Anda di halaman 1dari 50

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Pendidikan Profesi Dokter/ G1A218088/ April 2020

**Pembimbing dr. Andi Hasyim, Sp.An

PENURUNAN KESADARAN EC EKLAMPSIA PADA


KEHAMILAN G6P5A0

Oleh:

Indra Wesly Simamora, S.Ked*

G1A218088

Pembimbing:

dr. Andi Hasyim, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANESTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

PENURUNAN KESADARAN EC EKLAMPSIA PADA


KEHAMILAN G6P5A0

Indra Wesly Simamora, S.Ked


G1A218088

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Anestesi
RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, April 2020

Pembimbing

dr. Andi Hasyim, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS)
ini dengan judul “penurunan kesadaran ec eklampsia pada kehamilan G6P5A0”.
Laporan ini merupakan bagian dari tugas Program Studi Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Andi Hasyim, Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik dan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Case Report Session
ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan Case
Report Session ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan laporan Case Report Session ini. Sebagai penutup semoga
kiranya Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi
dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, April 2020

Penulis

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara
yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesi. Rees dan Gray membagi anestesi umum menjadi tiga komponen yaitu
hipnotika, anelgesia dan relaksasi. Ketiga komponen anestesia ini sering disebut
dengan trias anestesia

Angka kejadian preeklamsia sangat bervariasi antara satu negara dengan


negara lain. Insidensinya berkisar antara 5-10% dari seluruh kehamilan dan
menyebabkan 3-25 kali lipat peningkatan risiko komplikasi obstetrik yang berat.
Preeklamsia dan eklamsia merupakan penyebab dari 30-40% kematian perinatal di
Indonesia.

Preeklamsia (PE) secara umum dijelaskan sebagaimana terjadinya


hipertensi dan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang
sebelumnya normotensi. Preeklamsia dan eklampsia masih merupakan penyebab
tingginya morbiditas dan mortalitas ibu dan anak. Mortalitas ibu di negara
berkembang masih tinggi yaitu sekitar 5-10%, di AS sedangkan kematian janin
sekitar 40 %, di AS sekitar 12% dengan penyebab kematian ibu terjadi disebabkan
karena perdarahan otak, gagal jantung, edema paru, gagal ginjal dan berbagai
bentuk kegagalan multiorgan. Preeklamsia adalah suatu sindroma penyakit yang
bersifat polimorfik sehingga semua organ dapat terlibat, sedangkan eklamsia di
sertai kejang pada preeklamsia tanpa adanya penyebab lain.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. N
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin :Perempuan
TB/BB : 148 cm /90kg

2.2 HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak ± 2 jam SMRS.
Riwayat perjalanan penyakit:
± 2 jam SMRS pasien mengalami penurunan kesadaran. Sebelumnya pasien
mengalami kejang sebanyak 3 kali.

Riwayat penyakit dahulu:


• Riwayat Operasi : (-)
• Riwayat Hipertensi : (-)
• Riwayat Asma : (-)
• Riwayat DM : (-)
• Riwayat KB : (-)
• Riwayat Alergi : (-)

Riwayat penyakit keluarga:


(-)

6
2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

a. Vital Sign
Kesadaran : GCS 7 (E2M3V2)

Tekanan Darah : 200/110 mmHg


Nadi : 126 x/menit, reguller, kuat angkat, isi dan tahanan cukup.
RR : 35 x/menit
Suhu : 37,1 ̊ C
b. Kepala : Normochepal
c. Mata : SI (-), CA (-), RC (+/+)/ (3mm/3mm), pupil isokor
d. THT : Nyeri tekan (-) nyeri tarik (-) rinore (-), otore (-)
e. Mulut :-
f. Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), mobile
g. Thoraks
Inspeksi : Simetris, ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Vokal Fremitus sama kanan dan kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi
- Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
- Pulmo : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)

3
h. Abdomen
Inspeksi : Tampak membesar, striae (-), luka bekas operasi (-)
Palpasi : TFU (-) cm, letak punggung (-), taksiran berat janin (-) gram,
HIS (-) nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : DJJ 180 x/menit, bising usus (+) normal
i. Genital : (-)
j. Ekstremitas : (-)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin (tanggal 3 Maret 2020)


