** Pembimbing/ Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher
LEPROMATOUS LEPROSI
Oleh:
G1A219043
Pembimbing:
Dr.dr.Fitriyanti.Sp.KK.FINSDV**
i
ii
LEMBAR PENGESAHAN
LEPRAMATOUS LEPROSI
Oleh:
G1A219043
Pembimbing
Dr.dr.Fitriyanti.Sp.KK.FINSDV
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan Kasih dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan kasus “Lepramatous Leprosi “ Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Jambi.
Laporan ini terwujud tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Dr.dr.Fitriyanti, Sp.KK. FINSDV, selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan
baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan
ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Morbus hansen atau kusta atau lepra adalah suatu penyakit granuloma
kronik progesif yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium leprae, yang
menyerang kulit dan sistem saraf tepi.1 Kusta termasuk salah satu penyakit
menular dengan angka kejadian yang tinggi di dunia. Jumlah kasus baru kusta di
dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 dan jumlah terbanyak ditemukan di
Asia Tenggara.2
Menurut Weekly Epidemiological Report oleh World Health Organization,
jumlah pasien baru kusta di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2011 ke
2012, yaitu dari 20.023 pasien baru menjadi 18.994 pasien baru. Lampung
terdapat 143 kasus baru yang termasuk dalam beban kusta rendah.3 Pada
penelitian crosssectional di Jakarta tahun 2012, dari 1.021 pasien kusta didapatkan
24,2% pasien mengalami reaksi kusta,4 sedangkan pada penelitian retrospektif di
India Utara selama 15 tahun, 30,9% pasien mengalami reaksi pada kunjungan
pertama ke pusat kesehatan.5
Prevalensi reaksi reversal sendiri bervariasi antara 8-33% dari seluruh
kasus kusta, umumnya terjadi pada kusta tipe borderline. 6 Penularannya dapat
melalui kontak langsung dengan sekret nasal atau inokulasi pada kulit dari
individu yang terinfeksi.7 Masa inkubasinya cukup lama, yaitu sekitar 2-6 tahun.8
Kusta merupakan penyakit kronik yang jarang menyebabkan kematian, namun
paling sering menyebabkan kecacatan. Kusta merupakan salah satu penyebab
neuropati perifer non-traumatik.9 Minimnya pengetahuan dan tingginya stigma
negatif masayarakat terhadap kusta membuat penderita enggan untuk berobat dan
menyembunyikan penyakitnya. Hal ini menyebabkan transmisi infeksi terus
terjadi dan angka kecacatan semakin tinggi.10
Sayangnya tingginya kejadian kusta tidak sejalan dengan kasus yang
dilaporkan, sehingga perlu dipahami dengan baik oleh para praktisi kesehatan lini
pertama.
1
BAB II
STATUS PASIEN
Nama : Tn. X
Umur : 42 th
Jenis Kelamin : Laki-Laki
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Timbul banyak bercak merah yang menebal dan bentol tanpa
rasa gatal disertai hilang rasa di wajah, punggung dan tungkai bawah sejak 1
tahun lalu
Keluhan Tambahan : Tidak biasa merasa sakit pada bercak, lengan dan kaki
kanan terasa lemah dan tidak bias mengepal dan sering lepas ketika memegang
sesuatu
Pasien datang ke Poli Kulit RSUD Raden Mattaher dengan keluhan timbul
banyak bercak merah yang menebal dan bentol tanpa rasa gatal disertai hilang
rasa di area wajah, punggung, dan tungkai bawah sejak 1 tahun yang lalu.
Keluhan ini dimulai dengan timbul bercak putih di area yang sama sejak kisaran 3
tahun yang lalu. Bercak putih mulai menebal dan sebagian menjadi merah. Pasien
mengeluh tidak bisa merasakan sakit pada bercak yang timbul, lengan dan kaki
kanan terasa lemah dan tidak bisa mengepal dan sering lepas sendiri jika
memegang sesuatu. Pasien sudah berobat ke puskesmas namun belum ada
perubahan.
