Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN STUDI KASUS MINOR

ILMU PENYAKIT MULUT

Ruri Nawang Sari


160112170093

Pembimbing :
drg. Wahyu Hidayat, Sp.PM.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................ii


BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ...........................................................................3
2.1. Status Klinik Ilmu Penyakit Mulut .....................................................3
2.1.1 Data Pasien ................................................................................3
2.1.2 Anamnesis .................................................................................3
2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik ........................................................4
2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu .....................................................4
2.1.5 Kondisi Umum ..........................................................................4
2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral ...........................................................4
2.1.7 Pemeriksaan Intraoral ................................................................5
2.1.8 Gambar Kasus ...........................................................................6
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang .............................................................6
2.1.10 Diagnosis dan Diagnosis Banding ...........................................6
2.1.11 Rencana Perawatan dan Perawatan .........................................6
2.2. Status Kontrol Ilmu Penyakit Mulut ...................................................7
2.2.1 Anamnesis .................................................................................7
2.2.2 Pemeriksaan Ekstraoral .............................................................7
2.2.3 Pemeriksaan Intraoral ................................................................8
2.2.4 Gambar Kasus ...........................................................................8
2.2.5 Hasil Pemeriksaan Penunjang ...................................................9
2.2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding .............................................9
2.2.7 Rencana Perawatan dan Perawatan ...........................................9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................10
3.1 Mukosa Mulut ....................................................................................10
3.1.1 Anatomi .....................................................................................10
3.2 Recurrent Apthosa Stomatitis ............................................................11
3.2.1 Pendahuluan ..............................................................................11

ii
iii

3.2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi ...............................................13


3.2.3 Gambaran Klinis .......................................................................16
3.2.4 Diagnosa....................................................................................19
3.2.5 Pengobatan ................................................................................20
3.2.6 Pembahasan ...............................................................................21
3.3 Differential Diagnosis ........................................................................22
3.3.1 Traumatic Ulcer ........................................................................22
3.3.2 Behcet’s Disease .......................................................................24
3.3.3 Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV) ......................................25
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................27
BAB V KESIMPULAN ..............................................................................30
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................31
BAB I

PENDAHULUAN

Radang mukosa mulut atau stomatitis adalah radang yang terjadi pada

mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan. Bercak ini dapat

berupa bercak tunggal maupun berkelompok. Radang mukosa mulut dapat

menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi serta

langit–langit dalam rongga mulut (Scully, 2006). Munculnya radang mukosa

mulut ini disertai rasa sakit dan merupakan penyakit mulut yang paling sering

ditemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10% dari populasi

menderita penyakit ini, dan wanita lebih mudah terserang dibandingkan pria

(Scully, 2006).

Radang mukosa mulut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain

defisiensi vitamin seperti zat besi, asam folat, vitamin B12 atau B kompleks,

psikologis, trauma, endokrin, herediter, alergi, imunologi, dan lain–lain (Lewis &

Jordan, 2012). Sumber lain menyebutkan penyebab radang mukosa mulut

sesungguhnya sangat beragam, mulai dari tergigit, luka ketika menyikat gigi,

alergi terhadap makanan ataupun adanya infeksi oleh bakteri.

Pada makalah laporan kasus ini dibahas mengenai seorang pasien laki-laki

usia 22 tahun yang datang dengan keluhan terdapat sariawan di bibir kanan atas,

pasien sering mengalami sariawan yang muncul tiba-tiba atau kadang disebabkan

karena trauma. Diagnosis dari pasien ini adalah RAS. Rencana perawatan yang

1
2

diberikan pada pasien adalah pemberian resep triamcinolone acetonide, obat

kumur, dan multivitamin untuk penyembuhan ulsernya.


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Status Klinik Ilmu Penyakit Mulut

Tanggal pemeriksaan : 24 Agustus 2017

2.1.1 Data Pasien (data disamarkan)

Nomor Rekam Medik : 2017-00xxx

Nama Pasien : Tn. BA

Jenis Kelamin : Laki – laki

Usia : 22 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa

Status Marital : Belum Menikah

Alamat : Bandung

2.1.2 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan sariawan di bagian bibir kanan atas, yang

membuat pasien merasa tidak nyaman, keluhan terasa sejak ±1 minggu yang lalu.

Pasien tidak mengetahui bagaimana sariawan tersebut terjadi. Sariawan

bertambah sakit pada saat makan. Tidak ada faktor yang memperingan. Tidak ada

gejala lain yang menyertai. Pasien belum pernah mengobati sariawan tersebut

sebelumnya. Dalam rentang ±1 minggu terakhir pasien jarang makan makanan

berserat seperti sayur dan buah-buahan, pasien juga hanya mengonsumsi air putih

3
4

±4 gelas dalam sehari. Dalam seminggu terakhir pola tidur pasien sedang tidak

teratur. Pasien ingin sariawannya diobati.