WBC : 14 x 103/L
RBC : - /L
HGB : 11 gr/dL
HCT : 34%
PLT : 160 x 109/L
Masa Pendarahan : -(1 – 3 menit )
Masa Pembekuan : -(2 – 6 menit)

Kimia Darah
Faal Hati
Bilirubin total : - mg/dl
Bilirubin direct : - mg/dl
Bilirubin indirect : - mg/dl
SGOT : 28 U/L
SGPT : 30 U/L

Faal Ginjal
Ureum : 80 mg/dl
Kreatinin : 0,9 mg/dl

4
Pemeriksaan Elektrolit
Natrium (Na) : 132
Kalium (K) : 3,7
Clorida (Cl) :-
Calsium (Ca) : 1,08

4. STATUS ASA : 4

Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas


rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

2.3 LAPORAN ANESTESI

Nama : Ny. N
Umur : 28 tahun Jenis
Kelamin : Perempuan
TB/BB : 148cm/90 kg
Alamat : (-)
Ruangan : (-)
Diagnosa : Penurunan Kesadaran ec Eklampsia pada G6P5A0
Tindakan : Resusitasi dan Intubasi,
Ahli Anestesi : dr. Andi Hasyim, Sp.An

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anestesi Umum


Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang
diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesi. Rees
dan Gray membagi anestesi umum menjadi tiga komponen yaitu hipnotika, anelgesia
dan relaksasi. Ketiga komponen anestesia ini sering disebut dengan trias anestesia.3

3.2. Persiapan pra anestesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus


dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2
hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Adapun tujuan
kunjungan pra anestesi adalah: 3,4

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.


b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa


kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas
2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan


sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

10
10
10
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,


tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi
fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi


hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24
jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil


(didonorkan)

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.3,4

Pemeriksaan preoperasi anestesi

I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.

11
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.5

II. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan, keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
2. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
3. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
4. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi.
5. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
6. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
7. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.

12
8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional.5

III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain


1. Pemeriksaan rutin :
a. Pemeriksaan laboratorium darah
b. Urine : protein, sedimen, reduksi
c. Foto rontgen ( thoraks )
d. EKG
2. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
a. EKG pada anak
b. Spirometri pada tumor paru
c. Tes fungsi hati pada ikterus
d. Fungsi ginjal pada hipertensi
e. AGD, elektrolit.5

Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-
pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari
masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa
umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis
sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anestesi. 5

13
3.2. Premedikasi

Pemberian premedikasi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan


bangun dari anestesia, diantaranya: 5,6

a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.


b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.

3.3. Intubasi
3.4.1 Definisi

Intubasi dibagi menjadi intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi


nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi
nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke
dalam oropharing sebelum laryngoscopy.3,7

3.4.2 Tujuan
Intubasi bertujuan untuk:8
1. Mempermudah pemberian anestesi.

14
2. Mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran jalan napas.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung.
4. Mempermudah pengisapan secret trakeobronkial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.

3.4.3 Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi

Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan


saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan
keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang
tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin
fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai
posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan
sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas, operasi yang membutuhkan
ventilasi tekanan positif paru, misalnya torakotomi, penggunaan pelumpuh otot, atau
ventilasi kontrol yang lama, operasi daerah kepala, leher atau jalan napas atas.8
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani
operasi maupun tindakan intraoral. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang
dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta
risiko terjadinya sinusitis. Kontraindikasi intubasi nasotrakeal adalah untuk penderita
yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara
sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara
lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal,
koagulopati, dan trombolisis.8

15
3.4.4 Kesulitan Intubasi

Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti


riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan
napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama
ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang
paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem
ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan
menjulurkan lidah.9,10

Gambar 3.1 Mallampati

Klasifikasi Mallampati :

Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil

Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula

Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula

Mallampati 4 : Palatum durum saja

16
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan
mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit. Selain sistem klasifikasi
Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi prediktor yang baik dari
kesulitan saluran nafas.9,10

3.4.5 Persiapan Intubasi

Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan memposisikan


pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes terlebih
dahulu dengan spuit 10 milliliter. Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi
pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi
untuk mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi
dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan nafas yang
dalam dengan oksigen 100 %.6

Persiapan alat untuk intubasi antara lain :

STATICS

Scope

Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara
langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis
besar, dikenal dua macam laringoskop:

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.


b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu
pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

17
Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil klorida. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D.
Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff)
sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain
adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir
trakea dan postintubation croup.10

Tabel 3.1 Pipa Trakea dan peruntukannya


(Endotracheal Tube (Breathing Tube))

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

18
Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar
lidah tidak menyumbat jalan napas.10

Gambar 3.2 orotracheal airway


Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.

Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.

Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anesthesia.

19
Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.

Gambar 3.3 STATICS


3.4.6 Cara Intubasi

Intubasi Endotrakeal

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan


melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara akan dapat tampak dengan jelas. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan
tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan
dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,


dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi

20
intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara nafas
kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara wheezing, sekret
lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi
seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi
intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang,
terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut
pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.6

Gambar 3.4 Auskultasi Suara Napas Setelah Dilakukan Intubasi

3.4. Medikasi
Pada kasus ini digunakan medikasi :
Fentanil
Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai
tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik. Fentanil

21
menyediakan stabilitas jantung dan stress yang berhubungan dengan hormonal, yang
berubah pada dosis tinggi. Dosis 100 mg (w.o ml) setara dengan aktifits analgesik 10
mg morfin. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit
setelah dosis tunggal IV 100mg. Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan
pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis dan bradikardi. Seluruh
efek dari kerja fentanil secara cepat dan secara penuh teratasi dan hilang dengan
menggunakan narkotik antagonis seperti Naloxone.

Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat dan durasi yang
lebih singkat dibanding morfin. Semakin tinggi potensi dan onset yang lebih cepat
mengakibatkan Lipid solubility meningkat lebih baik daripada morfin, yang
memudahkan perjalanan obat menuju sawar darah otak. Dikarenakan durasi dan kerja
dosis tunggal fentanil yang cepat, mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif
menjadi lebih cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi dasar
penurunan konsentrasi obat dalam plasma.

Fentanil dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi Norfentanil


yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi fentanil pada ginjal dan terdeteksi
pada urine dalam 72 jam setelah dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di
hati, dan kurang lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam dan hanya
10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.

Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi dari paruh waktu
lebih panjang dari morfin. Ini dikarenakan fentanil mempunyai Lipid solubility yang
lebih baik yang menyebabkan perjalanan cepat menuju jaringan. Eliminasi paruh waktu
pada orang tua lebih panjang , dikarenakan klirens opiodi berkurang, disebabkan
menurunnya aliran darah hepatik, aktifitas enzym microsome atau produksi albumin (
fentanyl 79 % - 87% terikat kepada protein).

Fentanil diberikan untuk analgesik narkotik, sebagai tambahan pada general


atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan neuroleptik (droperidol) sebagai

22
premedikasi,untuk induksi, sebgai tambahan pemeliharaan general anestesi maupun
regional anestesi.

Fentanyl digunakan secara luas, contohnya dosis injeksi 1 – 2 mcg / kg IV


memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 mcg/kg IV, biasanya digunakan untuk tambahan
pada inhalasi anastetik untuk membantu menurunkan respon sirkulasi, digunakan
dengan, Laryngoskopi untuk intubasi trakea atau Stimulasi operasi yang tiba – tiba.
Dosis pemberian fentanyl sebagai berikut :

Sebagai tambahan untuk general anestesi

a. Dosis rendah, 2 mcg / kg berguna untuk operasi minor


b. Dosis sedang, 2- 20 mcg /kg dimana operasi menjadi lebih rumit dan
dosis besar dibutuhkan
c. Dosis tinggi, 20 – 50 mcg/kg dalam prosedur bedah mayor, dimana
waktu tempuh lebih lama dan respon stress operasi lebih tinggi, dosis
20 – 50 fentanyl dengan N20 telah menjadi pilihan. Bila dosis seperti
ini telah digunakan observasi ventilasi posoperatif seperti diperlukan
dimana kemungkinan depresi ventilasi postoperatif memanjang.
d. Sebagai Agent anestetik
Jika respon stress dari operasi sangat perlu diturunkan, dosis 50 – 100
mg / kg mungkin dapat diberikan dengan oxigen dan muscle relaxan.
Teknik ini memberikan anestesi tanpa perlu menambah anestesi lain
dalam beberapa kasus dosis lebih dari 150 mg / kg mungkin diperlukan
untuk menyediakan efek anestesi tersebut, telah banyak digunakan
untuk bedah jantung dan operasi lain yang memerlukan proteksi
miokard dari kelebihan kebutuhan akan oksigen.

