Anda di halaman 1dari 39

`Case Report Session

* Kepaniteraan Klinik Senior/ Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UNJA

** Pembimbing/ Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher

LEPROMATOUS LEPROSI

Oleh:

Albertus A.S. Prabono, S.Ked*

G1A219043

Pembimbing:

Dr.dr.Fitriyanti.Sp.KK.FINSDV**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

i
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Case Report Session

LEPRAMATOUS LEPROSI

Oleh:

Albertus A.S. Prabono, S.Ked

G1A219043

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

Jambi, Mei 2020

Pembimbing

Dr.dr.Fitriyanti.Sp.KK.FINSDV
iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan Kasih dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan kasus “Lepramatous Leprosi “ Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Jambi.

Laporan ini terwujud tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Dr.dr.Fitriyanti, Sp.KK. FINSDV, selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan
baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan
ini.

Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu


saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Mei 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Morbus hansen atau kusta atau lepra adalah suatu penyakit granuloma
kronik progesif yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium leprae, yang
menyerang kulit dan sistem saraf tepi.1 Kusta termasuk salah satu penyakit
menular dengan angka kejadian yang tinggi di dunia. Jumlah kasus baru kusta di
dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 dan jumlah terbanyak ditemukan di
Asia Tenggara.2
Menurut Weekly Epidemiological Report oleh World Health Organization,
jumlah pasien baru kusta di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2011 ke
2012, yaitu dari 20.023 pasien baru menjadi 18.994 pasien baru. Lampung
terdapat 143 kasus baru yang termasuk dalam beban kusta rendah.3 Pada
penelitian crosssectional di Jakarta tahun 2012, dari 1.021 pasien kusta didapatkan
24,2% pasien mengalami reaksi kusta,4 sedangkan pada penelitian retrospektif di
India Utara selama 15 tahun, 30,9% pasien mengalami reaksi pada kunjungan
pertama ke pusat kesehatan.5
Prevalensi reaksi reversal sendiri bervariasi antara 8-33% dari seluruh
kasus kusta, umumnya terjadi pada kusta tipe borderline. 6 Penularannya dapat
melalui kontak langsung dengan sekret nasal atau inokulasi pada kulit dari
individu yang terinfeksi.7 Masa inkubasinya cukup lama, yaitu sekitar 2-6 tahun.8
Kusta merupakan penyakit kronik yang jarang menyebabkan kematian, namun
paling sering menyebabkan kecacatan. Kusta merupakan salah satu penyebab
neuropati perifer non-traumatik.9 Minimnya pengetahuan dan tingginya stigma
negatif masayarakat terhadap kusta membuat penderita enggan untuk berobat dan
menyembunyikan penyakitnya. Hal ini menyebabkan transmisi infeksi terus
terjadi dan angka kecacatan semakin tinggi.10
Sayangnya tingginya kejadian kusta tidak sejalan dengan kasus yang
dilaporkan, sehingga perlu dipahami dengan baik oleh para praktisi kesehatan lini
pertama.

1
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 Identitas pasien

Nama : Tn. X
Umur : 42 th
Jenis Kelamin : Laki-Laki

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Timbul banyak bercak merah yang menebal dan bentol tanpa
rasa gatal disertai hilang rasa di wajah, punggung dan tungkai bawah sejak 1
tahun lalu

Keluhan Tambahan : Tidak biasa merasa sakit pada bercak, lengan dan kaki
kanan terasa lemah dan tidak bias mengepal dan sering lepas ketika memegang
sesuatu

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Poli Kulit RSUD Raden Mattaher dengan keluhan timbul
banyak bercak merah yang menebal dan bentol tanpa rasa gatal disertai hilang
rasa di area wajah, punggung, dan tungkai bawah sejak 1 tahun yang lalu.
Keluhan ini dimulai dengan timbul bercak putih di area yang sama sejak kisaran 3
tahun yang lalu. Bercak putih mulai menebal dan sebagian menjadi merah. Pasien
mengeluh tidak bisa merasakan sakit pada bercak yang timbul, lengan dan kaki
kanan terasa lemah dan tidak bisa mengepal dan sering lepas sendiri jika
memegang sesuatu. Pasien sudah berobat ke puskesmas namun belum ada
perubahan.

2.2.1 Anamnesis tambahan

Apak ah ada demam? Batuk? Rasa mudah lelah? Tidak berkeringat meski di
tempat panas atau tidak berkeringat dibagian tertentu? Apakah ada riwayat kontak

2
3

dengan orang dengan gejala yang sama beberapa tahun sebelumnya? Riwayat
pengobatan?

2.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah memiliki riwayat penyakit imun? HIV/AIDS? Autoimun? Sedang


menjalani terapi Imunosupresif, kemoterapi? Memiliki penyakit jantung? Darah
tinggi? Kelainan darah? Diabetes militus? Riwayat stroke,

2.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga

Apakah dikeluarga ada yang mederita keluhan yang sama? Apakah ada
riwayat penyakit jantung, darah tinggi, kelainan darah, diabetes militus, stroke,
autoimun?