2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik

Disangkal

2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu

Disangkal

2.1.5 Kondisi Umum

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Suhu : Afebris

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Pernafasan : 18 kali/menit

Nadi : 80 kali/menit

2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Submental Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Servikal Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Mata Pupil isokhor, konjungtiva non-anemis, sklera non-ikterik

TMJ TAK
5

Bibir Vermilion border jelas, TAK, simetris

Wajah Simetri/Asimetri

Sirkum Oral

TAK

Lain-lain -

2.1.7 Pemeriksaan Intraoral

Kebersihan mulut : Baik/Sedang/Buruk Plak +/-

Kalkulus +/- Stain +/-

Gingiva : Warna: merah tua di anterior RA dan posterior

Konsistensi: lunak di anterior RA

Bentuk: oedem di anterior RA, 26, 27, 34, 35, 44, 45

Papilla interdental: membulat di anterior RA, RB

Pitting test: (+), stippling test: (-),

Stillman cleft: (-), McCall Festoon: (-)

Mukosa bukal : Terdapat teraan gigitan pada regio 37 dan 47

Mukosa labial : Tidak lesi ulcer berwarna putih, kedalaman cekung, d:

5mm, dikelilingi daerah eritema, batas jelas, tepi reguller

di bagian regio 14

Palatum durum : Tidak ada kelainan, dalam

Palatum mole : Tidak ada kelainan

Frenulum : Tidak ada kelainan

Lidah : Tidak ada kelainan

Dasar mulut : Tidak ada kelainan


6

Status Gigi :

UE cs cs cs cs UE

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

UE cs cs cs cm UE

2.1.8 Gambar Kasus

Gambar 2.1 Lesi ulser pada mukosa labial rahang atas

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Radiologi : TDL

Darah : belum dilakukan

Patologi Anatomi : TDL

Mikrobiologi : TDL

2.1.10 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis : Recurrent Apthous Stomatitis (RAS)

Diagnosis Banding : Traumatic Ulcer, Behcet’s Disease, dan Infeksi Herpes

Simplex Virus (HSV) Rekuren

2.1.11 Rencana Perawatan dan Perawatan


7

 Pro Oral Hygiene Instructions

 Pro anjuran pola makan sehat, diet sayur dan buah-buahan yang berserat,

sayuran hijau (Fe), diet tinggi protein

 Pro anjuran pola tidur sehat

 Pro resep :

 R/ Chlorhexidine gluconate 0,2% gargle 150ml fl I ∫ coll oris (dikumur 2x

sehari setelah menyikat gigi dan scraping lidah)

 R/ Triamcinolone acetonide tube No.I ∫ lit oris

 Pro kontrol 1 minggu

2.2 Status Kontrol Ilmu Penyakit Mulut

Tanggal Pemeriksaan : 07 September 2017

2.2.1 Anamnesis

Pasien datang untuk kontrol (14 hari setelah kunjungan pertama). Pasien

sudah tidak mengeluhkan rasa sakit pada bibirnya setelah rutin meminum obat

yang telah diinstruksikan. Sudah tidak ada bekas sariawan pada bibirnya, kini

pasien sudah bisa merasa lebih nyaman. Saat ini pasien datang untuk kontrol.

2.2.2 Pemeriksaan Ekstraoral

Kelenjar Limfe

Submandibula Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Submental Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Servikal Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-


8

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Bibir TAK

Wajah Simetri/Asimetri

Sirkum Oral Tidak ada kelainan

2.2.3 Pemeriksaan Intraoral

Kebersihan mulut : Baik (OHI-S/Indeks plak = 0,16)

Gingiva : Tidak ada kelainan

Stain : +/-

Mukosa bukal : Terdapat teraan gigitan pada regio 37 dan 47

Mukosa labial : tidak ada kelainan

Palatum durum : tidak ada kelainan

Palatum mole : tidak ada kelainan

Frenulum : tidak ada kelainan

Lidah : tidak ada kelainan

Dasar mulut : tidak ada kelainan

2.2.4 Gambar Kasus


9

Gambar 2.2 RAS pada mukosa labial sudah sembuh

2.2.5 Hasil Pemeriksaan Penunjang

Radiologi : TDL

Darah : belum dilakukan

Patologi Anatomi : TDL

Mikrobiologi : TDL

2.2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

D/ Post Recurrent Aphthous Stomatitis minor a/r mukosa labial RA

2.2.7 Rencana Perawatan dan Perawatan

 Pro Oral Hygiene Instructions

 Pro diet tinggi protein, sayur dan buah-buahan yang berserat, sayuran

hijau (Fe)
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Mukosa Mulut

3.1.1. Anatomi

Jaringan lunak mulut terdiri dari mukosa pipi, bibir, ginggiva, lidah,

palatum, dan dasar mulut. Struktur jaringan lunak mulut terdiri dari lapisan tipis

jaringan mukosa yang licin, halus, fleksibel, dan berkeratin atau tidak berkeratin.

Jaringan lunak mulut berfungsi melindungi jaringan keras di bawahnya; tempat

organ, pembuluh darah, saraf, alat pengecap, dan alat pengunyah. Secara

histologis jaringan mukosa mulut terdiri dari 3 lapisan (Avery & Chiego, 2006;

Balogh & Fehrenbach, 2006)

1. Lapisan epitelium, yang melapisi di bagian permukaan luar, terdiri dari

berlapis–lapis sel mati yang berbentuk pipih atau datar dimana lapisan sel–sel

yang mati ini selalu diganti terus–menerus dari bawah, dan sel–sel ini disebut

dengan stratified squamous epithelium. Struktur stratified squamous epithelium

dari mukosa mulut meliputi kedua permukaan, yaitu mukosa mulut tidak

berkeratin seperti pada mukosa pipi, bibir, palatum mole, dasar rongga mulut,

serta mukosa berkeratin seperti palatum dan alveolar ridges. Terdiri dari stratum

corneum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale.

2. Membrana basalis, yang merupakan lapisan pemisah antara lapisan epitelium

dengan lamina propria, berupa serabut kolagen dan elastis.

3. Lamina propria, pada lamina propria ini terdapat ujung–ujung saraf rasa sakit,

raba, dan suhu. Selain ujung–ujung saraf tersebut terdapat juga pleksus kapiler,

10
11

jaringan limfa, dan elemen–elemen penghasil sekret dari kelenjar–kelenjar ludah

kecil. Kelenjar ludah yang halus terdapat di seluruh jaringan mukosa mulut, tetapi

tidak terdapat di jaringan mukosa gusi kecuali di mukosa gusi daerah retromolar.