Efek samping fentanyl meliputi depresi ventilasi yang persisten maupun


rekuren. Fentanil yang bersequesterasi bisa diabsorbsi kembali dari usus halus

23
kembali ke sirkulasi dan meningkatkan konsentrasi plasma menyebabkan depresi
ventilasi.

Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol
memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun
pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi
umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena
propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi.

Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi


dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif
dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan
kemungkinan adanya skuele neurologik.

Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.


Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau
trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti


selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan
karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea.

24
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah
2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-
obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran
darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,


apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

Atracurium

Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non-depolarisasi dari golongan


benzylisoquinolinium bisquaternary, atracurium memiliki mula kerja 3-5 menit dan
durasi kerja 20-35 menit. Tempat kerja atracurium seperti halnya obat-obat pelumpuh
otot nondepolarisasi yang lain adalah reseptor kolinergik prasinaps dan paskasinaps.
Atracurium juga menyebabkan penghambatan otot-saraf secara langsung dengan
mempengaruhi aliran ion melalui kanal reseptor-reseptor kolinergik nikotinik.
Diperkirakan 82% atracurium terikat dengan plasma protein terutama albumin.
Atracurium didesain untuk didegradasi spontan in vivo (eliminasi Hoffman)
pada temperatur tubuh dan pH normal. Terpaparnya atracurium terhadap larutan

25
alkali sebelum masuk ke sirkulasi secara teori akan mengakibatkan kerusakan dini pada
obat. Potensi atracurium yang disimpan di temperatur ruangan akan menurun sekitar
5% setiap 30 hari.

Atracurium mengalami degradasi spontan non-enzimatis pada temperatur


tubuh dan pH normal yang dikenal sebagai eliminasi Hofmann. Masa kerja atracurium
tidak berbeda diantara pasien normal dan pasien-pasien dengan penurunan fungsi ginjal
dan hati serta pasien dengan kelainan cholinesterase plasma yang atipikal. Konsistensi
dari mula kerja hingga masa pulih setelah dosis tambahan atracurium berulang
merupakan karakteristik dari obat ini dan menunjukkan tidak terdapatnya efek
kumulatif obat yang signifikan. Tidak terdapatnya obat yang signifikan karena bersihan
atracurium yang cepat dari plasma yang mana tidak tergantung pada fungsi renal dan
hepar.

Antiemetik

Pembedahan laparoskopi mempunyai insiden mual-muntah pasca operasi yang


tinggi. Hal ini dapat sangat mengganggu, memperparah rasa nyeri dan memperpanjang
waktu perawatan di rumah sakit, sehingga perlu dilakukan profilaksis. Sama halnya
dengan operasi terbuka, regimen multi-modal seperti ondansentron 4mg, cyclizine
50mg, dan dexametason 4-8mg dianggap efektif, ditambah dengan mengempiskan
lambung, disertai dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid, dan
menggunakan analgesia yang sesuai untuk pasca operasi.11

3.5.1 Pemeliharaan

a. Nitrous Oksida (N2O)


Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang

26
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini
terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.

b. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna tanpa
stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa. Tidak terlihat adanya
degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun panas.

Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat serta
pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan. Daerah otak yang spesifik dipengaruhi
oleh obat anestesi inhalasi termasuk reticulat activating system, cerebral cortex,
cuneate nucleus, olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level dorsal horn
interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmissi rasa sakit.

3.5.2 Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi,
mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.10

Pemberian cairan operasi dibagi :

27
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah
10-15 %.

b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :

Ringan = 4 ml/kgBB/jam.

Sedang= 6 ml/kgBB/jam

Berat = 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 20 %


EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari
20 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.

c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

3.6 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

28
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage

3.7 Eklampsia
3.7.1 Definisi

Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tibatiba


yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas
yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat grand
mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis.5 Istilah eklampsia berasal dari
bahasa Yunani yang berarti halilintar. Kata-kata tersebut dipergunakan karena
seolah-olah gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda
lain.

Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum),


eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum),
berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester
terakhir dan semakin meningkat saat mendekati kelahiran.5,8 Pada kasus yang
jarang, eklampsia terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75%
kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah
melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu postpartum.

Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working


Group on Blood Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah timbulnya hipertensi
disertai dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang
biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan
29
sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan diastolik ≥
90 mmHg. Proteinuria adalah adanya protein dalam urin dalam jumlah ≥300 mg/dl
dalam urin tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl dari urin acak tengah yang tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing.

3.7.2 Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Preeklampsia dibagi


menjdai ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila ada satu atau lebih tanda
dibawah ini :
1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih
2) Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan kualitatif
3) Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium
5) Edema paru atau sianosis.
Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya preeklampsia
dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual
keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia.
Menurut Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang memberikan peringatan
gejala sebelum timbulnya kejang, adalah sakit kepala yang berat dan menetap,
perubahan mental sementara, pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik,
mual, muntah. Namun, hanya sekitar 50% penderita yang mengalami gejala ini.
Prosentase gejala sebelum timbulnya kejang eklampsia adaah sakit kepala yang berat
dan menetap (50-70%), gangguan penglihatan (20-30%), nyeri epigastrium (20%),
mual muntah (10-15%), perubahan mental sementara (5- 10%).
Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai
dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemuadian
seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat
berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka dan
tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata, otot-otot
wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara
bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya

30
sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak
dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini
dapat berlangsung sampai satu menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot
menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak.
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti. Selama
beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian
penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal.
Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang-
kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang yang
berkelanjutan yang disebut status epileptikus.
Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat.
Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi
jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun,
pada kasus-kasus yang berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan penderita dapat
mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang
yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama bahkan
kematian.
Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat
mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis
laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis.
Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla hal tersebut terjadi maka
penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang
– kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah
persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi
penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai dua
minggu setelah persalinan apabila keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka
hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis.

31
3.7.3 Insiden dan Faktor Risiko

Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2% - 0,5% dari seluruh persalinan dan
lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan negara
maju (0,05%-0,1%).8-9 Insiden yang bervariasi dipengaruhi antara lain oleh paritas,
gravida, obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan yang
merupakan faktor risikonya.
Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di Indonesia.
Menurut laporan KIA Provinsi tahun2011, jumlah kematian ibu yang dilaporkan
sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu terbanyak masih didominasi Perdarahan
(32%), disusul hipertensi dalam kehamilan (25%), infeksi (5%), partus lama (5%) dan
abortus (1%)
Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko
preeklampsia dan eklampsia dan mengontrolnya, sehingga memungkinkan dilakukan
pencegahan primer.
Dari beberapa studi dikumpulkan ada beberapa fakto risiko preeklampsia, yaitu
:23
1) Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia dan eklampsia hampir
dua kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih pada primipara maupun
multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko secara bermakna.
Robillard dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia dan eklampsia pada
kehamilan kedua meningkat dengan peningkatan usia ibu. Choudhary P dalam
penelitiannya menemukan bahwa eklampsia lebih banyak (46,8%) terjadi pada ibu
dengan usia kurang dari 19 tahun.
2) Nulipara
Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada wanita nulipara. Duckitt
melaporkan nulipara memiliki risiko hampir tiga kali lipat.
3) Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,
walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki
paparan rendah terhadap sperma.
32
4) Jarak antar kehamilan
Studi melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa wanita
multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko
preeklampsia dan eklampsia hampir sama dengan nulipara.
5) Riwayat preeklampsia eklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko
utama. Menurut Duckitt risiko meningkat hingga tujuh kali lipat (RR 7,19 95% CI
5,85-8,83). Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia dan eklampsia
sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia
onset dinin dan dampak perinatal yang buruk.
6) Riwayat keluarga preeklampsia eklampsia
Riwayat preeklampsia dan eklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko
hampir tiga kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko
sebanyak 3,6 kali lipat.
7) Kehamilan multifetus Studi melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan,
kehamilan kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir tiga kali lipa

