Disusun Oleh:
Jesi Pebriani
G1A220048
Dosen Pembimbing:
dr. Andi Hutarius, Sp.An
i
ii
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)
Disusun Oleh:
Jesi Pebriani
G1A220048
ii
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session (CRS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul
“General Anestesi pada Tindakan Reduksi Tertutup atas Indikasi Fraktur
Nasal+Skin loss” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Andi Hutarius, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah laporan
kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
iii
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
3.1.2 Patofisiologi............................................................................14
3.1.3 Klasifikasi...............................................................................16
3.1.5 Penatalaksanaan......................................................................20
3.1.6 Prognosis.................................................................................22
3.3 Intubasi...............................................................................................27
3.4 Medikasi.............................................................................................34
3.5 Pemeliharaan......................................................................................38
3.6 Pemulihan..........................................................................................40
BAB V KESIMPULAN..................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................48
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. D
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 33 Tahun
Alamat : Aur Gading Kab. Sarolangun
Ruangan : Bedah
Diagnosis : Fraktur Nasal+Skin Loss
Tindakan : Reduksi tertutup
No. RM 982298
2
3
3. Abdomen
● Inspeksi : datar
● Auskultasi : bising usus (+) normal
● Palpasi : soepel, nyeri tekan 4 kuadran (-) nyeri lepas (-), hepar dan
lien tidak teraba
● Perkusi : timpani, shifting dullnes (-)
4. Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT ≤ 2 detik, pitting edema (-)
Inferior : Akral hangat, CRT ≤ 2 detik, pitting edema (-)
5
Darah Rutin
Hemoglobin 14,6 g/dl 13.4-15.5
Trombosit 156. 103/uL 150-450
b. EKG :
Sinus Rhythm
c. Rontgen Thorax :
Cor dan Pulmo dalam batas normal
7
Kesan:
Tidak tampak perdarahan signifikan intrakranial
Fraktur kominutif os nasal bilateral (kiri lebih berat) dengan angulasi
fragmen fraktur ke sisi kiti
Fraktur dinding anterior sinus maksilaris kanan
Monitoring
Jam TD Nadi RR SpO2
Keterangan
(WIB) (mmHg) (x/menit) (x/menit) (%)
Pasien masuk ke kamar
operasi, dan dipindahkan
12.00
ke meja operasi
Pasien diposisikan
1
telentang
Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi,
12.10 120/80 78 24 98% saturasi oksigen.
Diberikan cairan RL 1 kolf
dan obat premedikasi
Pasien dipersiapkan
untuk induksi
Dilakukan
preoksigenasi dengan
sungkup 3-5 menit
Pasien diberikan
analgesik fentanyl 100
mcg, induksi dengan
12.20 120/80 75 21 98%
propofol 150 mg, cek
reflex bulu mata
Kemudian pasien di
bagging dan diberikan
oksigen, lalu diberi
relaksan (atracurium 40
mg) untuk
memfasilitasi intubasi
Setelah mencapai
onset of action muscle
relaxant dilakukan
intubasi dengan ETT
12.30 85/60 67 12 99%
no. 7,5
Dilakukan auskultasi
di kedua lapang paru
untuk mengetahui
1
Kondisi terkontrol
13.00 99/60 87 12 100% Diberikan cairan RL kolf
ke II
Kondisi terkontrol
13.30 96/60 90 12 100% Diberikan cairan RL kolf
ke III
Pasien di ekstubasi
Pasien napas spontan
14.10 Dilakukan suction
Refleks batuk ada
Pelepasan alat monitoring
Pasien sadar
14.15 Pasien dipindahkan ke
recovery room
1
Ruang Pemulihan
Masuk Jam : 14.15 WIB
Scoring Aldrete:
Aktivitas 2
Pernafasan 2
Warna Kulit 2
Sirkulasi 2
Kesadaran 2
Jumlah 10
3.1.2 Patofisiologi
Tipe dan berat-ringannya fraktur nasal tergantung pada kekuatan, arah, jenis
dan mekanisme trauma. Objek yang kecil dengan kecepatan tinggi akan
menimbulkan kerusakan yang hebat dibandingkan dengan objek besar tapi
kecepatan rendah. Mekanisme terjadinya fraktur nasal harus dipahami dengan
benar agar penatalaksaannya dapat dilakukan dengan tepat. Pada penderita dewasa
muda cenderung lebih mudah terjadi dislokasi, pada orang tua cenderung terjadi
fraktur komunitif sedangkan pada anak umumnya terjadi terjadi fraktur greenstick.