2.2.4 Riwayat Sosial Ekonomi

- Bagaimana keadaan ekonomi dan dukungan keluarga untuk pengobatan

2.3 Pemeriksaan fisik


A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : sekilas penampilan kesakitan
2. Tanda Vital :
Kesadaran : subjektif dan objektif RR : sesak ?
TD : Normotensi? Nadi :?
Suhu : demam?
3. Kepala :
a. Bentuk : Normochepal
b. Mata : Konjungtiva anemis (?), sklera ikterik (?), reflek cahaya
(?), pupil isokor (?), tambahan: pemeriksaan lapangan pandang,
dan lagopthalmus?
c. THT : Nyeri tekan tragus (?), serumen (?), Deviasi septum
hidung (?), epitaksis (?), Faring & tonsil hiperemis (?), Tonsil (?)
d. Leher : pembesaran KGB (?)
4. Thoraks :
a. Jantung : Bunyi jantung I/II (?), murmur (?), gallop (?)
4

b. Paru : Vesikuler (?), Suara tambahan (ronkhi /wheezing )


5. Genitalia : discharge? Kelainan genital ekternal?
6. Ekstremitas
a. Superior : Akral hangat (?), CRT (?) pemeriksaan neurologi
tambahan, reflek bisep trisep, hofmen-tromner, kekuatan motorik,
sensorik dermatome, autonom
b. Inferior : Akral hangat (?), CRT (?) pemeriksaan neurologi
tambahan, reflek patella, achiles, babinsky group, kekuatan
motorik, sensorik dermatome, autonom

B. Status Dermatologi

EFLORESENSI GAMBAR

Lokasi : region facialis, auricular dextra


et sinistra

Inspeksi
Ditemukan nodul multiple berbentuk
bulat, ukuran lenticular bervariasi,
berwarna kemerahan, tepi hiperemis
dengan permukaan tidak rata dan
berbenjol-benjol, tersebar difus dengan
pustule disekitarnya
Palpasi : Berbenjol, nyeri (-)
Auskultasi : (-)
Lain-lain : (-)
5

Lokasi : region femoralis dan popliteal


dextra

Inspeksi
Ditemukan Plak eritema, berbentuk
tidak teratur, multiple, diameter
bervasiasi (2 cm-6 cm), permukaan
kasar, sirkumskripta, tepi hiperemis,
tersebar difus di sekitar region.
Palpasi : kasar, nyeri (-)
Auskultasi : (-)
Lain-lain : (-)

Lokasi : Punggung Belakang / truncus


dorsum

Inspeksi

Ditemukan macula hipopigmentasi,


ireguler, multiple, ukuran plakat
bervariasi, sirkumskripta, tepi hiperemis,
permukaan?, tersebar difus di regio

Palpasi : nyeri (-)


Auskultasi: (-)
Lain-lain : (-)
6

H H
yd
Generalisata

C. Status Venerelogi
1. Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4 Pemeriksaan Penunjang sederhana


 Slit Skin Smear
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau kerokan kulit atau slit skin smear.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA)
yaitu dengan menggunakan Ziehl-Neelsen.
Tentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman, Untuk riset
dapat diperiksa 10 tempat dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya minimal
4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang
paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan
7

Gambaran mikroskopi hasil slit skin smear dari pasien lepromatous


lepromatosa, sel berwarna biru, dan bakteri M. leprae warna merah
Menurut Ridley Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:
- 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
- 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
- 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
- 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
- 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
- 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
- 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan
minyak emersi pada pembesaran lensa objektif 100 kali.

2.5 Diagnosis Banding


Bercak eritema
- Psoriasis
- Tinea circinata
- Dermatitis seboroik
8

Bercak putih
- Vitiligo
- Pitiriasis versikolor
- Pitiriasis alba
Nodul
- Neurofibromatosis
- Sarkoma Kaposi
- Veruka vulgaris

2.6 Diagnosa Kerja


Lepramatous Leprosi

2.7 Terapi
 12 bulan Multidrugs Therapy
- Rifampisin 600 mg setiap bulan,
- Klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari,
- Dapsone 100 mg setiap hari.
 Korikosteroid - prednison 40 mg/hari kemudian Tappering off.
 Neurobion 1 tab/hari
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan misalnya memakai kacamata,
merawat kulit supaya tidak kering dan lainnya apabila terdapat gangguan
sensibilitas.

2.2.8 Pemeriksaan Anjuran


 Pemeriksaan histopatologi
Untuk memastikan gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau
penentuan klasifikasi lepra. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau
derivat-derivatnya. Gambaran histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel
dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit
dan non-solid.
9

Pada tipe lepromatosa terdapat subepidermal clear zone yaitu suatu daerah
langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut
pada tipe Borderline.
10





Histopathologi LL, infiltrate inflamasi sebagian besar tersusun oleh
Foamy macrophages pada dermis. Epidermis lebih rata, terdapat clear
grenz zone pada dermal (A) terdapat bakteri tahan asam pada macrophage
(B)

 Pemeriksaan serologis
Didasarkan atas terbentuknya antibodi tubuh seseorang Antibodi yang
spesifik terhadap M. leprae yaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1)
dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Membantu diagnosis lepra yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Macam-macam pemeriksaan serologik lepra adalah uji MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzym Linked
Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick),
dan ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).

