Anda di halaman 1dari 44

RANCANGAN RUMUS SIDIK RUGAE PALATINA ANAK DI BIDANG

FORENSIK KEDOKTERAN GIGI

USULAN PENELITIAN

diajukan untuk menempuh ujian sarjana


pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran

RURI NAWANG SARI


160110130058

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2016
JUDUL : RANCANGAN RUMUS SIDIK RUGAE PALATINA ANAK
DI BIDANG FORENSIK KEDOKTERAN GIGI

PENYUSUN : RURI NAWANG SARI


NPM : 160110130058

Bandung, Desember 2016

Menyetujui:

Pembimbing Utama,

Dr. drg. Hj. Inne Suherna Sasmita, Sp.Ped.

NIP. 19640526 199001 2 001

Pembimbing Pendamping,

Prof. Dr. H. Sudradjat, MS

NIP. 19580519 198601 1 001


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii


DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang Penelitian ......................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah .................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1.5 Kerangka Pemikiran.................................................................................. 4
1.6 Metodologi Penelitian ............................................................................... 9
1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………..11


2.1 Ilmu Forensik Kedokteran Gigi………………………………………..11
2.2 Palatal Rugoscopy……………………………………………………..12
2.3 Rugae Palatina…………………………………………………………14
2.4 Klasifikasi Rugae Palatina……………………………………………..17
2.4.1 Klasifikasi Lysell………………………………………………...17
2.4.2 Klasifikasi Martin dos Santos……………………………………18
2.4.3 Klasifikasi Carrea………………………………………………...19
2.5 Anak…………………………………………………………………....20
2.5.1 Pertumbuhan Anak……………………………………………….22
2.5.2 Perkembangan Anak……………………………………………..22
2.6 Permodelan Matematika………………………………………………..23
2.6.1 Definisi Permodelan Matematika………………………………...24
2.6.2 Manfaat Permodelan Matematika………………………………..25

iii
2.6.3 Mekanisme Pembentukan Model Secara Umum………………...25
2.6.4 Pembentukan Model Matematika Sederhana……………………28
2.6.5 Penyelesaian Model Matematika………………………………...29
2.6.6 Karakteristik Model Matematika yang Baik……………………..29

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 31


3.1 Jenis Penelitian........................................................................................ 31
3.2 Populasi dan Sampel ............................................................................... 31
3.2.1 Populasi ........................................................................................... 31
3.2.2 Sampel............................................................................................. 30
3.3 Variabel Penelitian .................................................................................. 32
3.4 Definisi Operasional ............................................................................... 32
3.5 Alat .......................................................................................................... 32
3.6 Prosedur Penelitian ................................................................................. 32
3.7 Pengumpulan dan Analisis Data ............................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35

iv
DAFTAR TABEL

No.
Teks Hal
Tabel

Tabel 3. 1 Data Sidik Rugae Palatina Anak Usia 14 - 16 tahun yang ada di SMP
PGRI 1 Jatinangor ............................................................................... 12
Tabel 2. 1 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan ukuran menurut Lysell dengan
modifikasi .......................................................................................... 18
Tabel 2. 2 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan ukuran menurut Martin dos
Santos ................................................................................................ 19
Tabel 2. 3 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan arah menurut Carrea dengan
modifikasi ......................................................................................... 20

iv
DAFTAR GAMBAR

No.
Teks Hal
Gambar

Gambar 1.1Kerangka Pemikiran ............................................................................. 8


Gambar 2.1 Rugae Palatina pada Palatum ............................................................ 15
Gambar 2.2 Rugae Palatina yang terdiri dari serabut jaringan ikat ...................... 16
Gambar 2.3 Bagan Mekanisme Pembentukan Model Secara Umum ................... 28
Gambar 2.4 Proses Pemdelan dan Pemecahan Pemodelan .................................. 29

v
vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Indonesia adalah Negara yang rawan bencana. Hal ini terbukti dari

berbagai hasil penilaian tentang risiko bencana, seperti Maplecroft (2010)

menempatkan Indonesia sebagai Negara yang berisiko ekstrim peringkat 2 setelah

Bangladesh. Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi

bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana.

Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko

kehilangan nyawa bila bencana terjadi. Letak geografis Indonesia sangat

berpengaruh bagi timbulnya bencana alam, seperti gampa bumi, letusan gunung

berapi serta tsunami. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia juga merupakan salah

satu faktor yang dabat menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir,

tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan (BNPB, 2013).

Identifikasi manusia merupakan aspek yang terpenting bagi ilmu forensik

dan terdapat berbagai macam metode diantaranya yaitu analisis DNA, sidik jari,

dan perbandingan gigi. Odontologi forensik yang merupakan salah satu bagian

dari ilmu forensik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk aplikasi ilmu kedokteran

gigi dalam kepentingan peradilan (Shamim et al, 2006; Elza, 2008). Salah satu

contoh dari aplikasi tersebut adalah membantu proses identifikasi dalam kasus

kriminal atau bencana massal. Pada keadaan tertentu seperti pada kasus mayat

yang terbakar atau telah mengalami dekomposisi sehingga tidak memungkinkan

1
2

identifikasi dengan menggunakan sidik jari, atau pada korban dengan rahang

edentulous yang tidak memungkinkan identifikasi dengan mengunakan gigi-

geligi, maka diperlukan metode alternatif untuk dapat membantu proses

identifikasi korban. Alternatif tersebut adalah analisa terhadap rugae palatina.

Rugae palatina juga dikatakan dapat digunakan sebagai determinasi ras atau jenis

kelamin (Shamim et al, 2006).

Penelitian oleh Muthusubramanian et al yang mempelajari efek termal dan

dekomposisi terhadap rugae palatina menunjukkan bahwa tidak banyak

perubahan yang terjadi pada pola rugae palatina pada kasus kebakaran atau pada

kadaver. Jadi ketika proses identifikasi dengan menggunakan analisa sidik jari

tidak dapat dilakukan pada kasus kebakaran atau korban yang telah mengalami

dekomposisi, analisa terhadap rugae palatina masih memungkinkan sehingga

dapat membantu proses identifikasi.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Permatasari (2013) menunjukan

bahwa salah satu pendekatan dalam perumusan sederhana sidik rugae palatina

adalah penjabaran dalam pemodelan matematika. Pemodelan matematika

merupakan salah satu bidang matematika yang merepresentasi dan menjelaskan

suatu sistem atau problem pada dunia nyata dalam pernyataan matematik yang

merupakan suatu proses pembuatan model matematika. Model matematika adalah

deskripsi dari sebuah sistem yang menggunakan konsep dan bahasa matematik

(Widowati, 2007).

Studi tentang sidik jari dan rugae palatina memiliki metode yang sama

dan didasarkan atas dasar ilmiah yang sama (Eboh, 2012). Rumus sidik jari yang
3

merupakan kombinasi sejumlah angka dan huruf tertentu diketahui dapat

membantu pengkonversian dan pengolahan citra sidik jari untuk mendapatkan

karakteristik dari masing-masing sidik jari. Setiap rugae palatina juga mempunyai

beberapa kekhasan seperti pada bentuk, ukuran, arah, dan jumlah ridge yang dapat

dianalogikan terhadap karakteristik yang dimiliki oleh sidik jari. Pada keadaan

tertentu, sidik jari sebagai salah satu sarana identifikasi diri tidak lagi dapat

ditentukan dan akan menjadi sulit dilakukan, misalnya jika terjadi kebakaran.