Avulsi dan dislokasi kartilago nasalis lateralis superior os nasal dan septum akan
menyebabkan cekungan pada pertengahan dorsum nasi. Hal tersebut dapat
mengakibatkan robekan arteri yang keluar antara os. nasal dan kartilago sehingga
dapat terjadi hematom dorsum nasi. Fraktur nasal sering disertai cedera septum.3,4
14
1
Cedera septum nasi dapat berupa fraktur sederhana, dislokasi atau fraktur
komunitif yang dapat menyebabkan deformitas dan disfungsi hidung berupa
obstruksi jalan napas. Bagian tipis septum yang cenderung mudah terjadi fraktur
adalah kartilago quadrangularis dan lamina perpendikularis os etmoid. Fraktur
inkomplet pada septum menyebabkan lepasnya artikulasi kartilago sehingga kelak
dapat menimbulkan gangguan pada pusat pertumbuhan dan menyebabkan
deformitas. Trauma anterior menyebabkan fraktur apeks nasi, dorsum nasi
menjadi rata dan melebar disebut saddle nose dan deformitas septum. Saddle nose
diklasifikasikan atas dua yaitu anterior, bila yang terlibat adalah bagian kartilago,
posterior bila yang terkena bagian tulang. Karakteristik saddle nose adalah
berkurangnya tinggi dorsum nasi, istilah lainnya adalah pug nose atau boxers
nose. Saddle nose menyebabkan berbagai derajat sumbatan hidung. Trauma
inferior menyebabkan pola fraktur yang lebih kompleks disertai faktur dan
dislokasi septum. Tipe fraktur nasal antara lain berupa tipe fraktur depresi yaitu
apabila kekuatan trauma dari frontal cukup besar sehingga menyebabkan open
book fracture dimana septum menjadi kolaps dan os. nasal melebar. Bahkan pada
kekuatan trauma yang lebih kuat dapat menyebabkan fraktur komunitif os. nasal
dan pros. frontalis os maksila menjadi rata dan dorsum nasi menjadi lebar, tipe
fraktur angulasi atau fraktur bilateral yaitu trauma dari arah lateral yang dapat
menyebabkan fraktur depresi unilateral sisi trauma atau dapat juga pada kedua sisi
os. nasal dan deviasi septum serta fraktur greenstick yang banyak terjadi pada
anak.4
3.1.3 Klasifikasi
Fraktur nasal dapat diklasifikasikan pada skala yang menggambarkan
tingkat keparahan cedera. Fraktur nasal terisolasi biasanya disebabkan oleh trauma
kecepatan rendah. Jika hidung retak oleh trauma kecepatan tinggi maka sering
disertai fraktur fasial.2,3
Klasifikasi trauma nasal
Tipe 1 : Cedera terbatas pada jaringan lunak
Tipe IIa : Simple, unilateral nondisplaced fracture
Tipe IIb : Simple, bilateral nondisplaced fracture
Tipe III : Simple, displaced fracture
Tipe IV : Closed comminuted fracture
Tipe V : Open comminuted fracture atau complicated fracture
3.1.4 Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma tumpul pada midface,
mekanisme terjadinya cedera dan waktu terjadinya trauma serta
memperkirakan arah dan besarnya kekuatan dari benturan yang terjadi
sangatlah penting. Perlu ditanyakan pula apakah fraktur nasal terjadi karena
kecelakaan bermotor, perkelahian dengan atau tanpa senjata, atau karena
terjatuh. Objek trauma yang berbeda menyebabkan pola patologis yang timbul
berbeda pula. Misalnya pukulan akibat perkelahian umumnya dari arah lateral
dengan energi rendah dapat menyebabkan fraktur depresi pada dinding
ipsilateral, out fracture pada sisi kontralateral dan sering menyebabkan
deformitas septum. Arah trauma dari frontal yang disebabkan karena
kecelakaan bermotor umumnya melibatkan kekuatan energi tinggi, sehingga
menyebabkan cedera yang lebih berat berupa fraktur komunitif dan deformitas
septum. Waktu terjadinya cedera, penting untuk ditanyakan. Hal ini berkaitan
dengan prosedur penatalaksanaan dan prognosis hasil pengobatan. Bila cedera
baru saja terjadi, edema masih belum banyak sehingga pemeriksaan fisik dan
manipulasi mudah dikerjakan, teknik reduksi tertutup adalah prosedur yang
paling ideal dikerjakan. Sedangkan bila datang terlambat dimana edema sudah
banyak terjadi maka pemeriksaan fisik
1
menjadi lebih terbatas karena menutupi garis deformitas hidung dan krepitasi.
