Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH ILMU PENYAKIT MULUT

KASUS MINOR ULSER


LAPORAN KASUS

Novri Firmansyah
160110130091

Pembimbing :
Wahyu Hidayat, drg., Sp.PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................ii


BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ...........................................................................3
2.1. Status Klinik Ilmu Penyakit Mulut .....................................................3
2.1.1 Data Pasien ................................................................................3
2.1.2 Anamnesis .................................................................................3
2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik ........................................................4
2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu .....................................................4
2.1.5 Kondisi Umum ..........................................................................4
2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral ...........................................................4
2.1.7 Pemeriksaan Intraoral ................................................................5
2.1.8 Gambar Kasus ...........................................................................6
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang .............................................................6
2.1.10 Diagnosis dan Diagnosis Banding ...........................................6
2.1.11 Rencana Perawatan dan Perawatan .........................................6
2.2. Status Kontrol Ilmu Penyakit Mulut (1) .............................................7
2.2.1 Anamnesis .................................................................................7
2.2.2 Pemeriksaan Ekstraoral .............................................................7
2.2.3 Pemeriksaan Intraoral ................................................................7
2.2.4 Gambar Kasus ...........................................................................8
2.2.5 Hasil Pemeriksaan Penunjang ...................................................8
2.2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding .............................................8
2.2.7 Rencana Perawatan dan Perawatan ...........................................8
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................10
3.1 Reccurent Apthous Stomatitis .............................................................10
3.1.1 Definisi ......................................................................................10
3.1.2 Etiologi ......................................................................................10
3.1.3 Gambaran Klinis .......................................................................16

ii
3.1.4 Patofisiologi ..............................................................................18
3.1.5 Diagnosis ..................................................................................19
3.1.6 Diagnosis Banding ....................................................................19
3.1.7 Perawatan ..................................................................................25
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................28
BAB V KESIMPULAN ..............................................................................31
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................32

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Mukosa oral memiliki berbagai fungsi, mencakup proteksi, sensasi rasa,

sekresi, dan secara histologis beradaptasi terhadap lingkungan yang beragam di

dalam mulut. (Bruch and Treister, 2010). Mukosa oral ada yang berkeratin dan

tidak berkeratin. Mukosa oral yang tidak berkeratin ada pada seluruh bagian oral

kecuali palatum, gingiva, dan lidah. Mukosa oral terlihat merah karena memiliki

sedikit melanin sehingga warna dari pembuluh darah yang berada dibawahnya

menunjukan warna kemerahan.

Mukosa dapat menjadi tempat terjadinya lesi. Lesi di dalam rongga mulut

dapat berbentuk makula, patch, ulser, erosi, dan sebagainya. Bentuk ulser adalah

bentuk yang sering terjadi pada rongga mulut. Ulser dapat disebabkan oleh trauma,

bakteri, virus, dan genetik (Bruce, A. J., et al., 2015).

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) adalah salah satu inflamasi ulseratif

mukosa oral yang kronis dan bersifat dapat sembuh dengan sendirinya (self-limiting

disease) pada hampir semua kasus (Slebioda et al, 2013; Guallar et al, 2014).

Lokasi lesi umumnya pada area dengan mukosa oral tidak berkeratin seperti bibir,

pipi, dasar mulut dan vestibulum, palatum lunak dan keras. Nyeri yang sering

mengganggu bicara dan menelan dapat menyertai perkembangan lesi ini (Slebioda

et al, 2013).

1
2

Makalah ini akan membahas laporan kasus mengenai Reccurent Apthous

Stomatitis secara rinci pada pasien laki-laki berusia 19 tahun yang datang ke Rumah

Sakit Gigi dan Mulut FKG Unpad dengan keluhan adanya lesi pada bibir kanan di

pipi kiri pasien yang menyebabkan nyeri pada pasien.


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Status Klinik Ilmu Penyakit Mulut

Tanggal pemeriksaan : 10 Agustus 2018

2.1.1 Data Pasien (data disamarkan)

Nomor Rekam Medik : 2016-11xxx

Nama Pasien : Tn.ASAG

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 19 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa

Status Marital : Belum Menikah

Alamat : Griya Amira Sukawening, Jatinangor, Sumedang.

2.1.2 Anamnesis

Pasien laki-laki datang dengan keluhan sariawan pada pipi kiri dan bibir

kanan atas sejak 4 hari yang lalu, pasien mengeluhkan sariawan berulang setiap 2

minggu sekali, biasanya sariawan muncul ketika pasien mengalami stress dan

sariawan berasal dari trauma alat orthodonti. Sakit bertambah parah ketika

tersentuh. Sakit berkurang ketika pasien meminum air putih. Biasanya sakit diobati

oleh pasien dengan menggunakan kenalog. Ibu pasien juga memiliki riwayat

penyakit yang sama. Pasien memiliki riwayat penyakit mag. Pasien terakhir ke

3
4

dokter gigi 1 bulan lalu untuk melakukan kontrol alat orthodonti. Pasien ingin

sariawannya disembuhkan.

2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik

Kelainan GIT Ya Maag

2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu

Disangkal

2.1.5 Kondisi Umum

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Suhu : Afebris

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Pernafasan : 20 kali/menit

Nadi : 68 kali/menit

2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula : Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Submental : Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Servikal : Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Mata : Pupil isokhor, konjungtiva non-anemis, sklera non-ikterik

TMJ : Tidak Ada Kelainan


5

Bibir : Terdapat deskuamasi komisura bibir

Wajah : Simetri/Asimetri

Sirkum Oral : Vermilion border tidak jelas

Lain-lain

2.1.7 Pemeriksaan Intraoral

Kebersihan mulut : Sedang Plak +/-

Kalkulus +/- Stain +/-

Gingiva : Oedem pada anterior RB

Mukosa bukal : Terdapat lesi ulseratif jumlah 1, ukuran 5 mm, warna putih,

batas jelas, bentuk ireguler, pada area gigi 35.