Disamping itu lamina propria ini sebagian besar terdiri dari serabut kolagen,

serabut elastin dan sel–sel fibroblast & makrofag, sel mast, sel inflamatori serta

sel– sel darah yang penting untuk pertahanan melawan infeksi. Jadi mukosa ini

menghasilkan sekret, bersifat protektif, dan sensitif (Nanchi, 2008).

3.2 Reccurent Apthosa Stomatitis

3.2.1 Pendahuluan

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) merupakan suatu kelainan yang

ditandai dengan adanya ulser rekuren pada mukosa oral pada pasien (Greenberg

and Glick, 2003). RAS merupakan penyakit mukosa oral yang paling umum dan

mempengaruhi 10-15% dari populasi, namun kebanyakan kasus tergolong ringan

dengan sedikit keluhan (Cawson,2002). RAS, yang juga dikenal dengan aphtae

atau canker sores, memiliki karakterisasi-karakterisasi sebagai berikut: ulser

tunggal maupun multiple yang muncul berulang, berukuran kecil dengan bentuk

bulat atau oval dibatasi dengan tepi yang eritem dan dasar berwarna kekuningan

atau keabuan, biasa muncul pada daerah yang tidak berkeratin dan mukosa

bergerak – jarang pada gingiva atau palatum, muncul pertama kali pada masa

kanak-kanak atau remaja (Scully, 2008). RAS dapat menyerang selaput lendir pipi

bagian dalam, lidah, serta palatum dalam rongga mulut.


12

Meskipun penyakit ini tidak berbahaya tetapi keberadaannya di rongga

mulut sangat mengganggu sehingga mengakibatkan kesulitan dalam berbicara,

makan, dan menimbulkan bau mulut yang tidak enak (Fitri, 2014). Secara klinis

RAS memiliki ciri-ciri seperti ulkus dangkal berbentuk bulat atau oval, berwarna

putih kekuningan, dan biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja yang angka

kejadian tertinggi terdapat pada wanita (Jurge et al, 2005). Gambaran klinis

recurrent aphthous stomatitis dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu RAS tipe

minor, RAS tipe mayor, dan RAS tipe herpetiform (Sumintarti , 2012). Tipe

minor paling umum ditemukan, prevalensinya berkisar (80-95%), SAR tipe mayor

(10-15%), dan SAR tipe herpetiform (5-10%). Beberapa penelitian melaporkan

prevalensi SAR di negara-negara dengan angka kejadian tertinggi di Amerika

Serikat mencapai 60%, Thailand 46,7%, Swedia 2%, Spanyol 1,9%, Malaysia

0,5% (Jurge et al, 2005).

RAS dapat bertahan untuk beberapa hari atau minggu, biasanya sembuh

tanpa bekas dalam 10-14 hari. Bersifat ulang kambuh dalam periode yang

bervariasi dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Fitri, 2014; Jurge et al,

2005).

Penyebab dari RAS masih belum jelas (Jurge dkk, 2005). Namun ada

dugaan bahwa penyebabnya adalah karena menyikat gigi, menggigit pipi atau

bibir, kurangnya nutrisi, perawatan gigi seperti penggunaan gigi tiruan, tambalan

yang tajam serta penggunaan alat ortodontik (Fitri, 2014; Jurge et al, 2005).

3.2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi


13

Sampai sekarang faktor-faktor penyebab RAS belum diketahui dengan

pasti. Tetapi ada beberapa faktor umum yang diperkirakann menjadi penyabab

RAS antara lain:

Faktor Keturunan

Faktor keturuan dianggap memiliki peranan yang sangat penting pada

pasien yang menderita RAS. Faktor genetik RAS diduga berhubungan dengan

peningkatan jumlah Human Leucocyte Antigen (HLA). Antigen HLA alel Tipe I

(HLA-A9 dan HLA-B35) dan alel Tipe II (HLA-DR dan HLA-DQ) terlihat pada

epitelium basal pada sel perilesi pada semua lapisan epitelium pada fase awal

ulserasi yang rupanya dimediasi oleh interferon gamma (IFN-a) yang dilepaskan

oleh sel T. Antigen ini menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan

jalan mengaktifkan terlepasnya sel mononuclear ke epithelium khususnya lapisan

pricle sel sehingga terjadi kontak dengan apoptosis pricle sel yang kemudian di

fagosit oleh neutrofil.

Jika kedua orangtua mengalami RAS maka besar kemungkinan akan

terkena kepada anak-anaknya. Pasien dengan keluarga memiliki riwayat penyakit

RAS akan terkena RAS pada usia muda dan RAS yang diderita akan lebih berat

dibandingkan dengan pasien yang keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit

RAS (Casiglia, 2015).

Faktor Defisiensi Nutrisi

Penelitian yang dilakukan pada 330 pasien RAS dengan hasil 47 pasien

menderita defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15%

defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi
14

kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya. Pasien

yang menderita RAS dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat

diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut

kesehatannya membaik (Casiglia, 2015).

Selain itu, vitamin B1, B2, dan B6 juga mempengaruhi timbulnya RAS.

Dari 60 pasien yang menderita RAS yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami

penurunan kadar vitamin-vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%,

B2 6,7%, B6 10% dan 33% kombinasi ketiganya. Perawatan dan pengobatan

dengan pemberian vitamin tersebut memberikan dampak yang baik yaitu dapat

dilihat ulser sembuh dan rekuren berkurang (Casiglia, 2015).