Dalam hal ini reposisi sebaiknya ditunda 3-5 hari sampai edema berkurang
sehingga evaluasi dapat dilakukan secara lebih detail. Perlu ditanyakan juga
riwayat medis sebelumnya apakah pernah mengalami fraktur sebelumnya atau
pernah menjalani operasi hidung sebelumnya. Alkohol sering berhubungan
dengan fraktur nasal maka dapat pula ditanyakan perihal konsumsi alkohol
sebelum cedera.
Keluhan utama fraktur hidung adalah rasa nyeri di hidung setelah cedera,
hidung tersumbat, keluar darah dari hidung, dan edema atau hematoma di
hidung dan sekitarnya.2,3,5
Tabel 1. Diagnosis Fraktur Nasal7
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum dilakukan untuk menyingkirkan kondisi yang parah
dan mengancam jiwa.
Inspeksi Hidung dan Wajah
Terdapat deformitas dan pembengkakan, ekimosis, epistaksis, bentuk
hidung: hilangnya proyeksi anterior hidung dengan peningkatan jarak
interkantal menunjukkan fraktur naso-orbital-ethmoid, gerakan mata: fraktur
ledakan dapat menyebabkan jebakan otot ekstraokular
1
Palpasi
Terdapat nyeri tekan: Pelebaran ujung hidung dan sumbatan hidung dapat
menunjukkan hematoma septum, deformitas, krepitasi, pelepasan pinggir
orbital, parestesia infraorbital
Pemeriksaan Nares
Elevasi ujung hidung untuk melihat hidung yang jelas
Gunakan lampu depan/spekulum hidung tudicums atau otoskop/spekulum
Pembengkakan pada septum yang dengan cotton bud, dan berwarna
biru/ungu adalah hematoma septum seta memerlukan drainase darurat
Adanya cairan hidung yang jernih dapat mengindikasikan kebocoran CSF
dari fraktur tengkorak basal terkait
Ketidakstabilan bagian tengah wajah atau maloklusi gigi merupakan
indikasi fraktur Le Fort bagian tengah
Setelah memastikan kondisi pasien stabil, airway bebas dan ventilasi
adekuat maka pemeriksaan fisik dapat dilakukan. Pemeriksaan fisik paling
akurat dilakukan sebelum timbul edema yaitu sekitar 2-3 jam setelah cedera.
Pemeriksaan tidak boleh terfokus hanya pada hidung saja, terutama apabila
penyebab traumanya hebat seperti pada kecelakaan bermotor. Hal ini
disebabkan karena pada trauma hebat, fraktur nasal sering disertai cedera
kepala-leher yang dapat membahayakan patensi trakea. Oleh karena itu
sebelum melakukan pemeriksaan fisik harus dipastikan airway dan ventilasi
dalam keadaan adekuat. Trauma pada midface kemungkinan dapat juga
disertai dengan fraktur struktur hidung lainnya seperti mandibula, arkus
zigoma, dan gigi. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi dan harus
dilakukan secara hati-hati. Inspeksi untuk melihat adakah laserasi mukosa
nasal, adakah kartilago atau tulang yang terekspose, edema dan deformitas
hidung, perubahan patologis warna kulit, kesimetrisan dan gerakan bola
mata. Palpasi untuk mencari iregularitas tulang, dan pergerakan fragmen
fraktur atau krepitasi.
