Anda di halaman 1dari 53

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A220048 / Desember 2021

**Pembimbing / dr. Andy Hutariyus, Sp.An

GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN REDUKSI TERTUTUP ATAS


INDIKASI FRAKTUR NASAL+SKIN LOSS

Disusun Oleh:
Jesi Pebriani
G1A220048

Dosen Pembimbing:
dr. Andi Hutarius, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

i
ii

HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN REDUKSI TERTUTUP ATAS


INDIKASI FRAKTUR NASAL+SKIN LOSS

Disusun Oleh:

Jesi Pebriani

G1A220048

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Anestesi RSUD Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
2021

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan pada Desember 2021


Pembimbing

dr. Andy Hutariyus, Sp.An

ii
iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session (CRS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul
“General Anestesi pada Tindakan Reduksi Tertutup atas Indikasi Fraktur
Nasal+Skin loss” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Andi Hutarius, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah laporan
kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Desember 2021

Penulis

iii
iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ii

KATA PENGANTAR........................................................................................iii

DAFTAR ISI......................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS...............................................................................2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................14

3.1 Fraktur Nasal......................................................................................14

3.1.1 Definisi dan Epidemiologi......................................................14

3.1.2 Patofisiologi............................................................................14

3.1.3 Klasifikasi...............................................................................16

3.1.4 Penegakkan Diagnosis............................................................16

3.1.5 Penatalaksanaan......................................................................20

3.1.6 Prognosis.................................................................................22

3.2 Anestesi Umum..................................................................................23

3.3 Intubasi...............................................................................................27

3.4 Medikasi.............................................................................................34

3.5 Pemeliharaan......................................................................................38

3.6 Pemulihan..........................................................................................40

BAB IV ANALISA KASUS...............................................................................41

BAB V KESIMPULAN..................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................48

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.1
Fraktur nasal adalah fraktur wajah yang paling umum sebanyak 39% yang
dapat terjadi sebagai fraktur nasal yang terisolasi atau dikaitkan dengan trauma
multipel. Seperti: serangan fisik, jatuh, kecelakaan dan cedera olahraga. Cukup
sering terjadi pada fraktur non-displaced, dapat diobati secara konservatif tetapi
jika berhubungan dengan deformitas kosmetik dan fungsional, perlu ditangani
dengan pembedahan. Fraktur nasal harus ditangani tepat waktu agar menghindari
deformitas hidung sekunder mulai dari 14-50% dan obstruksi hidung kronis. Oleh
karena itu penting untuk melakukan rujukan awal dan intervensi dalam kasus
trauma hidung.2,3
Pemilihan jenis anestesi untuk reduksi tertutup ditentukan berdasarkan usia
pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan
dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi.

1
BAB
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. D
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 33 Tahun
Alamat : Aur Gading Kab. Sarolangun
Ruangan : Bedah
Diagnosis : Fraktur Nasal+Skin Loss
Tindakan : Reduksi tertutup
No. RM 982298

2.2 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Riwayat Penyakit
A. Keluhan Utama
nyeri pada hidung setelah cedera pada kecelakaan lalu lintas sejak ± 1 hari
yang lalu
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan nyeri
hidung sejak ± 1 hari yang lalu. Nyeri di hidung bertambah berat dalam
beberapa jam SMRS. Pasien merupakan rujukan dari RS Sarolangun. ± 1
SMRS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dengan kendaraan motor
vs motor, dimana saat kejadian pasien menumbur motor didepannya
dengan kecepatan lebih dari rata-rata sehingga saat terjatuh wajah pasien
membentur aspal dalam keadaan memakai helm. Wajah pasien terkena
pecahan kaca dari helm dan hidung pasien bergeser dan terdapat luka
robek. Pasien langsung dibawa ke RS setempat dan diobati namun
keluhan nyeri pada hidung pasien makin terasa memberat. Keluar darah
dari hidung (+) bengkak di hidung (+). Mual dan muntah disangkal
Pasien direncanakan dilakukan tindakan reduksi tertutup pada tanggal 7
Desember 2021 di OKE RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.

2
3

C. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat hipertensi (-)

2. Riwayat diabetes melitus (-)

3. Riwayat alergi: alergi ikan laut, alergi obat (-)

4. Riwayat sakit jantung (-)

5. Riwayat operasi sebelumnya (-)

6. Riwayat Kejang (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat Keluhan yang sama : (-)


2. Riwayat Diabetes Melitus : (-)
3. Riwayat Hipertensi : (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik :


Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15 : E4M6V5)
TD : 110/80 mmHg
RR : 26 x/menit, reguler, spontan
Nadi : 97 x/menit, reguler, adekuat
Berat Badan : 75 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Suhu : 36,7°C

1. Kepala dan leher


Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks
cahaya : (+/+)
Hidung : deviasi septum (+) hematoma (+) nyeri tekan (+) krepitasi (+)
4

Telinga : nyeri tekan tragus (-) sekret minimal


Mulut : Mallampati I, buka mulut > 3 jari, gigi komplit, gigi palsu (-)
Leher : Pembesaran KGB (-) nyeri tekan (-)
2. Thoraks
● Pulmo
o Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
o Palpasi : fremitus taktil sama kanan dan kiri
o Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
o Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
● Jantung
o Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V Linea MidclavicularisSinistra
o Perkusi : batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi : bunyi jantung I/II regular, murmur (-) gallop (-)

3. Abdomen
● Inspeksi : datar
● Auskultasi : bising usus (+) normal
● Palpasi : soepel, nyeri tekan 4 kuadran (-) nyeri lepas (-), hepar dan
lien tidak teraba
● Perkusi : timpani, shifting dullnes (-)

4. Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, CRT ≤ 2 detik, pitting edema (-)
 Inferior : Akral hangat, CRT ≤ 2 detik, pitting edema (-)
5

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium (02/12/2021)

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Darah Rutin
Hemoglobin 14,6 g/dl 13.4-15.5
Trombosit 156. 103/uL 150-450

Leukosit 9,67 103/uL 4-10


CT 4 Menit 2-6
BT 2 Menit 1-3
Glukosa Darah
GDS 109 mg/dl <200
Faal Ginjal
Ureum 19 mg/dl 15-39
Kreatinin 0,74 mg/dl 0,55 – 1,3
Faal Hati
SGOT 24 u/l 15 – 37
SGPT 30 u/l 14 – 63
Total protein 6,1 g/dl 6,4-8,2
Albumin 4,1 g/dl 3,4-5,0
Globulin 2,0 g/dl 2,4-3,5
Elektrolit
Na 139,2 mmol/L 135-147
K 3,14 mmol/L 3,5-5,0
Cl 103,5 mmol/L 95-105
Ca 1,23 (↑) mmol/L 1,00-1,15
Kesan: hipokalemia, hiperkalsemia
6

b. EKG :
Sinus Rhythm

c. Rontgen Thorax :
Cor dan Pulmo dalam batas normal
7

d. CT Scan Kepala tanpa kontras

Kesan:
 Tidak tampak perdarahan signifikan intrakranial
 Fraktur kominutif os nasal bilateral (kiri lebih berat) dengan angulasi
fragmen fraktur ke sisi kiti
 Fraktur dinding anterior sinus maksilaris kanan

e. Swab PCR : negatif


8

2.4 Pra Anestesi


● Penentuan Status Fisik ASA : ASA I
● Malampati : Mallampati I
● Persiapan Pra Anestesi :
– Informed consent keluarga
– Persiapan operasi :
✔Puasakan pasien 6 jam sebelum operasi
✔Siapkan surat izin operasi (SIO)