Sidik jari memiliki posisi rentan dan tidak terlindung yang memungkinkan pola

dan ciri dari sidik jari tersebut rusak sehingga tidak lagi dapat digunakan sebagai

sarana identifikasi (Chairani, 2008).

Penelitian sebelumnya yang membahas tentang di ilmu forensik

kedokteran gigi diantaranya mengenai Rumusan Sidik Subras Deutromelayu di

Bidang Forensik Kedokteran Gigi oleh Nursamsi (2015)dan Identifikasi Sidik

Rugae palatina Subras Deuteromelayu Dengan Pendekatan Rumus Sidik Jari

sebagai Aplikasi Forensik Kedokteran Gigi oleh Permatasari (2013) telah

membahas rugae palatina sebagai salah satu sarana identifikasi yang

menunjukkan prospek menjanjikan karena morfologinya yang unik pada setiap

individu. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin meneliti tentang

rancangan rumus sidik rugae palatina anak di bidang forensik kedokteran gigi.

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimanakah rancangan rumus sidik rugae palatina anak di bidang

forensik kedokteran gigi.


4

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah dapat ditemukannya gambaran rancangan

rumus sidik rugae palatina anak di bidang forensik kedokteran gigi yang dapat

dijadikan acuan identifikasi individu pada anak.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini

diharapkan dapat diperolehnya rancangan rumus sidik rugae palatina anak di

bidang forensik kedokteran gigi dan secara aplikatif dari rancangan rumus sidik

rugae palatina dapat menentukan identifikasi pada anak.

1.5 Kerangka Pemikiran

Rugae palatina adalah tonjolan-tonjolan yang terdapat di bagian anterior

dari palatum keras dan unik pada setiap individu dan merupakan membrane

mukosa yang irregular dan asimetris meluas kelateral dari papilla insisivus dan

bagian anterior dari median palatal raphe (Prasad, 2012; Chairani, 2008).

Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu pembentukan

palatum primer yang akan diikuti dengan pembentukan palatum sekunder.

Pada akhir minggu keempat, terbentuk lima buah tonjolan pada daerah

wajah yang mengelilingi satu rongga mulut primitif yang disebut stomodeum.

Tonjolan wajah ini disebut juga prosesus fasialis terdiri dari dua buah tonjolan

maksila atau prosesus maxillaris (terletak dilateral stomodeum), dua buah tonjolan

mandibular atau prosesus mandibularis (arah kaudal stomodeum) dan tonjolan

frontonasalis atau prosesus frontonasalis (ditepi atas stomodeum). Pada minggu ke


5

lima di daerah inferior prosesus frontonasalis akan muncul nasal placode.

Proliferasi mesenkim pada kedua sisi nasal placode akan menghasilkan

pembentukan prosesus nasalis medialis dan lateralis. Diantara pasangan prosesus

tersebut akan terbentuk nasal pit yang merupakan lubang hidung primitif.

Prosesus maxilaris kanan dan kiri secara bersamaan akan mendekati prosesus

nasalis lateral dan medial. Selama dua minggu berikutnya prosesus maxillaris

akan terus tumbuh ke arah tengah dan menekan prosesus nasalis medialis ke arah

midline. Kedua prosesus ini kemudian akan bersatu dan membentuk bibir atas.

Prosesus nasalis lateralis tidak berperan dalam pembentukan bibir atas tetapi

berkembang terus membentuk ala nasi.

Pada minggu keenam terbentuk lempeng palatum atau palatal shelves dari

prosessus maxillaris. Kemudian pada minggu ketujuh lempeng palatum akan

bergerak kearah medial dan horizontal dan berfusi membentuk palatum sekunder.

Dibagian anterior, kedua palatal shelves ini akan menyatu dengan palatum primer.

Pada daerah penyatuan ini terbentuklah foramen insisivum. Proses penyatuan

lempeng palatum dan palatum primer ini terjadi antara minggu ke 7 sampai

minggu ke 10 (Sadler TW, 2010).

Rugae palatina memiliki sifat yang stabil, unik dan individual pada setiap

orang dan dapat digunakan sebagai sarana identifikasi (Sanjaya, 2010). Penelitian

Sharma (2009) yang menyatakan bahwa rugae palatina adalah unik untuk setiap

individu yang berarti tidak ada pola rugae palatina yang identik pada dua individu

dan karenanya memiliki potensi sebagai sarana identifikasi individu.


6

Beberapa peneliti dari India yaitu Mandeep Singh Virdi MDS Pediatric

Dentistry , Yujwinder Singh MDS Oral Pathology , Adarsh Kumar MDS Public

Health Dentistry telah melakukan penelitian mengenai hal tersebut. Mereka

meneliti sidik palatal pada 25 pasien pediatrik dan membandingkannya setelah

beberapa tahun, untuk mengevaluasi apakah terdapat perubahan-perubahan

selama kurun waktu tersebut yang dapat mengubah stabilitas dan keunikan dari

sidik palatal setiap individu. Peneliti-peneliti tersebut mengklasifikasikan bentuk,

ukuran, jumlah dari rugae-rugae palatal, lalu dibandingkan berdasarkan klasifikasi

Thomas et al. Lalu palatal rugae setiap individu pada pre dan post traetment

dibandingkan kembali, dan dihitung perbedaannya menggunakn rumus statistika.

Hasilnya adalah tidak ada perbedan yang signifikan (p<0,05) antara palatal rugae

pada pre dan post treatment. Sehingga dapat dikatakan bahwa sidik palatal adalah

unik pada setiap individu dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang

(Virdi et al, 2009)

Rugae palatina ditemukan dalam bentuk dan struktur yang stabil

sepanjang waktu pada setiap individu dan tidak berubah dikarenakan penyakit,

trauma, bahan - bahan kimia atau panas yang berlebih (Hermosilla, 2009). Rugae

palatina stabil dikarenakan posisi anatomi terletak didalam rongga mulut

terlindungi oleh bibir, pipi, lidah, gigi, dan tulang. Dan juga rugae palatina tidak

mengalami dekomposisi sampai dengan 7 hari setelah kematian (Ines et al, 2007).

Mengenai definisi anak, ada banyak pengertian dan definisi. Menurut

definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai

usia 21 tahun. (Kemenkes RI, 2014). Pola dari rugae palatal dapat mengalami
7

perubahan sejalan dengan usia, seperti yang ditunjukkan dari hasil penelitian pada

10 kasus Aborigines oleh Kapali et al (Nayak, 2007). Model studi pertama dibuat

pada saat anak berumur 6 tahun dan model studi kedua dibuat pada saat anak

berumur 20 tahun, kemudian pola ruga palatal dari kedua model studi tersebut

dibandingkan. Hasil penelitian menunjukkan panjang ruga meningkat sejalan

dengan usia, namun jumlah total ruga tetap konstan. Setelah usia 10 tahun rugae

palatina tidak berubah baik dalam ukuran maupun bentuk (Shukla et al, 2011).

Van der Linden membuktikan bahwa ruge anterior tidak memanjang setelah umur

10 tahun dan karakteristik lainnya seperti bentuk, posisi, dan unifikasi tetap stabil

selama masa hidupnya.