1
3.1.5 Penatalaksanaan
Sebelum dilakukan tindakan, penting halnya untuk memberikan informed
concent berupa penjelasan tentang prosedur teknik operasi yang akan dipilih,
risiko operasi, termasuk kemungkinan cacat persisten. Tujuan dari
penatalaksanaan fraktur nasal adalah mengembalikan fragmen fraktur kembali ke
posisi seanatomis mungkin dan menghindari komplikasi jangka panjang. Terapi
fraktur nasal sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain usia pasien, waktu
terjadinya cedera, waktu reposisi, pilihan anestesi dan teknik reposisi. Diperlukan
kehati-hatian dalam menentukan klasifikasi fraktur nasal karena untuk
menentukan prosedur teknik yang nantinya akan dipilih. Fraktur sederhana tanpa
perpindahan fraktur tidak memerlukan penanganan khusus, sedangkan pada kasus
lain mungkin diperlukan reposisi baik tertutup atau terbuka. Prosedur
penatalaksanaan fraktur nasal. Pertamakali yang harus dilakukan adalah
mengontrol perdarahan bila terjadi epistaksis. Laserasi atau luka terbuka harus
dibersihkan dan dilakukan debridement atau bila perlu dilakukan penjahitan. Bila
didalam evaluasi tidak ditemukan deformitas sebaiknya tidak dilakukan
manipulasi terlalu jauh dan tidak perlu digips. Sebaliknya bila ditemukan
deformitas maka reposisi harus segera dilakukan.
Jika terdapat cedera jaringan lunak, luka hidung dibersihkan dan benda
asing dikeluarkan. Laserasi kecil dapat ditutup dengan strip pita bedah berpori
atau dengan jahitan halus. Jika terdapat fraktur hidung, pengurangan patah tulang
hidung tidak selalu diperlukan. Jika tidak ada fraktur, atau tidak ada deformitas
atau pasien dengan deformitas minor maka tidak ada yang perlu dilakukan. Jika
terdapat pembengkakan, pasien harus dinilai ulang setelah 5 sampai 7 hari.
Manipulasi tidak boleh ditunda lebih dari 2 minggu setelah cedera karena tulang
hidung sembuh dan terfiksasi: manipulasi pada tahap ini akan sulit atau tidak
mungkin. Setelah waktu ini, hanya septorhinoplasty formal yang dapat dilakukan.
Hematom septum disebabkan oleh pengumpulan darah di bawah lapisan
mukoperikondrium septum hidung. biasanya muncul dengan nyeri dan sumbatan
hidung dengan pembengkakan berawa pada septum. Jika tidak ditangani hal ini
dapat menyebabkan abses septum, nekrosis tulang rawan dan bahkan deformitas
pelana hidung dapat terjadi. Aspirasi dengan spuit dan jarum mungkin cukup.
2
3.1.6 Prognosis
Secara umum prognosis fraktur nasal sederhana tanpa komplikasi adalah
baik dan dapat sembuh dalam waktu 2 sampai 3 minggu dengan memberikan hasil
kosmetik dan fungsi hidung yang cukup baik. Komplikasi kosmetik jangka
panjang dapat terjadi sesudah reposisi tertutup atau terbuka. Komplikasi kosmetik
ini juga dapat disebabkan karena hematom septum yang tidak ditangani dengan
baik. Apabila terjadi malunion atau deformitas dapat dilakukan reduksi atau
rekontruksi lebih lanjut bergantung berat ringannya cedera dan faktor
kesulitannya. Septorinoplasti merupakan prosedur standart yang dilakukan pada
kasus reposisi fraktur nasal yang gagal atau yang terlambat ditangani.2,3
2
Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara
yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesi.Rees dan Gray membagi anestesi umum menjadi tiga komponen yaitu
hipnotika, anelgesia dan relaksasi. Ketiga komponen anestesia ini sering disebut
dengan trias anestesia.1
3.2.1 Persiapan pra anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1- 2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:1,8
B. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan rutin :
d. EKG
2
d. AGD, elektrolit.9
Masukan Oral
3.2.2 Premedikasi
Pemberian premedikasi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan
dan bangun dari anestesia, diantaranya: 9,10
3.3 Intubasi
3.3.1 Definisi
Intubasi dibagi menjadi intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke
dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga
ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal
melalui nasal dan nasofaring ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.1
3.3.2 Tujuan
Gambar 3. Mallampati
2
Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Scope
Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil klorida. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia
lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk
dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun
tidak menggunakan kaf(cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan
kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil
dapat membuat traumaselaput lendir trakea dan postintubation croup.13
Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso- tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.8,13
Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.
Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anesthesia.
3
Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.
