USULAN PENELITIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2016
JUDUL : RANCANGAN RUMUS SIDIK RUGAE PALATINA ANAK
DI BIDANG FORENSIK KEDOKTERAN GIGI
Menyetujui:
Pembimbing Utama,
Pembimbing Pendamping,
iii
2.6.3 Mekanisme Pembentukan Model Secara Umum………………...25
2.6.4 Pembentukan Model Matematika Sederhana……………………28
2.6.5 Penyelesaian Model Matematika………………………………...29
2.6.6 Karakteristik Model Matematika yang Baik……………………..29
iv
DAFTAR TABEL
No.
Teks Hal
Tabel
Tabel 3. 1 Data Sidik Rugae Palatina Anak Usia 14 - 16 tahun yang ada di SMP
PGRI 1 Jatinangor ............................................................................... 12
Tabel 2. 1 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan ukuran menurut Lysell dengan
modifikasi .......................................................................................... 18
Tabel 2. 2 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan ukuran menurut Martin dos
Santos ................................................................................................ 19
Tabel 2. 3 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan arah menurut Carrea dengan
modifikasi ......................................................................................... 20
iv
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks Hal
Gambar
v
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara yang rawan bencana. Hal ini terbukti dari
bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana.
Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko
berpengaruh bagi timbulnya bencana alam, seperti gampa bumi, letusan gunung
berapi serta tsunami. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia juga merupakan salah
dan terdapat berbagai macam metode diantaranya yaitu analisis DNA, sidik jari,
dan perbandingan gigi. Odontologi forensik yang merupakan salah satu bagian
dari ilmu forensik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk aplikasi ilmu kedokteran
gigi dalam kepentingan peradilan (Shamim et al, 2006; Elza, 2008). Salah satu
contoh dari aplikasi tersebut adalah membantu proses identifikasi dalam kasus
kriminal atau bencana massal. Pada keadaan tertentu seperti pada kasus mayat
1
2
identifikasi dengan menggunakan sidik jari, atau pada korban dengan rahang
Rugae palatina juga dikatakan dapat digunakan sebagai determinasi ras atau jenis
perubahan yang terjadi pada pola rugae palatina pada kasus kebakaran atau pada
kadaver. Jadi ketika proses identifikasi dengan menggunakan analisa sidik jari
tidak dapat dilakukan pada kasus kebakaran atau korban yang telah mengalami
bahwa salah satu pendekatan dalam perumusan sederhana sidik rugae palatina
suatu sistem atau problem pada dunia nyata dalam pernyataan matematik yang
deskripsi dari sebuah sistem yang menggunakan konsep dan bahasa matematik
(Widowati, 2007).
Studi tentang sidik jari dan rugae palatina memiliki metode yang sama
dan didasarkan atas dasar ilmiah yang sama (Eboh, 2012). Rumus sidik jari yang
3
karakteristik dari masing-masing sidik jari. Setiap rugae palatina juga mempunyai
beberapa kekhasan seperti pada bentuk, ukuran, arah, dan jumlah ridge yang dapat
dianalogikan terhadap karakteristik yang dimiliki oleh sidik jari. Pada keadaan
tertentu, sidik jari sebagai salah satu sarana identifikasi diri tidak lagi dapat
ditentukan dan akan menjadi sulit dilakukan, misalnya jika terjadi kebakaran.
Sidik jari memiliki posisi rentan dan tidak terlindung yang memungkinkan pola
dan ciri dari sidik jari tersebut rusak sehingga tidak lagi dapat digunakan sebagai
rancangan rumus sidik rugae palatina anak di bidang forensik kedokteran gigi.
rumus sidik rugae palatina anak di bidang forensik kedokteran gigi yang dapat
bidang forensik kedokteran gigi dan secara aplikatif dari rancangan rumus sidik
dari palatum keras dan unik pada setiap individu dan merupakan membrane
mukosa yang irregular dan asimetris meluas kelateral dari papilla insisivus dan
bagian anterior dari median palatal raphe (Prasad, 2012; Chairani, 2008).
Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu pembentukan
Pada akhir minggu keempat, terbentuk lima buah tonjolan pada daerah
wajah yang mengelilingi satu rongga mulut primitif yang disebut stomodeum.
Tonjolan wajah ini disebut juga prosesus fasialis terdiri dari dua buah tonjolan
maksila atau prosesus maxillaris (terletak dilateral stomodeum), dua buah tonjolan
tersebut akan terbentuk nasal pit yang merupakan lubang hidung primitif.
Prosesus maxilaris kanan dan kiri secara bersamaan akan mendekati prosesus
nasalis lateral dan medial. Selama dua minggu berikutnya prosesus maxillaris
akan terus tumbuh ke arah tengah dan menekan prosesus nasalis medialis ke arah
midline. Kedua prosesus ini kemudian akan bersatu dan membentuk bibir atas.
Prosesus nasalis lateralis tidak berperan dalam pembentukan bibir atas tetapi
Pada minggu keenam terbentuk lempeng palatum atau palatal shelves dari
bergerak kearah medial dan horizontal dan berfusi membentuk palatum sekunder.
Dibagian anterior, kedua palatal shelves ini akan menyatu dengan palatum primer.
lempeng palatum dan palatum primer ini terjadi antara minggu ke 7 sampai
Rugae palatina memiliki sifat yang stabil, unik dan individual pada setiap
orang dan dapat digunakan sebagai sarana identifikasi (Sanjaya, 2010). Penelitian
Sharma (2009) yang menyatakan bahwa rugae palatina adalah unik untuk setiap
individu yang berarti tidak ada pola rugae palatina yang identik pada dua individu
Beberapa peneliti dari India yaitu Mandeep Singh Virdi MDS Pediatric
Dentistry , Yujwinder Singh MDS Oral Pathology , Adarsh Kumar MDS Public
selama kurun waktu tersebut yang dapat mengubah stabilitas dan keunikan dari
Thomas et al. Lalu palatal rugae setiap individu pada pre dan post traetment
Hasilnya adalah tidak ada perbedan yang signifikan (p<0,05) antara palatal rugae
pada pre dan post treatment. Sehingga dapat dikatakan bahwa sidik palatal adalah
unik pada setiap individu dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang
sepanjang waktu pada setiap individu dan tidak berubah dikarenakan penyakit,
trauma, bahan - bahan kimia atau panas yang berlebih (Hermosilla, 2009). Rugae
terlindungi oleh bibir, pipi, lidah, gigi, dan tulang. Dan juga rugae palatina tidak
mengalami dekomposisi sampai dengan 7 hari setelah kematian (Ines et al, 2007).
definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai
usia 21 tahun. (Kemenkes RI, 2014). Pola dari rugae palatal dapat mengalami
7
perubahan sejalan dengan usia, seperti yang ditunjukkan dari hasil penelitian pada
10 kasus Aborigines oleh Kapali et al (Nayak, 2007). Model studi pertama dibuat
pada saat anak berumur 6 tahun dan model studi kedua dibuat pada saat anak
berumur 20 tahun, kemudian pola ruga palatal dari kedua model studi tersebut
dengan usia, namun jumlah total ruga tetap konstan. Setelah usia 10 tahun rugae
palatina tidak berubah baik dalam ukuran maupun bentuk (Shukla et al, 2011).