Apak ah ada demam? Batuk? Rasa mudah lelah? Tidak berkeringat meski di
tempat panas atau tidak berkeringat dibagian tertentu? Apakah ada riwayat kontak
2
3
dengan orang dengan gejala yang sama beberapa tahun sebelumnya? Riwayat
pengobatan?
Apakah dikeluarga ada yang mederita keluhan yang sama? Apakah ada
riwayat penyakit jantung, darah tinggi, kelainan darah, diabetes militus, stroke,
autoimun?
B. Status Dermatologi
EFLORESENSI GAMBAR
Inspeksi
Ditemukan nodul multiple berbentuk
bulat, ukuran lenticular bervariasi,
berwarna kemerahan, tepi hiperemis
dengan permukaan tidak rata dan
berbenjol-benjol, tersebar difus dengan
pustule disekitarnya
Palpasi : Berbenjol, nyeri (-)
Auskultasi : (-)
Lain-lain : (-)
5
Inspeksi
Ditemukan Plak eritema, berbentuk
tidak teratur, multiple, diameter
bervasiasi (2 cm-6 cm), permukaan
kasar, sirkumskripta, tepi hiperemis,
tersebar difus di sekitar region.
Palpasi : kasar, nyeri (-)
Auskultasi : (-)
Lain-lain : (-)
Inspeksi
H H
yd
Generalisata
C. Status Venerelogi
1. Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Bercak putih
- Vitiligo
- Pitiriasis versikolor
- Pitiriasis alba
Nodul
- Neurofibromatosis
- Sarkoma Kaposi
- Veruka vulgaris
2.7 Terapi
12 bulan Multidrugs Therapy
- Rifampisin 600 mg setiap bulan,
- Klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari,
- Dapsone 100 mg setiap hari.
Korikosteroid - prednison 40 mg/hari kemudian Tappering off.
Neurobion 1 tab/hari
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan misalnya memakai kacamata,
merawat kulit supaya tidak kering dan lainnya apabila terdapat gangguan
sensibilitas.
Pada tipe lepromatosa terdapat subepidermal clear zone yaitu suatu daerah
langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut
pada tipe Borderline.
10
Histopathologi LL, infiltrate inflamasi sebagian besar tersusun oleh
Foamy macrophages pada dermis. Epidermis lebih rata, terdapat clear
grenz zone pada dermal (A) terdapat bakteri tahan asam pada macrophage
(B)
Pemeriksaan serologis
Didasarkan atas terbentuknya antibodi tubuh seseorang Antibodi yang
spesifik terhadap M. leprae yaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1)
dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Membantu diagnosis lepra yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Macam-macam pemeriksaan serologik lepra adalah uji MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzym Linked
Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick),
dan ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).
2.2.9 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
11
TINJAUAN PUSTAKA
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan
gejalagejala kulit secara umum. Selain lepra, kusta juga dikenal dengan nama
Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.Gerhard
Armauer Hansen pada tahun 1874.12
3.2 Epidemiologi
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia lewat perpindahan penduduk yang disebabkan karena
perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Masuknya kusta ke
pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan pada abad ke IV-V yang
diduga dibawa oleh orang-orang India dan China yang datang ke Indonesia untuk
menyebarkan agamanya dan berdagang. Distribusi penyakit di tiap-tiap negara
maupun dalam negara sendiri berbeda-beda.
12
13
mencapai <1 kasus per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan bagi
negara-negara dengan endemis kusta.13
Penyakit kusta dapat mengenai semua usia antara usia 3 minggu hingga
lebih dari 70 tahun namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif.
Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan
perempuan, namun berdasarkan laporan di beberapa negara laki-laki lebih sering
dibanding perempuan. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi,
dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang
tinggi.3
Waktu inkubasi yang panjang merupakan salah satu faktor penting, hal ini
dikarenakan pasien yang sebenarnya telah terinfeksi namun masih asimptomatik,
dapat bermigrasi ke negara lain tanpa terdeteksi, sehingga frekuensi kasus yang
dilaporkan sering kali lebih rendah dibandingkan yang sebelumnya diprediksi.10
3.3 Etiologi
3.4 Patogenesis
Sel Schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.
leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae
maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel
Schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang
16
infeksi yang potensial. Mekanisme transmisi M. leprae hingga saat ini masih
belum diketahui secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan
tempat masuk utama M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan
metode transmisi utama. Faktor risiko terjadinya kusta antara lain kontak yang
erat dan lama, lingkungan padat penduduk, usia, jenis kelamin, serta ras dan etnis
tertentu.17
3.6 Klasifikasi
Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe
1) Nervus Ulnaris akan terjadi anestesia pada ujung jari anterior kelingking
dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lubrikalis medial.