Rentang waktu antara model awal dan akhir merupakan saat peralihan dari

periode gigi geligi sulung, bercampur hingga periode gigi tetap, sehingga

perubahan yang terjadi bisa diakibatkan dari perkembangan palatal, kehilangan

gigi dan pergerakan gigi. Meskipun begitu, ternyata insiden dari perubahan bentuk

ruga palatal yang didapati pada penelitian tersebut tidaklah terlalu besar sehingga

analisa ruga palatal tetap bisa memberikan manfaat yang besar dalam proses

identifikasi (Nayak, 2007).

Sejumlah klasifikasi penilaian rugae palatina telah dikembangkan, mulai

dari yang sederhana hingga kompleks (Pretty,2001; Liebgott,2001). Klasifikasi ini

dikembangkan untuk mempermudah proses identifikasi individu (Venegas, 2009).

Penelitian menunjukan rugaepalatina dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran,

arah dan bentuk, beberapa diantaranya yaitu klasifikasi Lysell, klasifikasi Martin
8

dos Santos, klasifikasi Carrea, Cormoy system, klasifikasi Trobo, dan klasifikasi

Basauri (Manjunath et al., 2012).

Rumus adalah ringkasan yang dilambangkan oleh huruf, angka, atau tanda

(KBBI, 2015). Rugae palatina sebagai salah satu sarana identifikasi, karakteristik

bentuk, jumlah, arah dan ukurannya dapat disimbolkan dengan menggunakan

angka dan huruf dengan mengacu pada klasifikasi yang telah ditentukan

(Permatasari, 2013 cit Pretty, 2001). Parameter yang digunakan dalam mencari

rumusan sidik Rugae palatina meliputi rugae utama, rugae tracing, rugae

counting, dan ukuran setiap rugae palatine (Permatasari, 2013).

Rugae utama (MFw) adalah rugae palatina primer pertama pada setiap

satu sisi palatum yang bentuknya ditentukan berdasarkan modifikasi klasifikasi

Martin dos Santos dengan penamaan bentuk Point atau titik disimbolkan “P”, Line

atau garis disimbolkan “L”, Curve atau Kurva disimbolkan “C”, Angle

disimbolkan “A”, Circle atau sirkular disimbolkan “U”, Sinuous atau

bergelombang disimbolkan “S”, Bifurcated disimbolkan “B”, Trifurcated

disimbolkan “T”, Interrupt disimbolkan “I”, dan Anomaly disimbolkan “An”.

Rugae Tracing (δy) adalah proses penentuan arah dominan rugae palatina pada

masing-masing sisi palatum, yang memiliki arah dan ukuran yang stabil dan

ditentukan berdasarkan modifikasi Carrea dengan penamaan tipe I Postero-

anterior disebut “PA”, Tipe II Perpendikular disebut “P”, Tipe III Antero-

posterior disebut “AP”, dan Tipe IV Random disebut “R.

Rugae Counting (RCn) adalah jumlah rugae dengan arah yang stabil

dengan rugae utama yang terdapat antara rugae utama sampai rugae selanjutnya
9

yang memiliki arah yang berbeda. Ukuran rugae palatina (Mx) merupakan

ukuran dari setiap rugae yang ditentukan berdasarkan klasifikasi Lyssell dengan

modifikasi penamaan untuk rugae primer yang berukuran lebih dari 5 mm disebut

“I”, rugae sekunder yang berukuran antara 3 sampai dengan 5 mm disebut “II”,

dan rugae fragmented yang berukuran antara 2 sampai 3 mm disebut “III”

(Permatasari, 2013). Dengan menganalisis parameter tersebut dapat ditemukan

rancangan rumus sidik rugae palatina yang akan membantu identifikasi individu

lebih akurat.

Identifikasi Forensik Kedokteran Gigi

Rugae Palatina

Unik dan Berpotensi sebagai sarana Stabil


Individual identifikasi

Ukuran (Lysell)
Arah (Carrea) Klasifikasi Rumus
Bentuk (Martin Dos
Santos Parameter

Rancangan Rumus Sidik


Rugae Palatina
Rugae Utama
Rugae Counting
Rugae Tracing

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran


10

1.6 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang

dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran, serta arah rugae palatina setiap

individu melalui foto rugae palatina.

1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari - Februari 2017 di SMP

PGRI 1 Jatinangor.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ilmu Forensik Kedokteran Gigi

Ilmu kedokteran gigi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran

forensik yang sekarang telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu kedokteran

gigi forensik atau odontologi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran

gigi mengenai cara penanganan dan pemeriksaan bukti-bukti melalui gigi dan

evaluasi serta pemaparan hasil-hasil penemuan yang berhubungan dengan rongga

mulut untuk kepentingan pengadilan (Reddy, 2011). Definisi odontologi forensik

adalah cabang ilmu dari ilmu kedokteran gigi kehakiman yang bertujuan untuk

menerapkan pengetahuan kedokteran gigi dalam memecahkan masalah hukum

dan kejahatan (Lukman, 2006).

Contoh dari aplikasi tersebut antaranya adalah membantu proses

identifikasi dalam kasus kriminal atau bencana massal (Shamim, 2006 and Pretty,

2001). Identifikasi adalah penentuan dan pemastian identitas orang yang hidup

maupun orang mati berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut.

Ruang lingkup identifikasi dalam kedokteran gigi forensik cukup luas, tidak

hanya meliputi masalah forensik namun juga masalah nonforensik. Identitas yang

mendukung identifikasi dari suatu korban dapat berupa identitas biologis dan non

biologis. Identitas non biologis dapat berupa kartu tanda penduduk, surat izin

mengemudi, pakaian, dan lain-lain. Identitas biologis dapat diketahui melalui

tulang belulang, gigi, darah, sidik jari, rambut, profil, DNA dan identitas pada

11
12

bibir (Indri, 2015). Gigi geligi dalam rongga mulut merupakan bagian tubuh yang

terkeras, memiliki sifat individual serta tahan terhadap suhu, kimia, dan trauma.

Posisi gigi geligi dalam mulut memiliki rangkaian jaringan yang secara anatomis,

antropologis dan morpologis terlindungi dengan baik oleh otot pipi, bibir, lidah

serta selalu dibasahi oleh air liur, sehingga jaringan tersebut yang terlebih dahulu

mengalami kerusakan apabila terjadi kebakaran ataupun trauma. Hal semacam ini

dapat menjadi bagian yang sangat baik untuk sarana identifikasi, sehingga metode

odontology forensik memiliki derajad ketepatan sangat tinggi hampir sama

dengan sidik jari (Ahmad, et al. 2009).

2.2 Palatal Rugoscopy

Palatoscopy atau rugoscopy palatal adalah nama yang diberikan untuk

mempelajari palatal rugae dalam rangka membangun identitas seseorang (Ines,

2007). Penerapan pola palatal rugae untuk identifikasi pribadi pertama kali

diusulkan oleh Allen pada tahun 1889 (Allen, 1889). Palatal rugoscopy pertama

kali diusulkan pada tahun 1932, oleh penyidik Spanyol bernama Trobo Hermosa

(Pueyo et al 1994). Pada tahun 1937, Carrea melakukan studi rinci dan

mendirikan sebuah metode untuk mengklasifikasikan palatal rugae. Pada tahun

1983, Brinon, setelah studi Carrea, dibagi palatal rugae menjadi dua kelompok

(mendasar dan spesifik) dengan cara yang sama dengan yang dilakukan dengan

sidik jari (Pueyo et al, 1994). Dengan cara ini, daktiloskopi (studi sidik jari) dan

palatoscopy (studi rugae palatina) bersatu sebagai metode yang sama berdasarkan

dasar ilmiah yang sama.