Mukosa labial : Terdapat lesi ulseratif jumlah 1 ukuran 1 mm, warna putih,

berbatas jelas, tepi reguler, bentuk oval pada labial kanan

rahang atas area gigi 11.

Palatum durum : Kedalaman sedang, Tidak ada kelainan

Palatum mole : Tidak ada kelainan

Frenulum : Sedang

Lidah : Terdapat selaput putih pada 2/3 dorsum lidah

Dasar mulut : Tidak ada kelainan

Status Gigi :

cs cs

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

cs PE
6

2.1.8 Gambar Kasus

a b

Gambar 2.1 (a) Gambar ulser pada pipi kiri pasien pada regio gigi 35 (b) Gambar ulser
pada bibir kiri atas pasien pada regio gigi 11-12, terdapat deskuamasi ringan

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

2.1.10 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis : Reccurent Apthous Stomatitis

Diagnosis Banding : Traumatic Ulcer

2.1.11 Rencana Perawatan dan Perawatan

1) OHI

Pasien diinstruksikan untuk menyikat gigi 2x sehari sehabis makan pada pagi

hari dan sebelum tidur pada malam hari, pasien diinstruksikan untuk

melakukan scaling dan penambalan gigi yang berlubang pada dokter gigi.

2) KIE

Pasien diinstruksikan untuk minum minimal 2L/hari, makan makanan berserat

seperti sayuran dan buah-buahan


7

2.2 Status Kontrol Ilmu Penyakit Mulut (1)

Tanggal Pemeriksaan : 31 Agustus 2017

2.2.1 Anamnesis

Pasien datang untuk kontrol (20 hari setelah kunjungan pertama), tidak ada

keluhan menyertai, sariawan pada bibir atas dan pipi pasien sudah hilang. Pasien

sudah melaksanakan diet serat dan mengkonsumsi air putih ± 2L per hari atau 8

gelas per hari. Namun, pasien belum melakukan perawatan scaling dan

penambalan.

2.2.2 Pemeriksaan Ekstraoral

Kelenjar Limfe

Submandibula Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Submental Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Servikal Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Bibir Terdapat deskuamasi ringan

Wajah Simetri/Asimetri

Sirkum Oral Tidak ada kelainan

2.2.3 Pemeriksaan Intraoral

Kebersihan mulut : Sedang (OHI-S/Indeks plak = 30%)

Gingiva : Oedem pada gigi anterior rahang bawah


8

Stain : +/-

Mukosa bukal : Terdapat teraan gigitan pada regio 36-37 dan 46-47

Mukosa labial : tidak ada kelainan

Palatum durum : Kedalaman sedang, tidak ada kelainan

Palatum mole : tidak ada kelainan

Frenulum : Sedang

Lidah : Tidak ada Kelainan

Dasar mulut : tidak ada kelainan

2.2.4 Gambar Kasus

a b

Gambar 2.2 (a) Gambar pipi kiri pasien, tidak terlihat lagi adanya ulserasi pada pipi kiri
regio 35 pasien. (b) Bibir pasien membaik setelah kontrol pertama, namun masih terdapat
deskuamasi ringan.

2.2.5 Hasil Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

2.2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis : Post Reccurent Apthous Stomatitis

2.2.7 Rencana Perawatan dan Perawatan


9

1) KIE dilanjutkan

2) OHI dilanjutkan

3) Kontrol jika terdapat keluhan


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Reccurent Apthous Stomatitis

3.1.1. Definisi

Reccurent Apthous Stomatitis (RAS) adalah sebuah kelainan pada rongga

mulut yang ditandai dengan adanya lesi yang terus berulang pada jaringan mukosa

rongga mulut. RAS biasanya diikuti dengan keadaan lain seperti kelainan

imunologi, defisiensi hematologi, alergi, dan kelainan fisiologi. RAS

diklasifikasikan menjadi ulser minor, mayor, dan herpetiform sesuai degan

karakteristik klinisnya. Ulser minor dengan insidensi 80% dari kasus RAS yang

terjadi, berukuran diameter kurang dari 1 cm dan dapat sembuh tanpa adanya bekas

luka. Ulser mayor, berukuran diameter lebih dari 1 cm dan membutuhkan waktu

yang lebih lama untuk sembuh serta menyebabkan adanya bekas luka pada pasien.

Ulser herpetiform termanifestasi pada rongga mulut sebagai beberapa lesi ulseratif

kecil pada rongga mulut yang terlokalisir (Greenberg and Glick, 2003).

3.1.2. Etiologi

Penyebab dari Reccurent apthous stomatitis tidak diketahui secara pasti,

RAS memiliki beberapa kemungkinan penyebab diantaranya dari faktor keturunan,

defisiensi hematologi, dan kelainan imunologi. RAS terjadi karena adanya infiltrasi

sel sel limfositik ke area epitel yang menyebabkan terjadinya oedema disertai

dengan vakuolisasi keratin sehingga terjadi pembengkakan yang kemudian akan ter

ulserasi. 40% dari penderita RAS memiliki riwayat penyakit yang sama pada

10
11

keluarga (Scully and Porter, 2007). Faktor lainnya yang dapat menjadi penyebab

dari RAS adalah trauma, stress, kecemasan, dan alergi (National Cancer Institute,

1996).

Scully dan Porter membagi faktor predisposisi terjadinya RAS menjadi 2

yaitu faktor predisposisi lokal dan sistemik (Scully and Porter, 2007). Faktor

predisposisi lokal dari RAS adalah adanya trauma fisis, RAS jarang terjadi pada

orang-orang yang mukosanya telah terkertinisasi dan pada perokok (Wray, et al,

1981). Faktor predisposisi sistemik dari RAS antara lain sindrom Bechet,

neutropenia siklik, radang pada faring dan kelenjar limfa, sindrom Sweet, dan

kelainan imunodefisiensi seperti HIV (Zakrzewska, et al¸1997). Makanan seperti

coklat, kopi, kacang, sereal, strawbery, keju, tomat dan tepung gandum yang

mengandung gluten. Penelitian pada pasien RAS menggunakan patch test

menunjukkan adanya perkembangan klinis ketika makanan-makanan yang

mengandung asam benzoat dan cinnamaldehyde dieksklusi (Scully, et al, 2003).