21
2) Nervus Medianus terjadi anestesia pada ujung jari sebagian anterior ibu jari,
jari telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,
jari telunjuk dan jari tengah, ibu jari kontraktur dan atrofi otot tenar dan
kedua otot lubrikalis lateral.
3) Nervus Radialis terjadi anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk, tangan gantung (wrist drop), dan tidak mampu ekstensi jari-jari
atau pergelangan tangn.
4) Nervus Poplitea laterallis dapat terjadi anestesia tungkai bawah, bagian
lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), dan kelemahan otot
peroneus.
5) Nervus Tibialis posterior terjadi anestesia telapak kaki, claw toes, dan
paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
6) Nervus Fasialis yaitu cabang temporal dan zigomatik menyebabkan
lagoftalmus, cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatubkan bibir.
7) Nervus Trigeminus terjadi anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva
mata, atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.
Kerusakan mata pada lepra juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata serta dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh rusaknya
N. Fasialis yang dapat membuat paralisis N. Orbicularis palpebrarum sebagian
atau seluruhnya yang mengakibatkan lagoftalmus, selanjutnya menyebabkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung
yang akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.11,28
Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap
yaitu:(1) terjadi kelainan pada saraf, berbentuk penebalan saraf, nyeri tanpa
gangguan fungsi gerak namun telah terjadi gangguan sensorik, (2) terjadi
22
kerusakan pada saraf, timbul paralisis tidak lengkap atau paralisis awal, termasuk
pada otot kelopak mata, otot jari tangan dan otot kaki. Pada stadium ini masih
dapat terjadi pemulihan dan kekuatan otot. Bila berlanjut dapat terjadi luka (di
mata, tangan dan kaki) dan kekakuan sendi, (3) terjadi penghancuran saraf serta
kelumpuhan menetap. Pada stadium ini dapat terjadi infeksi yang progesif dengan
kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan.28
Tabel 2.5 Diagnosis klinis, klasifikasi dan penanganan lepra menurut “WHO’s
Cardinal Sign” (1997) .17
pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin menggunakan dua tabung
reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak, yang dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya dimulai
dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal
akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Gangguan fungsi motoris diperiksa
dengan Voluntary Muscle Test (VMT).11,28
1) Pemeriksaan Bakterioskopik
2) Pemeriksaan histopatologi
3) Pemeriksaan serologis
pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai
monoterapi dianggap tidak etis.31
Pada kasus ini, seorang laki-laki 42 tahun datang dengan keluhan timbul
bercak merah yang menebal dan bentol tanpa rasa gatal disertai hilang rasa di
wajah, punggung dan tungkai sejak 1 tahun yang lalu. Sebelumnya keluhan ini
dimulai dengantimbul bercak putih di area yang sama sejak kurang lebih 3 tahun
yang lalu, bercak putih mulai menebal dan sebagian menjadi merah. Pasien juga
mengeluh tidak bias merasakan sakit pada bercak yang timbul serta lengan dan
kaki kanan terasa lemah dan tidak bias mengepal serta lepas saat memegang
sesuatu.