Van der Linden membuktikan bahwa ruge anterior tidak memanjang setelah umur
10 tahun dan karakteristik lainnya seperti bentuk, posisi, dan unifikasi tetap stabil
Rentang waktu antara model awal dan akhir merupakan saat peralihan dari
periode gigi geligi sulung, bercampur hingga periode gigi tetap, sehingga
gigi dan pergerakan gigi. Meskipun begitu, ternyata insiden dari perubahan bentuk
ruga palatal yang didapati pada penelitian tersebut tidaklah terlalu besar sehingga
analisa ruga palatal tetap bisa memberikan manfaat yang besar dalam proses
arah dan bentuk, beberapa diantaranya yaitu klasifikasi Lysell, klasifikasi Martin
8
dos Santos, klasifikasi Carrea, Cormoy system, klasifikasi Trobo, dan klasifikasi
Rumus adalah ringkasan yang dilambangkan oleh huruf, angka, atau tanda
(KBBI, 2015). Rugae palatina sebagai salah satu sarana identifikasi, karakteristik
angka dan huruf dengan mengacu pada klasifikasi yang telah ditentukan
(Permatasari, 2013 cit Pretty, 2001). Parameter yang digunakan dalam mencari
rumusan sidik Rugae palatina meliputi rugae utama, rugae tracing, rugae
Rugae utama (MFw) adalah rugae palatina primer pertama pada setiap
Martin dos Santos dengan penamaan bentuk Point atau titik disimbolkan “P”, Line
atau garis disimbolkan “L”, Curve atau Kurva disimbolkan “C”, Angle
Rugae Tracing (δy) adalah proses penentuan arah dominan rugae palatina pada
masing-masing sisi palatum, yang memiliki arah dan ukuran yang stabil dan
anterior disebut “PA”, Tipe II Perpendikular disebut “P”, Tipe III Antero-
Rugae Counting (RCn) adalah jumlah rugae dengan arah yang stabil
dengan rugae utama yang terdapat antara rugae utama sampai rugae selanjutnya
9
yang memiliki arah yang berbeda. Ukuran rugae palatina (Mx) merupakan
ukuran dari setiap rugae yang ditentukan berdasarkan klasifikasi Lyssell dengan
modifikasi penamaan untuk rugae primer yang berukuran lebih dari 5 mm disebut
“I”, rugae sekunder yang berukuran antara 3 sampai dengan 5 mm disebut “II”,
rancangan rumus sidik rugae palatina yang akan membantu identifikasi individu
lebih akurat.
Rugae Palatina
Ukuran (Lysell)
Arah (Carrea) Klasifikasi Rumus
Bentuk (Martin Dos
Santos Parameter
dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran, serta arah rugae palatina setiap
PGRI 1 Jatinangor.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
forensik yang sekarang telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu kedokteran
gigi forensik atau odontologi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran
gigi mengenai cara penanganan dan pemeriksaan bukti-bukti melalui gigi dan
adalah cabang ilmu dari ilmu kedokteran gigi kehakiman yang bertujuan untuk
identifikasi dalam kasus kriminal atau bencana massal (Shamim, 2006 and Pretty,
2001). Identifikasi adalah penentuan dan pemastian identitas orang yang hidup
maupun orang mati berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut.
Ruang lingkup identifikasi dalam kedokteran gigi forensik cukup luas, tidak
hanya meliputi masalah forensik namun juga masalah nonforensik. Identitas yang
mendukung identifikasi dari suatu korban dapat berupa identitas biologis dan non
biologis. Identitas non biologis dapat berupa kartu tanda penduduk, surat izin
tulang belulang, gigi, darah, sidik jari, rambut, profil, DNA dan identitas pada
11
12
bibir (Indri, 2015). Gigi geligi dalam rongga mulut merupakan bagian tubuh yang
terkeras, memiliki sifat individual serta tahan terhadap suhu, kimia, dan trauma.