Defisiensi Zink ditemukan pada penderita RAS, pasien tersebut diberi 50

mg Zink Sulfat peroral setiap tiga kali sehari selama tiga bulan. Lesi RAS sembuh

dan tidak kambuh lagi selama satu tahun. Beberapa peneliti berpendapat bahwa

adanya defisiensi Zink pada pasien penderita RAS karena pemberian preparat

Zink memperlihatkan adanya perbaikan, walaupun pada umunya kadar serum

Zink pada pasien yang menderita RAS normal (Casiglia, 2015).

Faktor Gangguan Imunologi

Teori tentang imunopatogenesis dari RAS tidak ada yang seragam,

disregulasi imun diperkirakan memegang peranan terjadinya SAR. Ada penelitian

yang mengemukakan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien

menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun ini berupa sitotoksin dari

limfosit dan monosit pada mukosa dimana pemicunya tidak diketahui (Casiglia,

2015).
15

Selain faktor-faktor umum tersebut ada beberapa faktor lainnya yaitu

tahap menstruasi, alergi makanan, AIDS, defisiensi hematinik, hipersensitivitas

makanan, infeksi bakteri dan virus, perubahan hormonal, trauma, tembakau, obat-

obatan dan penggunanaan pasta gigi (Jurge et al, 2005).

Faktor Sistemik

Kondisi sistemik yang mempengaruhi kejadian RAS diantaranya

gangguan GIT, neutropenia, HIV, defisiensi IgA, dan penggunaan obatobatan anti

inflamasi non steroid.

Trauma

Pasien RAS sering dilaporkan terkena ulser akibat trauma seperti terkena

sikat gigi atau injeksi saat anestesi local (Field and Longman, 2003). Trauma

akibat gigitan dan penyikatan gigi yang salah, dapat menyebabkan robeknya

mukosa dan memperparah ulser yang sudah ada (Cawson and Odell, 2002).

Stress dan menstruasi

Pada wanita, RAS dihubungkan dengan siklus menstruasi. Tidak ada

hubungan yang pasti dari menstruasi maupun stres dengan RAS namun dapat

dihubungkan dengan kondisi hormonal (Scully, 2008). Stress berpengaruh pada

kondisi rongga mulut, salah satunya juga merupakan faktor predisposisi dari

terjadinya RAS. Stress berhubungan dengan fungsi hormonal, dimana di saat

stress bagian emosional dari otak akan mempengaruhi pengeluaran hormon dari

kelenjar pituitary dan kelenjar adrenal. Hormon-hormon tersebut yang


16

dikeluarkan adalah adrenalin dan kortisol. Pengeluaran kortisol yang berlebihan

akan menekan fungsi sistem imun dengan mengurangi limfosit (Imanda, 2003).

3.2.3 Gambaran Klinis

Tidak ada metode diagnosa laboratorium spesifik yang dapat dilakukan

untuk menegakkan diagnosa RAS menyebabkan pentingnya gambaran klinis RAS

untuk diketahui. RAS diawalin dengan gejala rasa sakit dan terbakar selama 24-48

jam sebelum ulser muncul (Casiglia, 2015).

Tahap perkembangan RAS yaitu :

1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama saat perkembangan lesi

RAS. Saat prodormal, pasien akan merasakan seperti rasa terbakar saat lesi

akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan menginfeksi

epitelium, dan edema akan mulai berkembang (Casiglia, 2015).

2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama saat perkembangan lesi

RAS. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi

eritematus. Intensitas rasa nyeri akan meningkat pada tahap pre-ulserasi

(Casiglia, 2015).

3. Tahap ulseratif, terjadi selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap

ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan dibungkus oleh
17

lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang

berkurang (Casiglia, 2015).

4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke-4 hingga 35. Ulser akan ditutupi

oleh epitalium. Penyembuhan luka terjadi dan sering menyisakan jaringan

parut yang dimana lesi RAS pernah mucul. Semua lesi RAS sembuh dan

berkembanglah lesi baru (Casiglia, 2015).

Berdasarkan gambaran klinis RAS dibagi menjadi tiga tipe antara lain:

1. SAR Tipe Minor

Keadaan yang biasa atau tipe RAS yang paling sering ditemui, biasanya

ulser berbentuk bulat atau bulat telur. Lesi paling sering muncul di mukosa bukal

dan mukosa labial. Lesi biasanya jarang muncul pada palatum atau gingiva yang

berkeratin. Pada RAS yang ringan, lesi mencapai ukuran 0,3-1,0 cm, disebut juga

minor ulcer dan memulai penyembuhan dalam satu minggu. Penyembuhan tanpa

scarring biasanya selesai dalam 10-14 hari (Greenberg and Glick. 2008).

Gambar 3.1 RAS Tipe Minor


18

2. SAR Tipe Mayor

Pasien dengan major ulcer mempunyai lesi yang dalam dan mempunyai

diameter lebih besar dari 1cm (bisa mencapai 5cm). Sebagian besar dari mukosa

oral dapat tertutupi oleh ulcer besar yang dalam dan dapat menjadi confluent. Lesi

sangat menyakitkan dan menganggu saat bicara dan saat makan. Banyak dari

pasien ini secara terus menerus meninggalkan satu klinisi dan mendatangi klinisi

yang lain, hanya untuk mencari “penyembuhan”. Lesi dapat bertahan selama

sebulan dan terkadang dapat menjadi salah diagnosa sebagai squamous cell

carcinoma, penyakit granulomatous kronis, atau pemphigoid. Lesi ini sembuh

secara pelan-pelan dan meninggalkan bekas (parut) yang dapat mengakibatkan

berkurangnya mobilitas dari uvula dan lidah dan penghancuran dari sebagian

mukosa oral.