33
3.8 Etiologi dan Patofisiologi Eklampsia

Hingga saat ini etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan masih
belum diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari
etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga kini belum
memuaskan sehinggan Zweifel menyebut preeklampsia dan eklampsia sebagai “the
disease of theory”.
Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya adalah :
1) Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan
dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya
peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang
dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia preeklampsia dan eklampsia.
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian
preeklampsia dan eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene
(HLA) pada penderita preeklampsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan
antara histokompatibilitas antigen HLADR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-
ibu dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi
terhadap perkembangan preeklampsia eklampsia dan intra uterin growth restricted
(IUGR) daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut. Peneliti lain menyatakan
kemungkinan preeklampsia eklampsia berhubungan dengan gen resesif tunggal.
Meningkatnya prevalensi preeklampsia eklampsia pada anak perempuan yang
lahir dari ibu yang menderita preeklampsia eklampsia mengindikasikan adanya
pengaruh genotip fetus terhadap kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik
nampaknya berperan pada preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya pada
penyakit ini secara jelas belum dapat diterangkan.

2) Iskemia Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi
arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika
media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan
34
material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses
tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction.
Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel
trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih
dalam hingga kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap
pertama yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta
perubahan material fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh
darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang
memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan
aliran darah yang meningkat pada kehamilan.
Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana
mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri spiralis mengalami
invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi
tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak
berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetapi
mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang berarti masih terdapat
resistensi vaskuler.

Gambar 2. Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas) dan


hipertensi (bawah).
35
Sel sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada kehamilan normotensi.
Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada arteri
spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan
mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran darah ke
plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada plasenta.
Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki
resistensi vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri
spiralis pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah
intervilli yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta.
Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di plasenta yang berakibat
terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga kematian bayi.
3) Prostasiklin-tromboksan
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel
yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis oleh
enzim sikooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel
otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit.
Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat dengan
bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasikonstriktor dan
agregasi trombosit prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang
berlawanan dalam mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan
dinding pembuluh darah.

Gambar 3. Mekanisme pembentukan Tromboksan A2 dan Prostasiklin.


36
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu, plasenta
dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi prostasiklin dan
kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio tromboksan A2 :
prostasiklin.

Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengakibatkan


menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat pembentuknya
prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai kompensasi tubuh
terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklampsia berhubungan dengan adanya
vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan
memegang peranan sentral pada proses ini di mana hal ini sangat berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara tromboksan dan prostasiklin Kerusakan endotel vaskuler
pada preeklampsia menyebabkan penurunan produksi prostasiklin, peningkatan
aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang kemudian akan diganti trombin dan
plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin.
Aktivasi trombosit menyababkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga
akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

4) Imunologis

Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis sebagai


patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia terjadi penurunan
proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang normotensi yang dimulai sejak
awal trimester II. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita
dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%.

Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri
spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi
oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal
bebas oleh desidua.22 Sitokin TNF-α dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang
berhubungan dengan preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah
sebagian aliran elektron untuk melepaskan radikal bebasoksigen yang selanjutkan akan
membentuk lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan

37
Gambar 4. Mekanisme patofisiologi preeklampsia eklampsia.

Gambar 5. Sistem imun dalam patofisiologi preeklampsia.

38
Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan kerusakan
sel endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida
yang akan membuat radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan
menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan
mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana terjadi peningkatan
produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel
vaskuler.

Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid
laden, aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta
peningkatan permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria).

Antioksidan merupakan kelompok besar zat yang ditunjukan untuk mencegah


terjadinya overproduksi dan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Telah
dikenal beberapa antioksidan yang poten terhadap efek buruk dari radikal bebas
diantaranya vitamin E (αtokoferol), vitamin C dan β-caroten.

Zat antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan perusakan sel akibat
pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.

Gambar 6. Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi dalam kehamilan.

39
3.9 Etiologi dan Patofisiologi Kejang Eklamptik
Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui secara pasti. Kejang eklamptik
dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi lokal otak, dan fokus
perdarahan di korteks otak.
Kejang juga sebagai manifestasi tekanan pada pusat motorik di daerah lobus
frontalis. Beberapa mekanisme yang diduga sebagai etiologi kejang adalah sebagai
berikut :
a) Edema serebral
b) Perdarahan serebral
c) Infark serebral
d) Vasospasme serebral
e) Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler
f) Koagulopati intravaskuler serebral
g) Ensefalopati hipertensi

40
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Apa yang Anda lakukan pertama kali pada pasien ini.