Posisi gigi geligi dalam mulut memiliki rangkaian jaringan yang secara anatomis,
antropologis dan morpologis terlindungi dengan baik oleh otot pipi, bibir, lidah
serta selalu dibasahi oleh air liur, sehingga jaringan tersebut yang terlebih dahulu
mengalami kerusakan apabila terjadi kebakaran ataupun trauma. Hal semacam ini
dapat menjadi bagian yang sangat baik untuk sarana identifikasi, sehingga metode
2007). Penerapan pola palatal rugae untuk identifikasi pribadi pertama kali
diusulkan oleh Allen pada tahun 1889 (Allen, 1889). Palatal rugoscopy pertama
kali diusulkan pada tahun 1932, oleh penyidik Spanyol bernama Trobo Hermosa
(Pueyo et al 1994). Pada tahun 1937, Carrea melakukan studi rinci dan
1983, Brinon, setelah studi Carrea, dibagi palatal rugae menjadi dua kelompok
(mendasar dan spesifik) dengan cara yang sama dengan yang dilakukan dengan
sidik jari (Pueyo et al, 1994). Dengan cara ini, daktiloskopi (studi sidik jari) dan
palatoscopy (studi rugae palatina) bersatu sebagai metode yang sama berdasarkan
Pada keadaan tertentu seperti pada kasus mayat yang terbakar atau telah
menggunakan sidik jari, atau pada korban dengan rahang edentulous yang tidak
tersebut adalah analisa terhadap rugae palatal. Pemanfaatan ruga palatal sebagai
morfologinya yang unik pada tiap individu (Shamim, 2006; Liebgott, 2001)
pada individu kembar juga tidak didapati pola ruga palatal yang sama (Pretty,
dapat ikut berperan dalam bidang forensik sebagai salah satu bentuk identifikasi.
Studi yang dilakukan oleh English dkk dan El-Fotoh dkk membuktikan bahwa
pola rugae palatina benar-benar unik untuk individu dan dapat digunakan untuk
identifikasi. Selain itu, rugae palatina adalah unik untuk setiap individu, memiliki
bentuk konstan, dan permanen. Pada kasus perawatan orthodontik pun tidak
Selain menjadi unik untuk setiap individu, rugae palatina juga terlindungi
dari trauma karena posisinya yang berada di dalam kepala dan terisolasi dari
panas oleh bantalan lemak, lidah, dan bukal, tidak seperti sidik jari yang posisinya
tidak terlindung sehingga relatif lebih rentan hancur pada kejadian kecelakaan
hebat (Sharma, 2009). Rugae palatina telah dianggap relevan untuk identifikasi
14
dengan sidik jari, yang unik untuk setiap individu. Sebagian besar korban luka
terjadi perubahan, perubahan yang terjadi tidaklah separah perubahan yang pada
karakteristik unik yang dapat digunakan dalam situasi di mana sulit untuk
Rugae palatina merupakan rigde dari membran mukosa yang irregular dan
asimmetris meluas kelateral dari papila insisivus dan bagian anterior dari median
palatal raphe (Caldas, 2007). Rugae palatina terdapat pada bagian rahang atas dari
rongga mulut. Rugae palatina dapat dengan mudah dilihat, diraba, dan dirasakan
dengan lidah. (Avery, 2002). Terdapat tonjolan yang nyata di belakang gigi
incisive sentral rahang atas yang disebut papilla incisive, yang menutupi nervus
asimetris dan tidak teratur dari mukosa yang terletak di sepertiga anterior langit-
langit mulut, terbentuk dari membran lateral papilla incisivum, berada dalam arah
melintang dari median raphe terletak pada bidang midsagittal (Shetty, 2011).
15
Secara anatomis rugae palatina terdiri dari sekitar 3 sampai 7 tonjolan kaku yang
palatina tidak pernah melintasi median raphe. rugae palatina di bagian anterior
biasanya lebih menonjol dari pada rugae di bagian posterior. Bentuk, panjang,
lebar, jumlah dan orientasi rugae palatina antar orang sangat bervariasi
(Manashvini, 2011).