Gambar 5. STATICS
3.4 Medikasi
Fentanil
2. Dosis sedang, 2- 20 mcg /kg dimana operasi menjadi lebih rumit dan dosis
besar dibutuhkan
3. Dosis tinggi, 20 – 50 mcg/kg dalam prosedur bedah mayor, dimana waktu
tempuh lebih lama dan respon stress operasi lebih tinggi, dosis 20 – 50
fentanyl dengan N20 telah menjadi pilihan. Bila dosis seperti ini telah
digunakan observasi ventilasi posoperatif seperti diperlukan dimana
kemungkinan depresi ventilasi postoperatif memanjang.
4. Sebagai Agent anestetik
Jika respon stress dari operasi sangat perlu diturunkan, dosis 50 – 100 mg /
kg mungkin dapat diberikan dengan oxigen dan muscle relaxant. Teknik ini
memberikan anestesi tanpa perlu menambah anestesi lain dalam beberapa
kasus dosis lebih dari 150 mg / kg mungkin diperlukan untuk menyediakan
efek anestesi tersebut, telah banyak digunakan untuk bedah jantung dan
operasi lain yang memerlukan proteksi miokard dari kelebihan kebutuhan
akan oksigen.
Propofol
Atracurium
Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non-depolarisasi dari
golonganbenzylisoquinolinium bisquaternary, atracurium memiliki mula kerja 3-
5 menit dandurasi kerja 20-35 menit. Tempat kerja atracurium seperti halnya
obat-obat pelumpuhotot nondepolarisasi yang lain adalah reseptor kolinergik
prasinaps dan paskasinaps.Atracurium juga menyebabkan penghambatan otot-
saraf secara langsung denganmempengaruhi aliran ion melalui kanal reseptor-
reseptor kolinergik nikotinik. Diperkirakan 82% atracurium terikat dengan
plasma protein terutama albumin.Atracurium didesain untuk didegradasi spontan
in vivo (eliminasi Hoffman) pada temperatur tubuh dan pH normal.
Terpaparnya atracurium terhadap larutan alkali sebelum masuk ke sirkulasi
secara teori akan mengakibatkan kerusakan dini pada obat. Potensi atracurium
yang disimpan di temperatur ruangan akan menurun sekitar 5% setiap 30 hari.
Atracurium mengalami degradasi spontan non-enzimatis pada temperatur
tubuh dan pH normal yang dikenal sebagai eliminasi Hofmann. Masa kerja
atracurium tidak berbeda diantara pasien normal dan pasien-pasien dengan
penurunan fungsi ginjal dan hati serta pasien dengan kelainan cholinesterase
plasma yang atipikal. Konsistensi dari mula kerja hingga masa pulih setelah dosis
tambahan atracurium berulang merupakan karakteristik dari obat ini dan
3
3.5 Pemeliharaan
a.
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang
kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini
tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalamkombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
b.
Sevoflurane
a. Pra operasi
b. Selama operasi
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 20
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan
lebih dari 20 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.
c. Setelah operasi
3.6 Pemulihan
Seorang pasien, Tn. D usia 33 tahun dengan diagnosa fraktur nasal dan
skin loss. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien direncanakan menjalani
operasi reduksi tertutup dengan general anestesi. Berdasarkan pemeriksaan
preoperative diketahui bahwa pasien tidak ada riwayat penyakit saluran
pernapasan, riwayat penyakit kardiovaskular, dan tidak ada riwayat alergi obat,
namun pasien alergi terhadap ikan laut. Pasien dalam keadaan stabil.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pasien di konsulkan ke bidang
anestesi diperoleh hasil pemeriksaan didapatkan pasien dalam kategori ASA I,
dengan mallampati I. Sebelum jadwal operasi dilaksanakan, dipuasakan 6 jam
sebelum operasi, mempersiapkan SIO (Surat Izin Operasi).
Pembahasan:
a. Pra Anestesi
Pasien juga dipuasakan selama 6 jam, pasien puasa mulai jam 02.00 WIB.
Pasien preoperasi dipuasakan dengan tujuan untuk meminimalkan risiko
regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas.
41
4
b. Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :
1) Jam I = ½ PP + SO + M
= ½ (900) + 450 + 150
= 1050 cc
2) Jam II = ¼ PP + SO + M
= ¼ (900) + 450 + 150
= 825 cc → ½ (825) = 412,5 cc
Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara intravena,
inhalasi, intramuscular atau rectal.
Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada pasien yang
dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur intravena. Obat induksi yang
dibolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik.