B. Bagaimana melakukan tindakan resusitasi dan penilaian pada pasien ini.

C. Apa diagnosis pada pasien ini dan bagaimana prinsip tatalaksana definitif
dari diagnosis yang sudah ditegakkan.

D. Apakah perlu dilakukan intubasi pada pasien ini ? Jika perlu, bagaimana?
Jika tidak, apa alasannya ?

E. Bagaimana patofisiologi yang terjadi pada pasien ini ?

F. Apa pilihan cairan intravena yang digunakan dan apa alasannya ?

41
ANALISA KASUS
Pasien, Ny, berusia 28 tahun datang dengan keluhan kejang disertai penurunan
kesadaran sejak ± 2 jam SMRS.Pada pemeriksaan ditemukan BB : 90 kg, TB : 148,
TD : 200/110mmHg, N : 126, RR : 35 xkali/menit, T : 37 C, GCS 7 (E2M3V2), pupil
isokor, reflek cahaya (+/+), / (3mm/3mm). DJJ 180x/menit.

Pada pemeriksaan Paru vesikuler (+/+), tidak ditemukan ronkhi dan wheezing.
Pemeriksaan Jantung BJ I/II Reguler, tidak ditemukan suara jantung tambahan, Urine
Output 80 ml/jam

Pertama yang dilakukan adalah yang utama selalu lakukan tindakan Airway,
Breathing, Circulation (ABC), lalu lakukan stabilisasi pasien, yaitu terapi suportif
untuk stabilisasi fungsi vital, mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi
hipoksemia.dan asidemia, mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang timbul,
mengendalikan tekanan darah, yaitu pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin
pada saat dan dengan cara yang tepat.

Pada kasus pasien diberikan tatalaksanan berupa informed consent terkait


keadaan ibu dan rencana penanganannya, dilakukan stabilisasi selama 6 jam,
oksigenasi 4 liter/menit, injeksi magnesium sulfat 20% 4 gram intravena diikuti 6g
dalam infus, nifedipin per oral 3x10 mg

Prinsip dasar dalam pengelolaan eklampsia antara lain terapi suportif untuk
stabilisasi penderita, selalu diingat masalah airway, breathing, circulation, monitoring
kesadaran dan dalamnya koma dengan “Glasgow Coma Scale”. Kontrol kejang dengan
pemberian magnesium sulfat intravena dipilih karena kerjanya di perifer tidak
menimbulkan depresi pusat pernapasan diberikan sampai 24 jam paska persalinan atau
24 jam bebas kejang. Dilakukan pemberian obat antihipertensi secara intermitten,
sebagai obat pilihan adalah nifedipin. Pada pasien ini juga dilakukan koreksi
hipoksemia dan asidosis, hindari penggunaan diuretik kecuali jika ada edema paru,
gagal jantung kongestif dan edema anasarka, batasi pemberian cairan intravena kecuali
pada kasus kehilangan cairan berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan,
hindari penggunaan cairan hiperosmotik.

42
Penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat sesuai dengan tahapan diatas yaitu
diberikan magnesium sulfat 20% sebanyak 4 gram melalui intravena dan diikuti
dengan 6 gram dalam infus. Diberikan antihipertensi berupa nifedipin 3x10 mg per
oral. Antihipertensi yang dipilih adalah nifedipin, karena nifedipin merupakan obat
antihipertensi yang paling aman untuk janin dan tidak menyebabkan penurunan aliran
darah dalam rahim. Tidak diberikan diuretik karena tidak ada edema paru, gagal
jantung kongestif dan edema ansarka, serta diberikan cairan NaCl dengan tetesan 25
tetes/menit untuk menghindari pemberian cairan yang berlebih, diberikan karena
pasien mengalami elektrolit imbalance.

RESUSITASI :

1. AIRWAY :bebaskan jalan napas, teknik Jaw Thrust Manuver untuk memfiksasi
agar tidak terjadi cedera servikal, teknik Head Tilt, and Chin lift untuk
membukajalan napas. Pasang O2 13lpm.

2. BREATHING : Periksa dengan Look, Listen and Feel, pergerakan dinidng


dada simetrik, Pernapassan.

3. Circulation : Periksa TD, Nadi, CRT, Pasang IV Line, gunakan cairan


isotonis, pasang kateter untuk pantau UO, DJJ Janin 180x/menit, menandakan
terjadi kegawatan pada janin, sehingga harus di terminasi.