13

Pada keadaan tertentu seperti pada kasus mayat yang terbakar atau telah

mengalami dekomposisi sehingga tidak memungkinkan identifikasi dengan

menggunakan sidik jari, atau pada korban dengan rahang edentulous yang tidak

memungkinkan identifikasi dengan mengunakan gigi-geligi, maka diperlukan

metode alternatif untuk dapat membantu proses identifikasi korban. Alternatif

tersebut adalah analisa terhadap rugae palatal. Pemanfaatan ruga palatal sebagai

salah satu metode identifikasi menunjukkan prospek yang menjanjikan karena

morfologinya yang unik pada tiap individu (Shamim, 2006; Liebgott, 2001)

Rugae palatal memiliki morfologi yang sangat individualistik. Bahkan

pada individu kembar juga tidak didapati pola ruga palatal yang sama (Pretty,

2001). Karena individualistik tersebut, maka pemeriksaan terhadap rugae palatal

dapat ikut berperan dalam bidang forensik sebagai salah satu bentuk identifikasi.

Studi yang dilakukan oleh English dkk dan El-Fotoh dkk membuktikan bahwa

pola rugae palatina benar-benar unik untuk individu dan dapat digunakan untuk

identifikasi. Selain itu, rugae palatina adalah unik untuk setiap individu, memiliki

bentuk konstan, dan permanen. Pada kasus perawatan orthodontik pun tidak

terjadi perubahan yang signifikan dalam bentuk rugae sehingga masih

dimungkinkan untuk dilakukan identifikasi (Sanjaya, 2012).

Selain menjadi unik untuk setiap individu, rugae palatina juga terlindungi

dari trauma karena posisinya yang berada di dalam kepala dan terisolasi dari

panas oleh bantalan lemak, lidah, dan bukal, tidak seperti sidik jari yang posisinya

tidak terlindung sehingga relatif lebih rentan hancur pada kejadian kecelakaan

hebat (Sharma, 2009). Rugae palatina telah dianggap relevan untuk identifikasi
14

manusia karena kestabilannya (Muthusubramanian et al., 2005) yang setara

dengan sidik jari, yang unik untuk setiap individu. Sebagian besar korban luka

bakar tidak menunjukkan perubahan pada rugae palatinanya, dan meskipun

terjadi perubahan, perubahan yang terjadi tidaklah separah perubahan yang pada

permukaan tubuh lainnya (Dos Santos, 2011). Rugae palatina memiliki

karakteristik unik yang dapat digunakan dalam situasi di mana sulit untuk

mengidentifikasi seseorang berdasarkan sidik jari atau catatan giginya

(Manashvini, 2011). Bentuk rugae palatina masih dapat bertahan dari

dekomposisi hingga tujuh hari setelah kematian (Gupta, 2011).

2.3 Rugae Palatina

Rugae palatina merupakan rigde dari membran mukosa yang irregular dan

asimmetris meluas kelateral dari papila insisivus dan bagian anterior dari median

palatal raphe (Caldas, 2007). Rugae palatina terdapat pada bagian rahang atas dari

rongga mulut. Rugae palatina dapat dengan mudah dilihat, diraba, dan dirasakan

dengan lidah. (Avery, 2002). Terdapat tonjolan yang nyata di belakang gigi

incisive sentral rahang atas yang disebut papilla incisive, yang menutupi nervus

nasopalatina yang keluar dari foramen incisive. Kemudian memanjang ke

posterior sepanjang midline membentuk mediana raphe.

Lipatan palatum yang melintang atau rugae palatina adalah ridge

asimetris dan tidak teratur dari mukosa yang terletak di sepertiga anterior langit-

langit mulut, terbentuk dari membran lateral papilla incisivum, berada dalam arah

melintang dari median raphe terletak pada bidang midsagittal (Shetty, 2011).
15

Secara anatomis rugae palatina terdiri dari sekitar 3 sampai 7 tonjolan kaku yang

mengarah secara tangensial dari papilla incisivum (Hemanth, 2010). Rugae

palatina tidak pernah melintasi median raphe. rugae palatina di bagian anterior

biasanya lebih menonjol dari pada rugae di bagian posterior. Bentuk, panjang,

lebar, jumlah dan orientasi rugae palatina antar orang sangat bervariasi

(Manashvini, 2011).

Gambar 2.1 Rugae palatina pada palatum (Widera, et al. 2009)

Secara histologi, rugae palatina merupakan lipatan epitel yang tersusun

atas jaringan ikat. Serabut jaringan ikat terdapat mulai dari lamina propria sampai

ke dalam tulang yang mendasarinya. Rugae palatina berkembang dari proliferasi

dan penebalan epitel. Selanjutnya, fibroblas dan serat kolagen terakumulasi dalam

jaringan ikat di bawah epitel yang menebal. Serat kolagen terdapat disepanjang

bagian anteroposterior ini berperan dalam menentukan orientasi rugae palatina.


16

Gambar 2.2 Rugae Palatina (tanda panah) yang terdiri dari serabut jaringan ikat

(Avery, 2002)

Secara embriologi rugae palatal terbentuk secara sempurna pada bulan ke

tiga perkembangan intrauterin yang berasal dari jaringan ikat yang menutupi

proses pembentukan palatina pada tulang maksila. Pertumbuhan dan

perkembangannya dikontrol oleh interaksi epitel-mesenkimal, dimana molekul

matriks ekstraseluler dibentuk selama pengembangannya (Amasaki, 2003). Saat

lahir, rugae palatina memiliki pola orientasi yang khas (Venegas, 2009 cit

Yamazaki, 1962). Setelah rugae palatina terbentuk dengan sempurna, rugae

palatina akan mengalami perubahan dalam ukuran mereka karena pertumbuhan

langit-langit, tapi bentuknya dipertahankan (Venegas, 2009).

Fungsi dari rugae palatal adalah untuk memfasilitasi transportasi makanan

dan membantu proses pengunyahan Caldas, 2007). Selain itu, dengan adanya

reseptor gustatori dan taktil pada ruga palatal, maka ikut berkontribusi dalam

persepsi rasa, persepsi posisi lidah dan tekstur dari makanan (Pretty, 2001). Rugae

palatal memiliki morfologi yang sangat individualistik. Bahkan pada individu

kembar juga tidak didapati pola rugae palatal yang sama (Pretty, 2001).. Karena
17

individualistik tersebut, maka pemeriksaan terhadap rugae palatal dapat ikut

berperan dalam bidang forensik sebagai salah satu bentuk identifikasi. Ilmu yang

mempelajari tentang rugae palatal disebut sebagai rugoskopi atau palatoskopi

(Shamim, 2006). Pola rugae palatal yang dapat dipelajari meliputi jumlah,

panjang, lokasi dan bentuknya. Pola dari rugae palatal itu sendiri dapat dilihat

melalui cetakan gigi atau foto intra oral (Shamim, 2006; Pretty, 2001). Rugae

yang bersifat individualistik berperan dalam bidang forensik sebagai salah satu

bentuk identifikasi (Pretty, 2001). Winslow tahun 1753 merupakan orang pertama

yang mendeskripsikan rugae palatal.

2.4 Klasifikasi Rugae Palatina

Sejumlah klasifikasi untuk menilai rugae palatina telah dikembangkan,

mulai dari yang sederhana hingga kompleks (Caldas, 2007 cit Chairani, 2008).