2.2.9 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
11

- Quo ad kosmetika : Dubia ad bonam


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kusta/Lepra (Morbus Hansen)

Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan


oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit dan saraf tepi
namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ lainnya. 1,5
Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis
besar terdapat tiga pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta
yang lebih ringan), lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai
keterlibatan organ lain) dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun
lepromatosa).12

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan
gejalagejala kulit secara umum. Selain lepra, kusta juga dikenal dengan nama
Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.Gerhard
Armauer Hansen pada tahun 1874.12

3.2 Epidemiologi

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia lewat perpindahan penduduk yang disebabkan karena
perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Masuknya kusta ke
pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan pada abad ke IV-V yang
diduga dibawa oleh orang-orang India dan China yang datang ke Indonesia untuk
menyebarkan agamanya dan berdagang. Distribusi penyakit di tiap-tiap negara
maupun dalam negara sendiri berbeda-beda.

Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya multi drug therapy


(MDT) prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga
WHO kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai
permasalahan kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi
penyakit kusta didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga

12
13

mencapai <1 kasus per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan bagi
negara-negara dengan endemis kusta.13

Berdasarkan data WHO tahun 2015, angka kejadian kusta terbanyak di


India, yaitu sebesar 127.326 kasus baru, ini merupakan 60% dari seluruh kasus
baru di dunia. Peringkat kedua diduduki oleh Brazil sebesar 26.395 kasus dan
diikuti Indonesia di peringkat ketiga dengan jumlah kasus 17.202. (WHO, 2016).
Diantara negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus kusta tipe MB
terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah
kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,1%. 15 Berdasarkan
laporan Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali tahun 2013, ditemukan kasus
kusta baru sebanyak 84 kasus (9 kusta tipe pausibasiler dan 75 kusta tipe
multibasiler) (Dinkes Bali, 2014). Hingga saat ini, tercatat 20 dari 34 provinsi
yang sudah berhasil eliminasi kusta dan Bali termasuk provinsi yang telah
berhasil mengeliminasi kusta, dengan patokan jumlah prevalensi kurang dari
1/10.000 penduduk.3

Penyakit kusta dapat mengenai semua usia antara usia 3 minggu hingga
lebih dari 70 tahun namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif.
Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan
perempuan, namun berdasarkan laporan di beberapa negara laki-laki lebih sering
dibanding perempuan. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi,
dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang
tinggi.3

Waktu inkubasi yang panjang merupakan salah satu faktor penting, hal ini
dikarenakan pasien yang sebenarnya telah terinfeksi namun masih asimptomatik,
dapat bermigrasi ke negara lain tanpa terdeteksi, sehingga frekuensi kasus yang
dilaporkan sering kali lebih rendah dibandingkan yang sebelumnya diprediksi.10

3.3 Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang merupakan


bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur pada
media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali
14

ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium


leprae merupakan bakteri nonmotil dengan panjang 1-8 mikron dan diameter 0,3
mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat. M. leprae hidup dalam sel
terutama jaringan bersuhu dingin dan membelah secara biner. Replikasi
memerlukan waktu 11 hingga 21 hari, tumbuh maksimal pada suhu 270 C hingga
300 C. Kuman ini mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwann cell)
dan sel sistem retikuloendotelial. Secara mikroskopis, tampak basil yang
bergerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi) yang
terletak intraseluler dan ekstraseluler. Pada pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) akan
tampak berwarna merah yang merupakan basil tahan asam. 7,11

Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan


arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan
respon imunitas seluler maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian
luar hingga ke membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama
yaitu pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang
merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis.
Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat memicu imunoglobulin.
Imunoglobulin (Ig) M ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe
LL.9,10

3.4 Patogenesis

Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang


rendah karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan
oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompok umur terbanyak
terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.11,21 Onset lepra dapat membahayakan
karena mempengaruhi saraf, kulit dan mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi
mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal, otot-otot halus, sistem
retikuloendotel dan endotelium pembuluh darah.12
15

Kusta ditandai dengan spektrum klinis yang luas berdasarkan respon


imunitas seluler pejamu. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya
respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th1, berupa IFN-γ, IL-2 dan TNFα
yang menunjukkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen
M. leprae. Hal ini ditandai dengan terbentuknya granuloma dan dominasi sel T
CD4+ dan gambaran klinis berupa gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah
basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan
dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2, berupa IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-
10 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta
tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang
menunjukan pola sistem imunitas diantara kedua kutub kusta.10

Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki


patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan
tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah
memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel
Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel
endotelpembuluh darah.19,20

Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung


pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak
perlahan (sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel,
dapat dibebaskan dari sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil
berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh
sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan
terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan
saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak
didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan
oleh kekuatan respon imun pasien.19

Sel Schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.
leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae
maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel
Schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang
16

terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21)


berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel schwann,
selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demielinisasi saraf perifer
diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin,
aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase.
Demielinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae
lebih menyukai unit akson yang tidak bermielin. Mekanisme kerusakan saraf
secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasiler.8,9

Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita


lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan
menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar
(PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan
lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba
berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan
peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1
dan 2).11,19

3.5 Cara Penularan

Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M. leprae. Kusta tipe


MB merupakan sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah bakteri
pada kusta tipe lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram
jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah,
namun semua kasus kusta yang aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber
17

infeksi yang potensial. Mekanisme transmisi M. leprae hingga saat ini masih
belum diketahui secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan
tempat masuk utama M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan
metode transmisi utama. Faktor risiko terjadinya kusta antara lain kontak yang
erat dan lama, lingkungan padat penduduk, usia, jenis kelamin, serta ras dan etnis
tertentu.17

3.6 Klasifikasi

Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan,


prognosis dan komplikasi. Klasifikasi yang sering digunakan adalah klasifikasi
oleh Ridley dan Jopling (1962) berdasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis,
imunologis dan histopatologis, yaitu kusta tipe Tuberculoid Tuberculoid (TT),
Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline Lepromatous
(BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL).23,24

Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid


polar yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga dengan tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar,
yaitu lepramatosa 100% , mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi.
BB merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberculoid dan 50%
lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe BL
lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil yang
berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe TT maupun tipe
LL.11

Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe

Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB).11,24

1) Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada


tipe ini berarti mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT
dan tipe I. Pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri
(IB) kurang dari 2+.
18

2) Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah.


Pada tipe ini berarti bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe
LL, tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi Ridley- Jopling dengan
Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.

Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi


perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan
kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe BT menurut klasifikasi
Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif maka akan
dimasukkan kedalam lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua
penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positif, harus diobati dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-
MB.1
19

3.7 Manifestasi Klinis Lepra


Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu
multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap
kuman M. leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.23
Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:24
1) Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf
yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang
menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom.
2) Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi
progresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin
pada tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebut glove dan stocking
anaesthesia terjadi penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik,
sensorik dan otonom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3) Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan
tipe lepromatosa)
Tabel manifestasi Lesi pada Leprosi tipe MB
20

Tabel manifestasi Lesi Leprosi Tipe PB

3.8 Deformitas atau Kecacatan

Deformitas atau kecacatan lepra sesuai dengan patofisiologinya, dapat


dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer terjadi sebagai
akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae
yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya yaitu kulit, mukosa traktus
respiratorius atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat adanya deformitas primer terutama kerusakan saraf (sensorik,
motorik dan otonom) antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.11,25

Gejala-gejala kerusakan saraf:11,28

1) Nervus Ulnaris akan terjadi anestesia pada ujung jari anterior kelingking
dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lubrikalis medial.
21

2) Nervus Medianus terjadi anestesia pada ujung jari sebagian anterior ibu jari,
jari telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,
jari telunjuk dan jari tengah, ibu jari kontraktur dan atrofi otot tenar dan
kedua otot lubrikalis lateral.
3) Nervus Radialis terjadi anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk, tangan gantung (wrist drop), dan tidak mampu ekstensi jari-jari
atau pergelangan tangn.
4) Nervus Poplitea laterallis dapat terjadi anestesia tungkai bawah, bagian
lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), dan kelemahan otot
peroneus.
5) Nervus Tibialis posterior terjadi anestesia telapak kaki, claw toes, dan
paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
6) Nervus Fasialis yaitu cabang temporal dan zigomatik menyebabkan
lagoftalmus, cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatubkan bibir.
7) Nervus Trigeminus terjadi anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva
mata, atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.

Kerusakan mata pada lepra juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata serta dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh rusaknya
N. Fasialis yang dapat membuat paralisis N. Orbicularis palpebrarum sebagian
atau seluruhnya yang mengakibatkan lagoftalmus, selanjutnya menyebabkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung
yang akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.11,28

Infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar


keringat, kelenjar palit, dan folikel rambutmenyebabkan kulit kering dan alopesia.
Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.11

Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap
yaitu:(1) terjadi kelainan pada saraf, berbentuk penebalan saraf, nyeri tanpa
gangguan fungsi gerak namun telah terjadi gangguan sensorik, (2) terjadi
22

kerusakan pada saraf, timbul paralisis tidak lengkap atau paralisis awal, termasuk
pada otot kelopak mata, otot jari tangan dan otot kaki. Pada stadium ini masih
dapat terjadi pemulihan dan kekuatan otot. Bila berlanjut dapat terjadi luka (di
mata, tangan dan kaki) dan kekakuan sendi, (3) terjadi penghancuran saraf serta
kelumpuhan menetap. Pada stadium ini dapat terjadi infeksi yang progesif dengan
kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan.28