Gambar 3.2 RAS Tipe Mayor

3. SAR Tipe Herpetiform

Jenis RAS yang paling jarang terjadi adalah tipe herpetiform, yang

cenderung terjadi pada orang dewasa. Pada pasien akan muncul small punctate

ulcer yang menyebar di sebagian besar mukosa oral (Greenberg and Glick. 2008).

Ulkus awalnya 1-3 mm, tetapi dalam jumlah yang sangat banyak (Scully, 2010).
19

Gambar 3.2 RAS Tipe Herpetiform

3.2.4 Diagnosa

Diagnosis ada berdasarkan riwayat lesi, pemeriksaan klinis, jika perlu

pemeriksaan darah untuk mencari kemungkinan adanya gambaran abnormal pada

MCV (mean corpuscular volume). Diagnosis stomatitis aftosa rekuren ditentukan

berdasarkan riwayat rekurensi lesi dan sifat lesi yang dapat sembuh sendiri.

Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser.

Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada

mulutnya, lokasi ulser berpindah-pindah dan sering berulang. Harus ditanyakan

sejak dari umur berapa terjadi, lama (durasi), serta frekuensi ulser. Setiap

hubungan predisposisi juga harus dicatat. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan

ulser pada bagian mukosa mulut dengan bentuk yang oval dengan lesi ±1 cm yang

jumlahnya sekitar 2-6. Pemeriksaan tambahan diperlukan seperti pemeriksaan

sitologi, biopsi, dan kultur bila ulser tidak kunjung sembuh (Murchison, 2014).
20

3.2.5 Pengobatan

Meskipun stomatitis apthous recurrent dapat sembuh secara spontan

dalam 10-14 hari setelah onset, namun kelainan ini dapat menimbulkan rasa yang

sangat sakit. Tujuan dari terapi harus dapat mengurangi inflamasi, meminimalisir

rasa sakit dan rasa tidak nyaman, serta mempercepat proses penyembuhan.

Bebebrapa pengobatan yang dianggap baik meliputi penggunaaan antibiotik, obat

kumur antimikroba, dan suplemen makanan.

Pengobatan diberikan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Pada kasus

yang ringan dengan 2-3 lesi ringan dapat digunakan obat topikal seperti Orabase

atau Zilactin. Sebagai pereda rasa sakit dapat digunakan topikal anestesi atau

diklofenak. Topikal analgesik dengan sediaan dengan sediaan obat kumur atau

spray, seperti benzydamine hidrochloride dapat digunakan untuk mengrangi

ketidaknyamanan. Bagaimanapun, 2% gel lignocaine, digunakan secara langsung

atau dicairkan sebagai obat kumur, lebih efektif untuk kasus SAR yang parah.

Penggunaan jangka panjang lignocaine tidak disarankan, karena mempunyai efek

sistemik jika terabsorbsi. Obat untuk tenggorokan (Over-the-counter throat

Lozenges) yang mengandung anestesi, selalu dikombinasikan dengan antiseptik,

dapat digunkan untuk mengurangi ketidaknyamanan RAS tapi kebanyakan

mengandung gula. Beberapa pasien juga membutuhkan analgesik sistemik seperti

ibuprofen dan parasetamol.

Bahan antiseptik dapat sangat membantu untuk menguraangi infeksi

sekunder sementara, dengan sediaan obat kumur, gel, an pastiles. Obat kumur

klorheksidin digunakan secara luas untuk perawatan sistomatik SAR dan


21

membantu pasien yang sulit memelihara kebersihan mulutnya. Digunakan 3 kali

sehari setelah makan dan dikumur dalam mulut sekitar 1 menit, mengurangi

durasi dan ketidaknyaman SAR. Larutan zink sulfat dan zinnk klorida juga

mempunyai efek yang menguntungkan.

Pada kasus berat digunakan kortikosteroid topikal seperti flucinonide,

betamethasone, atau clobetasol untuk mempercepat waktu penyembuhan dan

mengurangi ukuran lesi. Gel dapat digunakan 2 – 3 kali sehari sesudah makan dan

saat akan tidur. Pada lesi yang lebih besar tetapi dapat dilakukan dengan

meletakkan gauze sponge yang berisi topikal steroid pada lesi lalu dibiarkan

selama 15 – 30 menit. Area lesi dikeringkan sebelum aplikasi topikal

kortekosteroid, kemudian obat diaplikasikan tanpa tekanan didaerah lesi. Pasien

diinstruksikan untuk tidak makan dan minum sekitar satu jam setelah aplikasi

topikal kortikosteroid tersebut. Obat topikal lainnya yang dapat mengurangi waktu

penyembuhan SAR adalah tetrasiklin topikal, yang dapat digunakan sebagai obat

kumur atau diaplikasikan pada gauze sponge. Pada lesi mayor atau lesi minor

yang multipel dan tidak merespon terapi topikal diberikan terapi sitemik seperti

kolchicines, pentoxifyllin, dapsone, steroid sitemik dan thalidomide.

3.2.6 Pembahasan

Faktor yang diperkirakan dapat mengakibatkan RAS yaitu faktor genetik,

penggunaan tembakau, siklis menstruasi, kekurangan hematinik (zet besi, folat

atau vitamin B12), trauma, stres , dan makanan tertentu (Scully, 2010). Selain itu

ada beberapa penyakit menular yang dapat mengakibatkan ulserasi yaitu AIDS
22

(infeksi HIV), cacar air, cytemagalovirus, gonorrhoea, herpangina, sipilis,

toxoplasma, dan TBC (Scully, 2008).