2.5 Laporan Anestesi Pasien


a. Diagnosis pra bedah : Fraktur nasal+skin loss pro debridement
b. Dokter Bedah : dr. Pritha, Sp.BP-RE
c. Dokter Anestesi : dr. Andi Hasyim, Sp.An
d. Jenis Pembedahan : Reduksi tertutup
e. Jenis Anestesi : General Anestesi
f. Premedikasi :
 Ondansentron 1 x 4 mg IV
 Dexametason 1 x 10 mg IV
 Ketorolac 1 x 30 mg
g. Analgetik : Fentanyl 100 mcg
h. Induksi : Propofol 150 mg
i. Muscle Relaxant : Atracurium 40 mg
j. Maintenance : Sevofluran 2% + N2O (2L) : O2 (2L)
k. Persiapan alat : STATICS
1) Scope : Stetoskop dan Laringoskop
2) Tube : Single Lumen ETT Balon no 7,5
3) Airway : Oropharyngeal Airway
4) Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
5) Introducer : Stylet (Mandrin)
6) Connector : Penyambung Pipa
7) Suction : Suction
9

l. Teknik anestesi : Anestesi Umum dengan intubasi endotracheal


 Induksi : Sempurna
 Pengaturan nafas : Kontrol
 Ventilator :
TV : 500 ml
RR : 12 x/mnt
I : E ratio :1:2
PEEP 5
Teknik Khusus : -
 Pemberian Cairan :
1) Ringer Laktat 3 x 500 ml

m. Terapi cairan perioperative


1) Maintenance (M)
BB = 75 kg → 2 ml x 75 kg =
150 cc M = 150 cc /jam
2) Pengganti Puasa (PP)
Puasa x maintenance = 6 jam x 150 cc/jam = 900 cc
3) Stres operasi (O)
O = 6 cc/kgBB
O = 6 cc x 75 kg = 450 cc

n. Jadwal pemberian cairan (lama operasi: 1 jam 30 menit)


1) Jam I = ½ PP + SO + M
= ½ (900) + 450 + 150
= 1050 cc
2) Jam II = ¼ PP + SO + M
= ¼ (900) + 450 + 150
= 825 cc → ½ (825) = 412,5 cc
Jumlah Cairan yang dibutuhkan = 1.462,5 cc
1

Estimated Blood Volume = Body Weight (Kg) x Average Blood


Volume (ml/kg)
EBV = 75 kg x 75 ml/kgbb
EBV = 5625 ml
Estimated Blood Loss = >20% EBV
EBL = 20% x 5625 ml
EBL = 1125 ml

o. Keadaan Intra Anestesi


1) Letak Penderita : Supine
2) Airway : Single Lumen ETT
3) Ukuran : 7,5 dengan balon
4) Lama anestesi : 2 jam 15 menit
5) Lama operasi : 1 jam 30 menit
6) Total Asupan Cairan :
a. Kristaloid: 1500 ml
b. Koloid : - ml
c. Darah : - ml
7) Total Keluaran Cairan :
a. Perdarahan : 50 ml (kasa) : 50 ml
b. Diuresis : 100 ml
● Perubahan teknik selama operasi : Tidak ada

Monitoring
Jam TD Nadi RR SpO2
Keterangan
(WIB) (mmHg) (x/menit) (x/menit) (%)
 Pasien masuk ke kamar
operasi, dan dipindahkan
12.00
ke meja operasi
 Pasien diposisikan
1

telentang

 Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi,
12.10 120/80 78 24 98% saturasi oksigen.
 Diberikan cairan RL 1 kolf
dan obat premedikasi
 Pasien dipersiapkan
untuk induksi
 Dilakukan
preoksigenasi dengan
sungkup 3-5 menit
 Pasien diberikan
analgesik fentanyl 100
mcg, induksi dengan
12.20 120/80 75 21 98%
propofol 150 mg, cek
reflex bulu mata
 Kemudian pasien di
bagging dan diberikan
oksigen, lalu diberi
relaksan (atracurium 40
mg) untuk
memfasilitasi intubasi

 Setelah mencapai
onset of action muscle
relaxant dilakukan
intubasi dengan ETT
12.30 85/60 67 12 99%
no. 7,5
 Dilakukan auskultasi
di kedua lapang paru
untuk mengetahui
1

apakah ETT terpasang


dengan benar.
 ETT di hubungkan
dengan ventilator.
 ETT difiksasi dengan
plester.
 Dilakukan
pemasangan kateter
urin

12.30 88/60 64 12 99%  Operasi dimulai.

12.45 83/61 66 12 99%  Kondisi terkontrol

 Kondisi terkontrol
13.00 99/60 87 12 100%  Diberikan cairan RL kolf
ke II

13.15 100/65 82 12 100%  Kondisi terkontrol

 Kondisi terkontrol
13.30 96/60 90 12 100%  Diberikan cairan RL kolf
ke III

13.45 100/62 88 12 100%  Kondisi terkontrol

14.00 103/60 90 12 100%  Operasi selesai

 Pasien di ekstubasi
 Pasien napas spontan
14.10  Dilakukan suction
 Refleks batuk ada
 Pelepasan alat monitoring
 Pasien sadar
14.15  Pasien dipindahkan ke
recovery room
1

Ruang Pemulihan
Masuk Jam : 14.15 WIB

Keadaan Umum : Kesadaran: Compos Mentis, E4V5M6 GCS: 15


Tanda vital : TD : 130/80 mmHg
Nadi :105 x/menit
RR : 22 x/menit
Pernafasan : Baik

 Scoring Aldrete:

Aktivitas 2
Pernafasan 2

Warna Kulit 2

Sirkulasi 2

Kesadaran 2

Jumlah 10

Instruksi Post Operasi:

1) Monitoring KU, tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit

2) Tidur tanpa bantal 24 jam

3) Puasa sementara sampai sadar penuh

4) Elevasi kepala dan pertahankan tampon

5) Terapi selanjutnya disesuaikan dengan operator yaitu dr. Pritha, Sp.BP-


RE
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Fraktur Nasal

3.1.1 Definisi dan epidemiologi


Fraktur nasal merupakan jenis fraktur tulang fasial yang paling umum
sebanyak 40% hingga 50% kasus. Fraktur nasal biasanya terkait dengan serangan
fisik, jatuh, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas. Trauma nasal mungkin
merupakan cedera yang terisolasi atau dapat terjadi dalam kombinasi dengan
cedera jaringan lunak lainnya, dan cedera tulang fasial lainnya. Penonjolan tulang
nasal dan lokasi sentral di wajah merupakan predisposisi cedera nasal. Fraktur
nasal ditemukan dua kali lebih umum pada pria dibandingkan dengan wanita.
Meskipun fraktur nasal cenderung menjadi jenis yang paling umum dari fraktur
fasial, mereka mungkin berhubungan dengan fraktur kompleks zygomatic-orbital
dan fraktur dasar tengkorak. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur nasal adalah setiap retakan atau patah
yang terjadi pada bagian tulang nasal. Fraktur nasal sering berupa fraktur
sederhana, tetapi komunitif dan dapat disertai dengan luka terbuka pada kulit luar
hidung.2,3

3.1.2 Patofisiologi
Tipe dan berat-ringannya fraktur nasal tergantung pada kekuatan, arah, jenis
dan mekanisme trauma. Objek yang kecil dengan kecepatan tinggi akan
menimbulkan kerusakan yang hebat dibandingkan dengan objek besar tapi
kecepatan rendah. Mekanisme terjadinya fraktur nasal harus dipahami dengan
benar agar penatalaksaannya dapat dilakukan dengan tepat. Pada penderita dewasa
muda cenderung lebih mudah terjadi dislokasi, pada orang tua cenderung terjadi
fraktur komunitif sedangkan pada anak umumnya terjadi terjadi fraktur greenstick.
Avulsi dan dislokasi kartilago nasalis lateralis superior os nasal dan septum akan
menyebabkan cekungan pada pertengahan dorsum nasi. Hal tersebut dapat
mengakibatkan robekan arteri yang keluar antara os. nasal dan kartilago sehingga
dapat terjadi hematom dorsum nasi. Fraktur nasal sering disertai cedera septum.3,4

14
1

Cedera septum nasi dapat berupa fraktur sederhana, dislokasi atau fraktur
komunitif yang dapat menyebabkan deformitas dan disfungsi hidung berupa
obstruksi jalan napas. Bagian tipis septum yang cenderung mudah terjadi fraktur
adalah kartilago quadrangularis dan lamina perpendikularis os etmoid. Fraktur
inkomplet pada septum menyebabkan lepasnya artikulasi kartilago sehingga kelak
dapat menimbulkan gangguan pada pusat pertumbuhan dan menyebabkan
deformitas. Trauma anterior menyebabkan fraktur apeks nasi, dorsum nasi
menjadi rata dan melebar disebut saddle nose dan deformitas septum. Saddle nose
diklasifikasikan atas dua yaitu anterior, bila yang terlibat adalah bagian kartilago,
posterior bila yang terkena bagian tulang. Karakteristik saddle nose adalah
berkurangnya tinggi dorsum nasi, istilah lainnya adalah pug nose atau boxers
nose. Saddle nose menyebabkan berbagai derajat sumbatan hidung. Trauma
inferior menyebabkan pola fraktur yang lebih kompleks disertai faktur dan
dislokasi septum. Tipe fraktur nasal antara lain berupa tipe fraktur depresi yaitu
apabila kekuatan trauma dari frontal cukup besar sehingga menyebabkan open
book fracture dimana septum menjadi kolaps dan os. nasal melebar. Bahkan pada
kekuatan trauma yang lebih kuat dapat menyebabkan fraktur komunitif os. nasal
dan pros. frontalis os maksila menjadi rata dan dorsum nasi menjadi lebar, tipe
fraktur angulasi atau fraktur bilateral yaitu trauma dari arah lateral yang dapat
menyebabkan fraktur depresi unilateral sisi trauma atau dapat juga pada kedua sisi
os. nasal dan deviasi septum serta fraktur greenstick yang banyak terjadi pada
anak.4

Gambar 1. Contoh pola fraktur nasal.3


1

3.1.3 Klasifikasi
Fraktur nasal dapat diklasifikasikan pada skala yang menggambarkan
tingkat keparahan cedera. Fraktur nasal terisolasi biasanya disebabkan oleh trauma
kecepatan rendah. Jika hidung retak oleh trauma kecepatan tinggi maka sering
disertai fraktur fasial.2,3
Klasifikasi trauma nasal
Tipe 1 : Cedera terbatas pada jaringan lunak
Tipe IIa : Simple, unilateral nondisplaced fracture
Tipe IIb : Simple, bilateral nondisplaced fracture
Tipe III : Simple, displaced fracture
Tipe IV : Closed comminuted fracture
Tipe V : Open comminuted fracture atau complicated fracture
3.1.4 Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma tumpul pada midface,
mekanisme terjadinya cedera dan waktu terjadinya trauma serta
memperkirakan arah dan besarnya kekuatan dari benturan yang terjadi
sangatlah penting. Perlu ditanyakan pula apakah fraktur nasal terjadi karena
kecelakaan bermotor, perkelahian dengan atau tanpa senjata, atau karena
terjatuh. Objek trauma yang berbeda menyebabkan pola patologis yang timbul
berbeda pula. Misalnya pukulan akibat perkelahian umumnya dari arah lateral
dengan energi rendah dapat menyebabkan fraktur depresi pada dinding
ipsilateral, out fracture pada sisi kontralateral dan sering menyebabkan
deformitas septum. Arah trauma dari frontal yang disebabkan karena
kecelakaan bermotor umumnya melibatkan kekuatan energi tinggi, sehingga
menyebabkan cedera yang lebih berat berupa fraktur komunitif dan deformitas
septum. Waktu terjadinya cedera, penting untuk ditanyakan. Hal ini berkaitan
dengan prosedur penatalaksanaan dan prognosis hasil pengobatan. Bila cedera
baru saja terjadi, edema masih belum banyak sehingga pemeriksaan fisik dan
manipulasi mudah dikerjakan, teknik reduksi tertutup adalah prosedur yang
paling ideal dikerjakan. Sedangkan bila datang terlambat dimana edema sudah
banyak terjadi maka pemeriksaan fisik
1

menjadi lebih terbatas karena menutupi garis deformitas hidung dan krepitasi.
Dalam hal ini reposisi sebaiknya ditunda 3-5 hari sampai edema berkurang
sehingga evaluasi dapat dilakukan secara lebih detail. Perlu ditanyakan juga
riwayat medis sebelumnya apakah pernah mengalami fraktur sebelumnya atau
pernah menjalani operasi hidung sebelumnya. Alkohol sering berhubungan
dengan fraktur nasal maka dapat pula ditanyakan perihal konsumsi alkohol
sebelum cedera.
Keluhan utama fraktur hidung adalah rasa nyeri di hidung setelah cedera,
hidung tersumbat, keluar darah dari hidung, dan edema atau hematoma di
hidung dan sekitarnya.2,3,5
Tabel 1. Diagnosis Fraktur Nasal7

