptik
Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui secara pasti. Kejang eklamptik
dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi lokal otak, dan fokus
perdarahan di korteks otak.
Kejang juga sebagai manifestasi tekanan pada pusat motorik di daerah lobus
frontalis. Beberapa mekanisme yang diduga sebagai etiologi kejang adalah sebagai
berikut :
a) Edema serebral
b) Perdarahan serebral
c) Infark serebral
d) Vasospasme serebral
e) Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler
f) Koagulopati intravaskuler serebral
g) Ensefalopati hipertensi
40
BAB IV
PEMBAHASAN
C. Apa diagnosis pada pasien ini dan bagaimana prinsip tatalaksana definitif
dari diagnosis yang sudah ditegakkan.
D. Apakah perlu dilakukan intubasi pada pasien ini ? Jika perlu, bagaimana?
Jika tidak, apa alasannya ?
41
ANALISA KASUS
Pasien, Ny, berusia 28 tahun datang dengan keluhan kejang disertai penurunan
kesadaran sejak ± 2 jam SMRS.Pada pemeriksaan ditemukan BB : 90 kg, TB : 148,
TD : 200/110mmHg, N : 126, RR : 35 xkali/menit, T : 37 C, GCS 7 (E2M3V2), pupil
isokor, reflek cahaya (+/+), / (3mm/3mm). DJJ 180x/menit.
Pada pemeriksaan Paru vesikuler (+/+), tidak ditemukan ronkhi dan wheezing.
Pemeriksaan Jantung BJ I/II Reguler, tidak ditemukan suara jantung tambahan, Urine
Output 80 ml/jam
Pertama yang dilakukan adalah yang utama selalu lakukan tindakan Airway,
Breathing, Circulation (ABC), lalu lakukan stabilisasi pasien, yaitu terapi suportif
untuk stabilisasi fungsi vital, mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi
hipoksemia.dan asidemia, mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang timbul,
mengendalikan tekanan darah, yaitu pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin
pada saat dan dengan cara yang tepat.
Prinsip dasar dalam pengelolaan eklampsia antara lain terapi suportif untuk
stabilisasi penderita, selalu diingat masalah airway, breathing, circulation, monitoring
kesadaran dan dalamnya koma dengan “Glasgow Coma Scale”. Kontrol kejang dengan
pemberian magnesium sulfat intravena dipilih karena kerjanya di perifer tidak
menimbulkan depresi pusat pernapasan diberikan sampai 24 jam paska persalinan atau
24 jam bebas kejang. Dilakukan pemberian obat antihipertensi secara intermitten,
sebagai obat pilihan adalah nifedipin. Pada pasien ini juga dilakukan koreksi
hipoksemia dan asidosis, hindari penggunaan diuretik kecuali jika ada edema paru,
gagal jantung kongestif dan edema anasarka, batasi pemberian cairan intravena kecuali
pada kasus kehilangan cairan berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan,
hindari penggunaan cairan hiperosmotik.
42
Penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat sesuai dengan tahapan diatas yaitu
diberikan magnesium sulfat 20% sebanyak 4 gram melalui intravena dan diikuti
dengan 6 gram dalam infus. Diberikan antihipertensi berupa nifedipin 3x10 mg per
oral. Antihipertensi yang dipilih adalah nifedipin, karena nifedipin merupakan obat
antihipertensi yang paling aman untuk janin dan tidak menyebabkan penurunan aliran
darah dalam rahim. Tidak diberikan diuretik karena tidak ada edema paru, gagal
jantung kongestif dan edema ansarka, serta diberikan cairan NaCl dengan tetesan 25
tetes/menit untuk menghindari pemberian cairan yang berlebih, diberikan karena
pasien mengalami elektrolit imbalance.
RESUSITASI :
1. AIRWAY :bebaskan jalan napas, teknik Jaw Thrust Manuver untuk memfiksasi
agar tidak terjadi cedera servikal, teknik Head Tilt, and Chin lift untuk
membukajalan napas. Pasang O2 13lpm.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.6
44
intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa
suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru
sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium
atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang‐kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali
setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
39
BAB V
KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
41
13. Sudoyo A W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam-Penyakit Batu Empedu.
Jakarta: Intema Publishing. 2009
14. Hayden P Cowman S. Anaesthesia for Laparoscopic surgery. Contin Educ
Anaesth Crit Care Pain. 2011
41