Derajat kecacatan pada lepra terbagi atas tiga tingkatan yaitu:

1) Kecacatan tingkat 0 berarti tidak ada cacat.29


2) Kecacatan tingkat 1 adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf
sensoris yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata,
telapak tangan dan telapak kaki. Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak
diperiksa dilapangan oleh karena itu tidak ada cacat tingkat 1 pada mata.
Kecacatan tingkat 1 pada telapak kaki beresiko terjadinya ulkus plantaris,
namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini dapat dicegah. Mati rasa
pada bercak bukan merupakan kecacatan tingkat 1 karena bukan disebabkan
oleh kerusakan saraf perifer utama, tetapi rusaknya saraf lokal kecil pada
kulit.28,29
3) Kecacatan tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat. Pada mata
yaitu terjadi ketidakmampuan menutup mata dengan rapat (lagoftalmus),
kemerahan yang jelas pada mata(terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis),
gangguan penglihatan berat atau kebutaan.Sedangkan pada tangan dan kaki
dapat terjadi luka dan ulkus di telapak serta deformitas yang disebabkan
oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kontraktur) dan atau hilangnya
jaringan (atrofi) atau reabsorbsi parsial dari jar-jari.28

3.9 Diagnosis Lepra

Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis, bakterioskopis,


histopatologis dan serologis. Diantara pemeriksaan tersebut, diagnosis secara
klinis adalah yang terpenting dan paling sederhana dilakukan. Hasil
bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit (15-30 menit), sedangkan
23

pemeriksaan histopatologi memerlukan waktu 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda)


juga dapat dilakukan untuk membantu penentuan tipe yang hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe lepra perlu dilakukan supaya dapat
menetapkan terapi yang sesuai.11

Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di


lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis lepra
berdasarkan penghitungan lesi kulit dan saraf yang terkena. Pada tahun 1997,
diagnosis klinis lepra berdasarkan tiga tanda kardinal yang dikeluarkan oleh
“WHO’s Committe on Leprosy” yaitu lesi pada kulit berupa hipopigmentasi atau
eritema yang mati rasa, penebalan saraf tepi, serta pada pemeriksaan skin smear
atau basil pada pengamatan biopsy. Seseorang dikatakan sebagai penderita lepra
apabila terdapat satu atau lebih dari tanda-tanda tersebut.17,20

Tabel 2.5 Diagnosis klinis, klasifikasi dan penanganan lepra menurut “WHO’s
Cardinal Sign” (1997) .17

Pada diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada kemungkinan


terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Diagnosis klinis harus didasarkan
hasil pemeriksaan seluruh tubuh penderita, sebab ada kemungkinan diagnosis
klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan
pada satu lesi (kelainan kulit) dapat berbeda tipe dengan lesi lainnya. Begitu pula
dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa tempat dan dari mana
biopsi tersebut diambil. Diagnosis klinis dimulai dengan inspeksi, palpasi lalu
dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana berupa jarum, kapas,
tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinda dan
sebagainya.11,21 Ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan
diagnosis. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa
nyeri, dan kapas terhadap rasa raba. Apabila belum jelas dapat dilakukan dengan
24

pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin menggunakan dua tabung
reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak, yang dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya dimulai
dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal
akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Gangguan fungsi motoris diperiksa
dengan Voluntary Muscle Test (VMT).11,28

Saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah mengenai pembesaran,


konsistensi, ada tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa
saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. Fasialis, N. Aurikularis
magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, dan N.
Tibialis posterior.11

3.10 Penunjang Diagnosis Lepra

1) Pemeriksaan Bakterioskopik

Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang


diperoleh melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi
pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Pemeriksaan ini
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil
tahan asam (BTA) yaitu dengan menggunakan Ziehl-Neelsen.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung kuman M. leprae. 11

Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat


oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan
diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk pemeriksaan
rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat
25

ada tidaknya lesi di tempat tersebut, karena pada tempat tersebut


mengandung kuman paling banyak.11

Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan.


Dibedakan atas batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan pada
bentuk fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman dalam bentuk
hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dandapat
menularkan ke orang lain.1 Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan
non-solid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB)
dengan rentang nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Interpretasi hasil
adalah sebagai berikut:11

a. 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).


b. 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
c. 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
d. 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e. 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f. 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g. 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat


sediaan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya
dengan minyak emersi pada pembesaran lensa objektif 100 kali.11

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid


dibandingkan dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk
mengetahui daya penularan kuman dan untuk menilai hasil pengobatan
dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.11,31

2) Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk


memastikan gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan
klasifikasi lepra. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-
26

derivatnya. Gambaran histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel


dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya
sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung
dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut
pada tipe Borderline.11,30

3) Pemeriksaan serologis

Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya


antibodi tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak spesifik. Antibodi yang spesifik
terhadap M. leprae yaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1) dan
antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.11

Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang


meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu
dapat juga membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak terdapat
lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan
serologik lepra adalahuji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML
dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick), dan ML flow test
(Mycobacterium leprae flow test)

3.11 Penatalaksanaan Lepra

Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization-


Multydrug Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan
dapson untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita
lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat antilepra yang paling penting dan
termasuk dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu
obat antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan resistensi obat,
27

pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai
monoterapi dianggap tidak etis.31

Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati


resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata
rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek
terapeutik obat, efek samping obat, ketersediaan obat, harga obat, dan
kemungkinan penerapannya.1

Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:

1) MDT untuk lepra tipe MB

Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg


setiap bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan
dapsone 100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama
12 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin
150 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap
hari.