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum dilakukan untuk menyingkirkan kondisi yang parah
dan mengancam jiwa.
Inspeksi Hidung dan Wajah
Terdapat deformitas dan pembengkakan, ekimosis, epistaksis, bentuk
hidung: hilangnya proyeksi anterior hidung dengan peningkatan jarak
interkantal menunjukkan fraktur naso-orbital-ethmoid, gerakan mata: fraktur
ledakan dapat menyebabkan jebakan otot ekstraokular
1

Palpasi
Terdapat nyeri tekan: Pelebaran ujung hidung dan sumbatan hidung dapat
menunjukkan hematoma septum, deformitas, krepitasi, pelepasan pinggir
orbital, parestesia infraorbital
Pemeriksaan Nares
 Elevasi ujung hidung untuk melihat hidung yang jelas
 Gunakan lampu depan/spekulum hidung tudicums atau otoskop/spekulum
 Pembengkakan pada septum yang dengan cotton bud, dan berwarna
biru/ungu adalah hematoma septum seta memerlukan drainase darurat
 Adanya cairan hidung yang jernih dapat mengindikasikan kebocoran CSF
dari fraktur tengkorak basal terkait
 Ketidakstabilan bagian tengah wajah atau maloklusi gigi merupakan
indikasi fraktur Le Fort bagian tengah
Setelah memastikan kondisi pasien stabil, airway bebas dan ventilasi
adekuat maka pemeriksaan fisik dapat dilakukan. Pemeriksaan fisik paling
akurat dilakukan sebelum timbul edema yaitu sekitar 2-3 jam setelah cedera.
Pemeriksaan tidak boleh terfokus hanya pada hidung saja, terutama apabila
penyebab traumanya hebat seperti pada kecelakaan bermotor. Hal ini
disebabkan karena pada trauma hebat, fraktur nasal sering disertai cedera
kepala-leher yang dapat membahayakan patensi trakea. Oleh karena itu
sebelum melakukan pemeriksaan fisik harus dipastikan airway dan ventilasi
dalam keadaan adekuat. Trauma pada midface kemungkinan dapat juga
disertai dengan fraktur struktur hidung lainnya seperti mandibula, arkus
zigoma, dan gigi. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi dan harus
dilakukan secara hati-hati. Inspeksi untuk melihat adakah laserasi mukosa
nasal, adakah kartilago atau tulang yang terekspose, edema dan deformitas
hidung, perubahan patologis warna kulit, kesimetrisan dan gerakan bola
mata. Palpasi untuk mencari iregularitas tulang, dan pergerakan fragmen
fraktur atau krepitasi.
1

Pemeriksaan intranasal dapat dengan rinoskopi anterior apabila tidak


mempunyai fasilitas endoskopi. Evaluasi mukosa cavum nasi, posisi septum
nasi dan mencari adakah hematom septum. Pemeriksaan dapat dimulai dari
distal ke proksimal. Fraktur nasal dapat disertai epistaksis, nyeri, edema,
sumbatan hidung dan perdarahan subkonjungtiva, sedangkan tanda yang
lebih spesifik adalah ditemukannya krepitasi, laserasi mukosa hidung,
fraktur atau dislokasi septum. Adanya krepitasi pada jaringan lunak
menunjukan bahwa cedera lebih berat. Bentuk hidung sebelum cedera dapat
membantu memperkirakan seberapa berat cedera yang terjadi. Pada fraktur
nasal apabila penderita datang setelah timbul edema maka pemeriksaan dan
reposisi ditunda dulu. Untuk sementara penderita dapat diberikan analgesik
dan berobat jalan sambil diinstruksikan agar beristirahat, kompres es dan
menjaga elevasi kepala. Follow-up, evaluasi, dan penanganan baru dapat
dilakukan setelah edema berkurang, umumnya terjadi dalam 3-5 hari.
Reposisi harus segera dilakukan dalam waktu 5-10 hari setelah cedera.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan untuk fraktur hidung terisolasi jarang diperlukan. CT scan
dilakukan untuk dugaan cedera kepala, fraktur tengkorak basal atau cedera
wajah kompleks. CT Scan memiliki sensitifitas dan spesifitas lebih besar
untuk diagnosis fraktur nasal. Namun biayanya relatif lebih mahal,
mempunyai efek samping radiasi yang lebih besar dan tidak begitu besar
perannya dalam penatalaksanaan fraktur nasal. CT Scan digunakan untuk
menilai sejauh mana cedera tulang yang terjadi. Potongan CT Scan yang
paling tepat untuk mengevaluasi midfacial, orbital dan sinus frontalis adalah
potongan koronal dan aksial. Untuk cedera yang lebih luas yang melibatkan
nasoorbitoetmoid kombinasi potongan koronal dan aksial serta CT Scan tiga
dimensi sangat direkomendasikan untuk mengetahui lokasi fraktur dan
pergeseran fragmen fraktur. 2,3,5,6
2

3.1.5 Penatalaksanaan
Sebelum dilakukan tindakan, penting halnya untuk memberikan informed
concent berupa penjelasan tentang prosedur teknik operasi yang akan dipilih,
risiko operasi, termasuk kemungkinan cacat persisten. Tujuan dari
penatalaksanaan fraktur nasal adalah mengembalikan fragmen fraktur kembali ke
posisi seanatomis mungkin dan menghindari komplikasi jangka panjang. Terapi
fraktur nasal sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain usia pasien, waktu
terjadinya cedera, waktu reposisi, pilihan anestesi dan teknik reposisi. Diperlukan
kehati-hatian dalam menentukan klasifikasi fraktur nasal karena untuk
menentukan prosedur teknik yang nantinya akan dipilih. Fraktur sederhana tanpa
perpindahan fraktur tidak memerlukan penanganan khusus, sedangkan pada kasus
lain mungkin diperlukan reposisi baik tertutup atau terbuka. Prosedur
penatalaksanaan fraktur nasal. Pertamakali yang harus dilakukan adalah
mengontrol perdarahan bila terjadi epistaksis. Laserasi atau luka terbuka harus
dibersihkan dan dilakukan debridement atau bila perlu dilakukan penjahitan. Bila
didalam evaluasi tidak ditemukan deformitas sebaiknya tidak dilakukan
manipulasi terlalu jauh dan tidak perlu digips. Sebaliknya bila ditemukan
deformitas maka reposisi harus segera dilakukan.
Jika terdapat cedera jaringan lunak, luka hidung dibersihkan dan benda
asing dikeluarkan. Laserasi kecil dapat ditutup dengan strip pita bedah berpori
atau dengan jahitan halus. Jika terdapat fraktur hidung, pengurangan patah tulang
hidung tidak selalu diperlukan. Jika tidak ada fraktur, atau tidak ada deformitas
atau pasien dengan deformitas minor maka tidak ada yang perlu dilakukan. Jika
terdapat pembengkakan, pasien harus dinilai ulang setelah 5 sampai 7 hari.
Manipulasi tidak boleh ditunda lebih dari 2 minggu setelah cedera karena tulang
hidung sembuh dan terfiksasi: manipulasi pada tahap ini akan sulit atau tidak
mungkin. Setelah waktu ini, hanya septorhinoplasty formal yang dapat dilakukan.
Hematom septum disebabkan oleh pengumpulan darah di bawah lapisan
mukoperikondrium septum hidung. biasanya muncul dengan nyeri dan sumbatan
hidung dengan pembengkakan berawa pada septum. Jika tidak ditangani hal ini
dapat menyebabkan abses septum, nekrosis tulang rawan dan bahkan deformitas
pelana hidung dapat terjadi. Aspirasi dengan spuit dan jarum mungkin cukup.
2