Lesi RAS bisa sangat mirip dengan manifestasi penyakit lain dan sulit

dibedakan dengan beberapa penyakit tertentu. Untuk membedakannya, ada

beberapa hal yang perlu diketahui di yaitu Jumlah, bentuk, dan ukuran lesi, serta

seberapa sering lesi hilang timbul (rekuren), usia penderita saat pertama kali

timbul sariawan, perubahan mukosa atau jaringan kutan, ada/tidaknya keterlibatan

sistem organ atau adanya gejala lain dan obat-obatan yang sedang dikonsumsi

(Casiglia, 2015).

Terapi stomatitis aftosa rekuren tidak memuaskan dan tidak ada yang

pasti. Telah banyak obat yang dicoba menanggulangi stomatitis namun tidak ada

yang efektif. Jadi, sebaiknya dilakukan pencegahan dengan cara Hindari stress

yang berlebihan, dan tingkatkan kualitas tidur minimal 8 jam sehari, perbaiki pola

makan, dan menghindarkan penyebab seperti kebiasaan merokok, bumbu masak

yang merangsang, makan makanan yang panas, dan menjaga kebersihan gigi dan

mulut (Murchison, 2014).

3.3 Differential Diagnosis

Diagnosis pembanding untuk RAS antara lain:

3.3.1 Traumatic Ulcer

Traumatic ulcer merupakan kelainan yang berbentuk ulkus pada mukosa

rongga mulut yang disebabkan oleh paparan trauma (Cawson and Odell, 2002).

Secara klinis, traumatic ulcer terlihat sebagai suatu lesi ulseratif, dapat tunggal
23

atau multipel, berbentuk simetris atau asimetris, bentuk oval dan cekung, eritema

di perifer, bagian tengah berwarna kuning-kelabu dan terasa sakit (Cawson and

Odell, 2002 ; Field, 2003). Ukuran dari ulkus bervariasi tergantung dari trauma

yang menjadi penyebab (Cawson and Odell, 2002 ; Gandolfo et al, 2006). Rongga

mulut dilapisi oleh suatu mukosa tipis yang tersusun dari epithelium dan tidak

setebal epithelium kulit sehingga mukosa tersebut lebih mudah mengalami luka

trauma (Field and Longman, 2003 ; Gandolfo et al, 2006). Paparan trauma

tersebut kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan integritas epitel sehingga

menimbulkan suatu bentuk lesi ulseratif, dapat meluas pada lapisan dalam

mengenai jaringan ikat sehingga menimbulkan rasa nyeri yang berat (Greenberg

and Glick, 2008).

Traumatic ulcer secara umum dapat terjadi pada semua usia, baik pria

maupun wanita dengan lokasi yang bervariasi yaitu pada mukosa pipi, mukosa

bibir, palatum dan tepi perifer lidah dengan ukuran lesi bervariasi dari beberapa

millimeter hingga centimeter (Cawson and Odell, 2002 ; Field and Longman,

2003 ; Gandolfo et al. 2006). Lesi biasanya berwarna kemerahan dan dibagian

tengahnya berwarna putih kekuningan berupa membran fibrinopurulen (Field and

Longman, 2003 ; Gandolfo et al. 2006).

Persamaannya dengan RAS adalah pemicunya trauma pada mukosa.

Perbedaannya yang utama dengan RAS adalah RAS dapat dilihat adanya

keterlibatan dari Human Leucocyte Antigen (HLA) dan bersifat rekuren

sedangkan ulser traumatik tidak adanya keterlibatan dari HLA dan tidak rekuren

karena disebabkan oleh faktor lokal. Bentuk lesi RAS berbentuk bulat atau oval,
24

sedangkan ulser traumatik irregular. RAS biasanya mengenai mukosa non keratin

seperti mukosa bukal dan labial, sedangkan ulser tarumatik dapat mengenai

palatum, gingiva, dan lidah (Greenberg dan Glick, 2003).

Tabel 3.1 Perbedaan traumatic ulcer dan RAS

3.3.2 Behcet’s Disease

Merupakan penyakit imunokompleks yang mengarah pada vasculitis dari

pembuluh darah kecil dan sedang dan inflamasi dari epitel yang disebabkan oleh

limfosit T dan plasma sel yang imunokompeten. Ditandai dengan karakteristik

triad gejala : ulser oral rekuren, ulser genital rekuren, dan lesi pada mata. Diduga
25

memiliki kesamaan mekanisme respon imun dengan RAS. Lesi tunggal yang

paling umum terjadi pada Behçet’s syndrome terjadi di mukosa oral. Ulser oral

rekuren muncul pada lebih dari 90% pasien; lesi ini tidak dapat dibedakan dari

RAS. Beberapa pasien memiliki riwayat lesi oral ringan yang rekuren; beberapa

pasien lainnya memiliki lesi yang beRAS dan dalam serta meninggalkan jaringan

parut yang mirip dengan lesi RAS mayor (Greenberg and Glick. 2008).

Gambar 3.4 Lesi menyerupai aphtous pada penderita Behcet’s Disease


(Greenberg, and Glick,2003)

3.3.3 Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV)

Rekuren Perbedaan utama dengan SAR adalah dalam hal faktor etiologi/

penyebabnya yaitu pada infeksi HSV adalah virus sedangkan pada RAS dapat

multifaktorial.