2) MDT untuk lepra tipe PB

Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi


rifampisin 600 mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada
anak-anak diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg
setiap bulan dan dapsone 50 mg setiap bulan.19 Sedangkan pada anak-
anak dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan kombinasi rifampisin 10
mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg berat badan diberikan
pada pergantian hari, tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/kg berat badan
setiap hari.27

Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:

1) Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)

Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut, obat


pilihan pertama adalah korikosteroid. Biasanya diberikan prednison 40
28

mg/hari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan


dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf
secara menndadak. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus
diistirahatkan. Apabila diperlukan dapat diberikan analgetik dan sedativa.11

2) Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)

Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara


lain prednison dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya reaksi,
biasanya diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara
bertahap sampai berhenti sama sekali sesuai perbaikan reaksi. Apabila
diperlukan dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada
kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan
timbul apabila obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu
sehingga penderita harus mendapatkan kortikosteroid secara terus-
menerus.11

Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak mendapat


MDT mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Selain itu,
penderita dengan reaksi lepra terutama reaksi reversal lesi kulit multipel
dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko
tersebut.11

Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya


sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul berupa
nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk
daerah yang kehilangan sensibilitasnya, serta adanya kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang benda
kecil atau kesulitan berjalan.11

Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability


(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi
lepra yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid secepatnya. Memberikan edukasi pada pasien tentang
29

perawatan misalnya memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering


dan lainnya apabila terdapat gangguan sensibilitas.11
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang laki-laki 42 tahun datang dengan keluhan timbul
bercak merah yang menebal dan bentol tanpa rasa gatal disertai hilang rasa di
wajah, punggung dan tungkai sejak 1 tahun yang lalu. Sebelumnya keluhan ini
dimulai dengantimbul bercak putih di area yang sama sejak kurang lebih 3 tahun
yang lalu, bercak putih mulai menebal dan sebagian menjadi merah. Pasien juga
mengeluh tidak bias merasakan sakit pada bercak yang timbul serta lengan dan
kaki kanan terasa lemah dan tidak bias mengepal serta lepas saat memegang
sesuatu.
Dari pemeriksaa fisik secara umum tidak diketahui, namun dari
pemeriksaan fisik dermatologis, didapatkan tiga daerah predileksi utama yaitu
region fasialis, punggung belakang, dan femoralis dan popliteal dekstra. Pada
region fasialis dan auricular dektra dan sinistra ditemukan nodul multipel
lenticular berwarna kemerahan dengan pinggir hiperemis dengan permukaan tidak
rata dan tersebar difuse dengan pustule disekitarnya, dari gambaran yang
diberikan, tidak tampak jelas apakah terdapat penebalan pada pina dan alopesia
pada alis pasien. Hal ini perlu dilihat untuk melihat apakah terdapat leonine facies
yang ditemukan pada penderita lepromatous leprosy. Pasien juga mengeluh tidak
bisa merasakan nyeri atau sensasi pada daerah lesi, hal ini merupakan salah satu
gejala patognomonik dari leprosy. Namun perlu dibedakan dengan
neurofibromatosis yang juga memberikan manifestasi nodul, sehingga perlu
diperiksa apakah terdapat keterlibatan sistem saraf pusat. Adanya nodul
kemerahan dan keterlibatan neuritis perlu dicurigai sebagai reaksi leprosy yang
mengakibatkan eritama nodusum leprosum. Sehingga perlu di tanyakan mengenai
aktifitas dan ada tidaknya demam.
Pada region truncus dorsum ditemukan lesi macula hipopigmentasi yang
ireguler, multiple, plakat bervariasi. Sikumskri dengan tepi hiperemis yang
tersebar difus di seluruh region. Sementara di region perbatasan femoralis dan
popliteal ditemukan lesi plak eritema, berbentuk tidak teratur, multiple, diameter