1. Genetik

Pada beberapa individu, RAS bisa saja terjadi karena adanya latar belakang

genetik. Lebih dari 40% pasien dengan RAS memiliki catatan penyakit yang sama

pada keluarganya (Sircus, et al.,1957). Pasien yang memiliki warisan genetik RAS

biasanya ulser terbentuk lebih awal dari umur onset pada umumnya dengan gejala

yang lebih parah dibandingkan pada pasien yang tidak memiliki riwayat genetik

(Ship, 1972).

2. Alergi makanan
12

Makanan seperti coklat, kopi, kacang, sereal, almond, strawberi, keju,

tomat, dan gandum (mengandung gluten) pada beberapa orang dapat menyebabkan

timbulnya RAS. Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa

akan meradang dan edematous, disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-

gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil. Vesikel ini bersifat sementara dan akan

pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi

RAS (Pratiknyo dan Hendarmin, 2007).

3. Trauma Lokal

Trauma merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan ulser pada

pasien dengan RAS (Scully, et al.,2003). Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat

berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan

atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi (Delong dan Burkhart, 2013; Rajendran,

2009).

4. Gangguan Hormonal

Salah satu faktor predisposisi RAS adalah gangguan hormonal. Menurut

Jones dan Mason (1980), terdapat hubungan antara RAS dengan siklus menstruasi

dan terjadi 2 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Hormon yang

bertanggung jawab pada hal ini adalah estrogen dan progesteron. Estrogen

bertanggung jawab untuk merangsang maturasi lengkap sel epitel mukosa mulut

sedangkan progesteron menghambatnya (Croley dan Miers, 1978).

Pada penelitian yang dilakukan Soetiarto, et al (2009) dikatakan bahwa

progesteron yang kadarnya lebih rendah dari normal memiliki risiko lebih tinggi

pada RAS. Efek progesteron terhadap jaringan periodonsium adalah meningkatkan


13

produksi prostaglandin (self limiting process), meningkatkan pilomorfonuklear

leukosit, mengurangi efek inflamasi dari glukokortikoid, mengubah sintesis protein

kolagen dan nonkolagen serta metabolism fibroblas, dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler. Pada penderita RAS dengan kadar progesteron yang rendah

maka self limiting process berkurang, polimorfonuklear leukosit menurun, dan

permeabilitas vaskuler menurun. Hal-hal tersebut diduga dapat menyebabkan lesi

RAS yang muncul secara periodik sesuai siklus menstruasi (Soetiarto, et al., 2009).

5. Stres dan Kecemasan

Stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari

tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan,

tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya (Lazarus

& Folkman,1986 dalam Nasution, 2011). Setiap orang memiliki caranya masing-

masing dalam menghadapi stres, sehingga didapatkan lagi suatu proses

keseimbangan (homeostatis). Salah satu teori tentang stres dan dampaknya terhadap

tubuh telah dikemukakan yaitu General Adaptation Syndrome (GAS) (Nasution,

2011).

Pada tahap pertama GAS, setiap trauma fisik atau mental yang terjadi akan

memicu sistem imun untuk segera bereaksi dalam menghambat stres. Akibat dari

sistem imun tubuh yang pada awalnya tertekan, tingkat normal daya tahan tubuh

akan menurun sehingga tubuh lebih rentan terhadap infeksi dan penyakit. Jika stres

yang dihadapi ringan dan tidak berlangsung lama, tubuh akan kembali normal dan

pulih dengan cepat (Nasution, 2011).

Pada tahap kedua GAS, terjadi resistensi atau adaptasi tubuh akibat dari
14

stresor yang tidak dapat diatasi. Akhirnya, tubuh beradaptasi terhadap stres dan

cenderung menyebabkan tubuh lebih tahan terhadap penyakit (Nasution, 2011).

Pada tahap ketiga GAS, terjadinya kelelahan yaitu tubuh telah kehabisan

energi dan daya tahan tubuh. Tubuh mengalami kelelahan adrenal yang hebat dari

segi mental, fisik dan emosi. Apabila adrenal semakin berkurang, terjadinya

penurunan kadar gula darah menyebabkan penurunan toleransi terhadap stres,

kelelahan mental dan fisik yang terus berkembang maka tubuh tidak berdaya, dan

timbulnya penyakit. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa pasien dengan

stres tingkat tinggi sering kali ditemukan RAS (Nasution, 2011).

6. Merokok

Pasien yang menderita RAS biasanya adalah bukan perokok. Prevalensi dan

keparahan RAS lebih rendah pada kelompok perokok berat dibandingkan dengan

yang bukan perokok. Merokok memilii efek bertolak belakang dengan kejadian

RAS karena zat nikotin dapat meningatkan sitokin antiinflamasi. Beberapa pasien

melaporkan mengalami RAS setelah berhenti merokok (Glick, 2015; Scully, et al.,

2003).

7. Aktivitas Mikroorganisme

Streptococcus rongga mulut memiliki peranan penting dalam patogenesis

RAS. Isolat bakteri inisial pada RAS adalah Streptococcus sanguinis, akan tetapi

analisis terbaru mengungkapkan bahwa bakteri yang berperan dalam RAS adalah

strain Streptococcus mitis. Analisis lain juga mengatakan bahwa adenovirus juga

dapat menyebabkan terjadinya RAS akan tetapi perlu konfirmasi lebih lanjut untuk

hal ini (Scully dan Pedersen, 1998).


15

8. Gangguan Immunologi

Ulser aftosa yang besar sering kali ditemukan pada pasien HIV+ dengan

CD4 limfosit T di bawah 100 sel/ml serta ditemukan pula pada pasien non HIV

akan tetapi mengalami imunodefisiensi seperti sindrom mielodisplastik,

neutropenia jinak, dan bentuk neutropenia lainnya seperti neutropenia siklikal

(Scully, et al., 2003).