Klasifikasi ini dikembangkan untuk mempermudah proses identifikasi individu

(Venegas, 2009). Penelitian menunjukan rugae palatina dapat diklasifikasikan

berdasarkan ukuran, arah dan bentuk, beberapa diantaranya yaitu klasifikasi

Lysell, klasifikasi Martin dos Santos, klasifikasi Carrea, Cormoy system,

klasifikasi Trobo, dan klasifikasi Basauri (Shankar et al., 2012).

2.4.1 Klasifikasi Lysell

Klasifikasi Lysell merupakan salah satu klasifikasi yang digolongkan

berdasarkan ukuran. Ukuran rugae palatina dapat diukur dengan menghitung

panjang rugae palatina dari origin atau ujung terdalam (terdekat dengan median
18

raphe) rugae palatina ke terminal atau ujung terluar rugae palatina (Permatasari,

2013).

Tabel 2. 1 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan ukuran menurut Lysell dengan

modifikasi (Sivaraj, 2013)

Rugae palatine Ukuran Simbol

Primary ≥ 5 mm Pr

Secondary 3-5 mm Sc

Fragmented 2-3 mm Fg

2.4.2 Klasifikasi Martin dos Santos

Klasifikasi Martin dos Santos merupakan klasifikasi berdasarkan bentuk

dan posisi pada masing-masing sisi rugae palatina. Pada rugae palatina di sisi

kanan, rugae palatina yang terletak pada posisi paling anterior diberi simbol

dengan huruf kapital, sedangkan rugae dengan posisi lainnya diberikan simbol

angka, begitu juga dengan rugae palatina di sisi kiri, pada rugae palatina yang

posisinya terletak paling anterior diberi symbol huruf kapital sedangkan posisi

lainnya dengan angka (Krishnappa, 2013).


19

Tabel 2.2 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan bentuk menurut Martin dos

Santos (Krishnappa, 2013)

Tipe Rugae Posisi Rugae Bentuk Rugae


Posisi Lainnya
Palatina Palatina Anterior Palatina

Point P 0

Line L 1

Curve C 2

Angle A 3

Circle 0 4

Sinous S 5

Bifurcated B 6

Trifurcated T 7

Interrupt I 8

Anomaly An 9

2.4.3 Klasifikasi Carrea

Klasifikasi Carrea merupakan salah satu klasifikasi yang digolongkan

berdasarkan arah. Arah rugae palatina ditentukan dengan mengukur sudut yang
20

dibentuk oleh garis yang menghubungkan asal dan akhir terhadap garis tegak

lurus ke median raphe (Permatasari, 2013).

Tabel 2.3 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan arah menurut Carrea dengan

modifikasi (Pretty, 2001 cit Chairani 2008)

Klasifikasi Karakteristik Simbol Keterangan

Tipe I Postero-anterior PA Sudut positif

Tipe II Perpendikular P Sudut nol

Tipe III Antero-posterior AP Sudut negatif

Tipe IV Berbagai arah R -

Gambar 2. 3 Arah
Klasifikasi rugae palatina
berdasarkan bentuk;menurut
A. Postero-anterior ; B. Perpendikular ;
martin dos santos
C. Antero-posterior ; D. Berbagai arah (Gandikota, 2012).

2.5 Anak

Menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam

kandungan sampai usia 21 tahun (Kemenkes RI, 2014). Anak merupakan individu
21

yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi

hingga remaja. Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan

perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses perkembangan anak

memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. Ciri fisik

adalah semua anak tidak mungkin pertumbuhan fisik yang sama akan tetapi

mempunyai perbedaan dan pertumbuhannya. Perkembangan konsep diri ini sudah

ada sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna dan akan mengalami

perkembangan seiring dengan pertambahan usia pada anak. Kemudian perilaku

sosial pada anak juga mengalami perkembangan yang terbentuk mulai bayi. Pada

masa bayi perilaku social pada anak sudah dapat dilihat seperti bagaimana anak

mau diajak orang lain, dengan orang banyak dengan menunjukkan keceriaan. Hal

tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya perilaku sosial yang seiring

dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku sosial juga dapat berubah sesuai

dengan lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak sudah mau bermain dengan

kelompoknya yaitu anak-anak (Azis, 2005).

Aspek tumbuh kembang pada anak dewasa ini adalah salah satu aspek

yang diperhatikan secara serius oleh para pakar, karena hal tersebut merupakan

aspek yang menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara

fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang tua belum memahami hal ini,

terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang

relatif rendah. Mereka menganggap bahwa selama anak tidak sakit, berarti anak

tidak mengalami masalah kesehatan termasuk pertumbuhan dan

perkembangannya. Sering kali para orang tua mempunyai pemahaman bahwa


22

pertumbuhan dan perkembangan mempunyai pengertian yang sama (Nursalam,

2005).

2.5.1 Pertumbuhan Anak

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam

arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel tubuh dan juga

karena bertambah besarnya sel. Adanya multiflikasi dan pertambahan ukuran sel

berarti ada pertambahan secara kuantitatif dan hal tersebut terjadi sejak terjadinya

konsepsi, yaitu bertemunya sel telur dan sperma hingga dewasa (IDAI, 2000).

Jadi, pertumbuhan lebih ditekankan pada bertambahnya ukuran fisik seseorang,

yaitu menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti bertambahnya

ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala. Pertumbuhan pada masa

anak-anak mengalami perbedaan yang bervariasi sesuai dengan bertambahnya

usia anak.

Secara umum, pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki.

Kematangan pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung lebih dahulu,

kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian bawah. Pada masa

fetal pertumbuhan kepala lebih cepat dibandingkan dengan masa setelah lahir,

yaitu merupakan 50 % dari total panjang badan. Selanjutnya, pertumbuhan bagian

bawah akan bertambah secara teratur. Pada usia dua tahun, besar kepala kurang

dari seperempat panjang badan keseluruhan, sedangkan ukuran ekstremitas bawah

lebih dari seperempatnya.


23

2.5.2 Perkembangan Anak

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan strukt ur fungsi

tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan

diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ -

organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2000). Dengan demikian, aspek

perkembangan ini bersifat kualitatif, yaitu pertambahan kematangan fungsi dari

masing - masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan berfungsinya jantung untuk

memompakan darah, kemampuan untuk bernafas, sampai kemampuan anak untuk

tengkurap, duduk, berjalan, memungut benda - benda di sekelilingnya serta

kematangan emosi dan sosial anak.

2.6 Permodelan Matematika

Dalam pemodelan matematik bahwa masalah nyata yang sering dihadapi

dalam kehidupan sehari-hari perlu disusun dalam suatu model matematik

sehingga mudah dicari solusinya. Proses pembentukan model matematika melalui

tahap abstraksi dan idealisasi. Dalam proses ini diterapkan prinsip-prinsip

matematika yang relevan sehingga menghasilkan sebuah model matematika yang

diharapkan. Beberapa hal penting dan perlu agar model yang dibuat sesuai dengan

konsep masalah antara lain, masalah itu harus dipahami karakteristiknya dengan

baik, disusun formulasi modelnya, model itu divalidasi secara cermat, solusi

model yang diperoleh diinterpretasikan dan kemudian diuji kebenarannya.

Secara umum pengertian model adalah suatu usaha untuk menciptakan

suatu replika atau tiruan dari suatu fenomena, peristiwa ataupun suatu sistem.
24

Terdapat tiga jenis model yaitu, model fisik, model analogi dan model matematik.