30
31

bervariasi antara 2 cm sampai 6 cm, permukaan kasar, sirkumskipta dengan tepi


hiperemis, tersebar difus di sekitar region.
Dari anamnesis perjalanan penyakit, pasien mengatakan bahwa keluhan
dirasa sejak 3 tahun yang lalu dengan timbul bercak putih. Dari pernyataan ini,
dapat diduga bahwa keluhan yang dialami pasien bersifat kronis, sehingga dapat
mengarahkan diagnosis. Selain itu pasien juga mengeluh tidak bisa merasakan
sakit dan terdapat kelemahan dari motorik kaki dan lengan sebelah kanan. Perlu
digali adanya keterlibatan sistem saraf pusat dengan pemeriksaan fisik neurologis
ektrimitas atas dan bawah baik kanan maupun kiri. Adanya riwayat darah tinggi,
stroke juga perlu ditanyakan. Kecurigaan terhadap diagnosis leprosi dapat
menigkat bila tidak ditemukan tanda tanda keterlibatan sistem sraf pusat pada
kelainan motoric dan sensorik pasien.
Diagnosis pasien ditegakkan dari anamnesis, manifestasi klinis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini, pemeriksaan
penunjang slit skin test dapat dilakukan untuk melihat apakah ditemukan bakteri
tahan asam pada kerokan lesi, sampel diambil dari dua cuping telinga kanan kiri
dan 4 lesi yang dianggap paling aktif. Dengan menggunakan teknik pewarnaan
bakteri tahan asam, preparat dilihat pada microscope cahaya. Bila ditemukan
bakteri tahan asam, maka diagnose dapat ditegakkan, namun bila tidak ditemukan,
perlu di lakukan pemeriksaan lain, karena hasil yang mungkin bisa menjadi false
negative.
Penatalaksanaan pada pasien lepromatous leprosy dilakukan sesuai dengan
anjuran dari WHO dan Kementrian kesehatan. Pemberian Multidrugs Therapy
selama 12 bulan untuk eradikasi dari bakteri M. leprae . MDT terdiri dari
Rifampisin 600 mg dan klofamizin 300 mg satu kali sebulan, juga klofamizin 50
mg dan dapsone 100 mg setiap hari. Berdasarkan keluhan dari pasien, pasien
mengalami neuritis, sehingga dapat diberikan kortikosteroid (prednisone 40
mg/hari) yang di tapering off sesuai kebutuhan, suplementasi dengan Neurobion
dapat diberikan untuk membantu proses pengobatan. Selain itu, dianjurkan
mengistirahatkan anggota gerak yang terkena neuritis atau gangguan saraf untuk
menghindari progresifitas dan mempercepat pengobatan. Edukasi mengenai
kondisi pasien, penyakit, tingkat keparaham, penularan dan cara memutuh
32

penularan dilakukan pada pasien dan keluarga, selain itu pasien juga diberikan
edukasi mengenai komplikasi yang mungkin timbul dan cara-cara menurunkan
risiko kejadiannya.
BAB V

KESIMPULAN

Morbus hansen atau kusta atau lepra adalah suatu penyakit granuloma
kronik progesif yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium leprae, yang
menyerang kulit dan sistem saraf tepi. Kusta termasuk salah satu penyakit
menular dengan angka kejadian yang tinggi di dunia. Penularannya dapat melalui
kontak langsung dengan sekret nasal atau inokulasi pada kulit dari individu yang
terinfeksi.7 Masa inkubasinya cukup lama, yaitu sekitar 2-6 tahun

Kusta merupakan penyakit kronik yang jarang menyebabkan kematian,


namun paling sering menyebabkan kecacatan. Kelompok umur terbanyak terkena
lepra adalah usia 25-35 tahun. Kusta ditandai dengan spektrum klinis yang luas
berdasarkan respon imunitas seluler pejamu. Sel Schwann pada saraf perifer
merupakan target utama infeksi oleh M. leprae. Kerusakan saraf perifer dapat
disebabkan secara langsung oleh M. leprae maupun melalui respon imunitas.

Berdasarkan WHO tahun 1997, diagnosis kusta/lepra didasarkan pada, Lesi kulit
hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan gangguan atau hilangnya
sensasi, Keterlibatan saraf tepi berupa penebalan saraf, dan Pemeriksaan hapusan
sayatan kulit ditemukan basil tahan asam

Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe
Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB). Klasifikasi yang sering digunakan
adalah klasifikasi oleh Ridley dan Jopling (1962) berdasarkan pada kriteria klinis,
bakteriologis, imunologis dan histopatologis, yaitu kusta tipe Tuberculoid
Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline
Lepromatous (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL).

Penunjang Diagnosis bagi Lepra terdiri atas Pemeriksaan Bakterioskopik,


Pemeriksaan histopatologi, dan Pemeriksaan serologis. Obat-obatan yang
digunakan dalam World Health Organization-Multydrug Therapy (WHO-MDT)
adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson untuk penderita lepra tipe
MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe PB.