9. Defisiensi Nutrisi

RAS dapat terjadi karena defisiensi nutrisi yaitu defisiensi hematinik. Lebih

dari 20% pasien ditemukan kekurangan zat besi, asam folat, atau vitamin B.

Defisiensi zat besi mengacu pada pendarahan kronis. Asam folat dapat ditemukan

terutama pada sayuran hijau; defisiensi dapat dari diet makanan, atau berhubungan

dengan malabsorbsi atau penggunaan obat (alkohol, antikonvulsan, carbamazepine,

dan obat sitotksik. Vitamin B12 dapat ditemukan terutama pada daging. Pada

penelitian, pasien RAS yang diterapi dengan sediaan zat besi, vitamin B12, dan

asam folat menunjukkan adanya perbaikan. Faktor nutrisi lain yang penting adalah

vitamin B1, B2, dan B6. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan

memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang

(Nisa, 2011; Scully, 2008).

10. Penyakit Sistemik

Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan RAS

harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan

evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan

dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit Behcet’s, penyakit


16

disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma Sweet’s

(Nisa, 2011).

11. Obat-obatan

Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers,

agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan

seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR (Nisa, 2011).

3.1.3. Gambaran Klinis

RAS bermanifestasi pada rongga mulut berupa satu atau beberapa lesi yang

dangkal, menyebabkan adanya rasa sakit atau tidak nyaman pada rongga mulut dan

berulang dengan interval beberapa bulan atau beberapa hari (Scully and Porter,

2007). RAS diawali dengan rasa terbakar pada area mukosa selama 24 sampai 48

jam, pada fase awal ini, terbentuk daerah eritem yang terlokalisir yang menandakan

adanya proses peradangan, dalam waktu beberapa jam terbentuk papula putih

berukuran kecil yang kemudian terulserasi, ulser semakin membesar selama 48

sampai 72 jam. Lesi multiple dapat muncul dalam beberapa kasus RAS namun

ukuran, jumlah, dan frekuensinya sangat bervariasi (Greenberg and Glick, 2003).

RAS memiliki tiga manfiestasi klinis yaitu minor, mayor, dan herpetiform.

Ulser minor atau disebut juga Mikulicz’s Apthae terjadi pada 75 sampai 85

persen dari kasus RAS. Ulser minor dapat terjadi pada setiap mukosa non keratin

pada rongga mulut dan paling sering erjadi pada mukosa bagian bukal, labial, dasar

mulut, dan bagian permukaan ventral dan lateral dari lidah. Ulser minor memiliki
17

ukuran lebih kecil dari 8-10 mm dan dapat sembuh dalam jangka waktu 10 sampai

14 hari tanpa adanya bekas luka (Eversole, 1994).

Gambar 3.1 Ulser aftosa minor (Scully and Felix, 2005)

Ulser mayor atau di Amerika disebut juga pariadenitis mucosa necrotica

terjadi pada 10% dari pasien RAS. Ulser mayor dapat berukuran lebih dari 1 cm

dan sering muncul pada bibir, palatum lunak, dan tenggorok. Ulser mayor biasanya

sembuh dalam waktu 6 minggu dan biasanya meninggalkan bekas luka. Ulser

mayor biasanya timbul setelah umur pubertas, kronis, dan berulang (Scully and

Porter, 1989). Demam, susah menelan, dan malaise dapat timbul pada fase-fase

awal dari pembentukan ulser mayor (Rogers, 1997).

Gambar 3.2 Ulser aftosa mayor (Scully and Felix, 2005)


18

Ulser Herpetiform jarang terjadi, kasus ini hanya terjadi pada 5 sampai 10

persen dari kasus RAS, ulser herpetiform dikarakeristikan sebagai ulser multiple

yang terkumpul, berukuran kecil, dan menimbulkan rasa sakit. Pada beberapa kasus

ulser multiple tersebut dapat berfusi menjadi sebuah ulser besar yang berbentuk

irregular (Scully and Porter, 2007).

Gambar 3.3 Ulser herpetiform (Laskaris, 2006)

3.1.4. Patofisiologi

Menurut Greenberg dan Glick (2008) beberapa fase perkembangan ulcer

adalah:

1. Tahap prodromal

Tahap ini merupakan suatu tahap yang jarang terjadi pada semua pasien.

Tahap ini berlangsung 2-48 jam. Pasien merasakan tidak enak di dalam mulut, dapat

disertai dengan gejala demam seperti malaise.

2. Tahap pre-ulseratif

Pada tahap ini terdapat pembengkakan dan kemerahan pada mukosa.

3. Tahap ulseratif

Pada tahap ini pasien biasanya merasakan adanya nyeri lokal pada mukosa

mulut. Terlihat pula adanya lesi cekung berbentuk bulat atau oval regular dengan
19

margin tajam dan jelas serta dikeliling daerah yang eritem dan odema. Tahap ini

merupakan tahap yang dominan, biasanya terjadi selama 3-4 hari.

4. Tahap penyembuhan

Pada tahap ini pasien merasakan nyerinya sudah berkurang, dan terlihat

adanya pseudomembran serta adanya gambaran granulasi. Tahap ini dapat terjadi

10-14 hari setelah ulser pertama kali muncul.

5. Tahap remisi

Lama pasien melewati masa ini tergantung faktor etiologinya.

3.1.5. Diagnosis

RAS didiagnosis dengan berdasarkan pada anamnesa yang didapatkan dari

pasien, utamanya berdasarkan pada riwayat penyakit dan kriteria klinis, tidak ada

uji lab spesifik yang digunakan untuk mendiagnosis RAS. Riwayat medis seperti

ada atau tidaknya lesi pada kulit, mata, organ genital, dan rektum harus diperhatikan

untuk mengetahui ada atau tidaknya kemungkinan riwayat pasien memiliki

kelainan ulserative lain seperti Crohn’s disease, HIV, dan Behcet’s syndrome. Uji

darah lengkap diperlukan untuk mengetahui ada atau tidaknya gangguan imun,

kekurangan vitamin dan zat besi, dan malabsorpsi. Biopsi hanya dilakukan untuk

mengekeksklusi kelainan lain seperti Crohn’s disease (Scully, et al, 2003).