Secara klinis mirip dengan RAS tipe herpetiform. Perbedaannya dengan

RAS adalah lesi RAS terbentuk dari papul yang ruptur, sedangkan infeksi HSV

lesi awalnya adalah vesikel. Infeksi HSV disertai dengan keluhan sakit, rasa

terbakar, gatal, dan bisa melibatkan mukosa berkeratin sedangkan RAS tidak

disertai gatal dan hanya mengenai mukosa non keratin. Infeksi herpes rekuren

dalam rongga mulut (recurrent herpes labialis [RHL]; recurrent intraoral herpes
26

simplex infection [RIH]) muncul pada pasien yang pernah terinfeksi herpes

simpleks dan memiliki serum antibodi untuk melawan infeksi eksogen primer.

Herpes rekuren bukan merupakan infeksi berulang melainkan re-aktivasi virus

yang menjadi laten dalam jaringan saraf antara episode-episode dan masa

replikasi.

Herpes simpleks dapat dikultur dari ganglion trigeminal pada jasad

manusia, dan lesi herpes rekuren bisaanya muncul setelah pembedahan yang

melibatkan ganglion tersebut. Herpes rekuren dapat juga diaktivasi oleh trauma

pada bibir, demam, sinar matahari, imunosupresan, dan menstruasi. Virus berjalan

ke bawah menuju batang saraf untuk menginfeksi sel epitel, menyebar dari sel ke

sel dan menyebabkan lesi (Greenberg and Glick. 2008).

Tabel 3.2 Perbedaan Infeksi HSV rekuren dan RAS tipe herpetiform
27
BAB IV

PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan intraoral ditemukan mukosa labial pasien terdapat lesi

ulser berwarna putih, bentuk bulat, reguler, diameter ±3mm dan didiagnosa

sebagai Reccurent Aphthous Stomatitis. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan

pada literatur, bahwa gambaran klinis dari Reccurent Aphthous Stomatitis adalah

biasanya ulser berbentuk bulat atau bulat telur, tidak melekat pada gusi atau

langit-langit keras dan jarang pada dorsum lidah, diameternya 2-4 mm, sembuh

dalam waktu 10 hari tanpa meninggalkan jaringan parut.

Sampai sekarang faktor-faktor penyebab RAS belum diketahui dengan

pasti. Tetapi ada beberapa faktor umum yang diperkirakann menjadi penyabab

RAS antara lain; faktor keturunan, faktor defisiensi nutrisi, dan faktor gangguan

imunologi. Faktor utama yang diperkirakan dapat menyebabkan SAR adalah stres.

Stres merupakan salah satu terminologi yang popular dibicarakan dalam

percakapan sehari-hari seiring meningkatnya modernisasi dan dinamika

kehidupan. Dalam kasus ini, pasien mengalami Reccurent Aphthous Stomatitis

yang disebabkan karena pasien jarang makan makanan berserat seperti sayur dan

buah-buahan, konsumsi air minum pasien juga mengalami stress.

Pasien mengaku bahwa sariawan muncul tiba-tiba. Sariawan terasa

semakin perih pada saat makan dan minum (panas maupun dingin), berkumur,

dan berbicara. Pasien belum pernah mengobati sariawan tersebut. Keadaan

psikologis pasien saat ini sedang kurang baik (banyak pikiran/stress). Pasien juga

27
28

mengaku sering mengalami sariawan yang muncul tiba-tiba atau kadang

disebabkan karena menyikat gigi terlalu keras, sariawan biasa sembuh 7-14 hari.

Selain itu pasien memiliki pola tidur yang kurang baik dimana pasien sering tidur

setelah jam 12 malam dan bangun sekitar jam 5. Pasien ingin sariawannya dirawat

dan diobati.

Pada pemeriksaan intraoral ditemukan adanya ulser berwarna putih yang

dikelilingi daerah eritem, dengan diameter kurang lebih 5 mm berbentuk bulat di

mukosa bukal regio gigi 14. Dari anamnesis dan pemeriksaan klinis, dapat

disimpulkan diagnosis penyakit dari pasien ini adalah RAS (Recurrent Aphthous

Stomatitis) a/r mukosa bukal rahang atas yang muncul tiba-tiba dan diperkirakan

faktor predisposisinya adalah sedang mengalami / mengaku dalam keadaan stress

fisik / kelelahan / pola tidur yang kurang baik dan stress psikologis / banyak

pikiran serta kurang mengonsumsi buah-buahan dan sayuran hijau dalam jumlah

yang cukup.

Imunitas dapat merupakan pengaruh timbulnya RAS. Imunitas dapat

dipengaruhi oleh kondisi psikologis pasien dimana saat pemeriksaan pasien

mengaku sedang mengalami stress psikologis (banyak pikiran) dan stress fisik

(pola tidur tidak baik) sehingga imunitasnya menurun. Stress berpengaruh pada

kondisi rongga mulut, merupakan faktor predisposisi dari terjadinya RAS. Stress

berhubungan dengan fungsi hormonal, dimana di saat stress bagian emosional dari

otak akan mempengaruhi pengeluaran hormon dari kelenjar pituitary dan kelenjar

adrenal. Hormon-hormon tersebut yang dikeluarkan adalah adrenalin dan kortisol.

Pengeluaran kortisol yang berlebihan akan menekan fungsi sistem imun dengan
29

mengurangi limfosit (Imanda, 2003). Imunitas yang paling banyak berperan pada

RAS adalah imunitas selular. Limfosit merupakan tipe sel dominan pada lesi

RAS. Pada stadium akhir pada lesi berat terlihat dominasi limfosit dan histokit.