atas jaringan ikat. Serabut jaringan ikat terdapat mulai dari lamina propria sampai
dan penebalan epitel. Selanjutnya, fibroblas dan serat kolagen terakumulasi dalam
jaringan ikat di bawah epitel yang menebal. Serat kolagen terdapat disepanjang
Gambar 2.2 Rugae Palatina (tanda panah) yang terdiri dari serabut jaringan ikat
(Avery, 2002)
tiga perkembangan intrauterin yang berasal dari jaringan ikat yang menutupi
lahir, rugae palatina memiliki pola orientasi yang khas (Venegas, 2009 cit
dan membantu proses pengunyahan Caldas, 2007). Selain itu, dengan adanya
reseptor gustatori dan taktil pada ruga palatal, maka ikut berkontribusi dalam
persepsi rasa, persepsi posisi lidah dan tekstur dari makanan (Pretty, 2001). Rugae
kembar juga tidak didapati pola rugae palatal yang sama (Pretty, 2001).. Karena
17
berperan dalam bidang forensik sebagai salah satu bentuk identifikasi. Ilmu yang
(Shamim, 2006). Pola rugae palatal yang dapat dipelajari meliputi jumlah,
panjang, lokasi dan bentuknya. Pola dari rugae palatal itu sendiri dapat dilihat
melalui cetakan gigi atau foto intra oral (Shamim, 2006; Pretty, 2001). Rugae
yang bersifat individualistik berperan dalam bidang forensik sebagai salah satu
bentuk identifikasi (Pretty, 2001). Winslow tahun 1753 merupakan orang pertama
mulai dari yang sederhana hingga kompleks (Caldas, 2007 cit Chairani, 2008).
panjang rugae palatina dari origin atau ujung terdalam (terdekat dengan median
18
raphe) rugae palatina ke terminal atau ujung terluar rugae palatina (Permatasari,
2013).
Primary ≥ 5 mm Pr
Secondary 3-5 mm Sc
Fragmented 2-3 mm Fg
dan posisi pada masing-masing sisi rugae palatina. Pada rugae palatina di sisi
kanan, rugae palatina yang terletak pada posisi paling anterior diberi simbol
dengan huruf kapital, sedangkan rugae dengan posisi lainnya diberikan simbol
angka, begitu juga dengan rugae palatina di sisi kiri, pada rugae palatina yang
posisinya terletak paling anterior diberi symbol huruf kapital sedangkan posisi
Tabel 2.2 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan bentuk menurut Martin dos
Point P 0
Line L 1
Curve C 2
Angle A 3
Circle 0 4
Sinous S 5
Bifurcated B 6
Trifurcated T 7
Interrupt I 8
Anomaly An 9
berdasarkan arah. Arah rugae palatina ditentukan dengan mengukur sudut yang
20
dibentuk oleh garis yang menghubungkan asal dan akhir terhadap garis tegak
Tabel 2.3 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan arah menurut Carrea dengan
Gambar 2. 3 Arah
Klasifikasi rugae palatina
berdasarkan bentuk;menurut
A. Postero-anterior ; B. Perpendikular ;
martin dos santos
C. Antero-posterior ; D. Berbagai arah (Gandikota, 2012).
2.5 Anak
Menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam
kandungan sampai usia 21 tahun (Kemenkes RI, 2014). Anak merupakan individu
21
yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi
perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses perkembangan anak
memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. Ciri fisik
adalah semua anak tidak mungkin pertumbuhan fisik yang sama akan tetapi
ada sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna dan akan mengalami
sosial pada anak juga mengalami perkembangan yang terbentuk mulai bayi. Pada
masa bayi perilaku social pada anak sudah dapat dilihat seperti bagaimana anak
mau diajak orang lain, dengan orang banyak dengan menunjukkan keceriaan. Hal
dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku sosial juga dapat berubah sesuai
dengan lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak sudah mau bermain dengan
Aspek tumbuh kembang pada anak dewasa ini adalah salah satu aspek
yang diperhatikan secara serius oleh para pakar, karena hal tersebut merupakan
fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang tua belum memahami hal ini,
terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang
relatif rendah. Mereka menganggap bahwa selama anak tidak sakit, berarti anak
2005).
arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel tubuh dan juga
karena bertambah besarnya sel. Adanya multiflikasi dan pertambahan ukuran sel
berarti ada pertambahan secara kuantitatif dan hal tersebut terjadi sejak terjadinya
konsepsi, yaitu bertemunya sel telur dan sperma hingga dewasa (IDAI, 2000).
yaitu menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti bertambahnya
ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala. Pertumbuhan pada masa
usia anak.
kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian bawah. Pada masa
fetal pertumbuhan kepala lebih cepat dibandingkan dengan masa setelah lahir,
bawah akan bertambah secara teratur. Pada usia dua tahun, besar kepala kurang
tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan
diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ -
organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2000). Dengan demikian, aspek
masing - masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan berfungsinya jantung untuk
diharapkan. Beberapa hal penting dan perlu agar model yang dibuat sesuai dengan
konsep masalah antara lain, masalah itu harus dipahami karakteristiknya dengan
baik, disusun formulasi modelnya, model itu divalidasi secara cermat, solusi
suatu replika atau tiruan dari suatu fenomena, peristiwa ataupun suatu sistem.