3.1.6. Diagnosis Banding

Ada beberapa diagnosis banding dari Reccurent Apthous Stomatitis, yaitu

Traumatic Ulcer, Behcet’s Syndrome, Reccurent Herpes Simplex Virus Infection,

Crohn’s disease, dan Manifestasi oral dari HIV (Preeti, et al, 2011; Edgar, et al,

2017; Scully and Porter, 2007; Greenberg and Glick, 2003).


20

a. Behcet’s Syndrome

Salah satu diagnosis banding dari Reccurent apthous stomatitis adalah

Behcet’s syndrome. Behcet’s syndrome merupakan sindrom yang ditandai

dengan gejala triad yang terdiri dari ulser rekuren pada rongga mulut, ulser

rekuren pada organ genital, dan lesi pada mata. Behcet’s syndrome disebabkan

oleh respon imun yang menyebabkan adanya peradangan pada pembuluh

vaskular dan epitel. Bechet’s syndrome dibedakan dari RAS dengan adanya lesi

di daerah lain seperti daerah organ genital, dan mata (Preeti, et al, 2011).

Gambar 3.4 Ulser dangkal pada mukosa bukal sebagai manifestasi Bechet’s
syndrome (Laskaris, 2006).

b. Reccurent Herpes Simplex Virus Infection

Reccurent Herpes Simplex Virus Infection timbul pada pasien dengan

pengalaman infeksi Herpes simplex, keadaan ini bukan merupakan sebuah

infeksi ulang dari Herpes simplex melainkan aktivasi kembali dari virus yang

terdapat pada tubuh.

Vesikel kecil terlihat pada mukosa oral sekitar 1 atau 2 hari setelah

gejala prodormal, vesikel berdinding tipis dikelilingi dasar yang terinflamasi.

Vesikel dapat cepat ruptur, meninggalkan ulser bulat dangkal. Lesi terjadi pada

seluruh bagian mukosa. Penyakit ini meningkat dengan adanya beberapa lesi
21

bergabung, membentuk lesi ireguler yang lebih besar (Greenberg and Glick,

2003).

Gambar 3.5 Gingivostomatitis herpetika primer menyebabkan vesikel dan ulser


dikelilingi inflamasi (Greenberg and Glick, 2003).

Diagnosis penting untuk penyakit ini yaitu adanya gingivitis marginalis

akut, dimana seluruh gingiva mengalami edematus dan inflamasi, yang kadang

disertai ulser. Pemeriksaan posterior faring menunjukan inflamasi dan nodus

limfatikus pada submandibular dan servikal membesar. Keadaan tertentu,

infeksi primer HSV dapat menyebabkan lesi di kulit bagian labial atau fasial

tanpa lesi intra oral (Greenberg and Glick, 2003).

Infeksi ini bila terjadi pada anak sehat dapat hilang dengan sendirinya.

Demam akan hilang selama 3 atau 4 hari, dan lesi mulai sembuh dalam 1

minggu hingga 10 hari, walaupun HSV dapat tetap ada dalam saliva selama 1

bulan setelah onset penyakit (Greenberg and Glick, 2003).

c. Leukoplakia

Leukoplakia adalah lesi putih yang melibatkan mukosa oral, tidak dapat

dihilangkan dengan digosok, dan tidak dapat diklasifikasikan dengan lesi lain

tanpa pemeriksaan histologis. Leukoplakia dapat mengenai area manapun di

rongga mulut dan secara umum terlihat gambaran seperti keratosis jinak.
22

Leukoplakia biasanya dihubungkan dengan trauma dan pemakaian tembakau.

Menurut penelitian, ada hubungan antara leukoplakia dan frekuensi serta durasi

pemakaian tembakau.

Proliferative verrucous leukoplakia (PVL) merupakan bentuk unik

verrucous leukoplakia oral yang berhubungan dengan risiko tinggi squamous

cell carcinoma. Lesi ini lebih sering terjadi pada laki-laki, penelitian

menyebutkan terjadi di atas usia 62 tahun. PVL juga dihubungkan dengan

Human papilloma virus (HPV) tipe 16.

Secara klinis leukoplakia tampak berwarna putih pada mukosa oral,

kadang homogen, kadang berkerut, dan kadang verrucous atau permukaannya

berfisur. Lesi ini kadang terlihat transparan dan tipis seperti sarang laba-laba

atau dapat juga padat dan tebal. (Greenberg and Glick, 2003; Field and

Longmann, 2003) .

d. Traumatic Ulcer

Traumatik ulser adalah lesi ulser reaktif yang sering muncul disertai

adanya riwayat penyebab terjadinya, dapat disebabkan oleh trauma, bahan kimia,

panas, dan radiasi, umumnya self-limited dan dapat sembuh dalam hitungan hari

hingga minggu (Regezi, et al., 2017).

Traumatik ulser rongga mulut kebanyakan disebabkan oleh trauma mekanis

sederhana, dengan hubungan sebab-akibat yang umumnya jelas. Terdapat banyak

kasus traumatik ulser akibat trauma aksidental dan biasanya terjadi pada daerah

yang mudah terperangkap atau terabrasi di antara gigi, seperti bibir bawah, lidah,
23

dan mukosa bukal (Regezi, et al., 2016). Ulser mukosa tunggal dapat disebabkan

oleh trauma fisik atau mekanis langsung, termis, ataupun trauma kimia pada

mukosa ataupun pada vaskuler yang merusak jaringan dan membentuk ulserasi.

Selain itu, cedera traumatik dapat disebabkan oleh maloklusi, protesa yang tidak

pas, penggunaan sikat gigi dan benang gigi (Greenberg, 2011).