Model matematika merupakan model yang membuat replika yang dilaksanakan

dengan mendeskripsikan problem dengan suatu persamaan. Kecocokan model

terhadap problem tergantung dari ketepatan formulasi persamaan matematis

dalam mendeskripsikan problem yang ditirukan (Luknanto, 2003).

2.6.1 Definisi Pemodelan Matematika

Pemodelan matematika merupakan salah satu tahap dari pemecahan

masalah dari suatu fenomena. Suatu fenomena atau sebuah unsur tertentu dapat

direpresentasikan dengan suatu variabel. Suatu masalah yang timbul akan lebih

mudah dan menjadi tampak sederhana, apabila masalah itu dinyatakan secara

matematik. Misalnya, mutu lulusan sekolah dasar (M) tergantung atas beberapa

faktor, seperti kualitas guru ( ), kualitas masukan ( ), relevansi kurikulum ( ),

dan sarana penunjang pembelajaran ( ). Jika disusun rumusan unsur-unsur ini,

dapat dinyatakan bahwa mutu lulusan adalah fungsi dari faktor-faktor

(Budhayanti, clara IS., dkk, 2008).

Dalam bentuk model matematik hubungan ini dapat ditulis dengan M

( ) atau secara singkat ditulis M = ( ) dengan pemahaman

bahwa variable mewakili variabel . Bentuk penulisan terakhir

ini menunjukkan adanya simplikasi (penyederhanaan) cara penulisan hubungan

antara variabel yang satu dengan variabel lainnya. Perihal mutu lulusan yang

dipengaruhi oleh mutu guru, mutu masukan, relevansi kurikulum dan sarana

penunjang lainnya merupakan kondisi obyektif atau suatu fakta yang secara
25

realitas terjadi di sektor pendidikan. Kondisi nyata demikian diabstraksikan

kemudian ketidaksempurnaan yang terdapat pada masing-masing unsur dieliminir

dan dipandang telah sesuai dengan kondisi sesungguhnya (Budhayanti, clara IS.,

dkk, 2008).

Dalam proses ini diterapkan prinsip-prinsip matematika yang relevan

sehingga menghasilkan sebuah model matematika yang diharapkan. Model

matematika yang dihasilkan, baik dalam bentuk persamaan, pertidaksamaan,

sistem persamaan atau lainnya terdiri atas sekumpulan lambang yang disebut

variabel atau besaran yang kemudian di dalamnya digunakan operasi matematika

seperti tambah, kali, kurang, atau bagi. Dengan prinsip-prinsip matematika

tersebut dapat dilihat apakah model yang dihasilkan telah sesuai dengan rumusan

sebagaimana formulasi masalah nyata yang dihadapi. Hubungan antara

komponen-komponen dalam suatu masalah yang dirumuskan dalam suatu

persamaan matematik yang memuat komponen-komponen itu sebagai

variabelnya, dinamakan model matematik. Dan proses untuk memperoleh model

dari suatu masalah dikatakan pemodelan matematika (Budhayanti, clara IS., dkk,

2008).

2.6.2 Manfaat Pemodelan Matematika

Kegunaan yang dapat diperoleh dari model matematika ini yaitu

mendapatkan pengertian atau kejelasan mekanisme dalam masalah dan dapat

digunakan untuk memprediksi kejadian yang akan muncul dari suatu fenomena

atau perluasannya (Budhayanti, clara IS., dkk, 2008)


26

2.6.3 Mekanisme Pembentukan Model Secara Umum

Tahap pertama adalah menyatakan masalah. Adanya masalah nyata yang

ingin dicari solusinya merupakan awal kegiatan penyelidikan. Masalah tersebut

harus diidentifikasi secara jelas, diperiksa dengan teliti menurut kepentingannya.

Setelah menyatakan masalah tahap selanjutnya adalah menentukan karakterisasi

masalah yang dihadapi. Masalah yang diteliti diperlukan karakterisasi

masalahnya, yaitu pengertian yang mendasar tentang masalah yang dihadapi,

termasuk pemilihan variabel yang relevan dalam pembuatan model serta

keterkaitanya (Budhayanti, clara IS., dkk, 2008).

Setelah itu tahap selanjutnya adalah menentukan formulasi model

matematik. Formulasi model merupakan penterjemahan dari masalah kedalam

persamaan matematik yang menghasilkan model matematik. Ini biasanya

merupakan tahap (pekerjaan) yang paling penting dan sukar. Makin paham akan

masalah yang dihadapi dan kokoh penguasaan matematik seseorang, akan sangat

membantu memudahkan dalam mencari modelnya. Dalam pemodelan ini kita

selalu berusaha untuk mencari model yang sesuai tetapi sederhana. Makin

sederhana model yang diperoleh untuk tujuan yang ingin dicapai makin dianggap

baik model itu. Dalam hal ini model yang digunakan ada-kalanya lebih dari satu

persamaan bahkan merupakan suatu sistem, atau suatu fungsi dengan variabel -

variabel dalam bentuk persamaan parameter. Hal ini tergantung anggapan yang

digunakan. Tidak tertutup kemungkinan pada tahap ini juga dilakukan "uji coba",

karena model matematik ini bukanlah merupakan hasil dari proses sekali jadi

(Budhayanti, clara IS., dkk, 2008).


27

Setelah model diformulasikan, langkah selanjutnya adalah menyelesaikan

persamaan. Langkah ini harus dilakukan dengan fleksibel secara menyeluruh. Ada

kemungkinan persamaan yang telah di formulasikan solusinya tidak ada, dan

kemungkinan ini harus dipikirkan namun disamping itu persamaan dapat

mempunyai lebih dari satu solusi. Solusi atau interpretasi hasil merupakan salah

satu langkah yang akan menghubungkan kembali formulasi matematika dengan

problem pada dunia nyata (Widowati dan Sutimin, 2007).

Setelah solusi di dapat, hasil akan dibandingkan dengan data yg ada untuk

menguji kembali validnya model tersebut dan jika ada kekurangan, model dapat

diperbaiki. Hasil yang dibandingkan antara model dengan data mungkin bisa

kurang baik karena terdapat banyak alasan yang dapat mempengaruhi hasil

tersebut diantaranya adanya kesalahan data yang diambil, dan banyak faktor yang

mungkin mempengaruhi data yang didapat. Untuk itu model yang diperoleh ini

perlu divalidasi, yaitu sejauh mana model itu dapat dianggap memadai dalam

merepresen-tasikan masalah yang dihadapi (Budhayanti, clara IS., dkk, 2008).

Apabila model yang dibuat dianggap tidak memadai maka terdapat kemungkinan

untuk memodifikasi model yang telah dibuat sehingga model dapat diperbaiki

sebagai bentuk pengembangan model matematika yang cocok dalam aplikasinya

di kehidupan nyata (Widowati dan Sutimin, 2007).


28

Masalah nyata Final model

Karakteristik masalah Model memadai

Formulasi modul mat. Validasi

Solusi Analisis

Gambar 2.3 Bagan Mekanisme Pembentukan Model Secara Umum

2.6.4 Pembentukan Model Matematika Sederhana

Dalam masalah yang sifatnya sederhana dapat dipilih strategi pemecahan.