33
34

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar RS. Kusta. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-3.
EGC: Jakarta; 2015.
2. World Health Organization. Weekly epidemiologycal record. World Health
Organization. Switzerland. 2014; 89(36):389-400.
3. Kemenkes RI. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta; 2012.
4. Widodo AA, Menaldi SL. Characteristics of leprosy patients in Jakarta. J
Indon Med Assoc. 2012; 62(11):423-7.
5. Voorend CGN, Post EB. A systematic review on the epidemiological data of
erythema nodosum leprosum, a type 2 leprosy reaction. Plos Negl Trop Dis.
2013; 7 (10):e2440.
6. Voorend CGN, Post EB. A systematic review on the epidemiological data of
erythema nodosum leprosum, a type 2 leprosy reaction. Plos Negl Trop Dis.
2013; 7 (10):e2440.
7. Robertson J. The history of Leprosy. Dalam: Makino M, Matsuoka M, Goto
M, Hatano K, editors. Leprosy: Science Working Towards Dignity. 2011.
Hadano: Tokai University Press. Hlm. 2-24.
8. Delphine JL, Thomas HR, Rea LM. Leprosy. Dalam: Wolff K, Godsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw Hill;
2008. hlm. 1962-72.
9. Sung MS, Kobayashi TT. Diagnosis and treatment of leprosy type 1 (reversal)
reaction. CUTIS. 2015; 95(1):222-6.
10. Ramesh MB, Prakash C. Leprosy: an overview of pathophysiology. Hin Pub
Cor: Interdiciplinary Perspective on Infectious Disease; 2012. Hlm. 1-6.
11. Wisnu IM, Daili ESS, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi SLSW, editor.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: FKUI; 2015:87-102.
35

12. Kosasih A,WisnuIM,Sjamsoe-Daili ES,Menaldi SL.Kusta. Dalam: Adhi


Djuanda. (ed).Ilmu penyakit kulit dan kelaminedisi 6.Jakarta:Badan Penerbit
FKUI;2013.p.73-88.
13. World Health Organization.Weekly epidemiological record. WHO Geneva 30
Agustus 2013.88(35):365-80.
14. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku profil kesehatan Provinsi Jawa
Tengah tahn 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
2013.p.22-3.
15. Action Programme for the elimination of leprosy WHO. Leprosy elimination
campaigns (LEC) and special action projects for the elimination of leprosy
(SAPEL), questions and answer. 1997.
16. Tiwow PI,KandouRT,Pandaleke HEJ. Profil penderita morbus hansen di
poliklinik kulit dan kelamin BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
periode Januari-Desember 2012. Universitas Sam Ratulangi Manado.2012.
17. National Leprosy Eradication Program. Training manual for medical officers.
National Leprosy Eradication Program Directorate General of Health &
Family Welfare Nirman Bhawan, New Delhi. 2009.
18. Eichelmann K, Gonzales SE, Salas-Alanis JC,Ocampo-Candiani J. Leprosy an
update: definition, pathogenesis, classification, diagnosis, and treatment.Actas
Dermosifiliogr.2013;104(7):554-63.
19. Amiruddin MD.Penyakit kusta.Dalam:Marwali Harahap.(ed).Ilmu penyakit
kuit.Jakarta:Hipokrates;2000.p.260-71.
20. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit edisi
2.Jakarta:EGC;2004.p.154-5.
21. Shimizu H. Shimizu’s textbook of dermatology. Department of Dermatology
Hokkaido University Graduate School of Medicine. 2006;489-92.
22. Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H.Kusta. Makasar:
Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia;2003.
23. The International Federation of Anti-Leprosy Association (ILEP). Terjemahan
dalam bahasa Indonesia: Bagaimana mengenali dan menatalaksana reaksi
kustaoleh RS Kusta Dokter Rivai Abdullah 2012. The ILEP Action Group on
Teaching and Learning Material (TALMilep).2002.
36

24. National Leprosy Eradication Program.Disability Prevention & Medical


Rehabilitation. Guidelines for primary, secondary and tertiary level care.
Central Leprosy Division Directorate General of Health & Family Welfare,
Goverment of India, Nirman Bhavan, New Delhi. 2012.
25. Departemen Kesehatan RI. Buku pedoman nasional pengendalian penyakit
kusta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2007.
26. World Health Organization. WHO Multidrug Therapy (MDT). Leprosy
Elimination. http://www.who.int/lep/mdt/en/
27. World Health Organization. WHO Expert committee on leprosy, eighth
report.WHO Technical Report Series. 2012.
28. Pratama SE.Tingkat Kualitas hidup pasien kusta yang datang berobat ke RSU
Dr. Pirngadi Medan September-Oktober 2011.Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara; 2011.
29. Rahayuningsih E. Analisis kualitas hidup penderita kusta di Puskesmas
Kedaung Wetan Kota Tangerang Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia;2012.
30. Tsutsumi A,IzutsuT,IslamAM,MaksudaAN,KatoH,Wakai S. The quality of
life, mental health, and perceived stigma of leprosy patients in Bangladesh.
Social Science and Medicine. 2007; 64,2443-53.
31. Astuti R, Anwar S, Nurrahman, Syamsianah A, Wardani RS, Setiawan MR, et
al. Materi ajar metodologi penelitian, biostatistik dan manajemen data jilid 2.
Semarang:Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang; 2012.
32. World Health Organization. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: The World
Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-BREF.2004.

Anda mungkin juga menyukai