24
Terdapat tiga jenis model yaitu, model fisik, model analogi dan model matematik.
masalah dari suatu fenomena. Suatu fenomena atau sebuah unsur tertentu dapat
direpresentasikan dengan suatu variabel. Suatu masalah yang timbul akan lebih
mudah dan menjadi tampak sederhana, apabila masalah itu dinyatakan secara
matematik. Misalnya, mutu lulusan sekolah dasar (M) tergantung atas beberapa
antara variabel yang satu dengan variabel lainnya. Perihal mutu lulusan yang
dipengaruhi oleh mutu guru, mutu masukan, relevansi kurikulum dan sarana
penunjang lainnya merupakan kondisi obyektif atau suatu fakta yang secara
25
dan dipandang telah sesuai dengan kondisi sesungguhnya (Budhayanti, clara IS.,
dkk, 2008).
sistem persamaan atau lainnya terdiri atas sekumpulan lambang yang disebut
tersebut dapat dilihat apakah model yang dihasilkan telah sesuai dengan rumusan
dari suatu masalah dikatakan pemodelan matematika (Budhayanti, clara IS., dkk,
2008).
digunakan untuk memprediksi kejadian yang akan muncul dari suatu fenomena
merupakan tahap (pekerjaan) yang paling penting dan sukar. Makin paham akan
masalah yang dihadapi dan kokoh penguasaan matematik seseorang, akan sangat
selalu berusaha untuk mencari model yang sesuai tetapi sederhana. Makin
sederhana model yang diperoleh untuk tujuan yang ingin dicapai makin dianggap
baik model itu. Dalam hal ini model yang digunakan ada-kalanya lebih dari satu
persamaan bahkan merupakan suatu sistem, atau suatu fungsi dengan variabel -
variabel dalam bentuk persamaan parameter. Hal ini tergantung anggapan yang
digunakan. Tidak tertutup kemungkinan pada tahap ini juga dilakukan "uji coba",
karena model matematik ini bukanlah merupakan hasil dari proses sekali jadi
persamaan. Langkah ini harus dilakukan dengan fleksibel secara menyeluruh. Ada
mempunyai lebih dari satu solusi. Solusi atau interpretasi hasil merupakan salah
Setelah solusi di dapat, hasil akan dibandingkan dengan data yg ada untuk
menguji kembali validnya model tersebut dan jika ada kekurangan, model dapat
diperbaiki. Hasil yang dibandingkan antara model dengan data mungkin bisa
kurang baik karena terdapat banyak alasan yang dapat mempengaruhi hasil
tersebut diantaranya adanya kesalahan data yang diambil, dan banyak faktor yang
mungkin mempengaruhi data yang didapat. Untuk itu model yang diperoleh ini
perlu divalidasi, yaitu sejauh mana model itu dapat dianggap memadai dalam
Apabila model yang dibuat dianggap tidak memadai maka terdapat kemungkinan
untuk memodifikasi model yang telah dibuat sehingga model dapat diperbaiki
Solusi Analisis
Langkah pertama baca masalah dengan cermat kemudian tentukan apa yang
diketahui, dan apa yang belum diketahui atau dicari. Tulis dengan lengkap
informasi ini. Langkah ke-dua gunakan variabel untuk menyatakan apa yang
dicari atau ditanyakan. Langkah ke-tiga konstruksi diagram atau bagan untuk
memperoleh nilai variabelnya. Kemudian jika nilai variabel telah diperoleh, perlu
29
diuji hasil itu atau dilakukan interpretasi untuk mengetahui apakah nilai itu valid
atau tidak valid. Hasil yang valid akan menjawab secara tepat model
matematikanya. Hasil seperti inilah yang disebut solusi matematika. Jika nilai
variabelnya tidak valid atau tidak memenuhi model matematika maka solusi
masalah belum ditemukan, dan perlu dilakukan pemecahan ulang atas model
berikut:
1) Sederhana
2) Robus
3) Komprehensif
4) Bersifat adatif
Bila akan diadakan perubahan maka perubahan itu dapat diintegrasikan pada
model.