Diketahui neutrofil darah perifer berperan penting dalam memfagosit dan

mengeliminasi materi antigen atau produk dari jaringan ikat yang rusak pada RAS

ketika mengevaluasi tungsi limfosit. Adanya Streptococcus sanguis dengan

frekuensi tinggi pada daerah lesi dini menjelaskan kemungkinan kuman tersebut

ikut berperan serta dalam proses terjadinya RAS. Hal ini menunjang pernyataan

adanva reaksi silang mikroba dengan antigen mukosa mulut dan menginduksi

respon imun dengan terbentuknya autoantibodi terhadap epitel rongga mulut

(Systig, et al. 2001).

Ulser aftosa biasanya berkaitan dengan keadaan imunologi, sehingga

perawatannya mencakup obat - obat yang dapat mengatur atau mengendalikan

respon imun (Systig, et al. 2001). Terapi yang diberikan kepada pasien adalah

pemberian resep triamcinolone acetonide yang diaplikasikan pada lokasi ulser

dengan menggunakan cotton bud, multivitamin, serta obat kumur chlorhexidine

gluconate 0,05% untuk pengobatan Recurrent Aphthous Stomatitis. Pasien juga

dianjurkan untuk melakukan skeling ke dokter gigi serta menjaga kebersihan

rongga mulutnya, lebih sering mengonsumsi sayur dan buah-buahan, serta

memperbaiki pola tidur yang tidak cukup. Setelah 14 hari pasien datang kembali

untuk kontrol dengan keadaan ulkus pada mukosa labial rahang atas sudah

sembuh karena pasien sudah melakukan instruksi


BAB V

KESIMPULAN

Pasien pada laporan kasus ini didiagnosa dengan Recurrent Aphthous

Stomatitis (RAS). Pada kunjungan pertama Pasien diberikan triamcinolone

acetonide, obat kumur chlorhexidine gluconate 0,05% dan multivitamin, yang

ditujukan untuk terapi RAS. Pada kunjungan kontrol didapatkan lesi RAS pasien

sudah sembuh. Selain itu dianjurkan juga untuk mengonsumsi sayur dan buah-

buahan serta tetap menjaga kebersihan mulutnya dan mengkonsumsi sayuran

hijau (Fe) dan vitamin B12 (berupa protein hewani), serta menjaga pola makan

sehat dan pola tidur yang cukup sebagai upaya memperbaiki kondisi sistemiknya.

Sebagai terapi lanjutan untuk mencapai keadaan oral hygiene yang baik

dianjurkan untuk melakukan skeling ke dokter gigi.

30
DAFTAR PUSTAKA

Avery, J.K. dan Chiego,D.J. 2006. Essentials of Oral Histology And


Embryology., A Clinical Aproach. 3 ed. By Mosby, Inc. Hal 177-183.
Balogh, M.B. Fehrenbach, M.J. 2006.Dental Embryology, Histology, and
Anatomy. Second Edition.Certified Medical Illustrator, AMI. Oak Park,
Illinois. Hal 105-114.
Casiglia JM. Aphthous stomatitis clinical presentation.
icine.medscape.com/article/1075570-clhttp://emedinical#showall . 29
Oktober 2015.
Cawson, R.A. ; E.W. Odell. 2002. Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. 7th ed. Churchill Livingstone : Edinburg.
Field, A and L. Longman. 2003. Tyldesley's Oral Medicine. 5th ed. New York :
Oxford University Press.
Fitri H, Afriza D. Prevalensi stomatitis aftosa rekuren di panti asuhan kota
Padang. J B-Dent 2014; 1 (1): 24-8.
Gandolfo et al. 2006. Oral Medicine. Churchill Livingstone : Elsevier.
Greenberg and Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine: Diagnosis and Treatment.
11th edition. Ontario: BC Decker Inc.
Imanda, K. 2003. Stress dan Manifestasinya di Rongga Mulut serta Perawatannya.
Medan: FKG USU.
Imanda, K. 2003. Stress dan Manifestasinya di Rongga Mulut serta Perawatannya.
Medan: FKGUSU.
Jahan-Parwar, B., Blackwell, K., 2011. Lips and Perioral Region Anatomy.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/835209-
overview#a1. [Accessed 9 Oktober 2017].
Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SR. Reccurent Aphthous Stomatitis. 23
Desember 2005. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16%20390463. 17
Oktober 2015.
LewisAO, Jordan CK, 2012.Oral Medicine. London: Manson Publising Ltd.
Murchison DF. Recurrent aphthous stomatitis. Agustus 2014.
http://www.merckmanuals.com/professional/dental-disorders/symptoms-
of-dental-and-oral-disorders/recurrent-aphthous-stomatitis. 30 Oktober
2015.
Porter, S.R., and Scully, C., 2006, Oral Malodour (Halitosis), Biomoleculer
Medicine Journal, 333: 632-635
Scully C. Medical problems in dentistry. 6th ed. China: Elsevier, 2010: 292-3.
Scully, C. 2008. Oral and Maxillofacial Medicine: The Basis of Diagnosis and
Treatment. 2nd edition. USA: Elsevier.
Seeley, R.R., Stephens, T.D., Tate, P., Akkaraju,S.R., Eckel, C.M., Regan, J.L. et
al., 2008. Digestive System. Anatomy & Physiology Eighth Edition.
United States of America: The McGraw -Hill Company, Inc, 874-876.
Sumintarti, Marlina. Hubungan antara level estradiol dan progesterone dengan
stomatitis aftosa rekuren. Dentofasial 2012; 11 (3): 137-40.

31
32

Systig S, et al. 2001. Natural immunity in recurrent aphthous ulceration. J Oral


Pathology Medicine
Tortora G.J., Derrickson B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
12thedition. John Wiley and Sons. 959-63.
33

Anda mungkin juga menyukai