Beberapa kasus mungkin memerlukan drainase formal di ruang operasi dengan


penyisipan saluran kecil atau penggunaan jahitan quilting (untuk menghilangkan
ruang mati) untuk mencegah ingatan. Jika terdapat kebocoran cairan serebrospinal
(CSF) Rhinorrhea yang jelas setelah trauma hidung harus meningkatkan
kecurigaan kebocoran CSF. Pelat cribriform adalah tulang tipis dan area yang
mungkin retak. Konfirmasi diagnosis diperoleh dengan mengirimkan sampel cairan
bening untuk uji beta-2 transferin. CT resolusi tinggi dapat membantu
menggambarkan fraktur. Reduksi anestesi umum
Pasien perlu diperiksa dalam waktu 5 sampai 7 hari setelah cedera untuk
memberikan waktu yang cukup untuk meredakan pembengkakan hidung.
Reduksi tertutup biasanya untuk fraktur noncomminuted sederhana. Segmen
tulang hidung yang tertekan dapat dikurangi dengan menggunakan elevator.
Sebagai alternatif, forsep Walsham dapat dimasukkan ke dalam rongga hidung
dan diputar ke samping untuk mematahkan tulang. Sebuah kekuatan dalam arah
yang berlawanan dapat memanipulasi secara digital segmen-segmen yang
dipindahkan secara lateral dari piramida tulang. Garis fraktur harus dilebarkan
terlebih dahulu dan kemudian ditutup terutama jika tulang saling tumpang tindih.
Perhatikan septum hidung di jika memungkinkan, dasar septum harus diposisikan
ulang ke dalam alur vomerine. Sebagian besar reduksi tertutup tidak memerlukan
bidai internal, kecuali pada fraktur kominutif, dislokasi septum, dan tulang hidung
yang kolaps ke dalam.2,3,5,6

Gambar 2. Reduksi tertutup dengan menggunakan forsep Asch6


2

Deformitas hidung akibat fraktur direduksi dengan Forsep Walsham


penggunaanya satu sisi dimasukkan dalam kavum nasi dan sisi lain di luar hidung
diatas kulit yang dilindungi dengan karet. Tindakan manipulasi dilakukan dengan
kontrol palpasi jari. Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi tulang
hidung dengan forsep Ash digunakan dengan cara memasukkan masing-masing
bilah ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi
forsep. Sesudah fraktur tulang hidung dikembalikan pada keadaan semula
dilakukan pemasangan tampon dalam rongga hidung untuk menghindari
terjadinya kolaps setelah reduksi tertutup serta menunjang struktur yang fraktur
secara internal. Tampon dilumuri dengan salep antibiotika dan dibuka setelah 2-5
hari.

3.1.6 Prognosis
Secara umum prognosis fraktur nasal sederhana tanpa komplikasi adalah
baik dan dapat sembuh dalam waktu 2 sampai 3 minggu dengan memberikan hasil
kosmetik dan fungsi hidung yang cukup baik. Komplikasi kosmetik jangka
panjang dapat terjadi sesudah reposisi tertutup atau terbuka. Komplikasi kosmetik
ini juga dapat disebabkan karena hematom septum yang tidak ditangani dengan
baik. Apabila terjadi malunion atau deformitas dapat dilakukan reduksi atau
rekontruksi lebih lanjut bergantung berat ringannya cedera dan faktor
kesulitannya. Septorinoplasti merupakan prosedur standart yang dilakukan pada
kasus reposisi fraktur nasal yang gagal atau yang terlambat ditangani.2,3
2

3.2 Anestesi Umum (General Anestesi)

Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara
yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesi.Rees dan Gray membagi anestesi umum menjadi tiga komponen yaitu
hipnotika, anelgesia dan relaksasi. Ketiga komponen anestesia ini sering disebut
dengan trias anestesia.1
3.2.1 Persiapan pra anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1- 2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:1,8

1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai


dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa


kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas
2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan


sedang sebagai akibat kelainan bedah atau prosespatofisiologis.
Angka mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas


harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam


jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi
fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
2

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi


hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam
tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil


(didonorkan)

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari


kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.1,8

Pemeriksaan preoperasi anestesi


A. Anamnesis

1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi


penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis
(asma bronkhial,pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi,
dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yangsedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan
obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.

5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,


jenispembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesiseperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.

8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,


pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin,psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.9
2

B. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan, keadaan gizi : malnutrisi


atau obesitas
2. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
3. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhutubuh.
4. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi.
5. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung

6. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi

7. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau


tanda regurgitasi.

8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,


adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional.9
C. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

1. Pemeriksaan rutin :

a. Pemeriksaan laboratorium darah

b. Urine : protein, sedimen, reduksi

c. Foto rontgen ( thoraks )

d. EKG
2

2. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :

a. Spirometri pada tumor paru

b. Tes fungsi hati pada ikterus

c. Fungsi ginjal pada hipertensi

d. AGD, elektrolit.9

Masukan Oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi


isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air
putih,teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi. 9

3.2.2 Premedikasi
Pemberian premedikasi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan
dan bangun dari anestesia, diantaranya: 9,10

1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.


2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
5. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : atracurium
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
2

3.3 Intubasi

3.3.1 Definisi
Intubasi dibagi menjadi intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke
dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga
ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal
melalui nasal dan nasofaring ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.1

3.3.2 Tujuan

Intubasi bertujuan untuk:11

1. Mempermudah pemberian anestesi.

2. Mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan


kelancaran jalan napas.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung.