4. DISABILITY : Periksaa kelemahan anggota gerak

Terminasi kehamilan merupakan satu satunya terapi definitif untuk eklampsia.


Terminasi kehamilan dilakukan bila telah dilakukan stabilisasi (pemulihan)
hemodinamika dan metabolisme ibu yaitu 4-8 jam setelah satu atau lebih keadaan
setelah pemberian obat anti kejang terakhir, setelah pemberian obat-obat anti
hipertensi terakhir dan penderita mulai sadar (responsif dan orientasi), cara terminasi
kehamilan disesuaikan dengan keadaan ibu saat masuk. Seksio sesaria dapat
dipertimbangkan bila anak hidup atau bila ada indikasi.

Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada kasus persalinan dengan eklampsia


antara lain solusio plasenta 10%, defisit neurologis 7%, pneumonia aspirasi 7%, edema
43
paru 5%, henti jantung 4%, gagal ginjal akut 4 %, kematian maternal 1% dan sindroma
HELLP.

Perlu dilakukan intubasi dengan intubasi endotrakeal guna untuk mengontrol


jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam
jangka panjang, meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap
pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi,
ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat
pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,
memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah),
menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas, operasi
yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya torakotomi, penggunaan
pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama, operasi daerah kepala, leher atau jalan
napas atas.

Cara intubasi Endotrakeal :

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.6

Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan


melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara akan dapat tampak dengan jelas. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan
tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan
dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.6

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,


dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi

44
intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa
suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru
sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium
atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang‐kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali
setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada kasus persalinan dengan


eklampsia antara lain solusio plasenta 10%, defisit neurologis 7%, pneumonia
aspirasi 7%, edema paru 5%, henti jantung 4%, gagal ginjal akut 4 %, kematian
maternal 1% dan sindroma HELLP.

39
BAB V
KESIMPULAN

Pasien wanita usia 28 tahun didiagnosis dengan penurunan kesadaran ec


eklampsia karena adanya riwayat kejang saat kehamilan sebanyak 3x dan disertai
adanya penurunan kesadaran setelah kejang, tekanan darah tinggi, gangguan
elektrolit imbalance. Pasien tergolong ke dalam status ASA kelas IV
Penegakan diagnosis pada kasus ini sudah sesuai dan penatalaksanaannya
sudah sesuai dengan teori yakni dimulai dengan stabilisasi, resusitasi, pemberian
magnesium sulfat, antihipertensi, dan terminasi kehamilan.
Penatalaksanaan yang tepat pada kasus ini dapat mencegah komplikasi dan
kematian ibu dan bayi.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Cole, D.J., Schlunt, M., Adult Perioperative Anesthesia: The Requisites in


Anesthesiology. Mosby. 2004
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Cardiovascular Physiology and
Anesthesia. In: Clinical anesthesiology. 6th ed. The United States of
America. Appleton and lange, 2018
3. Staff. General anesthesia. NHS (serial online) 2015 Mei 8 (diakses 10 Maret
2020). Diunduh dari URL: http://www.nhs.uk/conditions/ anaesthetic-
general/pages/definition.aspx
4. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
5. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing
Disease. 5th edition. NY : Elsevier
6. Dorland,Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29,
Jakarta:EGC,1765.
7. Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253- 256.
8. Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation: A retrospective
study. Anaesthesia. 1987;42:487-490
9. Rachimhadhi S, Wiknjasastro T. Hipertensi dalam kehamilan. Dalam:
Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2008.
10. Mochtar R. Sinopsis obstetri: obstetri fisiologi, obstetri patologi. Edisi ke-3.
Jakarta: EGC; 2012.
11. Giordano JC, Parpinelli MA, Cecatti JG, Haddad SM, Costa ML, Surita FG, et al.
The burden of eclampsia: results from a multicenter study on surveillance of severe
maternal morbidity in Brazil. PLoS ONE. 2014
12. Wilson ME, Speigelhalter D, Robertson JA, et al. Predicting difficult
intubation. Br J Anaesth. 1988;61:211-216

41
13. Sudoyo A W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam-Penyakit Batu Empedu.
Jakarta: Intema Publishing. 2009
14. Hayden P Cowman S. Anaesthesia for Laparoscopic surgery. Contin Educ
Anaesth Crit Care Pain. 2011

41

Anda mungkin juga menyukai