Langkah pertama baca masalah dengan cermat kemudian tentukan apa yang

diketahui, dan apa yang belum diketahui atau dicari. Tulis dengan lengkap

informasi ini. Langkah ke-dua gunakan variabel untuk menyatakan apa yang

dicari atau ditanyakan. Langkah ke-tiga konstruksi diagram atau bagan untuk

memudahkan atau menentukan hubungan yang ada antara unsur-unsur dan

variabel yang diketahui. Langkah ke-empat nyatakan model matematik yang

dicari dalam bentuk persamaan atau pertidaksamaan atau sistem persamaan

(Budhayanti, clara IS., dkk, 2008).

2.6.5 Penyelesaian Model Matematika

Model matematika yang diperoleh dari suatu masalah matematika yang

diberikan, selanjutnya dipecahkan dengan aturan-aturan yang ada untuk

memperoleh nilai variabelnya. Kemudian jika nilai variabel telah diperoleh, perlu
29

diuji hasil itu atau dilakukan interpretasi untuk mengetahui apakah nilai itu valid

atau tidak valid. Hasil yang valid akan menjawab secara tepat model

matematikanya. Hasil seperti inilah yang disebut solusi matematika. Jika nilai

variabelnya tidak valid atau tidak memenuhi model matematika maka solusi

masalah belum ditemukan, dan perlu dilakukan pemecahan ulang atas model

matematikanya (Budhayanti, clara IS., dkk, 2008).

Gambar 2.4 Proses Pemodelan dan Pemecahan Model

2.6.6 Karakteristik Model Matematika yang Baik

Pemecahan masalah dalam dunia nyata dengan matematika dilakukan

dengan mengubah masalah tersebut menjadi bahasa matematika, proses tersebut

disebut pemodelan secara matematik atau model matematika. Informasi

matematika yang diperoleh dengan melakukan kajian matematika atas model

tersebut dilakukan sepenuhnya dengan menggunakan kaedah-kaedah matematika.

Karakteristik model matematika yang baik (Sudradjat, 2013) adalah sebagai

berikut:

1) Sederhana

Simpel dalam formulasinya.


30

2) Robus

Memberikan jawaban yang cukup akurat dengan kondisi yang ditemukan.

3) Komprehensif

Mencerminkan dan mewakili bagian dari sistem.

4) Bersifat adatif

Bila akan diadakan perubahan maka perubahan itu dapat diintegrasikan pada

model.

5) Mudah untuk digunakan

Mudah untuk dikomunikasikan kepada orang lain.


31

BAB III

METODE PENELITIAN

1.8 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu

penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk

melihat gambaran fenomena yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu

(Notoatmodjo, 2010).

1.9 Populasi dan Sampel

1.9.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah anak – anak yang ada di SMP PGRI 1

Jatinangor dan memperlihatkan rugae palatina yang jelas serta memiliki kualitas

baik.

1.9.2 Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 30 orang yang berumur

14 tahun sampai 16 tahun, diambil dengan menggunakan metode purposive

sampling dengan kriteria:

1. Lengkung rahang normal

2. Tidak terdapat kelainan pada palatum seperti celah palatum dan neoplasma

3. Tidak terdapat bekas luka ataupun trauma pada daerah palatum

4. Tidak pernah dilakukan tindakan bedah pada daerah palatum


32

1.10 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah rugae palatina, rugae counting,

rugae tracing, dan rugae utama.

1.11 Definisi Operasional

Rugae palatina adalah tonjolan-tonjolan yang terdapat di bagian anterior

dari palatum keras. Rugae utama adalah rugae palatina yang terletak paling

anterior dan paling menonjol diantara rugae palatina lainnya. Rugae counting

adalah rugae yang searah dengan rugae utama. Rugae tracing adalah proses

penentuan arah rugae palatina pada masing-masing sisi palatum.

1.12 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kamera Canon EOS 550D 18,7 Megapiksel

2. Cermin ortodonti

3. Laptop

1.13 Prosedur Penelitian

Langkah kerja penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Instruksikan subjek untuk membuka mulut dengan lebar dan menahan napas

sebentar atau bernapas melalui hidung

2. Masukkan cermin ortodonti ke dalam rongga mulut subjek

3. Memfoto rugae palatina hasil pantulan dari cermin tersebut

4. Hasil foto rugae palatina dimasukkan ke dalam laptop


33

5. Beri identitas pada masing – masing folder rugae palatina

6. Tentukan rugae utama yang merupakan rugae palatina yang terletak pada

posisi paling anterior serta umumnya terlihat paling menonjol diantara rugae

palatina lainnya.

7. Analisis bentuk rugae tersebut dan tentukan serta catat bentuknya menurut

klasifikasi Martin dos Santos.

8. Lakukan analisis pada setiap masing-masing sisi kanan dan kiri rugae

palatina.

9. Tentukan dan catat rugae counting yaitu jumlah rugae dengan arah yang stabil

dengan rugae utama yang terdapat antara rugae utama sampai rugae

selanjutnya yang berubah arah atau memiliki arah yang berbeda.

10. Kemudian analisis arah dominan rugae palatina pada masing-masing sisi

palatum, yang memiliki arah dan ukuran yang stabil dan ditentukan

berdasarkan modifikasi Carrea.

11. Analisis dari arah rugae utama sampai dengan terjadi perubahan arah pada

rugae selanjutnya. Analisis ini disebut dengan rugae tracing.

12. Analisis juga apabila terdapat perubahan arah yang lebih dari satu kali

perubahan.

13. Analisis bentuk dari setiap rugae palatina yang terdapat pada foto tersebut

kemudian tentukan bentuknya berdasarkan klasifikasi Martin dos Santos.

14. Ukur panjang setiap rugae palatine dengan menggunakan aplikasi imageJ

berdasarkan klasifikasi Lysell.

15. Analisa hubungan dari setiap parameter yang telah dicacat.


34

16. Buat permodelan serta rumusan sederhana matematikanya.

1.14 Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang didapatkan akan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan

grafik. Data penelitian yang berupa informasi bentuk, jumlah, ukuran, dan arah

rugae palatina dianalisis untuk membuat rumus sidik rugae palatina. Kemudian

seluruh data dari setiap rugae palatina masing-masing foto rugae palatina di buat

menjadi permodelan matematika lalu dibuat rancangan rumus sederhananya.

Rencana tabel

Tabel 3.1 Data Sidik RugaePalatina Anak Usia 14 - 16 tahun yang ada di SMP
PGRI 1 Jatinangor

Formulasi per Sisi Palatum


Formulasi per Formulasi
Rugae Palatina Rugae Rugae Sidik Rugae
Rugae Utama
Subjek Usia (FzMx) Counting Tracing Palatina
(MFw)
(RCn) (δy)

Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri

SP1

SP2

SP3

SP4

SP5

SP6

SP7

SP8
35

DAFTAR PUSTAKA

Al Ahmad SH. 2009. Forensic odontology. Smile Dental J; 4: 22-7.