4. Mempermudah pengisapan secret trakeobronkial.

5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

6. Mengatasi obstruksi laring akut.

3.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi


Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan
saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
meminimalkan risiko aspirasi, proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak
adekuat, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,
memungkinkan berbagai posisi menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea
selama operasi saluran napas, operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan
positif paru, misalnya torakotomi, penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi
kontrol yang lama, operasi daerah kepala, leher atau jalan napas atas.11
2

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan


menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Intubasi nasotrakeal pada saat ini
sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan
tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Kontraindikasi intubasi
nasotrakeal adalah untukpenderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas,
makin mudah mengikutialiran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain
dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada
tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.11

3.3.4 Kesulitan Intubasi


Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi
seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi
akses jalan napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan
gigi; gigiterutama ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi
dari orofaringyang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi
Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien
duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.12,13

Gambar 3. Mallampati
2

Klasifikasi Mallampati :
 Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
 Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
 Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
 Mallampati 4 : Palatum durum saja

Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya


diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit. Selain
sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi
prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas.10,11

3.3.5 Persiapan Intubasi


Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT
sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Berhasilnya intubasi
sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang
anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pinggang selama
laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi
rutin. Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100 %.10

Persiapan alat untuk intubasi antara lain :


STATICS

Scope

Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop


untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat
laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan
benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.

b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa


3

Tube

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil klorida. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia
lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk
dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun
tidak menggunakan kaf(cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan
kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil
dapat membuat traumaselaput lendir trakea dan postintubation croup.13

Tabel 1. Pipa Trakea dan peruntukannya


(Endotracheal Tube (Breathing Tube))

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
3

Airway

Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso- tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.8,13

Gambar 4. Oropharyngeal dan Nasopharyngeal Airways

Tape

Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
Introducer

Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.
Connector

Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anesthesia.
3

Suction

Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.

Gambar 5. STATICS

3.3.6 Cara Intubasi


Intubasi Endotrakeal

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop


dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut
kanan dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke
dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan
terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan
tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita
suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.8,10

Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan


melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu,
sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke
posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Ventilasi
atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan
tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkandan daun laringoskop
dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.10
3

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu


ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara
nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di
pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan
terdapat tanda‐tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas
kiri, kadang‐kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan
tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti
ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila
terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster
akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang‐ kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan
nampak semakin membiru.Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi
dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.10

Gambar 6. Auskultasi Suara Napas Setelah Dilakukan Intubasi


3

3.4 Medikasi

Pada kasus ini digunakan medikasi :

Fentanil

Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai


tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik. Fentanil
menyediakan stabilitas jantung dan stress yang berhubungan dengan hormonal,
yang berubah pada dosis tinggi. Dosis 100 mg (w.o ml) setara dengan aktifits
analgesik 10 mg morfin. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja
kurang lebih 30 menitsetelah dosis tunggal IV 100mg. Fentanil bergantung dari
dosis dan kecepatan pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis
dan bradikardi. Seluruh efek dari kerja fentanil secara cepat dan secara penuh
teratasi dan hilang dengan menggunakan narkotik antagonis seperti Naloxone.
Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat dan durasi yang
lebih singkat dibanding morfin. Semakin tinggi potensi dan onset yang lebih cepat
mengakibatkan Lipid solubility meningkat lebih baik daripada morfin, yang
memudahkan perjalanan obat menuju sawar darah otak. Dikarenakan durasi dan
kerjadosis tunggal fentanil yang cepat, mengakibatkan distribusi ke jaringan yang
tidak aktif menjadi lebih cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini
menjadi dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma.

Fentanil dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi


Norfentanil yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi fentanil pada
ginjal dan terdeteksi pada urine dalam 72 jam setelah dosis tunggal IV dilakukan.
Cepat di metabolisme di hati, dan kurang lebih 75% dosis yang diberikan di
eksresikan dalam 24 jam dan hanya 10% tereliminasi sebagai obat yang tidak
berubah.Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi dari paruh
waktu lebih panjang dari morfin. Ini dikarenakan fentanil mempunyai Lipid
solubility yang lebih baik yang menyebabkan perjalanan cepat menuju jaringan.
Eliminasi paruh waktu pada orang tua lebih panjang, dikarenakan klirens opiodi
berkurang, disebabkan menurunnya aliran darah hepatik.
3

Fentanil diberikan untuk analgesik narkotik, sebagai tambahan pada general


atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan neuroleptik (droperidol)
sebagai premedikasi,untuk induksi, sebgai tambahan pemeliharaan general
anestesi maupun regional anestesi. Fentanyl digunakan secara luas, contohnya
dosis injeksi 1 – 2 mcg / kg IV memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 mcg/kg IV,
biasanya digunakan untuk tambahan pada inhalasi anastetik untuk membantu
menurunkan respon sirkulasi, digunakan dengan, Laryngoskopi untuk intubasi
trakea atau Stimulasi operasi yang tiba – tiba. Dosis pemberian fentanyl sebagai
berikut:

Sebagai tambahan untuk general anestesi:


1. Dosis rendah, 2 mcg / kg berguna untuk operasi minor

2. Dosis sedang, 2- 20 mcg /kg dimana operasi menjadi lebih rumit dan dosis
besar dibutuhkan
3. Dosis tinggi, 20 – 50 mcg/kg dalam prosedur bedah mayor, dimana waktu
tempuh lebih lama dan respon stress operasi lebih tinggi, dosis 20 – 50
fentanyl dengan N20 telah menjadi pilihan. Bila dosis seperti ini telah
digunakan observasi ventilasi posoperatif seperti diperlukan dimana
kemungkinan depresi ventilasi postoperatif memanjang.
4. Sebagai Agent anestetik
Jika respon stress dari operasi sangat perlu diturunkan, dosis 50 – 100 mg /
kg mungkin dapat diberikan dengan oxigen dan muscle relaxant. Teknik ini
memberikan anestesi tanpa perlu menambah anestesi lain dalam beberapa
kasus dosis lebih dari 150 mg / kg mungkin diperlukan untuk menyediakan
efek anestesi tersebut, telah banyak digunakan untuk bedah jantung dan
operasi lain yang memerlukan proteksi miokard dari kelebihan kebutuhan
akan oksigen.

Efek samping fentanyl meliputi depresi ventilasi yang persisten


maupun rekuren. Fentanil yang bersequesterasi bisa diabsorbsi kembali
dari usus halus kembali ke sirkulasi dan meningkatkan konsentrasi
plasma menyebabkan depresiventilasi.
3

Propofol

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan


emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25%
glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih
cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih
baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah
postoperasi.

Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan


anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat
ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam
keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit
berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.

Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.


Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai
plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti


selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan
venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi
efek ini disebabkankarena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung.
Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.

Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya


adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit.
Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal
pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat
konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh
total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya
3

melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim


hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat- obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan
intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari
tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,


apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, dan hipertensi. Pada susunan syaraf
pusat adanya sakit kepala, pusing, dan kebingungan. Pada daerah penyuntikan
dapat terjadinyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50
mg).

Atracurium
Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non-depolarisasi dari
golonganbenzylisoquinolinium bisquaternary, atracurium memiliki mula kerja 3-
5 menit dandurasi kerja 20-35 menit. Tempat kerja atracurium seperti halnya
obat-obat pelumpuhotot nondepolarisasi yang lain adalah reseptor kolinergik
prasinaps dan paskasinaps.Atracurium juga menyebabkan penghambatan otot-
saraf secara langsung denganmempengaruhi aliran ion melalui kanal reseptor-
reseptor kolinergik nikotinik. Diperkirakan 82% atracurium terikat dengan
plasma protein terutama albumin.Atracurium didesain untuk didegradasi spontan
in vivo (eliminasi Hoffman) pada temperatur tubuh dan pH normal.
Terpaparnya atracurium terhadap larutan alkali sebelum masuk ke sirkulasi
secara teori akan mengakibatkan kerusakan dini pada obat. Potensi atracurium
yang disimpan di temperatur ruangan akan menurun sekitar 5% setiap 30 hari.
Atracurium mengalami degradasi spontan non-enzimatis pada temperatur
tubuh dan pH normal yang dikenal sebagai eliminasi Hofmann. Masa kerja
atracurium tidak berbeda diantara pasien normal dan pasien-pasien dengan
penurunan fungsi ginjal dan hati serta pasien dengan kelainan cholinesterase
plasma yang atipikal. Konsistensi dari mula kerja hingga masa pulih setelah dosis
tambahan atracurium berulang merupakan karakteristik dari obat ini dan
3

menunjukkan tidak terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan. Tidak


terdapatnya obat yang signifikan karena bersihan atracurium yang cepat dari
plasma yang mana tidak tergantung pada fungsi renal dan hepar.

3.5 Pemeliharaan
a.
Nitrous Oksida (N2O)

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang
kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini
tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalamkombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
b.
Sevoflurane

Sevoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna tanpa


stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa. Tidak terlihat
adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun panas. Sevoflurane
bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat serta pemulihan yang cepat
setelah obat dihentikan. Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat
anestesi inhalasi termasuk reticulat activating system, cerebral cortex, cuneate
nucleus, olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level dorsal horn
interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmisi rasa sakit.
3

3.5.1 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi, mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.11
Pemberian cairan operasi dibagi :

a. Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,


penghisapanisi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstruktif,perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10
Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.

b. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan


pada dewasa untuk operasi :

Ringan = 4 ml/kgBB/jam.

Sedang = 6 ml/kgBB/jam

Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 20
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan
lebih dari 20 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.

c. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama


operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
4

3.6 Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan


anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untukobservasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan


perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara
Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien
anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang
dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang pasien, Tn. D usia 33 tahun dengan diagnosa fraktur nasal dan
skin loss. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien direncanakan menjalani
operasi reduksi tertutup dengan general anestesi. Berdasarkan pemeriksaan
preoperative diketahui bahwa pasien tidak ada riwayat penyakit saluran
pernapasan, riwayat penyakit kardiovaskular, dan tidak ada riwayat alergi obat,
namun pasien alergi terhadap ikan laut. Pasien dalam keadaan stabil.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pasien di konsulkan ke bidang
anestesi diperoleh hasil pemeriksaan didapatkan pasien dalam kategori ASA I,
dengan mallampati I. Sebelum jadwal operasi dilaksanakan, dipuasakan 6 jam
sebelum operasi, mempersiapkan SIO (Surat Izin Operasi).

Pembahasan:
a. Pra Anestesi

Di ketahui bahwa pasien usia 34 tahun mengalami fraktur nasal, direncanakan


tindakan reduksi tertutup yang akan dilakukan pada tanggal . Sebelum tindakan
pembedahan dilaksanakan, 2 jam sebelumnya pada tanggal 7 Desember 2021 telah
dilakukan kunjungan pra anestesi. Berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan
preoperative tersebut dan berdasarkan pemeriksaan status anestesi pasien, pasien
digolongkan pada ASA I sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut
The American Society of Anesthesiologist, yaitu pasien sehat fisik, psikis dan
biokimia tanpa disertai penyakit sistemik.

Pasien juga dipuasakan selama 6 jam, pasien puasa mulai jam 02.00 WIB.
Pasien preoperasi dipuasakan dengan tujuan untuk meminimalkan risiko
regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas.

41
4

b. Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :

1) Jam I = ½ PP + SO + M
= ½ (900) + 450 + 150
= 1050 cc
2) Jam II = ¼ PP + SO + M
= ¼ (900) + 450 + 150
= 825 cc → ½ (825) = 412,5 cc

Jumlah Cairan yang dibutuhkan = 1.462,5 cc

Selama operasi jumlah cairan yang diberikan adalah:


● Total Asupan Cairan :
o Kristaloid : 1500 ml
o Total : 1500 ml
Kebutuhan cairan selama operasi sudah terpenuhi.

● Total Keluaran Cairan :


o Perdarahan : 50 ml
o Diuresis : 100 ml
o IWL : (15 x 75 kg) / 24 jam = 46,9 x 1,5 jam = 70,4 ml
o Total : 220,4 ml

Balance cairan : Input – Output = 1500 ml – 220,4 ml = +1279,5 ml


c. Tindakan premedikasi
Kurang lebih lima belas menit sebelum di lakukan induksi anestesi, pasien
diberikan obat ondasentron 4 mg, dexametason 10 mg secara intravena dan
Ketorolac 30 mg untuk mengurangi postoperative nausea and vomiting (PONV)
yaitu gejala mual muntah pascaoperasi yang merupakan kondisi yang sering
terjadi serta mengganggu pasien. Mekanisme kerja obat ondansetron adalah
4

mengantagonisasi reseptor 5HT-2 yang terdapat pada Chemoreseptor Trigger Zone


di area postrema otak dan pada aferen vagal saluran cerna.
Berdasarkan teori, tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum
induksi bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia
diantaranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah danbronkus, meminimalkan jumlah
obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, mengurangi isi cairan
lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.

d. Tindakan induksi anestesi

Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara intravena,
inhalasi, intramuscular atau rectal.

Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada pasien yang
dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur intravena. Obat induksi yang
dibolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik.

Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general


anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan
inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Fentanyl 100 mcg, Propofol 150
mg, dan Atracurium 40 mg, serta pemasangan ETT no 7,5 dengan dosis
pemeliharaan menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O: O2.

Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien


dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi.
Obat- obatan yang sering digunakan untuk induksi antar lain tiopental, propofol
dan ketamin. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yangdidistribusikan
dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk
induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 412mg/Kg/jam
dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping propofol
pada sistem
4

pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu, bronkospasme,dan laringospasme.


Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,kebingungan,
gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah. Pada daerah penyuntikan
dapat terjadi nyeri. Pada pasien ini dosis propofol sudah tepat.

Pada pasien ini diberikan fentanyl 100 mcg, dimana berdasarkan teori golongan
opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan dalam
dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestsia opioid
digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb. Dosis pada pasien ini sudah
tepat.

e. Rumatan anestesi

Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena, atau dengan


inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada pasien ini rumatan anestesi
diberikan secara inhalasi O2 + N2O + sevofluran.

Oksigen diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi


dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik
lemah tetapi analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi
dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane. Efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian
dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan oleh tubuh.
f. Tindakan Intubasi

Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot. Pada kasus
ini, atracurium di berikan sebanyak 40 mg. Dosis atracurium berdasarkan berat
badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/IV pada pasien ini yaitu 37,5-45 mg. Atracurium
besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari
tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskular secara bermakna.

Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang dibutuhkan
untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit. Pada pasien ini
intubasi
4

berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher tidak pendek, gigi depan tidak
menonjol, dan mallampati I karena terlihat sebagian uvula, palatum mole, serta
arkus faring).

g. Pemantauan selama operasi

Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan dan didapatkan hasil sebagai


berikut:

SpO2
Jam (WIB) TD (mmHg) Nadi (x/menit) RR (x/menit)
(%)

12.00

12.10 120/80 78 24 98%

12.20 120/80 75 21 98%

12.30 85/60 67 12 99%

12.30 88/60 64 12 99%

12.45 83/61 66 12 99%

13.00 99/60 87 12 100%

13.15 100/65 82 12 100%

13.30 96/60 90 12 100%

13.45 100/62 88 12 100%

14.00 103/60 90 12 100%

14.10

14.15
4

h. Ekstubasi

Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada pasien.


Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali
menimbulkan kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi umumnya
dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan tidak terjadi
spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari
sekret dan cairan lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan
dimana ekstubasi dilakukan ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien sudah
mulai bernafas spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.
i. Ruang Pemulihan (RR)
Pasien masuk ke ruangan pemulihan pada Jam 14.15 WIB dengan Keadaan
Umum, Kesadaran CM, GCS:15 TD: 130/80 mmHg, N: 105x/i, RR: 22x/i tidak
ada sesak. Selama pemantauan pasien dalam keadaan stabil. Pasien diberi obat
tambahan yaitu ketorolac 30 mg, di dalam RL 500 ml bertujuan sebagai analgetik.
Pasien juga diberi ceftriaxone 2 gr IV untuk mencegah terjadinya infeksi yang
mungkin berkembang setelah operasi. Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah
mencapai skor Aldrete lebih dari 8.Skoring Aldrete pada pasien ini adalah 10.
Selanjutnya pasien dipindahkan ke ruang perawatan bangsal bedah dengan
instruksi anestesi diantaranya; monitoring keadaan umum, tanda vital dan
perdarahan tiap 15 menit, tidur tanpa bantal 24 jam, puasa sementara sampai sadar
penuh dan BU (+), terapi selanjutnya disesuaikan dengan arahan dr. Pritha, Sp.BP-
RE.
BAB V
KESIMPULAN

Pada laporan ini telah dilaporkan mengenai pasien Tn. D, usia 33 tahun
dengan diagnosis fraktur nasal+ skin loss dengan general anesthesia.
Berdasarkan evaluasi praanestesi diketahui pasien digolongkan kedalam
ASA I. Pasien tidak memiliki kriteria sulit intubasi dan tergolong Mallampati I
sehingga dapat mempermudah tindakan intubasi saat general anesthesia. Dari hasil
pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG dan foto rontgen thorax juga
tidak ditemukan adanya kelainan yang kemungkinan akan mengganggu proses
operasi.
Saat memulai anestesi, intubasi berhasil dilakukan dengan baik, induksi
sempurna. Untuk terapi cairan yang diberikan juga sudah memenuhi kebutuhan
cairan pasien. Saat intraoperative, pasien dalam keadaan terkontrol dengan baik.
Setelah operasi ± 1 jam 30 menit, pasien kemudian dibangunkan kembali dan di
ekstubasi. Saat di ruang pemulihan, kondisi pasien stabil. Karena aldrette score
sudah > 8, maka pasien segera dipindahkan ke ruang rawat bedah untuk perawatan
lebih lanjut.

47
4

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2018. Cardiovascular Physiology and
Anesthesia. In: Clinical anesthesiology. 6th ed. The United States of
America. Appleton and Lange.
2. Alvi S, Patel BC. Nasal Fracture Reduction. [Updated 2021 Sep 22]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538299/
3. Mahaseth RK. Fracture Nasal Bone: Causes, Presentation and Management
in a Tertiary Care Center in Nepal. J Inst Med Nepal [Internet]. 2020 Apr. 30
[cited 2021 Dec. 16];42(1):21-5. Available from:
http://www.jiomnepal.com.np/index.php/jiomnepal/article/view/85
4. Chegar BE, Tatum SA. Nasal fractures. In: Cummings CW, Flint PW,
Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR, Harker LA, et al, eds. Cummings
otolaryngology head and neck surgery. 4thed. Phyladelphia: Mosby Inc;
2005.p.287-95.
5. Chandra, Anton A. Boedy Setya Santoso. Penatalaksanaan Fraktur Nasal.
Jurnal Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya: Universitas Airlangga;
2015.
6. Sutradewi, Ade A. Agus Rudi Astutha. Penatalaksanaan Reduksi Tertutup
Fraktur Hidung dengan Anestesi Lokal. Jurnal Kedokteran Universitas
Udayana. Bali: Universitas Udayana; 2016.
7. Bailey BJ. Nasal fractures. In: Bailey BJ, Johnson JT, Shawn D, eds. Head
and neck surgery otolaryngology. 4thed. Phyladelpia: Lippincot Williams &
Wilkins; 2006.p.996-1008.
8. Staff. General anesthesia. NHS (serial online) 8 Mei 2015 (diakses 28
Agustus 2021). Diunduh dari URL:
http://www.nhs.uk/conditions/anaesthetic- general/pages/definition.aspx
9. Muhardi, M, dkk. 1989. Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
4

10. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing
Disease. 5th edition. NY : Elsevier
11. Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta. 2002. Hal :253- 256.
12. Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation: A retrospective
study. Anaesthesia. 1987;42:487-490
13. Wilson ME, Speigelhalter D, Robertson JA, et al. 1988. Predicting difficult
intubation. Br J Anaesth. 61:211-216

Anda mungkin juga menyukai