Traumatik ulser dapat disebabkan oleh iatrogenik yang diinduksi oleh

praktisi medis dalam tindakan medis apapun. (Regezi, et al., 2017). Perawatan

ortodontik juga dapat menyebabkan trauma mekanis pada mukosa oral.

Pembentukan ulser rongga mulut merupakan salah satu efek samping dari

perawatan orto cekat (Baricevic, et al., 2011)

Trauma mekanis pada mukosa oral dapat bereaksi dalam dua jenis, yaitu

kronis dan akut. Trauma mekanis kronis akan mengakibatkan penebalan epitel dan

hiperkeratinosis, sedangkan trauma mekanis akut akan mengakibatkan ulserasi.

Trauma mekanis kronis dapat disebabkan karena bentuk gigi tajam, cheek biting,

dan penggunaan gigi tiruan yang sudah tidak baik dalam waktu yang lama. Lesi

memiliki karakteristik warna putih dengan permukaan yang kasar, sedangkan

trauma mekanis akut akan menghasilkan ulser dengan karakteristik lesi dilapisi

dengan membran fibrin kekuningan serta terasa sakit. Lesi dapat sembuh sendiri

dan hilang pada hitungan hari hingga minggu (Soames, J. C., 2005; Regezi, J. A, et

al, 2017).
24

Gambar 3.6 Gambaran lesi ulser traumatik pada lidah (Laskaris, G., 2006)

e. Crohn’s disease

Crohn’s disease merupakan keadaan peradangan kronis yang disebabkan

oleh respon autoimun. Keadaan ini terus berulang pada pasien sehingga dapat

menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien secara fisik maupun mental.

Manifestasi dari Crohn’s disease sangat beragam dan bervariasi tergantung dari

lokasi, derajat keparahan dan pola penyakit bagi setiap individu (Ballester-Ferre,

M.P., 2017).

Salah satu manifestasi dari Chron’s disease adalah adanya lesi pada rongga

mulut dan saluran pencernaan dengan insidensi sebesar 30%. Kondisi ini banyak

terjadi pada penderita Chron’s disease berusia remaja dan pasien diatas umur 60

tahun. Lesi yang muncul berbentuk nodular pada area labial dan pembengkakan

pada mukosa bagian bukal, penampakan bentuk cobblestone pada mukosa bukal

bagian posterior, dan ulserasi pada vestibulum bagian bukal. Untuk dapat

membedakan lesi Crohns’ disease sebagai manifestasi yang terjadi di rongga mulut
25

dengan RAS dibuthukan riwayat kesehatan pasien, dan pemeriksaan biopsi (Scully,

et al, 2003; Upadhyaya. J., 2017).

Gambar 3.7 Lesi ulseratif pada palatum sebagai manifestasi oral dari Chron’s
disease (Nishikawa, J., et al, 2014)

3.1.7. Perawatan

RAS pada beberapa kasus akan sembuh dengan sendirinya, namun penting

bagi dokter gigi untuk mengidentifikasi faktor predisposisi dari RAS untuk dapat

menangani RAS dengan tepat (Cui, R.Z, et al, 2016). Beberapa perawatan yang

dapat dilakukan untuk menangani kasus RAS antara lain :

1. Evaluasi klinis awal dan perawatan non farmakologis

Beberapa peneliti merekomendasikan pemeriksaan pelengkap seperti hitung

darah lengkap meliputi hitung eritrosit, asam folat, ferritin, dan vitamin B12 dengan

tujuan untuk mengesampingkan adanya kemungkinan penyebab sistemik seperti

penyakit gastrointestinal, defisiensi vitamin, Behcet’s syndrome, dan defisiensi

imun. Berdasarkan hubungan antara RAS dan defisiensi vitamin, beberapa peneliti

seperti Volkov et al yang dikutip oleh Guallar et al (2014) melaporkan bahwa

perawatan dengan vitamin B12 terbukti efektif mengobati RAS (Guallar, et

al,2014)
26

Koreksi defisiensi hematinik dilakukan dengan anjuran perubahan pola

makan agar asupan gizi tercukupi dan pemberian suplemen multivitamin. Penelitian

oleh Wulandari dan Setyawati (2008) menyebutkan penggunaan multivitamin

dalam penatalaksanaan RAS terbukti efektif yang ditandai melalui keadaan ulser

yang telah sembuh pada kunjungan satu minggu.

2. Perawatan farmakologis lokal

Pilihan perawatan awal meliputi obat antiseptik dan antiinflamasi atau

analgesik seperti 0,2% klorheksidin berupa obat kumur atau gel, tiga kali sehari,

selama lesi masih ada, atau benzydamine hydrochloride 0.15% (Tantum Verde).

Triclosan juga dapat digunakan dalam bentuk gel atau obat kumur tiga kali sehari

selama lesi masih ada. Diklofenak topikal 3% dengan asam hialuronat 2,5% dapat

diberikan untuk mengurangi nyeri. Amlexanox 5% yang mempunyai efek jangka

pendek, secara khusus digunakan jika dalam fase prodormal, diaplikasikan 2-4 kali

sehari. Obat ini dapat mempercepat penyembuhan aftosa dan mengurangi nyeri,

eritema, dan ukuran lesi. Antibiotik topikal seperti tetrasiklin dan turunannya

(doksisiklin dan minosiklin) dalam gel atau obat kumur dapat menghambat respon

inflamasi collagenases and metalloproteinase.

Kortikosteroid topikal dapat digunakan untuk mengobati RAS.

Kortikosteroid dapat mengurangi gejala, sehingga pasien dapat makan, berbicara,

dan menjaga kebersihan mulutnya, mengurangi dan menekan nyeri, dan

memperpendek waktu penyembuhan ulser. Obat yang disarankan yaitu

triamcinolone acetonide, fluocinonide ointment atau clobetasol ointment. Obat ini

dapat berikan dalam bentuk topikal berupa pasta adhesive dan obat kumur. Pasta
27

adhesive dapat diberikan jika lesi lokal dan obat kumur jika lesi difus atau banyak.