Pada pasien ini diberikan fentanyl 100 mcg, dimana berdasarkan teori golongan
opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan dalam
dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestsia opioid
digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb. Dosis pada pasien ini sudah
tepat.
e. Rumatan anestesi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot. Pada kasus
ini, atracurium di berikan sebanyak 40 mg. Dosis atracurium berdasarkan berat
badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/IV pada pasien ini yaitu 37,5-45 mg. Atracurium
besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari
tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskular secara bermakna.
Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang dibutuhkan
untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit. Pada pasien ini
intubasi
4
berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher tidak pendek, gigi depan tidak
menonjol, dan mallampati I karena terlihat sebagian uvula, palatum mole, serta
arkus faring).
SpO2
Jam (WIB) TD (mmHg) Nadi (x/menit) RR (x/menit)
(%)
12.00
14.10
14.15
4
h. Ekstubasi
Pada laporan ini telah dilaporkan mengenai pasien Tn. D, usia 33 tahun
dengan diagnosis fraktur nasal+ skin loss dengan general anesthesia.
Berdasarkan evaluasi praanestesi diketahui pasien digolongkan kedalam
ASA I. Pasien tidak memiliki kriteria sulit intubasi dan tergolong Mallampati I
sehingga dapat mempermudah tindakan intubasi saat general anesthesia. Dari hasil
pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG dan foto rontgen thorax juga
tidak ditemukan adanya kelainan yang kemungkinan akan mengganggu proses
operasi.
Saat memulai anestesi, intubasi berhasil dilakukan dengan baik, induksi
sempurna. Untuk terapi cairan yang diberikan juga sudah memenuhi kebutuhan
cairan pasien. Saat intraoperative, pasien dalam keadaan terkontrol dengan baik.
Setelah operasi ± 1 jam 30 menit, pasien kemudian dibangunkan kembali dan di
ekstubasi. Saat di ruang pemulihan, kondisi pasien stabil. Karena aldrette score
sudah > 8, maka pasien segera dipindahkan ke ruang rawat bedah untuk perawatan
lebih lanjut.
47
4
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2018. Cardiovascular Physiology and
Anesthesia. In: Clinical anesthesiology. 6th ed. The United States of
America. Appleton and Lange.
2. Alvi S, Patel BC. Nasal Fracture Reduction. [Updated 2021 Sep 22]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538299/
3. Mahaseth RK. Fracture Nasal Bone: Causes, Presentation and Management
in a Tertiary Care Center in Nepal. J Inst Med Nepal [Internet]. 2020 Apr. 30
[cited 2021 Dec. 16];42(1):21-5. Available from:
http://www.jiomnepal.com.np/index.php/jiomnepal/article/view/85
4. Chegar BE, Tatum SA. Nasal fractures. In: Cummings CW, Flint PW,
Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR, Harker LA, et al, eds. Cummings
otolaryngology head and neck surgery. 4thed. Phyladelphia: Mosby Inc;
2005.p.287-95.
5. Chandra, Anton A. Boedy Setya Santoso. Penatalaksanaan Fraktur Nasal.
Jurnal Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya: Universitas Airlangga;
2015.
6. Sutradewi, Ade A. Agus Rudi Astutha. Penatalaksanaan Reduksi Tertutup
Fraktur Hidung dengan Anestesi Lokal. Jurnal Kedokteran Universitas
Udayana. Bali: Universitas Udayana; 2016.
7. Bailey BJ. Nasal fractures. In: Bailey BJ, Johnson JT, Shawn D, eds. Head
and neck surgery otolaryngology. 4thed. Phyladelpia: Lippincot Williams &
Wilkins; 2006.p.996-1008.
8. Staff. General anesthesia. NHS (serial online) 8 Mei 2015 (diakses 28
Agustus 2021). Diunduh dari URL:
http://www.nhs.uk/conditions/anaesthetic- general/pages/definition.aspx
9. Muhardi, M, dkk. 1989. Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
4
10. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing
Disease. 5th edition. NY : Elsevier
11. Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta. 2002. Hal :253- 256.
12. Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation: A retrospective
study. Anaesthesia. 1987;42:487-490
13. Wilson ME, Speigelhalter D, Robertson JA, et al. 1988. Predicting difficult
intubation. Br J Anaesth. 61:211-216