Dari pemeriksaa fisik secara umum tidak diketahui, namun dari
pemeriksaan fisik dermatologis, didapatkan tiga daerah predileksi utama yaitu
region fasialis, punggung belakang, dan femoralis dan popliteal dekstra. Pada
region fasialis dan auricular dektra dan sinistra ditemukan nodul multipel
lenticular berwarna kemerahan dengan pinggir hiperemis dengan permukaan tidak
rata dan tersebar difuse dengan pustule disekitarnya, dari gambaran yang
diberikan, tidak tampak jelas apakah terdapat penebalan pada pina dan alopesia
pada alis pasien. Hal ini perlu dilihat untuk melihat apakah terdapat leonine facies
yang ditemukan pada penderita lepromatous leprosy. Pasien juga mengeluh tidak
bisa merasakan nyeri atau sensasi pada daerah lesi, hal ini merupakan salah satu
gejala patognomonik dari leprosy. Namun perlu dibedakan dengan
neurofibromatosis yang juga memberikan manifestasi nodul, sehingga perlu
diperiksa apakah terdapat keterlibatan sistem saraf pusat. Adanya nodul
kemerahan dan keterlibatan neuritis perlu dicurigai sebagai reaksi leprosy yang
mengakibatkan eritama nodusum leprosum. Sehingga perlu di tanyakan mengenai
aktifitas dan ada tidaknya demam.
Pada region truncus dorsum ditemukan lesi macula hipopigmentasi yang
ireguler, multiple, plakat bervariasi. Sikumskri dengan tepi hiperemis yang
tersebar difus di seluruh region. Sementara di region perbatasan femoralis dan
popliteal ditemukan lesi plak eritema, berbentuk tidak teratur, multiple, diameter
30
31
penularan dilakukan pada pasien dan keluarga, selain itu pasien juga diberikan
edukasi mengenai komplikasi yang mungkin timbul dan cara-cara menurunkan
risiko kejadiannya.
BAB V
KESIMPULAN
Morbus hansen atau kusta atau lepra adalah suatu penyakit granuloma
kronik progesif yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium leprae, yang
menyerang kulit dan sistem saraf tepi. Kusta termasuk salah satu penyakit
menular dengan angka kejadian yang tinggi di dunia. Penularannya dapat melalui
kontak langsung dengan sekret nasal atau inokulasi pada kulit dari individu yang
terinfeksi.7 Masa inkubasinya cukup lama, yaitu sekitar 2-6 tahun
Berdasarkan WHO tahun 1997, diagnosis kusta/lepra didasarkan pada, Lesi kulit
hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan gangguan atau hilangnya
sensasi, Keterlibatan saraf tepi berupa penebalan saraf, dan Pemeriksaan hapusan
sayatan kulit ditemukan basil tahan asam
Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe
Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB). Klasifikasi yang sering digunakan
adalah klasifikasi oleh Ridley dan Jopling (1962) berdasarkan pada kriteria klinis,
bakteriologis, imunologis dan histopatologis, yaitu kusta tipe Tuberculoid
Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline
Lepromatous (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL).
33
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar RS. Kusta. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-3.
EGC: Jakarta; 2015.
2. World Health Organization. Weekly epidemiologycal record. World Health
Organization. Switzerland. 2014; 89(36):389-400.
3. Kemenkes RI. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta; 2012.
4. Widodo AA, Menaldi SL. Characteristics of leprosy patients in Jakarta. J
Indon Med Assoc. 2012; 62(11):423-7.
5. Voorend CGN, Post EB. A systematic review on the epidemiological data of
erythema nodosum leprosum, a type 2 leprosy reaction. Plos Negl Trop Dis.
2013; 7 (10):e2440.
6. Voorend CGN, Post EB. A systematic review on the epidemiological data of
erythema nodosum leprosum, a type 2 leprosy reaction. Plos Negl Trop Dis.
2013; 7 (10):e2440.
7. Robertson J. The history of Leprosy. Dalam: Makino M, Matsuoka M, Goto
M, Hatano K, editors. Leprosy: Science Working Towards Dignity. 2011.
Hadano: Tokai University Press. Hlm. 2-24.
8. Delphine JL, Thomas HR, Rea LM. Leprosy. Dalam: Wolff K, Godsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw Hill;
2008. hlm. 1962-72.
9. Sung MS, Kobayashi TT. Diagnosis and treatment of leprosy type 1 (reversal)
reaction. CUTIS. 2015; 95(1):222-6.
10. Ramesh MB, Prakash C. Leprosy: an overview of pathophysiology. Hin Pub
Cor: Interdiciplinary Perspective on Infectious Disease; 2012. Hlm. 1-6.
11. Wisnu IM, Daili ESS, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi SLSW, editor.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: FKUI; 2015:87-102.
35