BAB III
METODE PENELITIAN
(Notoatmodjo, 2010).
1.9.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah anak – anak yang ada di SMP PGRI 1
Jatinangor dan memperlihatkan rugae palatina yang jelas serta memiliki kualitas
baik.
1.9.2 Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 30 orang yang berumur
2. Tidak terdapat kelainan pada palatum seperti celah palatum dan neoplasma
dari palatum keras. Rugae utama adalah rugae palatina yang terletak paling
anterior dan paling menonjol diantara rugae palatina lainnya. Rugae counting
adalah rugae yang searah dengan rugae utama. Rugae tracing adalah proses
1.12 Alat
2. Cermin ortodonti
3. Laptop
1. Instruksikan subjek untuk membuka mulut dengan lebar dan menahan napas
6. Tentukan rugae utama yang merupakan rugae palatina yang terletak pada
posisi paling anterior serta umumnya terlihat paling menonjol diantara rugae
palatina lainnya.
7. Analisis bentuk rugae tersebut dan tentukan serta catat bentuknya menurut
8. Lakukan analisis pada setiap masing-masing sisi kanan dan kiri rugae
palatina.
9. Tentukan dan catat rugae counting yaitu jumlah rugae dengan arah yang stabil
dengan rugae utama yang terdapat antara rugae utama sampai rugae
10. Kemudian analisis arah dominan rugae palatina pada masing-masing sisi
palatum, yang memiliki arah dan ukuran yang stabil dan ditentukan
11. Analisis dari arah rugae utama sampai dengan terjadi perubahan arah pada
12. Analisis juga apabila terdapat perubahan arah yang lebih dari satu kali
perubahan.
13. Analisis bentuk dari setiap rugae palatina yang terdapat pada foto tersebut
14. Ukur panjang setiap rugae palatine dengan menggunakan aplikasi imageJ
Data yang didapatkan akan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik. Data penelitian yang berupa informasi bentuk, jumlah, ukuran, dan arah
rugae palatina dianalisis untuk membuat rumus sidik rugae palatina. Kemudian
seluruh data dari setiap rugae palatina masing-masing foto rugae palatina di buat
Rencana tabel
Tabel 3.1 Data Sidik RugaePalatina Anak Usia 14 - 16 tahun yang ada di SMP
PGRI 1 Jatinangor
Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri
SP1
SP2
SP3
SP4
SP5
SP6
SP7
SP8
35
DAFTAR PUSTAKA
Indri Seta Septadina. April 2015. Identifikasi Individu dan Jenis Kelamin
Berdasarkan Pola Sidik Bibir. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vo.2, No.2:
231-236
Ines MC, Teresa M, Americo A. 2007. Establishing identity using cheiloscopy and
palatoscopy. Forensic Sci Int;165:1–9.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Kondisi pencapaian program kesehatan anak
Indonesia. Available at :
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infoda
tin-anak.pdf (diakses 18 Oktober 2016).
Krishnappa, S.,et al. 2013. Palatal Rugoscopy: Implementation in Forensic
Odontology-A Riview. J. Adv. Med. Dent. Science. 1(2):53-59
Liebgott, B.2001. The Anatomy Basis of Dentistry.2nd Ed. Mosby. St. Louis. Pp 340
Lukman D. 2006. Buku ajar: Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2. Jakarta: CV
Sagung Seto: 13
M Virdi, Y Singh, A Kumar. 2009. Role of Palatal Rugae in Forensic Identification
of the Pediatric Population. The Internet Journal of Forensic Science. Volume 4
Number 2.