Alimul Hidayat,A.Aziz. 2005. Pengantar ilmu keperawatan anak 1. Jakarta: Salemba
Medika.
Allen H. 1889. The palatal rugae in man. Dental Cosmos;31:66-80.
Alvon SL. 2004. Forensic odontolgy, the roles and responsibility of dentist. J Can
Dent Assoc; 70(7): 435-8.
Amasaki H, Ogawa M, Nagasao J, Mutoh K, Ichihara N, Asari M, et al. 2003.
Distributional Changes of BrdU, PCNA, E2F1 and PAL31 MoleculesIn
Developing Murine Palatal Rugae. Ann Anat;185: 517-23.
Avery, J; P,F, Steele. 2002. Oral Development and Histology 3rd Ed. Germany :
Thieme : 253
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).2014.Indeks Risiko Bencana
Caldas IM, Magalhaes T, Afonso A. 2007. Establishing Identity Using Cheiloscopy
and Palatoscopy. Forensic Sci Int Vol 165 (1) : 1-9.
Chairani, S; A. Elza. 2008. Pemanfaatan rugae palatal untuk identifikasi forensik.
Indonesian Journal of Dentistry, 15(2):261-269.
Darius Widera, Christin Zander, Meike Herdbreder, Yvonne Kasperek, Thomas Noll,
Oliver Seitz, Belma Saldamli, Holger Sudhoff, Robert Sader, Christian
Kaltschmidt, Barbara Kaltschmidt. 2009. Adult Palatum as a Novel Source of
Neural Crest-Related Stem Cells. Institute of Cell Biology, Faculty of Biology,
University of Bielefeld, Bielefeld, Germany. Stem Cells Journals. Volume 27,
Issue 8.
Djoko Luknanto. 2003. Model Matematika. Bahan kuliah Hidraulika Komputasi
Jurusan Teknik Sipil FT UGM. Yogyakarta. hal: 2
Eboh, D.E.O. 2012.Palatal rugae patterns of Urhobos in Abraka, South- Southern
nigeria. Int. J. Morphol., 30(2):709-713.
Elza A. 2008. Recent trends in dental forensic indonesian. J of Legal & Forensic
Science; 1(1): 5-12.
Gupta, n. 2011. Occupational Disease of Teeth. J Soc Occup Med; 40: 149-152
Hemanth, M; M, Vidya; M, Shetty; K. V, Bhavana. 2010. Human Identification
Using Palatal Rugae : Manual Method. J Forensic Odontostomatol 17 : 16-19
Hermosilla VV, San Pedro VJ, Cantin M, Suazo GIC. 2009. Palatal rugae: systemic
analysis of its shape and dimensions for use in human identification. Int J
Morphol; 27(3):19–25.
Humas Universtas Airlangga. Peran dokter gigi dalam identifikasi korban bencana.
Available from: http//www .unair.ac.id. Accessed October 29, 2008.
Indonesia.Jakarta: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional.
36

Indri Seta Septadina. April 2015. Identifikasi Individu dan Jenis Kelamin
Berdasarkan Pola Sidik Bibir. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vo.2, No.2:
231-236
Ines MC, Teresa M, Americo A. 2007. Establishing identity using cheiloscopy and
palatoscopy. Forensic Sci Int;165:1–9.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Kondisi pencapaian program kesehatan anak
Indonesia. Available at :
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infoda
tin-anak.pdf (diakses 18 Oktober 2016).
Krishnappa, S.,et al. 2013. Palatal Rugoscopy: Implementation in Forensic
Odontology-A Riview. J. Adv. Med. Dent. Science. 1(2):53-59
Liebgott, B.2001. The Anatomy Basis of Dentistry.2nd Ed. Mosby. St. Louis. Pp 340
Lukman D. 2006. Buku ajar: Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2. Jakarta: CV
Sagung Seto: 13
M Virdi, Y Singh, A Kumar. 2009. Role of Palatal Rugae in Forensic Identification
of the Pediatric Population. The Internet Journal of Forensic Science. Volume 4
Number 2.
Manashvini, S; Patil; B, Sanjayagouda; A.B, Acharya. 2011. Palatal Rugae and Their
Significance in Clinical Dentistry. J Am Dent Assoc.; 139; 1471-1478
Manjunath, S, Shankar M Bakkannavar, Pradeep Kumar G,Vrinda J Bhat, Nayana
Prabhu, Asha Kamath, Raghavendra Babu Y P. 2012. Palatal rugae patterns
among the Indians at Manipal, India.Journal of Pharmaceutical and Biomedical
Science Vol 20.
Nayak, P. 2007.Acharya AB, Padmini AT, Kaveri H. Differences in the Palatal
Rugae Shape in Two Populations of India.Arch Oral Biol Vol 52 (10) : 82-97.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta .Hal
35.
Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta : Salemba Medika.
Nursamsi, I. 2015. Rumusan Sidik Subras Deutromelayu di Bidang Forensik
Kedokteran Gigi. Skripsi. Bandung: FKG Unpad
Passat J. 2000. Kelainan perkembangan. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
Penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta : BP IDAI ;.h.104-36.
Permatasari, A. 2013. Identifikasi sidik rugae palatina subras Deuteromelayu dengan
pendekatan rumus sidik jari sebagai aplikasi forensik kedokteran gigi. Skripsi.
Bandung: FKG Unpad.
Prasad, S; G. Sujatha;G. Sivakumar; J. Muruganadhan. Februari-April 2012.Forensic
dentistry-what a dentist should know.Indian Journal of Multidisciplinary
Dentistry. Vol. 2, Issue 2.
Pretty IA and Sweet D. 2001. A Look at Forensic Dentistry — Part 1: The Role of
Teeth in The Determination of Human Identity.British Dental Journal, Vol. 190
(7) : 359- 66.
37

Pueyo VM, Garrido BR, Sanchez JA. 1994. Odontologialegal. Forense, Masson,
Barcelona: p. 277-92.
Pusat BahasaDepartemen Pendidikan Naional Republik Indonesia.2015. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Tersedia di :http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/
(diakses 18 Oktober 2016)
Reddy LVK. 2011. Lip prints: an overview in forensic dentistry. J. Adv Dental
Reasearch; II(I): 17-20
Sadler TW. 2010. Langman’s medical embryology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Sanjaya, P.R; S, Gokul; K.J, Prithviraj; S, Rajendra. 2012. Significance of Palatal
Rugae. International Journal of Dental Update;2(2):74-8
Santos, D; M.S, Clemente; Fernandes; S, Monica. 2011. Evaluation of A Digital
Methodology for Human Identification Using Palatal Rugoscopy. Biaz J Oral
Sci; 10 : 199-203
Shamim T, Ipe Varughese.V, Shameena PM, Sudha S. 2006. Forensic Odontology –
A New Perspective.Medico-Legal Update., Vol.6 (1) : 1-4.
Sharma, P; S, Saxena; v, Rathod. 2009. Comparative Reliability of Cheiloscopy and
Palatoscopy in Human Identification. Indian JDent Res;20:453-7
Shetty, M; S, Kalia; K, Patil; V.G, Mahima. 2011. Palatal Rugae Pattern in
Mysorean and Tibetan Populations Indian. J Dent Res; 16:515
Shukla D, Chowdhry, Bablani D, Jain P, Thapar R. 2011. Establishing the reliability
of palatal rugae pattern in individual identification (following orthodontic
treatment). Journal Forensic Odontostomatol.29(1):20-29
Sudradjat. 2013. Model dan Simulasi Diktat. Bandung : Jurusan Matematika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
Vanegas, V.H; J.S, Valenzuela; M.C, Lopez; I.C, Galdames. 2009. Palatal Rugae:
Systematic Analysis of Its Shape Dimensions for Use in Human Identification. Int
J Morphol; 27 : 819 – 25
Widowati, Sutimin. 2007. Buku Ajar Pemodelan Matematika. Jurusan Matematika
Universitas Diponegoro Semarang.Hal. 1.

Anda mungkin juga menyukai