Triamcinolone acetonide pasta oral 0.1% diaplikasikan 3-10 kali sehari selama 3-5

menit, untuk pasien dengan lesi erosi kecil dan ringan. Fluocinonide ointment

0.05% diaplikasikan 5-10 kali sehari selama 3-5 menit, memberikan potensi sedang

hingga tinggi, digunakan pada pasien dengan lesi lebih agresif. Clobetasol ointment

0.05% kortikosteroid topikal paling poten digunakan untuk gambaran klinis sedang

sampai berat.

3. Perawatan farmakologis sistemik

Perawatan dengan obat sistemik diindikasikan jika ulser terlihat konstan dan

agresif, aftosa major, nyeri intens, dan perawatan topikal tidak mampu untuk

menghilangkan gejala. Perawatan obat secara sistemik dibawah ini mempunyai

efek samping sehingga dalam penggunaannya sebaiknya diberikan oleh dokter gigi

spesialis penyakit mulut (Scully et al, 2003).


BAB IV

PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan intraoral ditemukan adanya lesi ulseratif berjumlah

satu dengan ukuran 5 mm, memiliki dasar cekung, berwarna putih, batas jelas,

bentuk ireguler pada mukosa bukal area gigi 35, dan lesi ulseratif berjumlah 1

dengan ukuran 1 mm, memiliki dasar cekung, berwarna putih, berbatas jelas, tepi

reguler, berbentuk oval pada mukosa labial kanan rahang atas area gigi 11. Temuan

pada pemeriksaan intra oral sesuai dengan yang disebutkan pada literatur, bahwa

gambaran klinis dari RAS berupa satu atau beberapa lesi yang dangkal berbatas

jelas, dengan ukuran lebih kecil dari 8-10mm untuk lesi RAS minor, dan ukuran

lebih dari 1 cm untuk lesi RAS mayor. Berdasarkan temuan klinis, lesi RAS pasien

digolongkan kedalam lesi RAS minor, sesuai dengan pernyataan Scully and Felix

(2005) bahwa ulser aftosa minor mempunyai manifestasi klinis yang terjadi

terutama pada kelompok usia 10-40 tahun, berbentuk ulser bulat atau oval, dangkal,

berwarna kuning-kelabu, dengan diameter sekitar 2-4 mm atau lebih kecil dari 8-

10mm, margin halo eritem disertai odema, dan ditemukan terutama pada mukosa

non-keratin seperti pada mukosa labial.

Menurut Scully dan Porter (2007) Faktor genetik dan hormonal seperti

keadaan stress merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab munculnya

RAS, hal ini sesuai dengan informasi yang didapat melalui anamnesis pasien yang

menyebutkan bahwa keadaan yang sama juga dialami oleh ibu pasien, dan RAS

yang dialami pasien biasanya juga muncul ketika pasien akan melaksanakan ujian.

28
29

Scully dan Porter (2007) membagi faktor predisposisi terjadinya RAS

menjadi 2 yaitu faktor predisposisi lokal dan sistemik, faktor predisposisi lokal dari

RAS adalah adanya trauma fisis. Dalam kasus ini, faktor predisposisi lokal yang

terdapat pada pasien adalah adanya alat orthodonti yang mengiritasi mukosa pasien.

Faktor lain yang memicu munculnya RAS pada pasien adalah kurangnya asupan air

putih dan makan-makanan berserat, hal ini didasari oleh informasi yag didapat dari

anamnesa bahwa dalam satu hari asupan air putih pasien tidak sampai 8 gelas dan

jarang memakan sayur-sayuran karena pasien kurang menyukasi sayur-sayuran.

Keadaan ini menunjukkan pasien mempunyai asupan gizi yang kurang baik dan

sesuai dengan pernyataan Swain et al (2012) bahwa faktor nutrisi dapat memicu

terjadinya RAS terutama defisiensi zat besi, folat, dan vitamin B12.

Traumatic ulcer merupakan diagnosis banding yang dipertimbangkan

dalam kasus ini, karena adanya trauma dari alat orthodonti pasien. Menurut Soames

(2005) lesi yang disebabkan traumatic ulcer memiliki karakteristik warna putih

dengan permukaan yang kasar, sedangkan trauma mekanis akut akan menghasilkan

ulser dengan karakteristik lesi dilapisi dengan membran fibrin kekuningan serta

terasa sakit, Traumatic ulcer tidak dipengaruhi oleh stress dan tidak mengalami

pengulangan. Lesi traumatic ulcer juga akan sembuh dengan sendirinya dalam

hitungan hari sampai minggu. Anamnesa mengenai riwayat lesi ulser sebelumnya

dan pemeriksaan klinis dilakukan pada pasien untuk mendiagnosa banding RAS

dengan traumatic ulcer.

Perawatan yang dilakukan kepada pasien pada kunjungan pertama adalah

evaluasi klinis awal dan perawatan non farmakologis dengan memberikan OHI
30

(Oral Health Instruction) pasien diinstruksikan untuk menyikat gigi 2x sehari

sehabis makan pada pagi hari dan sebelum tidur pada malam hari, pasien

diinstruksikan untuk melakukan scaling dan penambalan gigi yang berlubang pada

dokter gigi, dan Pasien dianjurkan untuk memulai pola hidup sehat dengan minum

minimal 2L/hari, makan makanan dengan gizi seimbang dan perbanyak makanan

berserat seperti sayuran dan buah-buahan. Hal ini sesuai pernyataan Wulandari dan

Setyawati (2008) bahwa koreksi defisiensi hematinik dapat dilakukan dengan

perubahan pola makan agar asupan gizi tercukupi dan pemberian suplemen

multivitamin

Pasien diinstruksikan untuk kontrol guna mengevaluasi tingkat keberhasilan

dari perawatan yang telah diberikan. Pada saat kontrol terlihat lesi pada bibir atas

dan pipi pasien sudah hilang. Pasien sudah melaksanakan diet serat dan

mengkonsumsi air putih ± 2L per hari atau 8 gelas per hari. Namun, pasien belum

melakukan perawatan scaling dan penambalan. Terapi yang diberikan

menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada pasien, Lesi pada pasien telah hilang dan

keluhan berupa nyeri pada bibir dan pipi pasien menghilang.


BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan intraoral, dapat ditarik kesimpulan

pasien mengalami Reccurent Apthous Stomatitis (RAS). Pada pemeriksaan

intraoral ditemukan intraoral ditemukan adanya lesi ulseratif berjumlah satu

dengan ukuran 5 mm, memiliki dasar cekung, berwarna putih, batas jelas, bentuk

ireguler pada mukosa bukal area gigi 35, dan lesi ulseratif berjumlah 1 dengan

ukuran 1 mm, memiliki dasar cekung, berwarna putih, berbatas jelas, tepi reguler,

berbentuk oval pada mukosa labial kanan rahang atas area gigi 11.

Perawatan yang diberikan pada pasien adalah evaluasi klinis awal dan

perwatan non farmakologis, pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan mulut,

diet makanan sehat, berserat, dan gizi seimbang, dan minum air mineral 2 Liter

perhari.

31
DAFTAR PUSTAKA

Ballester-Ferre, M.P., M.M. Bosca-Watts., M.M. Perez. 2017. Crohn’s Disease.


Elsevier. Barcelona.
Baricevic, M., Mravak-Stipetic, M., Majstorovic, M.., Baranovic, M., Baricevic,
D., and Loncar, B. 2011. Oral mucosal lesions during orthodontic treatment.
International Journal of Paediatric Dentistry. 21:96-11
Bruce, A. J., Dabade, T. S., Burkemper, N. M. 2015. Diagnosing oral ulcers.
Journal of American Academy of Physician Assistants. 28(2):1-10
Bruch, J. M. and Treister N. S. 2010. Clinical Oral Medicine and Pathology.
Humana Press: New York.
Cui, R.Z., A.J. Bruce., and R.S. Rogers. 2016. Reccurent Apthous Stomatitis.
Journal of Clinical Dermatology. Clinics in dermatology.
Ghom, Anil Govindrao. 2010. Textbook of Oral Medicine. Second Edition. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd. Chapter 22.
Guallar, IB., Y. Jimenez-Soriano, A. Claramunt-Lozano. 2014. Treatment of
recurrent aphthous stomatitis. A literature review. J Clin Exp Dent. 6 (2): 168-
174 pp.
Field, A. And L. Longmann. 2003. Tyldesley's Oral Medicine. 5th ed. Liverpool.
Oxford University Press.
Greenberg, M.S., and M. Glick. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 10th ed. Hamilton: BC Decker Inc. halaman 80
Holla, Lydie Izakovicova and Fassmann, Antonin. 2003. University Textbook of
Oral Mucosal Disease. Masaryk University in Brno. Faculty of Medicine.
Chapter 5.
Jordan, Richard C., Michael A. O. Lewis. 2004. A Color Handbook of Oral
Medicine. New York: Thieme. halaman 171
Langlais, R P., C.S. Miller. 2000. Color Atlas of Common Oral Diseases. 3th ed.
USA: Lippincott William & Wilkins
Laskaris, George M.D., D.D.S., Ph.D. 2006. Pocket Atlas of Oral Diseases. New
York: Thieme
Nisa, R. 2011. Stomatitis aftosa rekuren (sar) yang dipicu oleh stress pada
mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Skripsi pada
fakultas kedokteran gigi, Universitas Sumatera Utara: Medan.
Nishikawa, J., A. Hosokawa., and T. Sugiyama. 2014. Palatal Ulcer as an Initial
Manifestation of Crohn’s Disease. Clinical Gastroenterology and
Hepatology. Tokyo.
Pratiknyo M, Hendarmin S. 2007. Aspek Klinik dan Penanggulangan Penyakit
Alergi (Clinical Aspect and Treatment of Allergy). Jakarta: Jurnal PDGI,
Vol. 57 No. 3; 77-81
Preeti, L.; Magesh, K. T.; Rajkumar, K et al. 2011. Recurrent aphthous stomatitis.
Journal of Oral and Maxillofacial Pathology. 15 (3): 252-253 pp.
Regezi, J. A., Sciubba, J. J., Jordan, R. C. K. 2017. Oral Pathology: Clinical

32
33

Pathologic Correlations 7th ed. Saunders: Missouri.


Scully, C. and A. Pedersen. 1998. Recurrent aphthous stomatitis. Crit Rev Oral
Boil Med 9 (3): 306-321 pp.
Scully, C., et. al, 2003. The Diagnosis and Management of Reccurent Aphtous
Stomatitis. JADA Vol. 134
Scully, C and D. H. Felix. 2005. Oral Medicine – Update for the dental practitioner
aphthous and other common ulser. British Dental Journal. 199 (5): 259-262
pp.
Scully, C., and S. Porter., 2007. Oral Mucosal Disease: Reccurent Apthous
Stomatitis. Elsevier: London.
Soames, J. V., Southam, J. C. 2005. Oral Pathology Fourth Edition. OUP Oxford:
Oxford.
Soetiarto, F., et al. 2009. Hubungan antara recurrent aphthae stomatitis dan kadar
hormon reproduksi wanita. Bul. Penelit. Kesehat. Vol . 37, no. 2, 79-86.
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.
Slebioda, Z., Elzbieta S., Amna K. 2013. Etiopathogenesis of Recurrent Aphthous
Stomatitis and the Role of Immunologic Aspects: Literature Review. Arch.
Immunol. Ther 62: 205-2015.
Wulandari, E.A.T., dan T. Setyawati. 2008. Tata laksana SAR minor untuk
mengurangi rekurensi dan keparahan. Indonesian Journal of Dentistry. 15
(2): hal 147-154

Anda mungkin juga menyukai