Manashvini, S; Patil; B, Sanjayagouda; A.B, Acharya. 2011. Palatal Rugae and Their
Significance in Clinical Dentistry. J Am Dent Assoc.; 139; 1471-1478
Manjunath, S, Shankar M Bakkannavar, Pradeep Kumar G,Vrinda J Bhat, Nayana
Prabhu, Asha Kamath, Raghavendra Babu Y P. 2012. Palatal rugae patterns
among the Indians at Manipal, India.Journal of Pharmaceutical and Biomedical
Science Vol 20.
Nayak, P. 2007.Acharya AB, Padmini AT, Kaveri H. Differences in the Palatal
Rugae Shape in Two Populations of India.Arch Oral Biol Vol 52 (10) : 82-97.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta .Hal
35.
Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta : Salemba Medika.
Nursamsi, I. 2015. Rumusan Sidik Subras Deutromelayu di Bidang Forensik
Kedokteran Gigi. Skripsi. Bandung: FKG Unpad
Passat J. 2000. Kelainan perkembangan. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
Penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta : BP IDAI ;.h.104-36.
Permatasari, A. 2013. Identifikasi sidik rugae palatina subras Deuteromelayu dengan
pendekatan rumus sidik jari sebagai aplikasi forensik kedokteran gigi. Skripsi.
Bandung: FKG Unpad.
Prasad, S; G. Sujatha;G. Sivakumar; J. Muruganadhan. Februari-April 2012.Forensic
dentistry-what a dentist should know.Indian Journal of Multidisciplinary
Dentistry. Vol. 2, Issue 2.
Pretty IA and Sweet D. 2001. A Look at Forensic Dentistry — Part 1: The Role of
Teeth in The Determination of Human Identity.British Dental Journal, Vol. 190
(7) : 359- 66.
37
Pueyo VM, Garrido BR, Sanchez JA. 1994. Odontologialegal. Forense, Masson,
Barcelona: p. 277-92.
Pusat BahasaDepartemen Pendidikan Naional Republik Indonesia.2015. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Tersedia di :http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/
(diakses 18 Oktober 2016)
Reddy LVK. 2011. Lip prints: an overview in forensic dentistry. J. Adv Dental
Reasearch; II(I): 17-20
Sadler TW. 2010. Langman’s medical embryology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Sanjaya, P.R; S, Gokul; K.J, Prithviraj; S, Rajendra. 2012. Significance of Palatal
Rugae. International Journal of Dental Update;2(2):74-8
Santos, D; M.S, Clemente; Fernandes; S, Monica. 2011. Evaluation of A Digital
Methodology for Human Identification Using Palatal Rugoscopy. Biaz J Oral
Sci; 10 : 199-203
Shamim T, Ipe Varughese.V, Shameena PM, Sudha S. 2006. Forensic Odontology –
A New Perspective.Medico-Legal Update., Vol.6 (1) : 1-4.
Sharma, P; S, Saxena; v, Rathod. 2009. Comparative Reliability of Cheiloscopy and
Palatoscopy in Human Identification. Indian JDent Res;20:453-7
Shetty, M; S, Kalia; K, Patil; V.G, Mahima. 2011. Palatal Rugae Pattern in
Mysorean and Tibetan Populations Indian. J Dent Res; 16:515
Shukla D, Chowdhry, Bablani D, Jain P, Thapar R. 2011. Establishing the reliability
of palatal rugae pattern in individual identification (following orthodontic
treatment). Journal Forensic Odontostomatol.29(1):20-29
Sudradjat. 2013. Model dan Simulasi Diktat. Bandung : Jurusan Matematika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
Vanegas, V.H; J.S, Valenzuela; M.C, Lopez; I.C, Galdames. 2009. Palatal Rugae:
Systematic Analysis of Its Shape Dimensions for Use in Human Identification. Int
J Morphol; 27 : 819 – 25
Widowati, Sutimin. 2007. Buku Ajar Pemodelan Matematika. Jurusan Matematika
Universitas Diponegoro Semarang.Hal. 1.